OSTEOPOROSIS
Disusun oleh
Deah Karina Saputri
NIM. PO.71.20.1.14.011
Tingkat 1 A
Dosen Pengampu
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT, dimana atas segala
rahmat dan izin-nya, saya dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Osteoporosis. Asuhan Keperawatan ini saya buat dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Saya mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini
terutama kepada bapak Ns, Lukman, S.Kep., MM., M.Kep selaku dosen
pembimbing penyusunan asuhan keperawatan ini.
Semoga asuhan keperawatan ini dapat bermanfaat bagi pihak yang
memerlukan khususnya saya sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan didalam asuhan
keperawatan ini. Untuk itu saya berharap adanya kritik dan saran yang
membangun guna keberhasilan penulisan yang akan datang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............. ii
Daftar Isi.. iii
Bab I Pendahuluan... 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah... 2
1.3 Tujuan. 2
Bab II Tinjaun Pustaka.. 3
Bab III Asuhan Keperawatan........................................................................ 22
Bab IV Penutup..36
4.1 Kesimpulan. 36
4.2 Saran... 36
Daftar Pustaka... 37
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dengan bertambahnya usia harapan hidup orang Indonesia, maka jumlah
manusia lanjut usia di Republik ini akan bertambah banyak pula. Sehingga
masalah penyakit akibat ketuaan akan semakin banyak kita hadapi. Salah satu
penyakit yang harus diantisipasi adalah semakin banyaknya penyakit osteoporosis
dan patah tulang yang diakibatkannya (Bayu Santoso, 2001).
Pada tahun 60 tahun ke depan akan terjadi perubahan demografik yang
akan meningkatkan populasi warga usia lanjut dan meningkatkan terjadinya patah
tulang karena osteoporosis. Jumlah penderita patah tulang akibat osteoporosis
yang pada tahun 1990 mencapai 1,7 juta akan menjadi 6,3 juta pada tahun 2050,
kecuali jika ada tindakan pencegahan yang agresif (Joewono Soeroso, 2001).
Sebesar 80% osteoporosis terjadi pada wanita terutama yang sudah
mencapai usia menoupouse. Osteopororis sebetulnnya adalah berkurangnya masa
tulang yang kemudian diikuti dengan kerusakan arsitektur tulang, sehingga tulang
mudah mengalami patah tulang (R. Prayitno Prabowo, 2001).
Osteoporosis dibagi menjadi tiga yaitu osteoporosis primer, osteoporosis
sekunder dan osteoporosis idiopatik. Dalam penelitian ini peneliti membatasi
pada osteoporosis primer. Menurut Albright JA tahun 1979. Osteoporosis primer
adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan merupakan kelompok
yang terbesar. Ada dua faktor resiko yang menjadi penyebab utama terjadinya
osteoporosis yaitu faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah.
Ada beberapa faktor risiko osteoporosis daiantaranya genetic, jenis
kelamin dan masalah kesehatan kronis, defisiensi hormone, kurang olah raga,
serta rendahnya asupan kalsium, Bila dalam suatu keluarga mempunyai riwayat
osteoporosis maka kemungkinan peluang anak mengalami hal yang sama adalah
60-80%. Dilihat dari jenis kelamin 80% wanita mengidap osteoporosis. Risiko
osteoporosis juga akan meningkat apabila mengidap penyakit kronis. Sedangkan
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada asuhan keperawatan ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.3
Tujuan Penulisan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Osteoporosis
2
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang
yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya
rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang ( Tandra,
2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di
Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa
massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan
penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat
meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati,
2006).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah
kelainan kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan
dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang
merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang
(Junaidi, 2007).
Osteoporosis adalah penyakit tulang sisitemik yang ditandai oleh
penurunan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah
patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi
baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
compromised bone strength sehingga tulang mudah patah ( Sudoyo, 2009 ).
Tulang adalah jaringan yang hidup dan terus bertumbuh. Tulang
mempunyai struktur, pertumbuhan dan fungsi yang unik. Bukan hanya memberi
kekuatan dan membuat kerangka tubuh menjadi stabil, tulang juga terus
mengalami perubahan karena berbagai stres mekanik dan terus mengalami
pembongkaran,
perbaikan
dan
pergantian
sel.
Untuk
mempertahankan
makin panjang, makin tebal, dan makin padat yang akan mencapai puncaknya
pada usia sekitar 25-30 tahun. Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah
usia 30 tahun, yang akan makin bertambah setelah diatas 40 tahun, dan akan
berlangsung terus dengan bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Hal inilah
yang mengakibatkan terjadinya penurunan massa tulang yang berakibat pada
osteoporosis ( Tandra, 2009).
2.2
Klasifikasi
Menurut (Junaidi, 2007), osteoporosis diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidak seimbangan antara kecepatan
hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblast). Senilis
berati bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya
terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering wanita.
Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause.
3.
sekunder yang disebakan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini
bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,
paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (mislnya kortikosteroid, barbiturat, anti
kejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan
dapat memperburuk keadaan ini.
4.
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda
4
yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal,
dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
2.3
Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia
lanjut:
1.
a.
Faktor genetik
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan
tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain kecil.
Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai struktur tulang
lebih kuat/berat dari pada bangsa Kaukasia. Jadi seseorang yang mempunyai
tulang kuat (terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur karena
osteoporosis.
b.
Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor
a.
Faktor genetic
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat
risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak
ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap
individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sitat genetiknya serta beban
mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang yang besar,
kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan
dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang
lebih banyak dari pada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang
sama.
b.
Faktor mekanis
Faktor mekanis mungkin merupakan yang terpenting dalarn proses
bertambahnya usia; dan karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanis,
massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.
c.
Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses
serta
ekskresi
melalui
urin
yang
bertambah.
Hasil
akhir
Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
Estrogen
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan
tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui
urin maupun tinja.
g.
Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan.
Individu
rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang
jelas belum diketahui dengan pasti.
2.4
Stadium Osteoporosis
1. Pada stadium 1, tulang bertumbuh cepat, yang dibentuk masih lebih banyak dan
lebih cepat daripada tulang yang dihancurkan. Ini biasanya terjadi pada usia 30-35
tahun.
2. Pada stadium 2, umumnya pada usia 35-45 tahun, kepadatan tulang mulai turun
(osteopenia).
3. Pada stadium 3, usia 45-55 tahun, fraktur bisa timbul sekalipun hanya dengan
sentuhan atau benturan ringan.
4. Pada stadium 4, biasanya diatas 55 tahun, rasa nyeri yang hebat akan timbul
akibat patah tulang. Anda tidak bisa bekerja, bergerak , bahkan mengalami stres
dan depresi (Waluyo, 2009).
2.5
Gejala Osteoporosis
Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai
puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga
tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk
tulang. Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan keluhan
atau gejala sebagai berikut:
1. Tinggi badan berkurang
2. Bungkuk atau bentuk tubuh berubah
3. Patah tulang
4. Nyeri bila ada patah tulang (Tandra, 2009).
2.6
berbeda. Faktor risiko Osteoporosis dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang tidak
dapat dikendalikan dan yang dapat dikendalikan. Berikut ini faktor risiko
osteoporosis yang tidak dapat dikendalikan:
1. Jenis kelamin
Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih besar
dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang
mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun.
2. Usia
Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena
secara alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya usia.
Osteoporosis pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa tulang yang
juga disebabkan menurunnya kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium.
3. Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena
osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan
Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam.
Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dibanding ras kulit putih
Amerika. Mereka juga mempunyai otot yang lebih besar sehingga tekanan
pada tulang pun besar. Ditambah dengan kadar hormon estrogen yang lebih
tinggi pada ras Afrika.
4. Pigmentasi dan tempat tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa,
mempunyai risiko terkena osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan
dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan
Swedia.
5. Riwayat keluarga
9
Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai
massa tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung berisiko tinggi
terkena osteoporosis.
6. Sosok tubuh
Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena
osteoporosis. Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih
berisiko terkena osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.
7. Menopause
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena
tubuh tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan
untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin
rendahnya hormon estrogen seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin
berkurang kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang
mudah patah. Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium
terpaksa dilakukan disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker,
mioma dan lainnya. Menopause dini juga berakibat meningkatnya risiko
terkena osteoporosis.
Berikut ini faktor faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan.
Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup.
1. Aktivitas fisik
Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak
terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat
menurunnya kekuatan tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan melakukan
olahraga teratur minimal tiga kali dalam seminggu (lebih baik dengan beban
untuk membentuk dan memperkuat tulang).
2. Kurang kalsium
Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang
maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari
bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang. Kebutuhan akan kalsium
harus disertai dengan asupan vitamin D yang didapat dari sinar matahari pagi,
tanpa vitamin D kalsium tidak mungkin diserap usus (Suryati, 2006).
10
3. Merokok
Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan
perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen
lebih rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibanding
wanita bukan perokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok berpengaruh
buruk pada tubuh dalam hal penyerapan dan penggunaan kalsium. Akibatnya,
pengeroposan tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat.
4. Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding
lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan
kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan
pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.
5. Minuman soda
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein).
Fosfor akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang,
sedangkan kafein meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin. Untuk
menghindari bahaya osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft drink harus
dibarengi dengan minum susu atau mengonsumsi kalsium ekstra (Tandra,
2009).
6. Stres
Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol
yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi
akan meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran darah dan akan
menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga meningkatkan
terjadinya osteoporosis.
7. Bahan kimia
Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan
makanan (sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor,
dan limbah industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di
sungai dan tanah, dapat merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini membuat
daya tahan tubuh menurun dan membuat pengeroposan tulang (Waluyo,
2009).
11
2.7
Patofisiologi
Osteoporosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun antara faktor
genetic dan faktor lingkungan. Faktor genetic meliputi, usia, jenis kelamin, ras
keluarga, bentuk tubuh, tidak pernah melahirkan. Faktor mekanis meliputi,
merokok, alkohol, kopi, defisiensi vitamin dan gizi, gaya hidup, mobilitas,
anoreksia nervosa dan pemakaian obat-obatan. Kedua faktor diatas akan
menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsium dari darah ke tulang,
peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak tercapainya masa tulang
yang maksimal dengan resobsi tulang menjadi lebih cepat yang selanjutnya
menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru
sehingga terjadi penurunan massa tulang total yang disebut osteoporosis.
Dalam keadaan normal, pada tulang kerangka tulang kerangka akan terjadi
suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan terjadi secara seimbang, yaitu
proses resorbsi dan proses pembentukan tulang (remodeling). Setiap perubahan
dalam keseimbangan ini, misalnya apabila proses resorbsi lebih besar dari pada
proses pembentukan tulang, maka akan terjadi pengurangan massa tulang dan
keadaan inilah yang kita jumpai pada osteoporosis.
Dalam massa pertumbuhan tulang, sesudah terjadi penutupan epifisis,
pertumbuhan tulang akan sampai pada periode yang disebut dengan peride
konsolidasi. Pada periode ini terjadi proses penambahan kepadatan tulang atau
penurunan porositas tulang pada bagian korteks. Proses konsolidasi secara
maksimal akan dicapai pada usia kuarang lebih antara 30-45 tahun untuk tulang
bagian korteks dan mungkin keadaan serupa akan terjadi lebih dini pada tulang
bagian trabekula.
Sesudah manusia mencapai umur antara 45-50 tahun, baik wanita maupun
pria akan mengalami proses penipisan tulang bagian korteks sebesar 0,3-0,5%
setiap tahun, sedangkan tulang bagian trabekula akan mengalami proses serupa
pada usia lebih muda. Pada wanita, proses berkurangnya massa tulang tersebut
pada awalnya sama dengan pria, akan tetapi pada wanita sesudah menopause,
12
proses ini akan berlangsung lebiuh cepat. Pada pria seusia wanita menopause
massa tulang akan menurun berkisar antara 20-30%, sedang pada wanita
penurunan massa tulang berkisar antara 40-50%. Pengurangan massa tulang ini
berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama.
Dengan teknik pemeriksaan tertentu dapat dibuktikan bahwa penurunan
massa tulang tersebut lebih cepat terjadi pada bagian-bagian tubuh seperti berikut:
metacarpal, kolum femoris serta korpus vertebra, sedang pada bagian tubuh yang
lain, misalnya : tulang paha bagian tengah, tibia dan panggul, mengalami proses
tersebut secara lambat.
Pada osteoporosis, terjadi proses pengurangan massa tulang dengan
mengikuti pola yang sama dan berakhir dengan terjadinya penipisan bagian
korteks serta pelebaran lumen, sehingga secara anatomis tulang tersebut tampak
normal. Titik kritis proses ini akan tercapai apabila massa tulang yang hilang
tersebut sudah sedemikian berat sehingga tulang yang bersangkutan sangat peka
terhadap trauma mekanis dan akan mengakibatkan terjadinya fraktur. Bagianbagian tubuh yang sering mengalami fraktur pada kasus osteoporosis adalah
vertebra, paha bagian prosimal dan radius bagian distal. Osteoporosis dapat terjadi
oleh karena berbagai sebab, akan tetapi yang paling sering dan paling banyak
dijumpai adalah osteoporosis oleh karena bertambahnya usia.
13
2.8
Manifestasi Klinis
Osteoporosis merupakan silent disease. Penderita osteoporosis umumnya
tidak mempunyai keluhan sama sekali sampai orang tersebut mengalami fraktur.
Osteoporosis mengenai tulang seluruh tubuh, tetapi paling sering menimbulkan
gejala pada daerah-daerah yang menyanggah berat badan atau pada daerah yang
mendapat tekanan (tulang vertebra dan kolumna femoris). Korpus vertebra
menunjukan adanya perubahan bentuk, pemendekan dan fraktur kompresi. Hal ini
mengakibatkan berat badan pasien menurun dan terdapat lengkung vertebra
abnormal (kiposis). Osteoporosis pada kolumna femoris sering merupakan
predisposisi terjadinya fraktur patologik (yaitu fraktur akibat trauma ringan), yang
sering terjadi pada pasien usia lanjut.
14
2.
3.
4.
tubuh yang sering fraktur adalah pergelangan tangan, panggul dan vertebra
5.
6.
Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan
ini terjadi oleh karena adanya kompresi fraktur yang asimtomatis pada vertebra.
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan
atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang
panggul. Selain itu, yang juga sering terjadi karena adalah patah tulang lengan di
daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles,
Pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami secara perlahan.
2.9
Pemeriksaan Diagnostik
15
Seseorang
yang
ingin
menentukan
terjadinya
osteoporosis
atau
mahal. Orang yang melakukan pemeriksaan ini tidak akan merasakan nyeri
dan hanya dilakukan sekitar 5 - 15 menit. Menurut Putri, DXA dapat
digunakan pada wanita yang mempunyai peluang untuk mengalami osteoporo
sis, seseorang yang memiliki ketidakpastian dalam diagnosa, dan penderita
yang memerlukan keakuratan dalam hasil pengobatan osteoporosis. (Putri, 2009).
Keuntungan
yang
didapatkan
jika
melakukan
pemeriksaan
ini
yaitu
memiliki
kelemahan
yaitu
membutuhkan
koreksi
berdasarkan
volume tulang (secara bersamaan hanya menghitung 2 dimensi yaitu tinggi dan
lebar) dan jika pada saat seseorang melakukan pengukuran dalam posisi yang
tidak benar, maka akan mempengaruhi hasil pemeriksaan tersebut. (Cosman,
2009).
Hasil dari DXA dapat dinyatakan dengan T-score, yang dinilai
dengan melihat perbedaan BMD dari hasil pengukuran dengan nilai rata-rata
BMD puncak. (Tandra, 2009).
Menurut WHO, kriteria T-score dibagi menjadi 3, yaitu T-score > -1
SD yang menunjukkan bahwa seseorang masih dalam kategori normal. T-score <1 sampai -2,5 dikategorikan osteopenia, dan < - 2,5 termasuk dalam
kategori osteoporosis, apabila disertai fraktur, maka orang tersebut termasuk
dalam osteoporosis berat. (WHO, 1994).
2.
Densitometri US (ultrasound)
16
Kerusakan
yang
pengukuran ultrsound,
terjadi
yaitu
pada
tulang
dengan
dapat
mengunakan
didiagnosis
alat
dengan
quantitative
Radiologic
2.
Radioisotope
3.
4.
5.
2.10
Penatalaksanaan
Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencukupi dan seimbang
18
tulang
osteoklastik,
sedang
dalam
penelitian
untuk
efisiensi
2.11
Komplikasi
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh
dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur
kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan
daerah trokhanter, dan fraktur colles pada pergelangan tangan.
2.12
a.
Pencegahan
kalsium.
Studi lintas budaya telah menemukan hubungan yang kuat antara asupan
protein hewani dan risiko patah tulang pinggul. Tingginya asupan daging (lima
atau lebih porsi per minggu) secara signifikan meningkatkan risiko retak tulang
lengan bawah pada perempuan, dibandingkan dengan makan daging kurang dari
sekali per minggu. Wanita lansia yang mengkonsumsi sejumlah besar daging
kehilangan tulang lebih cepat dan risiko lebih besar terkena retak tulang
pinggul.Risiko masalah tulang tampaknya berkurang ketika protein hewani
diganti dengan protein dari sumber nabati, terutama kedelai. Dalam studi klinis
dengan wanita menopause, makanan kedelai telah ditemukan mencegah keropos
tulang. Penelitian telah menunjukkan hubungan positif antara protein kedelai dan
kepadatan mineral tulang pada wanita menopause. Hal ini mungkin karena
19
konsentrasi senyawa yang relatif tinggi yang disebut isoflavon dalam protein
nabati.
b.
sayuran berkaitan dengan kepadatan mineral tulang lebih tinggi pada pria dan
wanita. Asosiasi ini mungkin karena kalium, magnesium, dan vitamin K dalam
buah-buahan dan sayuran.
c.
paling banyak kafein telah mempercepat kehilangan tulang belakang dan hampir
tiga kali lipat risiko terkena patah tulang pinggul. Resiko kehilangan tulang
tampak tertinggi pada wanita yang mengkonsumsi lebih dari 18 ons kopi per hari,
atau 300 mg kafein dari sumber lain.
f.
20
BAB III
21
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
Anamnese
a)
Identitas
a.
Identitas klien
Riwayat Kesehatan
Dalam pengkajian riwayat kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi
adanya :
a.
Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher,dan
pinggang
c)
b.
c.
d.
e.
Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa
lebih baik. Selain itu, olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan
gerakan sendi. Lansia memerlukan aktifitas yang adekuat untuk
mempertahankan fungsi tubuh. Aktifitas tubuh memerlukan interaksi yang
kompleks antara saraf dan muskuloskeletal.
Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya
gerak persendian adalah agility ( kemampuan gerak cepat dan lancar )
menurun, dan stamina menurun.
2.
Pemeriksaan Fisik
a.
B1 (Breathing)
Inspeksi : Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : Cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki
b.
B2 ( Blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat dingin dan
pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh
darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat.
c.
B3 ( Brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah, klien
dapat mengeluh pusing dan gelisah.
a)
b)
Mata
c)
Leher
B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan.
e.
B5 ( Bowel)
23
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi namun perlu di kaji
frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
f.
B6 ( Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis. Klien osteoporosis
sering menunjukan kifosis atau gibbus (dowagers hump) dan penurunan
tinggi badan dan berat badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas
tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering
terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
3.
Pemeriksaan penunjang
a)
Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus
vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisan korteks
dan hilangnya trabekula transversal merupakan kelainan yang sering
ditemukan. Lemahnya korpus vertebrae menyebabkan penonjolan yang
menggelembung dari nucleus pulposus kedalam ruang intervertebral dan
menyebabkan deformitas bikonkaf.
b)
CT-Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai
nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas
110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan,
sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua
klien yang mengalami fraktur.
3.2
Diagnosa Keperawatan
1.
Nyeri akut berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra
spasme otot, deformitas tulang.
2.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat
perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder atau fraktur baru.
3.
Risiko cidera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan
ketidakseimbangan tubuh.
4.
Defisiensi pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi
yang berhubungan dengan kurang informasi, salah persepsi.
3.3
Intervensi Keperawatan
24
Gangguan tidur, missal; mata terlihat layu, gerakan tidak teratur atau tidak
menentu dan tidak menyeringai
Pengendalian Nyeri
Definisi : Tindakan individu untuk mengendalikan nyeri
- Tingkat Nyeri
Definisi : Keparahan nyeri yang dapat diamati atau dilaporkan
Kriteria Hasil :
-
keparahan nyeri dan faktor pencetus nyeri. Pantau tingkat nyeri pada
punggung, nyeri terlokalisasi atau menyebar pada abdomen atau pinggang.
Skala nyeri 7-9 yaitu nyeri berat.
2. Observasi ketidaknyamanan non verbal.
3. ajarkan untuk teknik nonfarmakologi misal relaksasi, guide imajeri, terapi
musik, distraksi.
4. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan, cahaya, kegaduhan.
5. Kolaborasi : pemberian Analgetik sesuai indikasi
NIC II : Manajemen Analgetik
Aktivitas
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan tingkat nyeri sebelum mengobati
pasien.
2. Cek obat meliputi jenis, dosis, dan frekuensi pemberian analgetik.
3. Tentukan jenis analgetik ( Narkotik, Non-Narkotik) disamping tipe dan tingkat
nyeri.
4. Tentukan Analgetik yang tepat, cara pemberian dan dosisnya secara tepat.
5. Monitor tanda tanda vital sebelum dan setelah pemberian analgetik.
2. Diagnosa:
Batasan karakteristik:
Objektif
untuk menyokong
tubuh dan
memdasilitasi pergerakan
Performa berpindah; kemmapuan untuk mengubah letak tubuh secara mandiri
atau dengan alat bantu.
Tujuan atau criteria evaluasi
Indikator
Keseimbangan
Koordinasi
Performa posisi tubuh
29
meningkatkan
dan
30
Eksternal :
psikomotor)
Jenis transportasi
2.
Internal :
Profil darah yang abnormal (leukositosis atau leukopenia, perubahan faktor
Disfungsi biokimia
Disfungsi efektor
Disfungsi integratif
Malnutrisi
Disfungsi sensori
Hipoksia jaringan
31
Risk Control
Kriteria Hasil :
Kontrol Risiko
Kontrol Gejala
Identifikasi defisit kognitif atau fisik pasien yang berpotensi untuk jatuh
Pasang tanda- tanda untuk mengingatkan pasien untuk meminta bantuan jika
ingin turun dari tempat tidur
Gunakan tkhnik yang tepat untuk memindahkan pasien dari dank ke tempat
tidur , toilet, kursi roda dan sebagainya
Berikan tempat duduk tinggi dengan sandaran tangan dan punggung untuk
memudahkan pemindahan
Berikan pasien untuk dependen alat bantu ( seperti: bel) ketika pemberi
32
Berikan bathub yang tidak licin, lantai yang tidak licin, barang- barang yang
mudah dijangkau
Tempatkan tanda untuk mengingatkan staf jika pasien sedang dalam resiko
jatuh
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengurangi efek samping obat
yang bisa mengakibatkan jatuh.
Manajemen Lingkungan
Definisi : monitor dan kondisikan lingkungan fisik untuk keamanan
Aktifitas
Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat.
Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat.
pengontrolan penyakit.
Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang
tepat.
3.4
Evaluasi
Nyeri berkurang
BAB IV
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Tulang adalah jaringan yang hidup dan terus bertumbuh. Tulang
usia 30 tahun, yang akan makin bertambah setelah diatas 40 tahun, dan akan
berlangsung terus dengan bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Hal inilah
yang mengakibatkan terjadinya penurunan massa tulang yang berakibat pada
osteoporosis ( Tandra, 2009).
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang
yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya
rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang ( Tandra,
2009).
3.2
Saran
Dalam memahami Asuhan Keperawatan harus diperhatikan dan dipahami
secara detail dalam melakukan pengkajiannya, untuk itu dengan adanya Askep
Osteoporosis ini bisa membantu pembaca dalam mempelajari penyakit
Osteoporosis. Kami menyadari bahwa Askep kami ini masih banyak kekurangan,
untuk itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Sain, Iwan S.Kep. ASKEP Pada Klien Dengan Gangguan Metabolime Tulang :
OSTEOPOROSIS(41_2.pdf). (www.stikeskusumahusada.ac.id/images/file/
41.pdf) diakses tanggal 19 Maret 2016.
http://titinrestantikaharu.blogspot.co.id/2014/06/askep-osteoporosis.html diakses
tanggal 19 Maret 2016.
http://dwihardiyanti25.blogspot.co.id/2012/06/asuhan-keperawatan-padaklien.html diakses tanggal 19 Maret 2016.
https://www.academia.edu/9249133/Asuhan_keperawatan_Osteoporosis diakses
tanggal 19 Maret 2016.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22611/4/Chapter%20II.pdf
tanggal 19 Maret 2016.
diakses
36
37