Anda di halaman 1dari 20

PRAKTIKUM

PEMERIKSAAN TELUR CACING PADA AYAM PETELUR

KESEHATAN TERNAK
Dosen pengampu:
- Dr. Drh. Rudi Rawendra,M Ap
- drh. Isyunani, M.Agr
- drh. Nurdianti

Mansur ( 04.03.18.207 )

KEMENTERIAN PERTANIAN

BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN

POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN MALANG

2019
JUDUL : PEMERIKSAAN TELUR CACING PADA AYAM PETELUR

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang dimanfaatkan di berbagai sektor
seperti perikanan, peternakan, industri dan jasa, perkebunan. Salah satu sektor yang
berperan penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia adalah sektor peternakan. Hewan
ternak mamalia seperti sapi, kambing, kerbau dan unggas seperti ayam dan bebek memiliki
peran penting salah satunya untuk kebutuhan pangan. Faktor utama yang menyebabkan
penurunan jumlah produksi ternak salah satunya yaitu gangguan kesehatan. Gangguan
kesehatan biasanya dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit berupa ektoparasit dan
endoparasit (Fadilah, 2005).
Endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh inang. Pada umumnya
endoparasit terdiri atas berbagai jenis cacing, arthropoda, bakteri, protozoa, dan virus (Hadi
dan Soviana, 2000). Endoparasit dapat ditemukan pada otak, hati, paru-paru, jantung, ginjal,
kulit, otot, darah, dan saluran pencernaan. Hewan ternak yang terinfeksi endoparasit
biasanya lesu, pucat, kondisi tubuh menurun bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Endoparasit yang sering menginfeksi unggas peliharaan seperti
bebek, ayam, dan itik adalah kelas Nematoda (Soekardono, 1986).
Invasi parasit dapat menurunkan jumlah produk peternakan seperti telur dan daging
serta menurunkan kualitas ayam produksi. Parasit yang berada pada tubuh suatu hewan,
misalnya ayam, dapat menyebabkan kerusakan organ hewan tersebut. Ayam yang terserang
parasit dapat mengalami penurunan berat badan sehingga ayam menjadi kurus. Ayam dapat
terinfeksi oleh endoparasit salah satunya, yaitu melalui makanan. Endoparasit dapat
ditularkan melalui makanan, yaitu melalui makanan yang kurang bersih sehingga mudah
terinfeksi parasit. Selain melalui makanan, penyebaran endoparasit dapat melalui air serta
peralatan ternak (Parede et al., 2005).
Nutrisi yang baik dan seimbang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan
perkembangan ayam pedaging maupun petelur. Berbagai macam nutrisi yang dibutuhkan
yaitu karbohidrat, lemak, protein, asam amino, vitamin, dan mineral. Protein yang dibutuhkan
ayam pedaging dan petelur berbeda, pada ayam pedaging kebutuhan protein berkisar antara
lebih kurang 2800 sampai 3400 kkal energi metabolis per kg ransum. Sedangkan pada ayam
petelur membutuhan protein berkisar 3500 kkal energi metabolis per kg ransum (Anggorodi,
1985).
1. Alat dan Bahan
a) Alat
1. Tabung reaksi, tabung sentribus
2. Obyek Glass dan dek/cover glass
3. Mikroskop
4. Sentrifuge 3000rpm
b) Bahan
1. Feces ayam dan sapi
2. Larutan gula garam jenuh,
3. Aquadest
4. Methylene blue
5. ATK dan gambar jenis-jenis telur cacing/endoparasit pada ternak
2. Organisasi
1. Mahasiswa bergabung membentuk kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok
terdiri dari 4-6 orang. Setiap kelompok pilihlah seorang ketua dan seorang
sekretaris.
2. Lakukan dan biasakan untuk berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan
praktek.
3. Lakukan kegiatan ini dengan cermat, teliti, sungguh-sungguh, hati-hati, jujur, dan
penuh tanggung jawab.
3. Prosedur Kerja
a. Metode Flotasi
1. Metode flotasi digunakan untuk jenis telur cacing parasite yang dapat
mengapung dengan mengunakan larutan gula garam jenuh.
2. Sampel feses sapi ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan dalam tabung.
Kemudian tabung tersebut diisi 5 ml larutan gula garam jenuh, dihomogenkan
dan diisi kembali dengan larutan gula garam jenuh hingga cembung,
didiamkan selama 45 menit.
3. Selanjutnya pada mulut tabung ditutup dengan kaca penutup, kaca penutup
diangkat lalu diletakkan di atas objek gelas dan diamati di bawah mikroskop
(Shaikenov et, al, 2004).
b. Metode Sedimentasi
1. Metode sedimentasi digunakan untuk jenis telur cacing parasit yang
mengendap bersama feses.
2. Sampel feses sapi diambil sebanyak 3 gram dimasukkan dalam tabung reaksi
diisi akuades 30 ml diaduk sampai homogen.
3. Filtrat disaring sebanyak dua kali menggunakan kertas saring ke dalam tabung
sentrifus.
4. Filtrat disentrifus selama tiga menit dengan kecepatan 3000 rpm. Kemudian
supernatan yang terbentuk dibuang perlahan sehingga menyisakan endapan.
5. Endapan diberi metilen blue dan diteteskan pada objek gelas dan ditutup
dengan cover gelas lalu endapan diamati di bawah mikroskop (Murray, 1996)
c. Setelah selesai, bersihkan peralatan yang anda gunakan dan kembalikan ke tempat
semula

4. Tugas dan Pertanyaan


Tugas:
a. Lakukan pengamatan telur cacing dan identifikasi telur cacing yang di temukan
pada ayam dan sapi
b. Tampilkan hasil pengamatan praktikum dalam foto atau gambar yang disajikan
dalam powerpoint
c. Jelaskan sikluls hidup pada jenis cacing yang ditemukan
Pertanyaan
a) Sebutkan 3 jenis penyakit menular yang disebabkan oleh cacing/endoparasit pada
ayam dan pada sapi!
b) Jelaskan siklus hidup cacing hati!
c) Bagaimana cara melakukan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh endoparasit
(cacing)?
.
5. Hasil Praktikum
LEMBAR PENGAMATAN UNTUK PEMERIKSAAN TELUR CACING
Kelompok :ke -1
No. Nama Jabatan dalam Kelompok
1. Bernike Candra Ardianto Ketua
2. Nadya Puspita Sari Sekretaris
3. Achmad Saddam Firdaus Prasetyo Anggota
4. Mansur Anggota
5. Savira Putri Salsabilla Anggota

HASIL PENGAMATAN

Tabel 1.Hasil Pengamatan kelompo ke- 1


Asal Kandang : H
Jenis Ternak : Ayam Petelur
Umur Ternak : 24 Minggu
Nomor Gambar Telur Cacing yang Ditemukan Indentifikasi Jenis Cacing
1 Trichostrongylus tenuis
Ciri – ciri : Panjang cacing
Jantan 5,5-9 mm.lebar
pertengahan 48 mikron.
Panjang cacing betina 6,5-11
mm. lebar didaerah vulva 77-
100 mm. telur berdinding
tipis. Lokasi: Cecum dan usus
halus, Penularan: secara
langsung yaitu melalui telur
cacing yang infektif.
Menyebabkan penyakit
Trichostrongylosis
Hasil Pengamatan Telur Cacing Kelompok ke- 2
Asal Kandang : Depan Kandang G
Jenis Ternak : Ayam Jago
Umur Ternak : ……………….
Nomor Gambar Cacing yang Ditemukan Identifikasi Jenis Cacing
2  Telur Cacing Jenis Nematoda
atau cacing tambang (Hook
Worm), dengan perbesaran
10 x 0,25 dan 40 x 0,65.ciri-
ciri Berbentuk bulat panjang,
berongga tubuh semu,
Hidup bebas dengan
memakan sampah organik,
Hidup parasit di hewan,
manusia, dan tumbuhan.

Hasil Pengamatan Telur Cacing Kelompok ke-3


Asal Kandang : Kandang D
Jenis Ternak : Ayam Layer
Umur Ternak : ……………….
Nomor Gambar Cacing yang Ditemukan Identifikasi Jenis Cacing
3 Tidak ditemukan adanya
telur cacing dalam feses.
Hasil Pengamatan Telur Cacing Kelompok ke-4
Asal Kandang : Depan Kandang G
Jenis Ternak : Ayam Jago
Umur Ternak : ……………….
Nomor Gambar Cacing yang Ditemukan Identifikasi Jenis Cacing
4 Telur Hookworms (Cacing
Tambang) adalah salah
satu contoh cacing yang
terdapat pada feses ayam
Hasil praktikum yang kami
amati kemarin yaitu normal
tidak di temukan telur
cacing di dalam feses ayam
yang sudah diambil sempel
nya.

Hasil Pengamatan Telur Cacing Kelompok ke-5


Asal Kandang : Depan Kandang G
Jenis Ternak : Ayam Jago
Umur Ternak : ……………….
Nomor Gambar Cacing yang Ditemukan Identifikasi Jenis Cacing
5 Terdapat jenis cacing
Ascaridiagalli,tampilan
cacing dewasa
semitransparan, berukuran
besar dan berwarna
kekuning-kuningan.
Daftar Gambar Hasil Pengamatan Cacing Pada Fisis Aayam Petelur

Gambar 1. Ayam Petelur Gambar 2. Proses Pengambilan Fisis

Gambar 3. Fisis Ayam Petelur Gambar 4.Pencampuran Fisis Dan NaCL

Gambar 5. Pengamatan Menggunakan Gambar Cacing Trichostrongylus tenuis


Mikroskop
PEMBAHASAN

A. Cacing yang ditemukan


Dalam penelitian yang telah dilakukan, hanya ditemukan satu spesies parasit cacing
pada usus ayam petelur ( layer ) ( Gallus domesticus ), yaitu Trichostrongylus tenuis
dengan ciri – ciri Panjang cacing jantan 5,5-9 mm. lebar pertengahan 48
mikron. Panjang cacing betina 6,5-11 mm. lebar didaerah vulva 77-100 mm.
telur berdinding tipis.. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis diketahui
cacing ini mempunyai alat penghisap yang bulat disertai kait – kait yang kecil.
Referensi lain menyebutkan bahwa famili cacing ini juga mempunyai sebuah
rostellum berbentuk bantal. Trichostrongylus tenuis adalah salah satu spesis
dari phylum platyhelminthes ( cacing pipih ) yang secara umum mempunyai (
Soulsby; 1982 ). Cacing ini bersifat hermafrodit dengan bagian – bagian tubuh
yang terdiri dari skoleks, leher dan strobila. Skoleks dilengkapi dengan empat
batil isap dan rostelum yang digunakan sebagai alat untuk menempel pada
mukosa usus inangnya. Pada batil isap dan rostelum dilengkapi juga dengan
kait – kait tetapi tergantung pada spesiesnya. Bagian leher adalah bagian yang
paling aktif dalam pembentukan segmen baru. Strobila adalah bagian tubuh
cacing pita yang paling besar yang terdiri dari segmen – segmen. Strobila
terdiri dari segmen muda, segmen dewasa dan segmen gravid. Pertumbuhan
normal cacing pita dewasa memiliki tiga stadium perkembangan segmen yaitu
muda ( immature ), dewasa ( mature ), dan gravid. Segmen muda memiliki ciri
morfologi yaitu adanya perkembangan awal dari organ reproduksi, sedangkan
segemen dewasa perkembangannya sudah sempurna dan lengkap. Morfologi
segmen dewasa sering digunakan sebagai salah satu kriteria untuk
mengidentifikasikan cacing pita. Segmen gravid membentuk kantung –
kantung yang penuh berisi telur. Segmen gravid akan mengalami proses
destrobilisasi dan keluar bersama – sama tinja inang definitif. Tinja inang

inilah yang menjadi pembawa sumber infeksi yang sangat potensial ( Retnani
& Hadi, 2007 ).
Cacing ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak sepanjang
usus. Ciri – ciri organ yang terifeksi yaitu ditemukan adanya bungkul –
bungkul berwarna putih dan jelas terlihat di luar ususnya. Menurut referensi
yang diperoleh, diketahui bahwa bungkul – bungkul tersebut terdiri dari
jaringan nekrotik dan darah putih.
Parasit – parasit di daerah tropika seperti di Indonesia, banyak macam dan
jumlahnya. Dengan mengenal parasit cacing dan dimana tempat ditemukan, serta
cara penularannya dan beberapa keterangan lainnya, maka dapat dilakukan
pertolongan pertama sebelum ada ahli yang membantu. Berikut ini adalah
berbagai macam parasit yang sering menyerang saluran pencernaan unggas :
1. Trichostrongylus tenuis
Ciri – ciri : Panjang cacing jantan 5,5-9 mm. lebar pertengahan 48
mikron. Panjang cacing betina 6,5-11 mm. lebar didaerah
vulva 77-100 mm. telur berdinding tipis.
Lokasi : Cecum dan usus halus

Penularan : secara langsung yaitu melalui telur cacing yang infektif.


Menyebabkan penyakit Trichostrongylos

Postmortem : kelihatan radang cecum yang jelas disertai anemia. Bangkai


kurus.

Gambar 3. Telur Trichostrongylus tenuis

Nematoda
2.Heterakis gallinarum
Ciri – ciri : Panjang cacing jantan 7 – 13 mm. Panjang cacing betina 10 –
15 mm. Telur berdinding licin dan tebal, berukuran 65 – 80 x
35 – 46 mikron.
Lokasi : Cecum
Penularan : Secara langsung yaitu dengan makan telur cacing yang
infektif. Menyebabkan penyakit diare pada burung pegar (
Pheasant).
Postmortem : Ceca meradang dan dindingnya menebal. Pendarahan pada
mukosa cecum (typhlytis) noduler.

3. Ascaridia galli
Ciri – ciri : Panjang cacing jantan 50 – 76 mm. Panjang cacing betina 76
– 116 mm. Cacing ini mempunyai 3 bibir. Telurnya tak
bersegmen waktu keluar bersama tinja dan dindingnya licin,
berukuran 73 – 92 x 45 -57 mikron.
Lokasi : Usus halus bagian tengah.
Penularan : Secara langsung yaitu dengan makan telur cacing yang
infektif. Menyebabkan penyakit Ascariosis.
Postmortem : Radang usus yang bersifat haemorrhagic ( terdapat
pendarahan ) dan larva cacing berukuran kira – kira 7 mm.
Dapat ditemukan dalam selaput lendir usus. Bangkai kurus,
kurang darah atau anemia dan cacing dewasa ditemukan

dalam usus. Parasit dapat juga ditemukan dalam albumin


telur ayam.
Gambar 3. Ascaridia galli dilihat dari mikroskop electron
4.Tetrameres americana
Ciri –ciri : Panjang cacing jantan 5,0 – 5,5 mm, lebar 116 – 133 mikron. Pada
cacing betina 3,5 – 4,5 mm, lebar 3 mm. Keterangan
tenatang ukuran telurnya belum ada.
Lokasi : Proventriculus

Penularan : Secara tidak lanngsung. Memerlukan induk semang-antara


yaitu serangga – serangga orthoptera yaitu Melanoplus
femurrubrum,M. differentialis, dan Blatela germanica. Ayam
kena infeksi jika makan induk semang – antara yang
terinfeksi.

Postmortem : Proventriculus meradang. Dari luar proventriculus dapat


dilihat benda – benda berwarna gelap di dalam jaringannya

Gambar 4. Tetrameres americana

5.Strongyloides avium
Ciri – ciri : Cacing ini panjangnya 2,2 mm. Panjang oesophagus 0,7 mm. telur
berukuran 52 – 56 x 36 – 40 mikron.
Lokasi : Usus halus dan cecum.
Penularan : Generasi yang bersifat parasitik dapat menembus kulit induik
semang, menuju trakea, lalu ke pharinx dan selanjutnya ke
usus. Infeksi melalui paruh ( per os ) juga dapat terjadi.
Postmortem : Vulva cacing betina terletak di pertengahan badannya dan
oesophagusnya panjang (seperti silinder, filariform)

Gambar 5. Strongyloides avium

Cestoda
6.Raillietina tetragona
Ciri – ciri : Panjang cacing ini sampai 25 cm. Alat penghisap cacing berbentuk
bulat panjang dan dilengkapi dengan ikat – ikat yang kecil.
Lokasi : Usus halus ayam, ayam mutiara dan burung merpati
Penularan : Lalat rumah, Musca dometica dan semut sebagai induk
semang – antara. Menyebabkan penyakit Cestodosis pada

ayam.
Postmortem : Terdapat radang usus halus.

Gambar 6. Raillietina tetragona

7. R. echinobothrida
Ciri – ciri : Panjangnya kira – kira sampai dengan 25 cm. Bentuk dan
ukurannya mirip dengan R. tetragona.
Lokasi : Usus halus ayam
Penularan : Semut sebagai induk semang – antara. Menyebabkan
penyakit cestodosis pada ayam.
Postmortem : Terdapat bungkul – bungkul pada usus halus dan jelas terlihat
bila kita lihat ususnya dari luar. Bungkul itu terdiri dari
jaringan nekrotik dan darah putih.

Gammbar 5. Bagian Kepala, Ruas yang masak, dan Kait pada Raillietina
echinobothrida

Daerah penemuan cacing

http://www.msstate.edu/dept/poultry/pics/anatomy.jpg
B. Mekanisme Infeksi Cacing ke Dalam Tubuh Unggas
Mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas berkaitan erat
dengan siklus hidup cacing tersebut. Berbagai faktor yang mempengaruhi
pola infeksi tersebut adalah populasi cacing stadium efektif di dalam inang
antara, dan pola penyebarannya, kekhasan inang / habitat serta pola
makannya ( Lawson & Gemmel, 1983 ). Sedangkan kelangsungan hidup
cacing stadium efektif di alam sangat ditentukan oleh interaksi antara kondisi
alam yaitu suhu, kelembaban, dan curah hujan yang setiap jenis cacing
mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda ( Charmichael, 1993; Ridwan et
all., 1996 )
Cacing biasanya menginfestasi ke dalam tubuh ayam melalui
beberapa cara, diantaranya melalui telur cacing atau larva cacing yang
termakan oleh ayam, memakan induk semang antara ( semut ) yang
mengandung telur atau larva cacing, telur atau larva cacing yang terbawa
oleh petugas kandang / peternak melalui sepatu dan pakaian kandangnya,
atau bisa juga karena ransum atau air minum yang tercemar telur cacing.
Cacing pita merupakan cacing yang menginfeksi ayam dan memerlukan
serangga sebagai inang antaranya (Soulsby 1982). Peluang kontak ayam
terhadap inang antara yang paling potensial adalah keberadaan dan volume
tinja, sedangkan kondisi lingkungan dan manejemen peternakan merupakan
faktor pendukung.

Cacing pita mempunyai bermacam – macam kisaran spesifisitas hospes,


tetapi cacing pita dewasa lebih spesifik daripada kebanyakan cacing dewasa
kelompok lain. Tiap – tiap ordo burung mempunyai cestoda sendiri yang
karakteristik. Spesifitas hospes di antara cacing – cacing ini mencapai derajat
kesempurnaan yang tinggi selama hospesnya mengalami pengkhususan.
Spesifisitas hospes di antara cestoda mencapai derajat tertinggi pada burung
( aves ). Siklus hidup cacing pita yang juga dikenal dengan cestoda pada
unggas umumnya melewati inang perantara/vektor seperti kepiting, kutu air,
crustacea dan katak (unggas air), sedang pada unggas darat (ayam) lebih
sering menggunakan inang perantara insekta terbang (lalat, kumbang) dan
cacing tanah. Karena vektor yang berupa insekta terbang inilah yang
menjadikan cacing pita mudah tersebar secara luas. Selain itu, telur-telur
cacing pita pada umumnya mempunyai kemampuan yang hebat untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Infeksi cacing pita di dalam tubuh
unggas menyebabkan penyakit cestodosis.
Infeksi cacing saluran pencernaan pada umumnya mudah
didiagnosis melalui pemeriksaan tinja hewan yang dicurigai terinfeksi. Telur
cacing yang keluar bersama feses berkembang menjadi stadium infektif
kemudian termakan induk semang antara atau langsung masuk tubuh ayam
yang kemudian akan menuju ke tempat yang disukainya (tembolok, usus,
sekum atau organ lain) untuk berkembang sampai dewasa. Tidak demikian
dengan Cestodosis yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri untuk
didiagnosis karena cacing pita tidak mengeluarkan telur bersama tinja.
Nekropsi merupakan cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
Cestodosis. Kendala ini mengakibatkan angka prevalensi Cestodosis akan
semakin tinggi serta menyulitkan dalam menentukan strategi pengobatan
(Retnani & Hadi 2007).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian
cestodosis pada ayam kampung yaitu menejemen pemberian pakan,
kebersihan dan sanitasi lingkungan di sekitar kandang, waktu pembuangan
feses dan pembersihan kandang, cuaca dan iklim, pemberian antibiotik, atau
vaksinasi ayam secara rutin.
Faktor pendukung perkembangan populasi cacing adalah suhu
lingkungan, pH lingkungan, kelembaban, curah hujan serta radiasi sinar
matahari baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk
mempertahankan siklus hidupnya. Untuk pertumbuhan larva cestoda dalam
telur diperlukan tanah yang lembab dan tidak membutuhkan adanya
genangan air.
Faktor-faktor lingkungan seperti di atas merupakan beberapa
penyebab yang mempengaruhi tidak ditemukannya parasit cacing pada
merpati yang digunakan dalam penelitian. Merpati ini berhabitat di
lingkungan yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah (dilapisi paving
blok) dan kebersihannya lebih terjaga. Makanan yang diperoleh berasal dari
peternak sehingga kemungkinan untuk terkena infeksi cacing sangat kecil.
Habitat merpati tidak mendukung untuk berkembangnya induk semang
antara yang menyalurkan telur cacing yang khas pada merpati, sehingga telur
tidak menemukan induk semang antara yang tepat dan tidak akan
berkembang menjadi sistiserkoid, daur hidup cacing-pun akan terputus, dan
akhirnya infeksi cacing tidak akan terjadi karena tidak ada proses infestasi.
Cacing yang spesifik pada merpati antar lain Tetrameres americana yang
memerlukan induk semang antara berupa serangga orthoptera, dan
Raillietina bonini yang memerlukan induk semang antara berupa siput. Lain
halnya dengan ayam kampung yang berhabitat di lingkungan peternakan
tradisional yang kurang terjaga kebersihannya. Meskipun makanan yang
diperoleh berasal dari peternak tetapi ayam masih mempunyai peluang besar
memperoleh makanan sendiri dari lingkungan sekitarnya. Adanya infeksi
cacing Raillietina echinobothrida dalam tubuh ayam menunjukkan bahwa
lingkungan / habitat ayam mendukung kehidupan induk semang antaranya,
yaitu semut.
Kejadian infeksi alami cacing pita yang cukup tinggi, berkaitan
dengan tersedianya inang antara spesifik seperti lalat rumah, semut dan
kumbang yang berperan dalam penyebaran cacing pita. Menurut Angraeny
(2007), jumlah lalat rumah yang tinggi di area peternakan dapat
menyebabkan semakin meningkatnya kejadian Cestodosis. Gaina (2007) juga
mengungkapkan bahwa semakin tinggi jumlah inang antara spesifik cacing

pita dalam hal ini kumbang dapat menyebabkan semakin


meningkatnya kejadian Cestodosis. Untuk kasus infeksi Raillietina
echinobothrida, berarti semakin tinggi jumlah semut sebagai induk semang
antara, maka kejadian cestodosis oleh cacing pita jenis ini juga akan
meningkat.
Tidak semua cacing pita unggas bersifat patogen. Gejala klinis
dapat terlihat pada ayam muda yang menderita infeksi berat (Suwarti 1990).
Ayam muda lebih peka terhadap infeksi cacing pita dibandingkan ayam
dewasa. Akibat infeksi cacing pita pada usus akan terlihat adanya enteritis
baik akut maupun kronis yang tergantung dari derajat infeksinya. Terjadinya
peradangan pada bagian serosa disebabkan tertanamnya skoleks cacing
menempal pada mukosa usus. Raillietina paling sering ditemukan dan
merupakan cacing pita yang dominan menginfeksi ternak ayam (Retnani &
Hadi 2007). Jenis cacing Choanotaenia infundibulum, Amoebotaenia cuneata,
Metroliasthes lucida dan Fimbriaria fasciolaris kurang patogen.
Davainea proglottina adalah cacing pita dengan patogenitas yang
sangat berbahaya pada ayam (Kusumamihardja 1992). Cacing jenis ini paling
patogen karena bagian skoleksnya melakukan penetrasi ke dalam mukosa
duodenum dan menyebabkan terjadinya enteritis hemoragis yang berat. Selain
itu, cacing ini juga dapat menimbulkan gejala klinis kekurusan, berat badan
menurun, bulu kering dan rontok serta nafas menjadi sesak pada ayam.
(Kusumamihardja 1992).
Setiap spesies cacing pita memiliki inang antara yang spesifik dan
berbeda-beda. Keberadaan inang antara yang beraneka ragam dengan populasi
yang tinggi di lingkungan peternakan akan menyebabkan semakin
meningkatnya kejadian Cestodosis pada peternakan ayam baik ayam kampung
maupun ayam ras. Manfaat pengetahuan jenis-jenis cacing pita adalah untuk
mengetahui apakah cacing pita yang ditemukan dalam saluran pencernaan
ayam bersifat patogen atau tidak. Hal tersebut bertujuan sebagai petunjuk
dalam tindakan pengendalian terhadap induk semang antara sebagai sumber
infeksi.

Sisterkoid

Skolek
Semut

Proglotid gravid

Gambar Daur Hidup Raillietiena echinobothrida


DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2007. Askaridiasis pada Ayam. Diakses 1 Mei 2009. http://www.vet-


indo.com/Kasus-Medis/Askaridiasis-pada-Ayam.html

.Anonimus. 2007. Waspada Cacing Pita pada Unggas. diakses tanggal 7 Mei
2009. www.poultryindonesia.com

Anonimus. 2008. Cacingan dan Pengobatannya. Diakses 9 Mei 2009.


http://infovet.blogspot.com/2008/07/cacingan-dan-pengobatannya.html

Beriajaya, dkk. 2009. Masalah Ascariasis Pada Ayam ( Lokakarya Nasional Inovasi
Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing). Bogor :
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius

J,Sauvani. 2009. Cacingan, Worm Disease.


http://www.glory- farm.com/psv/infeksi_parasit.htm

Noble, Elmer R dan Glenn A Noble. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.


Retnani, Elok Budi, dkk. 1998. Abstrak Penelitian : Studi terhadap Fluktuasi
Populasi Cacing Parasit pada Saluran Pencernaan Ayam Buras.
http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=penelitian/hasilcari&status
= buka&id_haslit=636.6+RET+s

, Elok Budi, dkk. 1997. Dinamika Populasi Cacing Slauran Pencernaan


Ayam Kampung : Pengaruh Tipe Iklim Terhadap Fluktuasi Populasi Cacing.
Bogor : Laboratorium Helmintologi, Jurusan Parasitologi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, IPB
Soekardono, Soeprapto & Soetijono Partoedjono. 1986. Parasit – Parasit Ayam.

Jakarta : Gramedia
Sujana, Arman. 2007. Kamus Lengkap Biologi. Jakarta : Mega Aksara.

Suprijatna, Edjeng, dkk. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Bandung : Penebar
Swadaya.http://info.medion.co.id/index.php/artikel/hewan-
besar/penyakit/cacingan-pada-sapi

Anda mungkin juga menyukai