Anda di halaman 1dari 19

TRAUMA RENAL

Disusun Oleh:

Faustina Naben 2019030076


Iis Maslukhah 2019030004

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
STIKES HUSADA JOMBANG
2020/2021

BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
TRAUMA RENAL
A. PENGERTIAN
Trauma renal adalah terjadinya cedera pada panggul, punggung, dan
abdomen atas yang dapat menyebabkan memar, laserasi, atau ruptur aktual
pada ginjal.(Brunerr & Suddarth.2002).
Normalnya ginjal dilindungi oleh susunan tulang iga, muskulatur
punggung posterior, dan oleh lapisan dinding abdomen serta visera
anterior.Semuanya dapat digerakkan dan “difiksasi” hanya pada pedikel renal
(batang pembuluh darah renal dan ureter).Adanya cedera traumatik,
menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga paling bawah, sehingga terjadi
konstusi dan ruptur.Fraktur iga atau fraktur prosesus transversus lumbar
vertebra atas dapat dihubungkan dengan kontusi renal atau laserasi.
Cedera dapat tumpul (kecelakaan lalulintas, jatuh, cedera atletik, akibat
pukulan) atau penetrasi (luka tembak, luka tikam).Lalai dalam menggunakan
sabuk pengaman sangat berperan dalam menimbulkan trauma renal pada
kecelakaan lalulintas. Trauma renal sering dihubungkan dengan cedera lain;
lebih dari 80% pasien trauma renal mengalami cedera pada organ internal yang
lain.
B. ETIOLOGI
Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal , yaitu :
1. Trauma tajam
2. Trauma iatrogenik
3. Trauma tumpul
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas
atau pinggang merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau
radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography,
percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin
meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik
semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL.
Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal .
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal.Dengan
lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian
trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung.Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma
berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya
jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di
dalam rongga peritoneum.Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel
ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.
Ada beberapa faktor yang turut menyebabkan terjadinya trauma
ginjal.Ginjal yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau corpus
vertebrae, baik karena trauma langsung ataupun tidak langsung akibat
deselerasi.Kedua, trauma yang demikian dapat menyebabkan peningkatan
tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat sehingga mengakibatkan
terjadinya ruptur.
C. KLASIFIKASI
American Association for Surgery of Trauma membagi trauma ginjal atas 5
gradasi :
Grade 1 :
 Kontusio renis
 Terdapat perdarahan di ginjal tanpa kerusakan jaringan, kematian jaringan
maupun kerusakan kaliks
 Hematuria dapat mikroskopik/ makroskopik
 Pemeriksaan CT-scan normal
Grade 2 :
 Hematom subkapsular atau perirenal yang tidak meluas, tanpa adanya
kelainan parenkim.
Grade 3 :
 Laserasi ginjal tidak melebihi 1 cm
 Tidak mengenai pelviokaliks
 Tidak terjadi ekstravasasi.
Grade 4 :
 Laserasi lebih dari 1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi
urin
 Laserasi yang mengenai korteks, medulla, dan pelviokaliks.
Grade 5 :
 Cedera pembuluh darah utama
 Avulsi pembuluh darah è gangguan perdarahan ginjal
 Laserasi luas pada beberapa tempat

Mekanisme dan keparahan cedera.Trauma renal digolongkan


berdasarkan mekanisme cedera (tumpul versus penetrasi), lokasi anatomis,
atau keparahan cedera.
 Trauma renal minor, mencakup kontusi, hematom, dan beberapa
laserasi di korteks ginjal
 Cedera renal Mayor mencakup laserasi mayor disertai ruftur kapsul
ginjal
 Trauma renal Kritikal, meliputi laserasi multipel yang parah pada ginjal
disertai cedera pada suplai vaskuler
D. PATOFISIOLOGI
Secara anatomis ginjal dilindungi oleh susunan tulang iga, otot punggung
posterior, lapisan dinding abdomen, serta visera anterior.Oleh Karena itu,
cidera ginjal tidak jarang diikuti oleh cidera organ – organ yang mengitarinya.
Adanya cidera traumatik, menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga
paling bawah shingga terjadi kontusi dan ruptur.Fraktur iga atau fraktur
prosesus transverses lumbar vertebra atas dapat dihubungkan dengan kontusi
renal atau laserasi.Cidera dapat tumpul (kecelakaan lalu lintas, jatuh, cidera
atletik, akibat pukulan) atau penetrasi (luka tembak, luka tikam).
Ketidakdisiplinan dalam menggunakan sabuk pengaman akan memberikan
reaksi goncangan ginjal didalam rongga retroperitoneum dan menyebabkan
regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri
renalis. Robekan ini akan memeacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang
selanjutnya dapat menimbulkan thrombosis arteri renalis beserta cabang –
cabangnya. Kondisi adanya penyakit pada ginjal seperti hidronefrosis, kista
ginjal, atau tumor ginjal akan memperberat suatu trauma pada kerusakan
struktur ginjal.
Cidera ginjal akan menyebabkan menifestasi kontusi, laserasi, rupture dan
cidera pedikel renal, atau laserasi internal kecil pada ginjal. Secara fisiologis,
ginjal menerima setengah dari aliran darah aorta abdominal, oleh karena itu
meskipun hanya terdapat laserasi renal yang kecil, namun hal ini dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak. Cidera ginjal akan memberikan
berbagai manifestasi masalah keperawatan.
CIDERA TUMPUL

KERUSAKAN
STRUKTUR GINJAL

KONTUSI,LASERASI,RUPTU
R PADA GINJAL

PEREGANGAN DR RESPON PERDARAHAN


SARAF KEMIH ARTERI GINJAL

KOLIK RENAL
RESIKO SYOK
HIPOVOLEMIK

INTERVENSI BEDAH
NYERI PEMENUHAN INFORMASI
PRA OPERASI

RESPON PASCA Kurang pengetahuan


BEDAH

Cemas

RESPN LUKA PASCA BEDAH INTAKE NUTRISI PENURUNAN FISIOLOGI


PSIKOLOGIS TIDAK ADEKUAT GINJAL

KECEMASAN NYERI RESTI KERIDAK (AKTUAL)


INFEKSI SEIMBANGAN NUTRISI RESIKO HIPOVOLEMIK
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri
2. Hematuria
3. Mual dan muntah
4. Distensi abdomen
5. Syok hipovolemik
6. Nyeri pada bagian punggung
7. Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar
8. Massa di rongga panggul
9. Ekimosis
10. Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul
F. KOMPLIKASI
Komplikasi dini terjadi dalam bulan pertama setelah injuri, dan dapat
terjadi perdarahan, infeksi, perinefrik abses, sepsis, fistula urinaria, hipertensi,
extravasi urinaria, dan urinoma.Adapun komplikasi yang tertunda, yaitu
perdarahan, hidronefrosis, pembentukan calculi, pyelonefritis kronik,
hipertensi, arterivenous fistula, pseudoaneurisma.
Perdarahan retroperitoneal yang tertunda, biasanya terjadi pada beberapa
minggu dari terjadinya injuri dan dapat mengancam jiwa.Embolisasi
angiografik yang selektif adalah pengobatan pilihan.
Pembentukan abses Perinephric biasanya dapat diatasi dengan drainase
perkutan. Manajemen perkutan memberikan risiko yang minimal pada
kerusakan ginjal dibandingkan re-operasi, yang dapat menyebabkan
nephrectomy ketika jaringan yang terinfeksi sulit untuk beregenerasi.
Hipertensi dapat terjadi secara akut sebagai akibat dari kompresi eksternal,
karena hematoma perirenal dan membuat jaringan ginjal iskemik.
Renin - yang dimediasi hipertensi dapat terjadi jangka panjang sebagai
akibat darikomplikasi; etiologinya termasuk trombosis arteri ginjal, trombosis arteri
segmental, dan fistula arteriovenosa. Arteriografi dapat memberi informasi dalam
kasus-kasus pasca-trauma hipertensi.
Pengobatan diperlukan jika hipertensi tetap ada dan mungkin termasuk
manajemen medis, eksisi dari segmen iskemik, atau total nephrectomy. Dalam
waktu jauh lebih lama setelah trauma, hipertensi dapat tetap ada karena
perubahan patologis, yang menghasilkan jaringan ginjal iskemik dengan
kompresi atau stenosis dari arteri ginjal.
Ekstravasasi urin setelah dilakukan rekonstruksi pada ginjal sering reda
tanpa intervensi selama obstruksi saluran kemih dan infeksi biasanya tidak ada.
Saluran kemih, stenting retrograde dapat memperbaiki drainase dan
memungkinkan penyembuhan. Ekstravasasi urin yang persisten dari ginjal
dinyatakan layak setelah trauma tumpul sering merespon stent penempatan dan
/ atau drainase perkutan.
Fistula arteriovenosa biasanya hadir dengan onset hematuria yang
tertunda secara signifikan, paling sering setelah trauma . Embolisasi perkutan
efektif untuk gejala fistula arteriovenosa , tetapi yang lebih besar mungkin
memerlukan pembedahan. Hidronefrosis mungkin memerlukan koreksi bedah
atau nephrectomy.
Perkembangan pseudoaneurysms adalah komplikasi yang jarang terjadi
setelah trauma ginjal tumpul.Dalam laporan kasus banyak, embolisasi
transkateter tampaknya menjadi solusi, minimal invasif dapat diandalkan.Kolik
ginjal akut dari rudal tetap merupakan komplikasi yang jarang dari cedera rudal
ke perut dengan rudal dipertahankan dan dapat dilakukan endoskopi.
Komplikasi lain yang tidak biasa, seperti obstruksi duodenum, merupakan
hasil dari hematoma retroperitoneal akibat trauma tumpul ginjal
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengendalikan hemoragi, nyeri dan
infeksi, untuk mempertahankan dan melindungi fungsi ginjal, dan untuk
mempertahankan drainase urin,
1. Hematuria merupakan manifestasi yang paling umum, hematuria mungkin
tidak muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.
Sehingga urin yang dikumpulkan dan dikirimkan ke laboratorium untuk
dianalisis guna mendeteksi adanya sel darah merah dan untuk mengikuti
perjalan pendarahan. Kadar hematokrit dan hemoglobin dipantau dengan
ketat untuk melihat adanya hemoragi.
2. Pantau adanya oliguria dan tanda syok hemoragik, karena cedera pedikel
atau ginjal yang hancur dapat menyebabkan eksanguinasi (kehilangan
banyak darah yang mematikan).
3. Hematoma yang yang meluas dapat menyebabkan ruptur kapsul ginjal.
Untuk mendeteksi adanya hematoma, area disekitar iga paling bawah,
lumbar vertebra atas dan panggul, dan abdomen dipalpasi terasa nyeri
tekan.
4. Terabanya massa disertai nyeri tekan,bengkak dan ekimosis pada panggul
atau abdominal menunjukkan adanya hemoragi renal.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Ada beberapa tujuan pemeriksaan diagnostik pada pasien yang dicurigai
menderita trauma ginjal, yaitu :
1. Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang
tepat dan menentukan prognosisnya
2. Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma
3. Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral
4. Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya
a. Plain Photo
Adanya obliterasi psoas shadow menunjukkan hematom
retroperitoneaal atau ekstravasasi urin. Udara usus pindah dari posisinya.
Pada tulang tampak fraktur prosesus transversalis vertebra atau fraktur
iga.(Donovan , 1994)
b. Intravenous Urography (IVU)
Pada traumaginjal, semua trauma tembus atau trauma tumpul dengan
hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan eksplorasi segera harus
dilakukan single shot  high dose intravenous urography (IVU) sebelum
eksplorasi ginjal. Single shot IVU ini bersisi 2 ml/kgBB kontras standar
60% ionic atau non ionic yang disuntikkan intra vena, diikuti satu
pengambilan gambar abdomen 10 menit kemudian. Untuk hasil yang
baik sistol dipertahankan diatas 90 mmHg. Untuk menghemat waktu
kontras dapat disuntikkan pada saat resusitasi awal. Keterbatasan
pemeriksaan IVU adalah tak bisa mengetahui luasnya trauma.  Dengan
IVU bisa dilihat fungsi kedua ginjal, serta luasnya ekstravasasi urin dan
pada trauma tembus bisa mengetahui arah perjalanan peluru pada ginjal.
IVU sangat akurat dalam mengetahui ada tidaknya traumaginjal. Namun
untuk staging trauma parenkim, IVU tidak spesifik dan tidak sensitive.
Pada pasien dengan hemodinamik stabil, apabila gambaran IVU
abnormal dibutuhkan pemeriksaa lanjutan dengan Computed 
Tomography (CT) scan. Bagi pasien hemodinamik tak stabil, dengan
adanya IVU abnormal memerlukan tindakan eksplorasi.
c. CT Scan
Stagingtraumaginjal paling akurat dilakukan dengan sarana CT scan.
Teknik noninvasiv ini  secara jelas memperlihatkan laserasi parenkim
dan ekstravasasi urin, mengetahui infark parenkim segmental,
mengetahui ukuran dan lokasi  hematom retroperitoneal, identifikasi
jaringan nonviable serta  cedera terhadap organ sekitar seperti lien, hepar,
pankreas  dan kolon (Geehan , 2003). CT scan telah menggantikan
pemakaian IVU dan arteriogram.Pada kondisi akut, IVU menggantikan
arteriografi karena secara akurat dapat memperlihatkan cedera arteri baik
arteri utama atau segmental. Saat ini telah  diperkenalkan suatu helical
CT scanner  yang mampu melakukan imaging dalam waktu 10 menit
pada trauma abdomen (Brandes , 2003).
d. Arteriografi
Bila pada pemeriksaan sebelumnya tidak semuanya dikerjakan,
maka arteriografi bisa memperlihatkan cedera parenkim dan arteri utama.
Trombosis arteri dan avulsi pedikel ginjal terbaik didiagnosis dengan
arteriografi terutama pada ginjal yang nonvisualized dengan IVU.
Penyebab utama ginjal nonvisualized pada IVU adalah avulsi total
pedikel, trombosis arteri, kontusio parenkim berat yang menyebabkan
spasme vaskuler. Penyebab lain adalah memang tidak adanya ginjal baik
karena kongenital atau operasi sebelumnya.(Mc Aninch , 2000)
e. Ultra Sonography (USG)
Pemeriksa yang terlatih dan berpengalaman dapat mengidentifikasi
adanya laserasi ginjal maupun hematom. Keterbatasan USG adalah
ketidakmampuan untuk        membedakan darah segar dengan
ekstravasasi urin, serta ketidakmampuan mengidentifikasi cedera pedikel 
dan infark segmental. Hanya dengan Doppler berwarna maka cedera
vaskuler dapat didiagnosis. Adanya fraktur iga , balutan, ileus intestinal,
luka terbuka serta obesitas membatasi visualisasi ginjal.(Brandes, 2003).

BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA RENAL
A. Anamnesis
1. Kaji mekanisme cedera yang mengenai ginjal
2. Kaji keluhan nyeri secara PQRST
3. Kaji ada riwayat penyakit ginjal pada masa sebelumnya yang dapat
memperburuk reaksi cedera.
4. Kaji apakah ada riwayat penyakit lain seperti DM dan hipertensi
5. Kaji pemakaian obat-obatan sebelumnya dan sesudah kemana saja klien
meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya
6. Kaji pengaruh cedera terhadap respons psikologis klien
B. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
1) Kaji penyebab terjadinya obstruksi atau gangguan jalan nafas seperti
tersedak adanya benda asing
2) Non obstruksi, kaji penyebab adanya trauma medula spinalis
b. Breathing
1) Kaji penyebab adanya penurunan kesadaran
2) Kaji penyebab adanya fraktur iga
3) Kaji penyebab adanya cyanosis sentral sekitar mulut
c. Circulation
1) Kaji penyebab adanya gangguan berhubungan dengan darah dan
pembuluh darah
2) Kaji penyebab adanya perdarahan
3) Kaji penyebab nadi tidak teratur
4) Kaji penyebab CRT lebih dari 2 detik
5) Kaji penyebab cyanosis perifer
6) Kaji penyebab pucat
d. Neurologi
1) Nilai GCS (E : M: V: )
2) Kesadaran kuantitatif
e. Diasability
1) Pupil isokor , anisokor
2) Refleks cahaya
3) Besar pupil
f. Exprosure
Kaji adanya luka atau jejas
g. Folley catheter
1) Pemasangan kateter
2) Urine yang dikeluarkan
3) Warna urine
C. Pemeriksaan fisik khusus
1. Inspeksi :
Pemeriksaan secara umum,klien terlihat sangat kesakitan oleh adanya
nyeri.pada status lokasi biasanya didapatkan adanya jejas pada pnggang atau
punggung bawah,terlihat tanda ekimosis dan laserasi atau luka di abdomen
lateral dan rongga panggul.pemeriksaan urine output didapatkan adanya
hematuria.pada trauma rupture perikel,klien sering kali dating dalam
keadaan syok berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin
lama makin besar
2. Palpasi :
Didapatkan adanya massa pada rongga panggul,nyeri tekan pada region
kostovertebra.
D.  DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan perfusi jaringan; ginjal b/d trauma
2. Nyeri akut b/d trauma
3. Gangguan eliminasi urine b/d trauma
4. Resiko hipertensi b/d infark parenkim renal
5. Resiko syok hipovolemik b/d pengeluaran darah masin pada arteri renal
6. Resiko tinggi infeksi b/d adanya luka pembedahan

E.  INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan; ginjal b/d trauma
Tujuan : Mempertahankan fungsi renal agar maksimal
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital
Rasional : pengamatan tanda-tanda vital membantu memutuskan
tindakan keperawatan yang tepat.
b. Kaji daerah abdomen, dada dan punggung
Rasional : mengetahui adanya pembengkakan, palpasi massa, edema,
ekimosis, perdarahan atau ekstravasasi urine.
c. Berikan cairan intra vena
Rasional : terapi intra vena berguna dalam memperbaiki tekanan
darah dan perfusi ginjal
d. Monitor hematuria
Rasional : hematuria mengidentifikasi perdarahan renal.
e. Anjurkan pasien untuk meningkatkan asupan cairan bila diindikasikan.
Rasional : peningkatan pemasukan cairan membantu kelancaran
pengeluaran urine; menilai faal ginjal.
2. Diagnosa nyeri b/d trauma
Tujuan : Nyeri dapat terkontrol
Intervensi :
a. Kaji intensitas nyeri, perhatikan lokasi dan karakteristik
Rasional : hasil pengkajian membantu evaluasi derajat ketidak
nyamanan dan ketidak efektifan analgesik atau menyatakan
adanya komplikasi.
b. Bedrest dan atur posisi yang nyaman bagi pasien
Rasional:   posisi yang nyaman dapat membantu meminimalkan nyeri.
c. Anjurkan pasien untuk menghindari posisi yang menekan lumbal,
daerah trauma.
Rasional : nyeri akut tercetus panda area ginjal oleh penekanan.
d. Lakukan kompres dingin area ekimosis bila tanpa kontra indikasi
Rasional : kompres dingin mengkontriksi vaskuler.
e. Berikan analgesik sesuai dengan resep
Rasional: analgesic dapat menghilangnkan nyeri dan ketidaknyamanan.
3. Diagnosa Gangguan eliminasi urine b/d trauma
Tujuan : Eliminasi urine cukup atau kembali normal
Intervensi:
a. Monitor asupan dan keluaran urine
Rasional : hasil monitoring memberikan informasi tentang fungsi ginjal
dan adanya komplikasi. Contohnya infeksi dan perdarahan.
b. Monitor paralisis ileus (bising usus)
Rasional: Gangguan dalam kembalinya bising usus dapat
mengindikasikan adanya komplikasi, contoh peritonitis, obstruksi
mekanik.
c. Amankan inspeksi, dan bandingkan setiap specimen urine.
Rasional : berguna untuk mengetahui aliran urine dan hematuria.
d. Lakukan kateterisasi bila diindikasikan.
Rasional : kateterisasi meminimalkan kegiatan berkemih pasien yang
kesulitan berkemih manual.
e. Pantau posisi selang drainase dan kantung sehingga memungkinkan
tidak terhambatnya aliran urine.
Rasional : hambatan aliran urine memungkinkan terbentuknya tekanan
dalam saluran perkremihan, membuat resiko kebocoran dan kerusakan
parenkim ginjal.
4. Diagnosa resiko hipertensi b/d infark parenkim ginjal
Tujuan              : Untuk meminimalkan resiko/ mencegah hipertensi.
Intervensi          :
a. Awasi denyut jantung, tekanan darah dan CVP
Rasional : Takikardi dan hipertensi terjadi karena (1) Kegagalan ginjal
untuk mengekskresi urine, (2) Perubahan fase oliguria,dan atau (3)
Perubahan panda system aldosteron rennin-angio tensin.
b. Amati warna kulit, kelembapan, suhu dan masa pengisian kapiler
Rasional : Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan pengisian kapiler
lambat mungkin berkaitan dengan vasokontriksi.
c. Berikan lingkungan tenang dan nyaman
Rasional :Lingkungan yang tenang dan nyaman membantu menurunkan
ransang simpatis , meningkatkan relaksasi.
d. Pertahankan pembatasan aktivitas, seperti istirahat ditempat tidur atau
kursi, jadwal periode istirahat tanpa gangguan
Rasional :Aktivitas yang minimal dan periode istirahat yang tepat
dijadwalkan membantu menghindari stress dan ketegangan yang
mempengaruhi tekanan darah.
e. Kolaborasi terapi obat-obatan
Rasional : Inhibitor simpatis dapat menekan pelepasan renin.
5. Resiko syok hipovolemik b/d pengeluaran darah masin pada arteri
renal
Tujuan : gangguan volume dan syok hipovolemik teratasi
Intervensi :
1. Monitoring status cairan (turgor kulit,membrane mukosa,urine output)
Rasional : jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan
status cairan.penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya
produksi urine ,monitoring yang ketat pada produksi urine < 600ml/hari
karena merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik
2. Kaji perdarahan
Rasional : perdarahan haru dikendalikan
3. Auskultasi TD
Rasional :hipotensi dapat terjadi pada hipovolemik yang memberikan
manifestasi sudah terlibatnya system kardiovaskular untuk melakukan
kompensasi mempertahankan tekanan darah.
4. Kaji warna kulit,suhu,sianosis,nadi perifer,secara teratur
Rasional : mengetahui adanya pengaruhi adanya peningkatan tahanan
perifer.
5. Pantau frekuensi jantung dan iramanya
Rasional : perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukan
komplikasi disritmia
6. Kolaborasi dalam mempertahankan cairan secara intravena dan
pembedahan
Rasional : jalur yang paten untuk pemberian cairan cepat dan
memudahkan perawat dalam melakukan control intake dan output
cairan dan pembedahan ditunjukan pada trauma ginjal mayor dengan
tujuan untuk segera menghentikan perdarahan,slanjutnya mungkin perlu
dilakukan debridement,reparasi ginjal atau tidak jarang jarang harus
dilakukan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.
6. Resiko tinggi infeksi b/d adanya luka pembedahan
Tujuan : dalam 12x24 jam tidak terjadi infeksi,terjadi perbaikan pada
integritas jaringan lunak
Intervensi :
1. Kaji jenis pembedahan ,hari pembedahan dan apakah adanya order
khusus dari tim dokter bedh dalam melakukan perawatan luka
Rasional : mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan
yang diharapkan.
2. Lakukan mobilisasi miring kiri-kanan tiap 2 jam
Rasional : mencegah penekanan setempat yang berlanjut pada nekrosis
jaringan lunak.
3. Lakukan perawatan luka
a. Lakukan perawatan luka steril pada hari ke 3 setelah operasi dan
diulangi setiap 2 hari sekali
Rasional : perawatn luka sebaiknya tidak setiap hari untuk
menurunkan kontak tindakan dengan luka yang dalam kondisi steril
sehingga mencegah kontaminasi kuman ke luka bedah.
b. Bersihkan luka denga cairan antiseptic sejenis iodine providum
dengan cara swabbing dari arah dalam ke luar.
Rasional : pembersihan debris dan kuman sekitar luka dengan
mengoptimalkan kelebihan dari iodine providum sebagai antiseptic
dan dengan arah dari dalam keluar dapat mencegah kotaminasi
kuman ke jaringan luka.
c. Bersihkan bekas sisa iodine providum dengan alcohol 70% atau
normal salin dengan cara swabbing dari arah dalam ke luar.
Rasional : antiseptic iodine providum mempunyai kelemahan dalam
menurunkan proses epitelisasi jaringan sehingga memperlambat
pertumbuhan luka,maka harus dibersihkan dengan alcohol atau
normal saline.
d. Tutuplah luka dengan kasa steril dan tutup dengan plester adhesive
yang menyeluruh menutupi kasa.
Rasional : penutupan secara menyembuh dapat menghindari
kontaminasi dari benda atau udara yang bersentuhan dengan luka
bedah.

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah ed.8;vol 2.
Jakarta : EGC
Hudak and Gallo (1995).Keperawtan Kritis, Pendekatan Holistik. Jakarta. EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku saku : Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Williams & Wilkins.Newberry, Lorene, RN,MS,CEN. 2003. Emergency Nursing


Principleand Practice. Ed.5. Mosby: Philadelphia.

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,, vol. 2.


Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai