Pendahuluan
Dalam teori hubungan internasional, kita mengenal adanya konsep anarki yaitu
kondisi dimana tidak adanya pemerintah pusat atau pemerintah dunia.Karena itulah tidak
adanya kekuatan secara hierarkis yang palin tinggi di dunia ini,semua dibatasi oleh
kedaulatan masing-masing negara.Maka untuk menciptakan suatu aturan dalam sistem
internasional yang anarkis ini diperlukan adanya suatu hukum internasional yang dapat
mengatur hubungan antar negara sehingga hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian
atau ketidakadilan didunia ini dapat di minimalisir. Tetapi seringkali karna tidak adanya
pemerintah pusat yang dapat mengatur dunia ini, negara-negara mengaitkan hukum
dengan powernya,dimana negara dengan power yang besar dapat melanggar hukum-
hukum yang telah disepakati bersama sedangkan negara dengan power lemah
diperlakukan sewenang-wenang oleh negara dengan power besar.
Maka dari itu,keefektifan hukum internasional tidak dapat dibuktikan hanya dengan
meilihat dari aspek politisnya tetapi harus dilihat dari aspek hukumnya dengan
berdasarkan pendekatan legalisasi hukum internasional.
-Obligasi berarti bahwa suatu aktor terikat oleh aturan atau komitmen yang memaksa
mereka untuk berperilaku berdasarkan hukum tersebut.
-Presisi berarti aturan tersebut secara jelas menjadi acuan perilaku mereka, bagaimana
bertingkah laku dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
-Delegasi berarti pihak ketiga telah diberikan wewenang untuk mengimplementasikan,
menafsirkan, dan menerapkan aturan; untuk menyelesaikan perselisihan; dan (mungkin)
untuk membuat aturan lebih lanjut
Abott dkk juga menjelaskan bahwa obligasi,presisi dan delegasi memiliki tingkatan
rendah atau tingginya masing-masing yang disebut “The Dimension of Legalization”.Jika
obligasi,presisi dan delegasinya atau obligasi dan delegasinya tinggi maka itu termasuk
kedalam Hard Legalization.Jika obligasi,presisi dan delegasinya rendah maka termasuk
kedalam Soft Legalization atau bahkan ada yang tidak memiliki ketiganya.
ISI
Penghilangan paksa adalah salah satu pelanggaran paling serius terhadap Hak Asasi
Manusia dimana seringkali para korban menjalani penyiksaan baik fisik maupun mental.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam tulisan IKOHI bersama KontraS dalam judul
Penghilangan Orang Dengan Paksa atau Tidak Dengan Sukarela, kejahatan ini
mencabut kebebasab dan menghilangkan eksistensi diri manusia sebagai persona.
Persona yang seharusnya adalah subyek hukum menjadi tidak ada dan hukum tidak dapat
menjamin sesuatu yang tidak ada sehinnga hukum tidak dapat menjangkau korban
penghilangan paksa.
Selama lebih dari dua puluh lima tahun,kerabat korban orang-orang yang hilang di
seluruh dunia memperjuangkan dan mendesak instrumen internasional untuk membuat
hukum yang mengikat tentang penghilangan paksa.Hingga pada tanggal 20 Desember
2006,Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan
Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa.Konvensi ini merupakan sebuh instrument
HAM Internasional dimana negara negara yang sudah meratifikasi wajib untuk melarang
penghilangan secara paksa dalam situasi apapun.Konvensi ini dibuat sebagai upaya
negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan secara paksa,
Hingga saat ini kovensi telah ditandatangani 98 negara dan diratifikasi 62 negara di
dunia.Negara yang telah meratifikasi diantaranya Albania,Brazil,Prancis dan Jerman.
Seperti yang telah dijelaskan diatas,obligasi merujuk pada sekumpulan aturan yang
mengikat negara aktor aktor lainnya daan perilaku mereka ditentukan aturan
tersebut.Untuk menentukan konvensi ini memiliki obligasi yang kuat atau lemah
diperlukan analisis setiap pasal .
Pada bagian mukadimah, telah terdapat kata-kata yang memiliki sifat mengikat
negara-negara peserta konvensi yaitu kata mengakui(Aware),menetapkan(determined)
menimbang(Considering),menegaskan(Affirming) dan menyepakati(have agrred) bahwa
penghilangan secara paksa melanggar hak asasi manusia dan harus diberantas oleh negara
peserta dan aturan tersebut harus disepakati.
Pada pasal 1 ayat 1 dan 2 ditegaskan dan bersifat mengikat bahwa tidak satupun orang
boleh dihilangkan secara paksa tanpa pengecualian apapun.Lalu pasal 2 menjelaskan
tentang definisi penghilangan secara paksa, pasal 3 dan 4 ditegaskan bahwa setiap negara
harus mengambil tindakan penyelidikan dan membawa tersangka kepengadilan.Pasal 5
ditegaskan para pelaku harus memperoleh konsekwensi sesuai hukum internasional.Pada
pasal 6 secara tegas dijelaskan setiap negara harus menjalankan pertanggung jawaban
pidana kepada setiap orang,pimpinan dengan kriteria yang dijelaskan dipasal,dan
pimpinan militer yang melakukan penghilangan secara paksa walaupun berdalih intruksi
berasal dari pemerintah sebagai pembenaran.
Pada pasal 7,8,9 dan 10 ditegaskan bahwa pemerintah harus mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk proses pidana dan menjamin hak-hak korban
penghilangan paksa.Pasal 11,12 dan 13 dijelaskan negara yang dimana ditemukannya
tersangka harus diekstradisi karena tidak dapat dipandang sebagai kejahatan dengan motif
politik atau diserahkan kepengadilan pidana internasional dan tersangka harus dijamin
mendapat perlakuan yang adil dalam proses hukum. Dan setiap negara harus memastikan
bahwa tersangka tidak akan bisa mempengaruhi proses penyelidikan dengan
mengintimidasi orang-orang yang berpatisipasi dalam penyelidikan.Tetapi pada pasal 13
ayat 5 dan 6 dijelaskan bahwa ekstradisi tidak harus dilakukan dengan alasan
tertentu.Pasal 14 dan 15 menjelaskan tentang kerjasama antar negara terkait dengan
proses hukum kasus penghilangan secara paksa.pasal 16-20 ditegaskan tentang
pengumpulan catatan-catatan kasus dan informasi serta siapa saja yang berhak mengakses
informasi tersebut,tetapi pada pasal 20 ayat 1 dan 2 ditegaskan jika orang-orang yang
berhak mengakses informasi merugikan keamanan atau privasi orang yang bersangkutan
maka informasi tidak dapat diberikan.Pasal 21-25 ditegaskan tentang penjaminan hak-hak
korban penghilangan paksa.Pasal 26-36 menjelaskan tentang pembentukan Komite untuk
penghilangan paksa dimana ditegaskan bahwa komite ini menyusun sendiri aturan
prosedur mereka dan menjelaskan aturan aturan untuk komite tersebut.Pasal 37-41
ditegaskan bahwa konvensi ini terbuka untuk semua negara anggota PBB,pemberlakuan
konvensi yang menyeluruh disetiap negara tanpa pengecualiaan.Pasal 42-44 ditegaskan
tentang konvensi ini yang dengan tanpa mengesampingkan ketentuan hukum humaniter
internasional,dan setiap negara anggota dapat mengajukan amandemen dan apabila
disetujui,amandemen akan mengikat semua negara menyetujui dan masih terikat oleh
ketentuan Konvensi ini dan semua amandemen sebelumnya yang telah disetujui mereka.
Dapat disimpulkan bahwa dari keseluruhan pasal konvensi ini,ada dua pasal yang
melemahkan sifat binding aturan konvensi ini yaitu pada pasal 13 ayat 5 dan 6 yang tidak
mengharuskan adanya ektradisi padahal ayat sebelumya ditegaskan bahwa ekstradisi
perlu dilakukan.Lalu pasal 20 ayat 1 dan 2 yang menyatakan pembatasan akses informasi
jika merugikan keamanan padahal telah dijelaskan sebelumnya siapa saja yang berhak
mendapat akses informasi pastilah hanya orang orang yang terpilih.Jadi sesuai dengan
teori legalisasi dimana obligasinya termasuk tinggi tetapi karna dua pasal tersebut
obligasi konvensi ini menjadi bersifat moderat.
Delegasi adalah sejauh mana negara atau aktor lain memberikan otoritas bagi pihak
ketiga(termasuk pengadilan internasional,lembaga arbitrasi dan organisasi administratif.
Pihak ketiga disini memiliki otoritas untuk mengimplementasikan,menafsirkan dan
mengaplikasikan aturan.
Dalam konvensi ini telah disebutkan adanya pihak ketiga yaitu Komitte yang terdiri
dari 10 orang ahli dalam bidang hak asasi manusia yang akan bertugas dengan kapasitas
pribadi mereka,bebas dan tidak memihak.Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal
26 dimana Komitte inimenyusun sendiri aturan prosedurnya.Anggota Komitte juga diberi
fasilitas,keistimewaan dan kekebalan selayaknya ahli yang bertugas untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa.Komitte dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sama dengan badan
badan terkait, kantor, dan agensi khusus dari Perserikatan Bangsa Bangsa, dengan badan
traktat yang diatur oleh instrumen internasional, dengan prosedur khusus dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berkonsultasi kepada badan traktat internasional. Setiap
Negara Pihak harus menyerahkan kepada Komite, dengan melalui Sekretaris Jendral
Perserikatan Bangsa Bangsa, sebuah laporan mengenai langkah-langkah yang diambil
untuk mematuhi kewajiban mereka di bawah Konvensi ini.
Jadi jelas bahwa konvensi ini memiliki tingkat delegasi yang tinggi mengingat adanya
Komitte yang dibentuk untuk menyelesaikan kasus dalam konvensi ini yang dalam
bertugas tidak ada campur tangan dengan negaranya kecuali dalam memberikan
informasi tertentu terkait penyelidikan.
Kesimpulan
Sayangnya,hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi ini tetapi hanya
menandatangani. Padahal kasus penghilangan paksa banyak terjadi di Indonesia seperti
kasus kasus pada zaman Orde Baru.Indonesia diharapkan untuk segera meratifikasi
konvensi ini sebagai upaya preventif agar kejadian di masa lalu tidak terulang
lagi.Ratifikasi konvensi ini diyakini mampu mendorong reformasi penegakan hukum di
Indonesia apalagi konvensi ini termasuk kedalam hard law yang mempunyai legalitas
yang tinggi.
Daftar Pustaka
https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=IND&mtdsg_no=IV-
16&chapter=4&clang=_en diakses 20 April 2020
https://www.komnasham.go.id/files/1475231849-konvensi-internasional-tentang-
$0ZG3.pdf diakses 20 April 2020
Kenneth W. Abbott, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, and
Duncan Snidal, The Concept of Legalization
https://www.princeton.edu/~amoravcs/library/concept.pdf diakses 20 April 2020
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5de4c2b86e95d/negara-diingatkan-ratifikasi-
konvensi-anti-penghilangan-paksa/ diakses 20 April 2020
http://alfianheri.blogspot.com/2009/11/bentuk-legalisasi-dan-efektifitas-hukum.html
diakses 20 April 2020