Anda di halaman 1dari 2

“Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat dimasa Lalu Melalui Jalur Non-Ligitasi”

Situasi HAM sampai saat ini belum dapat dijelaskan secara gamblang. Berbagai bukti dan
catatan pelanggaran HAM terus bermunculan. Banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu
hingga saat ini tak juga menemui titik terangnya. Pelanggaran HAM berat seolah dibiarkan terus
menjadi teka-teki tanpa penyelesaian. Hipotesis awal didasarkan pada dokumen pengaduan
pelanggaran yang diterima oleh Komnas HAM, sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas
menentukan situasi pelanggaran HAM di Indonesia. Jika pada 2012 jumlah berkas yang diterima
6.284, maka pada 2016 jumlah tersebut melonjak menjadi 7.188 berkas, dan 2017 sebanyak 5.387
berkas (LAPTAH 2016 dan LAKIP 2017).1

Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang mengatur dua kategori yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan
dan genosida. Regulasi tersebut menetapkan mekanisme penyelesaian penuntasan pelanggaran
HAM yang berat, baik menyangkut proses penyelidikan yang diamanatkan kepada Komnas HAM,
penyidikan oleh Kejaksaan Agung, dan pemeriksaan pengadilan melalui Pengadilan HAM
(maupun ad hoc).2

Pro

Penyelesaian nonyudisial merupakan hal yang paling realistis untuk dilakukan karena
sulitnya didapatkan hasil penyidikan yang betul-betul lengkap, yang bukan sekadar asumsi atau
testimoni karna yang diperlukan dalam suatu perkara adalah bukti dan fakta. Terlebih
kasus pelanggaran HAM berat tersebut sudah terjadi sekian lama. Bahkan mungkin pelaku yang
dituduh sudah meninggal. Selain itu jalur Non-yudisial dibenarkan undang-undang untuk digunakan
dalam penyelesaian suatu perkara, serta erta ada kompensasi yang bisa dibahas dan dibicarakan
sejauh mana kemampuan suatu negara.3

Makna rekonsiliasi (non-litigasi) dalam konteks alternatif penyelesaian kejahatan masa lalu
adalah kesediaan memaafkan atau melupakan sejarah pahit demi menciptakan tatanan politik yang
lebih baik dimasa depan. Singkatnya rekonsiliasi lebih meningkatkan pencapaian tujuan akhir itu
daripada penuntutan pidana. Rekonsiliasi memiliki implikasi membangun atau membangun kembali
hubungan yang tidak lagi dihantui konflik dan kebencian masa lalu Penghentian kekerasan atau
ancaman kekerasan.
Unsur-unsur yang ingin dicapai dalam penyelesaian dalam jalur non-ligitasi adalah
Pengakuan dan pemberian pemulihan (ganti rugi), Pengikat masyarakat, Menyelesaikan
ketidaksetaraan struktural dan kebutuhan materil. Rekonsiliasi dapat terwujud jika didukung dengan
adanya sebuah lembaga atau kelompok yang membentuk dirinya untuk menyelesaikan perkara-
perkara pelanggaran HAM. Seperti pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah dibatalkan MKRI pada tahun 2006 silam.

Kontra

Pemerintah Indonesia yang menghendaki model penyelesaian melalui jalur non-ligitasi


terkesan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan keputusan ini memperlihatkan bahwa

1
Agus Suntoro, “Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Tahun Politik“,
https://news.detik.com/kolom/4059918/penuntasan-pelanggaran-ham-berat-di-tahun-politik, diakses pada 4
november 2018
2
Ibid
3
Liputan6.com, “Jaksa Agung sebut Pelanggaran HAM Berat Tak Bisa diselesaikan Secara Hukum”,
https://www.liputan6.com/news/read/3649337/jaksa-agung-sebut-pelanggaran-ham-berat-tak-bisa-
diselesaikan-secara-hukum, diakses pada 4 November 2018
Pemerintah telah abai pada prinsip-prinsip yang adil dan komprehensif tentang pencegahan
impunitas pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

Kemudian Komnas HAM sebagai institusi yang diberikan mandat untuk melakukan
penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, menurut UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan HAM, juga terkesan melupakan keputusannya sendiri. Pilihan untuk mendukung
keputusan yang telah diumumkan tersebut, memperlihatkan Komnas HAM justru mendelegitimasi
keputusannya sendiri. Selain itu jalur non-litigasi dianggap dapat melemahkan supremasi hukum di
indonesia yang mana indonesia sendiri adalah negara hukum dan menyalahi mekanisme yang ada
pada UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, kemudian penyelesaian non-yudisial dianggap
akan membangkitkan kembali impunitas orde lama.

Anda mungkin juga menyukai