Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ESSAY

KERACUNAN MAKANAN DAN BOTULISME

Disusun oleh :

Nama : Putu Demas Ardina Merta


Kelas :B
NIM : 018.06.0060
Dosen : dr. I Gusti Ngurah Mayura, M.Biomed., Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
TAHUN 2019-2020
KERACUNAN MAKANAN DAN BOTULISME

Keracunan makanan, atau disebut sebagai foodborne illness, merupakan


kondisi klinis yang umumnya hanya pada sistem gastrointestinal dan bersifat self-
limited. Keracunan makanan disebabkan oleh kontaminasi pada makanan atau
minuman dengan kontaminan dapat berupa bakteri, virus, parasit, atau bahan kimia.
Gejala keracunan makanan dapat terlihat setelah beberapa menit, jam, atau hari
setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Kecepatannya tergantung
dari jenis makanan dan penyebabnya. Umumnya, keracunan makanan bukanlah
kondisi yang serius dan dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, kondisi ini
terkadang juga dapat membahayakan dan membutuhkan penanganan khusus.
Penyebab terjadinya keracunan adalah makanan yang telah terkontaminasi
kuman atau racun. Kontaminasi tersebut dapat terjadi saat makanan melalui proses
awal produksi, seperti saat penanaman hingga pengiriman, atau saat sedang
diproses untuk di konsumsi. Untuk mengatasi keracunan makanan, dehidrasi
harus dicegah sebaik mungkin sebagai pertolongan pertama dari keracunan
makanan. Untuk mencegah dehidrasi penderita dapat minum air putih sedikit
demi sedikit, serta menghindari makanan yang merangsang, seperti makanan
pedas atau terlalu manis untuk mencegah muntah. Hindari pula mengonsumsi obat
antimuntah maupun antidiare. Keracunan makanan dapat menyebabkan beberapa
komplikasi, dari yang ringan hingga yang lebih serius. Komplikasi yang paling
sering terjadi adalah dehidrasi. Sedangkan, komplikasi yang lebih serius di
antaranya adalah sindrom hemolitik uremik.
Botulisme adalah penyakit dengan paralisis otot dan dapat berpotensi
menimbulkan gagal napas hingga kematian yang disebabkan oleh neurotoksin
botulinum. Ada 3 tipe botulisme yaitu botulisme infant, food borne, dan wound,
pada luka yang terkontaminasi tanah. Toksin ini paling banyak dihasilkan oleh
organisme Clostridium botulinum dan sebagian kecil diproduksi oleh Clostridium
butyricum dan Clostridium baratii. Sebenarnya, bakteri ini tidak berbahaya bila
berada di kondisi lingkungan yang normal. Tetapi, bakteri tersebut akan
melepaskan racun ketika kekurangan oksigen. Misalnya, bila berada di dalam
lumpur dan tanah yang tidak bergerak, di kaleng tertutup, botol, atau di dalam
tubuh manusia.. Racun yang dihasilkan bakteri ini dikenal sebagai salah satu
racun paling kuat. Oleh karena itu, walaupun tergolong jarang, botulisme
termasuk kondisi serius yang mengancam nyawa.
Masing-masing jenis botulisme dipicu oleh faktor yang berbeda, Foodborne
botulism. Botulisme jenis ini terjadi akibat konsumsi makanan kalengan rendah
asam yang tidak dikemas dengan baik, baik itu sayuran, buah-buahan, maupun
ikan dan daging. Bakteri C. botulinum yang ada di dalam makanan kemasan
tersebut dapat mengganggu fungsi saraf dan menyebabkan kelumpuhan. Wound
botulism. Botulisme ini terjadi ketika bakteri C. botulinum masuk ke luka, yang
sering terjadi pada orang dengan penyalahgunaan NAPZA. Bakteri pemicu
botulisme dapat mengontaminasi zat terlarang, seperti heroin. Ketika NAPZA
masuk ke dalam tubuh, bakteri di dalam zat tersebut akan berkembang biak dan
menghasilkan racun. Selama satu dekade terakhir, kasus wound
botulism meningkat pada penyalahgunaan heroin suntik. Pada beberapa
kasus, wound botulism juga terjadi ketika bagian dalam hidung rusak akibat
menghirup kokain. Infant botulism. Infant botulisme terjadi ketika bayi
mengonsumsi makanan yang mengandung spora bakteri C. botulinum, atau bila
bayi terpapar tanah yang terkontaminasi bakteri tersebut. Spora bakteri yang
tertelan oleh bayi akan berkembang biak dan melepaskan racun pada saluran
pencernaan. Meski demikian, spora bakteri ini tidak berbahaya bagi bayi berusia
lebih dari 1 tahun, karena tubuhnya sudah membangun kekebalan untuk melawan
bakteri.
Waktu kemunculan gejala botulisme bervariasi pada tiap penderita, mulai
dari hitungan jam hingga beberapa hari setelah terpapar racun dari
bakteri Clostridium botulinum. Gejala awal botulisme umumnya meliputi kram
perut, mual dan muntah, diare, serta kejang. Racun yang dihasilkan bakteri ini
menyerang sistem saraf otak, tulang belakang, dan saraf lainnya, serta dapat
menyebabkan paralisis atau kelumpuhan otot. Gejala lain yang dirasakan
penderita tergantung pada penyebab dan jenis botulisme, antara lain : disfagia dan
gangguan berbicara, mulut kering, otot wajah lemah, gangguan pengelihatan,
kelopak mata terkulai, sesak nafas, mual muntah, kram perut, dan kelumpuhan.
Pada foodborne botulism, gejala di atas umumnya muncul 12-36 jam setelah racun
masuk ke tubuh. Namun, bisa juga muncul beberapa hari setelahnya. Sedangkan
pada penderita wound botulism, gejala di atas baru muncul 10 hari setelah
terpapar racun. Untuk kasus infant botulism, gejala timbul 18-36 jam setelah
racun masuk ke tubuh, meliputi: mengiler, tampak mengantuk, kesulitan
mengontrol gerak kepala, rewel, konstipasi, sulit diberi ASI atau makan, suara
tangisan lemah, lemas, dan akhirnya kelumpuhan.
Terdapat beberapa jenis neurotoksin botulinum, namun tipe A, B, E, dan F
adalah tipe toksin yang paling sering dijumpai menyebabkan paralisis, gagal
napas, hingga kematian. Neurotoksin botulinum yang menyebar secara hematogen
dalam tubuh akan menyebabkan blokade transmisi neuromuskular sehingga
menimbulkan gejala klinis yang khas berupa paralisis flaksid otot involunter,
tanpa disertai gangguan sensorik.
Sebagai langkah awal untuk mendiagnosis botulisme, pasien akan
ditanyakan makanan apa saja yang dikonsumsi pasien selama beberapa hari
terakhir. Pasien juga akan ditanyakan apakah memiliki luka terbuka yang bisa
menjadi jalan masuk bakteri. Sedangkan pada kasus infant botulism, sang wali
dari anak akan ditanyakan apakah belakangan ini bayi mengonsumsi madu,
mengalami kejang, atau terlihat lesu.
Sebenarnya, tes darah dan pemeriksaan sampel feses (tinja) dapat
membantu menentukan diagnosis infant botulism dan foodborne botulism. Hanya
saja, karena butuh beberapa hari untuk mendapatkan hasil dua tes tersebut,
pemeriksaan fisik lebih diutamakan untuk mendiagnosis botulisme. Pemeriksaan
fisik yang dilakukan adalah dengan melihat tanda-tanda kelemahan otot atau
kelumpuhan, seperti kelopak mata lemas dan suara lemah. Namun demikian,
untuk memastikan diagnosis, dokter dapat menlakukan uji pencitraan guna
melihat kerusakan pada bagian dalam kepala dan otak. Pemeriksaan penunjang
yang dapat menguatkan diagnosis botulisme adalah EMG/Elektromiografi dan
pemeriksaan cairan serebrospinal (CFS test).
Metode pengobatan botulisme tergantung kepada jenisnya. Misalnya, pada
kasus foodborne botulism, maka perlu diberikan obat untuk merangsang muntah
dan obat pencahar guna membuang racun di sistem pencernaan. Sedangkan
pada wound botulism, operasi dapat dilakukan untuk membuang jaringan yang
terinfeksi. Penanganan/ metode yang umumnya diterapkan untuk menangani
penderita botulisme adalah pemberian antitoksin, pemberian antibiotic, pemberian
alat bantu pernafasan bagi pasien yang susah bernafas, dan terapi rehabilitasi
untuk pasien-pasien yang telah sembuh dari botulisme.
Pemberian suntik antitoksin diberikan pada
penderita foodborne dan wound botulism untuk mengurangi risiko komplikasi.
Antitoksin akan mencegah racun berikatan dengan ujung saraf. Ikatan racun
dengan ujung saraf inilah yang membuat saraf menjadi lumpuh. Namun,
antitoksin tidak dapat melepaskan ikatan yang sudah terjadi antara saraf dengan
racun. Untuk pulih, perlu waktu beberapa bulan dengan dibantu fisioterapi.
Antitoksin juga dapat diberikan pada bayi, namun dengan jenis yang berbeda,
yaitu imunoglobulin botulisme. Pemberian antibiotic hanya direkomendasikan
untuk penderita wound botulism, karena antibiotik justru dapat mempercepat
pelepasan racun pada botulisme jenis lain. Pemberian alat bantu pernafasan atau
ventilator diberikan pada pasien yang sulit bernafas, dan ventilator akan dipasang
selama beberapa minggu, hingga efek racun berkurang secara bertahap.
Rehabilitasi dilakukan dengan tujuan untuk membantu proses pemulihan dalam
berbicara, menelan, dan memperbaiki fungsi tubuh yang terkena dampak
botulisme.
Botulisme dapat memengaruhi seluruh otot di tubuh. Bila tidak segera
ditangani, kondisi ini dapat menimbulkan komplikasi berhenti bernapas, yang
merupakan peyebab kematian terbanyak akibat botulisme. Pasien yang selamat
dari botulisme juga dapat mengalami gangguan dalam bernapas atau merasa lelah
untuk beberapa tahun dari terkena botulisme.
DAFTAR PUSTAKA

Donnenberg MS, Narayanan SN. How to diagnose a foodborne illness. Infect Dis
Clin N Am. 2013;27:535-54
U.S. Food and Drug Administration. Foodborne illnesses: what you need to know.
http://www.fda.gov/food/resourcesforyou/consumers/ucm103263.htm
Centers for Disease Control and Prevention. Diagnosis and management of
foodborne illness. MMWR. 2001;50
Conlon C. Food-borne diarrheal illness. In: Cohen J, ed. Infectious Diseases. 3rd
ed. St. Louis, Mo.: Mosby; 2010
Guerrant RL, Van Gilder T, Steiner TS, et al.; Infectious Diseases Society of
America. Practice guidelines for the management of infectious diarrhea.
Clin Infect Dis. 2001;32(3):331-351
Barr W, Smith A. Acute diarrhea in adults. Am Fam Physician. 2014;89(3):180-9

Anda mungkin juga menyukai