Oleh :
Randy Ramanda P (F15112006)
Reseyca (F15112008)
Rina Ernani N.K (F15112002)
Romi Irawan (F15112022)
Kata” kemandirian” berasal dari kata dasar diri yang mendapat awalan” ke “dan akhiran “an
“yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal
dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat lepas dari pembahasan
mengenai perkembangan diri itu sendiri , yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan
istilah self karena itu merupakan inti dari kemandirian. Upaya untuk mendeskripsikan
kemandirian dan proses perkembangannya, ada berbagai sudut pandang yang sejauh
perkembangannya dalam kurun waktu sedemikian lamanya telah dikembangkan oleh para ahli.
Konsep yang sering digunakan atau berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.
Otonomi adalah kebebasan individu manusia untuk memilih menjadi kesatuan yang bisa
memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri ( Chaplin , 2002 ). Sedangkan Seifert
dan Hoffnung (1994) mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai “the ability to govern
and regulate one’s own khoughts, feelings, and actions freely and responssibly while
overcoming feelings of shame and doubt.”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk
mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta
berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.
Dalam pengertian lain mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada
orang lain. Sedangkan kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain (Depdikbud, 1999).
Kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah,
mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.
Kemandirian mengandung pengertian:
a) suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan
dirinya
b) mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi
c) memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya
d) bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.
Menurut Erikson menyatakan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua
dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas” ego”, yaitu
merupakan perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Kemandirian
biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur
tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan-keputusan sendiri,
serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain ( Mongs , dkk , 1989 ).
Bentuk – Bentuk Kemandirian Robert Havighurst (1992) membedakan kemandirian atas tiga
bentuk kemandirian yaitu :
1. Aspek intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Anak
percaya pada kemampuannya sendiri dalam memecahkan masalah, memiliki inisiatif, bersikap
kompeten, kreatif, dapat mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih dan
bertanggung jawab atas tindakannya.
2. Aspek sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak
tergantung pada aksi orang lain. Anak mampu secara aktif untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Di dalam berinteraksi ini anak mempunyai rasa percaya diri sehingga
mampu berpisah dari kelekatan dengan orang tua sehingga anak akan merasa aman meskipun
tidak ada orang tua disekitarnya.
3. Aspek emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan
emosi pada orang lain. Anak mampu mengelola emosinya dan mempunyai kontrol diri yang
baik.
4. Aspek ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya
kebutuhan ekonomi pada orang lain. Maksudnya bukan berarti anak mampu untuk menghidupi
dirinya sendiri tetapi anak mampu secara sederhana untuk mengelola ekonominya sendiri.
Contohnya anak mampu untuk mengelola uang saku yang diberikan orang tua, mampu
memutuskan apa yang sebaiknya dibeli dan tidak.
Sementara Steiberg (1993) , membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk yaitu:
Durkheim berpendirian bahwa kemandirian merupakan elemen esensial ketiga dari molaritas
yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa kemandirian
tumbuh dan berkembang karena adanya dua faktor yang menjadi prasyarat bagi kemandirian,
yaitu :
1. Tingkat pertama, adalah tingkatan implusif dan melindungi diri. Tingkatan ini mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan
orang lain
b. Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik
c. Berfikir tidak logis dan tertegun pada cara berfikir tertentu ( stereotype)
d. Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games
e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkunganya.
Penafsiran tingkat kemandirian remaja menyebar pada tingkatan sadar diri , seksama ,
individualistik dan mandiri sebagai berikut :
Tingkat Sadar Diri
Tingkat Seksama
Tingkat Individualisme
Tingkat Mandiri
Tahapan Perkembangan Kemandirian
Kemandirian semakin berkembang pada setiap masa perkembangan seiring pertambahan usia
dan pertambahan kemampuan. Perkembangan kemandirian tersebut diidentifikasikan pada usia
0 – 2 tahun ; usia 2 – 6 tahun ; usia 6 – 12 tahun ; usia 12 – 15 tahun dan pada usia 15 – 18
tahun.
Ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi perkembangan kemandirian yaitu
sebagai berikut (Ali , 2006) :
Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki
sifat mandiri juga. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena adanya
pendapat bahwa sesungguhnya bukan karena sifat kemandirian orang tuanya itu menurun
kepada anaknya, melainkan karena sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tuanya
mendidik anaknya.
Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hirarki struktur sosial
kurang menghargai menifestasi potensi anak dalam kegiatan produktif dapat menghambat
perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, menghargai
ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hirarkis akan
merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian anak.
Orang tua dengan pola asuh yang demokratis sangat merangsang kemandirian anak. Dimana
peran orang tua sebagai pembimbing yang memperhatikan terhadapa kebutuhan anak terutama
dalam hal study dan pergaulan di lingkungan atau di sekolah.
2. Jenis kelamin
Anak yang berkembang dengan pola tingkah laku maskulin, lebih mandiri dari pada anak yang
mengembangkan tingkah laku yang feminim.
Anak pertama yang diharapkan untuk menjadi contoh teladan bagi adiknya, lebih berpeluang
untuk mandiri. Sementara anak bungsu yang mendapat perhatian berlebihan dari orang tua dan
kakak-kakaknya, berpeluang kecil untuk bias mandiri ( Hurlock , 1980 ).
Misalnya orang tua yang selalu melayani keperluan anaknya seperti mengerjakan PR-nya, hal
ini akan membuat anak manja dan tidak mau berusaha sendiri, sehingga anak menjadi tidak
mandiri.
2. Sikap orang tua
Misalnya orang tua yang selalu memanjakan dan memuji anak akan menghambat kemandirian.
Misalnya anak tidak mempunyai kegiatan denga teman-temannya, hal ini akan membuat anak
bosan sehingga ia menjadi malas dan tidak kreatif serta tidak mandiri( Markum , 1985 ).
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut, dimana dalam
pemaparan tentang faktor-faktor penghambat kemandirian terdapat kesamaan antara yang satu
dengan yang lainnya. Dari beberapa pendapat tersebut akan menjadi lebih baik lagi, jika antar
pendapat yang satu dengan yang lainnya saling mengisi kekurangan diantara berbagai pendapat
tersebut. Dengan dmikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
terhambatnya kemandirian adalah gen atau keturunan orang tua, pola asuh orang tua, jenis
kelamin, urutan posisi anak, kebiasaan serba dibantu, sikap orang tua, kurangnya kegiatan di
luar rumah, sistem pendidikan disekolah atau perguruan dan sistem kehidupan masyarakat
Dengan asumsi bahwa kemandirian sebagai aspek psikologis berkembang tidak dalam
kevakuman atau diturunkan oleh orang tuanya maka intervensi positif melalui ikhtiar
pengembangan atau pendidikan sangat diperlukan bagi kelancaran perkembangan kemandirian
remaja.
Sejumlah intervensi dapat dilakukan sebagai ikhtiar pengembangan kemandirian remaja, antara
lain
1. Penciptaan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga. Ini dapat diwujudkan
dalam bentuk
a. Saling menghargai anggota keluarga
b. Keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja dan keluarga.
2. Penciptaan keterbukaan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk
a. Toleransi terhadap perbedaan pendapat
b .Memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil oleh remaja
c. Keterbukaan terhadap minat remaja
d Mengembangkan komitmen terhadap tugas remaja
e. Kehadiran dan keakraban hubungan dengan remaja.
6. Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk :
a. Interaksi secaraakrab tetapi tetap saling menghargai
b. Menambah frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin terhadap remaja
c. Mengembangkan suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja.
Selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon
secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan
psikologis sang remaja di masa mendatang. Ditengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi
di masa kini, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa frustrasi mendalam
terhadap orangtua karena tidak kunjung mendapatkan apa yang dinamakan kemandirian.
Kebingungan dan keluh kesah yang dialami remaja karena banyak sekali aspek kehidupan
mereka yang masih diatur oleh orangtua, meski banyak diantara mereka yang sudah berusia
lebih dari 17 tahun. Salah satu contohnya adalah dalam hal pemilihan jurusan/fakultas ketika
masuk sekolah/Perguruan Tinggi. Dalam hal ini masih banyak ditemui orangtua yang sangat
ngotot untuk memasukkan putra/putrinya ke jurusan yang mereka kehendaki meskipun anaknya
sama sekali tidak berminat untuk masuk ke jurusan tersebut. Akibatnya remaja tersebut tidak
memiliki motivasi belajar, berkehilangan gairah untuk sekolah dan tidak jarang justru berakhir
dengan Drop Out dari sekolah tersebut.
Mencermati kenyataan tersebut, peran orangtua sangatlah besar dalam proses pembentukan
kemandirian seorang. Orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar
dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil
keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya. Dengan demikian anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang
sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri.