Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


“KEMANDIRIAN”
Dosen pengampu : Prof. Dr. Uray Husna Asmara

Oleh :
Randy Ramanda P (F15112006)
Reseyca (F15112008)
Rina Ernani N.K (F15112002)
Romi Irawan (F15112022)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JUSRUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012
A. Pengertian Kemandirian

Kata” kemandirian” berasal dari kata dasar diri yang mendapat awalan” ke “dan akhiran “an
“yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal
dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat lepas dari pembahasan
mengenai perkembangan diri itu sendiri , yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan
istilah self karena itu merupakan inti dari kemandirian. Upaya untuk mendeskripsikan
kemandirian dan proses perkembangannya, ada berbagai sudut pandang yang sejauh
perkembangannya dalam kurun waktu sedemikian lamanya telah dikembangkan oleh para ahli.

Konsep yang sering digunakan atau berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.
Otonomi adalah kebebasan individu manusia untuk memilih menjadi kesatuan yang bisa
memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri ( Chaplin , 2002 ). Sedangkan Seifert
dan Hoffnung (1994) mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai “the ability to govern
and regulate one’s own khoughts, feelings, and actions freely and responssibly while
overcoming feelings of shame and doubt.”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk
mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta
berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.
Dalam pengertian lain mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada
orang lain. Sedangkan kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain (Depdikbud, 1999).

Kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah,
mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.
Kemandirian mengandung pengertian:
a) suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan
dirinya
b) mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi
c) memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya
d) bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.
Menurut Erikson menyatakan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua
dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas” ego”, yaitu
merupakan perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Kemandirian
biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur
tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan-keputusan sendiri,
serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain ( Mongs , dkk , 1989 ).
Bentuk – Bentuk Kemandirian Robert Havighurst (1992) membedakan kemandirian atas tiga
bentuk kemandirian yaitu :

1. Aspek intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Anak
percaya pada kemampuannya sendiri dalam memecahkan masalah, memiliki inisiatif, bersikap
kompeten, kreatif, dapat mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih dan
bertanggung jawab atas tindakannya.
2. Aspek sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak
tergantung pada aksi orang lain. Anak mampu secara aktif untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Di dalam berinteraksi ini anak mempunyai rasa percaya diri sehingga
mampu berpisah dari kelekatan dengan orang tua sehingga anak akan merasa aman meskipun
tidak ada orang tua disekitarnya.
3. Aspek emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan
emosi pada orang lain. Anak mampu mengelola emosinya dan mempunyai kontrol diri yang
baik.
4. Aspek ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya
kebutuhan ekonomi pada orang lain. Maksudnya bukan berarti anak mampu untuk menghidupi
dirinya sendiri tetapi anak mampu secara sederhana untuk mengelola ekonominya sendiri.
Contohnya anak mampu untuk mengelola uang saku yang diberikan orang tua, mampu
memutuskan apa yang sebaiknya dibeli dan tidak.

Sementara Steiberg (1993) , membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk yaitu:

1. Kemandirian emosional (emotional autonomy)


Kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu,
seperti hubungan emosional peserta didik dengan guru atau dengan orangtuanya.
2. Kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy)
Kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan
melakukanya secara bertanggung jawab.
3. Kemandirian nilai (value autonomy)
Kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, tentang apa yang penting
dan apa yang tidak penting.
Menurut Emil Durkheim, misalnya, melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut
pandang yang berpusat pada masyarakat ( Sunaryo kartadinata , 1988 ). Pandangan ini dikenal
juga dengan pandangan konformistik.

Durkheim berpendirian bahwa kemandirian merupakan elemen esensial ketiga dari molaritas
yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa kemandirian
tumbuh dan berkembang karena adanya dua faktor yang menjadi prasyarat bagi kemandirian,
yaitu :

 Disiplin , yaitu adanya aturan yang bertindak dan otoritas


 Komitmen terhadap kelompok
Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orang tua
dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu. Seiring dengan
berlalunya waktu dan perkembangan selanjutnya, seorang anak perlahan-lahan akan
melepaskan diri dari ketergantungannya pada orangtua atau orang lain di sekitarnya dan belajar
untuk mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh semua makhluk
hidup, tidak terkecuali manusia. Mandiri atau sering juga disebut berdiri diatas kaki sendiri
merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung
jawab atas apa yang dilakukannya. Kemandirian dalam konteks individu tentu memiliki aspek
yang lebih luas dari sekedar aspek fisik.
Oleh sebab itu, kemandirian bukanlah hasil dari proses dari internalisasi aturan otoritas,
melainkan suatu proses perkembangan diri sesuai dengan hakikat eksistensi manusia. Proses
perkembangan manusia harus dipandang sebagai proses interaksional dinamis. Interaksional
mengandung makna bahwa kemandirian berkembang melalui proses keragaman manusia dalam
kesamaan dan kebersamaan, bukan dalam kevakuman. Dalam konteks kesamaan dan
kebersamaan kemandirian dapat dibedakan menjadi dua ( Abraham H. Maslow , 1971 ) yaitu :
 Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih kepada dunia, kehidupan
dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama dan tumbuh rasa percaya terhadap
kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk mencintai kehidupan dan membantu orang lain.
 Kemandirian tak aman adalah kekuatan keperibadian yang dinyatakan dalam prilaku
menentang dunia. Maslow menyebut kondisi seperti ini sebagai selfish autonomy atau
kemandirian mementingkan diri sendiri.
Menurut M . I . Soelaeman ada 5 karakteristik interen dan esensial yang saling berinteraksi
dalam kehidupan :
 Kedirian
 Komunikasi
 Keterarahan
 Dinamika
 Sistem Nilai

B. Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian

Sebagai suatu dimensi psikologi yang kompleks , kemandirian dalam perkembangannya


memiliki tingkatan-t ingkatan. Perkembangan kemandirian seseorang berlangsung secara
bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemandirian tersebut. Menurut Lovinger
mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristiknya ( Sunaryo Kartadinata , 1998 )
yaitu:

1. Tingkat pertama, adalah tingkatan implusif dan melindungi diri. Tingkatan ini mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :

a. Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan
orang lain
b. Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik
c. Berfikir tidak logis dan tertegun pada cara berfikir tertentu ( stereotype)
d. Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games
e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkunganya.

2. Tingkat kedua, adalah konformistik. Ciri-cirinya adalah :


a. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan social
b. Cenderung berfikir stereotype dan klise
c. Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal
d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian
e. Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya intropeksi
f. Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal
g. Takut tiadak diterima kelompok
h. Tidak sensitif terhadap keindividualan
i. Merasa berdosa jika melanggar aturan

3. Tingkatan ketiga, adalah tingkat sadar diri .


a. Mampu berpikir alternative
b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi
c. Memikirkan cara hidup
d. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan
e. Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah
f. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada.

4. Tingkat keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-ciri nya adalah :


a. Bertindak atas dasar nilai-nilai internal
b. Sadar akan tanggung jawab
c. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri
d. Memiliki tujuan jangka panjang
e. Berfikir lebih kompleks dan atas dasar pola analisis
f. Peduli akan hubungan mutualistik
g. Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial
h. Mampu melihat keragaman emosi,motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang lain.
5. Tingkatan kelima, adalah tingkat individualistis. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peningkatan kesadaran individualitas
b. Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan keter-gantungan
c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain
d. Mengenal eksistensi perbedaan individual
e. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan
f. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya
g. Mengenal kompleksitas diri
h. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.

6. Tingkatan keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:


a. Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan
b. Cenderung besikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri maupun orang lain
c. Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan social
d. Mampu mengintregrasikan nilai-nilai yang bertentangan
e. Toleran terhadap ambiguitas
f. Peduli akan pemenuhan diri ( self-fulfilment )
g. Ada keberanian untuk menyelesaikan internal
h. Responsif terhadap kemandirian orang konflik lain
i. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain
j. Mampu mengekpresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan (Ashrori,
2008;110)

Penafsiran tingkat kemandirian remaja menyebar pada tingkatan sadar diri , seksama ,
individualistik dan mandiri sebagai berikut :
 Tingkat Sadar Diri
 Tingkat Seksama
 Tingkat Individualisme
 Tingkat Mandiri
Tahapan Perkembangan Kemandirian
Kemandirian semakin berkembang pada setiap masa perkembangan seiring pertambahan usia
dan pertambahan kemampuan. Perkembangan kemandirian tersebut diidentifikasikan pada usia
0 – 2 tahun ; usia 2 – 6 tahun ; usia 6 – 12 tahun ; usia 12 – 15 tahun dan pada usia 15 – 18
tahun.

1. Usia 0 sampai 2 tahun


Sampai usia dua tahun, anak masih dalam tahap mengenal lingkungannya, mengembangkan
gerak-gerik fisik dan memulai proses berbicara. Pada tahap ini anak masih sangat bergantung
pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
2. Usia 2 sampai 6 tahun
Pada masa ini anak mulai belajar untuk menajdi manusia sosial dan belajar bergaul. Mereka
mengembangkan otonominya seiring dengan bertambahnya berbagai kemampuan dan
keterampilan seperti keterampilan berlari, memegang, melompat, memasang dan berkata-kata.
Pada masa ini pula anak mulai dikenalkan pada toilet training, yaitu melatih anak dalam buang
air kecil atau air besar.
3. Usia 6 sampai 12 tahun
Pada masa ini anak belajar untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya secara mandiri dan
bertanggung jawab. Pada masa ini anak belajar di jenjang sekolah dasar. Beban pelajaran
merupakan tuntutan agar anak belajar bertanggung jawab dan mandiri.
4. Usia 12 sampai 15 tahun
Pada usia ini anak menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama (SMP). Masa ini
merupakan masa remaja awal di mana mereka sedang mengembangkan jati diri dan melalui
proses pencarian identitas diri. Sehubungan dengan itu pula rasa tanggung jawab dan
kemandirian mengalami proses pertumbuhan.
5. Usia 15 sampai 18 tahun
Pada usia ini anak sekolah di tingkat SMA. Mereka sedang mempersiapkan diri menuju proses
pendewasaan diri. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan menengahnya mereka akan
melangkah menuju dunia Perguruan Tinggi atau meniti karier, atau justru menikah. Banyak
sekali pilihan bagi mereka. Pada masa ini mereka diharapkan dapat membuat sendiri pilihan
yang sesuai baginya tanpa tergantung pada orangtuanya. Pada masa ini orangtua hanya perlu
mengarahkan dan membimbing anak untuk mempersiapkan diri dalam meniti perjalanan
menuju masa depan.

C. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Remaja

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian. Sebagaimana aspek-aspek psikologis


dan aspek lainnya. Kemandirian juga bukanlah semata-mata merupakan pembawaan yang
melekat pada diri individu sejak lahir. Perkembangannya juga dipengaruhi oleh berbagai
stimulasi yang dating dari lingkungannya, selain potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai
keturunan dari orang tuanya.

Ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi perkembangan kemandirian yaitu
sebagai berikut (Ali , 2006) :

1) Gen atau keturunan orang tua

Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki
sifat mandiri juga. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena adanya
pendapat bahwa sesungguhnya bukan karena sifat kemandirian orang tuanya itu menurun
kepada anaknya, melainkan karena sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tuanya
mendidik anaknya.

2) Sistem pendidikan di sekolah

Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan


cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan
kemandirian anak. Demikian juga, proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya
pemberian sanksi atau hukuman (punishment) juga dapat menghambat perkembangan
kemandirian anak. Sebaliknya proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya
penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward dan penciptaan kompetisi positif akan
memperlancar perkembangan kemandirian anak.
3) Sistem kehidupan di masyarakat

Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hirarki struktur sosial
kurang menghargai menifestasi potensi anak dalam kegiatan produktif dapat menghambat
perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, menghargai
ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hirarkis akan
merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian anak.

Menurut Hurlock factor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah:

1. Pola asuh orang tua

Orang tua dengan pola asuh yang demokratis sangat merangsang kemandirian anak. Dimana
peran orang tua sebagai pembimbing yang memperhatikan terhadapa kebutuhan anak terutama
dalam hal study dan pergaulan di lingkungan atau di sekolah.

2. Jenis kelamin

Anak yang berkembang dengan pola tingkah laku maskulin, lebih mandiri dari pada anak yang
mengembangkan tingkah laku yang feminim.

3. Urutan posisi anak

Anak pertama yang diharapkan untuk menjadi contoh teladan bagi adiknya, lebih berpeluang
untuk mandiri. Sementara anak bungsu yang mendapat perhatian berlebihan dari orang tua dan
kakak-kakaknya, berpeluang kecil untuk bias mandiri ( Hurlock , 1980 ).

Menurut Markum (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kemampuan berdiri


sendiri pada anak adalah:

1. Kebiasaan serba di bantu atau dilayani

Misalnya orang tua yang selalu melayani keperluan anaknya seperti mengerjakan PR-nya, hal
ini akan membuat anak manja dan tidak mau berusaha sendiri, sehingga anak menjadi tidak
mandiri.
2. Sikap orang tua

Misalnya orang tua yang selalu memanjakan dan memuji anak akan menghambat kemandirian.

3. Kurangnya kegiatan di luar rumah

Misalnya anak tidak mempunyai kegiatan denga teman-temannya, hal ini akan membuat anak
bosan sehingga ia menjadi malas dan tidak kreatif serta tidak mandiri( Markum , 1985 ).

Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut, dimana dalam
pemaparan tentang faktor-faktor penghambat kemandirian terdapat kesamaan antara yang satu
dengan yang lainnya. Dari beberapa pendapat tersebut akan menjadi lebih baik lagi, jika antar
pendapat yang satu dengan yang lainnya saling mengisi kekurangan diantara berbagai pendapat
tersebut. Dengan dmikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
terhambatnya kemandirian adalah gen atau keturunan orang tua, pola asuh orang tua, jenis
kelamin, urutan posisi anak, kebiasaan serba dibantu, sikap orang tua, kurangnya kegiatan di
luar rumah, sistem pendidikan disekolah atau perguruan dan sistem kehidupan masyarakat

D. Upaya Pengembangan Kemandirian Remaja dan Implikasinya Bagi Pendidikan

Dengan asumsi bahwa kemandirian sebagai aspek psikologis berkembang tidak dalam
kevakuman atau diturunkan oleh orang tuanya maka intervensi positif melalui ikhtiar
pengembangan atau pendidikan sangat diperlukan bagi kelancaran perkembangan kemandirian
remaja.
Sejumlah intervensi dapat dilakukan sebagai ikhtiar pengembangan kemandirian remaja, antara
lain
1. Penciptaan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga. Ini dapat diwujudkan
dalam bentuk
a. Saling menghargai anggota keluarga
b. Keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja dan keluarga.
2. Penciptaan keterbukaan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk
a. Toleransi terhadap perbedaan pendapat
b .Memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil oleh remaja
c. Keterbukaan terhadap minat remaja
d Mengembangkan komitmen terhadap tugas remaja
e. Kehadiran dan keakraban hubungan dengan remaja.

3. Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasikan lingkungan. Ini dapat diwujudkan dalam


bentuk :
a. Mendorong rasa ingin tahu remaja
b. Adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengeksplorasikan lingkungan
c. Adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam apabila ditaati.

4. Penerimaan positif tanpa syarat. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk :


a. Menerima apapun kelebihan maupun kekurangan yang ada pada remaja
b. Tidak membeda-bedakan antara remaja yang satu dengan yang lain
c .Menghargai ekspresi potensi remaja dalam kegiatan produktif apapun meskipun
sebenarnya hasilnya kurang memuaskan.

5. Empati terhadap remaja. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk :


a. Memahami dan menghayati pikiran dan perasaan remaja
b. Melihat berbagai persoalan remaja dengan menggunakan perspektif atau sudut
pandang remaja
c. Tidak mudan mencela pekerjaan remaja betapapun kurang bagusnya karya itu.

6. Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk :
a. Interaksi secaraakrab tetapi tetap saling menghargai
b. Menambah frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin terhadap remaja
c. Mengembangkan suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja.
Selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon
secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan
psikologis sang remaja di masa mendatang. Ditengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi
di masa kini, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa frustrasi mendalam
terhadap orangtua karena tidak kunjung mendapatkan apa yang dinamakan kemandirian.

Kebingungan dan keluh kesah yang dialami remaja karena banyak sekali aspek kehidupan
mereka yang masih diatur oleh orangtua, meski banyak diantara mereka yang sudah berusia
lebih dari 17 tahun. Salah satu contohnya adalah dalam hal pemilihan jurusan/fakultas ketika
masuk sekolah/Perguruan Tinggi. Dalam hal ini masih banyak ditemui orangtua yang sangat
ngotot untuk memasukkan putra/putrinya ke jurusan yang mereka kehendaki meskipun anaknya
sama sekali tidak berminat untuk masuk ke jurusan tersebut. Akibatnya remaja tersebut tidak
memiliki motivasi belajar, berkehilangan gairah untuk sekolah dan tidak jarang justru berakhir
dengan Drop Out dari sekolah tersebut.

Mencermati kenyataan tersebut, peran orangtua sangatlah besar dalam proses pembentukan
kemandirian seorang. Orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar
dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil
keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya. Dengan demikian anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang
sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri.

E. Pentingnya Kemandirian Bagi Peserta Didik


Pentingnya kemandirian bagi peserta didik dapat dilihat dari situasi kompleksitas kehidupan
dewasa ini, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kehidupan peserta didik.
Dalam konteks proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang kurang mandiri
dalam belajar, yang dapat menimbulkan gangguan mental setelah memasuki pendidikan
lanjutan, kebiasaan belajar yang kurang baik (seperti tidak betah belajar lama atau belajar
hanya menjelang ujian, membolos, mencontek, dan memberi bocoran soal-soal ujian).
Fenomena di atas menuntut dunia pendidikan untk mengembangkan kemandirian
pesera didik.( Sunaryo Kartadinata , 1988) menyebutkan beberapa gejala yang berhubungan
dengan permasalahan kemandirian yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan yaitu:
 Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan buakn karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku
seperti ini akan mengarah pada perilaku formalistik, ritualistik dan tidak konsisten, yang pada
giliranya akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai
salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian manusia.
 Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas
dari lingkungannya, melainkan bertrasnsenden terhadap lingkunagannya. Ketidak pedulian
terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif, yang menunjukkan bahwa
kemandirian masyarakan masih rendah.
 Sikap hidup konformitis tanpa pemahaman dan konformistik dengan mengorbankan prinsip.
Mitos bahwa segala sesuatunya bisa diatur yang berkembang di masyaraka menunjukkan
adanya ketidakjujuran dalam berfikir dan berindak serta kemandirian masih rendah.

Gejala-gejala tersebut merupakan bagian kendala utama dalm mempersiapkan individi-


individu yang mengarungi kehidupan masa mendatang yang semakin kompleks dan penuh
tantangan. Oleh sebab itu , perkembangan kemandirian peserta didik menuju ke arah
kesempurnaan menjadi sangat penting untuk dilakukan secara serius, sistematis dan
terprogram.
DAFTAR PUSTAKA
Asarori , M . 2008 . Perkembangan Peserta Didik . Pontianak : Untan Press .
Desmita . 2009 . Psikologi Perkembangan Peserta Didik . Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Sunaryo Kartadinata. 1998. Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosial Mahasiswa
serta Kaitannya dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Nilai. Bnadung :Diserta Doktor
pada Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung
Maslow,A.H. 1992. Toward a Physichology of being. NewYork : Van Nostran

Anda mungkin juga menyukai