Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“Upacara Butha Yadnya”


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Agama Hindu
Pengampu: Drs.Sujaelanto

Disusun Oleh :
Merlinda Rahmadiyanti (1603052)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
SEMARANG
2016
Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat-
Nya yang telah memberikan penulis kesempatan untuk menyusun Makalah yang berjudul
“Upacara Butha Yadnya” dengan tepat waktu . Penulis menyampaikan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Dosen pembimbing pengampu mata kuliah Agama Hindu yang
telah memberikan Bimbingan dan arahan kepada penulis.

Dalam penyusunan ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kesalahan pada kesmpatan ini penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun
guna penyempurnaan penulisan pada masa-masa mendatang.

Semarang , 19 November 2016

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1PengertianYadnya..........................................................................................
2.2 Pengertian Bhuta Kala Dan Makna Bhuta Yadnya......................................
2.3 Makna Segehan, Caru, Tawur......................................................................

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.................................................................................................
3.2 Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Yadnya menurut ajaran agama Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang
harus dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan
menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka
hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya
sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Seperti dalam sloka dikatakan:
Sahayajnah prajah strishtva
puro vácha prajapatih
anena prasavishya dhvam
esha va stv ishta kamadhuk (Bh. G. III.10)
Dahulu kala Hyang Widhi (Prajapati), menciptakan manusia dengan jalan yadnya, dan
bersabda: "dengan ini (yadnya) engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan
(kamadhuk) sesuai dengan keinginanmu".
Sloka tersebut diatas mengisyaratkan kepada kita bahwa Tuhanpun selalu melakukan
yadnya di dalam menciptakan alam semesta, sebab bila Beliau berhenti beryadnya maka
duniapun akan hancur atau Pralaya. Sehingga sudah seharusnyalah kita sebagai makhluk
ciptaan Tuhan, patut bersyukur atas hal tersebut dengan jalan melaksanakan Yandya.

1.2 Rumusan Masalah


Beberapa masalah yang akan diungkapkan sesuai dengan judul makalah ini antara lain :
1. Apa pengertian dari yadnya ?
2. Apa pengertian bhuta kala dan maksud dari bhuta yadnya ?
3. Apa saja tingkatan upakara bhuta yadnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN YADNYA
Kata Yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar kata “yaj”yang artinya
memuja, mempersembahkan, atau korban. Kemudian penulisandi indonesiakan dari Yajna
menjadi Yadnya. Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan Yadnya artinya suatu perbuatan
yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan
kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang
dilakukan dengan mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan dukungan
sikap dan mental yang suci juga.

TUJUAN YADNYA
Bila direnungkan tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu untuk membalas
Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika menciptakan alam
semesta beserta isinya. Hal tersebut dapat kita lihat dari sloka dibawah ini: “sahayajnah
prajah srishtva, paro vacha pajapatih, Anema prasavish dhvam, esha yostvisha kamaduk”
Artinya: Pada zaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia
dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi
kamanduk (memenuhi) dari keinginanmu. Dari sloka di atas dapat kita lihat secara jelas,
bahwa kita melaksanakan Yadnya atas dasar Tuhan mengawali menciptakan dunia besrta
isinya berdasarkan Yadnuhan itu diteruskan agar kehidupan di dunia ini berlanjut terus
dengan saling beryadnya. Bukankah akibat dari Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan
Rnam (hutang). Kemudian agar tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus
dibayar dengan Yadnya (Tri Rna). Tri Rna ini dalam kehidupan sehari-hari dapat dibayar
dengan pelaksanakan Panca Yadnya. Dimana Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya
dan dibayar dengan Bhuta Yadnya, kemudian Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya, dan
yang terakhir yaitu Pitra Rna dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya. Memang
konsep Agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan
terwujudnya keseimbangan berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan
oleh setiap orang didunia ini. Untuk terwujudnya keseimbangan tersebut dalam Umat
Hindu diajarkan Tri Hita Karana yaitu tiga factor yang menyebabkan terwujudnya suatu
kebahagiaan. Berkaitan dengan itu, dalam Bhagawadgita III.2 menyebutkan: “ishtan
bhogan hivodeva, donsyante yajna bhavitah, tair dattan apradayabho, yobhunkte stena eca
sah” Artinya: Dipelihara oleh Yadnya Para Dewa, akan memberikan kamu kesenangan
yang kamu inginkan. Ia yang menikmati pemberian ini, tanpa memberikan balasan
kepadanya adalah pencuri. Selanjutnya seloka Bhagawadgita III.13 menyebutkan:
“yajna sisyah sinah santo, nucyanta sarwa kilbisaih, bhujate tuagham papa, ye pacauty
atmakatanat”
Artinya: Orang yang baik, maka apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari
segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan kepentingan
sendiri, mereka itu adalah makan dosanya sendiri. Jadi dengan petikan sloka di atas dapat
ditegaskan bahwa Yadnya itu bertujuan untuk melangsungkan kehidupan yang
berkesinambungan yaitu dengan cara: · Membayar Rna (hutang) untuk mencapai
kesempurnaan hidup. Melebur dosa untuk mencapai kebebasan yang sempurna.
FUNGSI DAN MAKNA YADNYA
Jika kita lihat dari tujuan pelaksanaan Yadnya yang dijelaskan diatas maka secara
umum fungsi daripada Yadnya adalah sebagai sarana untuk mengembangkan serta
memelihara kehidupan agar terwujud kehidupan yang sejahtra dan bahagia atau kelepasan
yakni menyatu dengan Sang Pencipta. Berdasarkan uraian diatas dapat dijabarkan fungsi
dari pelaksanaan Yadnya, yaitu sebagai berikut:
1. Sarana untuk mengamalkan Weda
Yadnya adalah sarana untuk mengamalkan Weda yang dilukiskan dalam bentuk
symbol-simbol atau niyasa. Yang kemudian symbol tersebut menjadi realisasi dari
ajaran Agama Hindu.
2. Sarana untuk meningkatkan kualitas diri
Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana. Demikian pula setiap
kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas jiwatman sehingga tujuan tertinggi
yaitu bersatunya atman dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat tercapai.
Dalam upaya meningkatkan kualitas diri, umat Hindu selalu diajarkan untuk buatan
baik. Perbuatan baik yang paling utama adalah melalui Yadnya. Dengan demikian
setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas
jiwatman.
3. Sebagai sarana penyucian
Dengan sebuah Yadnya sesuatu hal bisa disucikan seperti diadakannya Dewa Yadnya,
Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya yaitu pada bagian-
bagian tertentu mengandung makna dan tujuan untuk penyucian atau pembersihan.
4. Sarana untuk terhubung Kepada Ida Sang Hyang Widhi Yadnya
merupakan sarana yang dapat
digunakan untuk mengadakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya, seperti yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
5. Sarana untuk mengungkapkan rasa terima kasih
Dengan sebuah yadnya seseorang mampu mengungkapkan rasa syukur dan ucapan
terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sesame manusia, maupun kepada
alam, seperti yang sudah biasa dilakukan dalam penerapan Panca Yadnya.

2.2 PENGERTIAN BHUTA KALA DAN MAKNA BHUTA YADNYA


Selama ini persepsi yang mungkin berkembang dimasyarakat mengenai Bhuta kala
adalah sesosok mahluk yang mempunyai wajah yang menyeramkan dengan perilaku
layaknya raksasa. Selain itu ada anggapan bahwa yadnya yang dibuat adalah sebagai
suguhan kepada Bhuta kala untuk disantapnya. Gambaran masyarakat terhadap Bhuta Kala
tidaklah berlebihan tetapi pandangan tersebut masih keliru. Dengan adanya kekeliruan
persepsi masyarakat terhadap pengertian Bhuta Kala, maka disini kami akan mencoba
untuk menguraikan Pengertian Bhuta Kala dan Makna Bhuta Yadnya. Karena sebagai
umat yang memiliki pola pikir yang modern, tentunya kita tidak boleh begitu saja
menerima mitos yang ada.
A) PENGERTIAN BHUTA KALA
Kata Bhuta berasal dari suku “BHU” yang berarti menjadi, ada, gelap, berbentuk,
mahluk. Kemudian kata BHU” berkembang menjadi “BHUTA” yang artinya adalah telah
dijadikan ataupun diwujudkan. Sedangkan untuk kata “KALA”, berarti energi, waktu.
Sehingga kata BHUTA KALA artinya adalah energy yang timbul dan mengakibatkan
kegelapan. Selanjutnya pengertian menurut filsafat agama bahwasanya Bhuta
Kala merupakan suatu kekuatan yang timbul sebagai akibat terjadinya suatu kekuatan di
alam semesta beserta dengan isinya sehingga menimbulkan ethos kerja. Kekuatan yang
dimaksud dapat mengakibatkan terjadinya keharmonisan antara Bhuana Agung dengan
Bhuana Alit dan juga sebaliknya dapat mengakibatkan terjadinya ketidak harmonisan
antara bhuana agung dengan bhuana alit. Lebih lanjut mengenai Bhuta dijelaskan dalam
“Tutur Andhabhuwana” yang mengungkapkan bahwa Panca Maha Bhuta telah
bersemayam (Nirwikara) kesetiap mahluk terutamanya pada manusia, sehingga isi alam
dengan alamnya selalu berhubungan, saling ketergantungan dan merupakan satu ekosistem
sesuai dengan ajaran “Tri Hita Karana”. Sementara itu di dalam lontar “Tutur Kandapat”
yang telah dikenal oleh masyarakat bali pada khususnya, isinya sangat sesuai dengan
Lontar Tutur Andhabhuwana. Dimana dalam lontar “Tutur Kandapat” menjelaskan
tentang hubungan Panca maha Bhuta di alam semesta (Bhuana Agung) dengan Panca
Maha bhuta yang bersemayam di dalam badan manusia (Bhuana alit). Adanya hubungan
yang erat antara kedua alam ini perlu dijaga keharmonisannya. Berikut ini petikan
terjemahan isi dari Tutur Kandapat:
“ini tutur kanda empat namanya, berinfiltrasinya Panca maha bhuta kea lam semesta dan
berada pada kelima belahan bumi, pada belahan timur berada dalam kekuatan akasa yang
disebut bhuta putih. Berinfiltrasinya Panca maha bhuta ke dalam tubuh manusia terjadi
pada saat si Ibu sedang ngidam pada saat itu kekuatan Panca mahabhuta masuk ke dalam
kandungan. Kekuatan akasa pada manusia membentuk semua macam urat urat dan
bersemayam ke dalam jantung bernama sang bhuta anggapati. Unsure tejanya dialam
semesta, berada pada belahan selatan dari bumi letak titik hypocentrumnya yang disebut
Bhuta Abang, kalau didalam diri manusia membentuk otot (daging) dan bersemayam
didalam hati, bernama sang bhuta merajapati. Unsure apahnya di alam semesta, berada
pada belahan Barat dari bumi letak titik hypocentrumnya yang disebut Bhuta kuning, kalau
didalam diri manusia membentuk sumsum dan bersemayam ke dalam ginjal, bernama sang
Bhuta banaspati. Unsure bayunya dialam semesta, berada pada belahan utara dari bumi
letak titik hypocentrumnya yang disebut Bhuta Ireng, kalau didalam diri manusia
membentuk tulang belulang dan bersemayam kedalam empedu (nyali) bernama sang bhuta
Banaspati raja. Kemudian unsure pertiwinya dialam semesta, berada pada titik
hypocentrumnya bumi (di tengah- tengah) disebut Bhuta Brumbun, kalau didalam diri
manusia membentuk semua kulit dan bersemayam didalam pangkal ati bernama sang bhuta
anggasakti. Itulah yang harus diketahui, karena alam semesta dengan manusia adalah
dalam pengerian tunggal, hanya nama dan penyebutannya saja berbeda. Lakukanlah
yadnya, karena kekuatan itu bisa menggoda dan menolong kehidupan manusia, sehingga
bisa mengakibatkan kesedihan dan kebahagiaan” (kutipan terjemahan kandapat dalam
Makna Upacara Bhuta Yadnya,2001:25-26) Melihat dari petikan terjemahan isi Tutur
Kandapat diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap pelaksanaan yadnya memiliki fungsi
Rwa bhineda yaitu memiliki sasaran terhadap Bhuana agung dan Bhuana alit, sehingga
diharapkan akan tercipta suatu kondisi yang harmonis antara bhuana agung dan bhuana alit
dan dapat tercapainya Moksrtham jagadhita ya ca iti darmah.
B) MAKNA UPACARA BHUTA YADNYA
Kalau ditinjau dari fungsinya, Fungsi upacara Bhuta Yadnya adalah sebagai sarana
untuk menetralisir (nyomya) semua kekuatan-kekuatan yang bersifat Asuri Sampad (sifat
keburukan) yang telah bersemayam ke dalam bhuwana agung (makrokosmos) dan
Bhuwana alit (mikrokosmos), sehingga dapat mencapai bhuta hita agar keseimbangan,
keselarasan dan keserasian antara bhuwana agung dan bhuwana alit dapat dipertahankan
secara berkesinambungan. Kalau dilihat dari segi makna pelaksanaan upacara Bhuta
yadnya,
maka Makna Upacara Bhuta Yadnya adalah sebagai berikut:
1. Bermakna sebagai pengeruat (penyupatan)
2. Bemakna sebagai kesejahteraan
3. Bermakna sebagai peleburan dosa
4. Bermakna sebagai korban suci (yadnya)
2.3 MAKNA DARI SEGEHAN, CARU, TAWUR
Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang
berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya
dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan
yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari
Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta,
Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai
sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten
yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang suguhan seperti: banten soda
atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi
sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita
adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan,
Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau
pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan
simbol atman. Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu
bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat
Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk
diketahui lebih-lebih untuk dipahami.Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi
dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud
Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten
yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang
berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina Tapakan (Linggih),
Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru
dan sebagainya. Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut
merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat
manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya
berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung anguriping
sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu ipergunakanlah seluruh isi
alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini
adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.** Mecaru
(upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut
sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir
kekuatan alam semesta ) Panca Maha huta. Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya
terbagi dalam: Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa
yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat dll) Madya ~ selain
dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga,
juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga
memerlukan caru jenis madya Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat
Hindu Bangsa)Indonesia Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai
pelengkap panca sata, urutan penempatan caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:
ayam putih timur ayam erah/biing selatan ayam putih siungan barat ayam hitam/selem
utara ayam brumbun tengah Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban
(binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’.
Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru adalah korban (binatang) untuk memohon
keseimbangan dan keharmonisan. ‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah
terwujudnya ‘Trihita Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia
dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta
(palemahan). Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu
terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-
gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan,
atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan, patut diadakan
pecaruan.Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ? Binatang terutama adalah
binatang peliharaan/ kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia
yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang
peliharaan. Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan,
caru, maupun tawur:

Segehan
Segehan ini adalah persembahan sehari- hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara
/ Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah /
sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke
perempatan jalan. Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal. Yang umum
segehan: putih dan kuning. Dalam Lontar Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban
dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni:
ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan
pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni
unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga
menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan
saja, sehinggamemiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan
piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.

Caru
Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam lontar Carcaning Caru
tersebut mulai digolongkan sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau
penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan engan proses
pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini
10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan
manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru
sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai
dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih
digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar.
Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta). Adapun
tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun untuk eka dasa rudra), dan
1000 tahun untuk marebu bumi. Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik
sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan
oleh turan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna
sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa bhuta yadnya merupakan sebuah upacara korban suci yang dilaksanakan dengan
ketulusan hati, sebagai ungkapan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Whidi Wasa serta
memohon agar senantiasa melimpahkan dan memberikan keharmonisan di dunia antara
manusia engan alam semesta.

3.2 Saran
Manusia yang beragama Hindu diwajibkan melaksanakan bhuta yadnya agar tercipta
hubungan yang harmonis dengan mahluk lain.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suarjaya, Dr. I Wayan, dkk. 2008. Panca Yadnya. Widya Dharma ; Denpasar
2. Suparta, I Nyoman Suda, dkk. 2002. Agama Hindu. Ganeca Exact : Jakarta
3. Pujda, I Gede. 1999. Manava Dharmasastra. Paramita : Surabaya
4. http/www.wikipedia.co.id.Panca yadnya.

Anda mungkin juga menyukai