Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

MATA KULIAH LABORATORIUM EPIDEMIOLOGI (3


SKS)
SEMESTER VII FKM UNDIP
IDENTIFIKASI PARASIT PADA FESES PASIEN

Oleh :
OKKYTA ANDANI INIKO PUTRI
25010113120170

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT


TROPIK/SEMESTER VII/TAHUN 2016

Praktikum dilakukan untuk memenuhi salah satu Tugas


MK Laboratoriu Epidemiologi Semester VII 3 sks

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEPTEMBER TAHUN 2016

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Tujuan............................................................................................................... 3
C. Manfaat............................................................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Feses............................................................................................................... 4
B. Cacing............................................................................................................ 4
C. Jenis Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses.................................................. 7
BAB III. METODE PRAKTIKUM
A. Tempat dan Waktu............................................................................................ 10
B. Sampling............................................................................................................10
C. Alat dan Bahan..................................................................................................10
D. Cara Kerja..........................................................................................................11
BAB IV. HASIL..........................................................................................................12
BAB V. PEMBAHASAN...........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu tentang parasit telah lama menunjukan peran pentingnya dalam
bidang kedokteran hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik
pada hewan dan manusia yang merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terjadinya urbanisasi yang tidak
diimbangi sarana dan prasarana, telah menambah banyaknya dearah kumuh di
perkotaan. Makin berkurangnya air bersih, pencemaran air dan tanah
menciptakan kondisi lingkungan fisik yang memungkinkan perkembangan
vektor dan sumber infeksi termasuk oleh penyakit parasitik.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau
menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat
dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejalaklinik
kurang dapat dipastikan. Misalnya, infeksi yang disebabkan oleh cacing
gelang (Ascaris lumbricoides). Infeksi ini lebih bamyak ditemukan pada anakanak yangsering bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga mereka
lebih mudahterinfeksi oleh cacain-cacing tersebut. Biasanya hal ini terjadi
pada daerah di mana penduduknya sering membuang tinja sembarangan
sehingga lebih mudah terjadi penularan.
Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam
keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang
akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa
usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang
kita makan yang dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal
produksi 100 200 gram / hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel

epitel, debris, celulosa, bakteri dan bahan patologis, Jenis makanan serta gerak
peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan
frekuensi defekasi normal 3x per-hari sampai 3x per-minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium
yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu
penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan
laboratorium yang modern , dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih
diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan
mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses ,
cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang
benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan
untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di
periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat
yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang
penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat
ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang
ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa
gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan
laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan
pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry,
2000).
Berdasarkan

latar

belakang

tersebut

maka

praktikum

untuk

mengidentifikasi parasit pada feses sangat penting dilakukan mengingat


bahwa adanya parasit dalam feses dapat berdampak terhadap kesehatan.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengidentifikasi adanya parasit dalam feses
2. Untuk mengidentifikasi adanya telur cacing pada feses
2

C. Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengidentifikasi adanya parasit dalam feses yang diperiksa
2. Dapat mengidentifikasi adanya telur cacing pada feses yang diperiksa

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FESES

Feses adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia


melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan di sepanjang sistem
saluran pencernaan (tractus digestifus). Pengertian tinja ini juga mencakup
seluruh bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk karbon
monoksida (CO2) yang dikeluarkan sebagai sisa dari proses pernapasan,
keringat, lendir dari ekskresi kelenjar, dan sebagainya. Feses (tinja) juga
merupakan hasil pemisahan dan terdiri dari : sisa sisa makanan; air; bakteri;
zat warna empedu.
Perkiraan Komposisi Tinja tanpa Air Seni
Komponen
Air

Kandungan (%)
66-80

Bahan organik (dari berat kering)

88-97

Nitrogen (dari berat kering)

5,7-7,0

Fosfor (sebagai P2O5) (dari berat kering)

3,5-5,4

Potasium (sebagai K2O) (dari berat kering)

1,0-2,5

Karbon (dari berat kering)

40-55

Kalsium (sebagai CaO) (dari berat kering)

4-5

C/N rasio (dari berat kering)

5-10

B. CACING
Parasit merupakan kelompok biota yang pertumbuhan dan hidupnya
bergantung pada makhluk lain yang dinamakan inang. Inang dapat berupa
binatang atau manusia. Menurut cara hidupnya, parasit dapat dibedakan
menjadi ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah jenis parasit yang
hidup di permukaan luar tubuh, sedangkan endoparasit adalah parasit yang
hidup di dalam organ tubuh inangnya. Parasit yang hidup pada inangnya
dalam satu masa/tahapan pertumbuhannya seluruh masa hidupnya sesuai
masing-masing jenisnya (Setyorini dan Purwaningsih, 1999).

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides.


Penyakit yang disebabkanya disebut askariasis. Cacing jantan berukuran 1030 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga
usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000
butir sehari, terdiri telur yang dibuahi, dan yang tidak dibuahi. Telur yang
dibuahi, besarnya kurang lebih 60x45 mikron dan yang tidak dibuahi 90x40
mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif
ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus
dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan
ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru
menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk ke rongga
alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari
trakea penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke
esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus, larva berubah menjadi
cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur
diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada dkk, 1998).
Cacing Ascaris lumbricoides merupakan jenis cacing gilig penyebab
ascariasis pada manusia maupun hewan diseluruh dunia. Kejadian ascariasis
sangat tinggi pada daerah tropis dan sub tropis cacing ini berparasit pada usus
halus, infeksi dapat terjadi melalui pakan, air minum, melalui kolostrum dan
uterus ( Levine, 1990 ). Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar
diantara Nematoda lainnya. Cacing betina memiliki ukuran besar dan panjang.
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran
10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, kadang-kadang sampai 39 cm
dengan diameter 3-6 mm. Pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus,
cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari
telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang
sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu

kurang lebih 3 minggu. Ascaris lumbricoides memiliki 4 macam telur yang


dapat dijumpai dalam feses yaitu telur fertil (telur yang dibuahi), infertil (telur
yang tidak dibuahi), decorticated (telur yang sudah dibuahi tetapi kehilangan
lapisan albuminnya) dan telur infektif (telur yang megandung larva) (Prianto
et al., 2006).

Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides

Gambar 2.2 Telur Ascaris lumbricoides infertil


Berikut adalah siklus hidup dari cacing Ascaris lumbricoides :
1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina mampu
menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar bersama
feses.
2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective
setelah18 hari sampai beberpa minggu di tanah.

3. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab, hangat,


tempat teduh).
4. Telur infektif tertelan.
5. Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian
menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran darah
dan terbawa sampai ke paru-paru.
6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14), menembus
dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya terlelan kembali.
Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu
yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai menjadi cacing dewasa
sekitar 2-3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam
tubuh (Olorcain, 2006).
C. JENIS PEMERIKSAAN TELUR CACING PADA FESES
Pemeriksaan telur cacing pada feses, terdapat dua macam cara
pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif.(Hardidjaja,1994)
1. Pemeriksaan secara Kualitatif
a. Metode Natif (Direct slide)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan
telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl
fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan
untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran
disekitarnya.
b. Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan
gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur
akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk
pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya
didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur
terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel
yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil

untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur


yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala
ataupun telur Ascaris yang infertil.
c. Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva
cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides
Stercolaris dan Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang
diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang
menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7
hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam air yang terdapat
pada ujung kantong plastik.
d. Metode Selotip
Metode ini digunakan untuk mengetahui adanya telur cacing
Enterobius vermicularis pada anak yang berumur 1 10 tahun.
2. Pemeriksaan secara Kuantitatif
a. Metode Kato
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau
disebut teknik Kato. Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan
sepotong cellahane tape. Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat
diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan
untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana dan murah.
Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa.

BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

A. WAKTU DAN TEMPAT


Kegiatan praktikum

mata

kuliah

Laboratorium

Epidemiologi

mengenai Parasitologi dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Kesehatan


Masyarakat, Universitas Diponegoro pada hari Jumat, 16 September 2016.
Berikut adalah rincian waktu dari kegiatan praktikum Parasitologi :
Tabel 2.1. Rincian Waktu Praktikum Parasitologi

No

Kegiatan

1.

Praktikum

2.

parasit
Praktikum identifikasi telur

Jumat

Senin

Selasa

identifikasi

cacing
3.

Pembacaan hasil

4.

Penyusunan laporan

B. SAMPEL
Sampel dalam praktikum parasitologi ini adalah feses dari seorang pasien.
C. ALAT DAN BAHAN
1. Pengaduk
2. Tabung Reaksi
3. Rak tabung
4. Objek Glass
5. Deck Glass
6. Pipet tetes
7. Mikroskop
8. NaCl jenuh
9. Eosin 2%
10. Sampel feses pasien
D. CARA KERJA
Praktikum kali ini menggunakan metode kualitatif yaitu metode apung,
adapun cara kerja pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
1. Siapkan alat dan bahan
2. Tuangkan NaCl jenuh kedalam beaker glass sebanyak 100 ml.
3. Campurkan 100 ml NaCl jenuh dengan 10 gram tinja kemudian diaduk
sehingga larut.
4. Selanjutnya disaring
5. Masukkan campuran tinja dan larutan NaCl yang telah disaring tersebut
ke dalam tabung reaksi hingga penuh dan terlihat cembung.

10

6. Didiamkan selama 5-10 menit kemudian ditutup dengan cover glass, lalu
7.

letakkan cover glass pada obyek glass.


Selanjutnya letakkan preparat pada meja spesimen kemudian amati

menggunakan mikroskop.
Sedangkan untuk melihat adanya parasit pada feses, cara kerja adalah sebagai
berikut :
1. Siapkan alat dan bahan praktikum
2. Ambil sampel feses secukupnya dan letakkan pada objek glass
3. Teteskan larutan eosin 2% pada sampel
4. Tutup menggunakan deck glass
5. Selanjutnya letakkan preparat pada meja spesimen kemudian amati
menggunakan mikroskop.
BAB IV
HASIL
A. HASIL
Pada praktikum identifikasi parasit pada feses ditemukan telur cacing
Ascaris lumbricoides infertil. Pengamatan telur cacing menggunakan
mikroskop dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 4.1 Telur Ascaris lumbricoides


Berdasarkan pemeriksaan feses dengan metode apung yang telah dilakukan,
ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides . Telur tersebut memiliki ciri-ciri

11

berbentuk oval, memiliki dinding ysng terdiri dari tiga lapis. Lapisan terluar
telur memiliki permukaan yang tidak rata, bergerigi, warnanya kecoklatcoklatan karena pigmen empedu, lapisan ini dinamakan lapisan albuminoid.
Lapisan tengah berupa lapisan kitin sedangkan lapisan dalam berupa membran
vitelin. Ciri-ciri yang telah disebutkan sesuai dengan ciri-ciri telur Ascaris
lumbricoides.
Sedangkan untuk pemeriksaan larva cacing dengan pewarnaan eosin 2% tidak
ditemukan larva cacing. Hasil pengamatan dibawah mikroskop dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 4.2 Pengecatan feses dengan eosin 2%

12

BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan pemeriksaan feses dengan metode apung yang telah dilakukan,
ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides pada feses pasien. Ascaris lumbricoides
adalah cacing parasit usus yang ukurannya paling besar. Biasa disebut dengan cacing
gelang yang hidup di vili duodenum dan jejunum. Jika terdapat telur cacing dalam
feses, berarti ada cacing dewasa yang hidup di usus.
Askariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh Nematoda Ascaris
lumbricoides. Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh
makhluk parasit. Gejala klinis Askariasis akan ditunjukkan pada stadium larva
maupun dewasa. Pada stadium larva, Ascaris dapat menyebabkan gejala ringan di hati
dan di paru-paru akan menyebabkan sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler merupakan
kumpulan tanda seperti demam, sesak napas, eosinofilia, dan pada foto Roentgen
thoraks terlihat infiltrat yang akan hilang selama 3 minggu. Pada stadium dewasa, di
usus cacing akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti tidak nafsu makan,
muntah-muntah, diare, konstipasi, dan mual. Bila cacing masuk ke saluran empedu
makan dapat menyebabkan kolik atau ikterus. Bila cacing dewasa kemudian masuk
menembus peritoneum badan atau abdomen maka dapat menyebabkan akut abdomen.
Diagnosis askariasis dilakukan dengan menemukan telur pada tinja pasien
atau ditemukan cacing dewasa pada anus, hidung, atau mulut. Infeksi cacing Ascaris
lumbricoides dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi kebersihan rumah,
lantai yang masih terbuat dari tanah, kurangnya frekuensi cuci tangan sebelum dan
sesudah makan atau buang air besar. Infeksi oleh parasit berlangsung tanpa gejala

13

atau menimbulkan gejala ringan. Diagnosis yang berdasarkan gejala klinik saja
kurang dapat dipastikkan, sehingga harus dengan bantuan pemeriksaan laboratorium.
Bahan yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasit, untuk cacing atau protozoa
usus maka bahan yang diperiksa adalah tinja. Identifikasi terhadap kebanyakkan telur
cacing dapat dilakukan dalam bebrapa hari setelah tinja dikeluarkan.

Tata laksana dari askariasis ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu terapi obat dan
tindakan operasi. Terapi obat yang dapat digunakan antara lain adalah albendazole
(400 mg) dan mebendazole (500 mg) dosis tunggal. Bisa juga digunakan levamisole
(2,5 mg/kgBB) ataupun pirantel pamoat (10 mg/kgBB), selain itu bisa diberikan
nitazoxanide (500 mg per hari selama tiga hari).
Untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas, maka upaya pencegahan
dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana dalam memutus siklus penyebaran
infeksinya. Pemberian obat anti cacing secara berkala setiap 6 bulan dapat pula
dilakukan. Menjaga kebersihan diri, lingkungan serta sumber bahan pangan adalah
merupakan sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing.
Pencegahan dan upaya penanggulangan didasarkan kepada siklus hidup dan
sifat telur cacing ini, maka upaya untuk pencegahan dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a. Penyuluhan kesehatan tentang higiene dan sanitasi.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
c. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih
dahulu dengan menggunakan sabun.

14

d.

Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah


dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.

DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Heryy. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas
kedokteran UI, Jakarta.
Hardidjaja, Pinardi & TM. 1994. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. FKUI,
Jakarta.
Kadarsan, S.2005. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.
Levine,ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Prof. Dr.
Gatut Ashadi. Gadjah Mada University Press. Jakarta.
Setyorini, A. C. dan Purwaningsih, E. 1999. Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi.
Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor.

15

Anda mungkin juga menyukai