Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol  pada usia lanjut adalah

gangguan muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan osteoporosis. Menghadapi problem

ini tanpa adanya persiapan yang baik, di khawatirkan akan menjadikan beban yang akan

di tanggung pemerintah, masyarakat, dan warga usia lanjut  dengan keluarga akan

menjadi  sangat besar dan akan  menghambat perkembangan ekonomi  serta

memperburuk kualitas hidup manusia secara utuh (isbagio H dalam Daniel, 2007).

Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di amerika serikat

dijumpai  satu kasus osteoporosis  di antara dua sampai tiga wanita pascamonopause.

Massa tulang pada manusia mencapai maksimum pada usia sekita 35 tahun, kemudian

terjadi penurunan massa tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar 

antara 3-5% setiap decade, sesuai dengan kehilangan massa otot  dan hal ini di alami baik

pada pria dan wanita. Pada masa klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita

lebih mencolok  dan dapat mencapai 2-3%  setahun secara eksponensial. Pada usia 70

tahun  kehilangan massa tulang pada wanita  ini baru mencapai 25%  (Gonta,P.1996).

Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,

sehingga dapat menurunkan massa tulang total. Osteoporosis  adalah penyakit yang

mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang  rendah,  disertai mikroarsitektur 

tulang dan penurunan kualitas  jaringan tulang yang dapat menimbulkan  kerapuhan

tulang. Tulang secara progresif  menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi mudah

1
patah dengan stres, yang pada tulang normal tidak menimbulkan pengaruh. Sherwood

(2001), mengatakan selama dua decade pertama kehidupan, saat terjadi pertumbuhan,

pengendapan tulang melebihi resorpsi tulang dibawah pengaru hormone pertumbuhan.

Sebaiknya pada usia 50-6- tahun, resorpsi tulang melebihi pembentukan tulang.

Kalsitonin  yang menghambat resorpsi tulang dan merangsang pembentukan tulang

mengalami penurunan. Hormone paratiroid meningkat bersama bertambahnya  dan

meningkatkan resorpsi tulang. Hormone estrogen yang menghambat  pemecahan tulang,

juga berkurang bersama bertambahnya usia.

Menurut Ganong (2003), perempuan dewasa memiliki massa tulang yang lebih

sedikit  daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang 

lebih cepat daripada pria. Akibatnya perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis

serius. Penyebab utama berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi 

hormone estrogen. Pada osteoporosis, matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa

dan kekuatan tulang, dengan peningkatan fraktur. 

Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra  torakalis.

Terdapat penyempitan diskus  vertebra, apabila penyebaran berlanjut keseluruh korpus

vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra  dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur 

sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang

disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis pascamenopause.

Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan gejala, namun

terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan.

Pada beberapa perempuan dapat kehilangan  tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps

vertebra.

2
B. Tujuan Penulisan

a) Tujuan Umum

Untuk mengetahui konsep dasar terkait penyakit osteoporosis dan pengaplikasian

dalam asuhan keperawatan.

b) Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui pengetian terkait osteoporosis

- Untuk mengetahui etiologi dan klasifikasi terkait osteoporosis

- Untuk mengetahui tanda dan gejala terkait osteoporosis

- Untuk mengetahui penatalaksanaan dan pemeriksaan penunjang terkait

osteoporosis

- Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan yang akan diberikan pada

klien dengan osteoporosis

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Defenisi Osteoporosis

Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang

berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos dan rapuh.

“Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang mudah patah

akibat Osteoporosis adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan

(Endang Purwoastuti : 2009) .

Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit

skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan

mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan

meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana

terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.

Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang

lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang

total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi

mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal

(Brunner&Suddarth, 2000).

2. Klasifikasi Osteoporosis

Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis primer

dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita postmenopause

4
(postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis).

Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder

disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Kelainan endokrin misalnya

Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme, hipogonadisme, kelainan hepar,

gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alcohol, pemakaian obat-

obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis postmenopause

(Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis juvenil

dan osteoporosis sekunder.

1) Osteoporosis Postmenopause (Tipe I)

Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan

Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resopsi tulang yang

berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon estrogen pada masa

menopause.

2) Osteoporosis involutional (Tipe II)

Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki. Tipe ini

diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi

tulang dengan kecepatan pembentukan tulang.

3) Osteoporosis idiopatik

Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita

premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak

berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang mempermudah

timbulnya penurunan densitas tulang.

5
4) Osteoporosis juvenil

Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang

terjadi pada anak-anak prepubertas.

5) Osteoporosis sekunder.

Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur

atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik

reumatoid, kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik,

hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain.

3. Etiologi Osteoporosis

Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama

pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada

wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa

mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko

yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan

daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Lukman,

Nurma Ningsih : 2009).

Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kasium

yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya

tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan masa tulang

yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70

tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita

osteoporosis senilis dan postmenopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

6
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis

sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obet-obatan. Penyakit

ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,

paratiroid, dan adrenal) dan obat- obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang,

hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan

merokok bisa memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya

tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang normal dan tidak

memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis. Pada seseorang

dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur daripada seseorang

dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai

sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan

sifat genetiknya beban mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang

besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan

dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih

banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama (Lukman,

Nurma Ningsih : 2009).

4. Patofisiologi Osteoporosis

Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol), dan

aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa tulang mulai terjadi

setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak

mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya

7
estrogen pada saat menopouse  dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi

tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopouse (Lukman, Nurma

Ningsih : 2009).

Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk mempertahankan

remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan

fungsi tubuh. Asupan kasium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-

tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan

harian kalsium yang dianjurkan (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada

usia 11 – 24 tahun (adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk

memaksimalakan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi

pada perempuan pasca menoupose 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia

dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas. Karena penyerapan

kalsium kurang efisisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer, 2002).

Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen

dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron

Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa tulang.

Obat- obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung

alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid mempengaruhi

penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.

Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi

dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari

pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.

8
5. Manifestasi Klinis Osteoporosis

Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya osteoporosis

tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang sangat

berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri

tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis

adalah radius distal, korpus vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris

(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang

yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya

nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari pungung yang akan

bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan

terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah

beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan

terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk), yang menyebabkan

terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan

atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul.

Selain itu , yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah

persambungannya dengan pergelan gan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada

penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan

(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

9
6. Penatalaksanaan Osteoporosis

Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis yang lebih

menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah tualng. Selain itu,

juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone replacement therapy

(HRT) yaitu menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non

hormonal antara lain suplemen kalsium dan vitamin D.

1) Terapi medis.

Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat mengembalikan efek

dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk menekan atau

memperlambat menurunnya massa tulang serta mengurangi rasa sakit.

a) Obat pereda sakit

Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan obat

pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut memberikan

efek samping seperti mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami

rasa sakit yang sangat dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit, dapat

diberikan suntikan hormone kalsitonin.

Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol

atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau

co-proxamol bagi banyak pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit

sehingga pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari.

2) Terapi hormone pada wanita

Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya pengobatan

hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang yang lebih besar.

10
Namun, demikian, pengobatan masih perlu dilakukan pada kasus osteoporosis berat

untuk mencegah terjadinya patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa

tulang biasanya bekerja lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien

penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut

sangat tidak baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara

maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah tulang.

Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause. Lamanya

pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari

osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan

untuk dilakukan terapi hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita

yang mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan

terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama 5-10 tahun untuk

menghindari kemungkinan terjadinya kanker.

a) Hormone Replacement Theraphy (HRT)

Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone pengganti

(THP) menggunakan hormone estrogen atau kombinasi estrogen dan

progesterone. Hormone-hormon tersebut sebenarnya secara alamiah diproduksi

oleh indung telur, tetapi produksinya semakin menurun selama menopause

sehingga perlu dilakukan HRT.

Penggunaan estrogen memang efektif  dalam upaya pengobatan dan

pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek

samping berupa munculnya kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya

hormone tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang

11
apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas.

Oleh karena itu, penggunaan estrogen biasanya di kombinasikan dengan

progesterone untuk mengurangi resiko tersebut.

Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone,

diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah,

sakit kepala, gangguan pencernaan, dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek

tersebut biasanya hanya terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik

dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan

progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu

reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian

dinaikkan secara bertahap.

b) Kalsitonin.

Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang biasa

digunakan dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah kalsitonin.

Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel

osteoblast dan menekan kinerja sel osteoclast.

Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin

timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara normal dihasilkan oleh

kelenjar tiroid yang memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup ampuh.

Kalsitonin biasanya diberikan dalam bentuk suntikan yang diberikan setiap hari

atau dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini juga dapat

menimbulkan efek samping  berupa  rasa mual dan muka merah, mungkin pula

terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas suntikan.

12
c) Testosterone

Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria.

Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan osteoporosis pasca

menopause mampu menghambat kehilangan massa tulang. Namun, dapat muncul

efek maskulinasi seperti penambahan rambut secara berlebihan di dada, kaki,

tangan, timbulnya jerawat dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa terjadi

pada pria.

3) Terapi non-hormonal

Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik

untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat

ditimbulkan  dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka

sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal.

a) Bisfosfonat

Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal

dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah

menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa

tulang dapat dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah

etidronat dan alendronat.

b) Etidronat.

Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan

dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan

dosis satu kali sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus

dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan

13
agar konsumsi suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum

dan sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya.

Kadang kala konsumsi etidronat memberikan efek samping,tetapi relative kecil.

Misalnya timbul mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.

c) Alendronat

Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan etidronat,

perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan dengan

konsumsi suplemen kalsium, tetapi  bila asupan kalsium masih rendah, pemberian

kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada

konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut,

serta gangguan pada tenggorokan.

4) Terapi alamiah

Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati osteoporosis

tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan dengan gaya

hidup dan pola konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan

berolahraga secara teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan

menjaga pola makan yang baik.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah pencegahan

karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan. Seyogyanya, sedini

mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang sebelum  terjadi

akibat yang lebih fatal seperti  terjadinya patah tulang . penilaian langsung tulang untuk

14
mengetahui ada tidaknya osteoporosis  dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu

sebagai berikut :

 Pemeriksaan radiologic

 Pemeriksaan radioisotope

 Pemeriksaan Quantitative

 Magnetic resonance imaging (MRI)

 Quantitative Ultra Sound (QUS)

 Densitometer (X-ray absorptiometry)

 Tes darah dan urine

15
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

A. Pengkajian

1. Identitas Klien

Nama : Tn. Y

Umur : 62 tahun

Agama : islam

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Wirausaha

Status Pernikahan : Nikah

Alamat : Konawe Selatan

Tanggal Pengkajian : 10-02-2021

Diagnosa Medis : Osteoporosis

2. Keluhan Utama

Klien mengatakan sudah seminggu meraskan sakit punggung sampai ke

pinggang.

3. Riwayat Kesehatan Sekarang

Saat di lakukan pengkajian pada tanggal 10 – 02 – 2021, jam 10.00 Wita.

Klien mengatakan bahwa nyeri pada punggungnya sampai ke pinggang, klien

mengatakan sakit hebat. Klien mengatakan nyeri berkurang pada saat istirahat

berbaring di tempat tidur. Klien tampak meringis dan gelisah menahan nyeri tersebut.

Selain itu klien juga mengatakan bahwa ia mengalami kesulitan untuk beraktivitas,

16
klien mengeluh kesakitan tiap kali bergerak, klien juga mengatakan bahwa ia

membutuhkan bantuan orang lain untuk bergerak. Klien tampak lemas, dan klien

tampak terbaring di tempat tidur.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Klien mengatakan bahwa seiring bertambahnya usia klien sering mengalami

nyeri pada punggungnya. Saat nyeri klien hanya minum obat yang diberikan petugas

selama di Panti Sosial, dan minum jamu/herbal. Namun seiring berjalannya waktu,

rasa nyeri yang dialaminya semakin parah itulah mengapa saat ini pasien hanya

terbaring di tempat tidur, saat dilakukan pengkajian pada 10 Februari 2021.

1) Imunisasi : pasien menyatakan semasa kecil orang tua nya selalu rutin

membawanya imunisasi

2) Kecelakaan yang pernah di alami : pasien menyatakan belum pernah mangalami

kecelakan sama sekali.

3) Alergi : pasien menyatakan tidak ada riwayat alergi makanan, obat-obatan

maupun alergi zat.

4) Pengobatan dini : pasien menyatakan jarang mengkonsumsi obat – obatan yang di

beli dari warung, karena jika sakit selalu memilih untuk berobat ke puskesmas

atau klinik pengobatan terdekat.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan klien

Genogram :

17
6. Riwayat Psikologi

a. Status emosi

Pasien menyatakan merasa cemas dengan kondisinya saat ini karena tidak tau

penyebab dari penyakitnya saat ini yang semakin lama semakin parah.

b. Gaya komunikasi

Klien tampak berhati hati dalam berbicara, klien berbicara secara spontan,

klien berbicara jelas dan terbuka, dan selama berkomunikasi pasien menggunakan

bahasa indonesia dengan baik dan benar, pasien sesekali melamun.

c. Pola pertahanan
Pasien menyatakan merasa cemas dengan kondisinya saat ini, pasien hanya

dapat berdoa dan berharap supaya segera sembuh dengan pengobatan yang

dijalaninya saat ini.

d. Dampak dirawat

18
Pasien menyatakan saat di rawat merasa bahwa ada perubahan, yaitu nyeri

mulai berkurang.

e. Kondisi emosi / perasaan klien.

Kondisi pasien terlihat cemas karena ingn segera sembuh dari penyakitnya.

Perasaan klien saat ini sedih karena karena harus menjalani perawatan sampai

benar benar sembuh.

7. Riwayat Sosial

Pasien menyatakan menjalin hubungan baik dengan seluruh anggota

keluaraganya dan juga lingkungan sekitar panti sosial. Pernah mengikuti kegiatan

bakti sosial, maupun sosialisasi yang bersangkutan dengan pekerjaannya, selain itu di

lingkungan panti sering mengikuti kegiatan senam, dan perkumpulan organisasi di

panti sosial. Pasien menyatakan menjalin hubungan yang sangat erat dengan sesama

penghuni panti sosial sekitar. Klien menyatakan merasa senang dengan keadaan dan

lingkungan di panti sosial dibandingkan klien pulang ke rumah.

8. Riwayat Spiritual

Pasien menyatakan rajin menjalan kewajiban dalm beribadah setiap hari,

menjalankan sholat 5 waktu dan menjalankan puasa, baik puasa wajib maupun puasa

sunah senin dan kamis. Selain itu klien rutin mengikuti pengajian di lingkungan panti

sosial. Saat sakit pasien menyatakan masih menjalankan kewajiban sholat 5 waktu

dan kadang dibantu oleh petugas di panti sosial. Pasien yakin akan kesembuhan

penyakitnya saat ini, denga cara berihtiar menjalani perawatan rutin pasti allah SWT

memberi kesembuhan pada penyakitnya.

9. Riwayat Keperawatan Klien

19
Pola aktivitas sehari hari (ADL)

ADL Sebelum Sakit Saat Sakit


Pola pemenuhan Makan : Makan :

nutrisi dan cairan  Makan sehari  Makan sehari

(makan dan 3 kali 3 kali

minum  Jenis : nasi  Jenis : nasi

putih putih

 Lauk : telur,  Lauk : telur,

ayam, daging. ayam.

 Sayur :  Sayur :

bayam, kangkung, bayam, sup.

slada, sup  Pantangan :

 Pantangan : tidak ada

tidak ada Minum :

Minum :  Jenis : air

 Jenis : air putih

putih, teh, jus  Sehari

 Sehari minum air putih 6-7

minum air putih 6-7 gelas.

gelas.  Kesulitan

 Kesulitan makan / minum :

makan / minum : tidak mengalami

tidak mengalami kesulitan.

kesulitan.  Usaha untuk

20
 Usaha untuk mengalami

mengalami kesulitan : tidak ada.

kesulitan : tidak ada.


Pola eliminasi BAK : BAK :

BAK:  Frekuensi :  Frekuensi :

BAB : BAK 3- 4 kali BAK 3- 4 kali

 Bau : khas  Bau : khas

 Warna :  Warna :

kuning bening kuning bening

 Masalah :  Masalah :

tidak ada tidak ada

 Cara  Cara

mengatasi ; tidak ada mengatasi ; tidak ada

BAB : BAB :

 Frekuensi :  Frekuensi :

BAB sehari satu kali BAB sehari satu kali

setiap pagi. setiap pagi.

 Warna :  Warna :

kuning kuning

 Bau : khas  Bau : khas

 Konsistensi :  Konsistensi :

padat – lembek padat – lembek

 Masalah :  Masalah :

tidak ada masalah tidak ada masalah


21
 Cara  Cara

mengatasi : tidak mengatasi : tidak

ada. ada.
Pola istirahat Pola istirahat tidur : Pola istirahat tidur :

tidur  Jumlah /  Jumlah /

waktu : 8 jam /hari. waktu : 8 jam /hari.

 Gangguan  Gangguan

tidur : tidak ada tidur : tidak ada

 Cara  Cara

mengatasi ganguan : mengatasi ganguan :

tidak ada tidak ada

 Hal- hal yang  Hal - hal

mempermudah yang mempermudah

tidur : mendengarkan tidur : setelah minum

musik obat
Pola kebersihan Personal hygine : Personal hygine :

diri (PH)  Mandi : 2  Mandi : 2

kali sehari kali sehari

 Mencuci  Mencuci

rambut: 3 kali dalam rambut: 3 kali dalam

satu minggu. satu minggu.

 Frekuensi  Frekuensi

gosok gigi : sehari 2 gosok gigi : sehari 2

kali. kali.

22
 Potong kuku :  Potong kuku :

satu kali dalam satu kali dalam

seminggu. seminggu.
Aktivitas lain Menonton Tv, senam, Berbaring di tempat tidur,

berkebun. berdzikir.

10. Pola aktivitas & latihan

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4


Makan/ minum √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas di tempat tidur 
Berpindah 
Ambulasi/ROM 

Keterangam :

0 : Mandiri total

1 : memerlukan penggunaaan peralatan atau alat bantu

2 : membutuhkan bantuan dari orang lain untuk pertolongan,

pengawasan, atau pengajaran

3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat bantu

4 : ketergantungan; tidak berartisispasi dalam aktivitas

11. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum Pasien : Sedang

b. Berat badan saat ini : 57kg tinggi badan :160 cm

c. Kesadaran : composmentis

GCS : Respon eye :4

Respon Motorik :5

23
Respon verbal :5

Total : 14

d. Tanda-tanda vital meliputi : TD : 140/70 N : 86 x/i

S : 36,8 C RR : 20 x/i

e. Pemeriksaan Head To Toe

1) Pemeriksaan Kepala

Inspeksi : Bentuk : simetris

Karakteristik rambut : lurus

Kebersihan : bersih

Palpasi : Tidak ada benjolan/lesi

2) Pemeriksaan mata

Inspeksi : Sklera : ikterik

Conjungtiva : anemis

Kornea : Normal

Iris : Normal

Tanda-tanda radang : tidak ada

Palpasi : Edema palpebrae : tidak ada nyeri tekan

Rasa sakit : tidak ada rasa nyeri

3) Pemeriksaan Telinga

Inspeksi : Daun telinga : Simetris, tidak ada massa

Liang telinga : Bersih

Membran tympani : tidak ada kelainan

Pendarahan : tidak ada

24
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada daerah telinga

4) Pemeriksaan Hidung

Inspekasi : Simetris/ tidak : cuping hidung simetris kiri dan kanan

Membran mukosa : tidak ada secret

Test penciuman / ketajaman membedakan bau : tidak ada

kelainan

Alergi terhadap sesuatu : tidak ada alergi

Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada daerah hidung

5) Pemeriksaan Mulut dan tenggorokan

Inspeksi : Mulut : lembab

Mukosa mulut : bersih

Lidah : merah muda, tidak ada bintik-bintik putih

Kesulitan menelan : tidak kesulitan dalam menelan

6) Pemeriksaan Leher

Inspeksi : Normal

Kelenjar tyroid : tidak tampak ada pembesaran

Palpasi : Normal

Arteri carotis : tidak ada kelainan

Vena jugularis : tidak ada kelainan

Kelenjar tyroid : tidak ada pembesaran

Nodus limfa : tidak ada kelainan

Pembesaran kelenjar : tidak ada pembesaran kalenjar

7) Pemeriksaan Thorak/paru

25
Inspeksi : Bentuk thorak : Normal

Warna kulit : Kuning langsat

Pola nafas : efektif

Palpasi : Vocal remitus : Normal ada getaran

Perkusi : Batas paru kanan : Normal

Batas paru kiri : Normal

Auskultasi: Suara nafas : Normal

Rr : 20x/i

8) Pemeriksaan Kardiovaskuler

Inspeksi : Iictus cordis : tidak ada kelainan

Palpasi : Ictus cordis : Normal

Heart rate : Normal

Perkusi : Batas jantung : normal

Auskultasi : bunyi jantung I lub, bunyi jantung II dup jarak antar bunyi

jantung satu dan bunyi jantung dua kurang dari 1 detik,

tidak terdapat bunyi jantung tambahan.

9) Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Kuadran regio : -

Umbilikus : ada

Distensi : tidak mengalami distensi

Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan dan pemebengkakan pada bagian

hepar, ginjal maupun limfa, tidak terdapat distensi abdomen

Perkusi : hasil perkusi pada abdomen adalah tympani

26
Auskultasi : bising usus normal 10x/i

10) Pemeriksaan Genetalia dan Rektal

Tidak ada keluhan pada genetalia, tidak terdapat lesi maupun benjolan serta

tidak terdpat nyeri tekan pada rektum.

11) Pemeriksaan Punggung dan Tulang Belakang

Pada bagian kulit punggung tidak terdapat lesi, bentuk tulang belakang

mengalami kelainan bentuk (kifosis), terdapat nyeri tekan pada tulang

belakang, Pengkajian nyeri ( P : pada bagian tulang belakang ketika akan

beraktivitas, Q : ngilu, R : pada bagian tulang belakang menyebar hingga ke

pinggang, S : skala nyeri 5, T : nyeri terus menerus 5 -10 menit.). terdapat

kekakuan / tonus otot pada punggung.

12) Pemeriksaan Ekstermitas / Muskuloskeletal

Inspeksi : Otot antar sisi kiri dan sisi kanan simetris, tidak terjadi

deformitas, tidak terjadi fraktur, dan tidak ada traksi.

Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada ektremitas atas dan bawah

Oedema : tidak ada oedema

Kekuatan otot : 5 4

5 4

Keterangan :

0 : tidak ada kontaksi sama sekali

1 : gerakan kontraksi

2 : tidak kuat melawan tahanan atau gravitasi

3 : cukup kuat untuk mengatasi gravitasi

4 : cukup kuat tapi bukan kekuatan penuh

27
5 : kekuatan kontraksi yang penuh

B. Analisa Data

No. Data Etiologi Masalah


1. Ds : Adanya pergerakan Nyeri akut
• Klien mengatakan nyeri pada fragmen tulang dan
punggungnya sampai pinggang spasme otot
• Klien mengatakan nyeri
berkurang saat beristirahat di tempat
tidur
Do :
• Ku. Sedang
• GCS :14
• Kesadaran : Composmentis
• TTV : TD = 140/70 MmHg,
N=86x/i, S=36,8ºc, Rr=20x/i
• Klien tampak meringis
menahan nyeri
• Klien tampak gelisah
• Nyeri tekan pada daerah
tulang belakang
• P : pada bagian tulang
belakang ketika akan beraktivitas,
Q : ngilu, R : pada bagian tulang
belakang menyebar hingga ke
pinggang, S : skala nyeri 5, T : nyeri
terus menerus 5 - 10 menit
2. Ds : Disfungsi sekunder Hambatan

28
• Klien mengatakan sulit akibat perubahan mobilitas fisik
bergerak dan beraktivitas skeletal (kifosis) /
• Klien mengatakan gangguan
membutuhkan bantuan orang lain muskuluskeletal
untuk bergerak
Do :
• Klien tampak lemah
• Klien tampak terbaring di
tempat tidur
• Tampak aktivitas klien
dibantu oleh petugas
3. Ds : Dampak sekunder Resiko
• Klien mengatakan sakit tiap perubahan skeletal Cedera
kali bergerak dan
Do : ketidakseimbangan
• Tampak bentuk tulang tubuh
belakang mengalami kelianan bentuk
(kifosis)
• terdapat kekakuan / tonus
otot pada punggung

C. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d fragmen tulang dan spasme otot

2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan muskuluskeletal

3. Risiko cedera b.d dampak sekunder perubahan skeletal dan ketidakseimbangan tubuh

29
D. Intervensi Asuhan Keperawatan

Nama : Tn. Y

Umur : 62 tahun

No
Dx. Keperawatan NOC NIC
.
1. Nyeri akut b.d fragmen  Pain level Pain mangement
tulang dan spasme otot  Pain  Lakukan
control pengkajian nyeri
 Comfort secara
level komprehensif
Kriteria hasil : termasuk lokasi,
 Mampu karakteristik, durasi,
mengontrol nyeri frekuensi, kualitas
(tahu penyebab dan faktor
nyeri, mampu presipitasi
menggunakan  Observasi
tehnik reaksi nonverbal
nonfarmakologi dari
untuk ketidaknyamanan
mengurangi  Observasi
nyeri, mencari tanda-tanda vital
bantuan)  Berikan
 Melapork posisi yang nyaman
an bahwa nyeri pada pasien
berkurang  Gunakan
dengan teknik komunikasi
menggunakan terapeutik untuk
manajemen nyeri mengetahui
 Mampu pengalaman nyeri
mengenali nyeri pasien

30
(skala, intensitas,  Ajarkan
frekuensi dan teknik
tanda nyeri) nonfarmakologi
(teknik nafas
dalam).
 Kolaborasi
dengan dokter untuk
pemberian obat
analgetik
2. Hambatan mobilitas fisik  join Execise therapy :
b.d gangguan movement : ambulation
muskuluskeletal active  monitoring
 mobility vital sign
Level sebelum/sesudah
 transfer latihan dan lihat
perfomance respon pasien saat
kriteria Hasil : latihan
 klien  konsultasika
meningkat dalam n dengan terapi fisik
aktivitas fisik tentang rencana
 mengerti ambulasi sesuai
tujuan dari dengan kebutuhan
peningkatan  bantu klien
mobilitas untuk menggunakan
 memverb tongkat saat berjalan
alisasikan dan cegah terhadap
perasaan dalam cedera
meningkatkan  ajarkan
kekuatan dan pasien atau tenaga
kemampuan kesehatan lain
berpindah tentang teknik

31
ambulasi
 kaji
kemampuan pasien
dalam mobilisasi
3. Risiko cedera b.d  No Injury Ciptakan lingkungan yang
dampak sekunder Occurred nyaman :
perubahan skeletal dan Kriteria Hasil :  Tempatkan
ketidakseimbangan tubuh  Klien klien pada tempat
tidak jatuh dan tidur rendah
fraktur tidak  Amati lantai
terjadi yang
 Klien membahayakan
dapat klien
menghindari  Berikan
aktivitas yang penerangan yang
mengakibatkan cukup
fraktur  Ajarkan
klien tentang
pentingnya
menggunakan alat
pengaman di
ruangan
 Bantu klien
untuk melakukan
aktivitas hidup
sehari-hari secara
hati-hati
 Ajarkan
pentingnya diet
untuk mencegah
osteoporosis

32
 Observasi
efek samping obat-
obatan yang
digunakan

E. Implementassi Dan Evaluasi Asuhan Keperawatan

Nama : Tn. Y Diagnosa : Oesteoporosis

Umur : 62 thn Tempat : PSTW Kendari

No Hari /
Jam Implementasi Evaluasi Paraf
. tanggal
1 Rabu, Pain mangement S : Klien mengatakan
 Melakukan nyeri berkurang
10/02/2 09.0
pengkajian nyeri secara O : Dapat melakukan
021 0
komprehensif. perawatan secara mandiri
Hasil : dan penanganannya secara
 P : nyeri pada sederhana.
tulang belakang A : Masalah teratasi
 Q: ngilu sebagian
 R: pada P : Intervensi
punggung tulang dilanjutkan :
blakang hingga  Pantau tingkat nyeri
pada punggung,
pinggang
nyeri terlokalisasi
 S: skala nyeri 5 atau menyebar pada
abdomen atau
 T: secara terus
pinggang. Skala
menerus 5 – 10 menit. nyeri 7-9 yaitu nyeri
berat.
 mengobservasi
 Ajarkan pada klien

33
reaksi nonverbal dari tentang alternative
lain untuk mengatasi
ketidaknyamanan
dan mengurangi rasa
Hasil : nyerinya.
 Kaji obat-obatan
 Wajah pasien tampak
untuk mengatasi
menyeringai menahan nyeri.
 Rencanakan pada
nyeri
klien tentang
 Mengobservasi periode istirahat
adekuat dengan
tanda-tanda vital
berbaring dalam
Hasil : posisi telentang
selama kurang lebih
 TD = 140/70 MmHg
15 menit
 N = 86x/i
 Rr = 20x/i
 S = 36,8ºc
 Memberikan
posisi yang nyaman
pada pasien
Hasil :
 Klien mengatakan
posisi yang nyaman
berbaring lurus di
tempat tidur
 Mengunakan
teknik komunikasi
terapeutik untuk
mengetahui
pengalaman nyeri
pasien
Hasil :
 pasien menyatakan
mampu mengenal nyeri,
punggungnya masih

34
mengalami kaku saat
untuk beraktivitas
 Mengajarkan
teknik nonfarmakologi
(teknik nafas dalam).
Hasil :
 pasien menyatakan
merasa rileks setelah di
ajarkan teknik nafas
dalam.
 wajah pasien tampak
masih menahan
kesakitan.
 Kolaborasi
dengan dokter untuk
pemberian obat
analgetik
Hasil :
 obat disclofenac 200 mg
2 x 1 masuk melalui
oral
2. Rabu, Execise therapy : ambulation S : Klien mengatakan
 Memonitoring sudah bisa beraktivitas
10/02/2
vital sign kembali
021
sebelum/sesudah O : Dapat beraktivitas
latihan dan lihat respon secara mandiri
pasien saat latihan A : Masalah teratasi
Hasil : P : Intervensi dihentikan
 TD = 140/70 MmHg
 N = 86x/i
 Rr = 20x/i
 S = 36,8ºc

35
 Mengkonsultasi
kan dengan terapi fisik
tentang rencana
ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
Hasil :
 Pasien mengatakan mau
menjalani terapi fisik
 Membantu
klien untuk
menggunakan tongkat
saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
Hasil :
 pasien menyatakan mau
dan mampu
mengunakan tongkat
sebagai alat bantu jalan.
 pasien mampu
menggunakan alat bantu
jalan berupa tongkat
 Mengajarkan
pasien atau tenaga
kesehatan lain tentang
teknik ambulasi
Hasil :
 Pasien mampu
mengikuti tehnik
ambulasi yang diajarkan
 Mengkaji
kemampuan pasien

36
dalam mobilisasi
Hasil :
 pasien menyatakan
berjalan menggunakan
alat bantu dan terkadang
dibantu oleh petugas.
 pasien berjalan dengan
langkah kecil kecil.
 Berjalan menggunakan
tongkat
3. Rabu, Ciptakan lingkungan yang S : Klien mengatakan
nyaman : sudah bisa beraktivitas
10/02/2
 Menempatkan O : Dapat menghindari
021
klien pada tempat tidur aktivitas yang
rendah. mengakibatkan fraktur
Hasil : A : Masalah teratasi
 Untuk memudahkan P : Intervensi dihentikan
klien menjangkau
peralatan yang berada
di sekitarnya
 Mengamati
lantai yang
membahayakan klien
 Memberikan
penerangan yang cukup
 Mengajarkan
klien tentang
pentingnya
menggunakan alat
pengaman di ruangan
 Membantu

37
klien untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-
hari secara hati-hati
 Mengajarkan
pentingnya diet untuk
mencegah osteoporosis
Hasil :
 Klien mengkonsumsi
makanan sesuai terapi
gizi yang diberikan
 Mengobservasi
efek samping obat-
obatan yang digunakan
Hasil :
 Penggunaan
obat dapat
menyebabkan ngantuk
sehingga pasien
mempunyai resiko
untuk jatuh

38
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/ matriks/massa

tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses mineralisasi deisertai dengan

kerusakakn arsitektur mikro jaringan tulang yang mengakibatkan penurunan kekokohan

tulang sehingga tulang menjadi mudah patah.

Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik, defisiensi

kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin,

siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang (densitas atau massa tulang) dan

lain sebagainya.

39
Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi. Fraktur kompresi ganda

vertebra mengakibatkan deformitas skelet.

B. Saran

Mahasiswa harus lebih memahami tentang asuhan keperawatan pada gangguan

system musculoskeletal “osteoporosis” pada lansis sehingga mampu menerapkannya di

lahan praktik demi memberi pelayanan kesehatan yang baik bagi klien.

DAFTAR PUSTAKA

Huda Amin Nurarif dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA & NIC NOC. Jogjakarta : Mediaction.

Heather T. Herdman & Shigemi Kamitsuru. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definis &

Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 Terjemahan Indonesia. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC

Lukman, Ningsih Nurma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba Medika

M. Gloria Bulechek, dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC). Singapore : El

Sevier.

40
Moorhead Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore : El

Sevier.

41

Anda mungkin juga menyukai