Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

Hj.Nurjannah,BSc.,SPd.,MPd

Oleh

Muhammad Resky Ashara


P00320015084

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI

PRODI DIII KEPERAWATA


A. TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL MENURUT
FREUD

1. Tahap Oral (Oris = Mulut)


Fase oral adalah fase perkembangan yang terjadi pada tahun pertama dari
kehidupan individu. Pada fase ini daerah erogen yang paling peka
adalah mulut, yang berkaitan dengan pemuasan kebutuhan pokok seperti
makanan dan air. Rangsangan yang terjadi pada mulut adalah pada saat
menghisap makanan atau minumannya. Fase oral berakhir saat bayi tidak lagi
memperoleh asupan gizi secara langsug dari ibunya.[9]
Hal itu juga dijelaskan oleh Syamsu dan Achmad bahwa Tahap oral adalah
periode bayi yang masih menetek yang seluruh hidupnya masih bergantung
pada orang lain. Pada masa ini libido didistribusikan ke daerah oral sehingga
perbuatan menghisap dan menelan menjadi metode utama untuk mereduksi
ketegangan dan mencapai kepuasan (kenikmatan). Karena mulut menjadi
sumber kenikmatan erotis, maka anak akan menikmati peristiwa menetek pada
ibunya dan juga memasukan segala jenis benda ke dalam mulutnya, termasuk
jempolnya sendiri.
Ketidakpuasan pada masa oral (seperti disapih dan kelahiran adiknya)
dapat menimbulkan gejala regresi (kemunduran) yaitu berbuat seperti bayi
atau anak yang sangat bergantung kepada orang tuanya atau banyak tuntutan
yang harus dipenuhi dan juga gejala perasaan iri hati (cemburu). Reaksi dari
kedua gejala tersebut dapat dinyatakan dalam beberapa tingkah, seperti:
menghisap jempol, mengompol, membandel dan membisu seribu bahasa.
Di samping itu ketidakpuasan ini akan berdampak kurang baik bagi
perkembangan kepribadian anak, seperti: merasa kurang aman, selalu meminta
perhatian orang lain atau egosentris. Sama halnya dengan anak yang tidak
mendapat kepuasan, secara berlebihan pun ternyata berdampak kurang baik
terhadap perkembangan kepribadiannya. Dia akan menampilkan pribadi yang
kurang mandiri (kurang bertanggung jawab), bersikap rakus dan haus
perhatian atau cinta orang lain. Menurut Freud, fiksasi pada tahap ini dapat
membentuk sikap obsesif yaitu makan dan merokok pada kehidupan
berikutnya (masa remaja dan dewasa). Pada tahap ini juga
dorongan agresi sudah mulai berkembang.[10]

2. Tahap Anal (Anus = Dubur)


Tahap ini berada pada usia kira-kira 2 sampai 3 tahun. Pada tahap ini
libido terdistribusikan ke daerah anus. Anak akan mengalami ketegangan,
ketika duburnya penuh dengan ampas makanan dan peristiwa buang air besar
yang dialami oleh anak merupakan proses pelepasan ketegangan dan
pencapaian kepuasan, rasa senang atau rasa nikmat. Peristiwa ini
disebut erotic anal.
Setelah melewati masa penyapihan, anak pada tahap ini dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan orang tua (lingkungan), seperti hidup
bersih, tidak mengompol, tidak buang air (kecil atau besar) sembarangan.
Orang tua mengenalkan tuntutan tersebut melalui latihan kebersihan (toilet
training), yaitu usaha sosialisasi nilai-niai sosial pertama yang sistematis
sebagai upaya untuk mengontrol dorongan-dorongan biologis anak. Ada
beberapa kemungkinan cara orang tua memberika latihan kebersihan ini,
yaitu: sikap keras, sikap selalu memuji dan sikap pengertian. Ketiga cara
tersebut memberikan dampak tersendiri terhadap perkembangan anak. Untuk
mengetahui dampak tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.[11]

TABEL 3.3
Cara Pelatihan Orang Tua dan Dampaknya Terhadap Kepribadian Anak
Cara Pelatihan Dampak
A.    Sikap Keras 1.      Bersikap berlebihan dalam ketertiban
(Sering menghukum) atau kebersihan
2.      Bersikap kikir
3.      Stereotif-kurang kreatif
4.      Bersikap kejam/keras/sikap memusuhi
5.      Penakut
6.      Bersikap kaku
B.     Selalu Memuji 1.      Selalu ingin dipuji
2.      Kurang Mandiri (Manja)
C.     Sikap Pengertian 1.      Mampu berdaptasi atau menyesuaikan
diri
2.      Egonya berkembang dengan wajar

3. Tahap Phallik (Phallus = Dzakar)


Tahap ini berlangsung kira-kira usia ini anak mulai memperhatikan atau
senang memainkan alat kelaminnya sendiri. Dengan kata lain, anak sudah
mulai bermansturbasi, mengusap-usap atau memijit-mijit organ seksualnya
sendiri yang menghasilkan kepuasan atau rasa senang.
Pada masa ini terjadi perkembangan berbagai aspek psikologis, terutama
yang terkait dengan iklim kehidupan sosiopsikologis keluarga atau perlakuan
orang tua kepada anak. Pada tahap ini, anak masih bersikap “selfish” sikap
memementingkan diri sendiri, belum berorientasi keluar, atau memperhatikan
orang lain. Perkembangan gejala-gejala psikologis tersebut, baik pada anak
wanita maupun pria dapat dilihat pada table berikut.
TABEL 3.4
Gejala Pengertian Keterangan
Anak wanita iri Sikap cemburu terhadap Apabila ibunya
hati Dzakar kelamin laki-laki, karena bersikap ramah atau
(Penis Envy) yang dimilikinya berbeda penuh kasih sayang,
dengan yang dimiliki anak maka gejala ini mudah
laki-laki. Dengan kata lain, terselesaikan. Namun
dia cemburu kepada laki- apabila sebaliknya,
laki, karena dia tidak maka anak akan sulit
memiliki penis seperti untuk memainkan
yang dimiliki laki-laki. Dia peranannya sebagai
merasa tidak senang atau wanita, dan dia akan
mencela anatominya memprotes
sendiri, karena dipandang kewanitaanya.
“deficiency” (ada
kekurangan).
Masculine Protest Protes terhadap kondisinya Kondisi ini terjadi,
sebagai wanita, sehingga apabila lingkungan
dia lebih senang berperan (orang tua) bersikap
sebagai anak laki-laki, merendahkan anak
bersikap keras, dan senang wanita. Mungkin juga
memainkan anak laki-laki. karena ibu sebagai
figure untuk
diidentifikasi,
penampilannya kurang
feminim.
Electra Complex Sikap anak wanita yang Kondidi ini terjadi,
mencintai, menyayangi, karena ibunya bersikap
atau simpati kepada keras, sementara
ayahnya. Gejala ini terkait ayahnya bersikap
dengan fakta, bahwa anak menyayanginya (akrab)
wanita tidak memiliki
penis
Anak laki-laki Perasaan cinta Gejala ini terjadi
Oedipus Complex (kemenarikan seksual) karena (1) ibunya sejak
kepada ibu, dan sikap kecil mengurusnya
memusuhi ayah (karena dengan penuh kasih
dipandang sebagai sayang, (2) ayah jarang
pesaingnya). Oedipus ini di rumah, dan (3) ayah
adalah nama yang diambil terlalu keras dan
dari drama Yunani kuno, kurang memberikan
yang menceritakan raja kasih sayang.
Oedipus (yang terpisah Gejala Oedipusini
dari orang tuanya sejak (sikap memusuhi ayah)
dilahirkan), tanpa menyebabkan anak
diketahuinya, dia merasa bersalah kepada
mengawini ibunya sendiri ayahnya, maka untuk
(bandingkan dengan mengatasinya, anak
legenda mengidentifikasikan
sangkuriang).Oedipus dirinya kepada ayah.
Complex ini melahirkan Kemampuan mengatasi
sikap ambivalensi pada konflik ini merupakan
anak (konflik internal), perkembangan
yaitu sikap mendua, antara psikoseksual yang
membenci ayah dengan sehat. Freud menduga
keinginan bahwa tanpa
mengidentifikasikan identifikasi, maka anak
dirinya kepada ayah akan mengalami
sebagai tokoh yang hambatan dalam
mempunyai otoritas di perkembangannya,
rumah tangga.   terutama dalam
mengembangkan
superegonya.
Castration Anxiety Kecemasan atau ketakutan Untuk mengatasinya,
anak akan perbuatan anak
ayahnya untuk memotong mengidentifikasikan
(menyunat) penisnya, dirinya kepada ayah.
gara-gara dia memusuhi
ayahnya. Gejala ini
muncul sebagai dampak
dari oedipus complex

Agar perkembangan anak pada tahap ini dapat berjalan dengan


baik, tidak mengalami hambatan, maka seyogianya orang tua
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Orang tua memelihara keharmonisan keluarga.
2. Ibu memerankan dirinya sebagai seorang feminim, bersikap ramah,
gembira dan memberikan kasih sayang.
3. Ayah mampu memerankan dirinya sebagai figure yang menerapkan
prinsip realitas dalam menghadapi segala masalah hidup, tanpa
melarikan diri dari masalah atau bertindak berlebih-lebihan.
4. Ayah dan ibu memiliki komitmen yang tinggi dalam mengamalkan
nilai-nilai agama yang dianutnya.
5. Ayah bersikap demokratis, penuh perhatian, akrab dengan anak dan
tidak munafik.[12]
Untuk menjelaskan ketiga tahapan di atas Freud menggunakan
istilah erogenous zones artinya daerah kenikmatan seksual, untuk
menunjukkan tiga bagian tubuh yaitu mulut, dubur dan alat kelamin,
sebagai daerah yang mengalami kenikmatan khusus yang sangat kuat
dan memberikan kualitas pada setiap tahap perkembangan. Pada setiap
tahap perkembangan, anak merasakan kenikmatan tertentu pada daerah
tersebut dan selalu berusaha mencari objek ataupun melakukan
kegiatan yang dapat memuaskan. Tetapi pada saat yang sama muncul
konflik dengan tuntutan-tuntutan realitas yang harus diatasi.[13]

4. Tahap Latensi
Tahap latensi berkisar antara usia 6 sampai 12 tahun (masa sekolah dasar).
Tahap ini merupakan masa tenang seksual, karena segala sesuatu yang terkait
dengan seks dihambat atau didepres (ditekan). Dengan kata lain masa ini
adalah periode tertahannya dorongan-dorongan seks dan agresif. Selama masa
ini, anak mengembangkan kemampuannya bersublimasi (seperti mengerjakan
tugas-tugas sekolah, bermain olah raga dan kegiatan-kegiatan lainnya) dan
mulai menaruh perhatian untuk berteman (bergaul dengan orang lain).
Mereka belum mempunyai perhatian khusus kepada lawan jenis (bersikap
netral) sehingga dalam bermainpun anak laki-laki akan berkelompok dengan
anak laki-laki lagi, begitupun anak wanita. Bahkan anak merasa malu apabila
anak disuruh duduk sebangku dengan teman lawan jenisnya (seperti anak laki-
laki sebangku dengan wanita dan sebaliknya).
Tahap ini dipandang sebagai masa perluasan kontak sosial dengan orang-
orang di luar keluarganya. Oleh karena itu proses identifikasi pun mengalami
perluasan atau pengalihan objek. Yang semula objek identifikasi anak adalah
orang tua, sekarang meluas kepada guru, tokoh-tokoh sejarah atau para
bintang (seperti film, musik dan olah raga).[14]

5. Tahap Genital
Tahap ini dimulai sekitar usia 12 atau 13 tahun. Pada masa ini anak sudah
masuk usia remaja. Masa ini ditandai dengan matangnya organ reproduksi
anak. Pada periode ini, instink seksual dan agresif menjadi. Anak mulai
mengembangkan motif untuk mencintai orang lain atau mulai berkembangnya
motif altruis (keinginan untuk memperhatikan kepentingan orang lain).
Motif-motif ini mendorong anak (remaja) untuk berpartisipasi aktif dalam
berbagai kegiatan dan persiapan untuk memasuki dunia kerja, pernikahan dan
berkeluarga. Masa ini ditandai dengan proses pengalihan perhatian, dari
mencari kepuasan atau kenikmatan sendiri (yang bersifat kekanak-kanakan
atau selfish) kepada kehidupan sosial orang dewasa dan berorientasi kepada
kenyataan (prinsip realitas) atau sikap altruis.
Kelima tahapan perkembangan di atas secara ringkas dapat digambarkan
sebagai berikut.
TABEL 3.5
Tahapan Perkembangan Menurut Freud
Tahapan Usia Pusat Erotis Pengalaman
atau Tugas
Kunci
Oral 0-1 Tahun Mulut Penyapihan dari
menyusu
Anal 1-3 Tahun Anus Toilet Training
Phallik 3-5 Tahun Penis Identifikasi
kepada model-
model peranan
orang dewasa
dan mengatasi
krisisoedipal
Latensi 6-12 Tahun Tidak ada Memperluas
kontak sosial
Genital 12 Tahun ke Genital Membangun
Atas hubungan yang
lebih intim
(akrab) dan
memberikan
kontribusi
kepada
masyarakat
melalui bekerja

Tahapan perkembangan psikoseksual akan memberikan dampak yang


beragam bagi perkembangan karakter atau kepribadian individu pada masa
dewasanya. Apabila dapat melalui semua tahapan tersebut secara mulus,
maka dia cenderung akan memiliki kepribadian yang sehat. Namun, apabila
sebaliknya, cenderung akan mengalami gejala tingkah laku mala suai
(maladjustment) atau neurotic (gangguan jiwa). Menurut Freud indikator
dari karakter atau pribadi yang sehat adalah kemampuan untuk memperoleh
kenikmatan atau kesenangan dalam bercinta (hubungan sosial) dan bekerja.
[15]Keterkaitan antara karakter orang dewasa dengan perkembangan
psikoseksual dapat digambarkan sebagai berikut.
TABEL 3.6
Keterkaitan Karakter dengan Perkembangan Psikoseksual
Tahapan Perpanjangan ke Sublimasi Formasi Reaksi
Masa Dewasa
Oral Merokok, Mencari ilmu, Sangat hati-hati
makan, minum, senang humor dalam
ciuman, dan sarkasme berbicara,
memelihara pengikut model,
kesehatan mulut tidak senang
dan mengunyah susu dan senang
memberikan
larangan
Anal Penampilan yang Senang melukis, Sangat muak
tidak keruan dan memahat, senang dengan berak,
senang berlama- member hadiah, takut akan
lama ketika berminat sekali kotoran, lekas
berak terhadap statistik marah, sangat
sopan santun
Phallik Senang Senang puisi, Mempunyai
bermasturbasi, senang bercinta, sikap yang
bersifat genit dan berminat dalam teguh terhadap
senang bidang acting dan seks dan rendah
mengekspresikan bersemangat hati
kejantanan mencapai sukses

B. PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL MENURUT ERIKSON

1. Psikososial tahap 1
Trust vs Mistrust (kepercayaan vs kecurigaan)

Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1,5 tahun
(infancy).Bayi pada usia 0-1 tahun sepenuhnya bergantung pada orang lain,
perkembangan rasa percaya yang dibentuk oleh bayi tersebut berdasarkan
kesungguhan & kualitas penjaga (yang merawat) bayi tersebut. Apabila bayi
telah berhasil membangun rasa percaya terhadap si penjaga, dia akan merasa
nyama n & terlindungi di dalam kehidupannya. Akan tetapi, jika
penjagaannya tidak stabil & emosi terganggu dapat menyebabkan bayi
tersebut merasa tidak nyaman dan tidak percaya pada lingkungan sekitar.
Kegagalan mengembangkan rasa percaya menyababkan bayi akan merasa
takut dan yakin bahwa lingkungan tidak akan memberikan kenyamanan bagi
bayi tersebut, sehingga bayi tersebut akan selalu curiga pada orang lain.
2. Psikososial Tahap 2
Otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu.
Tahap ini merupakan tahap anus-otot (anal/mascular stages), masa ini
disebut masa balita yang berlangsung mulai usia 1-3 tahun (early childhood).
Pada masa ini anak cenderung aktif dalam segala hal, sehingga orang tua
dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandirian anak.
Namun tidak pula terlalu memberikan kebebasan melakukan apapun yang dia
mau.Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah
menyerah dan tidak dapat melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Begitu pun sebalikny, jika anak terlalu diberi kebebasan mereka akan
cenderung bertindak sesuai yang dia inginkan tanpa memperhatikan baik
buruk tindakan tersebut. Sehingga orang tua dalam mendidik anak pada usia
ini harus seimbang antara pemberian kebebasan dan pembatasan ruang gerak
anak. Karena dengan cara itulah anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol
diri dan harga diri.

3. Psikososial Tahap 3
Inisiatif vs kesalahan
Tahap ini dialami pada anak saat usia 4-5 tahun (preschool age)
Anak-anak pada usia ini mulai berinteraksi dengan lingkungak sekitarnya
sehingga menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya.
Mereka mencoba mengambil banyak inisiatif dari rasa ingin tahu yang mereka
alami. Akan tetapi bila anak-anak pada masa ini mendapatkan pola asuh yang
salah, mereka cenderung merasa bersalah dan akhirnya hanya berdiam diri.
Sikap berdiam diri yang mereka lakukan bertujuan untuk menghindari suatu
kesalahan-kesalahan dalam sikap maupun perbuatan.

4. Psikososial Tahap 4
Kerajinan vs inferioritas
Tahap ini merupakan tahp laten usia 6-12 tahun (school age) ditingkat ini
anak mulai keluar dari lingkungan keluarga ke lingkungan sekolah sehingga
semua aspek memiliki peran misal orang tua harus selalu mendorong, guru
harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya. Pada usia ini
anak dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil melalui
tuntutan tersebut. Anak dapat mengembangkan sikap rajin, jika anak tidak
dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (infieoritas), anak
dapat mengembangkan sikap rendah diri. Sebab itu, peranan orang tua
maupun guru sangat penting untuk memperhatikan apa yang menjadi
kebutuhan anak pada usia ini usaha yang sangat baik pada tahap ini adalah
dengan mengembangkan kedua karakteristik yang ada. Dengan begitu ada
nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi
yakni kompetensi.

5. Psikososial Tahap 5
Identitas vs kekacauan identitas
Tahap ini merupakan tahap adolense (remaja), dimulai pada saat masa
puber dan berakhir pada usia 12-18 tahun/anak. Di dalam tahap ini lingkup
lingkungan semakin luas, tidak hanya di lingkungan keluarga atau sekolah,
namun juga di masyarakat. Pencarian jati diri mulai berlangsung dalam tahap
ini. Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Namun
sebaliknya, jika remaja bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka
akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja tersebut.

6. Psikososial Tahap 6
Keintiman vs isolasi
Tahap ini terjadi pada masa dewasa awal (young adult), usia sekitar 18/20-
30 tahun. Dalam tahap ini keintiman dan isolasi harus seimbang untuk
memunculkan nilai positif yaitu cinta. Cinta yang dimaksud tidak hanya
dengan kekasih melainkan cinta secara luas dan universal (misal pada
keluarga, teman, sodara, binatang, dll).
7. Psikososial Tahap 7
Generatifitas vs stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) ditempati oleh orang-orang yang berusia
yang berusia sekitar 20 tahunan sampai 55 tahun (middle adult). Dalam tahap
ini juga terdapat salah satu tugas yang harus dicapai yaitu dapat mengabdikan
diri guna mencapai keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generatifitas) dengan tidak melakukan apa-apa (stagnasi). Harapan yang ingin
dicapai dalam masa ini adalah terjadinya keseimbangan antara generatifitas
dan stagnasi guna mendapatkan nilai positif yaitu kepedulian. Ritualisasi
dalam tahap ini meliputi generational dan otoritisme. Generational merupakan
interaksi yang terjalin baik antara orang-orang dewasa dengan para
penerusnya. Sedangkan otoritisme merupakan interaksi yang terjalin kurang
baik antara orang dewasa dengan para penerusnya karena adanya aturan-
aturan atau batasan-batasan yang diterapkan dengan paksaan.

8. Psikososial Tahap 8
Integritas vs keputus asaan
Tahap ini merupakan tahap usia senja (usia lanjut). Ini merupakan tahap
yang sulit dilewati karena orang pada masa ini cenderung melakukan
introspeksi diri. Mereka akan memikirkan kembali hal-hal yang telah terjadi
pada masa sebelumnya, baik itu keberhasilan maupun kegagalan. Jika dalam
masa sebelumnya orang tersebut memiliki integritas yang tinggi dalam segala
hal dan banyak mencapai keberhasilan maka akan menimbulkan kepuasan di
masa senja nya. Namun sebaliknya, jika orang tersebut banyak mengalami
kegagalan maka akan timbul keputus asaan.
A. PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK MENURUT PIAGET

1. Sensori-Motorik (usia 0-2 tahun)


Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh
dalam diri anak. Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh
atau memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi
dari perbuatannya. Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi
dan senjata terbesarnya adalah ‘menangis’. Menyampaikan cerita atau
berita pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan
gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang
bergerak (panggung boneka akan sangat membantu).Piaget berpendapat
bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman
spatial penting dalam enam sub-tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam
minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai
empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-
kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat
sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara
penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia
sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan
untuk melihat objek sampai sebagai sesuatu yang permanen walau
kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi
objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas
sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan
penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama
dengan tahapan awal kreativitas.
2. Pra-Operasional (usia 2-7 tahun)
Pada usia ini anak menjadi ‘egosentris’, sehingga berkesan ‘pelit’, karena
ia tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga
memiliki kecenderungan untuk meniru orang di sekelilingnya. Meskipun
pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi, namun
mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis – rumit. Dalam
menyampaikan cerita harus ada alat peraga.

3. Operasional Kongkrit (usia 7-11 tahun)


Saat ini anak mulai meninggalkan ‘egosentris’-nya dan dapat
bermain dalam kelompok dengan aturan kelompok (bekerja sama). Anak
sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang sistematis. Namun
dalam menyampaikan berita harus diperhatikan penggunaan bahasa yang
mampu mereka pahami.
Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
1. Pengurutan
kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau
ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka
dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling
kecil.
2. Klasifikasi
kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi
serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik
lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat
menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak
lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa
semua benda hidup dan berperasaan)
3. Decentering
anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu
permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak
akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya
dibanding cangkir kecil yang tinggi.
4. Reversibility
anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah,
kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan
cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4,
jumlah sebelumnya.
5. Konservasi
memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda
adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek
atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir
yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan
tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.

4. Operasional Formal (Usia 11 tahun ke atas)


Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah,
karena mereka sudah mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara
konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu menggunakan alat peraga.
Namun kesulitan baru yang dihadapi guru adalah harus menyediakan
waktu untuk dapat memahami pergumulan yang sedang mereka hadapi
ketika memasuki usia pubertas.
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan.
Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema
berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan
memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara
mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui
sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik
kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut.
Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi
yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau
mengganti skema yang sebelumnya ada. Anak akan perlu memodifikasi
skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis
burung yang baru ini.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema
yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan
cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya
agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam
contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label “burung”
adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan
atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai
dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi
pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat
burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum
memberinya label “burung” adalah contoh mengakomodasi binatang itu
pada skema burung si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang
berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap
di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena
ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang
antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan.
Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu
tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.
Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima
pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif
mengkonstruksi pengetahuanny.
C. TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL MENURUT KOHLBERG
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral
seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang
diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar
psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah
terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak
terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang
menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan
moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar
dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat
teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring
penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika
dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg
memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang
mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam
penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi
tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang
sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang
dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut
dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra- konvensional, konvensional, dan pasca-
konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif;
setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap
dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan
ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-
konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu
Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam
tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada
dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk
melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan
diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap
sebelumnya.
Melalui penelitian yang dilakukannya selam 14 tahun, Kohlberg
kemudian mampu mengindentifikasi 6(enam) tahap dalam moral reasoning
yang kemudian dibagi dalam tiga taraf.

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?)

Tingkat 2 (Konvensional)
1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik)
2. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan
aturan)

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
1. Orientasi kontrak sosial
2. Prinsip etika universal ( Principled conscience)

1. Taraf Pra-konvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan
internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan
(hadiah) dan hukuman ekternal.
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-
anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap
ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas
dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-
konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan
murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsive terhadap peraturan dan
cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis
(berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka) kala jahat
dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini juga menafsirkan baik
buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan
orang dewasa lainnya. Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan yaitu :
a. Punishment and obedience orientation.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri.
Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang
yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan
dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya.
Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Akibat – akibat dari
tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari
hukuman dan taat pada yang berkuasa dianggap bernilai pada dirinya
sendiri, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung
dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri.
b. Instrument-relativist orientation.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku
yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran
tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain,
hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk
juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak
didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan
perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda
dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk
melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua,
perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar
adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya
sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar
manusia dianggap sebagai hubungan jual beli dipasar. Engkau menjual
saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti
menyenangkan saya.

2. Tahap Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau


orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral.Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-
harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri. Anak tidak
hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan
secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan seara
aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengindentifikasi diri mereka
yang mengusahakan ketertiban social. Dua taraf ini adalah :

 Mentalitas Anak Baik


Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki
peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan
dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan
masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba
menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena
telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap
tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk
membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan
memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini;
‘mereka bermaksud baik.
 Mentalitas Hukum dan Aturan
Tahap law and order, orientation. Otoritas peraturan-peraturan
yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban social dijunjung
tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut benar, bila orang
melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara
ketertiban social. Penting untuk mematuhi peraturan karena berguna
dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam
tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual
seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi
kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar
dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundalisme. Bila seseorang
bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga
ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila
seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral,
sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena
memisahkan yang buruk dari yang baik.

3. Tahap Pasca Konvensional


Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat
berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral.
Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari
masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat “hakekat diri mendahului orang
lain” ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan
perilaku pra-konvensional.
Pada taraf ini seorang berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai
moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah ( valid ) dan
yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau
kelompok yang mana. Tahapannya adalah :
 Keputusan Moral Berdasarkan Hukum atau Legalitas (Sosial contract
orientation)
Dalam tahap ini oaring mengartikan benar salahnya suatu tindakan
atas hak-hak individu dan norma-norma yang sudah teruji
dimasyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai yang bersifat relative, maka
perlu ada usaha untuk mencapai suatu consensus bersama.
 Kata Hati atau Nurani Menentukan Apa Yang Benar (The universal
ethical principle orientation)
Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara
nurani hati. Sesuai dengan prinsip prinsip etis itu bersifat abstrak. Pada
intinya prinsip etis itu adalah prinsip adalah keadilan, kesamaan hak,
hak asasi, hormat pada harkat ( nilai ) manusia sebagai pribadi.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan tahapannya
seperti itu berlakulan dalil berikut :
a. perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke
tahap berikutnya.
b. dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir
dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
c. dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada
cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2
tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3. berdasarkan inilah kohlber
percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin
diperkembangkan.
d. dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi
apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak
didik. Seseorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus
diusik secara kognitif sehingga ia terangsang untuk memikirkan
kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram
dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada
perkembangan.

Anda mungkin juga menyukai