Nim : 2016750024
LAPORAN PENDAHULUAN
GERONTIK DENGAN REMATIK
Lansia dibagi oleh sejumlah pihak dalam berbagai klasifikasi dan batasan
a. Menurut WHO batasan lanjut usia meliputi :
1) Middle age : 45 – 59 tahun
2) Elderly : 60 – 70 tahun
3) Old : 75 – 90 tahun
4) Very old : Diatas 90 tahun
b. Maryam (2008) mengklasifikasi lansia antara lain :
1) Pralansia : sesorang yang berusia antara 45 – 59 tahun
2) Lansia : seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3) Lansia resiko tinggi : seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI,
2003)
4) Lansia potensial : lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
kegiatan yang dapat mengahasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003)
2. Pengertian Penuaan
Menurut Nugroho (2000), menua adalah proses yang terus menerus berkelanjutan
secara alamiah, dimulai sejak lahir, dan umum dialami pada semua makhluk
hidup. Sementara itu, menurut Tyson , menua adalah suatu proses yang dimulai
saat konsepsi dan merupakan bagian normal dari masa pertumbuhan dan
perkembangan serta merupakan penurunan kemampuan dalam mengganti sel – sel
yang rusak. Dapat disimpulkan bahwa menua adalah suatu proses yang terus
menerus berlanjutan secara alamiah serta merupakan bagian normal dari masa
pertumbuhan dan perkembangan dimana terjadinya penurunan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri.
B. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit sistematik yang bersifat
progresif, yang cenderung menjadi kronis dan menyerang sendi serta jaringan
lunak. Karakteristik artritis rheumatoid adalah radang cairan sendi (sinovitis
inflamatoir) yang persisten, biasanya menyerang sendi-sendi perifer dengan
penyebaran yang simetris (Junaidi, 2013).
Menurut Noer S (1997) dalam Lukman (2009), artritis reumatoid merupakan
suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamanya
adalah poliatritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh
organ tubuh.
Artritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dan sistemik yang
menyebabkan destruksi sendi dan deformitas serta menyebabkan disability.
Penyakit ini sering terjadi dalam 3-4 dekade ini pada lansia. Penyebab artritis
rheumatoid tidak diketahui, tetapi mungkin akibat penyakit autoimun dimulai dari
interfalank proksimal, metakarpofalankeal, pergelangan tangan dan pada tahap
lanjut dapat mengenai lutut dan paha.
2. Etiologi
Penyebab utama dari kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori yang
dikemukakan mengenai penyebab arthtritis reumatoid, yaitu :
a. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non hemolitikus.
b. Endokrin.
c. Autoimun.
d. Metabolic.
e. Faktor genetik serta faktor pemicu.
Pada saat ini, arthtritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan
infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II; faktor injeksi mungkin
disebabkan oleh virus dan organisme mikroplasma atau group difteriod yang
menghasilkan antigen kolagen tipe II dari tulang rawan sendi penderita. Kelainan
yang dapat terjadi pada suatu arthtritis reumatoid yaitu :
a. Kelainan pada daerah artikuler.
1) Stadium I (stadium sinovitis).
2) Stadium II (stadium destruksi).
3) Stadium III (stadium deformitas).
b. Kelainan pada jaringan ekstra-artikuler.
Pada jaringan ekstra-artikuler akan terjadi perubahan patologis, yaitu:
1) Pada otot terjadi miopati.
2) Nodul subkutan.
3) Pembuluh darah perifer terjadi proliferasi tunika intima pada pembuluh
darah perifer dan lesi pada pembuluh darah arteriol dan venosa.
4) Terjadi nekrosis fokal pada saraf.
5) Terjadi pembesaran limfe yang berasal dari aliran limfe sendi (Nurarif dan
Kusuma, 2013).
Sedangkan menurut Price (1995) dan Noer S, (1996), faktor-faktor yang
berperan dalam timbulnya penyakit Artritis Reumatoid adalah jenis kelamin,
keturunan, lingkungan dan infeksi (Lukman, 2009).
3. Patofisiologi
Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologi persendian diartrodial atau
sinovial merupakan kunci untuk memahami patofisiologi penyakit reumatik.
Fungsi persendian sinovial memilki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing
orang tidak mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat
digerakkan.
Pada sendi sinovial yang normal, kartilago artikuler membungkus ujung tulang
pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk gerakkan. Membran
sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mensekresi cairan ke dalam
ruangan antar tulang. Fungsi dari cairan sinovial ini yaitu sebagai peredam kejut
(shock absorber ) dan pelumas yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam
arah yang tepat.
Sendi merupakan salah satu bagian tubuh yang paling sering terkena inflamasi.
Meskipun memilki keankearagaman mulai dari kelainan yang terbatas pada satu
sendi hingga kelainan multisistem yang sistemik, semua penyakit rematik meliputi
inflamasi dan degenerasi dalam derajat tertentu yang bisa terjadi sekaligus.
Inflamasi ini akan terlihat pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit
rematik inflamatori, inflamasi adalah proses primer dan degenerasi yang terjadi
merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi
jaringan sinovial). Inflamasi tersebut merupakan akibat dari respon imun tersebut.
Sebaliknya, pada penyakit rematik degeneratif dapat terjadi proses inflamasi
yang sekunder sinovitis ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu
proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya untuk terlihat pada penyakit
lanjut. Pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler
yang mengalami degenerasi dapat berhubungan dengan sinovitis kendati faktor-
faktor imunologi dapat pula terlibat (Smeltzer dan Bare, 2002). Pada artritis
reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan sinovial. Proses
fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan
memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial, dan
akhirnya membentuk panus. Panus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang, akibatnya menghilangkan permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan
mengalami perubahan generatif dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot (Lukman, 2009).
4. Manifestasi Klinis
Gejala utama rematik biasa terjadi pada otot dan tulang, termasuk di dalamnya
sendi dan otot sendi. Gangguan nyeri yang terus berlangsung menyebabkan
aktivitas sehari-hari terhambat (Purwoastuti, 2009).
Menurut Lukman (2009), ada beberapa manifestasi klinis yang lazim ditemukan
pada klien artritis reumatoid. Manifestasi ini tidak harus timbul sekaligus pada
saat yang bersamaan. Oleh karena itu, penyakit ini memiliki manifestasi klinis
yang sangat bervariasi.
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun,
dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat.
b. Poliarhtritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
c. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoarthritis, yang biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam.
d. Arhtritis erosif, merupakan ciri khas artritis reumatoid pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang
dan dapat dilihat pada radiogram.
5. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi non
steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit DMARD (disease
modifying antirheumatoid drugs) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan
mortalitas utama pada artritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak
memberikan gambaran yang jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi
artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis
(Mansjoer, 1999).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang ini tidak banyak berperan dalam diagnosis artirits
reumatoid, pemeriksaan laboratorium mungkin dapat sedikit membantu untuk
melihat prognosis pasien, seperti :
a. Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) akan meningkat.
b. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, TB paru,
sirosis hepatis, penyakit kolagen dan sarkoidosis.
c. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
d. Trombosit meningkat.
e. Kadar albumin serum turun dan globulin.
f. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun.
g. Protein C-reaktif dan antibodi antinukleus (ANA) biasanya positif.
h. Laju sedimentasi eritrosit meningkat menunjukkan inflamasi.
i. Tes aglutinasi lateks menunjukkan kadar igG atau igM (faktor mayor dari
rheumatoid) tinggi. Makin tinggi iter, makin berat penyakitnya.
j. Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosa dan
memantau perjalanan penyakit. Foto rontgen menunjukkan erosi tulang yang
khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi kemudian dalam perjalanan
penyakit tersebut (Mansjoer, 1999 dan Rosyidi 2013).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan Arthtritis Reumatoid
yaitu :
a. Langkah pertama dari program penatalaksanaan artritis reumatoid adalah
memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada klien, keluarganya,
dan siapa saja yang berhubungan dengan klien. Pendidikan kesehatan yang
diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologi penyakit, penyebab, dan
prognosis penyakit, semua komponen program penatalaksanaan termasuk
regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi
penyakit, dan metode-metode yang efektif tentang penatalaksanaan yang
diberikan oleh tim kesehatan.
b. Sejak dini, klien diberikan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang
dapat diberikan yaitu :
1) Aspirin, dengan ketentuan pasien umur <65 tahun dosisinya 3-4 x 1g/hr,
kemudian dinaikkan 0.3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau
gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
2) Ibuprofen, naproksen, diklofenak, dan sebagainya.
3) DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat arthtritis
reumatoid ini. Jenis-jenis yang digunakan yaitu : klorokuin (yang paling
banyak digunakan, karena harganya yang terjangkau), sulfasalazin, garam
emas (gold standard bagi DMARD), obat imunosupresif atau imunoregulator,
dan kortikosteroid.
c. Rehabilitasi, tujuannya yaitu unttuk meningkatkan kualitas hidup klien.
Beberapa cara yang bisa dilakukan yaitu :
1) Pemakaian alat bidai untuk mengistirahatkan sendi yang sakit, kursi
roda, sepatu dan alat.
2) Terapi mekanik.
3) Pemanasan : baik hidroterapi maupun elektroterapi.
4) Terapi mekanik.
d. Pembedahan, pembedahan ini dilakukan jika berbagai cara telah dilakukan dan
tidak berhasil serta ada alasan yang cukup kuat, sehingga dapat dilakukan pembedahan
(Mansjoer, 1999 dan Lukman, 2009).
Perawatan dan pengobatan tradisional atau obat luar juga bisa kita berikan pada
klien dengan Arthritis Reumatoid, yaitu sebagai berikut :
a. Hindari faktor resiko seperti aktivitas yang berlebihan pada sendi, faktor cuaca
dan pola makan yang tidak sehat.
b. Olahraga yang teratur dan istirahat yang cukup, seperti melakukan senam
rematik.
c. Kompres panas dapat mengatasi kekakuan dan kompres dingin dapat membantu
meredakan nyeri.
d. Pertahankan berat badan agar tetap normal.
e. Bila nyeri, lakukan relaksasi untuk mengurangi sakit.
f. Mengurangi dan menghindari makanan yang mengandung purin, seperti bir dan
minuman beralkohol, daging, jeroan, kembang kol, jamur, bayam, asparagus,
kacang-kacangan, sayuran seperti daun singkong (tidak semua jenis sayuran
mempunyai efek kambuh yang sama pada setiap orang).
g. Memakan buah beri untuk menurunkan kadar asam urat, memakan makanan
seperti tahu untuk pengganti daging.
h. Banyak minum air untuk membantu mengencerkan asam urat yang terdapat
dalam darah sehingga tidak tertimbun sendi.
i. Lakukan latihan gerak sendi/ senam rematik (Maryam, dkk., 2010).
c. Pengkajian Lingkungan
1) Karakteristik Rumah Data ini menjelaskan mengenai luas rumah, tipe,
jumlah ruangan, jumlah jendela, pemanfaatan ruangan, penempatan perabot
rumah tangga, jenis WC, serta jarak WC ke sumber air. Data karakteristik
rumah disertai juga dalam bentuk denah.
2) Karakteristik Tetangga dan Komunitas Setempat
Data ini menjelaskan mengenai lingkungan fisik setempat, kebiasaan dan
budaya yang mempengaruhi kesehatan.
3) Mobilitas Geografis Keluarga
Data ini menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga berpindah tempat.
4) Perkumpulan Keluarga dan Interaksi dengan Masyarakat
Data ini menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga berkumpul, sejauh mana
keterlibatan keluarga dalam pertemuan dengan masyarakat. (Widyanto,
2014).
d. Struktur Keluarga
1) Sitem Pendukung Keluarga
Data ini menjelaskan mengenai jumlah anggota keluarga yang sehat,
fasilitas keluarga, dukungan keluarga dan masyarakat sekitar terkait dengan
kesehatan dan lain sebagainya.
2) Pola Komunikasi Keluarga
Data ini menjelaskan mengenai cara komunikasi dengan keluarga serta
frekuensinya.
3) Struktur Peran
Data ini menjelaskan mengenai peran anggota keluarga dan masyarakat
yang terbagi menjadi peran formal dan informal.
4) Nilai/Norma Keluarga
5) Data ini menjelaskan mengenai nilai atau norma yang dianut keluarga
terkait dengan kesehatan.
e. Fungsi Keluarga
1) Fungsi Afektif
Hal yang perlu dikaji yaitu gambaran diri anggota keluarga, perasaan
memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota
keluarga dan bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling menghargai.
2) Fungsi Sosialisasi
Dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh mana
anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta perilaku.
f. Fungsi ekonomi
Mengkaji sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan
papan. Bagaimana keluarga memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat
guna meningkatkan status kesehatan.
h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga. metode yang
digunakan pada pemeriksaan ini tidak berbeda dengan pemeriksaan fisik di
klinik. Pada pemeriksaan fisik kita juga bisa menanyakan mengenai status
kesehatan dari klien.
Pada klien dengan Artritis Reumatoid, kita dapat mengkaji mengenai nyeri
yang dialami klien, yaitu :
1) Status kesehatan umum selama setahun yang lalu.
2) Status kesehatan umum selama 5 tahun yang lalu.
3) Keluhan utama : Jika nyeri, tanyakan mengenai PQRST,
a) Provokative/pemicu nyeri
b) Quality/kualitas nyeri
c) Region/daerah nyeri
d) Severity Scale/skala nyeri (0-10)
e) Timing/waktu terjadi nyeri (pagi, siang, malam hari)
i. Harapan keluarga
Pada akhir pengkajian, perawat menanyakan harapan keluarga terhadap
petugas kesehehatan yang ada. ( Padila, 2012).
Setelah data dianalisis, kemungkinan perawat menemukan lebih dari satu masalah.
Mengingat keterbatasan kondisi dan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga
maupun perawat, maka masalah-masalah tersebut tidak dapat ditangani sekaligus.
Proses skoring dilakukan untuk setiap diagnosis keperawatan dengan cara berikut
ini:
a. Tentukan skor untuk setiap kriteria yang telah dibuat.
b. Selanjutnya skor dibagi dengan angka tertinggi yang dikalikan dengan bobot.
Skor x bobot
Angka tertinggi
c. Jumlahkanlah skor untuk semua kriteria, skor tertinggi adalah 5, sama dengan
seluruh bobot.
3. Perencanaan
Rencana keperawatan keluarga adalah kumpulan rencana tindakan yang dibuat
oleh perawat yang nantinya diimplementasikan dalam tindakan yang nyata dengan
mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk perbaikan kesehatan
keluarga yang lebih baik dari sebelumnya.
Perencanaan keperawatan keluarga terdiri dari tujuan (umum dan khusus),
rencana intervensi, serta rencana evaluasi yang memuat criteria dan standar.
Perumusan tujuan dilakukan secara spesifik, dapat diukur (measurable), dapat
dicapai (achivable), rasional dan menunjukkan waktu (SMART). Rencana
intervensi ini ditetapkan untuk mencapai tujuan (Padila, 2012).
Berikut ini klasifikasi intervensi keperawatan menurut Feeman (1970) dalam
Friedman (1998), yaitu :
a. Intervensi Suplemental, perawat memberikan perawatan langsung kepada
keluarga karena tidak dapat dilakukan keluarga
b. Intervensi Facilitate, perawat membantu mengatasi hambatan yang dimiliki
keluarga dengan berusaha memfasilitasi pelayanan yang diperlukan, seperti
pelayanan medis, kesejahteraan sosial, transportasi dan pelayanan kesehatan di
rumah
c. Intervensi Developmental, perawat melakukan tindakan dengan tujuan
meningkatkan dan memperbaiki kapasitas keluarga dalam perawatan diri dan
tanggung jawab pribadi. Perawat juga membantu keluarga memanfaatkan
fasilitas kesehatan yang berasal dari sumber diri sendiri , termasuk dukungan
sosial internal maupun eksternal ( Padila, 2012).
Rencana Keperawatan
jelas reumatik
4. Berikan pujian positif
kepada keluarga atas
partisipasi
Respon Verbal
Keluarga dapat 1. Kaji pengetahuan
c. Menyebutkan menyebutkan 2 dari 3 tentang tanda dan
tanda dan tanda gejala reumatik : gejala reumatik
gejala - Lesu mudah 2. Diskusikan dengan
Namun, tidak semua pelaksanaan tindakan ini berjalan dengan baik, ada faktor-
faktor penyulit dari keluarga yang dapat menghambat minat keluarga dalam
berkerja sama melakukan tindakan kesehatan ini, yaitu :
a. Kurang jelasnya informasi yang didapat keluarga, sehingga membuat keluarga
keliru.
b. Kurang lengkapnya informasi yang didapat keluarga sehingga keluarga melihat
masalah sebagian.
c. Keliru, keluarga tidak dapat mengkaitka informasi yang di dapat dengan
kondisi yang dihadapi.
d. Keluarga tidak mau menghadapi situasi.
e. Anggota keluarga tidak mampu melawan tekanan dari keluarga atau
lingkungan sekitar.
f. Keluarga ingin mempertahankan suatu pola tingkah laku.
g. Gagalnya keluarga dalam mengaitkan tindakan dengan sasaran atau tujuan
upaya keperawatan.
h. Keluarga kurang percaya dengan tindakan yang diajukan perawat.
Selain itu, ada juga kesulitan yang dihadapi petugas dalam tahap pelaksanaan ini,
seperti :
a. Perawat kaku dan kurang flekesibel dan cenderung menggunakan 1 pola
pendekatan.
b. Kurangnya pemberian penghargaan dan perhatian terhadap faktor-faktor sosial
budaya dari petugas.
c. Perawat kurang mampu dalam mengambil tindakan/menggunakan berbagai
macam teknik dalam mengatasi masalah yang rumit. (Mubarak, 2012).
5. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan dengan pendekatan SOAP (Subyektif, Obyektif, Analisa,
dan Planning).
S : adalah hal-hal yang dikemukakan oleh keluarga secara subjektif setelah
dilakukan intervensi keperawatan.
O : adalah hal-hal yang ditemui oleh perawat secara objektif setelah dilakukan
intervensi keperawatan.
A : adalah analisa dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu pada tujuan yang
terkait dengan diagnosis.
P : adalah perencanaan yang akan datang setelah melihat respon dari keluarga
pada tahapan evaluasi.