Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH DAN TAHAPAN-TAHAPAN

PELAKSANAAN HARI RAYA NYEPI

Oleh :
140030366
I WAYAN AGUS LEOPI

SISTEM INFORMASI
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN DAN INFORMATIKA
STIKOM BALI
2016

Hari Raya Nyepi selalu dirayakan setiap satu tahun sekali oleh umat Hindu.
Semua umat Hindu selalu merayakan hari raya Nyepi dengan khusuk dan penuh
ketenangan. Hari Raya Nyepi dilakukan dalam rangka menyambut Tahun Baru
Caka. Hari Raya Nyepi jatuh pada hari pertama Sasih Kedasa (Kalender Bali) atau
sekitar bulan Maret dan April. Disamping itu, hal penting yang harus kita ketahui
ialah tentang sejarah dan tahapan-tahapan pelaksanaan Hari Raya Nyepi, berikut
penjabarannya.
A. Sejarah Hari Raya Nyepi
Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu.
Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine
origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang.
Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas
obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat
adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang
bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui
setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang
demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam
membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah
dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya.
Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda,
Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human
origin).
Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha.
Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan
periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas
dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca
Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista
Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan
ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal

dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta


mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.
Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient

Calenders

and

Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran


kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum
masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari
sistem astronomi Hindu tersebut di atas.
Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang
menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun
Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan.
Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana,
Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta
menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan
dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan,
dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi
perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu
cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar
memasyarakat.
Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi
memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini
terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi
haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk
menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan
untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan
mengambil

puncak-puncak

kebudayaan

tiap-tiap

suku

menjadi

kebudayaan kerajaan (negara).


Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan
suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender
kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India
untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi
Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin
berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.

Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di


Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di
Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji
Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.
Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia.
Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi
kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra
(Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun
Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta
Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan
itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.
Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam
Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII,
LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan
dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan
Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih
Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan
April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis
dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur
Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada
tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi,
dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma
Santi.

B. Tahapan-tahapan pelaksanaan Hari Raya Nyepi


1. Melasti
Melasti adalah Bahasa Kawi berasal dari kata mala yang berarti
kotoran dan asti yang berarti abu/ lebur dengan demikian melasti artinya
melebur kotoran. Kegiatan melasti juga disebut melelasti, melis, mesucian,
mekiyis.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala disebutkan:
Anganyutaken laraning jagat, paklesa letuhing bhuana

Artinya :
Untuk melenyapkan penderitaan masyarakat (kotoran Bhuana Alit)
dan kekotoran dunia (kotoran Bhuana Agung).
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
Amet sarining amerta kamandalu ri telenging samudra
Artinya :
Untuk memperoleh air suci kehidupan (Sarining Bhuana) di tengahtengah laut.
Jadi melasti bertujuan untuk: melenyapkan kekotoran dunia dan
melenyapkan penderitaan manusia yang menumpuk di tahun yang lalu
(misalnya Isaka 1921), serta memohon tirta amerta kamandalu, yaitu air suci
kehidupan untuk tahun yang akan datang (misalnya Isaka 1922).
Pelaksanaannya dengan mengusung pretima-pretima (niyasa Ida Bethara) ke
laut.
Di tepi laut upacara dilaksanakan dengan menghaturkan banten suci
ke hadapan Sanghyang Baruna, serta mohon tirta penglukatan/ pebersihan ke
hadapan Gangga Dewi untuk pretima, prelingga, jempana, bangunan suci,
alat-alat upacara, serta anggota masyarakat.
Upacara melasti ini dilaksanakan dua hari sebelum Nyepi (Sipeng)
2. Nyejer di pura
Sekembalinya dari melasti, pretima (niyasa Ida Bethara) di-stanakan
di Pura. Di sini warga masyarakat mendapat kesempatan ngaturang ayaban
serta mohon dianugerahi kesucian dan ketenteraman batin dalam menyambut
Hari Raya Nyepi.
3. Pecaruan tawur kesanga
Dilaksanakan oleh Tri Sadaka di perapatan agung. Hari itu tepat Tilem
Chaitra (Kesanga).
Tujuan pecaruan adalah untuk membina hubungan yang harmonis
antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam (Trihitakarana = tiga sebab yang menjadi
baik).
Caru yang digunakan:

Di tingkat Propinsi: Tawur Agung

Di tingkat Kabupaten: Panca Kelud

Di tingkat Kecamatan: Panca Sanak

Di tingkat Desa: Panca Sata

Di tingkat Banjar: Eka Sata

Di rumah masing-masing warga:


o

Di Pamerajan menghaturkan kepada Ida Bethara


peras, ajuman, daksina, ketipat kelanan, canang
lenga wangi, burat wangi, bija beras kuning

Di natar Pamerajan menghaturkan kepada Sang


Bhuta Kala segehan nasi cacah 108 tanding, ulam
jejeroan mentah, segehan agung, tetabuhan arak/
berem/ tuak/ toya anyar

Di pintu masuk halaman rumah nanceb sanggah


cucuk dengan banten daksina, jauman, peras,
dandanan tumpeng ketan, sesayut, panyeneng,
janganan

Di bawah sanggah cucuk segehan agung, segehan


manca warna 9 tanding, olahan ayam brunbun,
tetabuhan arak/ berem/ tuak/ arak/ air.

Setelah itu semua keluarga natab beakala, prayascita, sesayut lara


melaradan, lalu melaksanakan pangerupukan.
Acara terakhir adalah ngelinggihang pretima Ida Bethara kembali ke
palinggih semula (nyineb).
4. Sipeng
Melaksanakan Catur Brata Penyepian: Amati Gni, Amati Karya,
Amati Lalanguan, Amati Lelungaan.
1. Amati Gni, artinya tidak menyalakan api secara skala, dan api
secara niskala, yaitu marah, nafsu sex dan pikiran kotor lainnya.
2. Amati Karya, artinya tidak melaksanakan kerja fisik agar dapat
melaksanakan tapa, berata, yoga, samadi.
3. Amati Lalanguan (langu=indah, asyik, mempesona), artinya tidak
menikmati keindahan atau sesuatu yang mengasyikkan seperti

nonton TV, mendengar lagu-lagu, main judi, ceki, main catur,


bergurau sambil tertawa, dll.
4. Amati Lelungaan, artinya tidak bepergian keluar rumah karena
melaksanakan tapa, berata, yoga, samadi.
5. Ngembak Gni
Keesokan harinya sejak jam 06.00 melepaskan Brata Penyepian, dan
melaksanakan Dharma Shanti
6. Bethara turun kabeh
Jatuh pada Purnama Kadasa, yaitu 14 hari setelah Sipeng. Pada hari
ini Ida Sanghyang Widhi Wasa turun di Besakih diiringi oleh segenap
manifestasi Beliau sebagai Dewa-Dewi.
Ida Sanghyang Widhi Wasa turun ke Besakih karena Bhuana Agung
dan Bhuana Alit sudah bersih lalu memberkati umat manusia untuk
menikmati kehidupan yang lebih baik di tahun yang akan datang.
Di saat ini warga Hindu berduyun-duyun datang ke Besakih
menghaturkan sembah bakti serta mohon panugerahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. https://balipedia.id/sejarah-nyepi
2. http://stitidharma.org/nyepi-urutan-upacara-dan-filosofinya
3. http://www.docfoc.com/sejarah-dan-makna-hari-raya-nyepi

Anda mungkin juga menyukai