Anda di halaman 1dari 5

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Veteriner (JIMVET)

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala


Volume 6, No. 1: 1-5 E-ISSN: 2540-9492
November-Januari 2022

DETEKSI SISTISERKUS CACING PITA (Taenia Spp) PADA BABI


(Sus scrofa.) DI RUMAH POTONG HEWAN MEDAN
SUMATERA UTARA

DETECTION TAPE WORM CYSTICERCUS (Taenia spp) ON PIGS


(Sus scrofa.) IN THE SLAUGHTERHOUSE OF MEDAN
NORTH SUMATERA

Connie Asty Pakpahan1, Muttaqien2, M. Hanafiah2, Yudha Fahrimal2, T. Fadrial Karmil2, Nuzul Asmilia3
1
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
2
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
3
Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
*Corresponding author: muttaqien_bakri@unsyiah.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeteksi ada atau tidaknya sistiserkus cacing pita (Taenia spp)
pada babi yang dipotong di rumah potong hewan Medan Sumatera Utara. Sistiserkus merupakan
metacestoda dari larva Taenia solium. Deteksi sistiserkus sangat diperlukan untuk memahami pola
distribusi, prevalensi dan cara penularan penyakit (siklus hidup T. solium). Penelitian ini
dilaksanakan pada Maret 2017. Sampel yang digunakan sebanyak 20 ekor dengan menggunakan
dengan simple random sampling. Sampel yang sudah dikumpulkan diperiksa secara makroskopik
postmortem dengan cara melihat tanda- tanda sistiserkosis pada daging seperti lepuhan pada
sampel. Data yang di peroleh akan di analisis secara deskriptif. Hasil pemeriksaan menunjukkan
seluruh sampel negatif terdeteksi sistiserkus asal babi-babi milik peternak yang di potong di RPH.

Kata kunci: Taeniasis, Sistiserkosis, Sistiserkus, Taenia solium, Babi, RPH Medan

ABSTRACT
This study aims to detect the presence or absence of tapeworm cysticercus (Taenia spp) in
pigs cut in slaughterhouses of Medan North Sumatera. The study was conducted in March 2017.
Cysticercus is a metacestode of Taenia solium larvae. Cysticercus detection were very necessary to
understood the distribution pattern, prevalence and transmission of diseases (T. solium life cycle)
Samples were used as many as 20 samples and collected by using a simple random sampling.
Samples collected were examined with postmortem macroscopic by looking for signs of cysticercus
in the flesh such as: lumps in the sample. The data analysis which used in this research was a
descriptive analysis. The results of the examination showed that no cysticercus detected in all
samples pigs from farmers who cut in RPH.

Keywords: Taeniasis, Cysticercosis, Cysticercus, Taenia solium, Pig, RPH Medan

PENDAHULUAN
Ternak babi adalah hewan monogastrik yang memiliki potensi besar untuk di kembangkan
dalam upaya pemenuhan protein hewani bagi masyarakat. Ternak babi memiliki beberapa
keunggulan, diantaranya pertumbuhannya yang cepat, konversi pakan yang baik, dapat beradaptasi
dengan baik, serta persentase karkas yang tinggi mencapai 65%-80% (Siagian, 1999).
Babi merupakan hewan ternak yang memiliki sifat prolifik yaitu banyak anak dalam satu
kelahiran yang bisa mencapai 6–12 ekor per kelahiran dan dalam setahun dapat 2 kali melahirkan
(Pasaribu dkk., 2014). Dalam beternak babi diperoleh beberapa keuntungan, selain sebagai sumber
protein juga dapat meningkatkan pendapatan peternak itu sendiri (Warouw dkk., 2014).
Menurut Subronto dan Tjahajati (2001), faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha
pengembangan ternak babi dari aspek manajemen adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit.
1
Ternak babi sangat peka terhadap penyakit endoparasit. Parasit cacing bersifat merugikan, karena
menimbulkan gangguan nafsu makan dan pertumbuhan terhambat yang berlansung cukup lama
mengakibatkan produktivitas menurun.
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis yang di sebabkan cacing pita
Taenia saginata dan Taenia solium (Widarso dkk., 2001), sekitar 50 juta manusia di seluruh dunia
terinfeksi penyakit taeniasis dan menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan karena tingkat
sanitasi lingkungan yang masih rendah (WHO,2011).
Menurut Diyani (2016), infeksi yang ditimbulkan oleh sistiserkus lebih fatal dibandingkan
dengan taeniasis. Karena gejala klinis yang muncul pada penderita taeniasis lebih ringan daripada
sistiserkosis. Gejala klinis taeniasis hanya berupa mual, nyeri di daerah epigastrium, menurunnya
napsu makan, diare atau terkadang konstipasi, anemia, dan gejala yang asimtomatik. Gejala klinis
dari sistiserkosis tergantung lokasi infiltrasi sistiserkus. Gejala klinis dari infiltasi sistiserkus di otot
dan subkutan berupa kekejangan otot, benjolan, dan kelemahan otot, sedangkan infiltrasi sistiserkus
di mata berupa gangguan pengelihatan.
Pada manusia penyakit taeniasis/sistiserkosis ditemukan di tiga propinsi yaitu Sumatera
Utara, Bali serta Irian Jaya. Penyakit tersebut juga tersebar di Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat (Departemen Kesehatan, 1995). Penyakit
ini sering ditemui di seluruh dunia, dimana orang-orang memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging
babi dan daging sapi yang mentah atau dimasak kurang sempurna. Kebersihan lingkungan yang
buruk, makanan babi dan sapi yang tercemar feses manusia juga dapat menyebabkan penyakit
tersebut terjadi (OIE, 2005).
Menurut Sutisna (1999), pemeliharaan babi secara tidak dikandangkan (diumbar)
merupakan tindakan yang memudahkan transmisi telur infektif Taenia spp dari lingkungan menuju
inang antaranya. Babi yang diumbar memiliki kesempatan interaksi dengan feses penderita taeniasis
lebih besar daripada babi yang dipelihara secara intensif. Cara masyarakat dalam mengkonsumsi
daging babi merupakan hal yang sangat penting dalam penyebaran penyakit zoonosis ini.
Masyarakat Medan cenderung mengkonsumsi daging babi dengan cara dibakar, yang
memungkinkan daging yang di konsunsi masyarakat Medan masih terdapat sistiserkus dari cacing
Taenia spp. Daging yang dibeli dapat berasal dari RPH (Rumah Potong Hewan) Medan dan
pemotongan pribadi. Babi yang berada di RPH Medan Sumatera Utara adalah babi yang dipelihara
secara intensif, memiliki kebersihan kandang yang baik, dan juga dibawah pengawasan dokter
hewan, sehingga babi tampak sehat, gemuk, dan bulu mengkilat. Sampel yang diambil dari RPH
Medan Sumatera Utara berasal dari berbagai perusahaan peternak babi didaerah tersebut.
Kondisi suhu, pakan, perkandangan pada peternakan di Sumatera Utara menurut hasil
penelitian dari Pasaribu dkk (2014) dapat dikatakan sudah terpelihara dengan baik dan hal ini
membantu dalam pengendalian terjangkitnya Taenia spp pada ternak babi di Sumatera Utara.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat ditarik rumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu apakah terdapat infestasi sistiserkus cacing pita (Taenia spp) pada babi yang diambil dari
Rumah Potong Hewan Medan Sumatera Utara?

Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui ada atau tidaknya infestasi sistiserkus cacing pita (Taenia spp) pada babi
yang diambil dari Rumah Potong Hewan Medan Sumatera Utara.

Hipotesis Penelitian
Tidak terdapat sistiserkus cacing pita (Taenia spp) pada ternak babi di Rumah Potong
Hewan Sumatera Utara.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi ada atau
tidaknya infestasi sistiserkus cacing pita (Taenia spp) pada babi yang diambil dari Rumah Potong
Hewan Medan Sumatera Utara.

MATERIAL DAN METODE PENELITIAN


Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif. Penelitian
deteksi sistiserkus Taenia spp dilakukan dengan metode palpasi lidah dan pemeriksaan daging post
mortem. Sampel yang digunakan berupa babi yang di peroleh dari Rumah Potong Hewan Medan
Sumatera Utara. Metode palpasi lidah dan pemeriksaan post mortem dilakukan dengan melihat
kista/ benjolan yang timbul dalam bentuk lepuhan di bagian bawah lidah dan daging. Masing-
masing sampel penelitian dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari 20 ekor babi yang diperiksa terhadap kista atau sistiserkus, tidak ditemukan gejala
benjolan di bagian bawah lidah juga disekitar urat daging. Benjolan pada daerah lidah dan urat
daging setelah di proses tidak ditemukan sistiserkus seperti tabel 1.

Tabel 1 Hasil pemeriksaan lidah dan urat daging pada babi yang diteliti di RPH Medan

Jumlah sampel (ekor) Jenis Ternak Gejala Lepuh Hasil

Babi
20 - -

Dari data ke 20 sampel yang diperiksa secara antemortem dengan palpasi lidah, dan
postmortem dengan pemeriksaan sistiserkus organ yang diduga merupakan tempat predileksi dari
sistiserkus Taenia spp, tidak ditemukan tanda- tanda adanya sistiserkus pada sampel yang diambil
di RPH Medan. Pada pemeriksaan dibawah mikroskop dengan melihat histopathologi dari organ
yang diduga terdapat sistiserkus juga tidak ditemukan histopathologi sistiserkus dari organ yang
diduga terdapat sistiserkus.
Diperkuat dengan adanya penelitian Dharmawan (1995) baru menemukan satu kasus
sistiserkus pada seekor babi Landrace setelah pemeriksaaan 6539 ekor babi Landrace. Hal ini
mungkin babi yang diperiksa pernah lepas dari kandang dan mendapat infeksi secara alami ataupun
sanitasi yang buruk. Demikian pula hasil pemeriksaan sapi Bali sebanyak 36 ekor pada musculus
masseter diantaranya ditemukan 2 bejolan pada 2 sampel tetapi tidak ditemukan sistiserkus dan otot
bawah lidah dan urat daging sklet seperti diafragma dan jantung. Anton (2004) menemukan
sistiserkus pada sapi bali di Rumah Potong Hewan Pesanggaran setelah memeriksa 2713 ekor sapi
bali. Pada penelitian Iskandar dkk. (2005), tidak ditemukan pertumbuhan sistiserkus pada 69 ekor
babi yang di inokulasikan Taenia solium, sedangkan telur yang diinokulasikan sesuai dengan
prosedur.
Pengamatan pada daging dan organ internal babi yang disembelih berdasarkan penelitian
Maitindom (2008), didapati adanya sistiserkus pada daerah hati, jantung, paru-paru dan musculus
masseter (rahang) dari 27 ekor (77,1%) babi di daerah Lembah Balliem kabupaten Jayawijaya
Papua. Prevalensi sistiserkosis pada babi di kabupaten Jayawijaya jauh lebih tinggi dibandingkan
kejadian sistiserkosis di provinsi lain dan bahkan di negara Asia lainnya. Hal ini diperkuat oleh
penelitian Rajshekhal (2003) yang mengemukakan bahwa prevalensi sistiserkosis babi di China,
India, dan Nepal masing masing adalah 5.4%, 9.3%, dan 32.5 %.
Infiltrasi Cysticercus cellulosae pada babi umumnya ditemukan di otot lurik yang aktif
bergerak. Tempat predileksi dari infiltrasi sistiserkosis pada babi berada di bagian lidah, musculus

3
masseter (otot pipi), leher, jantung, musculus intercostae (otot antar tulang rusuk), dan musculus
brachiocephalicus (otot bahu).
Keberadaan cacing pita di dalam otot atau organ dikarenakan telur cacing yang menetas ,
larva cacing masuk ke otot atau organ hewan. Kista atau benjolan pada tubuh hewan seperti lidah,
hal ini dikarenakan babi memakan kotoran manusia yang mengandung seluruh atau sebagian cacing
pita atau telur cacing (Dharmawan dkk, 1992) yang kemudian telur menetas didalam usus bab
menjadi larva dan terbawa ke dalam sistem peredaran darah , larva yang tertinggal di dalam otor
hewan berkembang membentuk benjolan/ kista. Manusia terjangkit cacing pita setelah memakan
daging babi yang terinfeksi yang kurang dimasak. Cara masyarakat dalam mengkonsumsi daging
babi merupakan hal yang berpengaruh dalam penyebaran zoonosis ini. Hal ini terlihat dari
tingginya kasus teniasis di Bali akibat kebiasaan masyarakat Bali mengkonsumsi daging babi
mentah dalam setiap perayaan upacara adat (Sutisna, 1999).
Informasi yang didapatkan berdasarkan hasil wawancara dengan Dokter hewan yang
bertugas di Rumah Potong Hewan mengatakan babi yang berada di rumah potong berasal dari
peternakan babi di Medan dan sudah sering sekali dilakukan penyuluhan tentang pembuatan
kandang yang baik untuk hewan dan cara menjaga kebersihan kandang secara teratur dan kontinyu
dikarenakan ternak babi merupakan salah satu ternak yang sangat penting baik dari segi keagamaan,
kebudayaan, dan perekonomian bagi masyarakat setempat.
Sistem perkandangan yang dipakai telah mengarah kepada metode intensif atau industri
peternakan. Pada metode ini babi dipelihara terkurung dalam kandang secara grup atau individual,
sehingga semua kebutuhannya (makanan, air minum, dan pemuliabiakan) diberikan dan diatur
peternak, hal ini sesuai dengan Sutisna (1999) yang mengatakan, managemen pemeliharaan babi
secara tidak di kandangkan (umbar) adalah tindakan yang memudahkan transmisi telur infektif
Taenia solium dari lingkungan menuju inang antara-nya. Babi yang diumbar memiliki kesempatan
berkontak dengan feses penderita taeniasis lebih besar dibandingkan babi yang dipelihara secara
intensif. Sistiserkosis dan taeniasis sangat berhubungan erat terhadap santitasi lingkungan,
managemen peternakan, dan cara mengkonsumsi daging babi (Flisser, 2003).
Faktor yang paling utama tidak ditemukan sistiserkus pada babi saat penelitian yaitu
pengetahuan peternak mengenai manajemen kandang yang baik dengan pembersihan kandang
secara berkala. Peternak memiliki pengalaman yang lama dalam beternak, dimana peternak sudah
mengerti dan mengetahui bagaimana merawat babi yang baik seperti manajemen kandang, sanitasi
lingkungan , serta pakan yang baik sehingga daur hidup cacing pita Taenia spp terputus.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pada babi yang dipotong di RPH Medan Sumatera Utara tidak
ditemukan sistiserkus Taenia spp.

DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan, N.S. 1995. Pelacakan terhadap kehadiran Taenia saginata taiwanensis di Bali melalui
kajian parasitologi dan serologi. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan. 1995. Petunjuk pencegahan dan
pemberantasan taeniasis/cysticercosis di Indonesia. Dinas Peternakan Denpasar, Bali. 1989.
Informasi data peternakan
Diyani, Putu Sita Paramita. 2016. Tesis Infeksi Eksperimental Telur Taenia Solium pada mata babi
:Kajian Serologi dan Hematologi. Program Magister Program Studi Kedokteran Hewan
Universitas Udayana Denpasar, Denpasar.
Flisser A, Sarti E, Lightowlers M, Schantz P. 2003. Neurocysticercosis: regional status,
epidemiology, impact and control measures in the Americas. Acta Tropica 87: 43-51.
Garcia HH, Gonzalez EA, Evans WA, Gilman RH. 2003. Taenia solium cysticercosis. The Lancet
361: 547-556.
Inriani, N. 2015. Identifikasi Cacing Nematoda Pada Saluran Pencernaan Babi di Makassar.
Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin : Makassar
4
Iskandar Toblin, D.T. Subekti dan Suhardono. 2005. Isolasi Antigen Sistiserkosis pada Babi dan
Sapi (Isolation Cysticercossis Antigen from Pig and Cow), Seminar Nasional Teknologi
Peternakan Veteriner ; Bogor.
Maitindom, Ferry Devidson.2008. Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang diijual dipasar
Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Bogor.
OIE, 2005, Taenia Infectif http://www.cfsph.iastate.edu/ Factsheets/pdf/taenia.pdf, diunduh tanggal
15 Januari 2017.
OIE, Office International des Epizooties. 2008. Cysticercosis. Terrestial Manual:1216-
1226.[Terhubung berkala] http://www.oie.int/fileadmin
/Home/eng/Health_standards/tahm/2.09.05_CYSTICERCOSIS.pdf. diunduh tanggal 6 Juli
2017.
Pasaribu Edrin Sutandi , Sauland, Dudi.2015. Identifikasi Sifat Kualitatif Dan Kuantitatif Babi
Lokal Dewasa Di Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumetera Utara Identification Of
Qualitative And Quantitative Nature Of The Local Pig Adults In Subdistrict Of Sumbul,
Dairi, North Sumatra, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran; Yogyakarta
Rajshekkhar V, Joshi DD, Doanh NQ, De Van N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/
cysticercosis in Asia: Epidemiology, impact and issue. Acta Tropica. 87: 53 – 60..
Siagian H.P. 1999. Manajemen Ternak Babi, Diktat Kuliah Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Subronto dan I Tjahajati .2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada university Press.Yogyakarta
Sutisna P, Fraser A, Kapti IN, Canul RR, Widjana DP, Craig PS, Allan JC. 1999. Community
prevalence study of taeniasis and cysticercosis in Bali, Indonesia. Tropical Medicine and
International Health 4: 288–294.
WHO. The Control of Neglected Zoonotic Diseases–Community based interventions for Prevention
And Control.ISBN 9789241502528. 2011
Widarso Hs, Sri Margono, Wilfried h Purba, Rizal Subahar. 2001. Prevalensi dan Distribusi
Taeniasis dan sistiserkosis. Makara Kesehatan Vol. 5, No.2 ; Jakarta.
Zoli A, Njila OS, Assana E, Nguekam JP, Dorny P, Brandt J, Geerts S. 2003. Regional status,
epidemiology and impact of Taenia solium cysticercosis in Western and Central Africa. Acta
Trop 87: 35-4

Anda mungkin juga menyukai