Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS PENGARUH NILAI MORAL DALAM MEDIA MASA DAN ETIKA

PADA KTIRIK GITA SAVITRI DI KASUS PIALA DUNIA

DISUSUN OLEH:

Nama : Dinda Airilita


NIM : 1201003116

ILMU KOMUNIKASI

2022/2023
1. PENDAHULUAN
Kerentanan adalah konsep luas yang dibahas secara luas dalam literatur ilmiah
baru-baru ini. Orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) termasuk
di antara populasi rentan dengan kerugian signifikan terkait kesehatan dan determinan
sosial kesehatan. Wacana etika medis menangani kerentanan dari perspektif filosofis
dan politik. Orang-orang LGBT mengalami beberapa kerugian dari kedua perspektif.
Hal ini bertujuan untuk menjustifikasi hak atas kesehatan bagi kaum LGBT dan klaim
khusus mereka terkait layanan kesehatan karena mereka termasuk dalam kelompok
rentan. Teori keadilan Rawls dan pendekatan fungsi normal Norman Daniels akan
dibahas dalam konteks ini. Terlepas dari kenyataan bahwa hak atas kesehatan dapat
dibenarkan dengan pendekatan fungsi normal Daniels, masih ada kesenjangan
teoretis dalam membenarkan hak atas kesehatan untuk populasi rentan tertentu seperti
kelompok LGBT dan membahas kewajiban masyarakat untuk mengkompensasi
kerugian ini. Dalam mencari dasar teoretis yang kuat untuk pembenaran hak atas
kesehatan bagi orang-orang LGBT, penulis mengambil kesempatan untuk
memanfaatkan definisi Daniels yang fleksibel tentang fungsi normal untuk
menunjukkan bahwa fungsi normal tidak hanya bervariasi berdasarkan usia tetapi
juga oleh keadaan manusia yang berbeda. keberadaan manusia, termasuk orientasi
seksual dan identitas gender, dan untuk mengusulkan penggantian pendekatan
rentang hidup dengan keadaan normal keberadaan manusia.

2. PEMBAHASAN (LITERATURE REVIEW)


A. FACE-NEGOTIATION THEORY
Face Negotiation Theory didasarkan pada asumsi mendasar bahwa,
terlepas dari budaya mereka, semua orang peduli dengan menyelamatkan muka.
Teori ini mencoba untuk menjelaskan alasan di balik perbedaan cara orang dari
budaya yang berbeda menangani konflik. Menurut Face Negotiation Theory, ini
terjadi karena orang-orang dari budaya yang berbeda memiliki prioritas yang
berbeda dalam hal menyelamatkan muka, dan mereka memiliki gagasan berbeda
tentang apa yang dimaksud dengan menyelamatkan muka. Teori ini memberikan
penekanan khusus pada sudut pandang yang berbeda dari anggota budaya
kolektivis dan individualistis. Karena budaya kolektivis menekankan kolektif,
anggota berusaha menghindari apapun yang dapat merusak kelompok. Akibatnya,
mereka sering menghindari konflik, dan mereka sering membiarkan orang lain
menyelamatkan muka ketika konflik tidak dapat dihindari. Selain itu, menyimpan
wajah grup dipandang sebagai yang utama, dengan menyimpan wajah individu di
kursi belakang. Budaya individualistik, di sisi lain, menekankan individu, dan
anggota, yang merasa perlu membuat orang lain kehilangan muka untuk
menyelamatkan diri mereka sendiri, sering percaya bahwa menghindari konflik
menyebabkan kehilangan muka. Dalam budaya ini, wajah kelompok mungkin
menjadi pertimbangan sekunder, atau mungkin tidak menjadi pertimbangan sama
sekali.
Face Negotiation Theory pertama kali digagas oleh Stella Ting-Toomey
pada tahun 1985. Teori ini lahir sebagai akibat dari kekesalan Ting-Toomey
terhadap teori komunikasi konflik interpersonal yang populer pada tahun 1980-
an. Pada saat itu, teori menekankan nilai pengungkapan diri dan konfrontasi
konflik. Strategi yang sering digunakan oleh budaya kolektivis diabaikan atau
dipandang tidak diinginkan atau tidak efektif. Arahan ini tidak banyak
meningkatkan komunikasi dan resolusi konflik antara budaya dengan gaya yang
berbeda. Ting-Toomey mulai bekerja untuk memberikan teori yang lebih
lengkap. Face Negotiation Theory telah menjadi subyek kritik sejak
diperkenalkan. Misalnya, Ting-Toomey mendasarkan teorinya pada asumsi dasar
tentang cara kerja budaya individualistis dan kolektivis. Namun, perbedaan-
perbedaan ini tidak selalu sepenuhnya menjelaskan perilaku sebenarnya yang
diperlihatkan oleh sebagian besar anggota budaya tersebut. Ting-Toomey sendiri
menemukan bahwa orang Jepang lebih mungkin daripada orang Amerika untuk
mencoba menyelamatkan muka mereka sendiri. Dia juga menemukan bahwa
peserta penelitian Amerika yang diklasifikasikan sebagai individualistis jauh
lebih bersedia untuk berkompromi daripada teorinya.
Ketika ekonomi global berkembang dan bernegosiasi dengan para
profesional lintas budaya, penting untuk memahami bagaimana mereka yang
berbeda dari kita menghargai wajah. Dalam budaya Tionghoa, misalnya,
menyelamatkan muka adalah hal yang paling penting. Ini berarti menyebabkan
seorang pengusaha China merasa malu atau kehilangan ketenangan selama
negosiasi dapat berdampak buruk pada kesepakatan yang ada. Budaya Jepang
juga menghargai kesopanan dan cenderung menghindari konfrontasi yang dapat
mengakibatkan kehilangan muka. Dan, dalam budaya Arab, menyelamatkan
muka dan kehormatan saling terkait erat – dan menawarkan pujian tidak hanya
mengangkat penerima pujian, tetapi juga pemberinya.
Mengetahui cara mengidentifikasi dan menanggapi berbagai jenis wajah
sangatlah penting, karena komunikasi adalah kunci dalam negosiasi. Memahami
bagaimana budaya yang berbeda berkomunikasi dan apa yang mereka hargai saat
berhadapan langsung akan memberi Anda keunggulan dalam bernegosiasi. Anda
akan lebih siap dalam pendekatan Anda terhadap situasi dalam hal seberapa
agresif untuk menjadi dan mengetahui bagaimana berkomunikasi dengan orang
lain untuk mencapai kesepakatan dan menghindari konflik yang merugikan.

B. CONTOH FACE-NEGOTIATION THEORY


Orang-orang di negara-negara Barat lebih individualistis dan mereka
memiliki cara yang berbeda untuk bereaksi dalam konflik dibandingkan dengan
orang-orang di negara-negara Timur. Orang individualistis menjadi lebih agresif
dan berorientasi pada kemajuan dalam situasi konflik. Mereka mencoba
melindungi diri mereka sendiri dan mendominasi atau bersaing di saat-saat sulit.
Berbeda dengan itu, orang kolektivis menunjukkan karakteristik budayanya di
masa-masa sulit. Mereka berusaha menghindari masalah dan sangat akomodatif.
Mereka juga mencoba untuk berkompromi atau mematuhi kondisi pihak lain.
Orang-orang individualistis berbicara tentang hak dan kebebasan serta
mencoba untuk mandiri. Mereka dikatakan membuat orang lain kehilangan muka
untuk menyelamatkan muka mereka sendiri. Budaya kolektivis mengajarkan
orang untuk menghargai perasaan kita. Kebutuhan kelompok disimpan di garis
depan. Mirip dengan sikap mereka, nada komunikasi, gerak tubuh dan kata-kata
mereka diubah dalam komunikasi mereka untuk menyelesaikan konflik. Budaya
yang berbeda dapat memiliki arti yang berbeda untuk berbagai perasaan seperti
kontak mata sebagai rasa hormat atau kekasaran. Dalam beberapa budaya Barat,
orang melakukan kontak mata sebagai tanda perhatian dan rasa hormat yang baik.
Namun, sebaliknya, beberapa budaya Asia menganggap tidak sopan jika
seseorang berbicara dengan seseorang yang berkuasa.
Misalnya, ketika sebuah perusahaan multinasional Korea memulai cabang
di Amerika, staf Amerika juga harus belajar mengikuti budaya kolektivis karena
bos mereka menghargai budaya semacam itu. Mereka harus belajar
menyelamatkan muka mereka sendiri dan muka orang lain juga. Menurut Ting-
Toomey, orang-orang dari budaya kolektivis juga berusaha menyelamatkan muka
orang lain seperti ketika teman sekelas datang terlambat, orang lain membuat
alasan untuk mereka. Meskipun tidak menguntungkan mereka dengan cara apa
pun, mereka juga menyelamatkan orang lain, yang dikenal sebagai
menyelamatkan “wajah lain”.

3. ANALISIS KASUS
Gita Savitri atau yang biasa dikenal dengan sapaan Gitasav merupakan seleb
asal Indonesia yang saat ini sedang berdomisili di Jerman. Sejak berumur 18 tahun,
Gitasav bertempat tinggal di Jerman untuk menempuh Pendidikan S-1nya. Hingga
saat ini ia masih menetap di Jerman Bersama dengan suaminya. Melihat adanya
beberapa perbedaan budaya antara Indonesia dan Jerman, Gitasav seringkali menuai
pendapat yang kontriversial. Salah satu hal yang menjadi perbincangan ialah ketika
Gitasav memutuskan untuk childfree atau tidak ingin memiliki keturunan. Hal
tersebut menuai banyak pendapat baik pendapat pro maupun kontra dari kalangan
masyarakat Indonesia. Gitasav memutuskan hal tersebut karena menurutnya memiliki
anak merupakan tanggung jawab yang besar dan harus dipikir matang-matang.
Tidak berhenti disitu, baru-baru ini Gitasav Kembali menuai kontroversi terkait
dengan Piala Dunia 2022 yang berlangsung di Qatar. Sebagaimana diketahui, Piala
Dunia tahun ini dipenuhi dengan berbagai aksi dan drama yang direspon dengan
beragam komentar baik yang pro maupun yang kontar. Berkaitan denga napa yang
dilakukan oleh Gitasav, sebagaimana kita tahu, dalam Piala Dunia 2022 kemarin tim
nasional Jerman melakukan foto dengan gaya tangan menutupi mulut. Disinyalir hal
tersebut dilakukan karena Qatar selaku Tuan Rumah Piala Dunia 2022 melarang
adanya kegiatan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, + (LGBTQ+)
sepanjang Piala Dunia 2022 berlangsung. Hal ini pun direspon kontra oleh tim
nasional Jerman yang pada umumnya pro terhadap perilaku LGBTQ+. Jika berkaca
pada komentar-komentar Gitasav, maka diketahui Jerman merupakan negara yang
bebas akan LGBTQ+ sehingga hal tersebut merupakan suatu hal yang lumrah di sana.
Terhadap apa yang dilakukan oleh para tim nasional Jerman, Gitasav berkomentar
bahwa apa yang dilakukan oleh Qatar ialah homophobia karena melarang Tindakan
bahkan lambang yang mendukung LGBTQ+.
Berdasarkan kasus posisi yang telah dijelaskan di atas, maka kasus tersebut
dapat dianalisis melalui teori yang sudah dijelaskan dalam literature review yaitu
terkait dengan teori face-negotiation theory. Dalam teori tersebut, diketahui setiap
orang memiliki budaya yang berbeda-beda yang mana berpengaruh terhadap pola
piker dan karateristik tiap orang. Dengan demikian, maka terlihat jelas bahwa apa
yang dikatakan oleh Gitasav yang mana kebanyakan berdasar atas kehidupannya di
Jerman dengan membandingan apa yang terjadi di Indonesia jelas berbeda karena
berdasar atas dua budaya yang beda. Jika mengacu pada contoh teori face-negotiation
di atas, maka diberitahu jika orang barat akan lebih individualis yang mana berdasar
atas kebebasan dirinya. Hal tersebut berbeda dengan orang Indonesia yang pada
pokoknya berdasar atas kerja sama ataupun asas gotong royong. Dengan demikian,
LGBTQ+ yang pada umumnya kebebasan individu untuk mengungkapkan siapa
dirinya pun banyak diterima di negara-negara barat seperti di Eropa, Inggris, dan
Amerika Serikat.
Ketika Gitasav yang notabenenya merupakan warga negara Indonesia, maka
ketika ia berada di Jerman terhadap beberapa budaya baru yang harus ia sesuaikan.
Jika diperhatikan, maka antara Jerman dan Indonesia terdapat dua budaya yang saling
bertolak belakang. Contohnya, kebanyakan masyarakat Indonesia menolak adanya
LGBTQ+ sedangkan di Jerman mayoritas warganya mendukung adanya LGBTQ+.
Hal ini tentu saja menunjukan adanya face-negotiation theory dimana Gitasav
diharuskan untuk terbiasa dengan budaya yang beda.
Disamping adanya analisis berdasarkan teori face negotiation, apa yang
dilakukan oleh Gitasav untuk mengomentari Piala Dunia 2022 yang terjadi di Qatar
lalu juga dapat dianalisis melalui etika filsafat. Dalam hal ini, etika filsafat adalah
cabang ilmu yang berbicara mengenai nilai baik yang buruk maupun yang baik yang
berkaitan dengan tangkah laku manusia. Jika dikaitkan dengan kasus Gitasav, maka
Gitasav akan menganggap bahwa apa yang ia ungkapkan merupakan hal yang benar
karena ia terbiasa dengan lingkungan yang seperti itu di Jerman. Ia bisa menganggap
hal tersebut benar menurutnya karena ia memang terbiasa. Namun, hal tersebut belum
tentu dianggap benar oleh masyarakat di Indonesia karena perbedaan nilai moral yang
biasanya dilakukan di Indonesia dan Jerman. Di Indonesia, LGBTQ+ bukanlah etika
yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia karena hal tersebut bertentangan
dengan norma keagamaan di Indonesia. Namun, sebagai warga yang bebas, LGBTQ+
merupakan moral yang bisa saja diterima oleh warga Jerman.
Lebih lanjut, dalam etika filsafat jika dikaitkan dengan isu moral dalam media
masa maka diketahui media dapat dijadikan sebagai alat untuk memperluas
brandingnya ketika para pihak baik individu maupun brand dalam media sosial.
Dalam hal ini, diketahui bahwa keseharian Gitasav yang notabenenya banyak
menghabiskan waktu di Jerman maka moralnya pun akan terbentuk seperti orang
Jerman. Kemudian, konsep ekonomi politik dalam media ini terbagi menjadi tiga
jenis, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturisasi. Jika mengarah kepada
komodifikasi, maka Gitasav yang lahir di Indonesia membutuhkan adanya modifikasi
baik dari pola piker maupun gaya hidup ketika telah tinggal di Jerman. Namun,
sebaiknya yang harus dilakukan adalah mengambil budaya baik dari Indonesia
kemudian menerapkan di Jerman bukan malah memaksakan budaya Jerman untuk
cocok di Indonesia seperti isu LGBTQ+.
Selanjutnya, terdapat konsep spasialisasi, dalam hal ini berarti addanya proses
untuk mengatasi perbedaan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Diketahui,
ruang dan waktu antara Indonesia dan Jerman pun jelas berbeda, yang mana juga akan
berpengaruh pada kondisi geografi serta sosial dan budayanya. Dengan segala
perbedaan yang ada, sebaiknya Gitasav dapat memilih mana yang cocok untuk
diterapkan di Indonesia dan mana yang cocok untuk diterapkan di Jerman. Terakhir,
terdapat strukturisasi. Namun, hal ini akan lebih relevan jika berkaitan dengan para
pembuat kebijakan yang dapat mengatur kondisi sosial seseorang. Contohnya ialah
para pemangku kebijakan yang dapat merubah regulasi terkait LGBTQ+ di suatu
negara.
Kemudian, selain dapat dianalisis dari teori face-negotiation, apa yang terjadi
dalam kasus Gitasav juga dapat dianalisis melalui stereotype yang dilakukan oleh
Gitasav yang mana stereotype sendiri termasuk ke dalam etika dan filsafat. Menurut
pendapat beberapa ahli, stereotype ini bukan lagi merupakan masalah sosial
merupakan masalah komunikasi antar budaya. Dengan demikian, stereotype
dimaknakan sebagai penilaian terhadap seseorang ataupun sekelompok orang
terhadap suatu persepsi di mana entitas tersebut dikategorikan. Jika berkaca pada
kasus yang terjadi oleh Gitasav, maka stereotype ini dapat ditemukan ketika Gitasav
berkomentar “homophobia” terhadap Qatar selaku tuan rumah Piala Dunia 2022 yang
melarang adanya Tindakan LGBTQ+. Dalam hal ini, Gitasav yang telah terbiasa
dengan budaya barat karena tinggal di Jerman dari umur 18 tahun maka akan terbiasa
dengan hal-hal yang umumnya terjadi di Jerman seperti childfree dan LGBTQ+.
Berbeda dengan budaya Indonesia yang pada umumnya berbeda dengan budaya-
budaya barat tersebut. Dengan demikian, jika Gitasav berkomentar berdasar pada
budaya yang telah ia jalani sejak umur 18 tahun maka akan menuai berbagai macam
komentar terutama dari masyarakat Indonesia yang notabenenya berbeda budaya
dengan Jerman.
4. KESIMPULAN
Mengacu pada kasus Gitasav maka hal tersebut dapat dianalisis melalui
beberapa teori yaitu teori face-negotiation, stereotype, dan etika filsafat. Jika
mengaitkan apa yang direspon oleh Gitasav dalam Piala Dunia 2022 di Qatar lalu
terkait LGBTQ+, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang ia bicarakan condong
untuk membela LGBTQ+ mulai dari budaya yang ia pamerkan di sosial media hingga
mengatakan homophobia terhadap Qatar. Apabila dianalisis melalui tiga teori tadi,
maka dapat dilihat perbedaan antara pendapat Gitasav dengan masyarakat Indonesia
dititikberatkan pada adanya perbedaan norma dan budaya antara Jerman dan
Indonesia. Dengan demikian, Gitasav yang sudah lama tinggal di Jerman telah
terbiasa dengan kebiasaan di Jerman dan warga Indonesia pun merasa budaya
tersebut tidak benar karena tidak sesuai dengan budaya dan norma di Indonesia, dan
kebalikannya dengan Gitasav.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hamami Mintarejda, 1987, Epistemologi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Achmad Charis Zubai, 1987, Kuliah Etika, Rajawali, Jakarta.

Bhayangkara, Chintya Sami. “Seretan Kontroversi Gita Savitri, Terbaru Soal Isu LGBTQ di
Piala Dunia 2022.” https://www.suara.com/news/2022/11/26/222204/deretan-
kontroversi-gita-savitri-terbaru-soal-isu-lgbtq-di-piala-dunia-2022, diakses 30
Desember 2022.

Eliason, M. J., Dibble, S. L., & Robertson, P. A, Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender
(LGBT) Physicians’ Experiences in the Workplace, (Journal of Homosexuality, 58
(10), 2011), hlm. 1355–1371.

Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, 2010, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta.

Gedro, J, 2009. LGBT Career Development. Advances in Developing Human Resources, 11


(1).

Magnis-Suseno, Franz, Etika Dasar, 1990, Kanisius, Yogyakarta.


LAMPIRAN

Pemberitaan media terhadap Gita Savitri ;

Beberapa konten yang membahas dan beberapa cuitan netizen terhadap Gita Savitri ;

Anda mungkin juga menyukai