DISUSUN OLEH:
ILMU KOMUNIKASI
2022/2023
1. PENDAHULUAN
Kerentanan adalah konsep luas yang dibahas secara luas dalam literatur ilmiah
baru-baru ini. Orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) termasuk
di antara populasi rentan dengan kerugian signifikan terkait kesehatan dan determinan
sosial kesehatan. Wacana etika medis menangani kerentanan dari perspektif filosofis
dan politik. Orang-orang LGBT mengalami beberapa kerugian dari kedua perspektif.
Hal ini bertujuan untuk menjustifikasi hak atas kesehatan bagi kaum LGBT dan klaim
khusus mereka terkait layanan kesehatan karena mereka termasuk dalam kelompok
rentan. Teori keadilan Rawls dan pendekatan fungsi normal Norman Daniels akan
dibahas dalam konteks ini. Terlepas dari kenyataan bahwa hak atas kesehatan dapat
dibenarkan dengan pendekatan fungsi normal Daniels, masih ada kesenjangan
teoretis dalam membenarkan hak atas kesehatan untuk populasi rentan tertentu seperti
kelompok LGBT dan membahas kewajiban masyarakat untuk mengkompensasi
kerugian ini. Dalam mencari dasar teoretis yang kuat untuk pembenaran hak atas
kesehatan bagi orang-orang LGBT, penulis mengambil kesempatan untuk
memanfaatkan definisi Daniels yang fleksibel tentang fungsi normal untuk
menunjukkan bahwa fungsi normal tidak hanya bervariasi berdasarkan usia tetapi
juga oleh keadaan manusia yang berbeda. keberadaan manusia, termasuk orientasi
seksual dan identitas gender, dan untuk mengusulkan penggantian pendekatan
rentang hidup dengan keadaan normal keberadaan manusia.
3. ANALISIS KASUS
Gita Savitri atau yang biasa dikenal dengan sapaan Gitasav merupakan seleb
asal Indonesia yang saat ini sedang berdomisili di Jerman. Sejak berumur 18 tahun,
Gitasav bertempat tinggal di Jerman untuk menempuh Pendidikan S-1nya. Hingga
saat ini ia masih menetap di Jerman Bersama dengan suaminya. Melihat adanya
beberapa perbedaan budaya antara Indonesia dan Jerman, Gitasav seringkali menuai
pendapat yang kontriversial. Salah satu hal yang menjadi perbincangan ialah ketika
Gitasav memutuskan untuk childfree atau tidak ingin memiliki keturunan. Hal
tersebut menuai banyak pendapat baik pendapat pro maupun kontra dari kalangan
masyarakat Indonesia. Gitasav memutuskan hal tersebut karena menurutnya memiliki
anak merupakan tanggung jawab yang besar dan harus dipikir matang-matang.
Tidak berhenti disitu, baru-baru ini Gitasav Kembali menuai kontroversi terkait
dengan Piala Dunia 2022 yang berlangsung di Qatar. Sebagaimana diketahui, Piala
Dunia tahun ini dipenuhi dengan berbagai aksi dan drama yang direspon dengan
beragam komentar baik yang pro maupun yang kontar. Berkaitan denga napa yang
dilakukan oleh Gitasav, sebagaimana kita tahu, dalam Piala Dunia 2022 kemarin tim
nasional Jerman melakukan foto dengan gaya tangan menutupi mulut. Disinyalir hal
tersebut dilakukan karena Qatar selaku Tuan Rumah Piala Dunia 2022 melarang
adanya kegiatan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, + (LGBTQ+)
sepanjang Piala Dunia 2022 berlangsung. Hal ini pun direspon kontra oleh tim
nasional Jerman yang pada umumnya pro terhadap perilaku LGBTQ+. Jika berkaca
pada komentar-komentar Gitasav, maka diketahui Jerman merupakan negara yang
bebas akan LGBTQ+ sehingga hal tersebut merupakan suatu hal yang lumrah di sana.
Terhadap apa yang dilakukan oleh para tim nasional Jerman, Gitasav berkomentar
bahwa apa yang dilakukan oleh Qatar ialah homophobia karena melarang Tindakan
bahkan lambang yang mendukung LGBTQ+.
Berdasarkan kasus posisi yang telah dijelaskan di atas, maka kasus tersebut
dapat dianalisis melalui teori yang sudah dijelaskan dalam literature review yaitu
terkait dengan teori face-negotiation theory. Dalam teori tersebut, diketahui setiap
orang memiliki budaya yang berbeda-beda yang mana berpengaruh terhadap pola
piker dan karateristik tiap orang. Dengan demikian, maka terlihat jelas bahwa apa
yang dikatakan oleh Gitasav yang mana kebanyakan berdasar atas kehidupannya di
Jerman dengan membandingan apa yang terjadi di Indonesia jelas berbeda karena
berdasar atas dua budaya yang beda. Jika mengacu pada contoh teori face-negotiation
di atas, maka diberitahu jika orang barat akan lebih individualis yang mana berdasar
atas kebebasan dirinya. Hal tersebut berbeda dengan orang Indonesia yang pada
pokoknya berdasar atas kerja sama ataupun asas gotong royong. Dengan demikian,
LGBTQ+ yang pada umumnya kebebasan individu untuk mengungkapkan siapa
dirinya pun banyak diterima di negara-negara barat seperti di Eropa, Inggris, dan
Amerika Serikat.
Ketika Gitasav yang notabenenya merupakan warga negara Indonesia, maka
ketika ia berada di Jerman terhadap beberapa budaya baru yang harus ia sesuaikan.
Jika diperhatikan, maka antara Jerman dan Indonesia terdapat dua budaya yang saling
bertolak belakang. Contohnya, kebanyakan masyarakat Indonesia menolak adanya
LGBTQ+ sedangkan di Jerman mayoritas warganya mendukung adanya LGBTQ+.
Hal ini tentu saja menunjukan adanya face-negotiation theory dimana Gitasav
diharuskan untuk terbiasa dengan budaya yang beda.
Disamping adanya analisis berdasarkan teori face negotiation, apa yang
dilakukan oleh Gitasav untuk mengomentari Piala Dunia 2022 yang terjadi di Qatar
lalu juga dapat dianalisis melalui etika filsafat. Dalam hal ini, etika filsafat adalah
cabang ilmu yang berbicara mengenai nilai baik yang buruk maupun yang baik yang
berkaitan dengan tangkah laku manusia. Jika dikaitkan dengan kasus Gitasav, maka
Gitasav akan menganggap bahwa apa yang ia ungkapkan merupakan hal yang benar
karena ia terbiasa dengan lingkungan yang seperti itu di Jerman. Ia bisa menganggap
hal tersebut benar menurutnya karena ia memang terbiasa. Namun, hal tersebut belum
tentu dianggap benar oleh masyarakat di Indonesia karena perbedaan nilai moral yang
biasanya dilakukan di Indonesia dan Jerman. Di Indonesia, LGBTQ+ bukanlah etika
yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia karena hal tersebut bertentangan
dengan norma keagamaan di Indonesia. Namun, sebagai warga yang bebas, LGBTQ+
merupakan moral yang bisa saja diterima oleh warga Jerman.
Lebih lanjut, dalam etika filsafat jika dikaitkan dengan isu moral dalam media
masa maka diketahui media dapat dijadikan sebagai alat untuk memperluas
brandingnya ketika para pihak baik individu maupun brand dalam media sosial.
Dalam hal ini, diketahui bahwa keseharian Gitasav yang notabenenya banyak
menghabiskan waktu di Jerman maka moralnya pun akan terbentuk seperti orang
Jerman. Kemudian, konsep ekonomi politik dalam media ini terbagi menjadi tiga
jenis, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturisasi. Jika mengarah kepada
komodifikasi, maka Gitasav yang lahir di Indonesia membutuhkan adanya modifikasi
baik dari pola piker maupun gaya hidup ketika telah tinggal di Jerman. Namun,
sebaiknya yang harus dilakukan adalah mengambil budaya baik dari Indonesia
kemudian menerapkan di Jerman bukan malah memaksakan budaya Jerman untuk
cocok di Indonesia seperti isu LGBTQ+.
Selanjutnya, terdapat konsep spasialisasi, dalam hal ini berarti addanya proses
untuk mengatasi perbedaan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Diketahui,
ruang dan waktu antara Indonesia dan Jerman pun jelas berbeda, yang mana juga akan
berpengaruh pada kondisi geografi serta sosial dan budayanya. Dengan segala
perbedaan yang ada, sebaiknya Gitasav dapat memilih mana yang cocok untuk
diterapkan di Indonesia dan mana yang cocok untuk diterapkan di Jerman. Terakhir,
terdapat strukturisasi. Namun, hal ini akan lebih relevan jika berkaitan dengan para
pembuat kebijakan yang dapat mengatur kondisi sosial seseorang. Contohnya ialah
para pemangku kebijakan yang dapat merubah regulasi terkait LGBTQ+ di suatu
negara.
Kemudian, selain dapat dianalisis dari teori face-negotiation, apa yang terjadi
dalam kasus Gitasav juga dapat dianalisis melalui stereotype yang dilakukan oleh
Gitasav yang mana stereotype sendiri termasuk ke dalam etika dan filsafat. Menurut
pendapat beberapa ahli, stereotype ini bukan lagi merupakan masalah sosial
merupakan masalah komunikasi antar budaya. Dengan demikian, stereotype
dimaknakan sebagai penilaian terhadap seseorang ataupun sekelompok orang
terhadap suatu persepsi di mana entitas tersebut dikategorikan. Jika berkaca pada
kasus yang terjadi oleh Gitasav, maka stereotype ini dapat ditemukan ketika Gitasav
berkomentar “homophobia” terhadap Qatar selaku tuan rumah Piala Dunia 2022 yang
melarang adanya Tindakan LGBTQ+. Dalam hal ini, Gitasav yang telah terbiasa
dengan budaya barat karena tinggal di Jerman dari umur 18 tahun maka akan terbiasa
dengan hal-hal yang umumnya terjadi di Jerman seperti childfree dan LGBTQ+.
Berbeda dengan budaya Indonesia yang pada umumnya berbeda dengan budaya-
budaya barat tersebut. Dengan demikian, jika Gitasav berkomentar berdasar pada
budaya yang telah ia jalani sejak umur 18 tahun maka akan menuai berbagai macam
komentar terutama dari masyarakat Indonesia yang notabenenya berbeda budaya
dengan Jerman.
4. KESIMPULAN
Mengacu pada kasus Gitasav maka hal tersebut dapat dianalisis melalui
beberapa teori yaitu teori face-negotiation, stereotype, dan etika filsafat. Jika
mengaitkan apa yang direspon oleh Gitasav dalam Piala Dunia 2022 di Qatar lalu
terkait LGBTQ+, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang ia bicarakan condong
untuk membela LGBTQ+ mulai dari budaya yang ia pamerkan di sosial media hingga
mengatakan homophobia terhadap Qatar. Apabila dianalisis melalui tiga teori tadi,
maka dapat dilihat perbedaan antara pendapat Gitasav dengan masyarakat Indonesia
dititikberatkan pada adanya perbedaan norma dan budaya antara Jerman dan
Indonesia. Dengan demikian, Gitasav yang sudah lama tinggal di Jerman telah
terbiasa dengan kebiasaan di Jerman dan warga Indonesia pun merasa budaya
tersebut tidak benar karena tidak sesuai dengan budaya dan norma di Indonesia, dan
kebalikannya dengan Gitasav.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hamami Mintarejda, 1987, Epistemologi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Bhayangkara, Chintya Sami. “Seretan Kontroversi Gita Savitri, Terbaru Soal Isu LGBTQ di
Piala Dunia 2022.” https://www.suara.com/news/2022/11/26/222204/deretan-
kontroversi-gita-savitri-terbaru-soal-isu-lgbtq-di-piala-dunia-2022, diakses 30
Desember 2022.
Eliason, M. J., Dibble, S. L., & Robertson, P. A, Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender
(LGBT) Physicians’ Experiences in the Workplace, (Journal of Homosexuality, 58
(10), 2011), hlm. 1355–1371.
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, 2010, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta.
Beberapa konten yang membahas dan beberapa cuitan netizen terhadap Gita Savitri ;