Anda di halaman 1dari 27

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata

meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).

Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran

anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal

anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).

Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang

memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.

Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak

berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).

Klasifikasi Atresia Ani

Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :

1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.

2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.

3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.

4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.

Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :

1. Anomali rendah / infralevator

Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.

2. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan sfingter

eksternal berada pada posisi yang normal.

3. Anomali tinggi / supralevator

Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya

berhubungan dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina

(perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari1 cm.

B. Anatomi dan Fisiologi

Gambar : Susunan Saluran Pencernaan (Syaifuddin, 2006).

Susunan saluran pencernaan terdiri dari :

1. Mulut
Mulut atau oris adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2 bagian yaitu :

a. Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir dan pipi.
b. Bagian rongga mulut bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi sisinya oleh tulang

maksilaris, palatum mandibularis, di sebelah belakang bersambung dengan faring.


Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis, di bawahnya terletak kelenjar-

kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini kaya akan pembuluh darah dan juga

memuat banyak ujung akhir saraf sensoris.

Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam ditutupi oleh selaput lendir

(mukosa). Otot orbikularis oris menutupi bibir. Levator anguli oris mengangkat dan depresor

anguli oris menekan ujung mulut.

Palatum, terdiri atas 2 bagian yaitu :

a. Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dan sebelah depan
tulang maksilaris dan lebih ke belakang terdiri dari 2 tulang palatum.
b. Palatum yang dapat bergerak, terdiri mole (palatum lunak) terletak di belakang yang
merupakan lipatan menggantung atas jaringan fibrosa dan selaput lendir.

Gerakannya dikendalikan oleh ototnya sendiri, di sebelah kanan dan kiri dari tiang fauses
terdapat saluran lendir menembus ke tonsil.

2. Lidah

Lidah terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja otot lidah ini

dapat digerakkan ke seluruh arah.

Lidah dibagi atas tiga bagian, radiks lingua (pangkal lidah), dorsum lingua (punggung

lidah), dan apeks lingua (ujung lidah). Pada pangkal lidah yang belakang terdapat epiglotis yang

berfungsi untuk menutup jalan nafas pada waktu kita menelan makanan, supaya makanan jangan

masuk ke jalan nafas. Punggung lidah (dorsum lingua) terdapat puting-puting pengecap atau

ujung saraf pengecap. Frenulum lingua merupakan selaput lendir yang terdapat pada bagian

bawah kira-kira di tengah, jika lidah digerakkan ke atas nampak selaput lendir. Flika sublingua

terdapat di sebelah kiri dan kanan frenulum lingua, di sini terdapat pula lipatan selaput lendir.
Pada pertengahan flika sublingua ini terdapat saluran dari grandula parotis, submaksilaris, dan

glandula sublingualis.

Fungsi lidah yaitu mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat pengecap dan menelan,

serta merasakan makanan.

3. Faring

Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan

(esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe

yang banyak mengandung limfosit merupakan pertahanan terhadap infeksi. Di sini terletak

bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya di belakang rongga mulut dan

rongga hidung, di depan ruas tulang belakang, ke atas bagian depan berhubungan dengan rongga

hidung, dengan perantara lubang bernama koana. Keadaan tekak berhubungan dengan rongga

mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior

disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang

gendang telinga. Bagian media disebut orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar

lidah, sedangkan bagian inferior disebut laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan

laring.

Menelan (deglutisio), jalan udara dan jalan makanan pada faring terjadi penyilangan. Jalan udara

masuk ke bagian depan terus ke leher bagian depan sedangkan jalan makanan masuk ke belakang

dari jalan napas dan di depan dari ruas tulang belakang. Makanan melewati epiglotis lateral

melaui ressus piriformis masuk ke esophagus tanpa membahayakan jalan udara. Gerakan

menelan mencegah masuknya makanan masuk ke jalan udara, pada waktu yang sama jalan udara

ditutup sementara.
4. Esofagus

Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya

± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung. Lapisan dinding dari

dalam keluar, lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan submukosa, lapisan otot melingkar

sirkuler, dan lapisan otot memanjang longitudinal.

Esophagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung. Setelah melalui

thorak menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung dengan lambung.

5. Hati

Hati atau hepar adalah organ yang paling besar di dalam tubuh kita, warnanya coklat dan

beratnya kira-kira 1 ½ kg. Letaknya di bagian atas dalam rongga abdomen di sebelah kanan

bawah diafragma. Hati terdiri atas 2 lapisan utama : permukaan atas berbentuk cembung, terletak

di bawah diafragma, dan permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisura

transverses. Hati mempunyai 2 jenis peredaran darah yaitu arteri hepatika dan vena porta.

Arteri hepatika, keluar dari aorta dan member 1/5 darah pada hati, masuk ke hati akan

membeku jaringan kapiler setelah bertemu dengan kapiler vena, akhirnya keluar sebagai vena

hepatika. Vena porta yang terbentuk dari lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan

4/5 darahnya ke hati.

Fungsi hati :

a. Mengubah zat makanan yang di absorpsi dari usus dan yang disimpan di suatu tempat

dalam tubuh.
b. Mengubah zat buangan dan penawar racun untuk disekresi dalam empedu dan urine.
c. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.
d. Sekresi empedu, garam empedu dibuat di hati, dibentuk dalam sistem retikuloendotelium.
e. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat.

6. Lambung

Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling

banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri berhubungan

dengan esophagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah diafragma di depan pankreas dan

limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.

Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. Bila melihat makanan dan

mencium bau makanan maka sekresi lambung akan terangsang. Rasa makanan merangsang

sekresi lambung karena kerja saraf menimbulkan rangsang kimiawi yang menyebabkan dinding

lambung melepaskan hormon yang disebut sekresi getah lambung. Getah lambung di halangi

oleh sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa

takut.

Fungsi lambung :

1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik

lambung dan getah lambung.


2. Getah cerna lambung yang dihasilkan :
a. Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan

pepton).
b. Asam garam (HCL), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai antiseptic dan

desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjaddi

pepsin.
c. Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein

dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).


d. Lapisan lambung jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang

merangsang sekresi getah lambung.

7. Pankreas

Panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum sampai ke limpa. Bagian

dari pankreas : kaput pankreas, terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam lekukan

deudenum yang melingkarinya. Korpus pankreas, merupakan bagian utama dari organ ini,

letaknya dibelakang lambung dan di depan vertebra umbalis pertama. Ekor pankreas, bagian

runcing di sebelah kiri menyentuh limpa.

8. Usus halus

Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang

berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum panjangnya ± 6 m, merupakan saluran paling

panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari lapisan usus

halus (lapisan mukosa (sebelah di dalam), lapisan otot melingkar (M.sirkuler), lapisan otot

memanjang (M. longitudinal), dan lapisan serosa (sebelah luar)).

Absorpsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam usus halus

melalui 2 saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan seluruh limfe di sebelah dalam

permukaan vili usus. Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot

yang diikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh

epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan

lemak yang diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke

dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami

beberapa perubahan.
Fungsi usus halus :

a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler

darah dan saluran-saluran limfe.


b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.

9. Duodenum

Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda

melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan duodenum ini

terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papilla vateri. Pada papilla vateri ini bermuara

saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas (duktus pankreatikus).

10. Jejunum dan ileum

Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian atas adalah

jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5 m. Lekukan jejunum dan ileum

melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk

kipas dikenal sebagai mesenterium.

Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung bawah

ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium

ileosekalis. Orifisium ini diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan pada bagian ini terdapat katup

valvula sekalis valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon asenden

tidak masuk kembali ke ileum.

11. Usus besar


Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya 56 cm. Lapisan-lapisan

usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang,

jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri.

12. Sekum

Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehingga

disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum mudah

bergerak walaupun tidak mempunyai mesenterium dan dapat diraba melalui dinding abdomen

pada orang yang masih hidup.

13. Kolon asendens

Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan, membujur ke atas dari

ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura

hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.

14. Apendiks (usus buntu)

Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum, mempunyai pintu

keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus. Apendiks

tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak

horizontal dibelakang sekum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks

bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam

rongga abdomen.

15. Kolon transversum


Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah abdomen, sebelah

kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis.

16. Kolon desendens

Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke

bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan kolon sigmoid.

17. Kolon sigmoid

Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring dalam rongga

pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf “S” , ujung bawahnya berhubungan dengan

rektum.

18. Rektum

Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan

anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os koksigis. Organ ini berfungsi untuk

tempat penyimpanan feses sementara.

19. Anus

Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan dunia

luar (udara luar). Terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh sfingter :

a. Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.


b. Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
c. Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak. Defekasi (buang air
besar) didahului oleh transport. Feses ke dalam

rektum yang mengakibatkan ketegangan dinding rektum mengakibatkan rangsangan untuk


reflex defekasi sedangkan otot usus lainnya berkontraksi. M. Levator ani relaksasi secara
volunter dan tekanan ditimbulkan oleh otot-otot abdomen.
C. Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada sumber yang

mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :

1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan

pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang

anus.

3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan

pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar

panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai.

Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang

menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier

penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat

kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom

genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk

menderita atresia ani (Purwanto, 2001).

Faktor Predisposisi

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti :

1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada

gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
D. Patofisiologi

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit

karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga

anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang

berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi

stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak

ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan

fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas

pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga

menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya

saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.

Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:

1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis) dengan

jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak

upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung

rektum paling jauh 1 cm.

E. Manifestasi Klinik

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi mekonium.

Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai

fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air

besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang
pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra

dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :

1. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.


2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4. Perut kembung.
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

F. Komplikasi

1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.

2. Obstruksi intestinal

3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.

4. Komplikasi jangka panjang :

a. Eversi mukosa anal.

b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.

c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.

d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.

f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :

a. Pembuatan kolostomi

Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli
bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya

sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan

kolostomi beberapa hari setelah lahir.


b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)

Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan. Penundaan ini

dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk

berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan

bertambah baik status nutrisinya.

c. Tutup kolostomi

Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan

mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB

berkurang frekuensinya dan agak padat.

H. Pemeriksaan Penunjang

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

1. Pemeriksaan radiologis

Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

2. Sinar X terhadap abdomen

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui


jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

3. Ultrasound terhadap abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan

mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.

4. CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

5. Pyelografi intra vena

Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.


6. Pemeriksaan fisik rektum

Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan

selang atau jari.

7. Rontgenogram abdomen dan pelvis

Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan

traktus urinarius.

I. Pengkajian Fokus

1. Pengkajian

Konsep teori yang digunakan penulis adalah model konseptual keperawatan

dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang

meliputi :

a. Pola Persepsi Kesehatan

Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.

b. Pola Nutrisi dan Metabolik

Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi pada pasien

dengan atresia ani post tutup kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin

terganggu oleh mual dan muntah dampak dari anastesi.

c. Pola Eliminasi

Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh

dibersihkan dari bahan-bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan.
Oleh karena itu pada pasien atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus,

sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi.

d. Pola Aktivitas dan Latihan

Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menghindari kelemahan otot.

e. Pola Persepsi Kognitif

Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman dan daya

ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.

f. Pola Tidur dan Istirahat

Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka
insisi.

g. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri

Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort.

Tidak terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan

operasi.

h. Pola Peran dan Pola Hubungan

Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.

Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau perubahan kapasitas fisik untuk

melaksanakan peran.

i. Pola Reproduksi dan Seksual

Pola ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi sosial sebagai alat reproduksi.

j. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi


Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, dan rumah.

k. Pola Keyakinan

Untuk menerapkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang

dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat

memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan

ibadah.

2. Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani biasanya anus

tampak merah, usus melebar, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan

oleh jaringan, pada auskultasi terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam

waktu 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.

J. Fokus Intervensi

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

1. Pre Operasi

a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus.

b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.

c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit

dan prosedur perawatan.

2. Post Operasi

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.


c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.

d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan perawatan

dirumah.

Intervensi keperawatan :

1. Pre Operasi

A. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus.

Tujuan : Terjadi peningkatan fungsi usus.


KH : 1.) Pasien menunjukkan konsistensi tinja lembek

2.) Terbentuknya tinja

3.) Tidak ada nyeri saat defekasi

4.) Tidak terjadi perdarahan

Intervensi :

a. Lakukan dilatasi anal sesuai program.


Rasional : Meningkatkan kenyamanan pada anak.

b. Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam.


Rasional : Menyakinkan berfungsinya usus.

c. Ukur lingkar abdomen klien.


Rasional : Membantu mendeteksi terjadinya distensi.

d. Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal.
Rasional : Memulihkan dan mengembalikan fungsi usus.

B. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.


Tujuan : Volume cairan terpenuhi

Kriteria Hasil :

1. Turgor kulit baik dan bibir tidak kering


2. TTV dalam batas normal

Intervensi :
a.) Awasi masukan dan keluaran cairan.

Rasional : Untuk memberikan informasi tentang keseimbangan cairan.

b.) Kaji tanda-tanda vital seperti TD, frekuensi jantung, dan nadi.

Rasional : Kekurangan cairan meningkatkan frekuensi jantung, TD dan nadi turun.

c.) Observasi tanda-tanda perdarahan yang terjadi post operasi.

Rasional : Penurunan volume menyebabkan kekeringan pada jaringan.

d.) Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit sesuai indikasi.

Rasional : Untuk pemenuhan cairan yang hilang.

C. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan

prosedur perawatan.

Tujuan : Rasa cemas dapat hilang atau berkurang.

Kriteria Hasil :

1.) Ansietas berkurang

2.) Klien tidak gelisah

Intervensi :

a. Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien dan keluarga.

Rasional : Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi tersebut


diterima.

b. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan operasi.

Rasional : Dapat meringankan ansietas terutama ketika tindakan operasi tersebut

dilakukan.
c. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.

Rasional : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut dapat

ditujukan.
d. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.

Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi ansietas.

2. Post Operasi

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.

Tujuan : Nyeri dapat berkurang dan skala nyeri berkurang

Kriteria Hasil :

1. Klien mengatakan nyeri berkurang


2. Skala nyeri 0-1
3. Ekspresi wajah terlihat rileks

Intervensi :

a. Kaji karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas nyeri.

Rasional : Bantu klien untuk menilai nyeri dan sebagai temuan dalam
pengkajian.

b. Ajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi dan distraksi.

Rasional : Membantu dalam menurukan atau mengurangi persepsi atau


respon nyeri.

c. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan anjurkan klien untuk istirahat.

Rasional : Memberikan kenyamanan untuk klien agar dapat istirahat.

d. Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai advis dokter.

Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri.

D. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

Tujuan : Asupan nutrisi dapat terpenuhi dan menuunjukkan perbaikan usus.


Kriteria Hasil :

1. Tidak terjadi penurunan BB.


2. Klien tidak mual dan muntah

Intervensi :

a. Kaji kemampuan klien untuk menelan dan menguyah makanan.

Rasional : Menentukan pemilihan jenis makanan sehingga mencegah terjadinya


aspirasi.

b. Timbang berat badan sesuai indikasi.

Rasional : Mengevaluasi keadekuatan rencana pemenuhan nutrisi.

c. Jaga keamanan saat memberikan makan klien seperti kepala sedikit fleksi saat

menelan.

Rasional : Menurunkan resiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rasa nyeri pada
saat menelan.

d. Berikan makanan lembut dalam porsi sedikit tapi sering.

Rasioanl : Meningkatkan pemasukan dan menurunkan distress gaster.

E. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.


Tujuan : Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi
2. Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan peningkatan leukosit.
3. Luka post operasi bersih

Interversi :

a. Pantau suhu tubuh klien (peningkatan suhu).

Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi.

b. Ajarkan keluarga teknik mencuci tangan dengan benar dan menggunakan sabun

anti mikroba.
Rasional : Faktor ini paling sederhana tetapi paling penting untuk mencegah

infeksi di rumah sakit.


c. Pertahankan teknik aseptik pada perawatan luka.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.

d. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi luka.

e. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.

Rasional : Peningkatan leukosit menunjukkan adanya infeksi.

F. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan perawatan

dirumah.
Tujuan : Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah
Kriteria Hasil :
1. Kelurga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan untuk bayi di

rumah.
2. Keluarga tahu dan memahami dalam memberikan perawatan pada klien.

Intervensi :

a. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan.

Rasional : Agar keluarga dapat melakukannya.

b. Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.

Rasional : Agar segera dilakukan tindakan.


c. Ajarkan keluarga cara perawatan luka yang tepat.

Rasional : Dapat memberikan pengetahuan keluarga

d. Latih keluarga untuk kebiasaan defekasi.

Rasional : untuk melatih pasien.

e. Ajarkan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).

Rasional : Membantu klien memperlancar defekasi.


Hirschsprung merupakan suatu penyakit yang menyerang sistem pencernaan
manusia, terutama menyerang usus besar (colon). Pada penyakit ini, dijumpai pembesaran usus
besar (megacolon), akibat absennya sel ganglion pada bagian distal usus. Penyakit Hirschsprung
sering menyerang neonatus bahkan anak-anak, yang sering ditandai dengan keterlambatan
pengeluaran mekonium pertama, muntah bilious, distensi abdomen. Metode diagnois yang dapat
dilakukan untuk menkonfirmasi penyakit Hirschsprung adalah dengan melakukan biopsy,
barium enema atau contrast enema, dan anorectal manometry.

Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering dialami oleh
neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus Hirschsprung terdiagnosis pada bayi, walaupun
beberapa kasus baru dapat terdiagnosis hingga usia remaja atau dewasa muda (Izadi M, 2007)

Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan, malformasi kongenital yang


dikarakteristikkan oleh tidak adanya sel ganglion intrinsik parasimpatis dari plexus myentericus
dan submukosa sepanjang saluran pencernaan. Aganglionosis menandakan kegagalan enteric
nervous system (ENS), dimana sel-sel neural crest gagal menginervasi saluran gastrointestinal
selama perkembangan embrionik (Amiel & Lyonnet, 2001; Miao et al., 2009).

GEJALA
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Periode neonatus Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih kasus bayi
dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama,
kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam).
Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila mekonium
dapat dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami konstipasi,
atau masih dalam derajat yang ringan karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang
akan mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah (Kessman, 2008)

b. Periode anak-anak Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada
beberapa kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak
(Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi kronis,
gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada dinding
abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang berkepanjangan. Selain obstruksi
usus yang komplit, perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut yang dapat
mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi (Kessman, 2008).

TANDA
1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.
3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang padat/ketat, dan
biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan bau feses dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung
dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis
(Kessman, 2008; Lakhsmi, 2008)

2.1.2 Etiologi Penyakit Hirschprung

Hirschprung merupakan kelainan kongenital, dapat disebabkan oleh beberapa faktor,


diantaranya faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya (Effendi & Indrasanto, 2006
dalam Kosim, dkk., 2012).

Faktor genetik dikelompokkan menjadi tiga jenis meliputi kelainan mutasi gen tunggal,
aberasi kromosom dan multifaktorial (gabungan genetik dan pengaruh lingkungan).
Sementara faktor non-genetik/lingkungan terdiri dari penggunaan obat-obatan selama
hamil terutama pada trimester pertama (teratogen), paparan bahan kimia dan asap rokok,
infeksi dan penyakit ibu yang berpengaruh pada janin sehingga menyebabkan kelainan
bentuk dan fungsi pada bayi yang dilahirkan.

2.1.3 Klasifikasi Penyakit Hirschprung

Berdasarkan pada segmen kolon yang aganglionik, penyakit Hirschsprung dibagi menjadi
Hirschsprung segmen panjang bila segmen aganglionik tidak melebihi batas atas sigmoid dan
Hirschsprung segmen pendek bila segmen aganglionik melebihi sigmoid (Browne, et al., 2008).

Sedangkan Amiel dan Lyonnet (2001) menuliskan penyakit Hirschprung ada empat jenis yaitu :

1. Total colonic aganglionosis (TCA)


2. Hirschprung intestinal total jika semua usus terlibat
3. Hirschprung segmen sangat pendek meliputi bagian distal rektum dibawah rongga pelvis
dan anus serta
4. suspended Hirschprung, sebuah kondisi kontroversial dimana bagian kolon aganglionik
berada diatas segmen distal yang normal.

Manifestasi Klinis Penyakit Hirschprung

Wong, dkk. (2009) menyampaikan manifestasi klinis Hirschprung bervariasi menurut


usia ketika gejala penyakit ini dikenali dan adanya komplikasi seperti enterokolitis. Pada periode
bayi baru lahir ditemukan kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24 jam hingga 48
jam pertama setelah lahir, keengganan mengkonsumsi cairan, muntah yang bernoda empedu dan
distensi abdomen. Sementara pada bayi dapat dijumpai failure to thrive (FTT), konstipasi,
distensi abdomen, episode diare dan vomitus serta tanda-tanda yang sering menandai adanya
enterokolitis seperti diare yang menyembur atau menyerupai air, demam dan keadaan umum
yang buruk. Sedangkan pada anak-anak didapatkan konstipasi, feses mirip tambang dan berbau
busuk, distensi abdomen, peristaltik yang terlihat, massa feses mudah diraba dan anak tampak
malnutrisi serta anemia.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Hirschprung Diagnosis


penyakit Hirschprung dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan antara lain :

1. pemeriksaan fisik
2. radiologi
3. dan laboratorium

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, pada pemeriksaan rektum
ditemukan adanya kelemahan sfingter internal dan tidak adanya feses, diikuti oleh pelepasan gas
dan feses yang eksplosif dan tiba-tiba tetapi peningkatan ukuran rektum hanya berlangsung
sementara. Sedangkan pada pemeriksaan radiologi dengan barium enema diperoleh hasil adanya
zona transisi diantara zona dilatasi normal dan segmen aganglionik distal. Sementara pada
pemeriksaan laboratorium dengan cara biopsi rektal didapatkan tidak adanya sel ganglion. Selain
pemeriksaan fisik, radiologis dan laboratorium jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan
patologi klinik dengan biopsi usus pada saat operasi untuk menentukan lokasi usus dimana sel
ganglion dimulai (Ashwill & James, 2007; Browne et al., 2008)

Asuhan keperawatan pre operasi.

Pillitteri (2011) menyebutkan asuhan keperawatan pre operasi meliputi:

a) Pengkajian
Data yang dapat ditemukan pada pengkajian meliputi riwayat keterlambatan pengeluaran
mekonium dalam 48 jam pertama setelah lahir, muntah berwarna empedu, adanya konstipasi,
distensi abdomen, nafsu makan berkurang atau anak tidak mau minum ASI, tidak adanya sel
ganglia pada pemeriksaan biposi rectal, pemeriksaan barium enema menunjukkan hasil adanya
zona transisi diantara zona dilatasi normal dan segmen aganglionik, dapat disertai enterokolitis.

b) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada pre operasi antara lain:

1. Konstipasi b.d berkurangnya fungsi usus; peristaltik tidak adekuat

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d berkurangnya fungsi usus


c) Rencana Tindakan Keperawatan

Dx I: Konstipasi

Hasil yang diharapkan: anak dapat buang air besar normal melalui kolostomi atau enema.

Intervensi:

1. Kaji adanya konstipasi: durasi, pemahaman orang tua tentang konstipasi, konsistensi
feses, adakah penyakit lain

2. Auskultasi bising usus secara periodic


3. Pantau adanya distensi abdomen
4. Kolaborasi untuk pemasangan nasogastrik tube, rectal tube dan enema

5. Kolaborasi untuk pemberian pelunak feses

Asuhan keperawatan post operasi

a) Pengkajian
Integritas dan fungsi stoma meliputi warna stoma; kolaps atau retraksi, adakah
perubahan; laserasi stoma; perdarahan, jika iya dimana dan berapa jumlahnya; kondisi
kulit periostoma; jumlah, warna dan konsistensi cairan stoma.

b) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada post op kolostomi antara lain:

DX : Kerusakan integritas kulit b.d kolostomi dan pembedahan

Hasil yang diharapkan: daerah kolostomi bersih dan bebas dari eksudat, kemerahan atau
drainase; daerah kolostomi utuh tanpa perdarahan atau iritasi kulit (Doenges, Moorhouse, &
Geissler 2000).

Intervensi:

1. Observasi daerah stoma


2. Ukur stoma secara periodik
3. Observasi adanya komplikasi seperti prolaps, sianosis & nekrosis
4. Beri pelindung kulit yang efektif seperti stomahesiv
5. Kosongkan, irigasi dan bersihkan kantong ostomi secara rutin dengan alat yang tepat

6. Lakukan penggantian kantong sesuai indikasi


1. Evaluasi produk perekat dan kecocokan kantong ostomi

Anda mungkin juga menyukai