Anda di halaman 1dari 27

FARMAKOTERAPI TERAPAN

OSTEOPOROSIS

KELOMPOK VI
Noviana Rahmi L. (1308515006)
I Putu Oka Suartama (1308515014)
Vera Carolina Gumi (1308515019)
Desak Gede Pradnyaniti (1308515030)
Ayu Wulan Dwiputri (1308515038)
Legis Ocktaviana Saputri (1308515046)
Made Dharmesti Wijaya (1308515051)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN APOTEKER


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMETIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi penurunan fungsional maupun anatomikal dari
tubuh yang berhubungan dengan umur biologik seseorang (Hadi dkk., 2010). Penurunan
tersebut terjadi pada setiap tingkatan, baik pada tingkat selular, organ, maupun sistem organ.
Hal ini merupakan alasan mengapa lansia lebih cenderung mengalami penyakit degeneratif
dan metabolik dibandingkan dengan populasi yang lebih muda. Salah satu contoh dari
penyakit degeneratif dan metabolik yang menjadi masalah dan memerlukan perhatian khusus
adalah osteoporosis (Setiyohadi, 2007).
Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan
adanya perubahan mikro-arsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan
tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah patah (WHO, 2003).
Osteoporosis dapat terjadi secara alamiah yakni pasca menopause atau pada usia lanjut, dapat
pula terjadi akibat berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti infeksi tulang, tumor tulang,
pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama (Kemenkes RI, 2008).
Hasil analisa data risiko osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah sampel 65.727
orang (22.799 laki-laki dan 42.928 perempuan) yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes
RI dan sebuah perusahaan nutrisi pada 16 wilayah di Indonesia, menunjukkan angka
prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar
10,3%. Hal ini menunjukkan bahwa 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki risiko untuk
terkena osteoporosis dan 41,2% dari keseluruhan sampel yang berusia kurang dari 55 tahun
terdeteksi menderita osteopenia. Prevalensi osteopenia dan osteoporosis usia <55 tahun pada
pria cenderung lebih tinggi dibanding wanita, sedangkan pada usia >55 tahun peningkatan
osteopenia pada wanita enam kali lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada
wanita dua kali lebih besar dari pria (Kemenkes RI, 2008).
Deteksi secara dini dan terapi yang diberikan dapat menurunkan komplikasi klinis
osteoporosis seperti fraktur patologis, disabilitas, serta nyeri kronis (Maclean et al., 2008).
Kasus osteoporosis jika tidak mampu tertangani dengan baik dapat mengakibatkan
meningkatnya biaya kesehatan, morbiditas dan mortalitas serta berdampak pada menurunnya
kualiatas hidup seseorang. Oleh karena itu, pencegahan dan terapi osteoporosis sangatlah
penting (Canalis et al., 2007).

B. Tujuan Farmakoterapi
Tujuan dari terapi osteoporosis adalah sebagai berikut:
1. Mencegah fraktur dan komplikasinya.
2. Memelihara atau meningkatkan densitas mineral tulang.
3. Mencegah penyebab sekunder dari bone loss.
4. Menurunkan morbiditas dan mortalitas.
5. Meningkatkan kualitas hidup pasien.
(Chisholm-Burns et al., 2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Etiologi Osteoporosis
Tingkat kepadatan tulang (BMD) merupakan faktor utama pada prediksi resiko patah
tulang. Setiap penurunan standart deviasi BMD pada wanita mewakili penurunan 10%-12%
massa tulang dan 1,5-2,6 peningkatan resiko patah tulang. Rendahnya BMD dapat terjadi
sebagai bentuk kegagalan pencapaian massa normal tulang dan kekeroposan tulang (Dipiro et
al., 2008).
Kekeroposan tulang terjadi ketika resorpsi tulang mempengaruhi formasi tulang. Wanita
dan pria mulai kehilangan jumlah kecil massa tulang diawal dekade ke tiga sampai ke empat
hidupnya sebagai konsekuensi dari reduksi kecil pada formasi tulang. Selama perimenopouse
dan 5-7 tahun setelah menopouse, wanita dapat mengalami percepatan kekeroposan tulang
karena penurunan sirkulasi esterogen dan peningkatan resorpsi tulang. Faktor utama yang
mempengaruhi kekeroposan tulang adalah status hormonal, kerja tubuh, penuaan, nutrisi,
gaya hidup, penyakit, pengobatan, dan beberapa pengaruh genetic (Dipiro et al., 2008).
Selain BMD, kekuatan tulang sangat dipengaruhi oleh kualitas penyusun tulang beserta
strukturnya. Contohnya, pergantian tulang yang dipercepat tidak hanya menyebabkan
kekeroposan tulang, tetapi juga dapat merusak kualitas tulang dan integritas struktur tulang
dengan meningkatnya kuantitas tulang muda yang belum mengandung cukup mineral.
Penilaian kualitas tulang dibutuhkan karena perubahan kualitas tulang berpengaruh pada
kekuatan tulang lebih banyak daripada perubahan massa tulang (Dipiro et al., 2008).
Faktor resiko lain pada osteoporosis dan fraktur osteoporosis adalah riwayat trauma
fraktur pada orang dewasa, perokok, kurangnya berat badan atau BMI rendah, usia lanjut,
konsumsi alkohol lebih dari dua kali minum/hari, terapi glukokortikoid sistemik, jenis
kelamin perempuan, dan fraktur osteoporosis pada derajat relatif pertama (terutama fraktur
panggul). Selain itu, osteoporosis sekunder (terutama reumatoid artritis), kurangnya asupan
kalsium, kurangnya aktifitas fisik, rendahnya tingkat kesehatan, minimnya terkena paparan
sinar matahari, baru saja terjatuh, gangguan kognitif, kekurangan esterogen pada usia <45
tahun, serta gangguan penglihatan juga menjadi faktor resiko (Dipiro et al., 2008).
B. Patofisiologi
Patofisiologi osteoporosis bergantung pada gender, usia, dan adanya penyebab sekunder.

I. Postmenopausal Osteoporosis
Hilangnya kekuatan tulang selama perimenopause dan postmenopause merupakan akibat
dari peningkatan resorpsi terutama sebagai akibat dari hilangnya produksi hormon ovarium,
khususnya estrogen. Defisiensi estrogen meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi
osteoklas baru dan memperpanjang waktu bertahan dari osteoklas dewasa. Jumlah sisi
perbaikan meningkat, lubang-lubang resorpsi lebih dalam, dan diisi secara inadekuat oleh
fungsi osteoblastik normal. Kerapatan tulang signifikan menghilang dan struktur tulang
berubah. Tulang trabekular adalah yang paling rentan menyebabkan patah tulang belakang
dan pergelangan tangan (Dipiro et al., 2008).
II. Osteoporosis Berkaitan dengan Usia
Osteoporosis yang berkaitan dengan usia terjadi pada lansia sebagai akibat dari defisiensi
hormon, kalsium, dan vitamin D yang menyebabkan percepatan laju pergantian tulang
kombinasi dengan penurunan formasi tulang osteoblas. Risiko patah tulang pinggul
meningkat secara dramatis pada lansia sebagai akibat kumulatif dari kehilangan tulang
kortikal dan trabekular serta peningkatan risiko jatuh (Dipiro et al., 2008).
III. Penyebab Sekunder Osteoporosis
Penyebab sekunder ditemukan pada lebih dari setengah wanita premenopause dan
perimenopause, sekitar sepertiga dari wanita postmenopause, dan lebih dari dua pertiga pada
pria. Dua penyebab sekunder yang paling sering adalah defisiensi vitamin D dan terapi
glukokortikoid. Obat yang berpotensi untuk menginduksi bone loss pada wanita
premenopause adalah depot medroxyprogesterone acetate (DMPA atau Depo-Provera), injeksi
kontrasepsi progestin tunggal long-acting. Obat tersebut telah diberikan peringatan-peringatan
berdasarkan data dari beberapa studi yang menunjukkan kehilangan tulang yang signifikan
atau akrual massa tulang terganggu (Dipiro et al., 2008).
C. Gejala dan data klinik (Clinical Presentation)
Osteoporosis didiagnosis berdasarkan pengukuran BMD atau adanya trauma patah tulang
ringan. Dua dari tiga pasien dengan patah tulang belakang tidak menunjukkan gejala atau
menghubungkan nyeri punggung yang ringan sebagai gejala “usia lanjut”, sedangkan sisanya
menunjukkan nyeri punggung yang sedang hingga berat yang menjalar hingga ke bagian
bawah kaki mereka setelah mengalami patah tulang belakang. Rasa nyeri biasanya berkurang
secara signifikan setelah 2-4 minggu, namun nyeri tulang belakang ringan kronis masih dapat
terjadi. Beberapa patah tulang belakang menurunkan tinggi badan dan terkadang
melengkungkan tulang belakang (kifosis atau lordosis) dengan atau tanpa nyeri punggung
yang signifikan. Pasien yang mengalami patah tulang nonvertebral terkadang mengalami
nyeri yang parah, bengkak, dan penurunan fungsi serta mobilitas pada daerah yang patah
(Dipiro et al., 2008). Secara garis besar, presentasi klinis dari osteoporosis dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Presentasi Klinis Osteoporosis (Dipiro et al, 2008)


Umum Banyak pasien tidak menyadari bahwa mereka osteoporosis dan hanya
menyadari setelah terjadi patah tulang
Patah tulang dapat terjadi akibat membungkuk, mengangkat sesuatu,
jatuh, atau bahkan tidak melakukan aktivitas apapun
Gelala Nyeri
Kehilangan mobilitas
Depresi, takut, dan rendah diri akibat keterbatasan fisik dan cacat
Dua dari tiga patah tulang belakang tidak menunjukkan gelaja
Tanda Postur tubuh menjadi lebih pendek (kehilangan lebih dari 1,5 inci),
kifosis, atau lordosis
Patah tulang belakang, pergelangan tangan, atau lengan bawah
Kepadatan tulang yang rendah pada radiografi
Tes laboratorium Uji rutin untuk mendeteksi kemungkinan penyebab sekunder:
perhitungan darah lengkap, tes fungsi hati, kreatinin, nitrogen urea,
kalsium, fosfor, fosfat basa, albumin, hormon stimulasi steroid,
testosteron bebas, vitamin D, serta konsentrasi kalsium dan fosfat
dalam urin 24 jam.
Biomarker urin atau serum (seperti N-terminal crosslinking telopeptide
of type 1 collagen (NTX), osteokalsin) terkadang digunakan, terutama
untuk menentukan apakah regenerasi tulang yang tinggi terjadi. Tes
tambahan mungkin diperlukan jika riwayat pasien, pemeriksaan fisik,
atau penyelidikan awal menunjukkan penyebab sekunder tertentu.
Tes diagnosis lain Pengukuran densitas tulang punggung arau pinggul menggunakan
dual-energy x-ray absorptiometry (DXA)
Radiografi untuk memastikan patah tulang belakang

D. Terapi (Non Farmakologi dan Farmakologi)


I. Non Farmakologi
Beberapa terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
I.1. Diet
Secara keseluruhan, diet nutrien dan mineral yang seimbang sangat penting untuk
kesehatan tulang. Selain itu, membatasi asupan kafein, alkohol, natrium, cola, dan minuman
berkarbonasi lain juga tidak kalah pentingnya. Asupan kalsium yang cukup dibutuhkan untuk
meningkatkan massa tulang selama pertumbuhan dan untuk pemeliharaan sepanjang hidup.
Mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin K dan protein juga penting untuk
kesehatan tulang (Dipiro et al., 2008).

I.2. Modifikasi gaya hidup


Perubahan gaya hidup dianjurkan kepada pasien osteoporosis, seperti berhenti merokok
dan menggunaan aklohol. Merokok dapat menyebabkan menopause dini, penurunan berat
badan, meningkatkan metabolisme estrogen, meningkatkan konsentrasi PTH dan menurunan
konsentrasi vitamin D. Dalam beberapa studi, pasien yang mengkonsumsi alkohol berlebih
memiliki BMD yang rendah dan resiko patah tulang (Dipiro et al, 2008).
I.3. Olahraga
Olahraga rutin dalam jangka panjang dapat meningkatkan BMD. Aktivitas fisik,
khususnya aerobik serta rutin melakukan olah raga dan berjalan dapat mempertahankan BMD
pasca menopause pada wanita, serta meningkatkan kalsium dan estrogen. Olah raga dapat
mengurangi resiko patah tulang dengan mengurangi resiko jatuh (meningkatkan
keseimbangan, postur, fleksibilitas, rentang gerak, kekuatan otot, dan daya tahan) (Dipiro et
al, 2008).
I.4. Pencegahan Jatuh
Selain olahraga, lingkungan tempat tinggal harus dievaluasi dan dimodifikasi untuk
meminimalkan resiko jatuh. Obat yang dapat menyebabkan jatuh seperti psikotropika, sedatif
hipnotik, antihipertensi, dan diuretik harus ditinjau ulang atau dihindari (Dipiro et al, 2008).
II. Terapi Farmakologi
Algoritma untuk manajemen terapi osteoporosis pada wanita postmenopause dapat dilihat
pada Gambar 1. Obat-obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati osteoporosis
dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Penggunaan obat untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis (Dipiro et al, 2008)
Obat Dosis Indikasi Efek samping Interaksi
Terapi Antiresortif
Kalsium 200–1500 Defisiensi Sembelit, -Penyerapan menurun
mg/hari kalsium. gangguan dengan pompa proton
Meningkatan perut, batu inhibitor
atau ginjal - Mengurangi
pemeliharaan penyerapan besi,
BMD tetrasiklin, kuinolon,
alendronate, risedronate,
etidronat, fenitoin, dan
fluoride ketika diberikan
bersamaan
-antagonis verapamil
- Dapat menyebabkan
hiperkalsemia dengan
diuretik thiazide
- Serat pencahar,
oksalat, phytates, dan
sulfat menurunkan
penyerapan kalsium jika
diberikan bersamaan
Vitamin D3 200-1000 unit Vitamin D Hiperkalsemia Fenitoin, barbiturat,
(cholecal- / hari; >4000 bertanggung (kelemahan, carbamazepine, dan
ciferol) unit / hari jawab untuk sakit kepala, rifampisin dapat
atau lebih menjaga mengantuk, meningkatkan
untuk homeostasis mual, metabolisme vitamin D
malabsorpsi kalsium. gangguan Kolestiramin, colestipol,
atau beberapa irama orlistat, atau minyak
antikonvulsan jantung); mineral menurunankan
Vitamin D2 Untuk hiperkalsiuria penyerapan vitamin D
(ergocalcife defisiensi Dapat menyebabkan
rol) kalsium hiperkalsemia dengan
50.000 diuretik thiazide pada
unit /minggu pasien hipoparatiroid
atau /bulan
(dosis
tergantung
serum
kalsium)
Bisfosfonat Bifosfonat Mual, iritasi Tidak diberikan
Alendronat 5 mg/hari bekerja GI, perforasi, bersamaan dengan
(Fosamax) (pencegahan); dengan ulserasi, pengobatan lain,
10 mg sehari, menurunkan dan / atau termasuk kalsium
70mg/ resorpsi perdarahan (Dipiro et al., 2008).
minggu dengan Pasien tidak diberikan
(pengobatan) menghambat bersama pengobatan
Risedronate 5 mg/ hari, 35 osteoklas pada lain, makanan,
(Actonel) mg/ minggu tulang. minuman, kalsium, atau
Ibandronate 2.5 mg/hari , vitamin lain, atau
(Boniva) 100–150 suplemen lain selama
mg/bulan, 3 setidaknya 30 menit
mg IV/3 setelah penggunaan
bulan alendronate atau
risedronate, dan
setidaknya 60 menit
setelah penggunaan
ibandronate (FDA,
2012).
Mixed Meningkatkan Hot flushes, -
estrogen BMD tulang kram kaki,
agonist/ belakang dan tromboemboli
antagonist pinggul vena
Raloxifene 60 mg/ hari
(Evista)
Calsitonin 200 unit/ hari Pengobatan Rhinitis, -
(Miacalcin) (intranasal) osteoporosis epistaksis
pada wanita
Terapi Anabolik
Teripara- 20 mcg Meningkatkan Nyeri pada -
tid subkutan/ hari BMD dan tempat
(Forteo) sampai 2 tahun mengurangi suntikan,
risiko patah pusing, kram
tulang. kaki

Terapi Investigational
Denosum 60 mg SC menghambat Sakit -
ab setiap 6 bulan osteoklastogen punggung
(Prolia) esis dan
meningkatkan
apoptosis
osteoklas
Keterangan: Tmax: time to maximum concentration; IV: intravena; IM: intramuscular; SC:subcutan

Gambar 1. Algoritma manajemen terapi osteoporosis pada wanita postmenopause

Gambar 1. Algoritma Terapi Osteoporosis pada Wanita


BAB III
CASE STUDY DAN ANALISISNYA

A. Kasus
Ny TP, 62 th, sejak 1 bulan yang lalu mengeluh nyeri pada punggung dan tulang
belakang. Siklus menstruasinya sudah berhenti sekitar 10 tahun yang lalu. Untuk mengatasi
keluhannya, anaknya membelikan Voltadex yang diminum 2 kali sehari. Beberapa saat nyeri
bisa berkurang, namun saat ini nyeri sudah tak tertahankan lagi.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
a. Hipertensi sejak 10 th yang lalu
b. Pernah mengalami perdarahan per vagina (vaginal discharge) setahun yang lalu
Riwayat Pengobatan : Kaptopril 3x25 mg
TV : TD 140/90, Tek Nadi dan RR dbn
Pemeriksaan Laboratorium
Kolesterol total : 237
Serum kreatinin : 0,9
Kalsium : 9,0
Phosphor : 4,0
BUN : 30
Pemeriksaan urin : Protein : 0
Pemeriksaan radiologis : Pemeriksaan hysterocopic : Normal
Pemeriksaan penunjang lain : Hasil pap smear dan mammogram : Normal
Diagnosa : Osteoporosis postmenopause
Terapi : a. Osteonate OD 1 x sehari 5 mg 10 tab
b. Flamar tab 2x1 20 tab
c. Neurosanbe plus 1x1 10 tab
B. Analisa kasus
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. TP
Ruang : -
Umur : 62 tahun
Diagnosa : Osteoporosis postmenopause
II. SUBYEKTIF
Keluhan Utama : Ibu mengeluh nyeri pada punggung dan tulang
belakang sejak 1 bulan yang lalu
III. OBYEKTIF
Riwayat penyakit terdahulu:
a. Hipertensi sejak 10 tahun yang lalu
b. Pernah mengalami perdarahan pervagina (vaginal discharge) setahun yang lalu
Riwayat pengobatan:
a. Kaptopril 3x25 mg
Pemeriksaan Klinik dan Laboratorium
a. TV : TD 140/90 menunjukkan pasien mengalami hipertensi stage 1 (TD Normal: <120/<80
mmHg) (Dipiro et al, 2008)
b. Tek Nadi dan RR dalam batas normal (Tek Nadi Normal: 60-100 detak/menit; RR Normal:
16-25 hembusan/menit)
c. Kolesterol total 237 berada di atas rentang normal (Normal: <200) (Dipiro et al, 2008)
d. Serum kreatinin 0,9 berada pada rentang normal (serum kreatinin normal pada wanita: 0,5-
1 mg/dL)
e. Kalsium 9,0 berada pada rentang normal (Nilai normal : 8,8 – 10,4 mg/dL) (Kemenkes RI,
2011)
f. Phosphor 4,0 berada pada rentang normal (Nilai normal pada wanita ≥17 tahun: 2,6-4,6
mg/dL) (Kemenkes RI, 2011)
g. BUN 30 berada pada rentang normal (Normal: <60 mg/dL)
h. Pemeriksaan urin : Protein 0
i. Pemeriksaan radiologis : Pemeriksaan hysterocopic : Normal
j. Pemeriksaan penunjang lain : Hasil pap smear dan mammogram : Normal

IV. ASSESMENT
4.1 Terapi Pasien
Osteonate OD 1xsehari 5 mg 10 tab
Flamar tab 2x1 20 tab
Neurosanbe plus 1x1 10 tab

4.2 Problem medik dan DRP pasien


PROBLEM SUBYEKTIF dan
TERAPI DRP
MEDIK OBYEKTIF
Osteoporosis mengeluh nyeri pada - Osteonate OD Terapi Obat yang
postmenopause punggung dan tulang 1xsehari 5 mg Tidak Dibutuhkan
belakang. Siklus - Flamar tab - Penggunaan
menstruasinya sudah 2x1 neurosanbe plus
berhenti sekitar 10 - Neurosanbe yang mengandung
tahun yang lalu. plus 1x1 10 vitamin B1, B6,
tab dan B12
merupakan terapi
yang tidak
dibutuhkan bagi
kondisi pasien.
- Terjadi duplikasi
obat karena
adanya
penggunaan dua
obat golongan
NSAID dalam
satu resep
Interaksi Obat
- NSAID dapat
meningkatkan
efek toksik dari
risedronat, dimana
keduanya dapat
meningkatkan
risiko ulser
gastointesrinal dan
meningkatkan
risiko
nefrotoksisitas
ADR
- Efek samping
penggunaan
osteonate yang
mengandung
risedronate dapat
menyebabkan
hipertensi (11%)
(Lacy et al., 2009)
- NSAID diketahui
dapat
menyebabkan
retensi natrium
dan air sehingga
dapat
menginduksi
terjadinya
hipertensi (Hulisz
and Lagzdins,
2008)
4.3 Pertimbangan pengatasan DRP
Beberapa pertimbangan untuk mengatasi DRP pada kasus ini adalah sebagai berikut:
a. Bukti bahwa penggunaan vitamin B bagi kesehatan tulang dari studi fisiologi maupun
klinis masih sangat kurang (Prentice, 2004). Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara perubahan BMD dengan penggunaan vitamin B12 pada pasien osteoporosis
postmenopause, dan juga pada pasien perimenopause yang menggunakan vitamin B6
atau B12 (Kakehasi et al, 2012).
b. Salah satu kandungan Neurosanbe plus adalah Metampiron, sedangkan kandungan pada
Flamar adalah Natrium Diklofenak. Kedua obat tersebut, baik Metampiron maupun
Natrium Diklofenak merupakan golongan NSAID. Hal ini menunjukkan adanya
duplikasi obat dengan golongan yang sama dalam satu resep. Penggunaan neurosanbe
plus yang juga mengandung NSAID dihentikan pada kasus ini.
c. Perlu dilakukan monitoring penggunaan risedronat dengan NSAID (Lacy et al, 2009).
d. Osteonate mengandung Risedronat yang termasuk gologan bifosfonat, namun efek
samping pemberian Risedronat dapat menyebabkan terjadinya hipertensi dengan
prevalensi kejadian sebesar 11% (Lacy et al., 2009). Namun penggunaan bifosfonat lain
seperti alendronate juga dapat menyebabkan hipertensi dengan prevalensi yang tidak
diketahui (Liu and Uwe, 2012). Risedronate memiliki efek yang lebih potensial pada
bagian spinal dibandingkan alendronate, meskipun potensinya tidak berbeda secara
signifikan (Sarioglu et al, 2006). Risedronate lebih efektif dibandingkan alendronate
dalam mengurangi risiko fraktur nonvetrebal dalam 12 bulan terapi (Watts et al, 2004).
Berdasarkan perbandingan efektifitas kedua obat tersebut, diketahui alendronate dapat
menurunkan risiko faktur non vertebral pada pasien postmenopause sebesar 14% setelah
3 tahun penggunaan obat tersebut dibandingkan dengan penggunaan risedronate sebesar
19% (Group Health, 2011). Selain itu, penggunaan risedronat menunjukkan efektivitas
biaya yang lebih baik dibandingkan bifosfonat lain (Kinov and Boyanov, 2012). Oleh
karena itu, penggunaan risedronate dapat dilanjutkan dengan melakukan monitoring
terhadap tekanan darah pasien.
e. Meskipun NSAID dapat menginduksi terjadinya hipertensi, namun untuk mengganti
dengan agen lain seperti golongan opioid tidak dapat dilakukan karena keterbatasan
durasi penggunaan obat tersebut (misalnya: tramadol maksimum penggunaan 5 hari)
(Anonim, 2013). Penggunaan obat-obat narkotik dapat diresepkan pada nyeri akut hanya
untuk jangka pendek karena penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek aditif
dan dapat berefek pada kemampuan berpikir secara jernih (NIH, 2005). Dikarenakan
penggunan risedronat baru menimbulkan efek setelah 6-12 bulan terapi (Suherman,
2010), maka nyeri yang dirasakan oleh pasien akan persisten selama kurun waktu
tersebut. Oleh karena itu, NSAID tetap dipilih sebagai agen analgesik pada kasus ini,
namun perlu monitoring terhadap penggunaan jangka panjang dari obat tersebut.
V. PLAN
5.1. Care plan
a. Terapi Farmakologi
1. Kaptopril 3x25 mg sebanyak 90 tablet untuk pemakaian sebulan
2. Risedronat yang diberikan dalam dosis 35 mg sekali seminggu memiliki efikasi dan
keamanan yang tidak berbeda signifikan dengan risedronat 5 mg sekali sehari.
Perubahan BMD yang ditemukan pada minggu ke 52 adalah 3,3% untuk dosis 35 mg
sekali seminggu setelah sarapan dan 3,1% untuk dosis 5 mg sekali sehari. Akan tetapi,
kenyamanan pasien meningkat dengan pemberian sekali seminggu. Selain itu, terdapat
penurunan level N-terminal telopeptide/kreatinin dan serum C-terminal telopeptide yang
lebih besar secara signifikan pada pemberian 35 mg risedronat seminggu sekali
dibandingkan dosis 5 mg sekali sehari. Bioavailabilitas yang lebih baik dari formulasi
tersebut menjadi alasan dari penemuan ini (Kinov and Boyanov, 2012). Risedronat
dengan dosis 35 mg seminggu sekali juga lebih optimal untuk wanita dengan
osteoporosis postmenopause yang diberikan pengobatan sekali seminggu dibandingkan
dosis 50 mg sekali seminggu (Brown et al, 2002). Untuk itu, pada kasus ini pasien
diberikan Actonel tablet once weekly 35 mg sebanyak 4 tablet untuk pemakaian 1
bulan.
3. Flamar 3x50 mg sebanyak 30 tablet untuk pemakaian minimal 10 hari, dipakai jika
perlu.
b. Terapi Non-Farmakologi
1. Perbanyak asupan kalsium dan vitamin D melalui makanan.
2. Modifikasi gaya hidup pasien
3. Pencegahan Jatuh
4. Terapi non farmakologi untuk penanganan nyeri tak tertahankan pada pasien

5.2.Implementasi care plan


a. Terapi Farmakologi
1. Kaptopril diberikan 3 kali sehari 1 tablet, dikonsumsi 2 jam setelah makan
2. Actonel 35 mg diberikan 1 tablet perminggu pada pagi hari setelah bangun tidur. Obat
ini dikonsumsi dengan segelas air putih (non-mineral) dengan posisi duduk atau berdiri.
Pasien dilarang untuk mengkonsumsi obat lain, makanan, minuman, kalsium, vitamin,
atau beberapa suplemen lain paling tidak selama 30 menit setelah mengkonsumsi
Actonel tablet. Pasien dilarang untuk berbaring paling tidak selama 30 menit setelah
mengkonsumsi Actonel tablet (FDA, 2012).
3. Flamar tablet diminum 3 kali sehari 1 tablet bersamaan dengan makanan dan segelas air
putih (Lacy et al., 2009). Flamar dikonsumsi hanya pada saat nyeri timbul.
b. Terapi Non Farmakologi
1. Kalsium dapat diperoleh dari konsumsi susu, yoghurt, tofu, soybean, brokoli, dan
almond (Dipiro et al, 2008). Asupan vitamin D dapat diperoleh dari konsumsi ikan
salmon, cod liver oil, susu, sereal, keju, telur, daging dan margarine (BDA, 2013).
2. Perhatikan kandungan gizi pada makanan, seperti kandungan fosfor, zink, vitamin B6,
vitamin C, vitamin K, dan phytoestrogen (misalnya toge) (Kepmenkes, 2008).
3. Membatasi asupan kafein, alkohol, natrium, cola, dan minuman berkarbonasi
(Kepmenkes, 2008).
4. Rutin melakukan olah raga seperti aerobik (jika kondisi pasien memungkinkan) dan
berjalan 30 menit tiap hari (Dipiro et al., 2008)
5. Tidak menghindari diri dari paparan sinar matahari, terutama sinar pada pagi dan sore
hari, karena pada saat tersebut sinar matahari dibutuhkan untuk memacu pembentukan
viatamin D3 (Kepmenkes, 2008).
6. Dikarenakan kadar kolesterol total pasien di atas rentang normal, maka rekomendasikan
kepada pasien untuk memeriksakan kadar LDL, HDL dan trigliserida sehingga terapi
yang tepat dapat ditetapkan.
5.3 Monitoring (Efektivitas Terapi dan Efek samping)
a. Efektivitas Terapi
1. Kondisi klinis
- Pemantauan BMD pasien setiap 3, 6, dan 12 bulan (Anonim, 2012).
- Pemantauan tekanan darah pasien terhadap efek samping penggunaan Natrium
diklofenak, kaptopril, dan risedronat dilakukan setelah 1 bulan pemakaian (Bpac,
2013)
2. Kepatuhan Pasien terhadap penggunaan bisphosphonate dan kaptopril dikarenakan
penggunaan obat jangka panjang
b. Efek samping
1. Kondisi klinis (Lacy et al., 2010)
- Kaptopril : Batuk kering, Ruam
- Risedronate : Nyeri punggung, altralgia, sakit kepala
- Natrium Diklofenak : Pendarahan saluran cerna
2. Laboratorium (Lacy et al., 2010)
- Kaptopril : BUN, Elektrolit, serum kreatinin
- Risedronate : alkaline fosfat, serum kalsium, serum Phosphor, BMD
- Natrium Diklofenak : Serum Kreatinin, BUN, Hematokrit, Hemoglobin, CBC, enzim
liver.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Intact N-terminal Propeptide of Type I Procollagen, Radioimmunoassay.


Finlandia: Orion Diagnostica

Anonim, 2013. Tramadol/Acetaminophen (Rx) – Ultracet. Availabel at:


http://reference.medscape.com/drug/ultracet-Tramadol-acethaminophen-343353.
Cited: January 3rd, 2014.

BDA. 2013. Vitamin D. UK: The British Dietetic Association


Bpac. 2013. Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs): Making safer treatment
choices. BPJ 55. Available at: http://www.bpac.org.nz/BPJ/2013/October/nsaids.aspx
(Cited: January 3rd , 2014)

Brown, J.P., Klender, D.L., McClung, M.R., Emkey, R.D., Adachi, J.D., Bolognese, M.A., Li,
Z., Balske, A., and Lindsay, R. 2002. The Effcacy and Tolerability of Risedronate Once
a Week for the Treatment of Postmenopausal Osteoporosis. Calcif Tissue Int (2002)
71:103-111

Canalis, E., Giustina, A., Bilezikian, JP. 2007. Mechanisms of Anabolic Therapies for
Osteoporosis. New England Journal of Medicine, 357:905-16.

Chisholm-Burns, Marie A., Barbara G.W., Terry L.S, Patrick M..M., Jill M.K., John C.R.,
Joseph T.D. 2008. Pharmacotherapy Principles and Practices. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc.

Dipiro, J.T., R.L Talbert, G.C. Yee, B.G. Wells dan L. M. Posey. 2008. Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. 7th Edition. United Stated on America: McGraw-Hill
Companies Inc.

Ducharme, N and Radhamma R. 2008. Hyperlipidemia in the Elderly. Clin Geriatr Med, 24
(2008): 471–487.

FDA. tt. ULTRAM ER. Available at:


http://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2008/021692s005s007lbl.pdf.
Cited: October 28th 2014

FDA, 2012. Avoid Food-Drug Interaction: A Guide from the National Consumers League and
U.S. Food and Drug Administration. USA: U.S.Department of Health and Human
Services Food and Drug Administration.

Group Health. 2011. Osteoporosis: Screening, Diagnosis, and Treatment Guideline. Available
at: http://www.ghc.org/all-sites/guidelines/osteoporosis.pdf

Hadi-Martono, H. 2010. Penyakit Tulang dan Patah Tulang. In: Boedhi-Darmojo, R., H. Hadi-
Martono, editors. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kedokteran Usia Lanjut). 4th Ed. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kakehasi, A. M., Ariane, V.C., Fabiana, A.N.M.,and Algfredo, J.A.B. 2012. Serum Levels of
Vitamin B12 are Not Related to Low Bone Minaral Density in Postmenopausal
Brazilian Women. Rev Bras Reumatol 2012., 52(6):858-869

Kemenkes RI. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1142/Menkes/Sk/Xii/2008 tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta:
Kemennterian Kesehatan Republik Indonesia

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakata: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Kinov, P., and Boyanov, M. 2012. Clinical Utility of Risedronate in Postmenopausal
Osteoporosis: Patient Considerations with Delayed-Release Formulation. International
Journal of Women’s Health.

Lacy, C. F., Amstrong, L.L.,Goldman, N.P., Lance, L.L. 2010. Drug Information
Handbook.18th edition. USA: Lexi Comp.

Liu, Y and Uwe A. 2012. Detect Adverse Drug Reactions for Drug Alendronate. BCGIN: 2:
820-823

Maclean, C., et al. 2008. Systematic Review: Comparative Effectiveness of Treatments to


Prevent Fractures in Men and Women with Low Bone Density or Osteoporosis. Ann
Intern Med, 148:197-213.

National Institute of Health Osteoporosis and Related Bone Disease. 2005. Osteoporosis:
Coping With Chronic Pain. US: The NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases.

Ping, N. H., C. Lim, Evaria, M. J. B. Palay. 2013. MIMS. Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer

Prentice, A. 2004. Diet, Nutrition, and The Prevention of Osteoporosis. Public Health
Nutrition: 7(1A), 227-243

Sarioglu, et al. 2006. Comparison of The Effects of Alendronate and Risedronate on Bone
Mineral Density and Bone Turnover Markers in Postmenopausal Osteoporosis.
Rheumatol Int: 26: 195–200

Setiyohadi, B. 2007. Osteoporosis. In: Sudoyo, AW., B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata,


S. Setiati, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jakarta: PAPDI.

Suherman, S.K. 2010. Peran Bifosfonat untuk Osteoporosis. Prosiding Seminar PITNAS VI
PEROSI. Malang 14-16 Oktober 2010

Stockley, Ivan H. 2005. Stockley's Drug Interactions. London : Pharmaceutical Press.

Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty sixth Edition.
London: Pharmaceutical Press.

Watts, N. B., Karen W., Amy S., Joseph D., and Richard S. 2004. Comparison of Risedronate
to Alendronate and Calcitonin for Early Reduction of Nonvertebral Fracture Risk:
Results From a Managed Care Administrative Claims Database. J Manag Care Pharm:
10(2):142-151

WHO. 1990. Cancer Pain Relief and Palliative Care, Report of a WHO Expert Committee.
Geneva: World Health Organization

WHO. 2003. Prevention and Management of Osteoporosis. Geneva: World Health


Organization
Zeratsky, K. 2008. Calsium Supplement: When They Should be Taken? Available
at:http://www.mayoclinic.com/health/calcium-supplements/AN01428 . (cited: January
1st, 2014)
Lampiran 1. Daftar obat yang digunakan

Obat yang Dosis yang


Efek samping Interaksi Obat Kontraindikasi
digunakan tersedia
Voltadex tab Tablet 25 Kejadian 1-10% -Diklofenak dapat Hipersensitif
(Mengandun mg, 50 mg diantaranya edema, rasa meningkatkan level/efek terhadap diklofenak,
g natrium (Ping et al., pusing dan sakit kepala, dari aminoglikosida, aspirin, NSAID
diklofenak) 2013) pruritis dan kemerahan antikoagulan, agen lainnya, atau
pada kulit, retensi cairan, antiplatelet, Lithium, komponen lainnya
nyeri abdominal, Metotreksat, NSAID, dalam formulasi;
konstipasi, diare, antibiotik Kuinolon, agen nyeri perioperatif
dispepsia, flatulen, Trombolitik, Vankomisin, pada pengaturan
perforasi GI, rasa panas antagonis Vitamin K operasi CABG
di perut, peptic -Level/efek Diklofenak dapat (Lacy et al., 2010).
ulcer/perdarahan GI, meningkat denan adanya
mual, muntah, anemia Antidepresan,
abnormalitas enzim hati Kortikosteroid, SSRI,
dan gangguan fungsi Treprostinil, Vorikonazol.
ginjal (Lacy et al, 2010). -Diklofenak dapat
menurunkan level/efek dari
ACEI, Angiotensin II
Receptor Blocker, agen
Antiplatelet, Beta-bloker,
diuretic Loop, diuretik
Thiazid.
(Lacy et al, 2010)

Captopril Tablet 12,5 Sakit kepala (1,8%), -Captopril dengan makanan, Hipersensitivitas
mg, 25 mg, pusing (1,6%), ruam konsentrasi serum captopril terhadap captopril,
50 mg (Ping (1,1%), mual (1,0%), dapat berkurang jika ACEI lainnya dan
et al., 2013) gangguan pengecapan diberikan bersama dengan formula di dalam
(0,9%) dan batuk kering makanan. Penggunaan sediaan, angiodema
(0,8%) (Sweetman, jangka panjang dapat yang disebabkan
2009). menyebabkan defisiensi oleh pengguna ACEI
zink yang menyebabkan sebelumnya (Lacy
gangguan pengecapan et al, 2011).
(Lacy et al, 2011).
-ACE inhibitor dengan
Allopurinol, tiga kasus
serius sindrom Stevens-
Johnson (fatal) dan dua
kasus hipersensitivitas
telah dikaitkan dengan
penggunaan bersamaan
dari captopril dan
allopurinol. Neutropenia
dan infeksi serius juga
terjadi.
-ACE inhibitor dengan
Antasida, antasida telah
ditemukan untuk
mengurangi penyerapan
captopril sekitar
sepertiganya.
-ACE inhibitor dengan
Aspirin dan NSAID, efek
antihipertensi dari
captopril, dapat berkurang
dengan adanya
indometasin. Aspirin dosis
rendah (<300 mg setiap
hari) tampaknya memiliki
pengaruh yang kecil
terhadap efektivitas
antihipertensi captopril,
tetapi dosis tinggi aspirin
dapat mengurangi sekitar
50%. Ibuprofen
mengurangi efikasi
antihipertensi captopril.
Sulindac memiliki sedikit
atau tidak berpengaruh
pada tekanan darah pada
orang yang menggunakan
captopril
-ACE inhibitor dengan
Azathioprine, anemia telah
terjadi pada pasien
diberikan azathioprine dan
captopril. Leukopenia
sesekali terjadi dengan
captopril dan azathioprine.
-ACE inhibitor dengan
Capsaicin, sebuah laporan
terpisah menjelaskan batuk
pada wanita mengambil
ACE inhibitor setiap kali ia
menggunakan krim topikal
yang mengandung
capsaicin.
-ACE inhibitor dengan
Clonidine, beberapa bukti
menunjukan bahwa efek
captopril mungkin tertunda
ketika pasien beralih dari
clonidine. Perhatikan
bahwa penarikan
mendadak clonidine dapat
menyebabkan hipertensi
rebound.
-ACE inhibitor dengan
Hemodialisa membrane
-Reaksi anaphylactoid
(pembengkakan wajah,
flushing, hipotensi dan
dispnea) dapat terjadi pada
pasien ACE inhibitor
dalam waktu beberapa
menit saat memulai
hemodialisis menggunakan
membran poliakrilonitril.
-ACE inhibitor dengan
Interleukin-3, bukti awal
menunjukkan bahwa
hipotensi dapat terjadi pada
pasien yang menggunakan
ACE inhibitor diberikan
interleukin-3.
-ACE inhibitor dengan zat
Besi (Fe), reaksi sistemik
yang serius terjadi pada
tiga pasien diberikan infus
natrium glukonat besi saat
mengambil enalapril. Sulfat
besi oral dapat menurunkan
penyerapan captopril, tapi
ini mungkin penting secara
klinis kecil.
-ACE inhibitor dengan Loop
atau thiazide atau diuretik
terkait, kombinasi ACE
inhibitor captopril atau
lainnya dan loop atau
thiazide atau diuretik
terkait biasanya aman dan
efektif tetapi 'hipotensi
dosis pertama' (pusing,
kepala ringan, pingsan,)
dapat terjadi, terutama jika
dosis diuretik tinggi dan
sering dikaitkan dengan
berbagai predisposisi
kondisi. Beberapa kasus
insufisiensi ginjal, dan
gagal ginjal bahkan ginjal
akut, telah dilaporkan pada
pasien saat diberikan ACE
inhibitor dan diuretik,
kemungkinan terkait
dengan deplesi natrium.
Hipokalemia dapat terjadi.
-ACE inhibitor dengan
minoxidil atau Sodium
nitroprusside, efek
hipotensif dari captopril
dan baik nitroprusside
minoxidil atau sodium
nampak sinergis.
-ACE inhibitor dengan
Moracizine, moracizine
menyebabkan beberapa
perubahan moderat di
farmakokinetik captopril
bebas.
-ACE inhibitor dengan
Kalium diuretik lemah,
menggabungkan ACE
inhibitor dengan diuretik
lemah (amilorid,
spironolakton, triamterene)
dapat mengakibatkan
hiperkalemia klinis sedang
atau berat.
-ACE inhibitor dengan
Kalium suplemen dan
pengganti garam. ACE
inhibitor menjaga kadar
kalium serum sehingga
suplemen kalium biasanya
tidak diperlukan.
Hiperkalemia
memungkinkan jika
suplemen potasium atau
kalium mengandung
pengganti garam yang
diberikan, terutama pada
pasien dimana faktor risiko
lain yang hadir seperti
fungsi ginjal menurun.
-ACE inhibitor dengan
Probenesid, probenesid
menurunkan klirens ginjal
captopril.
(Stockley, 2005)

- Osteonate - Osteonate: - Hipertensi (11%), -Risedronate dapat Hipersensitivitas


OD tab Tablet - sakit kepala (10-18%), meningkatkan efek dari terhadap terhadap
(mengandung mengandung - ruam (8-12%) suplemen fosfat risedronate,
natrium 5 mg - diare (5-20%) -Efek risedronate dapat bisphosphonate, atau
risedronat) natrium - nyeri perut (7-12%) meningkat oleh adanya beberapa komponen
- Actonel risedronat - arthralgia (12-33%) aminoglikosida, agen dalam formulasi;
once weekly - Actonel: - nyeri punggung (18- antiinflamasi nonsteroid hipokalsemia; tidak
(mengandung Tablet 28%) -Efek risedronate dapat mampu untuk
natrium mengandung (Lacy et al., 2010). menurun oleh adanya berdiri selama lebih
risedronat) 35 mg antasida, garam kalsium, dari 30 menit (Lacy
natrium garam besi, garam et al., 2010).
risedronat magnesium
-Hindari konsumsi etanol
(dapat meningkatkan risiko
osteoporosis)
-Adanya makanan dapat
menurunkan absorpsi,
bioavailabilitas oral rata-
rata menurun jika diberikan
bersama makanan
(Lacy et al., 2010).

Flamar tab Tablet, 25 Kejadian 1-10% Hindari pengunaan bersama Hipersensitif


(Mengandun mg, 50 mg diantaranya edema; dengan ketorolac; terhadap diklofenak
g natrium na pusing, sakit kepala, diklofenak dapat atau komponen lain
diklofenak) diklofenak. pruritus,ruam, retensi meningkatkan efek atau dalam formulasi,
urin, distensi abdomen, toksisitas dari hipersensitif
nyeri abdomen, aminoglikosida, terhadap protein sapi
konstipasi, diare, antikoagulan, antiplatelet, (khusus untuk
dispepsia, kembung, derivat bifosfonat, kolagen, formulasi kapsul),
mual, muntah, anemia, siklosporin, substrat pasien yang
waktu perdarahan lebih CYP1A2, desmopresin, menunjukkan gejala
lama, abnormalitas digoksin, drotretogin alfa, asma, urtikaria, atau
enzim hati, fungsi ginjal eplerenon, haloperidol, tipe reaksi alergi lain
abnormal (Lacy et al, ibritumomab, litium, setelah
2010). metotreksat, antibiotik mengkonsumsi
quinolon, salisilat, agen aspirin atau NSAID
trombolitik, vankomisin, lain, nyeri akibat
vitamin K antagonis; operasi bypass
diklofenak dapat cangkok arteri
menurunkan efek dari koroner (Lacy et al,
ACEI, angiotensin II 2010)
receptor blocker, agen
antiplatelet, beta bloker,
eplerenon, hidralazin,
diuretik loop, salisilat,
thiazid; hindari etanol
karena dapat menyebabkan
iritasi mukosa lambung
(Lacy et al, 2010).

Neurosanbe Tablet dypirone


plus tab mengandung Penggunaan etanercept
(mengandung dypirone dengan sulfasalazine
dypirone, 500 mg, menghasilkan peningkatan
vitamin B1, vitamin B1 jumlah sel darah putih.
B6, B12) 50 mg, Peningkatan kejadian
Vitamin malignancy ketika
B6100 mg, etanercept ditambahkan
Vitamin B12 pada terapi imunosupresive
100 mcg standar pada pasien dengan
granulomatosis. (Sweetman
C., 2009)

Vitamin B6
Mengrangi efek dari
levodopa, namun tidak
terjadi pengurangan efek
jika diberikan bersamaan
dengan dopa dekarboxilasi
inhibitor.
Mengurangi aktivitas al-
tretamine.
Menurunkan konsentrasi
serum phenobarbital dan
phenytoin.
(Sweetman C., 2009)
Vitamin B12 Vitamin B12
sistem kardiovaskular : Vitamin B12 Thromboembolisme,
jarang (nyeri pada Absorbsi vit B12 dapat erythremia,
jantung, takikardia) berkurang di saluran erythrocytosis,
reaksi alergi : jarang pencernaan oleh adanya meningkatnya
(uritkaria) neomycin, asam sensitivitas terhadap
aminosalisilat, antagonis cyanocobalamin
histamin H2, omeperazole
dan kolkisin.
Konsentrasi serum dapat
berkurang oleh penggunaan
kontrasepsi oral.
Kloramfenikol parenteral
dapat mengurangi efek
vitamin B12 pada anemia
(Swetman C., 2009)
Lampiran 2. Hasil Diskusi
a. Hasil tanya jawab
1. Kadek Welly Prasminda (NIM 18)
Pertanyaan:
Mengapa memilih Alendronate? Apa pertimbangan dalam menggunakan dosis per hari
bukan per minggu?
Jawaban:
Golongan bifosfonat seperti risedronat dan alendronate merupakan first line terapi dari
osteoporosis. Alendronate dipilih dibandingkan dengan riserdronat karena risedronate
memiliki efek samping terhadap timbulnya hipertensi dengan angka kejadian sebesar 11%
(Lacy et al., 2010). Sedangkan, kondisi pasien saat ini memiliki tekanan darah 140/90 mmHg
yang tergolong hipertensi stage 1. Alendronat dapat diberikan dengan dosis per hari atau per
minggu. Alasan memilih dosis per hari yaitu untuk membantu meningkatkan kepatuhan
pasien karena seluruh obat yang diberikan dikonsumsi per hari.

2. Putu Eka Utami Dewi Artini (NIM 48)


Pertanyaan:
Kenapa ditambah suplemen kalsium padahal dari data lab nilainya normal?
Jawaban:
Karena nilai kalisiumnya berada pada rentang normal namun pada batas bawah. Selain
itu pasien osteoporosis perlu mendapat asupan kalsium secara rutin karena penggunaan
kalsium esensial untuk terapi osteoporosis.
Jumlah kalsium yang dibutuhkan oleh seorang wanita postmenopause yang tidak
menggunakan terapi pengganti hormon sebesar 1500 mg perhari. asupan makanan yang kaya
kalsium belum mampu mencapai kebutuhan kalsium harian tersebut, sehingga pada kasus ini
pasien diberikan tambahan suplemen kalsium meskipun diketahui kadar kalsium dalam darah
pasien normal (Zeratsky, 2008)

3. Ni Nengah Sri Wahyuni (NIM 33)


Pertanyaan:
Kenapa untuk penanganan nyeri mengganti NSAID dengan kombinasi tramadol +
acetaminophen? Mengapa tidak menaikkan dosisnya?Bagaimana dengan efek samping dari
tramadol itu sendiri? Apakah dapat diberikan bagi lansia?

Jawaban:
Karena pasien mengalami nyeri yang tak tertahankan meskipun telah menggunakan
flamar, sehingga dibutuhkan obat anti nyeri yang mampu mengatasi nyeri tak tertahankan
tersebut. Acetaminophen + Tramadol merupakan terapi yang direkomendasikan ketika
pemberian natrium diklofenak tidak mampu mengatasi nyeri. Acetaminophen + tramadol
dapat diberikan untuk pemakaian jangka pendek untuk meredakan nyeri tak tertahankan
tersebut.
Kami berasumsi bahwa nyeri yang diderita pasien sudah termasuk nyeri sedang karena
pada kasus pasien mengeluh nyeri pada punggung dan tulang belakang yang saat ini sudah
tak tertahankan lagi walaupun sudah diberikan voltadex (NSAID). Kami tidak memilih untuk
menaikkan dosis NSAID hingga dosis maksimal karena mempertimbangkan usia pasien dan
efek samping NSAID terutama pada GI. Efek samping lainnya adalah waktu perdarahan
yang lebih lama (Lacy et al, 2010), dimana pada kasus diketahui pasien memiliki riwayat
perdarahan per vagina. Oleh karena itu, kami memberikan kombinasi tramadol dan
acetaminophen karena berdasarkan algoritma terapi nyeri, pasien dengan nyeri sedang dapat
diberikan kombinasi golongan opioid dan acetaminophen (Dipiro et al, 2008). Selain itu,
manajemen terapi nyeri dari WHO (WHO 3-step ladder) juga menunjukkan bahwa jika obat-
obat step pertama seperti acetaminophen dan NSAID tidak efektif, maka dapat diberikan
obat-obat step kedua untuk nyeri sedang seperti kombinasi acetaminophen dengan tramadol
(WHO, 1990).
Berdasarkan suatu data yang dikeluarkan FDA, studi terhadap 901 orang lansia (65 tahun
ke atas) menunjukkan efek samping dengan angka kejadian yang tinggi dibandingkan dengan
pasien 65 tahun atau lebih muda adalah konstipasi, kelelahan, lemah, hipotensi, dan
dispepsia (FDA, tt). Jadi kami menyarankan pasien untuk mengkonsumsi makanan berserat
tinggi untuk mencegah konstipasi dan monitoring tekanan darah.

b. Saran
1. Ni Ketut Melysa Cahyani (NIM 15)
Sebaiknya tidak menggunakan suplemen dalam bentuk everfescent karena menggunakan
garam yang dapat memperparah hipertensi dari pasien. Sediaan dapat diganti ke dalam
bentuk lain.

2. I Dewa Agung Diah Yuniartha Dewi (NIM 32)


Untuk penguunakaan bisphosponate pasien sebaiknya berada pada posisi tegak setelah
meminum bisphosponate selama setidaknya 30 menit bisa duduk maupun berdiri ataupun
melakukan aktifitas seperti biasa. Setelah 30 menit baru pasien diperbolehkan berbaring. Hal
ini untuk menghindari refluks.

3.Luh Putu Verryani Ayu Savitri (NIM 23)


Pemberian alendronate per minggu memberikan efektivitas yang lebih baik daripada dosis
per hari. Vitamin D membantu meningkatkan absorbsi kalsium sehingga tidak perlu
supplemen kalisum. Efektivitas terapi baru terjadi setelah 3 bulan pengobatan. Monitoring
dilakukan setiap 3 bulan. Monitoring yang dapat dilakukan adalah pengecekan BMD dan
kepatuhan pasien.

Anda mungkin juga menyukai