Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Disusun Oleh :

Afrilia Nursanti P27220019140


Fitrie Rochmasarie P27220019157
Putri Ayu Harum Kartika Sari P27220019176

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
TAHUN 2021
A. TINJAUAN PENYAKIT
1. PENGERTIAN
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit pada sistem muskuloskeletal yang
paling sering terjadi dan disebut sebagai “silent disease” karena terjadi penurunan
kepadatan tulang yang sangat progresif, namun tidak menampakkan gejala yang
signifikan hingga terjadinya patah tulang atau fraktur.
Secara harfiah osteoporosis berarti, tulang keropos adalah penyakit dimana
kepadatan dan kualitas tulang berkurang. Seiring tulang menjadi keropos dan rapuh
risiko patah tulang juga meningkat. Patah tulang yang disebabkan oleh penyakit
osteoporosis dapat menyebabkan kesakitan dan bahkan kematian.
Menurut Sudoyo et al (2009) Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik
yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah.
Osteoporosis dibagi menjadi dua kategori yaitu osteoporosis primer dan
sekunder. Osteoporosis primer dapat terjadi karena faktor penuaan yang
menyebabkan penurunan kepadatan tulang, sedangkan osteoporosis sekunder
terjadi karena penggunaan obat – obatan jangka panjang seperti glukokortikoid dan
penyakit tertentu seperti malabsorpsi. Osteoporosis primer sering disebut juga “age-
related osteoporosis” atau osteoporosis pasca-menopause karena biasanya
osteoporosis ini terdiagnosa pada usia lanjut dan wanita pasca-menopause, Usia
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Semakin bertambah usia
maka akan terjadi peningkatan bone loss (kehilangan tulang), terutama pada lansia.

2. ETIOLOGI
a. Determinan Massa Tulang
Massa tulang maksimal pada usia dewasa ditentukan oleh berbagai factor antara
lain :
1).   Faktor genetic
Perbedaan genetic mempunyai pengaruh terhadap kepadatan tulang
2).   Faktor mekanik
Beban mekanik berpengaruh terhadap massa tulang, bertambahnya beban
akan menambah massa tulang dan berkurangnya massa tulang. Ada hubungan
langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut
menunjukkan respon terhadap kerja mekanik. Beban mekanik yang berat akan
mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar.
3). Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup
(protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai
dengan pengaruh genetic yang bersangkutan.

b.  Determinan pengurangan massa tulang


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan massa tulang pada usia
lanjut yang dapat mengakibatkan fraktur osteoporosis pada dasarnya sama
seperti pada factor-faktor yang mempengaruhi massa tulang.
1) Factor genetic
Factor genetic berpengaruh terhadap resiko terjadinya fraktur. Pada seseorang
dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat resiko fraktur dari
seseorang denfan tulang yang besar.
2) Factor mekanis
Pada umumnya aktifitas fisik akan menurun dengan bertambahnya usia dan
karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanik, massa tulang tersebut
pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.
3) Faktor lain
a)   Kalsium
Kalsium merupakan nutrisi yang penting, dengan masukan kalsium yang rendah
dan absorbsinya tidak baik akan mengakibatkan keseimbangan kalsium yang
negatif begitu sebaliknya.
b) Protein
Parotein yang berlebihan akan mengakibatkan kecenderungan keseimbangan
kalsium yang negatif
c)    Estrogen
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan
terjadinya gangguan keseimbangan kalsium, karena menurunnya efisiensi
absorbsi kalsium dari makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium
diginjal.
d) Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan
mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan
kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh rokok terhadap penurunan massa
tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak ekskresi
kalsium melalui urin maupun tinja.
e) Alkohol
Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium
yang rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme
yang pasti belum diketahui.
3. PATOFISIOLOGI

Normal

Genetik,gaya hidup,alcohol,
penurunan prod.hormon

Penurunan masa tulang

Osteoporosis (gangguan muskuloskeletal)

Kiposis/Gibbus

Pengaruh pada fisik Pengaruh pada psikososial

Fungsi tubuh Keterbatasan gerak Konsep diri


menurun -pembatasan grk & lat. -Gmbaran body image
-nyeri pinggang -kemampuan memenuhi ADL -Isolasi sosial
-TB & BB menurun -Inefektif koping individu

Reseptor nyeri nafsu makan menurun

Gang.rs nyaman (nyeri)


Lemas,letih

Disfungsi skelet Adaptasi lingkungan berkurang

Perubahan mobilitas fisik


Resiko injuri

4. PATOGENESIS
Patogenesis semua macam osteoporosis adalah sama yaitu adanya balans
tulang negatif yang patologik dan kekurangan kalsium yang dapat disebabkan oleh
peningkatan resorpsi tulang dan atau penurunan pembentukan tulang. Massa
tulang pada semua usia ditentukan oleh 3 variabel yaitu massa tulang puncak, usia
dimana kekurangan massa tulang mulai terjadi dan kecepatan kehilangan tulang
meningkat.
Massa tulang akan terus meningkat sampai mencapai puncaknya pada usia
30-35 tahun. Puncak masa tulang ini lebih tinggi pada laki-laki dari pada
perempuan. Untuk jangka waktu tertentu keadaan massa tulang tetap stabil dan
kemudian terjadi pengurangan massa tulang sesuai dengan pertambahan umur.
Densitas tulang yang rendah pada usia lanjut dapat terjadi akibat puncak massa
tulang yang tidak cukup atau meningkatnya kehilangan tulang sebagai kelanjutan
usaha untuk mencapai massa tulang yang normal.
Pada osteoporosis didapat massa tulang yang rendah dan kerusakan
mikroarsitektur jaringan tulang dengan akibat peningkatan fragilitas tulang dan
resiko fraktur. Bertambahnya kehilangan tulang dapat disebabkan oleh umur,
menopause, dan beberapa faktor sporadik.

5. EPIDEMIOLOGI
Selama ini osteoporosis identik dengan orang tua, namun faktanya,
pengeroposan tulang bisa menyerang siapa saja termasuk di usia muda.
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif. Penelitian terbaru dari
International Osteoporosis Foundation (IOF) mengungkapkan bahwa 1 dari 4
perempuan di Indonesia dengan rentang usia 50-80 tahun memiliki risiko terkena
osteoporosis. Dan juga risiko osteoporosis perempuan di Indonesia 4 kali lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Biasanya penyakit keropos tulang ini menjangkiti
sebagian besar wanita paska menopause. Osteoporosis tidak menampakkan
tanda-tanda fisik yang nyata hingga terjadi keropos atau keretakan pada usia
senja. Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko
terkena osteoporosis.
Studi epidemiologi menunjukkan osteoporosis mulai dialami usia 40 tahun.
Penderita didominasi oleh perempuan pada populasi usia > 55 tahun. Osteoporosis
sering kali terdiagnosis saat pasien datang dengan fraktur. Oleh karena itu, data
epidemiologi dapat berasal dari 2 sumber: pasien yang terdeteksi saat skrining,
dan pasien yang terdiagnosis saat datang dengan fraktur yang dicurigai mengalami
osteoporosis, misalnya fraktur kompresi vertebra. Beban biaya yang dikeluarkan
untuk penanganan fraktur osteoporosis sangat besar.
Secara global, penderita osteoporosis terdapat di seluruh belahan dunia.
Rasio fraktur osteoporotik populasi usia >50 tahun yakni pada wanita 1 di antara 2
orang sedangkan pria 1 di antara 5 pria. Sekitar 9 juta fraktur timbul pada
osteoporosis, dengan fraktur tersering pada tulang pinggul, diikuti pergelangan
tangan, vertebra dan humerus. Dampak sosial maupun ekonomi akibat fraktur
sangat besar
Studi pemeriksaan densitas massa tulang yang dilakukan terhadap 65.727
sampel oleh Puslitbang Gizi Depkes RI pada 16 wilayah di Indonesia tahun 2005
menunjukkan prevalensi osteopenia 41,7% dan osteoporosis 10,3%. Penderita
wanita lebih banyak dibanding pria pada populasi usia >55 tahun. Berkebalikan
dengan populasi <55 tahun, kasus osteopenia dan osteoporosis lebih banyak
didominasi oleh pria. Studi tersebut mengambil sampel secara luas dari berbagai
provinsi di Indonesia. Tingginya risiko osteoporosis pada studi ini diduga akibat
peningkatan usia harapan hidup yang tidak disertai dengan rerata konsumsi
kalsium yang adekuat. Rerata konsumsi kalsium saat itu sangat rendah yakni
hanya seperempat dari standar nasional.
Fraktur merupakan komplikasi osteoporosis. Data tahun 2011 menunjukkan
insidensi fraktur osteoporosis tulang panggul lebih banyak dialami wanita pada
populasi >55 tahun. Kasus fraktur osteoporosis tulang panggul semakin meningkat
seiring usia. Pada populasi wanita, kasus fraktur tertinggi terjadi pada kelompok
usia 95-99 sebanyak 1680 kasus fraktur. Sedangkan pada populasi pria, paling
banyak terjadi pada rentang usia 90-94 tahun dengan jumlah 718 kasus fraktur.
Kasus fraktur sangat sedikit terjadi pada rentang usia 40-44 tahun.
Mortalitas pada kasus osteoporosis dapat timbul akibat fraktur. Komplikasi
fraktur vertebra sering terjadi pada penderita osteoporosis. Pada populasi usia >50
tahun, wanita kulit putih memiliki risiko mengalami fraktur vertebra sebesar 16%
sedangkan pria sebanyak 5%. Risiko mortalitas pada fraktur vertebra sekitar
delapan kali lipat. Fraktur vertebra akibat osteoporosis sekunder merupakan salah
satu etiologi terjadinya cedera spinal. Mortalitas 12 bulan akibat fraktur pinggul
pada pria mencapai 20%. Fraktur pinggul pada wanita lebih sering tetapi risiko
mortalitas sebesar 2,8% pada wanita usia ≥50 tahun.

6. MANIFESTASI KLINIK
Osteoporosis dimanifestasikan dengan :
a. Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata.
b. Nyeri timbul mendadak.
c. Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang.
d. Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur.
e. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan
aktivitas.
f. Deformitas vertebra thorakalis →Penurunan tinggi badan. (Hadi Purwanto,
2016)
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya
osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan
tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur,
maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama
terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal, korpus vertebra terutama
mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang
belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera
ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari
pungung yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika
disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan
menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika
beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang
abnormal dari tulang belakang (punuk), yang menyebabkan terjadinya ketegangan
otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang
ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah
tulang panggul. Selain itu, yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan
(radius) di
daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles
. Pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan
secara perlahan (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Untuk memastikan diagnosis, dokter akan melakukan pemeriksaan berupa:

 Rontgen atau CT scan,

Pemeriksaan ini ditujukan untuk melihat dengan lebih jelas kondisi tulang yang
patah

 Tes darah,

Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui kadar sel-sel darah, kadar


elektrolit, dan kadar hormon, termasuk hormon tiroid, paratiroid, esterogen, dan
testosteron

 Tes bone mass density (BMD),

Pemeriksaan ini ditujukan untuk melihat tingkat kepadatan tulang dan


menentukan risiko terjadinya patah tulang

Tes ini dilakukan dengan dual energy X-Ray absorptiometryI (DXA) atau


dengan quantitative computed tomography (QCT). Pemeriksaan DXA lebih
sering dilakukan. Interpretasi dari hasil pemeriksaan DXA adalah sebagai
berikut :

 Lebih dari -1 : Normal


 -1 sampai dengan -2,5 : Kepadatan tulang rendah (osteopenia)
 Kurang dari -2,5 : Kemungkinan besar terjadi osteoporosis

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencukupi sepanjang hidup, dengan
peningkatan asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan dapat
melindungi terhadap demineralisasi tulang.
b. Pada menopause dapat diberikan terapi pengganti hormone dengan estrogen
dan progesterone untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah
terjadinya patah tulang yang diakibatkan.
c.   Medical treatment, oabt-obatan dapat diresepkan untuk menangani
osteoporosis termasuk kalsitonin, natrium fluoride, dan natrium etridonat. Efek
samping (misal : gangguan gastrointestinal, aliran panas, frekuensi urin),
biasanya ringan dan hanya kadang-kadang dialami. Natrium florida
memperbaiki aktifitas osteoblastik dan pembentukan tulang.
d. Pemasangan penyangga tulang belakang (spinal brace) untuk mengurangi nyeri
punggung.

B. TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Sumber data pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan osteoporosis
meliputi:

a) Riwayat keperawatan.
Dalam pengkajian riwayat keperawatan, perawat perlu mengidentifikasi
adanya :
1) Rasa nyeri/sakit tulang punggung (bagian bawah), leher dan pinggang.
2) Berat badan menurun.
3) Biasanya di atas 45 tahun.
4) Jenis kelamin sering pada wanita.
5) Pola latihan dan aktivitas.
6) Keadaan nutrisi (mis, kurang vitamin D dan C, serta kalsium).
7) Merokok, mengonsumsi alkohol dan kafein.
8) Adanya penyakit endokrin: diabetes mellitus, hipertiroid, hiperparatiroid,
Sindrom Cushing, akromegali, Hipogonadisme.
b) Pemeriksaan fisik :
1) Lakukan penekanan pada tulang punggung terdapat nyeri tekan atau nyeri
pergerakan.
2) Periksa mobilitas pasien.
3) Amati posisi pasien yang nampak membungkuk.
c) Riwayat Psikososial
Penyakit ini sering terjadi pada wanita. Biasanya sering timbul kecemasan,
takut melakukan aktivitas, dan perubahan konsep diri. Perawat perlu
mengkaji masalah-masalah psikologis yang timbul akibat proses ketuaan
dan efek penyakit yang menyertainya.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut berhubungan dengan Agen pencedera fisik
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakkan integritas struktur
tulang

3. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Intervensi Keperawatan
No Diagnosis Tujuan & KH Intervensi Rasional
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Menejemen nyeri
berhubungan tindakan selama Observasi: Observasi:
dengan Agen 3x24 jam 1. identifikasi 1. Untuk
pencedera fisik diharapkan Nyeri lokasi, mengetahui lokasi,
akut teratasi karakteristik, karakteristik, durasi,
. dengan kriteria durasi, intensitas nyeri,
hasil: intensitas frekuensi, kualitas,
1. Keluhan nyeri nyeri, 2. Untuk
menurun (skala frekuensi, mengetahui skala
5) kualitas, nyeri
2. Kesulitan tidur 2. identifikasi 3. Untuk
menurun (skala skala nyeri mengetahui respons
5) 3. identifikasi nyeri non verbal
3. Kecemasan respons nyeri 4. Untuk mengetahui
kelemahan non verbal factor yang
menurun (skala 4. identifikasi memperberat dan
5) factor yang memperingan nyeri
4. Tekanan darah memperberat
membaik (skala dan
5) memperingan
5. Frekuensi nyeri Terapeutik
napas membaik Terapeutik 1. Untuk
(skala 5) 1. berikan teknik mengurangi rasa
nonfarmakologi nyeri pada pasien
s (ex. Hipnotis,
terapi music) 2. Untuk
2. control mengurangi rasa
lingkungan nyeri pada
yang pasien
memperberat
rasa nyeri (ex.
Suhu ruangan,
kebisingan) 3. Untuk
3. fasilitasi memberikan rasa
istirahat dan nyaman pada
tidur pasien
4. pertimbangkan 4. Untuk
jenis dan mengurangi rasa
sumber daya nyeri pada
nyeri dalam pasien
pemilihan
strategi
meredakan
nyeri
Edukasi
1. jelaskan Edukasi
penyebab, 1. Untuk
periode, dan mengetahui
pemicu nyeri penyebab, periode,
2. jelaskan dan pemicu nyeri
strategi 2. Untuk mengetahui
meredakan strategi meredakan
nyeri nyeri
3. Anjurkan 3. Untuk mengetahui
memonitor cara memonitor
nyeri secara nyeri secara mandiri
mandiri 4. Untuk
4. Ajarkan teknik mengurangi rasa
nonfarmokologi nyeri pada pasien
s untuk
mengurangi
rasa nyeri Kolaborasi
Kolaborasi 1. Untuk
1. Kolaborasi mengurangi rasa
memberikan nyeri pada pasien
analgetik, jika
perlu
2. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan
mobilitas fisik tindakan selama ambulasi
berhubungan 3x24 jam Observasi: Observasi
dengan diharapkan 1. Identifikasi 1. Untuk
Kerusakkan Gangguan adanya nyeri mengetahui
integritas struktur mobilitas fisik atau keluhan adanya nyeri
tulang teratasi dengan fisik lainya atau keluhan fisik
kriteria hasil: 2. Identifikasi lainya
6. pergerakan toleransi fisik 2. Untuk
ekstremitas melalui mengetahui
meningkat ambulasi toleransi fisik
(skala 5) melalui ambulasi
7. kekuatan otot 3. Monitor 3. Untuk
meningkat frekuensi mengetahui
skala 5) jantung dan frekuensi jantung
8. rentang gerak tekanan darah dan tekanan
meningkat sebelum darah sebelum
(skala 5) memulai memulai
9. Kecemasan ambulasi ambulasi
kelemahan 4. Monitor kondisi 4. Untuk
menurun (skala umum selama mengetahui
5) melakukan kondisi umum
10. Rasa nyeri ambulasi selama
menurun (skala melakukan
5) ambulasi
Terapeutik: Terapeutik
1. Fasilitasi 1. Untuk
aktivitas memberikan rasa
ambulasi nyaman serta
dengan alat membantu
bantu (ex. penyembuhan
Tongkat, kruk) pasien
2. Fasilitasi 2. Untuk
melakukan memberikan rasa
mobilisasi fisik, nyaman serta
jika perlu membantu
penyembuhan
pasien
3. Libatkan 3. Untuk
keluarga untuk memberikan rasa
membantu nyaman serta
pasien dalam membantu
meningkatkan penyembuhan
ambulasi pasien
Edukasi
Edukasi: 1. Untuk mengetahui
1. jelaskan tujuan tujuan dan prosedur
dan prosedur ambulasi
ambulasi 2. Untuk
memberikan rasa
nyaman serta
2. anjurkan membantu
melakukan penyembuhan
ambulasi dini pasien
3. Untuk
memberikan rasa
nyaman serta
3. Ajarkan membantu
ambulasi penyembuhan
sederhana yang pasien
harus dilakukan
(ex. Berjalan dari
tempat tidur ke
kursi roda)

4. EVALUASI KEPERAWATAN
No Hari /tanggal/jam Dx.Kep Evaluasi
1 1 S:
- Pasien mengatakan kondisinya sudah
lebih baik tetapi rasa nyeri masih terasa
(skala nyeri 4).
O:
- P : Saat digerakkan
- Q : Ditusuk-tusuk
- R : Tulang punggung (bagian bawah)
- S : Skala nyeri 4
- T : Hilang timbul
- TD : 140/80 mmHg
N : 85x/menit
RR : 19x/menit
S : 36,7ºC
A:
- Masalah nyeri teratasi sebagian
P:
- Intervensi dilanjutkan
2 2 S:
- Pasien mengatakan bahwa sudah bisa
duduk dan berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda
- Pasien mengatakan sudah lebih nyaman
daripada sebelumnya
O:
- Pasien terlihat nyaman dan koperatif
saat dibantu keluarga & perawat
melakukan ambulansi
A
- Masalah sudah teratasi
P
- Intervensi di hentikan
DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Purwanto. 2016. KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II. Jakarta : Pusdik SDM
Kesehatan. (Modul)

Kemenkes. 2017. Osteoporosis. Jakarta: P2PTM Kementrian Kesehatan.


Lukman, Ningsih Nurma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGANGANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba Medika

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Persatuan Perawat
Nasional Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Persatuan Perawat
Nasional Indonesia

Taradita, Wulandari., Rizki Rahmadian., dan Roni Eka S. 2018. Hubungan Tingkat
Osteoporosis Berdasarkan Indeks Singh dan Fraktur Leher Femur Akibat Low Energy
Trauma di Beberapa Rumah Sakit di Padang Tahun 2016-2018. Jurnal Kesehatan
Andalas. Vol. 7 (2). Dalam http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/806
diakses pada 6 febuari 2021

Wicaksono, D.S., dan Rifadly Y.M. 2020. Jurnal. Manfaat Ekstrak Dandelion Dalam
Mencegah Osteoporosis. jurnal Penelitian Perawat Profesional. Vol. 2 (2). Dalam
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/view/87 diakses
pada 6 febuari 2021

Anda mungkin juga menyukai