Anda di halaman 1dari 15

TUGAS BERSTRUKTUR DOSEN PENGAJAR

FIQH NURYADIN, M.Ag

AKAD NIKAH
DENGAN MEDIA TELEPON
DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

1. ABDUSSALIM : 1401250932

2. MUHAMMAD ALHADI : 1401250945

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN MATEMATIKA

BANJARMASIN

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam yang
telah memberikan kita petunjuk sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Baginda Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, serta para pengikutnya hingga akhir
zaman.

Dalam kesempatan ini kami ingin menjelaskan makalah yang kami beri
judul “AKAD NIKAH DENGAN MEDIA TELEPON”. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun pedoman bagi pembaca
dalam pembelajaran Fiqh

Kami menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak sekali
kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan
kritik agar ke depannya dapat menjadi lebih baik lagi. Kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat
hadir di hadapan para pembaca sekalian terutama kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada Bapak Nuryadin, M.Ag selaku Dosen pengajar mata
pembelajaran Fiqh, serta kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa.

Kami juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila di dalam makalah


ini banyak terjadi kesalahan-kesalahan baik yang disengaja maupun tidak
disengaja. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Banjarmasin, 25 Maret 2017

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

Hal
Kata Pengantar ........................................................................................ i
Daftar Isi.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad Nikah dalam Pernikahan .................. 2
B. Syarat-Syarat Nikah ..................................................... 3
C. Akad Nikah Melalui Telepon Menurut Islam ............... 4
D. Contoh Kasus Akad Nikah Via Telepon ...................... 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 11
B. Kritik dan Saran ............................................................ 11
Daftar Pustaka ......................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada pameo di tengah masyarakat bahwa hampir satu abad belakangan ini
bahwa ilmu fiqh itu kaku seolah-olah absolut sehingga jalan di tempat dan tidak
mampu merespon dunia nyata terhadap tuntutan dan perkembangan zaman.
Kalauoun pandangan tersebut dianggap kurang tepat, tetapi dalam kenyataannya
banyak persoalan kemanusiaan yang muncul belum mendapatkan solusi
memuaskan dari fuqaha’ lantaran masih suka bergulat dengan persoalan-persoalan
klasik di masa lalu. Ilmu fiqh seolah-olah tidak bergeming dari tempat tidurnya,
sementara perkembangan sains dan teknologi telah melesat jauh (Quantum) tanpa
mempertimbangkan aspek fiqh, konsekuensinya berdampak pada pola pikir dan
pola sikap masyarakat dalam menghadapi pertarungan ini. Rasionalitas menjadi ciri
utama masyarakat kontemporer yang sangat jauh berbeda dengan kondisi sosio-
kultural pada fuqaha’ pada saat merumuskan yurisprudensi sebagai produk kerja
keras (ijtihad) mereka. Muncul pertanyaan progresif, apakah produk pemikiran
fuqaha’ itu telah mampu menjawab berbagai persoalan kemanusiaan yang
bermunculan bak jamur di musim hujan di era global modern ini? Untuk menjawab
pertanyaan ini tentu tidak semudah kalau kita membalikkan tangan. Bagaimana
misalnya fiqh diajukan pertanyaan, bagaimana hukum terhadap akad nikah atau
cerai melalui media teknologi informasi komunikasi telepon-kabel atau seluler
sebagaimana kasus yang paling aktual di Malaysia, bahwa pemerintah menyatakan
keabsahan proses perceraian dengan media telepon, Atau jenis akad-akad lainnya.
Oleh karena itu kami membuat makalah ini agar kita semua tahu tentang fiqh
yang berkaitan tentang akad nikah melalui media telepon yang akan dijelaskan di
dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan akad nikah dalam pernikahan ?
2. Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat akad nikah ?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap akad nikah melalui telepon ?
4. Berikan contoh kasus pelaksanaan akad nikah via telepon ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Dalam Pernikahan


Sah tidaknya sebuah perkawinan tergantung dari akad atau ijab dan qabul
yang diikrarkan dengan masing-masing pihak yang melakukan akad harus
mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing.1
Pernyataan pertama untuk menunjukkan kemauan membentuk hubungan
suami istri dari pihak perempuan disebut ijab. Sedangkan pernyataan kedua yang
diucapkan oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatkan rasa
ridha dan setuju disebut kabul. Kedua pernyataan antara ijab dan kabul inilah yang
dinamakan akad dalam pernikahan.2
Akad nikah merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan
menurut Islam akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru
nikah.3
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijab kabul dalam akad nikah boleh
dilakukan dengan bahasa, kata-kata, atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat
umum dianggap sudah menyatakan terjadinya pernikahan.
Para ulama fiqih sependapat bahwa dalam kabul boleh digunakan kata-kata
dengan bahasa apapun, tidak terikat satu bahasa pun atau dengan kata-kata khusus
asalkan kata-kata itu mengandung pengertian yang menyatakan adanya rasa ridha
dan setuju. Misalnya, “Saya terima, saya setuju, saya laksanakan, dan
sebagainya.”4
Imam Syafi’i, Said Mussayab, dan Atha’ berpendapat bahwa ijab tidak sah,
kecuali dengan menggunakan kata-kata nikah ‫ ِن ِكاح‬atau tazwij ‫ ت َْز ِويْج‬atau pecahan
dari kedua kata tersebut. Karena kata-kata lain, seperti: milikkan, atau memberikan,
tidak jelas menunjukkan pengertian nikah. Menurut mereka mengucapkan

1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam.(Yogyakarta :2002). Hal 26
2
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munaqahat. (Bandung : 1999). Hal 73
3
Diakses di http://makalah-ibnu.blogspot.co.id/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.html, Banjar-
masin, Sabtu, 25 Maret 2017
4
Slamet Abidin, Aminuddin, Op.Cit Hal 73-74

2
pernyataan merupakan salah satu syarat pernikahan. Jadi, jika digunakan
umpamanya lafal memberi maka nikahnya tidak sah.5
Tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang
mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian
nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena
sesungguhnya wanita itu tidak bisa menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang
lain.

‫وال يصح عقد النكاح ايضا اال بحضور شاهدى عدل‬

Dan tidak sah juga akad nikah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.6

B. Syarat-Syarat Akad Nikah


Untuk terjadinya suatu akad yang mempunyai akibat hukum pada suami istri
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Kedua belah pihak sudah tamyiz
Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila, maka pernikahan
tidak sah.
b. Ijab kabul dilaksanakan dalam satu majelis
Artinya ketika mengucapkan ijab kabul tersebut tidak boleh diselingi
dengan kata-kata lain atau menurut kebiasaan setempat ada penyelingan yang
menghalangi peristiwa ijab kabul. Akan tetapi dalam ijab kabul tidak ada syarat
harus langsung. Bila majelis berjalan lama dan antara kedua ada tenggang waktu
tetapi tanpa menghalangi acara ijab kabul maka telah dianggap satu mjelis. Hal
ini sama pendapat dengan golongan Hanafi dan Hambali.
c. Ucapan kabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab,
Artinya maksud dan tujuannya adalah sama, kecuali kalau kabulnya
sendiri lebih baik dari pada ijabnya dan menunjukkan mernyataan persetujuan
yang lebih tegas.
d. Pihak-pihak yang mengadakan akad harus dapat mendengarkan pernyataan
masing-masing.

5
Ibid. Hal 75
6
http://makalah-ibnu.blogspot.co.id/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.html, Loc.It

3
Pernyataan kedua belah pihak tersebut harus dengan kalimat yang
maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah sekalipun kata-
katanya yang tidak dapat dipahami. Karena yang menjadi pertimbangan di sini
adalah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam
ijab dan kabul.7

C. Akad Nikah Melalui Telepon Menurut Islam


Menentukan sah / tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi / tidaknya
rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat
memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali
pengantin putri, dan ijab qabul.8
Para imam madzhab, antara lain Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Malik
menetapkan bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai
adalah keberadaan dua orang saksi (syahid) pada saat akad nikah berlangsung.
Meskipun para imam yang lainnya tidak sepakat tentang syarat seorang saksi ini.
Kualifikasi (syarat) lain yang mengikat adalah ijab qabul dan pihak-pihak terkait
(kedua calon mempelai, wali, dan saksi) harus dilaksanakan dalam satu majlis.
Artinya dilakukan dalam ruang, tempat, dan waktu yang bersamaan dan terlibat
secara langsung dalam proses ini.9
Terkait dengan persyaratan yang terakhir -satu majlis- muncul sebuah
pertanyaan apakah majlis itu juga disyaratkan hadir secara fisik, baik itu
menyangkut calon suami/istri, wali, dan saksi atau tidak. Misalnya dengan suara-
suaranya saja via telepon atau bahkan berupa tulisan dan gambar via Short Massage
System (SMS) atau yang sejenisnya, karena kondisi tertentu yang sangat darurat. 10
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat,
terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka
menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, ada pula yang membolehkannya.

7
Slamet Abidin, Aminuddin, Op.Cit. Hal 79-81
8
http://makalah-ibnu.blogspot.co.id/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.html, Loc it
9
Muhammad Yusuf, Kematian Medis (Mercy Killing), Isu-Isu Kontemporer dari Jenggot hingga
keperawanan. (Yogyakarta : 2009). Hal 192
10
Ibid. Hal 193

4
Satria Effendi M. Zein sebagai salah satu pakar yang membidangi masalah
hukum keluarga Islam di Indonesia ini dalam bukunya “Analisis Yurisprudensi
Mengenai Masalah Keluarga Islam Kontemporer Indonesia” memberikan analisis
yurisprudensi yang cukup mendalam mengenai perkawinan melalui media telepon
sebagaimana dikukuhkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989. Dalam pendapatnya, Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada
dua macam putusan yang dapat dipilih oleh majelis hakim mengenai masalah ini,
yaitu membolehkan sesuai dengan kecenderungan Madzhab Hanafi ataupun
melarang sesuai dengan kecenderungan Madzhab Syafi'i. Di sini Satria Effendi M.
Zein menyerahkan putusan yang diambil sesuai dengan dasar yang dipakai majelis
hakim, dan memberikan penekanan bahwa keduanya boleh dipakai selama belum
ada undang-undang yang secara jelas mengatur mengenai hal ini.11
a. Ulama’ yang tidak membolehkan akad nikah via telepon.
Urusan perkawinan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan
No. 1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati
aturan-aturan Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan, dan pewarisan
ini bersumber dari literatur-literatur fiqih Islam klasik dari berbagai madzhab yang
dirangkum dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua dasar
hukum mengenai perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan dapat
menjadi pijakan hukum bagi rakyat Indonesia yang akan melaksanakan
perkawinan.12
Di antara Ulama’ yang tidak membolehkan, yaitu Munawir Syadzali, M.A
Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan prof. dr.
Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA
tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya.
Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai
sakral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam
hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna
menurut hukum Islam.

11
Diakses di http://maesheducation.blogspot.co.id/2011/08/hukum-pernikahan-via-telephon.html,
Banjarmasin, Sabtu, 25 Maret 2017
12
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: 2001). Hal 102

5
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat,
artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia
yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami
istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak
diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan
cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan-aturan yang ketat.
Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Rukunnya adalah ijab dan qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan
dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan
transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu
calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau
wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk
menyaksikan akad pernikahan.13
Ketika seseorang menikah lewat telpon, maka banyak hal yang tidak bisa
terpenuhi dalam akad nikah lewat telpon tadi, di antaranya : tidak adanya dua saksi,
tidak adanya wali perempuan, dan tidak ketemunya calon penganten ataupun
wakilnya. Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Seandainya dia menghadirkan dua saksi dan wali perempuan dalam akad ini, tetap
saja akad pernikahan tidak sah, Karena kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-
apa kecuali orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum tentu suara
calon suami atau istri. Ringkasnya bahwa akad pernikahan melalui telpon
berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.
Maka dari itu disarankan siapa saja yang ingin menikah jarak jauh, untuk
mewakilkan kepada orang yang dipercaya. Seandainya dia sebagai perempuan yang
bekerja di luar negri, maka cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan
dengan lelaki yang diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang
laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka hendaknya dia
mewakilkan dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti adik, kakak, atau
saudaranya dengan dihadiri wali perempuan dan kedua saksi. Seandainya ada laki-

13
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 6, (Bandung: 1990). Hal 48

6
laki dan perempuan yang ingin menikah di luar negeri dan jauh dari wali
perempuan, maka wali tersebut bisa mewakilkan kepada orang yang dipercayai.
Wakil dari wali tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan.
Semua proses pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan bukti-
bukti dari instasi resmi terkait, supaya tidak disalah gunakan.14
Ijab qabul dalam akad nikah melalui telepon hukumnya tidak sah, sebab tidak
ada pertemuan langsung antara orang yang melaksanakan akad nikah.15
Menurut jumhur ulama’, perkawinan yang tidak di hadiri saksi-saksi, maka
tidak sah. Jika ketika ijab qobul tanpa ada saksi yang menyaksikan, sekalipun itu di
umumkan kepada orang ramai dengan cara lain, menjadikan perkawinan tersebut
tetap tidak sah. Dengan kata lain. Apalagi akad itu di lakukan melalui telepon, yang
belum menjadikan suatu itu benar-benar terjadi secara mutlak.16
Jadi bisa di simpulkan, bahwa suatu pernikahan yang tidak di dasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang telah di syariatkan oleh agama, yakni harus memenuhi
syarat-syarat perkawinan yang merupakan dasar bagi sahnya suatu perkawinan.
Maka tidak sah, dan jika syarat sahnya terpenuhi, maka menjadikan perkawinan itu
sah dan perkawinan itu dapat dikatakan berlaku sesuai dengan aturan yang ada.

b. Ulama’ yang membolehkan akad nikah via telepon.


Menurut ulama’ Hanafiyah bahwa akad nikah via telepon dan internet itu sah
dilakukan karena mereka menyamakan dengan akad nikah yang dilakukan dengan
surat karena surat di pandang sebagai khitab ( al – khitab min al – ghaib bi manzilah
al – khitab min al– hadhir ) dengan syarat dihadiri oleh dua saksi.
Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat tersebut
dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-
pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan
sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah
tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan

14
Diakses di http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/05/04/hukum-akad-nikah-melalui-telepon/,
Banjarmasin, Sabtu, 25 Maret 2017
15
Sayyid Sabiq, Op.Cit.. Hal 55
16
Diakses di http://maesheducation.blogspot.co.id/2011/08/hukum-pernikahan-via-telephon.html,
Banjarmasin, Sabtu, 25 Maret 2017

7
dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti internet,
teleconference dan faximile.17
Nampaknya prosesi pernikahan yang selama ini terlihat hanya persoalan
teknis, namun demikian apakah ketidak-hadiran para pihak yang menjadi syarat
sahnya perkawinan tetap dianggap sah dari segi syariat, atau sebaliknya. Dari sisi
tekstualitas fiqih bahwa akad nikah harus dilaksanakan dalam satu majlis dan satu
momentum. Sementara akad nikah via telepon atau media sejenis, hanya terlihat
fisik dan terdengar suaranya. Kalaulah dianalogikan dengan kasus zaman Nabi
tentang taukil, tentu kita akan berpikir kalau saja diwakilkan saja boleh, tentu
dilakukan secara langsung meski lewat suara atau tayangan gambar lebih akurat,
dan nampaknya bisa diterima dan lebih kuat keabsahannya. Memang dari aspek
sakralitas kurang terasa, akan tetapi ketika muncul sesulitan, dan kesempitan dalam
aspek teknis, maka dengan mempertimbangkan kemudahan, menghindar dari
kesulitan untuk mencapai kemashlahatan secara prinsipil syariat Islam tidak
melarang, selama persyaratan-persyaratan pokok yang menyangkut akurasi data
pihak-pihak terkait dapat dibuktikan melalui via e-mail, SMS, calling telepon,
internet dan sebagainya bisa terpenuhi. Pada tahap ini, maka konfirmasi oleh
petugas bisa dilaksanakan yang disaksikan oleh keluarga dan kerabat yang bisa
dipercaya(amanah).18
Dengan demikian, secara ringkas dapat dipaparkan bahwa akad nikah via
telepon, pada prinsipnya tidak bisa diterapkan secara umum, hanya saja dalam
situasi dan kasus tertentu dengan melihat ‘illat (alasan hukum) yang ada, sehingga
menyebabkan praktek tersebut perlu dipertimbangkan secara syar’i. Sehingga
mengharuskan mencari landasan yang akurat untuk mencari dasar penetapkan
hukum tidak kabur. Dan yang paling penting adalah motif, maksud dan niat atas
dasar suatu perbuatan itu dasar meraih kebaikan dan kemashlahatan manusia,
sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh al-Syatibi, bahwa hukum-hukum itu
disyariatkan untuk kemashlahatan hamba dan menghindari munculnya
kemadlaratan-kemadlaratan di kemudian hari. Maka dari itu, aspek teknis
pelaksanaan akad nikah bisa “direkayasa”, selama prinsip-prinsip yang

17
Loc.It
18
Muhammad Yusuf, Op.Cit. Hal 195

8
menyangkut administratif tidak diabaikan untuk melakukan uji shahih, mengukur
validitas dan orisinalitas data yang dibutuhkan dalam proses akad nikah. Sehingga
tingkat akurasi data tertentu yang diperlukan akad nikah bisa dipertanggungjawab-
kan, sehingga akad nikah via telepon bisa ditolerir untuk tetap dilaksanakan,
sepanjang proses (syarat-syarat dan rukun-rukunnya) menjelang akad nikah tetap
dilakukan secara standar menurut perundang-undangan negara dan tidak
mengabaikan norma-norma sosial, susila, agama dan menghargai aspirasi teknologi
informasi sebagai alat untuk mencapai kemudahan. Sehingga alasan teknis
sekunder tidak mengalahkan hal-hal yang sangat asasi (dlaruri) dalam agama ada
lima hal : menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.19
Kalau dikatagorikan, bahwa akad nikah termasuk maqashid al-dlaruriyyah
(tujuan pokok/ primer), mengingat pernikahan merupakan sunnah Nabi yang sakral
dan sunnatullah, yang nampaknya pernikahan itu seolah-olah hanyalah persoalan
alami-manusiawi, tetapi Islam memperhatikan dampak yang ditimbulkan dalam
kerangka mencapai kemashlahatan dunia dan akhrawi. Oleh karena itu, pernikahan
tidak dapat hanya ditangkap secara tekstual (lafdziyyah), tetapi juga harus ditanggap
secara implisit ma’nawiyyah, keduanya saling terkait tidak mungkin dipisahkan
secara parsial masing-masing berjalan sendiri.20

D. Contoh Kasus Akad Nikah via Telepon


Peristiwa akad nikah lewat telepon itu mengundang reaksi yang cukup luas
dari masyarakat contohnya pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh
Jakarta-Bloomington, Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di
kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru, Jakarta. Calon suami
Drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belajar di program pasca sarjana Indiana
University AS, sedangkan calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN
Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama
belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga
sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan
alasan tiadanya biaya perjalanan pulang pergi AS- Jakarta dan studinya agar tidak

19
Ibid. Hal 200-201
20
Ibid. Hal 201-202

9
terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan
adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang
yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat
taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul ursy sudah tersebar, maka
Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu
yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain
dengan melengkapi pesawat telepon di rumahnya dengan alat pengeras suara
(mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder, dan video. Alat
pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin
dan juga di tempat kediaman calon suami di AS itu bisa mengikuti upacara akad
nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh
itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali
mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki ; sedangkan
alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas
berlangsungnya akad nikah pada hari itu.21

21
http://makalah-ibnu.blogspot.co.id/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.html, Loc It

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sah tidaknya sebuah perkawinan tergantung dari akad atau ijab dan qabul
yang diikrarkan dengan masing-masing pihak yang melakukan akad harus
mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing.
Pernyataan pertama untuk menunjukkan kemauan membentuk hubungan
suami istri dari pihak perempuan disebut ijab. Sedangkan pernyataan kedua yang
diucapkan oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatkan rasa
ridha dan setuju disebut kabul. Kedua pernyataan antara ijab dan kabul inilah yang
dinamakan akad dalam pernikahan.
Untuk terjadinya suatu akad yang mempunyai akibat hukum pada suami istri
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; Kedua belah pihak sudah tamyiz;
Ijab kabul dilaksanakan dalam satu majelis; Ucapan kabul hendaknya tidak
menyalahi ucapan ijab; Pihak-pihak yang mengadakan akad harus dapat
mendengarkan pernyataan masing-masing.
Satria Effendi M. Zein memberikan analisis yurisprudensi yang cukup
mendalam mengenai perkawinan melalui media telepon. Dalam pendapatnya,
Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada dua macam putusan yang dapat
dipilih oleh majelis hakim mengenai masalah ini, yaitu membolehkan sesuai dengan
kecenderungan Madzhab Hanafi ataupun melarang sesuai dengan kecenderungan
Madzhab Syafi'i. Di sini Satria Effendi M. Zein menyerahkan putusan yang diambil
sesuai dengan dasar yang dipakai majelis hakim, dan memberikan penekanan
bahwa keduanya boleh dipakai selama belum ada undang-undang yang secara jelas
mengatur mengenai hal ini

B. Kritik dan Saran


Kami menyadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak
terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun pembahasan, oleh karena itu
kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan makalah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq. 2001. Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gema Media.

Ahmad Azhar Basyir. 2002. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta :UII PRESS.

Muhammad Yusuf. 2009. Kematian Medis (Mercy Killing), Isu-Isu Kontemporer


dari Jenggot hingga keperawanan. Yogyakarta : Penerbit TERAS.

Sayyid Sabiq. 1999. Fiqih Sunnah jilid 6. Bandung: PT Alma’arif.

Slamet Abidin, Aminuddin. 1999. Fiqih Munaqahat. (Bandung : CV Pustaka Setia).

Diakses di http://maesheducation.blogspot.co.id/2011/08/hukum-pernikahan-via-telepon.-
html, Banjarmasin, Sabtu, 25 Maret 2017

Diakses di http://makalah-ibnu.blogspot.co.id/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.-
html, Banjarmasin, Sabtu, 25 Maret 2017

12

Anda mungkin juga menyukai