Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. LANSIA
2.1. Konsep Lansia
Lanjut usia adalah seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun
atau lebih, baik yang secara fisik masih berkemampuan maupun karena sesuatu
hal tidak mampu lagi berperan aktif dalam pembangunan (tidak potensial)
(Depkes RI, 2001).
Menurut organisasi kesehatan dunia WHO (dalam Nugroho, 2008) lanjut
usia terbagi dalam empat tahapan, meliputi: usia pertengahan (middle age) 45-59
tahun, lanjut usia (ederly) 6075 tahun, lanjut usia tua (old) 7590 tahun, dan usia
sangat tua (very old) lebih dari 90 tahun.
Menurut dokumen perkembangan lansia dalam kehidupan bangsa yang
diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka pencanangan hari lanjut usia
nasional pada tahun 1966, batas umur lanjut usia di Indonesia adalah 60 tahun ke
atas (Hardywinoto & Setiabudhi, 1999). Hal tersebut diperkuat lagi dengan
undangundang No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pasal 1 ayat
1 yang menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas.
Lansia menurut Depkes RI (dalam Maryam, 2008) diklasifikasikan
menjadi lima tahapan perkembangan meliputi pralansia dengan usia 4559 tahun,
lansia dengan usia 60 tahun ke atas, lansia resiko tinggi dengan usia 70 keatas
atau seseorang berumur 60 tahun lebih dengan masalah kesehatan, lansia
potensial (mampu melakukan pekerjaan/berkegiatan), dan lansia tidak potensial
(tidak mampu melakukan pekerjaan/berkegiatan dan bergantung pada orang lain).
1. Perubahan dan Ciri-ciri Lanjut Usia
Dibawah ini beberapa pendapat mengenai batasan umur antara lain :
a) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut usia meliputi :
1) Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun
2) Usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun
3) Usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
9

b) Menurut Masdani dalam Nugroho (2000)


Mengatakan lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa.
Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian :
1) Fase iuventus antara 25-40 tahun
2) Fase verilitas antara 40-50 tahun
3) Fase prasenium antara 55-65 tahun
4) Fase senium antara 65 tahun hingga tutup usia
c) Menurut Setyonegoro dalam Nugroho (2000) lanjut usia sebagai berikut :
1) Usia dewasa muda (elderly adulthood) antara 18-25 tahun
2) Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas antara 25-65 tahun
3) Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65-70 tahun. terbagi untuk umur
70-75 tahun (young old) 76-80 tahun (old) dan lebih dari 80 tahun
(very old).
d) Menurut undang-undang No.4 tahun 1965 pasal 1 bahwa seseorang dapat
dinyatakan sebagai orang jompo atau lanjut usia setelah yang
bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak
berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan
menerima nafkah dari orang lain.
2. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Menurut Nugroho (2000), perubahan yang terjadi pada lansia adalah :
a. Perubahan atau kemunduran biologis
1) Kulit yaitu kulit menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi.
Fungsi kulit sebagai penyekat suhu tubuh lingkungan dan perisai
terhadap masuknya kuman terganggu.
2) Rambut yaitu rontok berwarna putih kering dan tidak mengkilat. Hal
ini berkaitan dengan perubahan degeneratif kulit.
3) Gigi mulai habis.
4) Penglihatan dan pendengaran berkurang
5) Mudah lelah, gerakan menjadi gambaran lamban dan kurang lincah
6) Kerampingan tubuh menghilang disana-sini terjadi timbunan lemak
terutama dibagian perut dan panggul
10

7) Otot yaitu jumlah sel otot berkurang mengalami atrofi sementara


jumlah jaringan ikat bertambah, volume otot secara keseluruhan
menyusut, fungsinya menurun dan kekuatannya berkurang
8) Jantung dan pembuluh darah yaitu berbagai pembuluh darah penting
khusus yang di jantung dan otak mengalami kekakuan. Lapisan intim
menjadi kasar akibat merokok, hipertensi, diabetes melitus, kadar
kolestrol tinggi dan lain-lain yang memudahkan timbulnya
penggumpalan darah dan trombosis
9) Tulang pada proses menua kadar kapur (kalsium) menurun akibat
tulang menjadi keropos dan mudah patah
10) Seks yaitu produksi hormon testoteron pada pria dan hormon
progesteron dan estrogen wanita menurun dengan bertambahnya
umur
3. Perubahan atau kemunduran kemampuan kognitif
1) Mudah lupa karena ingatan tidak berfungsi dengan baik
2) Ingatan kepada hal-hal dimasa muda lebih baik dari pada yang terjadi
pada masa tuanya yang pertama dilupakan adalah nama-nama
3) Orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang atau tempat
juga mundur, erat hubungannya dengan daya ingat yang sudah
mundur dan juga karena pandangan yang sudah menyempit
4) Meskipun telah mempunyai banyak pengalaman skor yang
dicapaidalam test-test intelegensi menjadi lebih rendah sehingga
lansia tidak mudah untuk menerima hal-hal yang baru
4. Perubahan-perubahan psikososial
1) Pensiun, nilai seseorang sering diukur oleh produktifitasnya selain itu
identitas pensiun dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan
2) Merasakan atau sadar akan kematian
3) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan
bergerak lebih sempit
4) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan
5) Penyakit kronis dan ketidakmampuan
6) Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial
11

7) Gangguan saraf panca indera


8) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan
9) Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman
dan famili
10) Hilangnya kemampuan dan ketegapan fisik
5. Perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.
Dari definisi lanjut usia dan karakteristik lanjut usia perlu pembinaan
untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan lansia dengan pembentukan
posyandu lansia. Orang yang mencapai tahap perjalanan hidup sampai mencapai
lansia dapat dikatakan sebagai orang yang beruntung, karena mereka telah
mengenyam kehidupan dalam masa yang panjang. Di Indonesia Pemerintah dan
lembaga-lembaga pengelola lansia, memberi patokan bahwa mereka yang
disebut lansia adalah yang telah mencapai usia 60 tahun yang telah dinyatakan
dengan pemberian kartu tanda penduduk (KTP) seumur hidup. Namun di
Negara maju diberi patokan yang lebih spesifik 65 sampai dengan 75 tahun
disebut old, 76 sampai dengan 90 tahun keatas disebut very old (Hardywinoto,
2007).
Penuaan yang terjadi secara fisiologis dan patologis perlu hati-hati dalam
mengidentifikasi penuaan. Bika seorang mengalami penuaan fisiologis
(fisiological aging), diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging).
Penuaan itu sesuai dengan kronologi usia (penuaan primer) di pengaruhi oleh
factor endogen, perubahan yang dimulai dari sel jaringan organ sistem pada
tubuh. Penuaan banyak dipengaruhi oleh faktor eksogen yaitu a. Lingkungan, b.
Sosial budaya dan, c. gaya hidup disebut penuaan sekunder (Pudjiastuti, 2000).
Proses tua secara umum ditandai dengan adanya kemunduran fungsi
organ tubuh. Kemunduran yang kerapkali dihadapi oleh lansia lebih dikenal
dengan istilah Geriatric Giants 13 I yang meliputi : immobility, instability,
intellectual imfairmant, isolation, incontinence, impotence, immunodeficiency,
infection, inanition, impaction, latrogenic, insomnia and imfairmant. Adapun
penurunan fungsi kognitif (perhatian, bahasa, ingatan, kemampuan, dan
intelegensi umum ) dan psikomotor (hal-hal yang berhubungan dengan
12

dorongan kehendak) pada lansia terkait dengan pertambahan usia (Departemen


RI, 2005).
2.2. Karakteristik Proses Penuaan
Menurut H.P. Von Hahn (1975), seperti dikutip oleh (Hardywinoto, 2007), proses
penuaan merupakan suatu proses biologis yang kompleks (a), adanya perubahan
dalam tubuh yang terprogram oleh jam biologis (biological clock) (b), terjadinya
aksi dari zat metabolik akibat mutasi spontan, radikal bebas dan adanya kesalahan
di molekul DNA (Strehler, 1962), dan (c), perubahan yang terjadi didalam sel
dapat gangguan system pengaturan pertumbuhan atau secara sekunder akibat dari
pengaruh luar sel.
Menurut Vincen J. Cristopolo (1990), seperti dikutip oleh (Hardywinoto, 2007),
beberapa karakteristik tentang penuaan yang terjadi pada hewan menyusui dan
manusia adalah sebagai berikut : (a), peningkatan kematian adalah sejalan dengan
peningkatan usia (b), terjadinya perubahan kimiawi dalam sel dan jaringan tubuh
mengakibatkan massa tubuh berkurang, peningkatan lemak dan lipofuscin yang
dikenal sebagai age pigment, serta perubahan diserat kolagen yang dikenal
dengan cross-linking, dan (c), meningkatnya kerentanan terhadap berbagai
penyakit tertentu.
A. Teori Biologis Tentang Penuaan
Menurut Mary Ann Christ et al (1993), seperti dikutip oleh (Hardywinoto,
2007), perubahan fisik yang terjadi pada proses penuaan, disusun dalam teori
biologis tentang penuaan merupakan proses yang secara berangsur
mengakibatkan perubahan yang kumulatif dan mengakibatkan perubahan struktur
sel, akibat interaksi sel dengan lingkungannya, yang pada akhirnya menimbulkan
perubahan degenerative. Teori biologis tentang proses penuaan dapat dibagi
menjadi teori intrinsik dan ekstrinsik. Dimana teori intrinsik menyatakan
perubahan yang berkaitan dengan usia timbul akibat penyebab didalam sel
sendiri. Sedangkan teori ekstrinsik menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi
diakibatkan oleh perubahan lingkungan.
Menjadi tua merupakan suatu proses natural dan kadang-kadang tidak
tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada semua system tubuh manusia dan
tidak semua system akan mengalami kemunduran pada waktu yang sama. Meski
13

proses menjadi tua merupakan gambaran yang universal, tidak seorang pun
mengetahui dengan pasti penyebab penuaan atau mengapa orang menjadi tua
pada usia yang berbeda-beda. Ada asumsi dasar tentang teori penuaan yang harus
diperhatikan dalam mempelajari lansia yaitu (1), Lansia bagian dari proses
tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua. Seseorang dengan
usia kronologis 70 tahun mungkin dapat memiliki usia fisiologis seperti orang
usia 50 tahun. Atau sebaliknya, seorang dengan usia 50 tahun mungkin memiliki
banyak penyakit kronis sehingga usia fisiologis 90 tahun (2), Peningkatan jumlah
lansia merupakan hasil dari perkembangan ilmu dan teknologi abad ke 20
(Hardywinoto, 2007).
Menurut ahli Gerontology, James Birren, seperti dikutip oleh
(Hardywinoto, 2007), bertambahnya umur harapan hidup seseorang merupakan
hasil dari perkembangan dibidang kedokteran dan teknologi modern, yaitu dengan
penemuan tehnik pengobatan terhadap penyakit ganas, tehnik dan alat-alat
bedah/operasi modern, dan alat diagnosis (a), penuaan alamiah/fisiologis harus
dibedakan dari penuaan patologis. Penurunan fungsi tidak hanya disebabkan
faktor penuaan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor patologis. Penurunan
fungsi karena faktor patologis bukan penuaan yang normal dan (b), Tidak satu
teori pun mampu menjelaskan penuaan secara universal. Meskipun penuaan
merupakan proses yang universal, tidak seorangpun mengetahui penyebabnya
atau mengapa manusia menjadi tua pada usia yang berbeda-beda.
Untuk menghasilkan penduduk lansia yang sehat tidaklah mudah dan
memerlukan kerjasama para pihak antara lain para lansia itu sendiri, keluarga,
masyarakat, Pemerintah, organisasi dan kelompok pemerhati kesejahteraan lansia
serta profesi dibidang kesehatan. Kerjasama ini menyangkut penyediaan dana,
sarana serta sumber daya manusia yang professional. Tidak kalah pentingnya
adalah peran aktif dari lansia dan keluarganya dalam melaksanakan gaya hidup
sehat serta perawatan diri lansia itu sendiri (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Perlindungan kesehatan bagi lansia dilaksanakan oleh pihak pemerintah
dengan peran aktif dari swasta, institusi pemerhati kesejahteraan lansia dan
masyarakat, dengan mempertahankan nilai-nilai budaya. Perlindungan kesehatan
lansia diawali dengan dilaksanakannya pendataan ini bertujuan agar lansia
14

memperoleh nomor identitas perorangan dan layak untuk mendapatkan kartu


peserta jaminan kesehatan lansia. Dari identifikasi ini dapat ditetapkan apakah
pembayaran preminya, oleh yang bersangkutan/keluarga, dominasi dari pihak
swasta baik melalui institusi maupun perorangan atau melalui bantuan sosial dari
pemerintah. Dengan memiliki kartu peserta jaminan kesehatan lansia maka yang
bersangkutan dapat memperoleh pelayanan kesehatan bilamana memerlukan.
Pelayanan kesehatan diberikan secara komprehensip dan berjenjang melalui
mekanisme rujukan (Departemen Kesehatan RI, 2005).
B. Kebutuhan Hidup Orang Lansia
Setiap orang memiliki memiliki kebutuhan hidup. Lansia juga memiliki
kebutuhan hidup yang sama agar dapat hidup sejahtera. Kebutuhan hidup lansia
antara lain makanaan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin,
perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan aman, kebutuhan-
kebutuhan social seperti bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia,
sehingga merek banyak teman yang dapat diajak berkomunikasi, membagi
pengalaman, memberikan pengarahan untuk kehidupan yang baik. Kebutuhan
tersebut diperlukan oleh lansia agar dapat mandiri.
Kebutuhan tersebut sejalan dengan pendapat Maslow dalam Koswara
(1991) yang dikutip oleh (Hutahuruk, 2005) yang menyatakan bahwa kebutuhan
manusia meliputi (1), Kebutuhan fisik (physiological needs) adalah kebutuhan
fisik atau biologis seperti pangan, sandang, papan, seks dan sebagainya (2),
Kebutuhan ketentraman (safety needs) adalah kebutuhan akan rasa keamanan dan
ketentraman, baik lahiriah maupun batiniah seperti kebutuhan akan jaminan hari
tua, kebebasan, kemandirian dan sebagainya (3), Kebutuhan social (social needs)
adalah kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkomunikasi dengan manusia lain
melalui paguyuban, organisasi profesi, kesenian, olah raga, kesamaan hobi dan
sebagainya (4), kebutuhan harga diri (esteem needs) adalah kebutuhan harga diri
untuk diakui akan keberadaannya, dan (5) Kebutuhan aktualisasi diri (self
actualization needs) adalah kebutuhan untuk mengungkapkan kemampuan fisik,
rohani maupun daya piker berdasarkan pengalamannya masing-masing,
bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam kehidupan. Sejak awal kehidupoan
sampai berusia lanjut setiap orang memiliki kebutuhan psikologis dasar.
15

Kebutuhan tersebut diantaranya orang lansia membutuhkan rasa nyaman


bagi dirinya sendiri, serta rasa nyaman bagi dirinya sendiri, serta rasa nyaman
terhadap lingkungan yang ada. Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut tergantung
pada diri orang lansia, keluarga dan lingkungannya. Jika kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi akan timbul masalah-masalah dalam kehidupan orang lansia yang akan
menurunkan kemandiriannya.
C. Jenis Kelamin
Di Asia Tenggara jumlah penduduk lansia wanita umumnya lebih banyak
dibanding pria. Hal ini dapat dari presentase pria dan wanita serta ratio jenis
kelamin dari penduduk lansia pria dan wanita. Persentase penduduk lansia 60+ di
Asia Tenggara dan Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 : Persentase Penduduk Lansia 60+ di Asia Tenggara dan Indonesia pada
tahun 1970, 1995, 2025, dan 2050.
Negara/ 1970 1995 2025 2050
Kawasan wanita pria wanita pria wanita pria wanita pria
Asia
5,7 4,9 7,2 6,0 13,3 10,9 21,7 18,3
Tenggara
Indonesia 5,5 4,9 7,2 6,3 13,8 11,6 23,1 20,0
Sumber : Hardywinoto, 2007

Tabel 2. Ratio Jenis Kelamin (sex ratio) pria per 100 wanita dari jumlah
penduduk lansia di dunia, kawasan maju, kawasan kurang maju dan Indonesia,
1980-2005
Negara/ Tahun
Kawasan 1980 2000 2005
Dunia 73 79 84
Kawasan Maju 62 67 73
Kawasan kurang
87 90 89
Maju
Indonesia 84 82 80
Sumber : Hardywinoto, 2007
16

D. Status perkawinan
Mengingat umur harapan hidup pada lansia wanita lebih tinggi dari pada
pria, jumlah penduduk lansia wanita yang mempunyai status menikah lebih kecil
daripada penduduk lansia pria. Menurut Email Salim (1984), yang dikutip oleh
(Hardywinoto, 2007), jumlah penduduk lansia wanita yang berstatus menikah
25%, dibandingkan dengan penduduk lansia pria yang besarnya 84%, karena
tingkat pendidikan mereka rendah dan partisipasi angkatan kerja golongan ini
rendah, mereka harus menanggung beban ekonomi lebih berat setelah suaminya
meninggal. Banyak diantara mereka tidak bias hidup secara mandiri lagi dan
terpaksa menjadi tanggungan anak serta keluarganya.
E. Pendidikan
Menurut data yang dikumpulkan Departemen Sosial Republik Indonesia
(1996), yang dikutip oleh (Hardywinoto, 2007), tingkat pendidikan penduduk
lansia di Indonesia masih belum baik. Hal ini terlebih-lebih terlihat pada
penduduk lansia wanita yang tidak bersekolah, seperti dapat dilihat pada tabel 3
dibawah ini.
Penduduk
Persentase Pria Wanita
Lansia
Bersekolah 60.0% 40.3% 72.8%
Tidak lulus SD 23.3% 31.7% 16.5%
Tamat SD 14.1% 20.9% 8.1%
Di atas SD < 5.0%
Sumber : Hardywinoto, 2007

Rendahnya tingkat pendidikan ini membuat mereka sulit menerima


penyuluhan yang diberikan oleh tenaga penyuluh. Disamping itu, hal ini akan
menyulitkan mereka manakala mereka bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat
pendidikan lansia pada umumnya sangat rendah. Menurut Sedarmayanti (2001),
yang dikutip oleh Hardywinoto (2007), pekerjaan yang disertai dengan
pendidikan dan keterampilan akan mendorong kemajuan setiap usaha sehingga
17

dapat meningkatkan pendapatan, baik pendapatan individu, kelompok maupun


pendapatan nasional. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sumber utama kinerja yang
efektif yang mempengaruhi individu adalah kelemahan intelektual, kelemahan
psikologis, kelemahan fisik. Jadi jika lansia dengan kondisi yang serba menurun
bekerja sudah tidak efektif lagi ditinjau dari proses dan hasilnya.
F. Pekerjaan
Menurut biro pusat statistik (1990), tingkat partisipasi angkatan kerja pada
penduduk lansia 60 hingga 64 tahun besarnya 59.9% dan pada usia 65 tahun
40.5%. di perkotaan bahkan tingkat pengangguran penduduk lansia yang berusia
65 tahun keatas hanya 2.2%. tingkat partisipasi angkatan kerja pedesaan lebih
tinggi dibanding di perkotaan dan pada penduduk lansia pria, tingkatnya lebih
tinggi bila dibandingkan dengan wanita. Tingginya tingkat partisipasi angkatan
kerja penduduk lansia disebabkan oleh beberapa factor, antara lain proses
penuaan, struktur penduduk, tingkat social ekonomi masyarakat yang membaik,
umur harapan hidup lansia yang bertambah panjang, jangkauan pelayanan
kesehatan serta status kesehatan penduduk lansia yang bertambah baik. Alasan
penduduk lansia untuk bekerja antara lain disebabkan oleh jaminan social dan
kesehatan yang masih kurang baik.
Penghasilan yang diterima oleh angkatan kerja lansia sayangnya tidak terlalu
tinggi. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Sakernas (1991), yang dikutip
oleh Hardywinoto (2007), ternyata masih banyak angkatan lansia yang menerima
gaji atau upah sebanyak Rp. 100 ribu sebulan dan lebih dari separo angkatan kerja
lansia di perkotaan dan pedesaan menerima gaji Rp. 50 ribu hingga Rp. 100 ribu.
G. Masalah Kesehatan Lansia
Meningkatnya jumlah lanjut usia akan menimbulkan berbagai
permasalahan yang kompleks bagi lanjut usia itu sendiri maupun bagi keluarga
dan masyarakat. Secara alami proses menjadi tua mengakibatkan para lanjut usia
mengalami perubahan fisik dan mental, yang mempengaruhi kondisi ekonomi dan
sosialnya. Transisi demografi ke arah menua akan diikuti oleh transisi
epidemiologi ke arah penyakit degeneratif seperti rematik, diabetes, hipertensi,
jantung koroner, neoplasma. Angka kesakitan penduduk lanjut usia tahun 2009
sebesar 30,46% artinya bahwa setiap 100 orang lanjut usia, sekitar 30 orang
18

diantaranya mengalami sakit. Angka kesakitan penduduk lanjut usia perkotaan


27,20% lebih rendah dibandingkan lanjut usia pedesaan 32,96%. Hal ini
menunjukkan bahwa derajat kesehatan penduduk lanjut usia di perkotaan relatif
lebih baik dibandingkan lanjut usia di daerah pedesaan. Bila dilihat
perkembangannya, derajat kesehatan penduduk lanjut usia relatif tidak berbeda.
Angka kesakitan penduduk lanjut usia pada tahun 2005 sebesar 29, 98%, tahun
2007 sebesar 31,11%, dan tahun 2009 sebesar 30,46 %. Pola yang serupa terjadi
baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Kebiasaan berobat serta cara berobat yang dilakukan seseorang, merupakan salah
satu faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi apakah orang yang
bersangkutan telah memiliki perilaku hidup sehat. Berdasarkan Profil Penduduk
Lanjut Usia 2009, ternyata 32,24% lanjut usia mencari pengobatan di puskesmas,
Namun masih ada yang mengobati sendiri dengan menggunakan obat modern
60,47% dan obat tradisional 10,87%.
Berdasarkan informasi berbagai sumber, gangguan yang sering menjadi masalah
terhadap kemandirian lanjut usia dikenal dengan istilah 14 i, yaitu immobilisasi
(berkurangnya kemampuan gerak), instabilitas postural (berdiri dan berjalan
tidak stabil atau mudah jatuh), intellectual impairment (gangguan intelektual),
isolation (depresi), insomnia (susah tidur), inkontinensia urine (mengompol),
impotence (impotensi), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun),
infection (infeksi), inanition (kurang gizi), irritable colon (gangguan saluran
cerna), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), impaction
(konstipasi), impairment of vision, hearing, taste, smell, communication,
convalenscence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan
dan kulit), impecunity (berkurangya kemampuan keuangan). Kemunduran fungsi
tubuh dan kemunduran peran akan sangat berpengaruh pada kemandirian lanjut
usia.
Besarnya populasi dan masalah kesehatan lanjut usia ini belum diikuti dengan
ketersediaan fasilitas pelayanan lanjut usia (care services) yang memadai, baik
dalam jumlah maupun dalam mutunya. Menurut Kementerian Kesehatan, sampai
saat ini jumlah Puskesmas Santun Lanjut Usia dan rumah sakit yang
menyelenggarakan pelayanan geriatri juga masih terbatas.
19

Pelayanan geriatri di Rumah Sakit sebagian besar berada di perkotaan, padahal


65,7% para lanjut usia berada di pedesaan. Dari data Kementerian Sosial, jumlah
penduduk lanjut usia yang terlayani melalui panti, dana dekonsentarasi, Pusat
Santunan Keluarga (Pusaka), jaminan sosial, organisasi sosial lainnya sampai
2008 ini berjumlah 74,897 orang atau 3,09% dari total penduduk lanjut usia
terlantar. Karena keterbatasan fasilitas pelayanan, aksesibilitas penduduk lanjut
usia kepada pelayanan yang dibutuhkan untuk pemenuhan diri (self fullfilment)
tidak terlaksana dengan baik.
H. Masalah Sosial Dan Ekonomi
Indonesia adalah termasuk negara yang mengalami percepatan pertambahan
penduduk berusia 60 tahun ke atas. Sejak tahun 2000 Indonesia telah menjadi
negara berstuktur tua karena jumlah penduduk lanjut usia telah mencapai 7,18%
dari jumlah penduduk Indonesia dan diperkirakan akan meningkat menjadi 9,77%
pada tahun 2010 dan 11,34 % pada tahun 2020 (Survei Sosial Ekonomi
Nasional/SUSENAS 2004). Pada tahun 2025, diperkirakan menjadi 13% dan
selanjutnya pada tahun 2050 menjadi 25%.
Menurut data United Nations Department Economic Social Affair/UNDESA
2007, perempuan merupakan mayoritas dari populasi lanjut usia Indonesia,
bahkan lebih besar lagi pada populasi yang lebih tua (the oldest old), yaitu lebih
dari 50% pada tahun 1950 dan diproyeksikan akan meningkat terus sampai
dengan tahun 2050. Selain itu, pada kelompok umur 80 tahun keatas merupakan
populasi yang lebih tinggi lagi. Saat ini, hampir 60% kelompok umur 80 tahun ke
atas adalah perempuan dan proporsi ini diperkirakan meningkat sampai dengan
64% pada tahun 2030. Jumlah perempuan lanjut usia yang melebihi jumlah laki-
laki lanjut usia ini disebabkan umur harapan hidup perempuan lebih tinggi
daripada laki-laki. Pada data tersebut juga diperlihatkan harapan hidup perempuan
untuk semua umur dan angka kelangsungan hidup pada umur 60 tahun dan 80
tahun secara konsisten lebih tinggi. Makin bertambahnya jumlah perempuan
lanjut usia akan berakibat terjadinya feminisasi dari proses penuaan di Indonesia.
Feminisasi dari penuaan yang dimaksudkan di sini adalah kelebihan jumlah
perempuan dibandingkan dengan laki-laki pada kelompok lanjut usia dengan
segala konsekuensinya. Feminisasi lanjut usia menjadi berarti karena perempuan
20

lebih mempunyai risiko tinggi atau rentan terhadap penyakit jika dibandingkan
dengan laki-laki.
Tingkat risiko penduduk lanjut usia di Indonesia dinilai dari latar belakang
pendidikan dan ekonominya. Lanjut usia yang hidup sendiri, kurang aman secara
finansial dan kurang punya akses untuk pengobatan bila sakit dan cacat
dibandingkan dengan yang mempunyai pasangan. Di sisi lain, tidak terbuka
lapangan pekerjaan bagi lanjut usia, baik di Indonesia maupun sebagian negara
sedang berkembang lainnya. Pada negara yang cakupan jaminan sosialnya
terbatas, aktivitas ekonomi dapat digunakan sebagai suatu tanda yang mewakili
jaminan finasial dan kebebasan, demikian juga dengan pekerjaan yang produktif
merupakan kunci pemberdayaan warga lanjut usia. Kondisi perempuan lanjut usia
kurang beruntung dibandingkan dengan kondisi lanjut usia laki-laki. Kondisi
tersebut menurut BPS RI Sakernas 2009 adalah sebagai berikut: Jumlah laki-laki
berusia-lanjut yang kawin sebesar 83,44%; cerai 1,05% duda; ditinggal mati
14,71%, sedangkan jumlah perempuan berusia-lanjut yang kawin sebesar
35,99%; cerai 3,10% dan janda ditinggal mati 59,49%; Jumlah laki-laki lanjut
usia yang berpendidikan SMA 9,78% dan yang tidak sekolah sebesar 17,87%;
sedangkan jumlah perempuan lanjut usia yang berpendidikan SMA sebesar 4,33%
dan yang tidak sekolah 44,53%; Jumlah laki-laki lanjut usia yang bekerja sebesar
63,07%, sedangkan jumlah perempuan lanjut usia yang bekerja 33,57%.
Sementara itu, penduduk perempuan lanjut usia lebih banyak bekerja sebagai
pengurus rumah tangga, yaitu 45,84%. Hal lain yang sangat menghambat
perlindungan terhadap lanjut usia untuk pencapaian hidup yang aman, berkualitas
dan terpenuhi hak asasinya, adalah stigma masyarakat terhadap lanjut usia.
Masyarakat masih mempunyai persepsi yang keliru terhadap lanjut usia karena
mereka dianggap identik dengan pikun, renta, loyo, tidak produkif, masa lalu,
ketinggalan zaman, cerewet dan beban. Dari penelitian tentang citra lanjut usia,
70% menunjukkan citra negatif seperti di atas. Akibatnya, perhatian, kepedulian
(care), penghargaan, dan martabat (dignity) dari keluarga, masyarakat dan
pemerintah terhadap lanjut usia kurang, bahkan mereka sering diterlantarkan atau
menjadi korban tindak kekerasan sebesar 10,16% pada perempuan dan laki-laki
8,28%.
21

II. Posyandu Lansia


a.1. Pengertian Posyandu Lansia
Posyandu Lansia atau Kelopok Usia Lanjut (POKSILA) adalah suatu wadah
pelayanan bagi usia lanjut di masyarakat, dimana proses pembentukan dan
pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan
lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan pada upaya promotif dan preventif
(Soekidjo Notoatmodjo, 2007 ) Usia lanjut atau lanjut usia adalah seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih, yang secara fisik terlihat berbeda dengan kelompok umur
lainnya (Depkes RI, 2003).
Posyandu lansia adalah pusat pelayanan terpadu untuk masyarakat lansia
diwilayah tertentu yang sudah di sepakati, yang digerakkan oleh masyarakat.
Posyandu lansia adalah bentuk pelayanan kesehatan bersumber daya masyarakat atau
UKBM (Usaha Kesehatan Berbasis Masyarakat) yang dibentuk oleh masyarakat
berdasarkan inisiatif dan kebutuhan masyarakat, khususnya pada penduduk lanjut
usia. Lansia adalah kelompok yang telah berusia lebih dari 60 tahun, namun pralansia
(45-58 tahun) juga dapat mengikuti kegiatan di posyandu lansia (Erfandi, 2014).
Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan
dan keluarga berencana. Kegiatan posyandu adalah perwujudan dari peran serta
masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan mereka. posyandu
lansia adalah suatu forum komunikasi, alih teknologi dan pelayanan kesehatan oleh
masyarakat dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk
pengembangan sumber daya manusia khususnya lanjut usia (Depkes, 2000).
2.2. Landasan Hukum
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang -Undang RI No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
3. Undang -Undang RI No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
4. Undang - undang RI Nomor 11Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
5. Undang - undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
6. Peraturan Pemerintah RI No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut usia
7. Keputusan Presiden No. 52 Tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut usia.
22

8. Keputusan Menkokesra No.15/Kep/Menko/Kesra/IX/1994 tentang Panitia


Nasional Pelembagaan Lanjut usia Dalam Kehidupan Bangsa.
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 54 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pembentukan Kerja Operasional Pembinaan Pos Pelayanan Terpadu
10. Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Kesejahteraan Lanjut usia 2003-2008
dan 2009- 2014.
2.3. Tujuan Posyandu Lansia
a. Tujuan Umum
Posyandu Lansia adalah meningkatkan kesejahteraan Lansia melalui kegiatan
Posyandu Lansia yang mandiri dalam masyarakat.
b. Tujuan Khusus
1. Meningkatnya kemudahan bagi Lansia dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan,
2. Meningkatnya cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan Lansia, khususnya
aspek peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan aspek pengobatan
dan pemulihan,
3. Berkembangnya Posyandu Lansia yang aktif melaksanakan kegiatan dengan
kualitas yang baik secara berkesinambungan (Depkes RI, 2003).
2.4. Sasaran Posyandu Lansia
Sasaran pelaksanaan pembinaan POSLAN, terbagi dua yaitu:
a. Sasaran langsung, yang meliputi pra lanjut usia (45-59 tahun), usia lanjut
(60-69 tahun), usia lanjut risiko tinggi (>70 tahun atau 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan,
b. Sasaran tidak langsung, yang meliputi keluarga dimana usia lanjut berada,
masyarakat di lingkungan usia lanjut, organisasi sosial yang peduli terhadap
pembinaan kesehatan usia lanjut, petugas kesehatan yang melayani
kesehatan usia lanjut, petugas lain yang menangani Kelompok Usia Lanjut
dan masyarakat luas (Depkes RI, 2003).
c. Posyandu lansia sebagaimana dimaksudkan dalam peraturan Menteri Dalam
Negeri Pasal 6 tersebut ditujukan pada masyarakat pralansia (45-59 tahun),
masyarakat lansia (lebih dari 60 tahun), dan masyarakat lansia resiko tinggi
23

berusia 60 tahun yang memiliki keluhan atau berusia lebih dari 70 tahun
(Erfandi, 2014).
2.5. alasan pendirian posyandu lansia
a) Jumlah populasi lansia semakin meningkat
b) Masalah kesehatan dan kehidupan social ekonomi yang banyak pada
lansia seiring dengan kemunduran fungsi tubuh.
c) Posyandu dapat memberikan pelayanan kesehatan dan bimbingan lain,
khususnya dalam upaya mengurangi atau mengatasi dampak penuaan,
mendorong lansia untuk tetap aktif, produktif, dan mandiri.
d) Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan dampak globalisasi
memungkinkan setiap orang mandiri sehingga kelompok lansia terpisah
jarak dengan anak-anaknya, sedangkan para lansia tetap membutuhkan
sarana untuk hidup sehat dan bersosialisasi.
e) Posyandu berlandaskan semboyan, dari masyarakat, untuk masyarakat,
dan oleh masyarakat sehingga timbul rasa memiliki dari masyarakat
terhadap sarana pelayanan yang berbasis masyarakat tersebut.
2.6. Ruang lingkup posyandu lansia
Ruang lingkup posyandu lansia menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri atau Permendagri No. 19 Tahun 2011 pasal 5 adalah mengintegrasikan
layanan sosial dasar, yang meliputi:
a) Pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
b) Perilaku hidup bersih dan sehat.
c) Kesehatan lansia.
d) Percepatan penganekaragaman konsumsi pangan.
e) Pemberdayaan fakir miskin, komunitas adat terpencil, dan penyandang
masalah kesejahteraan social.
f) Peningkatan ekonomi keluarga.
2.7. Pelayanan Kesehatan di Posyandu Lansia
Pelayanan kesehatan di Posyandu Lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik
dan mental emosional. Kartu Menuju Sehat (KMS) Lansia sebagai alat
pencatat dan pemantau untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita
(deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi dan mencatat
24

perkembangannya dalam Buku Pedoman Pemeliharaan Kesehatan (BPPK)


Lansia atau catatan kondisi kesehatan yang lazim digunakan di Puskesmas.
Jenis pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada Lansia di Posyandu
adalah sebagai berikut:
a) Pemeriksaan aktifitas kegiatan sehari-hari (activity of daily living)
meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan/minum,
berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air
besar/kecil dan sebagainya.
b) Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan
mental emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 menit
(lihat KMS Usia Lanjut).
c) Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik Indeks Massa Tubuh
(IMT).
d) Pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter dan
stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit.
e) Pemeriksaan hemoglobin menggunakan HB Sahli.
f) Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya
penyakit gula (diabetes mellitus).
g) Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai
deteksi awal adanya penyakit ginjal.
h) Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bila mana ada keluhan dan atau
ditemukan kelainan pada pemeriksaan kesehatan.
i) Penyuluhan bisa dilakukan di dalam maupun di luar kelompok dalam
rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan yang dihadapi oleh
individu dan atau POKSILA.
j) Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi anggota POKSILA
yang tidak datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan
masyarakat (Publik Health Nursing).
25

2.8. Sumber daya manusia (SDM)


Tenaga yang dibutuhkan dalam pelaksanaan posyandu sebaiknya 8 orang namun
bisa kurang dengan konsekuensi bekerja rangkap. Kepengurusan yang di anjurkan
adalah:
1. Ketua Posyandu
2. Sekretaris
3. Bendahara
4. Kader 5 orang :
a) Meja 1 tempat pendaftaran
b) Meja 2 tempat penimbangan dan pencatatan berat badan, pengukuran dan
pencatatan tinggi badan serta penghitungan index massa tubuh (IMT)
c) Meja 3 tempat melakukan kegiatan Pemeriksaan dan pengobatan sederhana
(tekanan darah, gula darah, Hb dan pemberian vitamin, dan lain - lain)
d) Meja 4 tempat melakukan kegiatan konseling (kesehatan, gizi dan
kesejahteraan)
e) Meja 5 tempat memberikan informasi dan melakukan kegiatan sosial
(pemberian makan tambahan, bantuan modal, pendampingan, dan lain
lain sesuai kebutuhan)
a) Tugas dan Fungsi
1. Ketua Posyandu
a. Bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang dilakukan
posyandu
b. Bertanggung jawab terhadap kerjasama dengan semua stake
holder dalam rangka meningkatkan mutu pelaksanaan
posyandu
2. Sekretaris
Mencatat semua aktivitas perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan
serta pengendalian posyandu.
3. Bendahara
Pencatatan pemasukan dan pengeluaran serta pelaporan keuangan
posyandu
26

4. Kader
a. Tugas kader dalam posyandu lanjut usia antara lain:
b) Mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan pada
kegiatan posyandu.
c) Memobilisasi sasaran pada hari pelayanan posyandu.
d) Melakukan pendaftaran sasaran pada pelayanan posyandu
lanjut usia.
e) Melaksanakan kegiatan penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan para lanjut usia dan mencatatnya
dalam KMS atau buku pencatatan lainnya.
f) Membantu petugas dalam pelaksanaan pemeriksaan
kesehatan dan pelayanan lainnya.
g) Melakukan penyuluhan ( kesehatan, gizi, sosial, agama dan
karya) sesuai dengan minatnya.
b. Mekanisme Kerja
Untuk memberikan pelayanan kesehatan dan sosial yang prima
terhadap lanjut usia di kelompoknya, dibutuhkan perencanaan
yang matang, pelaksanaan yang benar dan tepat waktu, serta
pengendalian yang akurat.
c. Perencanaan
Dalam menyusun perencanaan dibutuhkan data-data:
a) Jumlah penduduk dan KK di wilayah cakupan
b) Kondisi sosial ekonomi penduduk di wilayah cakupan
c) Jumlah lanjut usia keseluruhan (per kelompok umur)
d) Kondisi kesehatan lanjut usia di wilayah cakupan
e) Jumlah lanjut usia yang mandiri
f) Jumlah lanjut usia yang cacat
g) Jumlah lanjut usia terlantar, rawan terlantar dan tidak
terlantar.
h) Jumlah lanjut usia yang produktif
i) Jumlah lanjut usia yang mengalami tindakan penelantaran,
pelecehan, pengucilan dan kekerasan
27

d. Jenis kegiatan yang dilaksanakan di posyandu lanjut usia


yaitu :
1. Kegiatan pengukuran IMT melalui pengukuran berat
badan dan tinggi badan. Kegiatan ini dilakukan 1 bulan
sekali.
2. Kegiatan pemeriksaan tekanan darah dilakukan minimal 1
bulan sekali, namun bagi yang menderita tekanan darah
tinggi dianjurkan setiap minggu. Hal ini dapat dilakukan
di puskesmas atau pada tenaga kesehatan terdekat.
3. Kegiatan pemeriksaan kadar haemoglobin darah (Hb),
gula darah dan kolesterol darah. Bagi lanjut usia yang
sehat cukup di periksa setiap 6 bulan. Namun bagi yang
mempunyai faktor resiko seperti turunan kencing manis,
gemuk sebaiknya 3 bulan sekali dan bagi yang sudah
menderita maka dilakukan di posyandu setiap bulan.
Kegiatan pemeriksaan laboratorium ini dapat dilakukan
oleh tenaga Puskesmas atau dikoordinasikan dengan
laboratorium setempat.
4. Kegiatan konseling dan penyuluhan kesehatan dan gizi
harus dilakukan setiap bulan karena permasalahan lanjut
usia akan meningkat dengan seiring waktu, selain itu
dapat memantau faktor risiko penyakit-penyakit
degeneratif agar masyarakat mengetahui dan dapat
mengendalikanya.
5. Konseling usaha ekonomi produtif dilakukan sesuai
dengan kebutuhan.
6. Kegiatan aktivitas fisik/senam dilakukan minimal 1
minggu sekali diluar jadwal penyelenggaraan posyandu.
28

III.TEORI PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN


Dalam Pedoman Penyelenggaraan Puskesmas di Era Desentralisasi
2001 yang tersusun oleh Tim Reformasi Puskesmas Departemen Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial, disebutkan bahwa salah satu kelompok indikator
pencapaian Kecamatan Sehat 2010 yang dipantau tahunan adalah indikator
pelayanan kesehatan yang meliputi pemanfaatan pelayanan kesehatan di
puskesmas dan mutu pelayanan (Depkes RI, 2005). Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan fasillitas kesehatan, seperti umur, tingkat
pendidikan, pekerjaan, dan berbagai faktor lainnya. Umur berkaitan dengan
kelompok umur tertentu yang lebih banyak memanfaatkan pelayanan
kesehatan karena pertimbangan tingkat kerentanan. Tingkat pendidikan
mempunyai hubungan yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin
tinggi tingkat pendidikan, semakin mudah menerima konsep hidup sehat
secara mandiri, kreatif, dan berkesinambungan. Tingkat pendapatan
mempunyai kontribusi yang besar dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan,
karena semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin leluasa untuk memilih
pelayanan kesehatan (Sutanto, 2002). Menurut Azwar (1996), pemanfaatan
seseorang terhadap pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
sosial budaya, dan sosial ekonomi orang tersebut. Bila tingkat pendidikan,
sosial budaya, dan sosial ekonomi baik, maka secara relatif pemanfaatan
pelayanan kesehatan akan tinggi.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan melibatkan berbagai informasi,
antara lain: status kesehatan saat ini, informasi tentang status kesehatan yang
membaik, informasi tentang berbagai macam perawatan yang tersedia, dan
informasi tentang efektivitas pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh
interaksi antar konsumen dan penyedia layanan (provider) (Azwar, 1996).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan juga dipengaruhi kelas sosial, perbedaan
suku bangsa dan budaya. Ancaman-ancaman kesehatan yang sama (yang
ditentukan secara klinik), tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Koos (1954) misalnya telah menunjukkan bagaimana tingkah laku sakit
berbeda secara menyolok sesuai dengan kelas sosial dan ekonomi dalam
29

populasi yang sekurang-kurangnya homogen. Ia menemukan bahwa para


warga lapisan sosial atas dalam suatu masyarakat kecil di bilangan kota New
York lebih cepat menginterpretasi gejala khusus sebagai indikasi sakit,
dibanding dengan warga kelas sosial bawah; karena itu mereka akan lebih
cenderung untuk segera mencari perawatan dokter (Anderson, 1986).
Perbedaan budaya dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan lebih menonjol dari
pada perbedaan ekonomi. Dalam suatu studi yang dilakukan pada sebuah
rumah sakit veteran di New York City, Zborowski menemukan bahwa orang
Yahudi dan Italia lebih emosional dalam respon mereka terhadap rasa sakit
daripada orang Eropa Utara. Meskipun sejumlah dokter merasakan bahwa
warga dari kelompok-kelompok tersebut seharusnya memiliki ambang sakit
yang lebih rendah dibanding dengan warga dari kelompok-kelompok lain;
perbedaanya tak diragukan lagi, bersifat budaya. Kebudayaan Yahudi dan
Italia membolehkan pengungkapan bebas perasaan dan emosi melalui kata-
kata, bunyi, dan syarat-isyarat, maka baik orang Yahudi maupun orang Italia
merasa bebas berbicara mengenai rasa sakit mereka, mengeluh dan
menunjukkan penderitaan mereka dengan mengaduh, menangis dan
sebagainya. Mereka tidak merasa malu dengan ekspresi tersebut. Mereka
dengan sukarela mengakui bahwa bila kesakitan, mereka memang sangat
banyak mengeluh, minta tolong dan mengharapkan simpati serta bantuan dari
warga kelompoknya dalam lingkungan sosialnya yang langsung (Anderson,
1986).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian
pelayanan oleh individu maupun kelompok tertentu (Ilyas, 2006:p.8).
Mengetahui faktor-faktor yang mendorong individu untuk mau memanfaatkan
jasa pelayanan1 kesehatan merupakan informasi kunci untuk merancang
program pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan mampu dibeli oleh
konsumen di masa yang akan datang (Feldstein, 1988 dalam Ilyas, 2006:p.8).
Bila pemanfaatan pelayanan kesehatan dianggap sebagai suatu permintaan
(demand) dari masyarakat, maka teori ekonomi secara umum tentang besarnya
permintaan (demand), dipengaruhi oleh ; (1) harga pelayanan tersebut, (2)
harga barang lain yang terkait (pelayanan sepadan di fasilitas lain), (3) tingkat
30

pendapatan per kapita, (4) selera, (5) jumlah penduduk, (6) distribusi
pendapatan dan (7) upaya pemasaran, yang dapat dikaitkan dengan kualitas
pelayanan (Samuelson & Nordhaus, 2003:p.55-57). Namun, karena adanya
spesifikasi dalam kebutuhan akan pelayanan kesehatan, maka perlu dikaji
kesesuaiannya dengan teori yang lebih tepat. Beberapa teori terkait
pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dikaji dari :
a. Teori Demand Menurut Grossman, Mills dan Feldstein
Menurut Grossman (1972) seperti dikutip Nadjib (1999), bahwa faktor
yang mempengaruhi demand terhadap pelayanan kesehatan atau rumah
sakit adalah : kejadian penyakit, karakteristik kultural demografi, dan
factor ekonomi. Menurut Mills (1990:p.133), demand terhadap pelayanan
kesehatan dapat diartikan sebagai bertemunya kemampuan dan kemauan
(ATP vs WTP) dalam diri seseorang. Demand dan pemanfaatan layanan
kesehatan di Negara berkembang dapat dikaitkan dengan :
a) Faktor demografi, seperti umur, pendidikan, seks dan status
kesehatan,
b) Faktor ekonomi seperti pendapatan, tarif atau harga pelayanan, cara
pembayaran, dan biaya transportasi.
c) Faktor non ekonomi seperi waktu dan kemudahan akses mencapai
pelayanan,dan kualitas pelayanan kesehatan.
Feldstein (1993:p.78-84), mengemukakan bahwa faktor yang berhubungan
dengan demand penderita terhadap pelayanan medis sangat berkaitan
dengan faktor yang ada pada pasien dan provider kesehatan itu sendiri,
antara lain :
a) Insiden penyakit atau kebutuhan pelayanan dari pasien
b) Faktor sosiodemografi : umur, seks, status perkawinan, jumlah
anggota
keluarga dan pendidikan.
c) Faktor ekonomi : pendapatan, harga layanan, nilai waktu yang
dipergunakan
untuk mencari pengobatan
31

d) Faktor pada provider : karakteristik provider (perilaku petugas dan


jenis keahlian dokter), termasuk economic interest dari petugas
menciptakan kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan layanan
tertentu Gani (1981:p.59) menyatakan bahwa permintaan pelayanan
kesehatan (Demand) merupakan fungsi dari adanya kebutuhan karena
adanya keluhan sakit (Need), pendidikan (Education), pekerjaan
(Occupation), Preferensi (Preference), Pendapatan (Income), harga
pelayanan kesehatan (Price), ketersediaan asuransi (Insurance), jarak
ke pelayanan kesehatan (Distance). Sehingga dapat digambarkan
dengan rumus : D = f (Nd, Ed, Oc, Pf, In, Pr, Is, Dt).
b. Model Pemanfaatan Pelayanan Zschock
Menurut Zschock (1979) dalam Ilyas (2006:p10-11), faktor yang
mempengaruhi seseorang menggunakan pelayanan kesehatan, yaitu :
a) Status kesehatan, pendapatan dan pendidikan. Semakin tinggi
status kesehatan seseorang, maka ada kecenderungan orang
tersebut banyak menggunakan layanan kesehatan. Bila
pendapatan seseorang rendah, maka akan sulit baginya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan, meskipun membutuhkan
(unmet need). Tingkat pendidikan seseorang juga mempengaruhi
pemanfaatan pelayanan kesehatan seseorang.
b) Faktor konsumen dan penyedia pelayanan kesehatan. Penyedia
pelayanan kesehatan (provider mempunyai peranan besar dalam
menentukan tingkat dan jenis layanan kesehatan bagi konsumen.
Adanya consumer ignorance sering menyebabkan terjadinya over
utilization pelayanan kesehatan.
c) Kemampuan dan penerimaan pelayanan kesehatan. Kemampuan
membayar pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan tingkat
penerimaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
d) Risiko sakit dan lingkungan. Faktor lingkungan sangat
mempengaruhi status kesehatan individu dan masyarakat.
Lingkungan yang sehat memberikan risiko sakit yang rendah.
32

c. Model Perilaku (Behavioral Model) menurut Anderson


Anderson (1975) dalam Ilyas, (2006:p.8-10) dan Thabrany,
1995:p.23-24), mengemukakan pemanfaatan pelayanan kesehatan
sebagai model perilaku (behavioral model of health services
utilization). Determinan pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut
meliputi pada tiga faktor, yaitu :
a) Karakteristik predisposisi (Predisposing Characteristics); setiap
individu memiliki kecenderungan yang berbeda untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan, tergantung pada perbedaan
karakteristiknya, seperti demografi (umur, seks, status
perkawinan), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, ras,hobi,
agama), dan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan (health
belief)
b) Karakteristik kemampuan (Enabling Characteristics); yaitu
kondisi yang membuat seseorang mampu melakukan tindakan.
Terdiri dari sumber daya keluarga (penghasilan, kepemilikan
asuransi kesehatan, daya beli dan pengetahuan tentang layanan
kesehatan), dan sumberdaya masyarakat (ketersediaan sarana
pelayanan, jumlah tenaga kesehatan, rasio penduduk )
c) Karakteristik kebutuhan (Need Characteristics); yaitu kondisi
yang langsung berhubungan dengan permintaan layanan
kesehatan (persepsi sakit, diagnose penyakit, kecacatan, status
kesehatan)
Kemudian Andersen (1995) mereview model pemanfaatan pelayanan
kesehatan pada era 1960-an yang berfokus pada keluarga sebagai unit
analisis tersebut, dengan menambahkan komponen sistem pelayanan
kesehatan (health care system), pengaruh lingkungan (external
environment) dan outcome dari pelayanan kesehatan terhadap kepuasan
pelanggan (costumer satisfaction).
33

d. Teori Akses Pelayanan Aday, Andersen, dan Flemming


Dalam studi Aday, Andersen dan Flemming (1980:p.25-41), teori
akses pelayanan kesehatan dikaitkan dengan dua faktor. Yaitu
karakteristik pelayanan kesehatan (provider) dan karakteristik
penduduk (user).:
a) Karakteristik pelayanan kesehatan (provider). Yaitu
ketersediaan dan distribusi fasilitas pelayanan kesehatan. Bisa
dikategorikan pada sisi supply.
b) Karakteristik penduduk berisiko (user). yaitu umur, status
kesehatan, tingkat pendapatan dan kepesertaan asuransi.
Dikategorikan dalam sisi demand.
Aday, et.al (1980: p.25-41) menggambarkan akses sebagai dimensi
yang menggambarkan input yang bersifat potensial dan aktual dalam
kebijakan kesehatan sebagai berikut :
e. Teori Perilaku Green
Green (2005:p.9) menyempurnakan model pendekatan yang dipergunakan
dalam pembuatan perencanaan kesehatan masyarakat yang dikenal dengan
PRECEDE tahun 1980, dengan model PRECEDE-PROCEED. Dalam hal
ini dikaitkan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan) dipengaruhi oleh
faktor (Green, 2005) :
a) Faktor predisposisi (Predisposing Factors); yaitu faktor yang
mendasari atau menjadi motivasi seseorang untuk bertindak. Meliputi
pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai persepsi, kepercayaan diri dan
kapasitasnya.
b) Faktor pendukung (Enabling Factors); yaitu faktor yang mendukung
motivasi agar tindakan/perilaku dapat terlaksana. Faktor ini meliputi
ketersediaan, kemudahan akses pelayanan kesehatan, keahlian pribadi
dan prioritas/komitmen peraturan pemerintah.
c) Faktor pendorong (Reinforcing Factors); yaitu faktor penguat
timbulnya tindakan. Termasuk dalam kelompok ini adalah keluarga,
teman, guru, petugas kesehatan, pemimpin masyarakat dan pembuat
kebijakan.
34

d) Faktor Keturunan (Genetics) dan kondisi lingkungan tempat tinggal.


h) Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan
a) Karakteristik Rumah Tangga
1. Pendidikan
Menurut Anderson dan Anderson (1979), dan Zschock (1979),
bahwa pendidikan termasuk variabel dalam model struktur sosial.
Tingkat pendidikan yang berbeda memiliki kecenderungan yang
berbeda pula dalam pengertian dan reaksi terhadap masalah
kesehatan mereka. Sehingga, diduga pendidikan berpengaruh juga
dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan gratis di tingkat
Puskesmas. Feldstein (1979) mengemukakan bahwa pendidikan
termasuk faktor yang berpengaruh
2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap sesuatu. Pengetahuan (kognitif)
merupakan domain sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (Notoatmodjo,2007 : p.143-144). Pengetahuan diperoleh
dari pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman
orang lain. Hasil penelitian Sebayang (2006) menunjukkan bahwa
pengetahuan program JPKMM berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan.
3. Pekerjaan
Dalam Feldstein (1993:p.78) merujuk pada pendapat Grossman
dikatakan bahwa konsumen memiliki demand terhadap pelayanan
kesehatan dikarenakan dua alasan, yaitu (1) sebagai barang
konsumsi untuk merasa lebih baik/lebih sehat, dan (2) sebagai
barang investasi, bahwa status kesehatan mempengaruhi
produktivitas. Mengurangi lama sakit akan meningkatkan
kesempatan untuk dapat bekerja dan aktifitas lainnya yang bersifat
produktif. Hasil penelitian Rohmansyah (2004) dan Yuswandi
35

(2006) mendapatkan adanya hubungan jenis pekerjaan dengan


akses ke pelayanan kesehatan.
b) Kebutuhan Pelayanan Kesehatan
Aday et al (1980:p.38) membagi kebutuhan (need) pelayanan
kesehatan
dalam perceived need dan evaluated need. Perceived need (persepsi
sakit) dilihat dari sisi konsumen meliputi status kesehatan berdasar
pendapat umum, seperti jumlah keluhan sakit (symptoms of illness),
status kesehatan dibandingkan orang lain, berapa hari tidak produktif
karena sakit (disability days). Sedangkan evaluated need (memiliki
penyakit) dinilai dari hasil pengukuran/diagnose penyakit yang
dilakukan oleh tenaga medis profesional.
Penyakit (disease) adalah bentuk reaksi biologis terhadap suatu
organisme, benda asing atau injury, yang bersifat objektif ditandai
adanya perubahan fungsi tubuh sebagai organisme biologis. Sedangkan
persepsi sakit (illness) merupakan penilaian seseorang terhadap
penyakit tersebut sebagai pengalaman langsung. Konsep sakit (illness)
berbeda pada tiap orang atau kelompok masyarakat. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor fisik, sosial dan mental yang menghasilkan
kondisi sakit tersebut (Notoatmodjo, 1985:p57-62).
Persepsi individu terhadap sehat sakit erat hubungannya dengan
perilaku pencarian pengobatan. Individu atau anggota masyarakat yang
terkena penyakit tetapi tidak merasa sakit (disease but no illness)
tentunya tidak berusaha mencari pengobatan. Namun bila memang
merasakan sakit, maka respon antar individu akan berbeda-beda.
Setidaknya ada empat jenis respon orang yang sakit, yaitu (1)
menerima saja tanpa berbuat apa-apa (no action), (2) berusaha
mengobatinya sendiri (self treatment) dengan membuat atau membeli
ramuan atau obat-obatan sesuai dengan pengetahuannya, (3) mencari
pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy)
seperti dukun atau pengobatan tradisional lainnya, dan (4) mencari
pengobatan ke fasilitas kesehatan modern, seperti mantri, dokter, ke
36

Puskesmas ataupun rumah sakit (Notoatmodjo, 1985:68-70). Nadjib


(1999) menggunakan banyaknya keluhan sakit sebagai salah satu
proksi adanya kebutuhan (need) seseorang terhadap pelayanan
kesehatan. Beberapa penelitian Herlina (2001) dan Sebayang (2006)
menunjukkan bahwa persepsi / keluhan sakit berhubungan dengan
pemanfaatan Puskesmas.
c) Akses ke Puskesmas
1. Biaya transportasi
Untuk pelayanan di Puskesmas, hambatan biaya seringkali bukan
berasal dari tarif pelayanan, namun pada biaya transportasi. Hal ini
dibuktikan pada penelitian Berman (1985) dan Gani et al, (1993) di
Jawa Barat. Penelitian serupa oleh Jimenez (1987) mengidentifkasi
bahwa di Indonesia 40% penduduk miskin hanya menerima 19%
dari besar subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Salah satu
faktor penting penyebab rendahnya pemanfaatan pelayanan
kesehatan tersebut adalah ketidakkmampuan biaya oleh masyarakat
menjangkau pelayanan tersebut, meskipun pelayanannya sendiri
gratis (Nadjib, 1999:p.144).
2. Waktu tempuh
Menurut hasil Riskesdas 2007, dari segi waktu tempuh ke sarana
pelayanan kesehatan nampak bahwa 67,2% penduduk dapat
mencapai ke sarana pelayanan kesehatan kurang atau sama dengan
15 menit dan sebanyak 23,6% penduduk dapat mencapai sarana
pelayanan kesehatan dimaksud antara 16-30 menit. Dengan
demikian secara nasional, masih ada sekitar 9,2% RT yang
memerlukan waktu lebih dari setengah jam untuk mencapai sarana
kesehatan. Di Kalimantan Timur khususnya di kutai Barat , 98,4%
rumah tangga berada kurang atau sama dengan 5 km dari sarana
pelayanan kesehatan dan sebanyak 93,8% rumah tangga dapat
mencapai sarana pelayanan kesehatan kurang atau sama dengan 30
menit. Faktor jarak merupakan salah satu kendala pemanfaatan
37

pelayanan kesehatan pemerintah (Gani, 1981; Asbudin, 2001;


Untari, 2007).
d) Kepemilikan Jaminan/Asuransi Kesehatan
Jaminan untuk menanggung biaya kesehatan bisa berasal dari asuransi,
baik asuransi privat, asuransi sosial maupun jaminan/subsidi dari
Pemerintah seperti program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan
Masyarakat). Termasuk asuransi social dalam hal ini adalah Askes
untuk PNS, Asabri untuk TNI-Polri dan Jamsostek untuk karyawan
swasta. Adanya jaminan pembayar biaya pelayanan merupakan salah
satu penyebab meningkatnya pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Penelitian Dong et al(2008) di Burkina Faso menunjukkan bahwa
peserta community-based health insurance meningkatkan sekitar
4,33% pemanfaatan layanan kesehatan modern dan mereduksi 3,98%
pengobatan sendiri. Hasil tersebut juga dibuktikan oleh Thabrany
(1993) dalam penelitian pada PT Askes di Indonesia (Nadjib,
1999:p.139).
e) Status Ekonomi
1. Pengeluaran rumah tangga
Ketidakmampuan ekonomi masyarakat dianggap sebagai faktor
yang berperan dalam ketidakmerataan (unequity) pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Hasil studi di Inggris mengidentifiasi, bahwa
adanya variasi besar dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan
berhubungan dengan status sosial.Sementara menurut Bank Dunia,
kelompok yang banyak memanfaatkan Puskesmas di daerah
pedesaan di Indonesia adalah kelompok menengah. Kelompok
sosial ekonomi lemah dipedesaan, diperkirakan lebih sedikit
menikmati pelayanan kesehatan modern, termasuk yang disubsidi
oleh pemerintah (Nadjib, 1999:p.6,22-24). Gertler dan Gaag (1988)
melakukan study demand terhadap pelayanan medis di Cote
DIvoire dengan variabel pendapatan bulanan yang dihitung dari
rata-rata total pengeluaran/konsumsi perbulan. Asbudin (2002)
38

mendapatkan bahwa demand pelayanan kesehatan di Puskesmas


berhubungan dengan status ekonomi.
2. Kemampuan dan kemauan untuk membayar Puskesmas
Kemampuan dan kemauan membayar (ability and willingness to
pay) merupakan faktor yang berperan dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Besarnya kemampuan membayar rumah
tangga terhadap pelayanan kesehatan tergantung pada disposible
income (Gani, 2008). Kemampuan membayar (ATP) dapat diukur
dengan pendekatan penghasilan keluarga, aset keluarga atau
pengeluaran rumah tangga. Penghitungan pengeluaran rumah
tangga dianggap sebagai cara yang cukup sensitif untuk kondisi
Indonesia karena pola penghasilan masyarakat sering berubah,
sedangkan aset keluarga juga kebanyakan milik bersama (Nadjib,
1999.36-37).
Pengukuran ATP dengan ukuran 5 % dari pengeluaran didasarkan
hasil survey di beberapa negara berkembang yang menunjukkan
bahwa pengeluaran biaya kesehatan berkisar 2 5 % dari
pengeluaran rumah tangga. Pendekatan ATP yang lain pengalihan
pengeluaran non-essentials rumah tangga seperti cigaret. (Russel,
1996). Gani dan Nadjib (1996) menyarankan penghitungan potensi
ability to pay kelompok masyarakat tertentu dengan melakukan
survey data primer dengan sampel rumah tangga. Pengeluaran
rumah tangga sebagai proksi kemampuan membayar dapat dihitung
dengan ukuran 5% dari besarnya pengeluaran bukan makanan (non
food expenditure) atau pengeluaran untuk kebutuhan yang tidak
pokok (non essential expenditures), seperti rokok, minuman keras,
sirih dan rekreasi. Sedangkan kemauan untuk membayar
(willingness to pay) merupakan perilaku pembelian konsumen
untuk tujuan mendapatkan komoditas atau mengurangi risiko
tertentu. Gani (2008) memformulasikan WTP sebagai fungsi dari
Utility dan persepsi benefit/loss. Seberapa besar kemauan seseorang
untuk membayar dapat diukur dengan dua cara, yaitu dengan
39

menghitung besarnya pengeluaran riel keluarga untuk kesehatan


dalam periode waktu tertentu, atau dengan menanyakan secara
langsung berapa rupiah individu bersedia mengeluarkkan uangnya
untuk membeli jasa pelayanan kesehatan (Russel et al, 1995).
f) Karakteristik Pelayanan Puskesmas
1. Jam Buka Puskesmas
Sebagai instansi milik pemerintah, secara normatif pelayanan di
Puskesmas (yang bukan rawat inap) dilakukan pada jam kantor
mulai jam 08.00 14.00. Sedangkan Puskesmas yang memiliki
program rawat inap atau unit gawat darurat 24 jam, maka
pelayanan Puskesmas bisa buka lebih lama. Namun dalam
kenyataannya, jam buka Puskesmas bisa kurang dari jam kerja yang
seharusnya. Atau bisa terjadi Puskesmasnya buka namun
petugasnya tidak ditempat. Kondisi ini bisa terjadi karena memang
kekurangan tenaga, namun bisa juga karena kebiasaan yang tidak
baik. Penelitian Untari (2007) menyatakan bahwa pemegang kartu
sehat lebih memilih layanan kesehatan swasta karena jam bukanya
lebih sesuai dengan kondisi keseharian mereka.
2. Keberadaan Dokter
Dokter merupakan inti utama dalam pelayanan kesehatan (Azwar,
1996). Sebagai profesional di bidang pelayanan medis, dokter
dianggap paling kompeten dalam pemberian pelayanan kesehatan
modern. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan
pentingnya pelayanan kesehatan, maka mereka lebih memilih untuk
diperiksa dan diobati oleh dokter dibandingkan profesi kesehatan
lainnya. Keberadaan dokter secara konsisten dalam pelayanan
Puskesmas akan meningkatkan pemanfaatan Puskesmas. Menurut
penelitian (World Bank, 2008:p.20), fenomena rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan masyarakat,
karena
rendahnya kualitas pelayanan dan tingginya absensi personil medis
di Puskesmas. Sebayang (2006) membuktikan bahwa keberadaan
40

dokter merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan


pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas oleh keluarga
miskin peserta JPKMM.
3. Kualitas Pelayanan Puskesmas
Menurut Crosby (1984) dalam Azwar (1996:p.48), mutu adalah
kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Selanjutnya,
Azwar (1996:p.48) memberikan batasan mutu pelayanan kesehatan
adalah menunjuk pada kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang di
satu sisi dapat menimbulkan kepuasan kepada pasien, di pihak lain
tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar
pelayanan profesi. Sementara itu, penelitian Preker dan Harding
seperti dikutip Adyas (2007; p.18) menunjukkan bahwa meskipun
pemerintah di banyak negara yang berpenghasilan rendah dan
menengah (low-middle income) telah berupaya melakukan
pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan kesehatan, namun
masalah kritis yang dialami oleh sarana kesehatan pemerintah
adalah penyelenggaraannya tidak efisien. Menurut Indrajaya (1995)
dalam Nadjib (1999:p.33-34), dari hasil pengamatannya di Kaltim
dan NTB, memperlihatkan bahwa karakteristik penyedia pelayanan
kesehatan memang mempengaruhi tingkat utilisasi pelayanan
Puskesmas, dengan ukuran proksi kualitas pelayanan adalah
kebersihan, ketersediaan alat, tenaga dan obat, serta waktu tunggu
pelayanan. Begitu pula penelitian Herlina (2001) dan Sebayang
(2006), mendapatkan bahwa persepsi kualitas pelayanan
berhubungan dengan pemanfaatan Puskesmas.
Kerangka teori yang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
hasil kombinasi dari kerangka teori Green dan Anderson. Teori Anderson
dalam Notoatmodjo (2003), menggambarkan ada 3 variabel yang berpengaruh
terhadap perilaku pencarian/pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu
karakteristik predisposisi (demografi, pendidikan , pekerjaan, keyakinan)
enabling karakteristik (jarak, biaya) dan need characteristic (karakteristik
kebutuhan).
41

Sedangkan menurut Laurence Green (1980) menjelaskan bahwa


perilaku pencarian /pemanfaatan ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu factor
predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai), factor
penguat (dukungan teman, dukungan petugas kesehatan, dukungan keluarga).
Dalam penelitian ini variabel-variabel Anderson dan teori Green ada yang
sama da nada yang berbeda. Namun perbedaan yang paling terlihat adalah
pada teori Green tidak ditemukan adanya karakteristik kebutuhan.
Pada dasarnya penulis mengkombinasi kedua teori ini agar variabel-variabel
yang ada bisa menjadi lengkap. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
kerangka teori berikut ini:
42

Gambar 2.1
Kerangka Teori
Teori Anderson Teori Green

A.Karakteristik Faktor predisposisi


Predisposisi
- Pengetahuan
- Demografi (umur,
- Kepercayaan
jenis kelamin) - Nilai
- Struktur sosial - Sikap
(pendidikan, - Demografi (umur,
pekerjaan) jenis kelamin)
- Kepercayaan

Pemanfaatan Faktor Enabling


B. Karakteristik Enabling
- Sumber Daya keluarga Pelayanan
- Sumber daya
- Sumber komunitas Kesehatan kesehatan (fasilitas
kesehatan, tenaga
kesehatan)
- Akses pelayanan
kesehatan (jarak,
biaya, waktu,
transfortasi)
- Kebijakan
C. Karakteristik Pemerintah dalam
Kebutuhan kesehatan
- Keterampilan

Faktor Reinforcing

- Dukungan keluarga
- Dukungan teman
sebaya
- Dukungan
Pemerintah
- Dukungan petugas
kesehatan
- Dukungan akses
/media informasi

Anda mungkin juga menyukai