OSTEOPOROSIS
Dosen Pengampu :
DISUSUN OLEH:
Nokhayati PO71201220027
POLTEKKES KEMENKES JAMBI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tulang dan patah tulang merupakan salah satu dari sindrom geriatrik, dalam arti
insiden dan akibatnya pada usia lanjut yang cukup signifikan. Dengan bertambahnya usia
terdapat peningkatan hilang tulang secara linear. Hilang tulang ini lebih nyata pada wanita
dibanding pria. Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5-1% per tahun dari berat tulang pada wanita
pasca menopause dan pada pria > 80 tahun. Hilang tulang ini lebih mengenai bagian trabekula
dibanding bagian korteks, dan pada pemeriksaan histologik wanita dengan osteoporosis spinal
pasca menopause tinggal mempunyai tulang trabekula < 14% (nilai normal pada lansia 14-24%).
Sepanjang hidup tulang mengalami perusakan (dilaksanakan oleh sel osteoklas) dan
pembentukan (dilakukan oleh sel osteoblas) yang berjalan bersama-sama, sehingga tulang dapat
membentuk modelnya sesuai dengan pertumbuhan badan (proses remodelling). Oleh karena itu
dapat dimengerti bahwa proses remodelling ini akan sangat cepat pada usia remaja. Terdapat
berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pengrusakan oleh kedua jenis sel tersebut.
Apabila hasil akhir perusakan (resorbsi/destruksi) lebih besar dari pembentukan (formasi) maka
akan timbul osteoporosis. Kondisi ini tentu saja sangat mencemaskan siapapun yang peduli, hal
ini terjadi karena ketidaktahuan pasien terhadap osteoporosis dan akibatnya. Beberapa hambatan
dalam penanggulangan dan pencegahan osteoporosis antara lain karena kurang pengetahuan,
kurangnya fasilitas pengobatan, faktor nutrisi yang disediakan, serta hambatan-hambatan
keuangan. Sehingga diperluan kerja sama yang baik antara lembaga-lembaga kesehatan, dokter
dan pasien. Pengertian yang salah tentang perawatan. osteoporosis sering terjadi karena
kurangnya pengetahuan. Peran dari petugas. kesehatan dalam hal ini adalah dokter dan perawat
sangatlah mutlak untuk dilaksanakan. Karena dengan perannya akan membantu dalam mengatasi
peningkatan angka prevalensi dari osteoporosis. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
berperan dalam upaya pendidikan dengan memberikan penyuluhan tentang pengertian
osteoporosis, penyebab dan gejala osteoporosis serta pengelolaan osteoporosis. Berperan juga
dalam meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan serta peningkatan pengetahuan,
sikap dan praktik pasien serta keluarganya dalam melaksanakan pengobatan osteoporosis. Peran
yang terakhir adalah peningkatan kerja sama dan system rujukan antar berbagai tingkat fasilitas
pelayanan kesehatan, hal ini akan memberi nilai posistif dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran secara nyata dan lebih mendalam tentang pemberian asuhan
keperawatan pada pasien dengan osteoporosis.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Osteoporosis
Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga
tulang menjadi keras dan padat. Penurunan Massa tulang ini sebagai akibat dari berkurangnya
pembentukan, meningkatnya perusakan (destruksi) atau kombinasi dari keduanya. Osteoporosis
dibedakan menjadi 2 yaitu osteoporosis lokal dan osteopororsis umum.
Osteoporosis lokal dapat terjadi karena kelainan primer di tulang atau sekunder seperti
akibat imobilisasi anggota gerak dalam waktu lama, dll.
Osteoporosis umum primer tipe I: pasca menopause, terjadi pada usia 50-75 tahun,
wanita 6-8 kali beresiko dr pd laki-laki penyebabnya adalah menurunnya kadar hormon
estrogen dan menurunnya penyerapan kalsium. Osteoporosis umum primer tipe II terjadi
pada usia 75-85 tahun, wanita 2 kali lebih banyak daripada pria, penyebabnya adalah
proses penuaan dan menurunnya penyerapan kalsium.
Osteoporosis umum sekunder dihubungkan dengan pelbagai penyakit yang
mengakibatkan kelainan pada tulang, akibat penggunaan obat tertentu dan lain-lain.
2. Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis primer berkaitan dengan proses penuaan yang disertai dengan penurunan hormon
seks. Tulang menunjukkan kerusakan mikroarsitektur, yang menyebabkan hilangnya kepadatan
mineral tulang dan peningkatan risiko patah tulang. Penyakit lain atau pengobatannya
menyebabkan osteoporosis sekunder. Laki-laki lebih besar kemungkinannya terkena
osteoporosis sekunder dibandingkan perempuan. Obat-obatan yang dapat menyebabkan
osteoporosis sekunder termasuk glukokortikoid dan antiepilepsi. Obat lain seperti agen
kemoterapi, penghambat pompa proton, dan tiazolidin kurang diteliti namun diduga juga
berkontribusi terhadap osteoporosis.
Keadaan penyakit yang dapat menyebabkan osteoporosis antara lain hiperparatiroidisme,
anoreksia, malabsorpsi, hipertiroidisme, atau pengobatan hipotiroidisme yang berlebihan, gagal
ginjal kronik, Cushing, dan penyakit apa pun yang dapat menyebabkan imobilisasi jangka
panjang. Amenore sekunder yang berlangsung lebih dari satu tahun akibat berbagai penyebab,
antara lain terapi hormonal non-estrogen, berat badan rendah, dan olahraga berlebihan, juga
dapat menyebabkan hilangnya massa tulang secara cepat.
Faktor risiko osteoporosis antara lain bertambahnya usia, berat badan di bawah 128 pon,
merokok, riwayat keluarga osteoporosis, ras kulit putih atau Asia, menopause dini, rendahnya
aktivitas fisik, dan riwayat patah tulang akibat jatuh dari permukaan tanah atau ringan. trauma
setelah usia empat puluh. Pasien yang menderita kondisi yang mempengaruhi tingkat mobilitas
secara keseluruhan, seperti cedera tulang belakang (SCI), dapat mengalami penurunan tingkat
kepadatan mineral tulang dengan cepat dalam 2 minggu pertama setelah cedera yang
melemahkan ini.
Fraktur dan komplikasinya merupakan gejala sisa klinis osteoporosis yang relevan. Osteoporosis
merupakan penyakit yang diam sampai penderitanya mengalami patah tulang. Patah tulang yang
terjadi baru-baru ini pada bagian kerangka utama mana pun, seperti tulang belakang (tulang
belakang), femur proksimal (pinggul), lengan bawah distal (pergelangan tangan), atau bahu pada
orang dewasa berusia lebih dari 50 tahun dengan atau tanpa trauma, dapat memberi kesan bahwa
diagnosis osteoporosis diperlukan. penilaian mendesak lebih lanjut yang melibatkan diagnosis
dan pengobatan.
Fraktur dapat menyebabkan nyeri kronis, kecacatan, dan kematian. Patah tulang pinggul
dikaitkan dengan peningkatan angka kematian sebesar 15-20% dalam waktu 1 tahun, dengan
angka kematian yang lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita, diikuti dengan
peningkatan risiko patah tulang di masa depan sebesar 2,5 kali lipat. Sekitar 20–50% pasien
patah tulang pinggul memerlukan perawatan di rumah jangka panjang dan menderita penurunan
kualitas hidup, isolasi sosial, depresi, dan kehilangan harga diri. Patah tulang yang terjadi secara
spontan atau setelah trauma ringan (misalnya, jatuh dari ketinggian atau kurang)—disebut patah
tulang kerapuhan—sangat umum terjadi pada individu osteoporosis.
Fraktur tulang belakang dapat terjadi saat melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa trauma atau
jatuh, dan hal ini merupakan prediktor risiko patah tulang di masa depan: kemungkinannya lima
kali lipat untuk patah tulang belakang berikutnya dan dua hingga tiga kali lipat untuk patah
tulang di lokasi lain.
Keluhan pertama pasien mungkin adalah hilangnya tinggi badan akibat kompresi tulang
belakang akibat patah tulang, yang lebih jelas terlihat pada adanya beberapa patah
tulang; Kelainan ini dapat dideteksi secara obyektif dengan meningkatnya jarak oksiput-ke-
dinding yang disebabkan oleh kyphosis dorsal (punuk janda). Penentuan riwayat kehilangan
tinggi badan (selisih antara tinggi badan saat ini dan tinggi puncak pada usia 20 tahun) sebesar
1,5 inci (4 cm) atau lebih dan kehilangan tinggi badan prospektif (selisih antara tinggi badan saat
ini dan pengukuran tinggi badan yang didokumentasikan sebelumnya) sebesar 0,8 inci (2 cm)
atau lebih adalah penting. Fraktur toraks vertebra multipel dapat menyebabkan penyakit paru
restriktif dan masalah jantung sekunder. Patah tulang lumbal dapat menurunkan volume antara
tulang rusuk hingga panggul, mengubah anatomi perut, memenuhi organ dalam (terutama sistem
pencernaan, menyebabkan keluhan saluran pencernaan seperti rasa kenyang dini, nafsu makan
berkurang, sakit perut, sembelit, dan kembung); lebih lanjut, nyeri punggung (akut dan kronis),
kecacatan berkepanjangan, citra diri yang buruk, isolasi sosial, depresi, dan pembatasan posisi
adalah masalah lain yang disebabkan oleh fraktur kompresi selain peningkatan angka kematian.
Kifosis punggung juga terlihat pada beberapa orang lanjut usia tanpa patah tulang sehingga
bukan merupakan kriteria diagnostik untuk osteoporosis.
Ada beberapa faktor lain yang meningkatkan risiko patah tulang dan osteoporosis, terlepas dari
kepadatan mineral tulang (BMD)
Usia pasien
Indeks massa tubuh yang rendah (BMI<21 kg/m 2 ) merupakan faktor risiko signifikan
terjadinya patah tulang pinggul
Riwayat patah tulang osteoporosis sebelumnya merupakan faktor penting lainnya untuk
risiko patah tulang lebih lanjut dan hampir dua kali lipat risiko patah tulang belakang
( 15 )
Riwayat patah tulang pinggul orang tua
Merokok
Glukokortikoid oral ≥5 mg/hari prednison selama >3 bulan (pernah)
Ada hubungan yang bergantung pada dosis antara asupan alkohol dan risiko patah
tulang. Asupan alkohol 3 unit atau lebih setiap hari dikaitkan dengan risiko patah tulang
Artritis reumatoid meningkatkan risiko patah tulang terlepas dari BMD, serta penggunaan
glukokortikoid
Jatuh merupakan faktor risiko penting terjadinya patah tulang osteoporosis
4.Patofisiologi Osteoporosis
Setelah menopause, kadar homon estrogen semakin menipis den kemudian tidak diproduksi lagi.
Akibatnya, osteoblas pun makin sedikt diproduksi. Terjadilah ketidakseimbangan antara
pembentukan tulang dan kerusakan tulang. Osteoklas menjadi lebih dominan, kerusakan tulang
tidak lagi bisa dilmbangi. dengan pembentukan tulang. Untik diketahui, osteoklas mensak tulang
salama 3 minggu, sedangkan pembentukan tulang membutuhkan waktu 3 bulen. Dengan
demikian, seiring bertambahnya usia, tulang-tulang semakin keropos (dimulai saat memasuki
menopause) dan mudah diserang penyakit.
5. Pathway Osteoporosis
6. Pemeriksaan diagnostik Osteoporosis
- X-ray
Osteoporosis teridentifikasi pada pemeriksaan sinar-x rutin bila sudah terjadi demineralisasi 25%
sampai 40%. Tampak radiolusensi tulang. Ketika vertebra kolaps, vertebra torakalis menjadi
berbentuk baji dan vertebra lumbalis menjadi bikonkaf. Pemeriksaan laboratorium (misalnya
kalsium serum, fosfat, serum, fosfatase alkalu, ekskresi kalsium urine, ekskresi hidroksi prolin
urine, hematokrit, laju endap darah), dan sinar-x dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
diagnosis medis lain (misalnya; osteomalasia, hiperparatiroidisme, dll) yang juga menyumbang
terjadinya kehilangan tulang. Absorbsiometri foton-tunggal dapat digunakan untuk memantau
massa tulang pada tulang kortikal pada sendi pergelangan tangan. Absorpsiometri dual-foton,
dual energy x-ray absorpsiometry (DEXA), dan CT mampu memberikan informasi mengenai
massa tulang pada tulang belakang dan panggul. Sangat berguna untuk mengidentifikasi tulang
osteoporosis dan mengkaji respon terhadap terapi, Penatalaksanaan Osteoporosis:Diet kaya
kalsium dan vitamin D yang mencukupi dan seimbang sepanjang hidup, dengan peningkatan
asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan, dapat melindungi terhadap demineralisasi
skeletal. Pada menopause, terapi penggantian hormon dengan estrogen dan progesterone dapat
diresepkan untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah terjadinya patah tulang yang
diakibatkannya. Obat-obat yang lain yang dapat diresepkan untuk menangani osteoporosis
termasuk kalsitonin, natrium florida, dan natrium etidronat. Kalsitonin secara primer menekan
kehilangan tulang dan diberikan secara injeksi subkutan atau intramuskular. Efek samping
(misalnya: gangguan gastrointestinal aliran panas, frekuensi urin), biasanya ringan dan hanya
kadang-kadang dialami. Natrium florida memperbaiki aktifitas osteoblastik dan pembentukan
tulang
7. Penatalaksanaan Osteoporosis
Konseling untuk menghentikan kebiasaan buruk seperti merokok dan konsumsi alkohol sangat
dibutuhkan karena kalau kebiasaan ini tetap berlanjut akan memperburuk kondisi osteoporosis.
Selain itu, aktivitas fisik yang bersifat weight-bearing dan melatih keseimbangan juga perlu
ditingkatkan. Olahraga aerobik seperti treadmill atau jogging dalam 24 minggu terbukti mampu
meningkatkan densitas mineral tulang di colum femur dan L2-L4 tulang belakang pada wanita
pascamenopause. Latihan seperti melompat yang digabung dengan latihan beban sebanyak 3 kali
seminggu selama 32 minggu juga terbukti meningkatkan densitas mineral tulang.
Konsumsi kalsium dan vitamin D yang adekuat juga sangat penting. Institute of Medicine (IOM)
telah mengeluarkan rekomendasi untuk asupan harian kalsium dan vitamin D pada orang dewasa
tua. Untuk wanita usia lebih dari 50 tahun, IOM merekomendasikan 1200 mg/hari kalsium. IOM
merekomendasikan 1000 mg/hari kalsium untuk pria berusia 51-70 tahun dan 1200 mg/hari
untuk pria di atas 70 tahun. Batas maksimal asupan kalsium yang direkomendasikan untuk pria
dan wanita adalah 2000 mg/hari. Kebutuhan minimum vitamin D harian pada pasien
osteoporosis adalah 800 IU kolekalsiferol.
Terapi farmakologi perlu diberikan pada wanita dengan osteoporosis yang diketahui berisiko
tinggi mengalami patah tulang panggul dan tulang belakang. Obat yang dapat digunakan antara
lain alendronate, risedronate, zoledronic acid, atau denosumab. Disisi lain, penggunaan estrogen
atau estrogen plus progestogen atau raloxifene tidak disarankan untuk pengobatan osteoporosis
pada wanita menopause. Pada wanita dengan osteoporosis, pengobatan farmakologis sebaiknya
diberikan selama 5 tahun. Pemantauan bone mineral density (BMD) selama 5 tahun terapi tidak
disarankan karena dilaporkan tidak mempengaruhi risiko fraktur. Pada wanita berusia 65 tahun
ke atas yang mengalami osteopenia dan berisiko tinggi fraktur, keputusan terapi harus
mempertimbangkan preferensi pasien, profil risiko fraktur, manfaat, bahaya, dan harga obat.
Pada pria dengan osteoporosis, terapi bifosfonat dapat diberikan untuk mengurangi risiko fraktur
tulang belakang.
c. Terapi Nonhormonal
DAFTAR PUSTAKA
Greenstein AS, Gorczyca JT. Bedah Ortopedi dan Pasien Geriatri. Klinik Geriatr Med. Februari
2019; 35 (1):65-92. [ PubMed ]
Varacallo MA, Fox EJ. Osteoporosis dan komplikasinya. Med Clin Utara Am. Juli
2014; 98(4):817-31, xii-xiii. [ PubMed ]
Varacallo M, Davis DD, Pizzutillo P. StatPearls [Internet]. Penerbitan StatPearls; Treasure Island
(FL): 28 Agustus 2023. Osteoporosis pada Cedera Tulang Belakang. [ PubMed ]
Kanis JA, Johnell O, De Laet C, Johansson H, Oden A, Delmas P, dkk. Sebuah meta-analisis
dari patah tulang sebelumnya dan risiko patah tulang berikutnya. Tulang. 2004; 35 :375–
82. https://doi.org/10.1016/j.bone.2004.06.017 . [ PubMed ] [ Google Cendekia ]
Siminoski K, Warshawski RS, Jen H, Lee K. Keakuratan riwayat penurunan tinggi badan untuk
mendeteksi patah tulang belakang pada wanita pascamenopause. Osteoporo Int. 2006; 17 :290–
6. https://doi.org/10.1007/s00198-005-2017-y . [ PubMed ] [ Google Cendekia ]
Kanis JA, Oden A, Johnell O, Johansson H, De Laet C, Brown J, dkk. Penggunaan faktor risiko
klinis meningkatkan kinerja BMD dalam prediksi patah tulang pinggul dan osteoporosis pada
pria dan wanita. Osteoporo Int. 2007; 18 :1033–46. https://doi.org/10.1007/s00198-007-0343-
y . [ PubMed ] [ Google Cendekia ]
De Laet C, Kanis JA, Oden A, Johanson H, Johnell O, Delmas P, dkk. Indeks massa tubuh
sebagai prediktor risiko patah tulang: meta-analisis. Osteoporo Int. 2005; 16 :1330-
8. https://doi.org/10.1007/s00198-005-1863-y . [ PubMed ] [ Google Cendekia ]
Fox KM, Cummings SR, Powell-Threets K, Stone K. Riwayat keluarga dan risiko patah tulang
osteoporosis. Kajian Kelompok Keilmuan Fraktur Osteoporotik. Osteoporo Int. 1998; 8 :557–
62. https://doi.org/10.1007/s001980050099 . [ PubMed ] [ Google Cendekia ]
Kanis JA, Johnell O, Oden A, Johansson H, De Laet C, Eisman JA, dkk. Risiko merokok dan
patah tulang: meta-analisis. Osteoporo Int. 2005; 16:155–62. https://doi.org/10.1007/s00198-
004-1755-6 . [ PubMed ] [ Google Cendekia ]
Kanis JA, Stevenson M, McCloskey EV, Davis S, Lloyd-Jones M. Osteoporosis yang diinduksi
glukokortikoid: tinjauan sistematis dan analisis utilitas biaya. Penilaian Teknologi
Kesehatan. 2007; 11 :1–231. https://doi.org/10.3310/hta11070. [ PubMed ] [ Google Cendekia ]