OSTEOPOROSIS
KELOMPOK VI
Noviana Rahmi L. (1308515006)
I Putu Oka Suartama (1308515014)
Vera Carolina Gumi (1308515019)
Desak Gede Pradnyaniti (1308515030)
Ayu Wulan Dwiputri (1308515038)
Legis Ocktaviana Saputri (1308515046)
Made Dharmesti Wijaya (1308515051)
A. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi penurunan fungsional maupun anatomikal dari
tubuh yang berhubungan dengan umur biologik seseorang (Hadi dkk., 2010). Penurunan
tersebut terjadi pada setiap tingkatan, baik pada tingkat selular, organ, maupun sistem organ.
Hal ini merupakan alasan mengapa lansia lebih cenderung mengalami penyakit degeneratif
dan metabolik dibandingkan dengan populasi yang lebih muda. Salah satu contoh dari
penyakit degeneratif dan metabolik yang menjadi masalah dan memerlukan perhatian khusus
adalah osteoporosis (Setiyohadi, 2007).
Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan
adanya perubahan mikro-arsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan
tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah patah (WHO, 2003).
Osteoporosis dapat terjadi secara alamiah yakni pasca menopause atau pada usia lanjut, dapat
pula terjadi akibat berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti infeksi tulang, tumor tulang,
pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama (Kemenkes RI, 2008).
Hasil analisa data risiko osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah sampel 65.727
orang (22.799 laki-laki dan 42.928 perempuan) yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes
RI dan sebuah perusahaan nutrisi pada 16 wilayah di Indonesia, menunjukkan angka
prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar
10,3%. Hal ini menunjukkan bahwa 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki risiko untuk
terkena osteoporosis dan 41,2% dari keseluruhan sampel yang berusia kurang dari 55 tahun
terdeteksi menderita osteopenia. Prevalensi osteopenia dan osteoporosis usia <55 tahun pada
pria cenderung lebih tinggi dibanding wanita, sedangkan pada usia >55 tahun peningkatan
osteopenia pada wanita enam kali lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada
wanita dua kali lebih besar dari pria (Kemenkes RI, 2008).
Deteksi secara dini dan terapi yang diberikan dapat menurunkan komplikasi klinis
osteoporosis seperti fraktur patologis, disabilitas, serta nyeri kronis (Maclean et al., 2008).
Kasus osteoporosis jika tidak mampu tertangani dengan baik dapat mengakibatkan
meningkatnya biaya kesehatan, morbiditas dan mortalitas serta berdampak pada menurunnya
kualiatas hidup seseorang. Oleh karena itu, pencegahan dan terapi osteoporosis sangatlah
penting (Canalis et al., 2007).
B. Tujuan Farmakoterapi
Tujuan dari terapi osteoporosis adalah sebagai berikut:
1. Mencegah fraktur dan komplikasinya.
2. Memelihara atau meningkatkan densitas mineral tulang.
3. Mencegah penyebab sekunder dari bone loss.
4. Menurunkan morbiditas dan mortalitas.
5. Meningkatkan kualitas hidup pasien.
(Chisholm-Burns et al., 2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi Osteoporosis
Tingkat kepadatan tulang (BMD) merupakan faktor utama pada prediksi resiko patah
tulang. Setiap penurunan standart deviasi BMD pada wanita mewakili penurunan 10%-12%
massa tulang dan 1,5-2,6 peningkatan resiko patah tulang. Rendahnya BMD dapat terjadi
sebagai bentuk kegagalan pencapaian massa normal tulang dan kekeroposan tulang (Dipiro et
al., 2008).
Kekeroposan tulang terjadi ketika resorpsi tulang mempengaruhi formasi tulang. Wanita
dan pria mulai kehilangan jumlah kecil massa tulang diawal dekade ke tiga sampai ke empat
hidupnya sebagai konsekuensi dari reduksi kecil pada formasi tulang. Selama perimenopouse
dan 5-7 tahun setelah menopouse, wanita dapat mengalami percepatan kekeroposan tulang
karena penurunan sirkulasi esterogen dan peningkatan resorpsi tulang. Faktor utama yang
mempengaruhi kekeroposan tulang adalah status hormonal, kerja tubuh, penuaan, nutrisi,
gaya hidup, penyakit, pengobatan, dan beberapa pengaruh genetic (Dipiro et al., 2008).
Selain BMD, kekuatan tulang sangat dipengaruhi oleh kualitas penyusun tulang beserta
strukturnya. Contohnya, pergantian tulang yang dipercepat tidak hanya menyebabkan
kekeroposan tulang, tetapi juga dapat merusak kualitas tulang dan integritas struktur tulang
dengan meningkatnya kuantitas tulang muda yang belum mengandung cukup mineral.
Penilaian kualitas tulang dibutuhkan karena perubahan kualitas tulang berpengaruh pada
kekuatan tulang lebih banyak daripada perubahan massa tulang (Dipiro et al., 2008).
Faktor resiko lain pada osteoporosis dan fraktur osteoporosis adalah riwayat trauma
fraktur pada orang dewasa, perokok, kurangnya berat badan atau BMI rendah, usia lanjut,
konsumsi alkohol lebih dari dua kali minum/hari, terapi glukokortikoid sistemik, jenis
kelamin perempuan, dan fraktur osteoporosis pada derajat relatif pertama (terutama fraktur
panggul). Selain itu, osteoporosis sekunder (terutama reumatoid artritis), kurangnya asupan
kalsium, kurangnya aktifitas fisik, rendahnya tingkat kesehatan, minimnya terkena paparan
sinar matahari, baru saja terjatuh, gangguan kognitif, kekurangan esterogen pada usia <45
tahun, serta gangguan penglihatan juga menjadi faktor resiko (Dipiro et al., 2008).
B. Patofisiologi
Patofisiologi osteoporosis bergantung pada gender, usia, dan adanya penyebab sekunder.
I. Postmenopausal Osteoporosis
Hilangnya kekuatan tulang selama perimenopause dan postmenopause merupakan akibat
dari peningkatan resorpsi terutama sebagai akibat dari hilangnya produksi hormon ovarium,
khususnya estrogen. Defisiensi estrogen meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi
osteoklas baru dan memperpanjang waktu bertahan dari osteoklas dewasa. Jumlah sisi
perbaikan meningkat, lubang-lubang resorpsi lebih dalam, dan diisi secara inadekuat oleh
fungsi osteoblastik normal. Kerapatan tulang signifikan menghilang dan struktur tulang
berubah. Tulang trabekular adalah yang paling rentan menyebabkan patah tulang belakang
dan pergelangan tangan (Dipiro et al., 2008).
II. Osteoporosis Berkaitan dengan Usia
Osteoporosis yang berkaitan dengan usia terjadi pada lansia sebagai akibat dari defisiensi
hormon, kalsium, dan vitamin D yang menyebabkan percepatan laju pergantian tulang
kombinasi dengan penurunan formasi tulang osteoblas. Risiko patah tulang pinggul
meningkat secara dramatis pada lansia sebagai akibat kumulatif dari kehilangan tulang
kortikal dan trabekular serta peningkatan risiko jatuh (Dipiro et al., 2008).
III. Penyebab Sekunder Osteoporosis
Penyebab sekunder ditemukan pada lebih dari setengah wanita premenopause dan
perimenopause, sekitar sepertiga dari wanita postmenopause, dan lebih dari dua pertiga pada
pria. Dua penyebab sekunder yang paling sering adalah defisiensi vitamin D dan terapi
glukokortikoid. Obat yang berpotensi untuk menginduksi bone loss pada wanita
premenopause adalah depot medroxyprogesterone acetate (DMPA atau Depo-Provera), injeksi
kontrasepsi progestin tunggal long-acting. Obat tersebut telah diberikan peringatan-peringatan
berdasarkan data dari beberapa studi yang menunjukkan kehilangan tulang yang signifikan
atau akrual massa tulang terganggu (Dipiro et al., 2008).
C. Gejala dan data klinik (Clinical Presentation)
Osteoporosis didiagnosis berdasarkan pengukuran BMD atau adanya trauma patah tulang
ringan. Dua dari tiga pasien dengan patah tulang belakang tidak menunjukkan gejala atau
menghubungkan nyeri punggung yang ringan sebagai gejala “usia lanjut”, sedangkan sisanya
menunjukkan nyeri punggung yang sedang hingga berat yang menjalar hingga ke bagian
bawah kaki mereka setelah mengalami patah tulang belakang. Rasa nyeri biasanya berkurang
secara signifikan setelah 2-4 minggu, namun nyeri tulang belakang ringan kronis masih dapat
terjadi. Beberapa patah tulang belakang menurunkan tinggi badan dan terkadang
melengkungkan tulang belakang (kifosis atau lordosis) dengan atau tanpa nyeri punggung
yang signifikan. Pasien yang mengalami patah tulang nonvertebral terkadang mengalami
nyeri yang parah, bengkak, dan penurunan fungsi serta mobilitas pada daerah yang patah
(Dipiro et al., 2008). Secara garis besar, presentasi klinis dari osteoporosis dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut ini.
Tabel 2. Penggunaan obat untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis (Dipiro et al, 2008)
Obat Dosis Indikasi Efek samping Interaksi
Terapi Antiresortif
Kalsium 200–1500 Defisiensi Sembelit, -Penyerapan menurun
mg/hari kalsium. gangguan dengan pompa proton
Meningkatan perut, batu inhibitor
atau ginjal - Mengurangi
pemeliharaan penyerapan besi,
BMD tetrasiklin, kuinolon,
alendronate, risedronate,
etidronat, fenitoin, dan
fluoride ketika diberikan
bersamaan
-antagonis verapamil
- Dapat menyebabkan
hiperkalsemia dengan
diuretik thiazide
- Serat pencahar,
oksalat, phytates, dan
sulfat menurunkan
penyerapan kalsium jika
diberikan bersamaan
Vitamin D3 200-1000 unit Vitamin D Hiperkalsemia Fenitoin, barbiturat,
(cholecal- / hari; >4000 bertanggung (kelemahan, carbamazepine, dan
ciferol) unit / hari jawab untuk sakit kepala, rifampisin dapat
atau lebih menjaga mengantuk, meningkatkan
untuk homeostasis mual, metabolisme vitamin D
malabsorpsi kalsium. gangguan Kolestiramin, colestipol,
atau beberapa irama orlistat, atau minyak
antikonvulsan jantung); mineral menurunankan
Vitamin D2 Untuk hiperkalsiuria penyerapan vitamin D
(ergocalcife defisiensi Dapat menyebabkan
rol) kalsium hiperkalsemia dengan
50.000 diuretik thiazide pada
unit /minggu pasien hipoparatiroid
atau /bulan
(dosis
tergantung
serum
kalsium)
Bisfosfonat Bifosfonat Mual, iritasi Tidak diberikan
Alendronat 5 mg/hari bekerja GI, perforasi, bersamaan dengan
(Fosamax) (pencegahan); dengan ulserasi, pengobatan lain,
10 mg sehari, menurunkan dan / atau termasuk kalsium
70mg/ resorpsi perdarahan (Dipiro et al., 2008).
minggu dengan Pasien tidak diberikan
(pengobatan) menghambat bersama pengobatan
Risedronate 5 mg/ hari, 35 osteoklas pada lain, makanan,
(Actonel) mg/ minggu tulang. minuman, kalsium, atau
Ibandronate 2.5 mg/hari , vitamin lain, atau
(Boniva) 100–150 suplemen lain selama
mg/bulan, 3 setidaknya 30 menit
mg IV/3 setelah penggunaan
bulan alendronate atau
risedronate, dan
setidaknya 60 menit
setelah penggunaan
ibandronate (FDA,
2012).
Mixed Meningkatkan Hot flushes, -
estrogen BMD tulang kram kaki,
agonist/ belakang dan tromboemboli
antagonist pinggul vena
Raloxifene 60 mg/ hari
(Evista)
Calsitonin 200 unit/ hari Pengobatan Rhinitis, -
(Miacalcin) (intranasal) osteoporosis epistaksis
pada wanita
Terapi Anabolik
Teripara- 20 mcg Meningkatkan Nyeri pada -
tid subkutan/ hari BMD dan tempat
(Forteo) sampai 2 tahun mengurangi suntikan,
risiko patah pusing, kram
tulang. kaki
Terapi Investigational
Denosum 60 mg SC menghambat Sakit -
ab setiap 6 bulan osteoklastogen punggung
(Prolia) esis dan
meningkatkan
apoptosis
osteoklas
Keterangan: Tmax: time to maximum concentration; IV: intravena; IM: intramuscular; SC:subcutan
A. Kasus
Ny TP, 62 th, sejak 1 bulan yang lalu mengeluh nyeri pada punggung dan tulang
belakang. Siklus menstruasinya sudah berhenti sekitar 10 tahun yang lalu. Untuk mengatasi
keluhannya, anaknya membelikan Voltadex yang diminum 2 kali sehari. Beberapa saat nyeri
bisa berkurang, namun saat ini nyeri sudah tak tertahankan lagi.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
a. Hipertensi sejak 10 th yang lalu
b. Pernah mengalami perdarahan per vagina (vaginal discharge) setahun yang lalu
Riwayat Pengobatan : Kaptopril 3x25 mg
TV : TD 140/90, Tek Nadi dan RR dbn
Pemeriksaan Laboratorium
Kolesterol total : 237
Serum kreatinin : 0,9
Kalsium : 9,0
Phosphor : 4,0
BUN : 30
Pemeriksaan urin : Protein : 0
Pemeriksaan radiologis : Pemeriksaan hysterocopic : Normal
Pemeriksaan penunjang lain : Hasil pap smear dan mammogram : Normal
Diagnosa : Osteoporosis postmenopause
Terapi : a. Osteonate OD 1 x sehari 5 mg 10 tab
b. Flamar tab 2x1 20 tab
c. Neurosanbe plus 1x1 10 tab
B. Analisa kasus
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. TP
Ruang : -
Umur : 62 tahun
Diagnosa : Osteoporosis postmenopause
II. SUBYEKTIF
Keluhan Utama : Ibu mengeluh nyeri pada punggung dan tulang
belakang sejak 1 bulan yang lalu
III. OBYEKTIF
Riwayat penyakit terdahulu:
a. Hipertensi sejak 10 tahun yang lalu
b. Pernah mengalami perdarahan pervagina (vaginal discharge) setahun yang lalu
Riwayat pengobatan:
a. Kaptopril 3x25 mg
Pemeriksaan Klinik dan Laboratorium
a. TV : TD 140/90 menunjukkan pasien mengalami hipertensi stage 1 (TD Normal: <120/<80
mmHg) (Dipiro et al, 2008)
b. Tek Nadi dan RR dalam batas normal (Tek Nadi Normal: 60-100 detak/menit; RR Normal:
16-25 hembusan/menit)
c. Kolesterol total 237 berada di atas rentang normal (Normal: <200) (Dipiro et al, 2008)
d. Serum kreatinin 0,9 berada pada rentang normal (serum kreatinin normal pada wanita: 0,5-
1 mg/dL)
e. Kalsium 9,0 berada pada rentang normal (Nilai normal : 8,8 – 10,4 mg/dL) (Kemenkes RI,
2011)
f. Phosphor 4,0 berada pada rentang normal (Nilai normal pada wanita ≥17 tahun: 2,6-4,6
mg/dL) (Kemenkes RI, 2011)
g. BUN 30 berada pada rentang normal (Normal: <60 mg/dL)
h. Pemeriksaan urin : Protein 0
i. Pemeriksaan radiologis : Pemeriksaan hysterocopic : Normal
j. Pemeriksaan penunjang lain : Hasil pap smear dan mammogram : Normal
IV. ASSESMENT
4.1 Terapi Pasien
Osteonate OD 1xsehari 5 mg 10 tab
Flamar tab 2x1 20 tab
Neurosanbe plus 1x1 10 tab
DAFTAR PUSTAKA
Brown, J.P., Klender, D.L., McClung, M.R., Emkey, R.D., Adachi, J.D., Bolognese, M.A., Li,
Z., Balske, A., and Lindsay, R. 2002. The Effcacy and Tolerability of Risedronate Once
a Week for the Treatment of Postmenopausal Osteoporosis. Calcif Tissue Int (2002)
71:103-111
Canalis, E., Giustina, A., Bilezikian, JP. 2007. Mechanisms of Anabolic Therapies for
Osteoporosis. New England Journal of Medicine, 357:905-16.
Chisholm-Burns, Marie A., Barbara G.W., Terry L.S, Patrick M..M., Jill M.K., John C.R.,
Joseph T.D. 2008. Pharmacotherapy Principles and Practices. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Dipiro, J.T., R.L Talbert, G.C. Yee, B.G. Wells dan L. M. Posey. 2008. Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. 7th Edition. United Stated on America: McGraw-Hill
Companies Inc.
Ducharme, N and Radhamma R. 2008. Hyperlipidemia in the Elderly. Clin Geriatr Med, 24
(2008): 471–487.
FDA, 2012. Avoid Food-Drug Interaction: A Guide from the National Consumers League and
U.S. Food and Drug Administration. USA: U.S.Department of Health and Human
Services Food and Drug Administration.
Group Health. 2011. Osteoporosis: Screening, Diagnosis, and Treatment Guideline. Available
at: http://www.ghc.org/all-sites/guidelines/osteoporosis.pdf
Hadi-Martono, H. 2010. Penyakit Tulang dan Patah Tulang. In: Boedhi-Darmojo, R., H. Hadi-
Martono, editors. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kedokteran Usia Lanjut). 4th Ed. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kakehasi, A. M., Ariane, V.C., Fabiana, A.N.M.,and Algfredo, J.A.B. 2012. Serum Levels of
Vitamin B12 are Not Related to Low Bone Minaral Density in Postmenopausal
Brazilian Women. Rev Bras Reumatol 2012., 52(6):858-869
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakata: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Kinov, P., and Boyanov, M. 2012. Clinical Utility of Risedronate in Postmenopausal
Osteoporosis: Patient Considerations with Delayed-Release Formulation. International
Journal of Women’s Health.
Lacy, C. F., Amstrong, L.L.,Goldman, N.P., Lance, L.L. 2010. Drug Information
Handbook.18th edition. USA: Lexi Comp.
Liu, Y and Uwe A. 2012. Detect Adverse Drug Reactions for Drug Alendronate. BCGIN: 2:
820-823
National Institute of Health Osteoporosis and Related Bone Disease. 2005. Osteoporosis:
Coping With Chronic Pain. US: The NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases.
Ping, N. H., C. Lim, Evaria, M. J. B. Palay. 2013. MIMS. Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer
Prentice, A. 2004. Diet, Nutrition, and The Prevention of Osteoporosis. Public Health
Nutrition: 7(1A), 227-243
Sarioglu, et al. 2006. Comparison of The Effects of Alendronate and Risedronate on Bone
Mineral Density and Bone Turnover Markers in Postmenopausal Osteoporosis.
Rheumatol Int: 26: 195–200
Suherman, S.K. 2010. Peran Bifosfonat untuk Osteoporosis. Prosiding Seminar PITNAS VI
PEROSI. Malang 14-16 Oktober 2010
Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty sixth Edition.
London: Pharmaceutical Press.
Watts, N. B., Karen W., Amy S., Joseph D., and Richard S. 2004. Comparison of Risedronate
to Alendronate and Calcitonin for Early Reduction of Nonvertebral Fracture Risk:
Results From a Managed Care Administrative Claims Database. J Manag Care Pharm:
10(2):142-151
WHO. 1990. Cancer Pain Relief and Palliative Care, Report of a WHO Expert Committee.
Geneva: World Health Organization
Captopril Tablet 12,5 Sakit kepala (1,8%), -Captopril dengan makanan, Hipersensitivitas
mg, 25 mg, pusing (1,6%), ruam konsentrasi serum captopril terhadap captopril,
50 mg (Ping (1,1%), mual (1,0%), dapat berkurang jika ACEI lainnya dan
et al., 2013) gangguan pengecapan diberikan bersama dengan formula di dalam
(0,9%) dan batuk kering makanan. Penggunaan sediaan, angiodema
(0,8%) (Sweetman, jangka panjang dapat yang disebabkan
2009). menyebabkan defisiensi oleh pengguna ACEI
zink yang menyebabkan sebelumnya (Lacy
gangguan pengecapan et al, 2011).
(Lacy et al, 2011).
-ACE inhibitor dengan
Allopurinol, tiga kasus
serius sindrom Stevens-
Johnson (fatal) dan dua
kasus hipersensitivitas
telah dikaitkan dengan
penggunaan bersamaan
dari captopril dan
allopurinol. Neutropenia
dan infeksi serius juga
terjadi.
-ACE inhibitor dengan
Antasida, antasida telah
ditemukan untuk
mengurangi penyerapan
captopril sekitar
sepertiganya.
-ACE inhibitor dengan
Aspirin dan NSAID, efek
antihipertensi dari
captopril, dapat berkurang
dengan adanya
indometasin. Aspirin dosis
rendah (<300 mg setiap
hari) tampaknya memiliki
pengaruh yang kecil
terhadap efektivitas
antihipertensi captopril,
tetapi dosis tinggi aspirin
dapat mengurangi sekitar
50%. Ibuprofen
mengurangi efikasi
antihipertensi captopril.
Sulindac memiliki sedikit
atau tidak berpengaruh
pada tekanan darah pada
orang yang menggunakan
captopril
-ACE inhibitor dengan
Azathioprine, anemia telah
terjadi pada pasien
diberikan azathioprine dan
captopril. Leukopenia
sesekali terjadi dengan
captopril dan azathioprine.
-ACE inhibitor dengan
Capsaicin, sebuah laporan
terpisah menjelaskan batuk
pada wanita mengambil
ACE inhibitor setiap kali ia
menggunakan krim topikal
yang mengandung
capsaicin.
-ACE inhibitor dengan
Clonidine, beberapa bukti
menunjukan bahwa efek
captopril mungkin tertunda
ketika pasien beralih dari
clonidine. Perhatikan
bahwa penarikan
mendadak clonidine dapat
menyebabkan hipertensi
rebound.
-ACE inhibitor dengan
Hemodialisa membrane
-Reaksi anaphylactoid
(pembengkakan wajah,
flushing, hipotensi dan
dispnea) dapat terjadi pada
pasien ACE inhibitor
dalam waktu beberapa
menit saat memulai
hemodialisis menggunakan
membran poliakrilonitril.
-ACE inhibitor dengan
Interleukin-3, bukti awal
menunjukkan bahwa
hipotensi dapat terjadi pada
pasien yang menggunakan
ACE inhibitor diberikan
interleukin-3.
-ACE inhibitor dengan zat
Besi (Fe), reaksi sistemik
yang serius terjadi pada
tiga pasien diberikan infus
natrium glukonat besi saat
mengambil enalapril. Sulfat
besi oral dapat menurunkan
penyerapan captopril, tapi
ini mungkin penting secara
klinis kecil.
-ACE inhibitor dengan Loop
atau thiazide atau diuretik
terkait, kombinasi ACE
inhibitor captopril atau
lainnya dan loop atau
thiazide atau diuretik
terkait biasanya aman dan
efektif tetapi 'hipotensi
dosis pertama' (pusing,
kepala ringan, pingsan,)
dapat terjadi, terutama jika
dosis diuretik tinggi dan
sering dikaitkan dengan
berbagai predisposisi
kondisi. Beberapa kasus
insufisiensi ginjal, dan
gagal ginjal bahkan ginjal
akut, telah dilaporkan pada
pasien saat diberikan ACE
inhibitor dan diuretik,
kemungkinan terkait
dengan deplesi natrium.
Hipokalemia dapat terjadi.
-ACE inhibitor dengan
minoxidil atau Sodium
nitroprusside, efek
hipotensif dari captopril
dan baik nitroprusside
minoxidil atau sodium
nampak sinergis.
-ACE inhibitor dengan
Moracizine, moracizine
menyebabkan beberapa
perubahan moderat di
farmakokinetik captopril
bebas.
-ACE inhibitor dengan
Kalium diuretik lemah,
menggabungkan ACE
inhibitor dengan diuretik
lemah (amilorid,
spironolakton, triamterene)
dapat mengakibatkan
hiperkalemia klinis sedang
atau berat.
-ACE inhibitor dengan
Kalium suplemen dan
pengganti garam. ACE
inhibitor menjaga kadar
kalium serum sehingga
suplemen kalium biasanya
tidak diperlukan.
Hiperkalemia
memungkinkan jika
suplemen potasium atau
kalium mengandung
pengganti garam yang
diberikan, terutama pada
pasien dimana faktor risiko
lain yang hadir seperti
fungsi ginjal menurun.
-ACE inhibitor dengan
Probenesid, probenesid
menurunkan klirens ginjal
captopril.
(Stockley, 2005)
Vitamin B6
Mengrangi efek dari
levodopa, namun tidak
terjadi pengurangan efek
jika diberikan bersamaan
dengan dopa dekarboxilasi
inhibitor.
Mengurangi aktivitas al-
tretamine.
Menurunkan konsentrasi
serum phenobarbital dan
phenytoin.
(Sweetman C., 2009)
Vitamin B12 Vitamin B12
sistem kardiovaskular : Vitamin B12 Thromboembolisme,
jarang (nyeri pada Absorbsi vit B12 dapat erythremia,
jantung, takikardia) berkurang di saluran erythrocytosis,
reaksi alergi : jarang pencernaan oleh adanya meningkatnya
(uritkaria) neomycin, asam sensitivitas terhadap
aminosalisilat, antagonis cyanocobalamin
histamin H2, omeperazole
dan kolkisin.
Konsentrasi serum dapat
berkurang oleh penggunaan
kontrasepsi oral.
Kloramfenikol parenteral
dapat mengurangi efek
vitamin B12 pada anemia
(Swetman C., 2009)
Lampiran 2. Hasil Diskusi
a. Hasil tanya jawab
1. Kadek Welly Prasminda (NIM 18)
Pertanyaan:
Mengapa memilih Alendronate? Apa pertimbangan dalam menggunakan dosis per hari
bukan per minggu?
Jawaban:
Golongan bifosfonat seperti risedronat dan alendronate merupakan first line terapi dari
osteoporosis. Alendronate dipilih dibandingkan dengan riserdronat karena risedronate
memiliki efek samping terhadap timbulnya hipertensi dengan angka kejadian sebesar 11%
(Lacy et al., 2010). Sedangkan, kondisi pasien saat ini memiliki tekanan darah 140/90 mmHg
yang tergolong hipertensi stage 1. Alendronat dapat diberikan dengan dosis per hari atau per
minggu. Alasan memilih dosis per hari yaitu untuk membantu meningkatkan kepatuhan
pasien karena seluruh obat yang diberikan dikonsumsi per hari.
Jawaban:
Karena pasien mengalami nyeri yang tak tertahankan meskipun telah menggunakan
flamar, sehingga dibutuhkan obat anti nyeri yang mampu mengatasi nyeri tak tertahankan
tersebut. Acetaminophen + Tramadol merupakan terapi yang direkomendasikan ketika
pemberian natrium diklofenak tidak mampu mengatasi nyeri. Acetaminophen + tramadol
dapat diberikan untuk pemakaian jangka pendek untuk meredakan nyeri tak tertahankan
tersebut.
Kami berasumsi bahwa nyeri yang diderita pasien sudah termasuk nyeri sedang karena
pada kasus pasien mengeluh nyeri pada punggung dan tulang belakang yang saat ini sudah
tak tertahankan lagi walaupun sudah diberikan voltadex (NSAID). Kami tidak memilih untuk
menaikkan dosis NSAID hingga dosis maksimal karena mempertimbangkan usia pasien dan
efek samping NSAID terutama pada GI. Efek samping lainnya adalah waktu perdarahan
yang lebih lama (Lacy et al, 2010), dimana pada kasus diketahui pasien memiliki riwayat
perdarahan per vagina. Oleh karena itu, kami memberikan kombinasi tramadol dan
acetaminophen karena berdasarkan algoritma terapi nyeri, pasien dengan nyeri sedang dapat
diberikan kombinasi golongan opioid dan acetaminophen (Dipiro et al, 2008). Selain itu,
manajemen terapi nyeri dari WHO (WHO 3-step ladder) juga menunjukkan bahwa jika obat-
obat step pertama seperti acetaminophen dan NSAID tidak efektif, maka dapat diberikan
obat-obat step kedua untuk nyeri sedang seperti kombinasi acetaminophen dengan tramadol
(WHO, 1990).
Berdasarkan suatu data yang dikeluarkan FDA, studi terhadap 901 orang lansia (65 tahun
ke atas) menunjukkan efek samping dengan angka kejadian yang tinggi dibandingkan dengan
pasien 65 tahun atau lebih muda adalah konstipasi, kelelahan, lemah, hipotensi, dan
dispepsia (FDA, tt). Jadi kami menyarankan pasien untuk mengkonsumsi makanan berserat
tinggi untuk mencegah konstipasi dan monitoring tekanan darah.
b. Saran
1. Ni Ketut Melysa Cahyani (NIM 15)
Sebaiknya tidak menggunakan suplemen dalam bentuk everfescent karena menggunakan
garam yang dapat memperparah hipertensi dari pasien. Sediaan dapat diganti ke dalam
bentuk lain.