Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FARMAKOTERAPI

OSTEOPOROSIS

DOSEN PEMBIMBING

Irma Susanti, S. Farm., M. Farm., Apt

DISUSUN OLEH

Ike Putri Istiana

(1902050274)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

FAKULTAS KESEHATAN

D3 FARMASI

2020
I. PENGERTIAN

Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan


menurunya massa tulang (kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat
ketidakmampuan tubuh dalam mengatur kandungan mineral dalam
tulang dan disertai dengan rusaknya arsitektur yang akan mengakibatkan
penurunan kekuatan tulang (pengeroposan tulang). Sehingga
mengandung risiko mudah terjadi patah tulang. Osteoporosis merupakan
salah satu penyakit yang digolongkan sebagai silent disease karena tidak
menunjukkan gejala – gejala yang spesifik. Gejala dapat berupa nyeri
pada tulang dan otot, terutama sering terjadi pada punggung. Beberapa
gejala umum osteoporosis, mulai dari pada patah tulang, tulang
punggung yang semakin membungkuk, menurunnya tinggi badan, dan
nyeri punggung. (Kemenkes RI, 2015: 1).

Osteoporosis adalah penyakit dimana tulang menjadi kurang padat,


kehilangan kekuatanya, dan kemungkinan besar patah (fraktur)
(Alexander &Knight, 2010).

Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan masa tulang


total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal,
kecepatan resoprsi tulang lebih besar dan kecepatan pembentukan
tulang, mengakibatkan penurunan masa tulang total (ode, 2012).

Selama ini osteoporosis identik dengan orang tua, namun faktanya,


pengeroposan tulang bisa menyerang siapa saja termasuk di usia muda.
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degenerative. (Kemenkes RI,
2015).

Osteoporosis terjadi karena ketidak mampuan tubuh dalam mengatur


kandungan mineral di dalam tulang dan akan menggangu saat proses
metabolisme tulang. Osteoporosis adalah kondisi dimana berkurangnya
massa tulang yang berada dalam titik mengkhawatirkan, sehingga tulang
kehilangan kelenturan dan kekuatannya. Apabila terkena benturan yang
ringan tulang tersebut akan patah. Tanpa kita sadari tanda dan gejalanya
penyakit osteoporosis ini disebut dengan pembunuh tersembunyi (silent
disease) karena kepadatan tulang terjadi secara perlahan dan
berlangsung secara progresif. Osteoporosis terjadi karena proses
pengikisan tulang dan pembentukan tidak seimbang. Sel-sel pengikisan
tulang yaitu ostoeklas dan osteoblas, osteoklas membuat lubang dalam
tulang lebih cepat daripada osteoblas yang membuat tulang baru untuk
mengisi lubang tersebut. Sehingga tulang mengalami penurunan densitas
dan menjadi rapuh dan mudah patah (Humaryanto, 2017).

Penelitian terbaru dari International Osteoporosis Foundation (IOF),


mengungkapkan bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia dengan retang
usia 50 – 80 tahun memiliki risiko terkena osteoporosis. Dan juga risiko
osteoporosis perempuan di Indonesia 4 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Biasanya penyakit keropos tulang ini menjangkiti
sebagaian besar wanita ketika menopause. Osteoporosis tidak
menampakkan tanda – tanda fisik yang nyata hingga terjadi keropos atau
keretakan pada usia senja. Hilangnya hormon esterogen setelah
menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis. Tidak dapat
dipungkiri osteoposrosis pada wanita ini dipengaruhi oleh hormone
estrogen. Namun karena gejala baru muncul setalah usia 50 tahun,
osteoporosis tidak mudah dideteksi secara dini. (kemenkes RI, 2015).

Osteoporosis dapat dijumpai di seluruh dunia dan sampai saat ini


merupakan masalah dalam kesahatan masyarakat terutama di Negara
berkembang di Amerika Serikat, osteoporosis menyerang 20 – 25 juta
penduduk, 1 diantara 2 -3 wanita post menopause dan lebih dari 50 %
penduduk diatas umur 70 -80 tahun. Mengutip data dari WHO yang
menunjukkan bahwa seluruh dunia ada sekitar 200 juta orang yang
menderita menopause pada tahun 2050, diperkirakan angka patah tulang
pinggul akan semakin meningkat 2 kali lipat pada wanita dan 3 kali lipat
pada pria. Laporan WHO juga menunjukkan bahwa 50% patah tulang
adalah patah tulang paha atas yang dapat mengakibatkan kecacatan
seumur hidup atau kematian. Dibandingkan dengan Negara-negara afrika,
densitas tulang masyarakat Eropa dan Asia lebih rendah, maka lebih
rentan mengalami osteoporosis. Hasil dari perhitungan White Paper yang
dilaksanakan bersama perhimpunan osteoporosis Indonesia pada tahun
2007, melaporkan bahwa proporsi osteoporosis pada penduduk yang
berusia diatas 50 tahun adalah 32,3% pada wanita sedangkan dengan pria
adalah 28,8%. Sedangkan system data rumah sakit ( SIRS, 2010),
menunjukkan angka insiden osteoporosis patah tulang paha atas adalah
sekitar 200 dari 100.000 kasus pada usia 40 tahun. (kemenkes, 2015)

Penyebab osteoporosis adalah adanya gangguan metabolism tulang,


pada keadaan normal, sel – sel tulang, yaitu sel pembangun ( osteoblast )
dan sel pembongkar (osteoklas) bekerja silih berganti, saling mengisi,
seimbang hingga tulang menjadi utuh. Apabila cara kerja osteoklas
melebihi cara kerja osteoblast maka kepadatan tulang akan menjadi
berkurang an menjadikan keropos. Metabolism tulang akan terganggu
dalam kondisi berkurangnya hormone estrogen, berkurangnya asupan
kasium dan vitamin D, berkurangnya stimulasi mekanik (inaktif) pada
tulang, efek samping berbagai jenis obat, minum alcohol, merokok, dan
sebagainya. Tiga tempat rawan osteoporosis diantaranya tulang belakang,
panggul, dan pergelangan tangan. (kemenkes RI 2015).

Dalam bone remodelling, dua jenis sel yang berperan, yaitu:3

 Sel osteoblas, membentuk tulang baru (formasi tulang).


 Sel osteoklas, merombak/menghancurkan tulang (resorpsi tulang).

Ketidak seimbangan kecepatan perombakan tulang oleh osteoklas


dengan pembentukan tulang baru oleh osteoblas dapat menyebabkan
osteoporosis.

Jenis Jenis Osteoporosis

Bila disederhanakan, terdapat tiga jenis osteoporosis, yaitu:

1. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer adalah kehilangan massa tulang yang terjadi
sesuai dengan proses penuaan. Sampai saat ini osteoporosis primer
masih menduduki tempat utama karena lebih banyak ditemukan
dibandingkan osteoporosis sekunder (Ode, 2012). Pada wanita
biasanya disebabkan oleh pengaruh hormonal yang tidak seefektif
biasanya. Osteoporosis ini terjadi karena kekurangan kalsiumakibat
penuaan usia (Syam dkk, 2014).
2. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit tertentu,
gangguan hormonal, dan juga kesalahan pada gaya hidup seperti
konsumsi alkohol secara berlebihan, rokok, kafein, dan kurangnya
aktifitas fisik. Berbeda dengan osteoporosis primer yang terjadi
karena faktor usia, osteoporosis sekunder bisa saja terjadi pada
orang yang masih berusia muda (Syam dkk, 2014). Penyakit yang
terkait dengan osteoporosis sering kali melibatkan mekanisme yang
berkaitan dengan ketidakseimbangan kalsium, vitamin D, dan
hormon seks. (NIH Osteoporosis dkk,2017) 
Selain itu, banyak penyakit inflamasi, seperti rheumatoid arthritis,
mungkin memerlukan pasien untuk menjalani terapi glukokortikoid
jangka panjang dan telah dikaitkan dengan osteoporosis sekunder.
Khususnya, glukokortikoid dianggap sebagai obat paling umum yang
terkait dengan osteoporosis yang diinduksi obat. BMD telah
ditemukan menurun dengan cepat dalam tiga sampai enam bulan
sejak dimulainya terapi glukokortikoid. American College of
Rheumatology (ACR) memiliki rekomendasi rinci untuk membantu
memandu pemilihan terapi untuk pencegahan dan pengobatan
osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid (GIO). BMD telah
ditemukan menurun dengan cepat dalam tiga sampai enam bulan
sejak dimulainya terapi glukokortikoid.(Buckley L dkk, 2017)
American College of Rheumatology (ACR) memiliki rekomendasi
rinci untuk membantu memandu pemilihan terapi untuk
pencegahan dan pengobatan osteoporosis yang diinduksi
glukokortikoid (GIO). (Buckley L dkk, 2017)
3. Osteoporosis Idiopatik
osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, ditemukan pada
usia kanak-kanak (juvenil), usia remaja, dan pria usia pertengahan.
(kemenkes, 2015)

Gejala Osteoporosis

Osteoporosis dapat muncul tanpa sengaja selama beberapa dekade


karena osteoporis tidak menyebabkan gejala sampai terjadi patah tulang.
Selain itu, beberapa fraktur osteoporosis dapat lolos deteksi selama
bertahun-tahun karena tidak memperlihatkan gejala. Gejala yang yang
berhubungan dengan patah tulang osteoporosis biasanya adalah nyeri.
Lokasi nyeri tergantung pada lokasi fraktur. Sedangkan gejala
osteoporosis pada pria mirip dengn gejala osteoporis pada wanita.
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya
osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Biasanya gejala akan timbul pada
wanita berusia 51-75 tahun, meskipun bisa lebih cepat ataupun lambat.
Jika kepadatan tulang berkurang, tulang dapat menjadi kolaps atau
hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk (Syam, dkk
2014).

Pathogenesis
Etiopatogenesis utama osteoporosis pada perempuan pasca-
menopause adalah defisiensi estrogen yang menyebabkan percepatan
turnover tulang, sedangkan pada pria dan perempuan pre-menopause
adalah karena insufisiensi vitamin D dan hiperparatiroidisme. (Pavone V
dkk, 2017)
Kombinasi faktor genetik, endokrin, dan nutrisi dapat mengubah
keseimbangan antara resorpsi tulang dan deposisi tulang melalui
stimulasi aktivitas osteoklas dan penghambatan aktivitas osteoblas dan
osteosit. Faktor endokrin utama dalam terjadinya osteoporosis adalah
hormone paratiroid (PTH), vitamin D, calcitonin, dan estrogen. PTH
memicu absorpsi kalsium dari ginjal, tulang, dan usus, memicu aktivitas
osteoklas, serta mengaktivasi vitamin D menjadi calcitriol yang memicu
absorpsi kalsium dari usus. Peran PTH dan vitamin D berlawanan dengan
calcitonin, yang secara reversibel menghambat fungsi osteoklas, sehingga
menghambat resorpsi tulang. Estrogen juga menghambat resorpsi tulang
dengan mengikat reseptor spesifik, reseptor estrogen a (Era) dan reseptor
estrogen b (Erb) untuk meningkatkan apoptosis osteoklas. Penurunan
produksi estrogen pada perempuan pasca-menopause merupakan salah
satu faktor kejadian osteoporosis lebih tinggi pada populasi ini. (Pavone V
dkk, 2017)
Faktor lain yang berperan dalam resorpsi tulang adalah faktor fisik,
seperti kerusakan mikro berulang mengakibatkan RANKL (receptor
activator of nuclear factor kappa-B ligand) berikatan dengan reseptornya
(RANK) yang diekspresikan pada pra-osteoklas, menyebabkan aktivasi
osteoklas. Selain itu, stres oksidatif juga menyebabkan pelepasan sitokin
dan prostaglandin yang dapat meningkatkan osteoklastogenesis melalui
upregulation RANKL dan downregulation osteoprotegerin, protein yang
secara normal menghambat ikatan RANKL pada RANK. (Tabatabaei
Malazy O dkk, 2017)
Faktor risiko (kemenkes, 2015)
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah/ dimodifikasi:
 Usia lanjut
Seiring bertambahnya usia, terjadi penurunan fungsi organ
tubuh termasuk penyerapan kalsium oleh usus; penurunan
estrogen atau testosteron akibat penuaan juga
meningkatkan risiko osteoporosis. Selain itu, pada usia
lanjut terjadi peningkatan hormone paratiroid.
 Jenis kelamin
di mana risiko pada perempuan lebih tinggi Osteoporosis
lebih banyak pada perempuan karena pengaruh penurunan
estrogen yang sudah dimulai sejak usia 35 tahun.
Perempuan hamil juga berisiko osteoporosis karena proses
pembentukan janin yang membutuhkan banyak kalsium.
 Riwayat osteoporosis
keluarga kandung (genetik)
 Ras
Ras Asia dan Kaukasia atau orang kulit putih memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami osteoporosis, karena secara
umum konsumsi kalsiumnya rendah, intoleransi laktosa,
dan menghindari produk hewan. Sedangkan ras kulit hitam
dan Hispanik memiliki risiko mengalami osteoporosis yang
lebih rendah.
 Penurunan hormon estrogen atau testosteron akibat
penuaan
2. Faktor risiko yang dapat diubah/ dimodifikasi:
 Berat badan yang rendah dan struktur tulang yang kecil
 Kurang aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik dapat menghambat aktivitas
osteoblas sehingga densitas tulang akan berkurang.
 Kurang paparan sinar matahari
 Kurang asupan kalsium
Jika asupan kalsium kurang, tubuh akan mengeluarkan
hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh
lain, termasuk tulang.
 Merokok
Zat nikotin dalam rokok bisa mempercepat resorpsi tulang
dan menurunkan kadar dan aktivitas estrogen, sehingga
meningkatkan risiko osteoporosis.
 Konsumsi minuman tinggi kafein dan alkohol
Kafein dan alkohol dapat menghambat proses
pembentukan massa tulang dan menyebabkan
terbuangnya kalsium bersama urin, sehingga menyebabkan
pengeroposan tulang.
 Penggunaan obat tertentu jangka panjang
(kortikosteroid, antikejang, antikoagulan, methotrexate)
Kortikosteroid dapat menghambat aktivitas osteoblas
sehingga meningkatkan risiko osteoporosis.

Pencegahan
Pencegahan osteoporosis harus dimulai sedini mungkin, bahkan
sejak di dalam rahim, untuk mencapai massa tulang semaksimal mungkin,
serta penurunan massa tulang seminimal mungkin. Beberapa cara yang
bisa dilakukan, yaitu (Kemenkes RI, 2015)
 Cukupi kebutuhan nutrisi, seperti kalsium dan vitamin D.
Kebutuhan kalsium 80 - 1500 mg/hari dan vitamin D 800-
1000 IU/hari.
 Olahraga atau aktivitas fisik yang cukup, misalnya banyak
berjalan kaki.
 Hindari merokok dan minum alcohol.
 Kurangi konsumsi kafein dan soda.
 Pemeriksaan dini osteoporosis, terutama saat menopause.

Tatalaksana

Osteoporosis tidak bisa disembuhkan, namun perlu mendapat


penatalaksanaan untuk meningkatkan BMD, menghambat pengeroposan
tulang, dan mencegah atau menurunkan risiko fraktur.(Wasowski M dkk,
2017)

Meskipun telah tersedia terapi yang efektif, namun osteoporosis


sering kurang terdiagnosis dan kurang mendapat terapi optimal, selain itu
tingkat kepatuhan pasien terhadap terapi dan kontrol yang masih rendah.
Dalam algoritma penatalaksanaan osteoporosis pasca-menopause,
penentuan risiko fraktur mencakup pengukuran BMD tulang belakang
lumbal dan tulang panggul, serta memasukkan nilai BMD panggul atau
leher tulang paha ke dalam FRAX tool. Dengan algoritma FRAX tersebut,
risiko dikategorikan sebagai berikut (Aestell R dkk, 2019) :

 Risiko rendah, jika tidak ada fraktur tulang panggul atau


tulang belakang sebelumnya, skor T BMD tulang panggul
dan tulang belakang > -1,0, dan risiko fraktur tulang
panggul 10 tahun <3% dan risiko fraktur osteoporosis
utama 10 tahun <20%.
 Risiko sedang, jika tidak ada fraktur tulang panggul atau
tulang belakang sebelumnya skor T BMD tulang panggul
dan tulang belakang > -2,5, atau risiko fraktur tulang
panggul 10 tahun <3% atau risiko fraktur osteoporosis
utama 10 tahun <20%.
 Risiko tinggi, jika ada fraktur tulangpanggul atau tulang
belakang sebelumnya, atau skor T BMD tulang panggul dan
tulang belakang -2,5 atau risiko fraktur tulang panggul 10
tahun -3% atau risiko fraktur osteoporosis utama 10 tahun
-20%.
 Risiko sangat tinggi, jika ada fraktur tulang belakang
multipel dan T-skor BMD tulang panggul atau tulang
belakang -2,5.

Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi sebaiknya dimulai pada:(Pavone v dkk, 2017)


 Pasien dengan osteopenia.
 Pasien dengan riwayat fraktur osteoporotik pada panggul
atau spinal.
 Pasien dengan T-score ≤-2,5
 Pasien dengan T-score antara -1 dan -2,5
jika probabilitas 10 tahun FRAX® (Fracture Risk Assessment
Tool) untuk fraktur panggul ≥3% dan osteoporotik mayor
≥20%.

Berdasarkan cara kerjanya, obat osteoporosis terdiri dari: (American


College of Rheumatology,2019)

 Antiresorptive agent

Merupakan obat yang menurunkan kehilangan massa


tulang.

Contoh: bisphosphonate, calcitonin, strontium ranelate,


denosumab

 Anabolic agent

Merupakan obat yang meningkatkan massa tulang:


estrogen atau terapi sulih hormon, selective estrogen
receptor modulator (misal: raloxifene), teriparatide
Pemberian obat anti-osteoporosis sebaiknya tetap disertai
asupan kalsium dan vitamin D yang cukup serta
menghindari faktor risiko osteoporosis seperti tidak
merokok dan tidak minum alkohol, serta olahraga yang
cukup dan menghindari risiko terjatuh atau fraktur.
(Pavone V dkk,2017)

II. PENGGOLONGAN
1) Bisphosphonate
Bisfosfonat adalah kelompok obat yang berfungsi untuk
memperlambat dan mencegah terjadinya kerapuhan tulang akibat
kematian sel - sel tulang. Bisfosfonat juga dapat berfungsi untuk
memperkuat tulang dan mengatasi hiperkalsemia atau kadar
kalsium tinggi dalam darah yang muncul akibat komplikasi kanker.
Obat - obatan yang masuk ke dalam kelompok bisfosfonat
merupakan obat resep, sehingga penggunaannya harus
berdasarkan petunjuk dokter. Obat-obatan ini digunakan dalam
bentuk diminum atau diinfus.
Bisphosphonate oral merupakan obat yang efektif, terjangkau,
dengan data keamanan jangka panjang untuk sebagian besar
senyawa. Jika tidak ada kontraindikasi spesifik, bisphosphonate
oral dipertimbangkan sebagai terapi farmakologi lini pertama
untuk perempuan pasca-menopause dengan risiko tinggi fraktur,
dan telah disetujui FDA untuk osteoporosis yang disebabkan oleh
glucocorticoid. Bisphosphonate bekerja mempengaruhi jalur
intraseluler spesifik pada osteoklas yang menyebabkan toksisitas
seluler. Secara spesifik, obat ini mengikat hidroksiapatit dan
menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas melalui beberapa
cara, yaitu sitotoksik atau injuri metabolik pada osteoklas matur,
menghambat penempelan osteoklas pada tulang,
menghambatdiferensiasi dan rekrutmen osteoklas, serta
mempengaruhi struktur osteoklas yang diperlukan untuk resorpsi
tulang (komponenn sitoskeleton).
Obat - obatan yang termasuk ke dalam golongan bisfosfonat
adalah :
a. Alendronat : Dosis 70mg 1 tab 1 x/minggu, untuk
orang dewasa
Indikasi : Terapi osteoporosis pada wanita paska
menopause
Kontra Indikasi : Kondisi abnormal dari esofagus yang
memperlambat proses pengosongan, misalnya : striktura atau
akalasia, ketidak mampuan berdiri atau duduk teagk selama
minimal 30menit. (ISO VOL 50 Hal 273 Tahun 2016)
b. Zoledronate : Dosis 5mg infus tiap 2 tahun sekali orang
dewasa
Indikasi : Mencegah osteoporosis (wanita
pascamenopause)
Kontra Indikasi : Tidak untuk anak anak dan penderita
hipokalsemia (IR Reid, 2019)
c. Clodronat :Dosis 600mg sehari, dapat ditingkatkan
sampai maksimal 3.200 mg jika perlu untuk orang tua.
Indikasi : Membentuk kompleks dengan ion logam
bervalensi dua yang bisa mengganggu penyerapan.
Kontra Indikasi : Pada pasien gagal jantung berat.
(Dini Anggraini dkk, 2016)
d. Ibandronat acid : Dosis 150 mg, 1 kali per bulan, diberikan
pada tanggal yang sama setiap bulannya.
Indikasi : pengobatan atau pencegahan
osteoporosis pascamenopause
Kontra Indikasi : wanita hamil atau menyusui, ginjal berat
(Kemenkes RI, 2015)
e. Risedronat : Dosis 35 mg dan 75 mg dikonsumsi
seminggu atau sebulan sekali untuk orang dewasa
Indikasi : Osteoporosis pada wanita paska
menopause dan osteoporosis yang disebabkan oleh
glukokortikoid pada pria dan wanita
Kontra Indikasi : Hipokalsemia
(A Fajar, 2018)
a) Mekanisme kerja
Mekanisme kerja bifosfonat yaitu menurunkan resorpsi
tulang dengan menghambat fungsi osteoklas dan obat ini
telah dibuktikan memiliki khasiat anti-fraktur pada pasien
dengan osteoporosis. Obat ini memiliki keunikan yaitu dapat
berikatan dengan hidroksiapatit di tulang dan bertahan lama
di dalam tulang.
b) Indikasi
Bisfosfonat seringkali digunakan dalam jangka panjang
untuk mengobati penyakit osteoporosis, yang dapat dipicu
oleh menopause (osteoporosis pasca menopause). Kepadatan
jaringan tulang diatur oleh dua jenis sel dalam tulang, yaitu
osteoblas dan osteoklas. Ostoblas akan berperan untuk
membentuk jaringan tulang dengan menggunakan mineral,
sedangkan osteoklas akan berperan untuk menghancurkan
jaringan tulang dan menyerap mineral untuk digunakan
kembali. Pada perempuan yang sudah mengalami
menopause, kurangnya estrogen akan menyebabkan
peningkatan aktivitas osteoklas tanpa diiringi dengan
peningkatan aktivitas osteoblas. Hal ini menyebabkan tulang
menjadi kehilangan kepadatannya dan terjadi ostoporosis.
Bisfosfonat bekerja dengan cara menghambat fungsi dan
kinerja sel osteoklas di dalam jaringan tulang. Bisfosfonat
akan menghambat proses ini sehingga dapat mencegah
hilangnya massa tulang dan memperkuat jaringan tulang.
Selain itu, obat ini juga dapat mencegah sel osteoblas dan
osteosit, yaitu sel-sel yang menjadi komponen utama jaringan
tulang, dari mengalami kematian. Hal ini dapat mencegah
jaringan tulang mengalami kerapuhan akibat kematian sel
osteoblas dan osteosit.
Selain osteoporosis, bisfosfonat juga dapat digunakan
untuk mengobati berbagai kondisi lainnya. Contohnya adalah
penyakit paget dan kelebihan kalsium akibat kanker.
c) Kontra Indikasi
a. Alendronate dan risedronate memiliki kategori kehamilan
C, sedangkan zolendronic acid memiliki kategori kehamilan
D. Artinya bahwa obat golongan bisfosfonat terbukti
memiliki risiko adanya kelainan pada janin jika dikonsumsi
oleh ibu hamil. Oleh karena itu, obat ini sebaiknya tidak
dikonsumsi oleh ibu hamil, kecuali dalam keadaan khusus
yang mendesak dan tidak ada obat lain yang lebih aman.
b. Sejauh ini belum diketahui apakah obat golongan
bisfosfonat dapat terserap ke dalam air susu ibu menyusui
atau tidak. Oleh karena itu, untuk menghindari risiko,
sebaiknya ibu yang sedang menyusui tidak
mengonsumsinya.
c. Obat golongan bisfosfonat tidak boleh digunakan oleh
orang yang memiliki alergi terhadap obat ini. Selain itu,
penderita hipokalsemia (kekurangan kalsium dalam darah)
juga tidak dibolehkan menggunakan obat golongan
bisfosfonat.
d. Untuk mencegah terjadinya hipokalsemia akibat
menggunakan obat golongan bisfosfonat, pasien
diharuskan menjaga asupan kalsium dan vitamin D sehari-
hari. Dokter akan memberikan daftar makanan dan
minuman yang mengandung kalsium dan vitamin D untuk
dikonsumsi pasien selama menggunakan obat
e. Dikarenakan obat golongan bisfosfonat memengaruhi
metabolisme kalsium dalam tubuh, penderita penyakit
ginjal terutama pada stadium lanjut harus menghindari
konsumsi obat golongan bisfosfonat.
f. Obat golongan bisfosfonat bentuk oral harus diminum
dengan air putih dan diusahakan dalam keadaan perut
kosong agar terserap dengan baik oleh tubuh. Setelah
meminum obat golongan bisfosfonat, pasien diharuskan
diam dalam keadaan duduk atau berdiri selama sekitar 30
menit.
g. Penderita kelainan penyempitan esofagus atau
kerongkongan, serta orang yang tidak dapat berdiri atau
duduk dengan stabil selama 30 tidak dibolehkan
mengonsumsi bisfosfonat, karena akan rentan mengalami
iritasi pada esofagus.

d) Efek samping obat golongan bisfosfonat adalah :


a. Gangguan saluran pencernaan, seperti sakit maag, diare,
mual, sakit perut, sembelit, hingga tukak lambung
b. Gangguan kerongkongan atau esofagus, seperti luka dan
pengikisan pada dinding esophagus
c. Sakit kepala
d. Demam
e. Peradangan pada mata
f. Hipokalsemia
g. Nyeri punggung
h. Nyeri tulang dan sendi
i. Patah tulang paha
j. Kerusakan tulang rahang.

2) Selective Estrogen Receptor Modulators (Serms)


Selective estrogen receptor modulatormerupakan obat
sintetik non-steroidal dengan efek yang sama seperti estrogen
pada tulang dan kardiovaskular, tetapi tanpa efek buruk pada
payudara dan endometrium.(Pavone V dkk,2017)
Obat SERM yang paling sering untuk pencegahan
osteoporosis perempuan pascamenopause adalah raloxifene,
lasofoxifene, dan bazedoxifene, yang saat ini telah disetujui FDA.
Obat ini secara tipikal digunakan dalam kombinasi dengan
estrogen terkonjugasi. (Qaseem A,dkk 2017)
SERM menurunkan fraktur vertebra pada perempuan
osteoporosis dengan meningkatkan massa tulang trabecular pada
skeleton aksial, tetapi secara statistic tidak bermakna dalam
menurunkan risiko fraktur non-vertebra atau tulang panggul
dibandingkan plasebo. Lebih lanjut, raloxifene juga meningkatkan
porositas kortikal. (Börjesson AE dkk,2017)
Selain osteoporosis, SERM juga efektif mencegah dan
mengobati kanker payudara perempuan pramenopause tetapi
meningkatkan risiko stroke, tromboembolisme, kram tungkai, dan
gejala vasomotorik pada perempuan pasca-menopause.
(Tabatabaei-Malazy dkk,2017)
Oleh karena itu, SERM dikontraindikasikan untuk pencegahan
dan terapi osteoporosis pada perempuan pra-menopause, namun
sebagai terapi ini pertama untuk pencegahan osteoporosis pada
perempuan pasca-menopause.(Pavone V DKK, 2017)
a) Raloxifene
agonis esteron pada jaringan tulang tetapi merupakan
antagonis pada payudara dan uterus. Telah dibuktikan untuk
pencegahan dan pengobatan osteoporosis postmenopause.
Raloxifene meningkatkan BMD tulang belakang dan pinggul
sebesar 2 hingga 3% dan menurunkan fraktur belakang. Fraktur
non-vertebral tidak dapat dicegah dengan raloxifene.
a) Mekanisme Kerja
raloxifen merupakan reseptor estrogen selektiv yang
mengurangi resorpsi tulang dan menurunkan pembengkokan
tulang.
b) Indikasi
osteoporosis, pencegahan dan pengobatan osteoporosis pada
wanita post-menopause.
c) Kontra Indikasi
wanita menyusui, wanita yang sedang atau akan hamil, wanita
dengan kejadian aktif atau memiliki sejarah tromboembolik
vena, termasuk thrombosis vena dalam.
d) Efek Samping
hot flushes, kram kaki, tromboembolis vena.
b) Raloksifen hidroklorida
a) Indikasi
pengobatan dan pencegahan osteoporosis pada wanita pasca
menopause. Ketika menentukan untuk memilih ih raloksifen
atau terapi yang lain termasuk esterogen untuk wanita pasca
menopouse individual, perhatian harus diberikan pada gejala
menopause efek pada jaringan payudara dan uterus dan
resiko serta manfaat kardiovaskular.
b) Peringatan
Faktor risiko untuk tromboembolisme Vena (hentikan
pemakaian jika memperpanjang imobilisasi), kanker payudara
(lihat keterangan di atas), riwayat hipertensi gliseridemia yang
diinduksi esterogen (monitor serum trigliserida)
c) Interaksi
lihat lampiran 1 (ralosifene)

d) Kontraindikasi
riwayat tromboembolisme Vena, pendarahan uterus tak
terdiagnosa kanker endometrium kerusakan hati, kolestasis,
kerusakan ginjal parah, kehamilan, dan menyusui
e) Efek samping
tromboembolisme Vena, tromboplebitis, hot flushes, kram
kaki, udem perifer, gejala seperti influenza, jarang ruang,
gangguan saluran cerna, hipertensi, sakit kepala(termasuk
migrain), ketidaknyamanan payudara.
f) Dosis
1 tablet 60 mg sekali sehari oral dapat diminum kapanpun
tanpa harus makan terlebih dahulu titik untuk wanita dengan
asupan nutrisi yang kurang, disarankan suplementasi kalsium
dan vitamin D

3) Kalsitonin
Calcitonin menghambat resorpsi tulang dengan meningkatkan
aktivitas osteoblas dan dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua
jika obat lini pertama tidak dapat ditoleransi atau tidak efektif.
Studi menunjukkan bahwa calcitonin meningkatkan BMD lumbal
dan menurunkan petanda biologi turnover tulang, namun tidak
mencegah fraktur baru tulang vertebra, non-vertebra, dan
panggul. Calcitonin tersedia dalam bentuk injeksi dan intranasal
dengan dosis 100 IU subkutan 2 hari sekali atau 200 IU intranasal
sekali sehari.
a) Mekanisme Kerja
bersama dengan hormon paratiroid, kalsitonin berperan
dalam mengatur homoestatis Ca dan metabolism Ca tulang.
Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar tiroid ketika terjadi
peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin salmon
digunakan secara klinis sebab lebih ppoten dan bertahan lebih
lama daripada kalsitonin mamalia.
b) Indikasi
kalsitonin diindikasikan untuk pengobatan osteoporosis untuk
wanita setidaknya 5 tahun setelah menopause, hiperkalsemia,
penyakit paget, dan nyeri tulang atau sindrom kompresi.
c) Kontra Indikasi : -
d) Efek Samping
mual, muntah, flushing, kecapan tak enak, kedutan di tangan,
reaksi radang local.
4) Estrogen & Progesteron serta Preparat Sintetiknya
Esterogen dan terapi hormonal
a) Mekanisme kerja
esterogen menurunkan aktivitas osteoklas menghambat pth
secara peripheral. Meningkatkan konsentrasi calcitriol dan
absorpsi kalsium di usus, dan menurunkan ekskresi kalsium
oleh ginjal.
Efek peningkatan HMS dari terapi estrogen (ET) dan terapi
kombinasi hormon esterogen-progestin (HT) lebih kecil dari
efek yang dihasilkan oleh bisfosfonat.
Atau teriparatide, tetapi lebih besar daripada raloxifene. Hasil
dari studi menunjukkan bahwa ET atau HT meningkatkan BMD
lumbar spinal sebesar. 4,9-7% BMD leher fermolar sebesar
2,3% dan 4,1% dan BMD lengan bawah sebesar 3% dan 4,5%.
Pada tahun pertama dan kedua, secara berurutan androgen
oral dan transdermal pada dosis yang sama dan penelitian HT
berkelanjutan atau siklus memiliki efek HMD dapat dilihat
dalam beberapa tahun pertama pengobatan, dan sesudahnya
terjadi sedikit peningkatan atau plateu. Efek terhadap BMD
meningkat jika ET atau HT dikombinasikan dengan bifosfonat
atau hormon paratiroid, jika ET atau HT dihentikan, hilangnya
massa tulang dipercepat dalam jangka waktu pendek
dibandingkan dengan plasebo pada sebagian besar studi HT
menurunkan fraktur vertebral, pinggul dan semua fraktur
secara berurut-urut sebesar 34%, 35%, dan 24%. Percobaan
the esterogen-only of the womens healt initiative (WHI) juga
menentukan penurunan faktur timbul pada penggunaan ET
b) indikasi
defisiensi gonad, terapi pengganti hormon (HRT), kanker
payudara, osteoporosis pasca menopause, gangguan siklus
haid, dan kontrasepsi oral (bersama progesteron)
c) Kontra indikasi
kehamilan, kanker yang esterogen dependen tromboplebitis
aktif atau tromboemboli, gangguan fungsi hati, pendarahan
vagina yang belum jelas sebabnya, wanita menyusui.
d) Peringatan
penggunaan estrogen jangka lama tanpa
diimbangiprogestogen meningkatkan risiko kanker
endometrium pada wanita yang uterus nya utuh, migrain,
riwayat fibrokistik payudara (periksa payudara secara berkala)
fibroid uterus dapat membesar endometriosis (gejala dapat
kambuh) predisposisi, trometriotritis dan emboli penyakit
kandung empedu.
Interaksi :
 penghambat ACE
esterogen dan kontrasepsi oral kombinasi melawan efek
hipotensif
 anti bakteri
rifampisin mempercepat metabolisme kontrasepsi oral
kombinasi dan progestogen tunggal (menurunkan efek
kontraseptif, penting apabila antibiotik spektrum luas
seperti ampisilin dan tetrasiklin diberikan dengan
kontrasepsi oral kombinasi, kemungkinan menurunkan
efek kontraseptif) risiko kemungkinan kecil
 antikoagulan
antagonisme terhadap efek antikoagulan dan Nikomulon,
fenindion dan warfarin
 anti depresan
dilaporkan adanya antagonisme terhadap efek
antidepresan, tetapi efek samping trisiklik dapat meningkat
karena kadar plasma yang lebih tinggi.
 antidiabetika
antagonis efek hipoglikemia
 anti epileptika
karbamazepin, fenobarbital, fenotoin, primidon dan
topiramat mempercepat metabolisme (menurunkan efek
kontrasepsi kombinasi dan progestogen tunggal)
 anti jamur
griseofulvia mempercepat metabolisme menurunkan efek
esterogen, ada laporan anekdotal tentang kegagalan
kontrasepsi dengan flukonazol, itrakonazol, ketokonazol,
dan mungkin yang lainnya.
 anti hipertensi
kontrasepsi oral kombinasi melawan efek hipotensif
 antivirus titonavir
mempercepat metabolisme kontrasepsi oral kombinasi
mengurangi efek kontraseptif.
 Beta bloker
esterogen dan kontrasepsi oral kombinasi melawan efek
hipotensif
 siklosporin
meningkatkan kadar plasma siklosporin
 diuretik
kontrasepsi oral kombinasi melawan efek diuretik
 theofilin
kontrasepsi oral kombinasi menunda ekskresi (menaikkan
kadar plasma teofilin)
 obat-obat antiulkus
diinformasikan bahwa klakson prazole mungkin
mempercepat metabolisme.
Sediaan beredar :
Estero (Santi sepuri) tablet esterogen 0.3mg : 0,625 :
1,250mg
kliogest (Dexa medica) tablet estradiol 2mg
norethisterone asetat 1mg
oven (pharmacia) tablet estropipat 0.75 mg (Ogen
0,25) : 15mg (Ogen 1,25)

a. CRINONE

Progesterone.

 Idikasi
Terapi infertilitas km fase luteal yg tdk adekuat. Utk
penggunaan selama fertilisasi in vitro, dimana infertilitas
terutama disebabkan km ggn pd tuba, idiopatik, atau
endometriosis yg berhubungan dg siklus ovulasi normal.
b. CYCLO-PROGYNOVA
 indikasi
Amenore primer & sekunder, siklus haid tdk terstur, termpi
ssulih homon selama & ssdh sindrom imakterium; terapi
defisensi hormon ssdh oolorek- fomi atau kastrasl radiolog utk
peny non-karsinoma.
c) DUPHASTON
 indikasi
lihat pada dosis
d) FEMOSTON
 indikasi
terapi untuk gangguan yang diakibatkan menopause alamiah
atau menopause km pembedahan,pencegahan osteoporosis
pasca pasca menopause pada wanita yang beresiko tinggi
mengalami fraktur.
e) GESTIN F1
 indikasi
kontrasepsi 1 bulan-an
f) GESTIN 2
 indikasi
untuk mencegah kehamilan
g) GESTIN F3
 indikasi
untuk mencegah kehamilan
h) LUTENYL
 indikasi
gejala yang berhubungan dengan defisiensi progesteron
pendarahan fungsional uterus dan pada fibroma,
endometriosis qomatish menteri terapi sulih hormon dalam
kombinasi dengan estrogen.
i) NEYNNA
 indikasi
kontrasepsi oral bulanan yang dapat meredakan gejala-gejala
androgen pada wanita, hirsutisme ringan, alopesia
androgenik.
j) NORELUT
 indikasi
lihat pada dosis
k) OESTROGEL
 indikasi
Defisiensi estrogen dan gejala gejala defisiensi estrogen
terutama yang berhubungan dengan menopause. Untuk
pencegahan osteoporosis pada pasca menopause.
l) OVESTIN
 Indikasi
atrofi sel urogenital bagian bawah yang berhubungan dengan
defisiensi estrogen tidak untuk terapi terhadap keluhan vagina
seperti dispareunia kering dan gatal. Dan pasca terapi pada
wanita pasca menopause hal yang mengalami op vaginal.
Keluhan pada masa climacterium seperti muka terasa panas
kemerahan dan keringat malam hari. Infertilitas karena
gangguan pada serviks

m) PREABOR
 Indikasi
mencegah ancaman abortus, ancaman kelahiran prematur, dan
abortus habitualis.
n) PREGNABION
 indikasi
persalinan prematur yang mengancam jiwa, abortus, abortus
habitual
o) PREGNOLIN
 indikasi
lihat pada dosis
p) PREGTENOL
 indikasi
lihat pada dosis
q) PRIMOLUT N
 indikasi
pendarahan disfungsional, amonium primer dan sekunder,
sindrom pramenstruasi, Mas topati siklik, pengaturan waktu
menstruasi, Andrometriosis
r) PROVERA
 indikasi
sebagai terapi penunjang dan atau paliatif karsinoma
endometrium recurrent dan atau Mita statis atau Renault,
dalam pengobatan kanker payudara yang tergantung pada
hormonal pada wanita pasca menopause.
s) REGUMEN
 indikasi
pengobatan pendarahan rahim disfungsional, endometriosis,
metroPati hemoragik,sindroma premenstruasi penundaan
waktu haid, menoragi dan dismenore
t) RENIDIOL
 indikasi
terapi amenore sekunder.
u) UTROGESTAN
 indikasi
gangguan yang berhubungan dengan defisiensi progesteron.
Oral : untuk atasi haid yang tidak teratur karena divulasi,
Vag : untuk siklus fertilisasi in Vitro, alternatif terhadap rute
oral jika tidak dapat ditoleransi.

v) VISSANE
 indikasi :
endometriosis

5) Kalsium
a) Mekanisme kerja obat
Kalsium penting untuk fungsi integritas sistem saraf dn otot,
untuk kontraktilitas jantung normal, dan koagulasi darah.
Kalsium juga berfungsi sebagai kofaktor enzim dan
mempengaruhi aktivitas sekresi kelenjar endokrin dan
eksokrin.
Pasien dengan penyakit ginjal (bersihan kreatin kurang dari 30
ml/ menit) menunjukan retensi fosfat dan hiperfosfatemia.
Retensi fosfat berperan dalam menyebabkan
hiperparatiroidisme sekunder yang berkaitan dengan
osteodistrofi dan klasifikasi jaringan lunak.

b) Indikasi
Suplemem kalsium biasanya hanya diperlukan bila kalsium
tidak cukup, definisi kalsium. Kalsium oral juga digunakan
dalam pengobatan osteoporosis, osteomalacia, riketsia, dan
tetanus laten.
c) Kontraindikasi
Kalsium dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalemia
dan fibrilasi ventricular.

d) Interaksi obat
 Antibakteri : menurunkan absorbs tetrasiklin
 Bifosfonat : mengurangi absorbsi
 Glikosida jantung : dosis kalsium intravena yang tinggi
dapat mencetus aritmia
 Diuretik : dengan tiazid meningkatkan resiko
hiperkalsemia

e) Efek samping
Gangguan gastrointestinal ringan: bradikardia, aritmia, dan
iritasi setelah injeksi intravena.

Obat – obat yang masuk dalam golongan kalsium adalah


sebagai berikut :
1. Kalsium glubionat
2. Kalsium glukonat
3. Kalsium laktat
4. Kalsium sitrat
5. Kalsium asetat
6. Trikalsium fosfat
7. Kalsium karbonat

1. Kalsium Glukonat
a. Indikasi
untuk tata laksana kasus hipokalsemia akut yang
simptomatik. Obat ini juga bisa digunakan untuk overdosis
calcium channel blocker, hipermagnesemia, dan luka bakar
akibat asam hidrofluorik. Indikasi lain, seperti untuk
resusitasi kardipulmonal.

b. Efek Samping
reaksi lokal akibat peningkatan kadar kalsium,
hiperkalsemia, dan keracunan aluminium.

c. Mekanisme kerja
obat yang sering digunakan untuk menaikan kadar kalsium
pada pasien hipokalsemia. Obat ini juga bisa digunakan
sebagai antidotum misalnya pada keadaan overdosis calcium
channel blocker dan luka bakar asam hidrofluorik.
2. Kalsium Laktat
a. Indikasi
obat atau suplemen yang berfungsi untuk mencegah serta
mengatasi kadar kalsium yang rendah di dalam darah atau
hipokalsemia. Obat ini bisa diandalkan untuk memenuhi
kebutuhan kalsium bagi mereka yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan kalsium dari makanan.

b. Efek Samping
Gatal-gatal. Kesulitan bernapas. Pembengkakan pada wajah.
Bibir.

c. Mekanisme kerja
Kalsium laktat banyak digunakan untuk terapi kekurangan
kalsium sehingga kebutuhan kalsium harian pada setiap
orang tercukupi. Obat ini juga berguna bagi wanita hamil,
gangguan kelenjar tiroid, dan penyakit tulang seperti
osteoporosis.

3. Kalsium Sitrat

a. Indikasi
digunakan untuk mencegah dan memperbaiki defisiensi
vitamin D serta kadar kalsium dalam darah yang rendah.

b. Efek Samping
Konstipasi, Mulas,Mual/muntah,Hilang nafsu makan,
Penurunan berat badan tidak normal, Perubahan suasana
hati, Nyeri pada tulang atau otot, Sakit kepala

c. Mekanisme kerja
digunakan untuk mencegah atau mengobati kadar rendah
kalsium dalam darah pada orang-orang yang tidak
mendapatkan cukup kalsium dari nutrisinya.

4. Kalsium Asetat

a. Indikasi
obat yang bermanfaat untuk menurunkan dan
mengendalikan kadar fosfat dalam darah pada pasien gagal
ginjal stadium akhir atau yang tengah menjalani cuci darah. .

b. Efek Samping
Nyeri perut, Bingung, Depresi, Sakit kepala, Sembelit, Berat
badan berkurang, Mual dan muntah, Meningkatkan
frekuensi buang air kecil.
c. Mekanisme kerja
Kalsium asetat bekerja dengan mengikat kandungan fosfat
yang ada pada makanan di usus halus dan mengeluarkannya
melalui tinja.

6) Vitamin D dan Metabolit

a. Mekanisme kerja
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang
diperoleh dari sumber alami (minyak hati ikan) atau dari
konversi provitamin (7 –dehidrokolesterol dan ergosterol).
Pada manusia, suplai alami vitamin D tergantung pada
sinar ultraviolet untuk konversi 7 –dehidrokolesterol
menjadi vitamin D₃ atau egiosterol menjadi vitamin D₂.
setelah pemaparan terhadap sinar UV, vitamin D₃
kemudian diubah menjadi bentuk aktif vitamin D (kalsitriol)
oleh hati dan ginjal. Vitamin D dihidroksilasi oleh enzim
microsomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3 (25-[OH]-
D₃ atau kalsifediol). Kalsifidiol dihidroksilasi terutama di
ginjal menjadi 1,25-dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]₂-D₃
atau kalsitriol) dan 24,25-dihidroksikolekasiferol (24,25-
[OH]₂D₃). kalsitriol dipercaya merupakan bentuk vitamin D₃
yang paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium dan
fosfal.

b. Indikasi
Vitamin D diindikasikan untuk riketsia, didefisiensi vitamin D
yang disebabkan malabsorpsi instestinal atau penyakit hati
kronis, hipokalsemia karena hipoparatiroidism, osteoporosis
pascamenopause.
c. Kontraindikasi
Hiperkalsemia, bukti adanya toksisitas vitamin D, sindrom
malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal
terhadap efek vitamin D, penurunsn fungsi ginjal.
d. Peringatan
 Pemberian kalsium dari makanan secara bersamaan
diperlukan untuk mendapatkan respon klinis terhadap
terapi vitamin D.
 Hiperkalsemia progresif karena dosis vitamin D dan
metabolitnya yang berlebih memerlukan perhatian serius.
Pada pasien dengan fungsi ginjal normal hiperkalsemia
kronis dapat dikaitkan dengan peningkatan kreatinin
serum. Meskipun biasanya bersifat reversible, penting untk
memberi perhatian pada faktor-faktor yang dapat
menyebabkan hiperkalsemia.
 Lesi tulang adinamis dapat terjadi jika level PTH ditekan
menjadi level abnormal.
 Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang tidak
dapat mensintesis kalsitriol dengan jumlah cukup, kalsitriol
dibentuk dari precursor vitamin D. Hipokalsemia dan
hiperparatiroidism sekunder yang terjadi merupakan
penyebab utama kelainan tulang metabolik.
 Penggunaan pada wanita hamil jika keuntungan yang
diperoleh melebihi potensi bahaya terhadap fetus.
 Vitamin D diekskresikan pada air susu dalam jmlah
terbatas. Diperlukan monitoring terhadap konsentrasi
kalsium serum bayi. Jangan menyusui selama
mengkonsumsi kalsitriol.
 Dosis pada pediatrik harus bersifat individual dan
diperlukan pengawasan medis yang baik.
e. Interaksi
 Antasid yang mengandung magnesium : dapat terjadi
hipermagnesemia pada pasien yang sedang melakukan
dialysis renal kronis.
 Glukosida digitalis : Hiperkalsemia pada pasien yang
mengkonsumsi digitalis dapat menyebabkan aritmia
kardiak.
 Verapamil : fibrilasi atrium terjadi jika suplemen kalsium
dan kalsiferol menginduksi hiperkalsemia.
 Kolestiramin : absorpsi vitamin D intestinal menurun.
 Ketokonazol : ketokonazol dapat menghambat baik enzim
sintesis maupun katabolisme kalsitriol.
 Minyak mineral : absorpsi vitamin D menurun dengan
penggunaan minyak mineral secara terus menerus.
 Fenitoin fenobarbital : sintesis endogen kalsitriol akan
dihambat. Dosis kalsitriol yang lebih tinggi dapat
diperlukan jika kedua obat ini diberikan bersamaan.
 Diuretik tiazid : pasien hipoparatiroid dapat mengalami
hiperkalsemia.
f. Efek samping
 Jangka pendek :
Rasa lelah, sakit kepala, mual-mual, muntah, mulut
kering, konstipasi, nyeri oto, nyeri tulang, rasa logam.
 Jangka panjang :
Polyuria, polydipsia, anoreksia, iritabilia, hilang berat
badan, noktuna, asidosis ringan, hiperkalsiuria, anemia,
azotemia revesible, nefrokalsinosis, konjungtivis,
pancreatitis, fotofobia, rhinorrhea, pruritus, hipertermia,
penurunan libido, peningkatan BUN, albuminuria,
hiperkolesterolemia, peningkatan AST, dan ALT, kalsifikasi
ektopik, hipertensi, aritmia kardiak.
Daftar pustaka

Anda mungkin juga menyukai