Anda di halaman 1dari 11

Sad Dharma Sebagai Metode Pembinaan Umat

Metode pembinaan umat dan metode pendididkan agama adalah suatu metode atau cara yang
ditempuh untuk menanamkan nilai-nilai agama hindu ke dalam lubuk hati sanubari umat,
sehingga nilai agama benar-benar merupakan bagian yang integral dalam diri pribadi setiap umat
Hindu.
Apabila agama telah menjadi bagian yang integral dalam pribadi setiap umat Hindu, maka agama
akan kelihatan dalam segala tingkah laku umat Hindu baik secara individu maupun secara
bersama-sama. Tingkah laku yang selalu mencerminkan nilai-nilai luhur agama akan dapat
mewujudkan tujuan hidup mencapai kebahagiaan hidup jasmani dan rohani.
Memahami agama dimulai dengan adanya keyakinan. Dengan adanya keyakinan tentang adanya
Ida Sang Hyang Widhi maka kita dapat membuktikan kebenaran agama. Keyakinan ini diperoleh
dengan cara mempelajari ajaran agama, menyelami isinya dan diamalkan dalam bertindak,
berbicara, ataupun berpikir. Dalam kitab Sarasamuccaya mengatakan bahwa agama baru berguna
bila dipelajari dan diamalkan, maka kidung tantri mengilustrasikan sebagai berikut :
Kadi angganing padyut tinukuping dyun, tan kawedar juga padangnya
Terjemahan:
Bagaikan pelita yang ditutup dengan tempayan, tak akan memancarlah sinarnya sehingga tak
dapat menunjukkan terangnya .(Tim penyusun, 1999 : 7)
Tentang metode pedidikan agama dam metode pembinaan umat Hindu kiranya dapat
mempergunakan metode yang telah ditetapkan dalam buku pedoman Pembinaan Umat Hindu
yang telah dapat rekomendasi atau pengesahan pada Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma
Indonesia yang berlangsung pada tanggan 4-7 Februari 1988. Metode tersebut dikenal sebagai
metode Sad Dharma. Sad dharma antara lain :

Dharma wacana
Dharma Wacana adalah metode penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap
kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan
semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada. Terminologi Upanisada atau upanisad mengandung
arti dan sifatnya yang "Rahasyapadesa" dan merupakan bagian dari kitab Sruthi. Pada masa lalu
ajaran upanisad sering dihubungkan dengan "Pawisik" yakni ajaran rahasia yang diberikan oleh
seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah yang sangat terbatas.
Pendharma wacana disebut Dharma pracaraka. Dharma pracaraka memiliki tugas meyebarkan
ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci weda. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa
persembahan ilmu pengetahuan lebih tinggi nilainya dari pada persembahan materi. Dalam sloka
Bhagawad Gita IV. 33 disebutkan sebagai berikut :
Sreyan dravyamayad yajna
Jnanayajnah paramtapa
Sarvan karma khilam partha
Jnane parisamapyate

Terjemahan:

Persembahan korban berupa pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang
berupa apapun juga. O Arjuna, sebab segala pekerjaan dengan tak terkecualinya memuncak di
dalam kebijaksanaan (Mantra, 2006 : 76)

Dharma wacana, artinya berbicara mengenai ajaran agama atau dharma. Yang dimaksudkan
metode Dharma Wacana ini adalah ceramah-ceramah agama yang bertujuan untuk memperluas
wawasan dan memperdalam penghayatan nilai spiritual agama Hindu itu sendiri. Dharmawacana
ini hendaknya benar-benar murni menjelaskan ajaran agama yang jelas sumbernya. Yang paling
utama dan harus jelas adalah sumbernya dari kitab suci Weda. Setelah itu barulah dapat diambil
sumber-sumber selanjutnya yang juga merupakan sumber dari penjabaran Weda. Pandangan
masyarakat pelaksana Vedayang sudah mentradisi dapat juga disebut Vedaterapan (Acara
Dharma) sedangkan sumber yang langsung berasal dari Vedayang masih murni disebut Satya
Dharma (Pure Vedic). Pandangan individual sebagai pengamal Veda(Agama hindu) disebut
Atmanastuti (Wiana, 2009 : 73)
Materi Dharma Wacana yang dapat disampaikan pada setiap kesempatan yang ada, pada
dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam
hal ini dapat diklasifikasikan kedalam Sruthi, Smerthi, Purana, Itihasa dan Sang Sistha.
Penyampaian materi disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan
bersama hari purnama dan tilem, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan arisan dan sejenisnya
dengan mengungkap beberapa sloka/ayat kitab suci yang relevan dengan thema dan jenis
kegiatan itu.
Dharma Wacana sangat baik apabila disampaikan melalui ungkapan bahasa yang mudah
dimengerti, dihayati dan diresapkan oleh hadirin. mampu memukau dan dihindari penggunaan
istilah-istilah asing, kecuali belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa
yang dipergunkan dalam Dharma Wacana disamping bahasa Indonesia dapat juga dipakai bahasa
daerah setempat.

Dharma Tula
Dharma tula adalah metode pendalaman agama melalui diskusi agama untuk mendapatkan
kesamaan persepsi dalam meningkatkan penghayatan pada nilai-nilai yang dianut. Kata Tula
berasal dari bahasa Sansekerta artinya perimbangan, keserupaan, dan bertimbang. Secara harpiah
dharma tula dapat diartikan dengan bertimbang, berdiskusi atau berembug atau temu wicara
tentang ajaran agama Hindu dan Dharma. Secara tradisional dharma tula itu dilaksanakan
berkaitan dengan dharma gita. Biasanya untuk memperoleh pemahaman atau pengertian yang
lebih jelas dari bagian-bagian Dharma gita yang mengandung ajaran falsafah. Biasanya seluruh
peserta aktif berperan serta memberikan ulasan atau membahas apa yang menjadi subyek
pembicaraan. Dalam pelaksanaan lebih jauh, dharmatula diharapkan tidak hanya menyertai
Dharma gita melainkan pula diadakan secara mandiri melibatkan semua potensi terutama
generasi muda, menampilkan topik tertentu untuk kemudian dibahas bersama atau dalam
kelompok yang ada.
Dharma tula dimaksudkan sebagai metoda pendalaman ajaran-ajaran agama Hindu melalui
peningkatan peran serta yang aktif dari semua peserta. Kegiatan dharma tula sesuai dengan
tingkat umur remaja dan dewasa. Oleh karena itu melalui metode ini setiap peserta akan
memperoleh kesempatan mengemukankan pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat dari
orang lain yang akan menambah pengetahuannya dibidang agama Hindu dengan dilandasi sikap
tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan. Cara serupa ini sangat cocok untuk pendidikan orang
dewasa yang dikenal dengan sistem "andragogi". Tujuan lebih jauh adalah dharma tula itu
diharapkan tumbuh dan berkembang persepsi baru tentang ajaran agama Hindu yang dikaitkan
dengan situasi dan kondisi, sehingga agama akan selalu dapat berperan dikehidupan manusia
disepanjang jaman.
Materi dharmatula akan sangat baik apabila dapat diambil diketengahkan dari jenis materi yang
sesuai dengan tingkat pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang akan
membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat diketengahkan materi ajaran agama
Hindu yang berkaitan dengan kehidupan dan permasalahan remaja (kepemudaan). Dengan
demikian metoda dharmatula akan dharapkan mencapai titik kulminasi/sasaran.
Bahasa pengantar yang dipergunakan perlu disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan
pengetahuan serta pemahaman penanya. Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan
dengan kegiatan menyambut/merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati, Galungan,
Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu banyak menyita waktu dapat
dilaksanakan setelah selesainya persembahyangan bersama atau pada hari-hari libur yang khusus
dimanfaatkan untuk itu.
Tujuan utama dari dharmatula adalah untuk mendapat pertimbangan dan pandangan yang
sedalam dalamnya dan seluas-luasnya melalui mendengarkan pandangan-pandangan peserta
dharmatula. Dharmatula tiddaklah mengutamakan ketahanaan adu argumentasi dan adu
kepintaran berbicara. Bukan pembicara-pembicara yang pintar yang dicari, tetapi yang dijadikan
sasaran adalah orang-orang yang siap sebagai pelalsana-pelaksana dari apa yang dibicarakan.
Pedoman bebicara di dalam dharmatula ada tiga yaitu:
a. Sastra Wada
Sastra maksudnya adalah hukum-hukum atau ajaran-ajaran agama yang bersumber dari kitab
suci yang telah tertulis. Wada artinya berbicara. Sastra wada artinya berbicara dalam dharma tula
hendaknya berpegang teguh pada kitab-kitab suci yang tertulis seperti Catur Weda,
Dharmasastra, Bhagawad Gita, Sarasamuscaya dan kitab lainnya.
b. Budhi Wada
Yang dimaksud Budhi wada adalah peserta dharma tula harus bebicara berdasarkan kesadaran
budhi yang tinggi. Tidak boleh didominasi oleh emosi atau rasio saja. Berbicara dengan perasan
yang halus, rasionalitas yang tinggi dengan keyakinan budhi yang mendalam. Dengan kata lain
pembicaraan harus didorong oleh daya nalar yang tinggi. Kata-kata yang kasar, yang
menghardik, yang menyindir, menyinggung perasaan, merusak nama baik seseorang, berbohong,
semuanya itu tidak dibenarkan dalam dharma tula.

c. Prema wada
Prema wada artinya setiap peserta yang ikut berbicara dalam dharmatula itu tidaka ada yang
saling membenci. Dharma tula harus diselenggarakan dengan kasih sayang (prema). Kasih inilah
merupakan dasar berbicara bagi setiap peserta dharma tula. Dharma tula dapat dilakukan melalui
pembahasan umum dari ajaran agama Hindu yang ingin dialami. Suasana kasih sayang itulah
yang dipakai dasar untuk mengadakan dharma tula tersebut (Wiana. 2009 : 74)

Dharma yatra
Dharma Yatra mempunyai pengertian yang hampir sama dengan Tirta Yatra yakni usaha untuk
meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Agama Hindu melalui kunjungan untuk
persembahyangan ketempat-tempat suci, patirtan baik yang bertempat di pegunungan atau di tepi
pantai.
Dharma yatra atau tirta yatra sebagai perjalanan suci menurut kitab Sarasamuccaya dikatakan
lebih utama daripada beryajna. Keutamaan tirta yatra itu dapat dilakukan oleh umat yang paling
miskin sekalipun. Sarasamuccaya samapai menyebutkan demikian karena modal dharma yatra
hanyalah niat yang suci dan tulus ikhlas.
Untuk meningkatkan kesucian pribadi serta keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Hyang
Widhi Wasa, melihat/ memperluas cakrawala memandang keagungan-Nya, mengagumi alam
semesta dan ciptaannya sehingga semakin teguh untuk mengamalkan ajaran dharma. Dharma
Yatra sangat baik dilakukan pada hari-hari raya keagamaan atau upacara-upacara
persembahyangan pada pura atau tempat suci. Dapat juga dilaksanakan pada hari-hari libur
sekolah sambil melaksanakan persembahyangan dan praktik yoga semadi.

Dharma Santhi
Dharma Shanti adalah suatu ajaran untuk mewujudkan perdamaian diantara sesama umat
manusia. Acara dharma shanti ini dapat dilaksanakan sesuai dengan keperluan situasi dan
relevansinya dengan kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
Kegiatan dharma shanti untuk saling maaf memaafkan dengan hati dan pikiran yang suci serta
ucapan yang tulus iklas. masing-masing pihak secara sadar dan dengan segala keterbukaan serta
kejernihan hati menghapuskan kekilafan dan kealpaan diantara sesama kita.
Dharma Shanti sebaiknya dilaksanakan dalam menyambut tahun baru Saka (hari Raya Nyepi)
pada bulan chaitra setiap setahun sekali, yang dilaksanakan baik di dalam tingkat kelompok kecil
(suka duka) maupun tingkat desa atau yang lebih besar lagi dengan melibatkan berbagai unsur
dilingkungannya. Secara perorangan hal ini dapat dilakukan pada setiap kesempatan dan
dimanapun berada.

Dharma Gita
Dharma gita bila ditinjau dari segi etimologinya berasal dari kata Dharma dan Gita. Dharma
berarti kebenaran dan Gita berarti nyanyian. Dharma gita artinya nyanyian keagamaan atau
kenyanyian kebenaran. Disebut nyanyian kebenaran karena Dharma gita mengajarkan ajaran
Weda.Dharma gita secara tradisional telah dilaksanakan di seluruh Indonesia. Kegiatan ini di
Bali disebut makidung, makakawin, magaguritan, atau mamutru. Bila lagu keagamaan ini
dirangkaikan dalam mengiringi suatu upacara seperti Dewa Yadnya, Dharma gita ini dapat
disebutkan sebagai Dharma gita Anjali atau Gitanjali. Disamping itu lagu-lagu keagamaan ini
dikaitkan pula dengan kesenian tradisionil seperti halnya: Arja atau topeng di Bali. Dalam usaha
untuk mempelajari kitab-kitab suci seperti Weda, pembacaan-pembacaan Vedadapat
dinyanyikan. Dharma gita sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan
beragama sangat efektif. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin demikian rupa dalam
bentuk lagu/irama yang indah dan menawan, mempesona pembaca dan pendengarnya. Usaha
untuk melestarikan, mengembangkan Dharma gita bertujuan untuk tetap menjaga dan
memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan kepada keagamaan. Disamping itu
melalui Dharma gita diharapkan akan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian kekhidmatan
serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan.
Sumber materi untuk dharma gita diambil dari kitab-kitab suci Agama Hindu maupun sastra-
sastra keagamaan lainnya yang dirangkaikan dalam bentuk geguritan, kidung, kakawin, dan
mamutru. Untuk pengembangan lebih jauh perlu ditampilkan karya-karya baru yang bertemakan
ajaran agama Hindu. Pengembangan materi dalam kreasi baru ini perlu dilaksanakan dalam
rangka memperkaya dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Materi Dharma gita diambil langsung dari kitab suci serta sastra-sastra keagamaan umumnya
mempergunakan bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno. Untuk mencapai sasaran perlu
diberikan terjemahan yang mempergunakan bahasa yang mudah, seperti bahasa Indonesia atau
bahasa daerah setempat. Demikian pula kreasi-kreasi dharma gita yang baru tetap membawakan
pesan dan tema keagamaan, pemakaian bahasa daerah tidaklah merupakan hambatan bahkan
justru sangat diharapkan untuk menumbuhkan rasa ikut meiliki dan ikut bertanggung jawab.

Dharma sadhana
Dharma Sadhana artinya realisasi ajaran dharma dalam diri seseorang. Ini dapat dilaksanakan
melalui catur yoga marga yakni: Bhakti, Karma, Jnana dan Raja atau Yoga Marga secara
terpadu, bulat dan utuh, namun pemakaiannya sesuai dengan jalannya Catur Asrama.
a. Bhakti Marga atau upasana kanda adalah jalan bhakti yang pelaksanaannya diwujudkan dalam
bentuk upasana (pemujaan) dan persembahyangan.
b. Karma marga adalah jalan karma yang menitik beratkan pada perbuatan jasa atau amal
kebajikan, melakukan sesuatu dengan penuh ketulusaikhlasan atas dasar Dharma.
c. Jnana marga adalah jalan kebijaksanaan pengetahuan. Dalam konteks dharma sadhana
dilaksanakan dalam bentuk penimplementasian jnana.
d. Raja marga adalah jalan kebatinan dan kerohanian yang dilakukan dalam bentuk tapa
(pengekangan indriya dan tahan derita), brata (ketaatan berpantangan), yoga (menghubungkan
diri dengan Tuhan dan menghentikan gerak pikiran), Samadhi (merealisasikan kesadaran atman.
Dharma Sadhana berupa latihan-latihan rohani secara sistimatis dan praktis bertujuan untuk
membina mengembangkan dan memupuk kelhuran budi pekerti serta kesucian pribadi sehingga
kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara semakin mantap, kokoh dan ajeg, sebagai
warga negara yang berpancasila.
Materi Dharma Sadhana pada dasarnya berorientasi pada disiplin hidup pribadi seperti: Tapa,
Bratha, Yoga dan Semadhi. Untuk itu perlu disusun suatu pedoman yang sedemikian rupa dan
praktis serta dapat dilakukan oleh setiap umat menurut tingkatan umur, fungsi dan profesinya
masing-masing.
Sad Guna

Sad Guna adalah enam ciri-ciri orang yang telah berhasil melaksanakan ajaran agama dengan
baik yaitu :

1. Sandhi: mudah keluar dari kesulitan hidup.


2. Wigrha: berpengaruh di masyarakat.
3. Jana: perkataannya dituruti orang lain.
4. Sana: selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
5. Wisesa: bijaksana, cerdas, berwibawa dan mudah menaklukkan adharma.
6. Srya: mendapat simpati dan disenangi.

Pribadi-pribadi yang dalam keadaan sadguna demikian sebagaimana disebutkan kutipan dari
pengantar agama Hindu untuk Perguruan Tinggi dalam txt Babad Bali, Sad Guna ini akan
membiaskan fibrasi dharma pada kelompok masyarakat sekitarnya sehingga terwujudlah
masyarakat yang bercirikan:

 Satyam, yang taat beragama,


 Siwam, yang penuh kasih sayang
 Sundaram, masyarakat yang sejahtera.

Masyarakat yang seperti inilah yang ideal menurut dharma agama sebagaimana yang dimaksud
pada inti ajaran Weda, dimana moksartham jagadhita terwujud nyata yaitu kehidupan yang
damai, aman, dan sejahtera dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana yang dapat menyebabkan
kebaikan dan terlaksananya,

 Bhakti kepada Hyang Widhi (parhyangan),


 kasih sayang kepada sesama umat manusia (pawongan) dan
 pemeliharaan kelestarian alam semesta (palemahan)

***
Meditasi Pembakaran dengan aksara Ang Ah

Ne Bape nuturin Cening,sastrane dadwe.., ANG AH…,Panelasnire Ne Meuttama,sing ade


lewihan..,
Unduk ceninge idup,apang dadi cening lantang tuwuh,apang cening kapah sakit,yen cening
misadya mati,apang cening nemu swargan,nah ene Pelajahin Sastrane enu di idupe.. ( lontar
Tatwa Padmasana )
Meditasi Ang AH,… Sinekep Bape Akase Sinangge Ibu Pertiwi….
Dengan teknik mengolah getaran suci aksara ANG AH…,yang memberikan efek sangat
besar,untuk memelihara kesehatan,penyembuhan berbagai penyakit, ngeseng energy negative
(emosi berlebih,stress,kebiasaan buruk atau bahkan black mejik )… namun bukan mejik jar.. : )

Mantra A : ONG ANG SURYA GNI UJWALA YA NAMAH SWAHA


Mantra B : ONG AH CANDRA WINDU AMRETHA SARIRA SUDHA YA NAMAH
SWAHA.

Lakukan penyucian diri/ mehening hening,melukat kemudian hapalkan mantram diatas..


Petunjuk berlatih :
• Baca mantram gayatri 11 – 21 x untk memurnikan badan,hati & pikiran
• Kemudian berdoa,kepada Hyang Widhi agar diberikan kekuatan,tuntunan keberhasilan dalam
berlatih menggunakan kekuatan aksara diatas.
• Tempelkan tangan dipusar/nabhistana,dalam hati Bacalah Mantra A..,sambil membayangkan
api suci Brahma hidup ( Murub ikang gni ring nabhi )
• Kemudian niatkan segala jenis penyakit,energy negative badan pikiran,hati ( segala keluhan
buruk lainnya ),visualisasikan energy negative itu lemparlah kedalam api Brahma tadi ( 4 )
• Lakukan nomor 4 secara berulang ulang,sampai terasa jelas visualisasi semua energy negative
itu hangus terbakar..
• Setelah selesai ,kemudian tempatkan tangan dilutut,lalu bacalah mantra B dalam hati, berulang
ulang ,seperti meditasi ( manasika japha ),Visualisasikan/imajin
asikan Bulan yg sinarnya menyejukkan di atas ubun ubun ( siwadwara ),.. bayangkan dari Bulan
ini mengalir Air penyembuh yg menghanyutkan segala kotoran,badan,hati & pikiran,
• Lakukan rangkaian nomer 5 berulang ulang, apabila sudah dirasa cukup,akhiri dengan
Mengucap Syukur Kepada Hyang Widhi…, Ritual anda selesai
• Selamat mencoba…, Semoga semuanya hidup sehat, berbahagia,damai & sejahtera.
Pengringkes Dasa Aksara
1b. Om Awighnam astu namasidem.
Iwastu satawayanya, pangaringkes dasaksara, kawruhakna pasuk wetunya, yan sira wruha ring
kalingan iki, tlas papa naraka bapabunta, tekang sariranta, iki kamulaning panulak satru, mwang
sarwa wisesa, sami pada kasor denya, nanghing haywa wera ring wong lyan, apan dahating
utama aksara iki, samangkana palanya, patemuning tastra : Sa Ba Ta A I, dadi Ang,
magenah ring udel, pan tastraning tastra : Na Ma Si Wa Ya, dadi Ah, magenah ring siwa
dwara.

2a. Ang lawan Ah, masalin rupa, marupa Om-kara, matemu ring ati, raris kapukuhing lidahe
dadi ardacandra, windu, nada. Ardacandra ring gidat genahnya, windu ring gentil irung
genahnya, nada ring tungtunging irung genahnya. Wus samangkana mawak Siwa, Sadasiwa,
Paramasiwa. Tejanya aketi abara inget, telas.

Iti panulak sarwa baya mancana sarwa krura, sarwa galak, sarwa aeng, palanya mari ya
mamigrain. sa, sakarepta, wenang.

2b. Ma : Om pretiwam apah teja bayu akasa, nga, haeng haeng tan mandi, mari sang sedahan,
Om hejoh hetpet. 3X, aku Sang Hyang Panca Maha Bhuta, terus ring luhur, kesaktianku
Sang Hyang Licin, sarwa satru pat swaha.
Iti mantra anggen mangraksa raganta, nanging mantrakna sari-sari, ring kalaning wengi, yan
hana wong paksa angleyakin, mwang anesti, anerangjana, salwiring makarya hala ring raganta,
palanya balik ya agring meh katekan mati wong mangkana, yanya tan mati meh buduh ya
mwang

3a. agring, mangkana pwaranya, mantra iki nanging pingitakna mantra iki, apan dahating kawibaran
mantra iki, nga, Durgha Redana, ma : Om nama bagawati, warntadhaga, kala sehiri,
mahetpananyam, karetu sarwasam, satrunam bawantu, sidhirastu tatastu restu swaha,
telas.
Hyang Bagawati magenah ring madyaning lidah, I Kalika magenah ring tungtunging lidah,
regepakna, haywa wera ring wong len.

Nyan kaputusan Sang Hyang Prewatek Dewata Nawasangha, kawruhakna ring bwana alit, ring
sariranta, ndya ta unggwanya ring bwana sariranta --/

3b. Iti Sang Hyang Dasaksara, nga, sira angadakaken Sang Hyang Tastra saider bwana, mungguh
Sang Hyang Pranawa :
Sang kangin, magenah ring papusuh, Bang kelod magenah ring ati, Tang kauh magenah ring
babuahan, Ang kaja magenah ring nyali, Nang kelod kangin magenah ring peparu, Mang kelod
kauh magenah ring husus, Sing kaja kauh magenah ring limpa, Wang kaja kangin magenah ring
ineban, Ing Yang, magenah ring madya, magenahakna ring pegantunganing ati.

Iti Sang Hyang Om-kara, Sang Hyang Kapatyan, anggawe tastra asiya lwire -/
4a. Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya. Om, mwang anggawe tiga, ndya ta tastra tiga, lwire : Ang
Ung Mang. Mwang anggawe Sang Hyang Tastra Rwabhineda, lwire Ang Ah. Yan wus
samangkana denta angwruha, haywa wera, simpenakna denta apang jati, lwirnya : Sa mulih ring
Ba, Ba mulih ring Ta, Ta mulih ring A, A mulih ring I, I mulih ring Na, Na mulih ring Ma, Ma
mulih ring Si, Si mulih ring Wa, Wa mulih ring Ya, Ya mulih ring Sang Hyang Tastra
Pasupati Om-kara,

4b. Sang Hyang Tastra Pasupati Om-kara mulih ring Sang Hyang Tiga, A, U, MA, ring Sang Hyang
Tiga mulih ring Rwabhineda, Sang Hyang Rwabhineda mulih ring Ardacandra, ,
Ardacandra mulih ring windu, , Windu mulih ring nada, , telas, haywa wera, utama
dahat, aksara iki, apan gagelaran pati lawan urip, wenang gelarakna apang sing I papa klesa ring
sariranta, mwah wenang anggen pangalah satru wisesa, mangkana gni kunda rahasya utama, ya
ika mageng tan polah, mawisesa hana iti.

Anda mungkin juga menyukai