Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

KEMUHAMMADIYAHAN

Hartoyo Joyo Sasmito


201610570311037

Program Studi Pendidikan Bahasa Arab


Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
“MUHAMMDIYAH SEBAGAI GERAKAN TAJDID DAN TAJRID”

Tajdid adalah kata yang diambil dari bahasa Arab yang berkata dasar "Jaddada-
Yujaddidu-Tajdiidan" yang artinya memperbarui. Kata ini kemudian dijadikan jargon
dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari Bid'ah, Takhayyul dan Khurafat. At-
Tajdid menurut bahasa, maknanya berkisar pada pembaharuan, peningkatan, dan
pengembangan. Dalam arti pemurnian, tajdid diartikan sebagai pemeliharaan matan
ajaran Islam yang berasas pada al-Qur’an dan as-Sunnah maqbullah.
Tajdid merupakan suatu proses pembaharuan dalam umat Islam untuk menuju pada
suatu kondisi yang lebih baik. Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua
pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi).
Sebagai gerakan yang berlandaskan agama, maka ide pembaharuan Muhammadiyah
ditekankan pada usaha untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan
lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagaimana gerakan pembaharuan yang
lain Muhammadiyah konsisten dengan semboyan “Kembali pada ajaran yang murni,
yakni Qur’an dan Sunnah”.

Model-model Tajdid dalam Muhammadiyah

Model-modelnya terdiri dari tiga bidang, yaitu bidang keagamaan, pendidikan dan
kemasyarakatan.

a) Bidang Keagamaan.
Maksud dari pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah memurnikan
kembali atau mengembalikan kepada keasliannya. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan agama baik yang menyangkut aqidah ataupun ibadah harus sesuai
dengan aslinya, yaitu sebagaimana yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan
dituntunkan oleh Nabi Muhammad melalui sunnah-sunnahnya. Al-Qur’an dan as-
Sunnah maqbullah merupakan landasan bagi Muhammadiyah untuk melakukan
pembaharuan Islam.
b) Bidang Pendidikan
Dalam kegiatan pendidikan, Muhammadiyah mempelopori dan
menyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata.

Pembaharuan pendidikan meliputi dua segi yaitu segi cita-cita dan segi teknik
pengajaran.
Dari segi cita-cita, yang dimaksudkan KH. Ahmad Dahlan ialah ingin
membentuk manusia Muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam
pandangan dan faham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya.
Adapun teknik pengajaran lebih banyak berhubungan dengan cara-cara
penyelenggaraan pengajaran, muhammadiyah berhasil mambangun system
pendidikan sendiri. Seperti : sekolah model Barat tetapi dimasukkan pelajaran
agama didalamnya. Sedangkan dalam cara penyelenggaraannya, proses belajar
mengajar itu tidak dilakukan di masjid dan langgar, tetapi digedung khusus yang
dilengkapi meja, kursi dan papan tulis tidak lagi duduk di lantai.

c. Bidang Kemasyarakatan

Muhammadiyah merintis bidang sosial kemasyarakatan dengan mendirikan


rumah sakit, poliklinik, panti asuhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui
amal usahanya.

Usaha pembaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan


didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1923. Ide
dibalik pembaharuan dalam bidang ini merupakan kesempatan bagi kaum
muslimin untuk saling tolong menolong. Hal ini merupakan gerakan sosial dengan
ilham keagamaan. Contohnya : pengalaman firman Allah dalam surat Al-maun,
ayat 1-7. Pesan yang terkandung didalamnya adalah ajaran tolong menolong
sebagai bentuk amal shaleh yang dapat memunculkan solidaritas yang berujung
pada mahabbah atau saling mencintai yang dimulai dari ta’aruf, yaitu saling
mengenal yang dilanjutkan dengan tafahum, yaitu saling memahami. Dan dari
konsep ini melahirkan tadhamun atau saling menghargai.

Model-model tajrid dalam muhammadiyah


Model-modelnya terdiri dari bidang kepercayaan dan agama serta sosio-
agama.

a) Dalam bidang kepercayaan dan ibadah.


Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah dari al-Qur’an dan as-
Sunnah. Hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang. Sedangkan bid’ah
biasanya muncul karena ingin memperbanyak ritual tetapi pengetahuan Islamnya
kurang luas, sehingga yang dilakukan adalah bukan dari ajaran Islam.
b) Realitas sosio-agama
Ahmad Dahlan melakukan pemurnian melalui organisasi Muhammadiyah.
munawir Syazali mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pemurnian
yang menginginkan pembersihan Islam dari semua unsur singkretis dan daki-daki
tidak Islami lainnya.

Model Gerakan Keagamaan Muhammadiyah

a) Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah (GJDJ)


GJDJ adalah penguatan kesadaran jama’ah dan kepedulian mereka terhadap
lingkungan sosialnya. Penguatan cabang dan ranting Muhammadiyah dapat
dilakukan dengan maksimal apabila pembinaan jama’ah dapat dilakukan secara
efektif dan continue.
b) Langkah Penguatan Jama;ah
Memperkuat kembali identitas lokal melalui gerakan jama’ah dapat dipandang
dalam kerangka penguatan potensi dan basis gerakan itu dapat digerakkan kepada
hal-hal yang produktif.
untuk mengingatkan cabang dan ranting Muhammadiyah melalui gerakan
jama’ah dan dakwah jama’ah adalah :
a. Melakukan Assesment awal mengenai kehidupan keagamaan di desa, komunitas
atau ranting.
b. Memantapkan konsep dakwah jama’ah yang akan dipergunakan agar sesuai
dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
c. Melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi para fasilitator yang akan menggerakkan
cabang dan ranting.
d. Melakukan pendampingan dakwah jama’ah.
e. Memantapkan organisasi gerakan di akar rumput (pimpinan ranting) sebagai
ujung tombak gerakan dakwah jama’ah.

“MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN”


A. Faktor yang melatar belakangi gerakan muhamadiyah di bidang pendidikan

1. Faktor Internal

         Tradisionalisme

Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai dengan


pengukuhan yang kuat terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan menutup
kemungkinan untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan – pembaharuan dalam
bidang agama.

         Sinkretisme

Pertemuan Islam dengan budaya lokal disanping telah memperkaya khasanah


budaya Islam, pada sisi lainnya telah melahirkan format – format sinkretik,
percampuradukkan antara sistem kepercayaan asli masyarakat – masyarakat budaya
setempat.

2. Faktor Eksternal

 Kristenisasi

Faktor eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah


adalah Kristenisasi, yakni kegiatan – kegiatan yang terprogram dan sistematis
untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi
Kristen.

 Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi
perkembangan Islam di wilayah Nusantara ini, baik secara sosial politik, ekonomi
maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia
Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam,
semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan.

 Gerakan Pembaharuan Timur Tengah

Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu


mata rantai dari sejarah panjang gerakan pebaharuan yang dipelopori oleh Ibnu
Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al - Afgani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Persentuhan itu terutama
diperoleh melalui tulisan – tulisan Jamaluddin al – Afgani yang dimuat dala
majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh K.H. Ahmad Dahlan. Tulisan –
tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat
mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan – gagasan
pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga.

B. Cita-cita Pendidikan Kemuhammadiyaan

Amar maruf nahi munkar merupakan gerakan dakwah Islam, maka darinya
muhammadiyah di tuntut untuk mengomunikasikan pesan-pesan dakwahnya
dengan cara menanamkan hazanah pengetahuan melalui jalur penddikan.
Usaha yang telah dibangun oleh muhammadiyah yakni dengan mendirikan
dan menyelenggarakan sistem pendidikan modern, selain berkomitmen dengan
ajaran (sesuai dengan alquran dan assunah) juga menginginkan agar Islam betu-
betul menjadi rahmatan lil alamin, menjdi petunjuk dan rahmat bagi hidup atau
kehidupan segenap umat manusia.
Bagi muhammadiyah, nilai-nilai islam harus menjadi pijakan universal dan
menjadi pedoman dalam setiap langkah dan tindakan,. Oleh karena itu islam
menruut muhammadiyah harus diajarkan dan disampaikan secara rasional.
Usaha Muhammadiyah mendidrikan dan menylenggarakan sistem pendidikan
modern, sebab Muhammadiyah yakin bahwa islam bisa menjadi rahmatan
lilalamin, menjadi petunjuk dan rahmat bagi hidup dan kehidupan
segenapmanusia.
Sejarah membuktikan bahwa pada masa silam umat islam pernah
mempelopori perumusan hokum fisika, ilmu alam, ilmu falak, dan metode-
metode experimen lainnya. Mereka menyadari bahwa jagat rayadan isinya
dibentangkan oleh Allah merupakan fasilitas yang harus dimanfaatkan, dan untuk
melakukannya memerlukan seperangkat tekhnologi pertanian, peternakan,
perikanan, pertambangan, tekstil, kedokteran, farmasi, arstektur, informasi dan
transportasi. Jumlah lembaga pendidikan formal yang dimiliki muhammadiyah
sebagai berikut: SD 1132, MI/ Diniyah 1759, SMP 1184, MTS 534, SMA 511,
SMK 263, MA 172, (jumlah 5632). Universitas 39, sekolah tinggi 87, Akademik
54, Politeknik 4, (jumlah 184). Dalam catatan Asep purnama bachtiar, sampai
bulan mei 2010, pendidikan Muhammadiya yang tersebar di Indonesia meliputi :
SD/MI/MD ada 2563 buah; SMP/MTs ada 1685 buah, SMA/MA ada 747 buah;
SMK ada 396 buah; Madrasah mualimin/malimat ada 25 buah; Pondok Pesantren
ada 101 buah; PTm ada 172 buah( suara Muhammadiyah 2010). Info terbaru
PAUD 6723 buah, TK ABA 7623 buah, SD/MI 2604 buah, SMP/ MTs 1772
buah, SMA/SMK 1143 buah, PT 172 buah.

C. Bentuk-bentuk dan Model Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah memiliki model yang berbeda dalam kemasannya. Mulai sistem


pembelajaran hingga sistem administatif yang tertata rapi. Model pendidikan
Muhammadiyah yang didasarkan atas nilai-nilai tertentu:
1. pendidikan Muhammadiyah merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber sepanjang masa.
2. ikhlas dan inspiratif dalam ikhtiar menjalankan tujuan pendidikan.
3. Menerapakan prinsip musyawarah dan kerjasama dengan tetap memelihara sikap
kritis.
4. selalu memelihara dan menghidupkan prinsip inovatif dalam menjalankan tujuan
pendidikan.
5. memiliki kultur atau budaya memihak kepada kaum yang mengalami
kesengsaraan dengan melakukan proses-proses kreatif.
6. memperhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan dalam mengelolah
lembaga pendidikan antara akal sehat dan kesucian hati.

D. Pemikiran dan Praktis Pendidikan Muhammadiyah

Rekontruksi pendidikan Muhammadiyah sangat dibutuhkan ke arah holistic. Segenap


lembaga dan penyelenggaraan pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi harus
memahami kembali esensi, visi, dan misi pendidikan Muhammadiyah.
Lembaga pendidikan muhammadiyah harus segera membuktikan bahwa dengan
melahirkan generasi bangsa nantiya akan mampu mengarahkan segenap energi, potensi,
bakat dan keterampilan yang dimiliki untuk kepentingan diri, bangsa dan agamanya
dalam bingkai tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
E. Tantangan dan Revitalisasi Pendidikan Muhammadiya
Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni: problem
ideologis, problem paradigmatik, profesionalisme manajemen, serta pengembangan
pendidikan.
1. problem ideologis

Salah satu penyebab mendasar mengenai problem ideologis ini adalah


penekanan aspek profesionalitas pada saat penerimaan tenaga pendidik dan
kependidikan Muhammadiyah.
2. problem paradigmatic

Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para pimpinan


amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan
tujuan Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk
kesalahan dalam memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan
tidak lagi melihat sejarah secara kritis, sehingga seringkali terjebak pada
romantisme seja-rah itu sendiri.

3. problem profesionalisme manajemen

amal usaha pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan


berkembang dari bawah (grass root), seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah
yang didukung oleh masyarakat sekitar. Tujuannya pun juga jelas, di mana
para tokoh tersebut ingin menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah
sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran Islam di
tengah-tengah masyarakat.
Sokongan masyarakat itu juga dapat berdampak positif dan negatif.
Dari sisi positif, lembaga pendidikan memiliki kekuatan besar untuk dapat
“bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya sedikit. Semangat yang tiada
pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah melalui jalur
pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu, lembaga
pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak
terencana dengan baik. Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab
“lemahnya” lembaga pendidikan Muhammadiyah saat berkompetisi dengan
lembaga pendidikan lainnya.
“MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN EKONOMI”

1. Sumber kekuatan ekonomi muhammadiyah

Persyarikatan muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang didirikan


oleh KH.A.Dahlan karena mempunyai sumberdaya yang andal yaitu keimanan,
pengetahuan dan ekonomi. Pendiri muhammadiyah sangat menyadari pentingnya aspek
ekonomi dalam suatu gerakan untuk mencapai cita-cita.
Pada mulanya sumber kekuatan dakwah muhammadiyah didukung oleh para pelaku
ekonomi yang memiliki pengetahuan sekaligus disinari dengan keimanan. Yakni
kekuatan ekonomi muhammadiyah dahulu di subsidi oleh para dermawan, khusunya para
pengurus.
Pada mulanya sumber kekuatan dakwah muhammadiyah didukung oleh para pelaku
ekonomi yang memiliki pengetahuan sekaligus disinari dengan keimanan. Yakni
kekuatan ekonomi muhammadiyah dahulu di subsidi oleh para dermawan, khusunya para
pengurus. seperti TK, SD, SMP, SMA, dan juga perguruan tinggi. TK, SD, SMP, SMA,
dan juga perguruan tinggi.
Dalam bidang kesehatan muhamadiyah pada saat ini, sangat jauh berbeda dengan
awal berdiri muhammadiyah. saat ini, muhammadiyah memiliki rumah sakit lebih banyak
dari milik pemerintah, kurang lebih muhammadiyah memiliki 104 rumah sakit dan lebih
dari 300 klinik.
bidang kesehatan ini sangat perpengaruh besar bagi perekonomian gerakan
muhammadiyah, yakni sebagai salah satu pemasok modal untuk melaksanakan gerakan
dakwah muhammadiyah.

2. Muahammadiyah dan kelas menengah

Muhammadiyah dalam bidang perekonomian ini sangat membutuhkan kehadiran para


pembaharu sebagai ujung tombak dan pengawal transformasi, tanpa kelompok ini, proses
transformasi akan beresiko mandek. Muhammadiyah berbasis kelas menengah berhasil
melakukan transformasi kesadaran sosial berupa modernisasi mengatasi masalah sosial.
Tetapi belum samapai pada transformasi kesadaran produktivitas ekonomi.

3. Pasang surut gerakan ekonomi muahammadiyah


Upaya Muhammadiyah dalam menjalankan dakwah melalui gerakan ekonomi telah
dilakukan dalam berbagai bentuk macam perekonomian, tetapi tidak semunya berhasil
sesuai dengan harapan, artinya ada suatu hal yang menjadi penyakit atau faktor
ketidaksuksesan muhammadiyah. Adapun disebabkan beberapa faktor diantaranya :

1) Hubungan kerja sama antar warga dan amal usaha muhammadiyah belum menunjukan
kebersamaan yang maksimal dalam ta’awun.
2) Etos kerja sebagai warga muhammadiyah belum menunjukan nilai-nilai seperti yang
dicontohkan oleh pendiri Muhammadiyah.
3) Para pelaku bisnis muhammadiyah di seluruh indonesia belum bekerkja sama dengan
baik, termasuk dengan sesama amal usaha muhammadiyah

4. Model gerakan ekonomi muhammadiyah

Muhammadiyah memilki peluang untuk mendesain model gerakan ekonomi secara


internal dan eksternal:

1) Secara internal: melibatkan ekonomi anggota muhammadiyah dan keluarganya,


anggota ortom muhammadiyah dan keluarganya dan amal usaha muhamamdiyah dengan
segala perangkatnya
2) Secara eksternal: anggota muhamadiyah pasti memilki relasi dengan dunia luar,
begitu pula denga amal usaha muhammadiyah otomatis memiliki hubungan dengan
lembaga-lembaga lain.
“FILANTROPI MUHAMMADIYAH”

Shadaqah maknanya lebih luas dari zakat dan infak. Shadaqah dapat bermakna infak,
zakat dan kebaikan non-materi. Adapun infak yaitu mengeluarkan atau membelanjakan harta
yang mencakup zakat dan non- zakat. Infak ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infak
Wajib diantaranya adalah kafarat, nadzar dan zakat. Infak sunnah diantaranya infak kepada
fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam dlsbg. Berbeda dengan zakat, infak dapat
diberikan kepada siapapun, meskipun tidak termaksud dalam 8 asnaf. Zakat adalah kewajiban
harta yang spesifik, memiliki syarat tertentu, alokasi tertentu da waktu tertentu. Zakat
memiliki kekhususan yang berbeda dari infak atau shadaqah. Seperti zakat fitrah yang
dilaksanakannnya setahun sekali menjelang idul fitri. Semua dana zakat baik itu zakat
penghasilan, zakat perdagangan, zakat pertanian dan zakat yang lainnya merupakan dana
yang terikat yang alokasi dan distribusinya hanya dibolehkan untuk diberikan oleh 8 asnaf.

a. Harta yang dikenai Zakat


Dalam al-Qur’an disebutkan beberapa macaam jenis kekayaan yang dikenai zakat,
yaitu: emas dan perak (QS. At-Taubah: 34 dan al-Baqarah: 276), tanaman dan buah-buahan
(QS. al-An’am: 14), hasil usaha seperti dagang dan sebagainya (QS. al-Baqarah: 276), dan
yang lain disebutkan secara umum dalam kata-kata “mal” yang berarti harta kekayaan (QS.
at-Taubah: 103 dan al-Dzariyat: 19). Sementara dalam hadits Nabi saw disebutkan bahwa
binatang ternak yang dikenai zakat ada tiga macam, yaitu unta, sapi dan kambing.

b. Golongan Penerima Zakat


Dari penjelasan (QS. at-Taubah: 60) golongan yang berhak menerima zakat sendiri
dari delapan golongan (ashnaf), yaitu:
a. Fakir, orang yang tidak memiliki harta untuk menunjang kehiduoan dasarnya.
Kefakiran orang tersebut disebabkan ketidakmampuannya untuk mencari nafkah
karena fisiknya tidak mampu, seperti orang tua jompo dan cacat badan.
b. Miskin, orang yang tidak memiliki harta untuk kehidupan dasarnya, namun ia mampu
berusaha mencari nafkah, hanya penghasilannya tidak mencukupi bagi kehidupan
dasarnya untuk kehidupannya sendiri dan atau keluarganya.
c. Amil, orang ditunjuk oleh penguasa yang sah untuk mengurus zakat, baik
mengumpulkan, memelihara, membagi dan mendayagunakannya serta petugas lain
yang ada hubungannya dengan pengurus zakat.
d. Muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam dan memerlukan masa pemantapan
dalam agama barunya itu dan untuk itu memerlukan dana.
e. Riqab, adalah untuk kepentingan memerdekakan budak, baik dengan membeli budak-
budak untuk kemudian dimerdekakan atau memberi dana untuk kepentingan menebus
dirinya dari perbudakan.
f. Gharim, orang yang dililit hutang dan tidak dapat melepaskan dirinya dari heratan
hutang kecuali dengan bantuan dari luar.
g. Sabilillah, segala keperluan untuk menegakkan agama Allah. Dalam waktu perang
dapat diartikan biaya pasukan dan perlengkapannya selama dalam peperangan.
Sementara dalam situasi yang bukan perang berarti segala usaha yang bertujuan untuk
menegakkan syiar agama.
h. Ibnu sabil, orang yang berada dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat, yang
kehabisan biaya dalam perjalanannya kecuali dengan bantuan dari luar.

c. Embrio Gerakan Zakat, Infaq dan Shadaqah dalam Muhammadiyah.


Sejarah membuktikan bahwa sejak awal berdirinya muhammadiyah memiliki
concren terhadap ketimpangan sosial (kemiskinan dan keterbelakangan). Hal ini tampak
bagaimana K.H Ahamad Dahlan memiliki perhatian yang lebih terhadap surat al-ma’un.
Hingga pada saat pengajiannya salah satu santrinya menanyakan mengapa surat ini selalu di
kaji.
K.H Ahmad Dahlan berusaha membangkitkan kesadaran kaum muslim terhadap
sesama muslim yang membutuhkan, terutama anak-anak fakir miskin dan yatim piatu. Maka
terbentuklah Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (MKPO) pada tahun 1336H/ 1912
untuk mengurus kaum Dhu’afa.
Dalam rangka mengamalkan surat al-Maun K.H Ahmad Dahlan mengajak untuk
mencari orang miskin disekitar tempat tinggal masing masing. Jika menemukan orang miskin
agar dibawah kerumah masing-masing, dimandikannya, diberi makanan, diberi pakaian dan
diberi tempat tinggal yang layak.
Teologi Al-Ma’un tetap menjadi spirit dasar dari gerakan sosial Muhammadiyah
sampai saat ini. Keberpihakan Muhammadiyah kepada kaum dhuafa adalah harga mati yang
tidak bisa ditawar-tawar dan harus menjadi kesadaran komunal bagi segenap warga
Muhammadiyah.
d. Keberpihakan Muhammadiyah terhadap Kaum Dhu’afa (fakir, miskin dan Yatim)
Fakta dan realitas kemiskinan adalah wajah lain dehumanisasi. Kemiskinan terjadi
akibat kemungkaran sosial dan dosa sosial akut. Kemiskinan sebagai masalah sosial harus
dipecahkan lewat aksi sosial. Ia bukan sekedar masalah individu, tetapi masalah bersama
yang harus dicari jalan keluarnya.
Dalam konteks ini, muhammadiyah dapat memainkan peran strategis, dengan
memberi sumbang asih nyata terhadap masyarakat. Muhammadiyah harus memberi perhatian
serius terhadap kaum mustad’afin baru karena sejak awal K.H. Ahmad Dahlan sudah
memantapkan komitment organisasi terhadap pembelaan masyarakat tertindas. Advokasi dan
aksi praksis kiai Ahmad Dahlan saat berdirinya gerakan mengupayakan keberpihakan
terhadap kaum lemah dan terpinggirkan.
Muhammadiyah sebagai lembaga sosial dan keagamaan dapat berperan lebih aktif dalam
memberdayakan masyarakat kecil dalam upaya mengentaskan kemiskinan sebagaimana
tertuang dalam surat Ad-Dhuha ayat 1-10 dan memberdayakan sosial (Ar-Rum ayat 28)
hendaknya tidak sebatas tindakan karikatif serta santunan belaka. Dibutuhkan komitmen
serius menghadang kemungkaran sosial, memerangi dosa-dosa sosial ini. Upaya itu antara
lain dapat dilakukan melalui pemberdayaan, pendidikan transformasi, untuk resdistribusi dan
keadilan (At-Taghabun ayat 16, Al-balad ayat 10-11, Al-Insan ayat 8-10, Al-Baqarah ayat
220, An-nisa’ ayat 2, Al-Baqarah ayat 177).

Anda mungkin juga menyukai