Of Stella Ting-Toomey
Selama satu dekade terakhir saya telah bekerja sebagai relawan mediator di sebuah
metropolitan center untuk resolusi konflik. Peran saya sebagai seorang mediator ialah untuk
menolong orang-orang yang sedang terlibat dalam sebuah konflik hingga meraih sebuah
kesepakatan sukarela yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Saya tidak berperan sebagai
seorang hakim tidak juga sebagai penasihat, dan saya berusaha keras untuk tidak membuat
penilaian moral mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebagai seorang mediator, saya
adalah pihak ketiga yang netral yang tugasnya hanya dan hanya untuk memfasilitasi
Kebanyakan pihak yang bersengketa datang ke center sebagai upaya terakhir untuk
menghindari biaya dan intimidasi dalam persidangan. Layanan ini gratis, dan kami melakukan
segala upaya untuk menjauhkan ancaman dari proses negosiasi. Tetapi setelah gagal atau
menolak untuk menyelesaikan perbedaan mereka sendiri, mereka merasakan berbagai tingkatan
kemarahan, terluka, ketakutan, kebingunan dan malu. Di satu sisi, mereka berharap negosiasi
akan membantu menyelesaikan perselisihan mereka. Di sisi lain, mereka ragu bahwa duduk
mengitari meja akan melunakkan kerasnya hati dan mengubah respons yang kelihatannya tidak
model negosiasi yang memaksimalkan kesempatan orang untuk mencapai kesepakatan yang
dapat diterima bersama. Sejak hari pertama pelatihan, para staf bersikeras bahwa “mediator
mengontrol proses negosiasi, bukan hasil akhirnya.” Gambar 31-1 menunjukkan beberapa teknik
yang digunakan mediator untuk memastikan kemajuan negosiasi tanpa menyarankan bentuk
solusinya. Jika digunakan dengan baik, teknik-teknik tersebut bekerja dengan baik. Mayoritas
Akan tetapi, model negosiasi tidak bekerja dengan baik terhadap semua orang. Meskipun
center melayani area urban yang multietnis, saya dan kolega saya menyadari jumlah orang Asia
yang mencari mediasi konflik secara tidak proporsional berjumlah kecil. Dalam kesempatan
langka ketika orang Jepang, Vietnam, China, atau Korea datang ke kantor, diskusi yang
dilakukan terlihat hanya berputar-putar tanpa ada penyelesaian. Bahkan ketika partisipan meraih
kesepakatan, mereka terlihat lebih lega negosiasi tersebut berakhir dibanding merasa puas
dalam merespons konflik. Seorang kolega Gudykunst dari departemen komunikasi di California
State University, Fullerton, Ting-Toomey mengasumsikan bahwa orang dari setiap budaya selalu
menegosiasikan muka. Istilah ini merupakan metafora bagi citra diri publik kita, bagaimana kita
ingin orang lain melihat kita dan memperlakukan kita. Facework mengacu pada “pesan-pesan
verbal dan nonverbal spesifik yang membantu menjaga dan mengembalikan kehilangan muka,
dan untuk menjunjung tinggi dan menghormati mendapatkan muka”. Identitas kita dapat selalu
dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian bergejolak karena konflik membuat kita
merasa rapuh. Teori Face-Negotiation mengemukakan bahwa facework orang-orang dari budaya
individualis seperti Amerika Serikat atau Jerman akan sangat berbeda dengan facework orang-
orang dari budaya kolektivistik seperti Jepang atau Korea. Menurut Ting-Toomey, ketika
dan individualisme. Pembedaan paling ekstensif antara kolektivisme dan individualisme telah
dilakukan oleh psikolog University of Illinois Harry Triandis. Ia mengatakan bahwa ada tiga
perbedaan penting antara kolektivisme dan individualisme. Perbedaan itu antara lain cara
berbeda dalam mendefenisikan diri (self), tujuan (goals) dan tugas (duty).
Pikirkan seorang pria bernama Em. Em yang kolektivis akan berpikir dirinya sebagai
seorang ayah, penganut agama Kristen dan seorang guru. Em yang individualis mungkin hanya
berpikir dirinya hanya sebagai Em, Em yang independen dari afiliasi kelompok manapun. Em
yang kolektivistik tidak akan menghalangi tujuan-tujuan kelompok afiliasinya, tetapi Em yang
individualistis akan secara wajar mengejar kepentingan pribadinya. Em yang kolektivistik telah
pengabdiannya terhadap orang lain; Em yang individualistis akan menerapkan prinsip minimax
untuk menentukan serangkaian kegiatan yang akan dia lihat sebagai sesuatu yang menyenangkan
Lebih dari dua per tiga orang di dunia lahir di dalam budaya kolektivistik, sementara
kurang dari sepertiga populasi hidup dalam budaya individualistis. Untuk membantu Anda
membuat gambaran mental yang lebih jelas terhadap perbedaan ini, saya akan mengikuti metode
peneliti antar-budaya yang menyebut Jepang dan Amerika Serikat sebagai contoh klasik budaya
kolektivistik dan individualistis. Harap dicatat bahwa China, Korea atau Vietnam juga bisa
Australia, Jerman, Swiss, atau salah satu masyarakat Skandinavia sebagai contoh pendekatan
individualistis. Pengelompokan budaya nasional ini ke dalam kategori kolektivistik dan
Triandis mengatakan bahwa orang Jepang menghargai kebutuhan dan tujuan kolektif di
atas kebutuhan dan tujuan individual. Mereka berasumsi bahwa lama kelamaan, setiap keputusan
individual akan mempengaruhi semua orang dalam kelompok. Untuk itu, perilaku seseorang
dikontrol dengan norma kelompok. Identitas-kami orang Jepang ini cukup asing bagi identitas-
aku yang dianut orang Amerika yang menghargai kebutuhan dan tujuan individualistis di atas
kebutuhan dan tujuan kelompok. Perilaku orang Amerika diatur oleh aturan personal atas diri
yang bebas yang lebih terkait dengan hak-hak individual daripada tanggung jawab kelompok.
Triandis menyatakan identitas in-group yang kuat di masyarakat Jepang membuat mereka
melihat orang lain ke dalam kategori kita-mereka. Lebih penting bagi orang Jepang
mengidentifikasi latar belakang dan afiliasi kelompok orang asing yang mereka daripada sikap
atau perasaan orang yang dianggap asing tersebut – bukan karena mereka tidak peduli dengan
tamu mereka, tetapi karena perbedaan individual yang unik bagi mereka terlihat kurang begitu
penting dibanding informasi berbasis kelompok. Orang yang dibesarkan di Amerika Serikat
menunjukkan rasa penasaran yang berbeda. Mereka dipenuhi dengan pertanyaan mengenai
kehidupan tamu mereka yang memiliki budaya berbeda. Apa yang mereka pikirkan? Apa yang
mereka rasakan? Apa rencana mereka? Orang Amerika berasumsi setiap orang itu unik, and
mereka mengurangi ketidakpastian dengan menanyakan berbagai pertanyaan sampai pada titik
pemeriksaan-silang (cross-examination).
Dengan pemahaman perbedaan antara budaya kolektivistik dan individualistis ini,
bacalah deskkripsi teknik-teknik mediasi di Gambar 31-1. Jika dilihat secara keseluruhan, daftar
tersebut memberikan pengetahuan yang bisa diandalkan hingga pada level yang mampu
memediasi resolusi konflik antar budaya ini. Partisipan yang datang ke pusat konflik (conflict
center) diperlakukan sebagai individu bertanggung jawab yang bisa menentukan sendiri apa
perbedaan di antara mereka dan menjaga agar pembicaraan tetap terfokus pada kemungkinan
kesepakatan final. Sementara mediator berhati-hati untuk tidak memberi tekanan pada klien
untuk mencapai mufakat, iklim kesegeraan mengesankan bahwa mediasi ini adalah kesempatan
terbaik untuk menyelesaikan masalah mereka dalam cara yang dapat diterima bersama dan
melanjutkan hidup. Mediator berupaya keras agar hak kedua belah pihak sama-sama dihargai
Berhasil atau tidaknya kedua belah pihak mencapai kesepakatan, pendekatan mediator
yang ada di Gambar 31-1 menawarkan tempat aman dimana tidak ada pihak yang perlu merasa
malu. Setidaknya tidak ada pihak dari budaya individualis Amerika! Ternyata, teknik-teknik
yang dibuat agar orang bisa menjaga muka selama negosiasi merupakan ancaman tambahan
untuk dihadapi bagi orang dari budaya kolektivistik. Tidak heran orang-orang ini menjaga jarak
atau pergi dengan tidak puas. Teori face-negotiation Ting-Toomey menjelaskan mengapa hal ini
dan peneliti relasional lainnya menemukan bahwa muka (face) adalah kekuatiran universial.
Alasannya karena muka adalah perpanjangan konsep-diri, informasi yang rapuh, yang berbasis-
merasakan muka kita menjadi merah. Itu adalah tanda yang menunjukkan kita merasa canggung,
dipermalukan, malu, atau bangga – semuanya masalah yang berkaitan dengan muka. Dalam teori
kesopanan (theory of politeness) mereka yang telah dikembangkan dengan baik, ahli bahasa
University of Cambridge Penelope Brown dan Stephen Levinson mendefenisikan muka sebagai
“gambaran-diri umum (public self-image) yang ingin diklaim oleh setiap anggota masyarakat
bagi diri mereka”. Banyak penulis Barat memandang muka sebagai benda yang hampir nyata
yang akan menanjak atau jatuh seperti masa depan kacang kedelai di pertukaran komoditas
Board of Trade. Peneliti Taiwan L. Yutang menyebut muka sebagai “gambaran psikologis yang
dapat diraih dan hilang dan diperjuangkan dan diberikan sebagai hadiah”. Istilah ini termasuk
kepentingan kaum bangsawan akan harga diri, kehormatan dan status. Tetapi istilah itu juga
termasuk “omongan sampah” arogansi setelah lemparan slam-dunk di lapangan basket – “in your
face”. Ting-Toomey secara sederhana mengacu istilah muka pada “gambaran yang
umum cukup terus-terang dan konsisten dengan konsep generalized other milik Mead (lihat Bab
4), Ting-Toomey menyoroti beberapa masalah yang mengubah muka menjadi objek penelitian
beraneka segi. Muka memiliki pengertian berbeda bagi setiap orang tergantung pada identitas
kebanyakan orang Amerika atau orang-orang dari budaya individualis lainnya. Jawabannya jelas:
muka saya! Tetapi Ting-Toomey memperingatkan kita bahwa ada banyak tempat di dunia
dimana muka mengandung fokus terhadap orang lain. Bahkan di tengah konflik, masyarakat dari
budaya kolektivis tetap memperhatikan atau lebih mempedulikan menjaga muka pihak lain
sebagaimana mereka menjaga muka mereka sendiri. Jawaban mereka atas pertanyaan yang
facework yang digunakan untuk mencari tempat unik dalam hidup, memelihara otonomi dan
tipikal di hampir semua budaya individualis. Face-giving untuk orang lain merupakan strategi
facework yang digunakan untuk membela dan mendukung kebutuhan seseorang akan
keikutisertaan. Artinya untuk menjaga orang lain bukannya mempermalukan atau menghina
pihak lain di muka umum. Face-giving adalah strategi muka karakteristik di semua budaya
kolektivis.
Ketika muka anda terancam, apakah anda cenderung menangkal serangan verbal sebelum
serangan tersebut dilancarkan, atau anda memperbaiki dampak yang timbul dan memulihkan
mengelak dari ancaman muka potensial bagi kedua pihak dan orang lain. (“Saya minta maaf. Ini
kesalahan saya.”). Yang terjadi disini adalah face-saving dan face-giving. Orang-orang dari
masyarakat individualis lebih cenderung menjaga-muka dengan melakukan pembenaran atas apa
yang mereka lakukan atau menyalahkan situasi yang ada. Itulah yang disebut self-face-repair
dan face-restoration.
Tentu saja, kolektivis dan individualis bukan satu-satunya kategori. Perbedaan antara
urusan other-face dan self-face tidak absolut. Sama seperti dilektik relasional yang bersikeras
setiap menginginkan rasa saling terhubung dan rasa terpisah dalam suatu hubungan yang erat
(lihat bab 11), jadi semua orang juga menginginkan afiliasi dan otonomi dalam masyarakat.
Orang yang dibesarkan di Jepang atau di negara-negara Lingkaran Pasifik lainnya juga memiliki
keinginan dan kebutuhan personal; orang Amerika dan orang-orang dari negara-negara di Eropa
Utara juga memiliki hasrat untuk lebih terhubung dengan kelompok masyarakatnya. Perbedaan
Tetap saja ketika dalam situasi sulit, kebanyakan orang dari budaya kolektivistik
atas muka-diri (self-face). Dalam cara yang sama, orang yang dibesarkan dalam budaya
individualistis normalnya lebih khawatir dengan muka-diri (self-face) dibanding khawatir dengan
Sekarang sudah jelas terdapat hubungan antara budaya dan manajemen-muka (face-
management). Karena perhatian utama kebanyakan orang di budaya kolektivis adalah muka-
orang lain, facework mereka adalah mengorbankan (giving) muka. Sebaliknya, muka-diri (self-
face) menjadi perhatian utama bagi kebanyakan masyarakat dalam budaya individualis, jadi
facework mereka adalah menyelamatkan (saving) atau mengembalikan (restoring) muka mereka
sendiri. Selama dekade terakhir, penelitian Ting-Toomey berpusat dalam membuktikan
hubungan antara keprihatinan-diri (self-concern) dari budaya yg berbeda dan gaya utama
pemeliharaan-muka (face maintenance) sebagai hubungan yang menjelaskan antara budaya dan
menurut, berkompromi, mendominasi, dan bersatu. Andaikan, misalnya, Anda adalah pemimpin
kelompok mahasiswa yang bersama-sama melakukan tugas penelitian kelas. Intruktur anda akan
memberikan nilai yang sama kepada anda semua berdasarkan kualitas hasil kerja kelompok, dan
evaluasi tugas itu akan bernilai dua per tiga nilai akhir mata kuliah tersebut. Seperti yang
seringnya terjadi dalam kasus seperti ini, salah satu anggota kelompok menyerahkan hasil
pekerjaan yang jelek dan anda hanya memiliki waktu tiga hari sebelum evaluasi tugas. Anda
tidak mengenal anggota kelompok ini dengan baik, tapi anda tahu dengan pasti bahwa butuh
waktu 72 jam penuh untuk menyelesaikan bagian tugas tersebut. Cara manajemen konflik mana
Berkompromi: “saya akan menggunakan metode take and give sehingga kompromi bisa
dicapai”
Mendominasi: “saya akan tegas menempatkan diri saya dalam masalah ini”
Bersatu : “saya akan bertukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk bersama-sama
menyelesaikan masalah yang ada.”
mendominasi dan bersatu berbeda-beda menurut gabungan perhatian orang-orang akan muka-
diri dan muka-orang lain. Gambar 32-1 memetakan kelima jenis manajemen konflik ini menurut
urusan muka mereka yang terkait dengan budaya. Menurut, sebagai contoh, merupakan perilaku
pilihan orang yang peduli pada muka orang lain, tetapi tidak peduli dengan muka sendiri.
Sebaliknya, mendominasi adalah perilaku seseorang yang peduli menjaga mukanya tetapi tidak
peduli untuk menjaga muka orang lain. Area kosong di bagian kiri gambar merepresentasikan
prediksi awal Ting-Toomey bahwa mengindar, menurut dan kompromi akan menjadi respons
tipikal orang-orang dari budaya kolektivis. Area berbayang di bagian kanan merepresentasikan
ekspektasi awal Ting-Toomey bahwa anggota budaya individualis akan cenderung memilih
strategi mendominasi dan bersatu. Mengingat pengalaman saya sebagai mediator hanya dalam
Ting-Toomey sudah menguji teorinya pada hampir seribu mahasiswa di Jepang, China,
Korea Selatan, Taiwan dan Amerika Serikat. Para mahasiswa ditanyai bagaimana ketua mereka
menghadapi mahasiswa yang tidak begitu dikenal yang perlu mengerjakan kembali tugas mereka
yang kurang bagus dalam tiga hari agar kelompok mereka bisa menyelesaikan tugas yang
diberikan. Seperti yang sudah diduga, ditemukan hubungan yang kuat antara jenis budaya dan
face concern. Mahasiswa Amerika yang individualis menunjukkan pilihan jelas terhadap strategi
mengindikasikan mereka akan sekalian menghindar mempermasalahkan persoalan yang ada atau
berusaha menuruti apa yang diinginkan kelompoknya. Sejauh ini, sangat bagus.
Penemuan yg mengejutkan menyangkut gaya bersatu dan kompromi dalam konfik. Teori
face-negotiation Ting-Toomey mengklaim bahwa mahasiswa dari Amerika akan lebih memilih
strategi penyelesaian masalah yang langsung daripada mahasiswa Asia yang akan cenderung
memilih berkompromi. Hasil dari area ini bercampur baur. Dalam peninjauan kembali, terlihat
kelompok budaya dan etnis berbeda yang menyatakan maksud mereka ke dalam istilah bersatu
pendekatan barat dalam manajemen konflik dalam situasi-situasi di tempat kerja. Bagi
kebanyakan orang Amerika, integrasi (bersatu) berarti meraih solusi yang baik, sementara bagi
orang Asia integrasi lebih merupakan istilah relasional yang berarti mencapai perdamaian satu
sama lain. Jika Anda membaca kembali teknik pihak ketiga di Gambar 31-1 dengan mengingat
perbedaan ini, Anda akan mengerti mengapa mereka yang berasal dari negara-negara Lingkar
Pasifik bisa frustasi dengan praktek mediasi standar Amerika yang berusaha bersama mencari
teori face-negotiation. Dia menyimpulkan peta gaya konflik yang ditunjukkan gambar 31-2 tidak
cukup mengidentifikasi beragam strategi yang sebenarnya digunakan orang-orang, juga tidak
Hampir semua teks mengenai penyelesaian sengketa mengacu pada tiga gaya utama
terkadang istilah yang digunakan berbeda – menarik diri, mengalah, negosiasi, bersaing, dan
memecahkan masalah – kelima kategori ini telah seringkali didiskusikan dan diteliti hingga
kelimanya hampir terlihat seperti telah dipahat di atas batu. Sekalipun demikian, Ting-Toomey
dan John Oetzel, kolega peneliti Ting-Toomey di Departemen Komunikasi University of New
Mexico, mengingatkan kita bahwa gaya-gaya ini telah muncul dalam situasi kerja di negara-
negara Barat. Dengan menggunakan sampel beragam etnis, mereka telah mengidentifikasi tiga
gaya manajemen konflik tambahan yang dilewatkan oleh peneliti berbasis individualis Amerika.
Gaya-gaya tersebut antara lain ekspresi emosional (emotional expression), agresi pasif (passive
aggression) dan bantuan pihak ketiga (third-party help). Dalam contoh tugas mahasiswa yang
telah diberikan sebelumya, gaya-gaya baru ini bisa saja diekspresikan sebagai berikut:
Ekspresi emosional: “Apapun yang dikatakan ‘nyali’ dan ‘hati’ saya, saya akan menunjukkan
perasaan ini.”
Agresi pasif: “Tanpa menuduh seseorang malas secara langsung, saya akan membuatnya
merasa bersalah.”
Bantuan pihak ketiga: “Saya akan meminta Professor membantu kita menyelesaikan konflik
ini.”
Gambar 31-3 memetakan peta gaya konflik Ting-Toomey dan Oetzel yang baru, diatur
menurut face concern mereka. Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menghindar dan
kompromi sekarang ditempatkan di dekat menurut di daerah other-face yang lebih tinggi.
Ternyata semua ini adalah strategi berbeda yang digunakan orang di budaya kolektivis untuk
mencapai hasil yang sama – mengorbankan-muka untuk pihak lain. Kedua, bentuk oval dan
persegi panjang yang menggambarkan integrasi dan bantuan pihak ketiga dilapiskan untuk
menunjukkan budaya kolektivis dan individualis sama-sama menggunakan strategi ini, tetapi
mengadopsi gaya ini fokus pada kolaborasi dan konsesi tingkat-relasional, mengingat
individualis berkonsentrasi menyelesaikan masalah tugas pada cara yang membawa penyelesaian
masalah. Lebih jauh lagi, kolektivis memilih meminta bantuan pihak ketiga yang familiar,
sementara individualis menginginkan saran dari orang yang tidak mereka kenal yang tidak
memihak.
Pada pengenalan seksi antarbudaya ini, saya menampilkan jarak kekuasaan sebagai
dimensi penting untuk membandingkan budaya. Anda akan ingat Geert Hofstede mendefenisikan
jarak kekuasaan sebagai sejauh mana anggota masyarakat yang kurang berkuasa menerima
bahwa kekuasaan tidak dibagikan secara seimbang. Meski Amerika Serikat dan Jepang
menyediakan ilustrasi budaya yang ideal bagi kolektivisme dan individualisme, masing-masing,
tidak ada yang berada dalam skala ektrim jarak kekuasaan. Menurut Hofstede, Israel adalah
contoh budaya dengan jarak kekuasaan yang kecil, sementara Meksiko adalah kasus klasik
Israel menghargai kesetaraan hak dan hadiah berdasarkan performa personal. Di tempat
kerja, pegawai diharapkan mengemukakan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, jadi
pengusaha yang dianggap baik menggunakan gaya manajemen yang demokratis. Sebaliknya,
orang Meksiko menerima distribusi kekuasaan yang tidak seimbang, peran yang hirarkis, dan
hadiah berdasar umur. Di tempat kerja, bawahan diharapkan untuk diberitahu apa yang harus
dilakukan, sehingga seorang bos terhormat menjadi pihak yang berperan sebagai otokrat yang
Israel, biasanya mereka membela diri dengan menggunakan strategi muka-diri (self-face). Tetapi
kekuasaan, Ting-Toomey mencatat bahwa mediator pihak ketiga di budaya jarak kekuasaan yang
besar biasanya orang yang sangat dihormati oleh kedua pihak yang bersengketa (orang yang
bijak, orang yang lebih tua, contohnya). Pihak yang bersengketa mungkin bersedia membuat
kelonggaran untuk “memberi muka” mediator yang dihormati ini. Dalam prosesnya, mereka
menghindari konfrontasi tanpa saling kehilangan muka. Interaksi yang dideskripsikan Ting-
Toomey terlalu rumit untuk diprediksi atau dijelaskan dengan proposisi kausal sederhana.
Kerumitan ini menggambarkan kesulitan yang dihadapi Ting-Toomey dan Oetzel ketika mereka
berusaha mengombinasikan masalah jarak kekuasaan dengan perbedaan mendasar teori face-
dalam budaya yang berbeda menegosiasikan muka atau menangani konflik. Ting-Toomey yakin
bahwa pengetahuan budaya, kesadaran, dan keahlian interaksi (interaction skill) facework tiga
persyaratan bagi komunikasi efektif antar budaya. Bayangkan jika Anda adalah seorang
mahasiswa Jepang yang sedang belajar di Universitas di Amerika Serikat. Sebagai pemimpin
yang telah ditunjuk dalam tugas penelitian kelas, Anda merasa menegur anggota kelompok yang
orang Amerika yang kebetulan tidak produktif dalam tugas adalah tugas Anda yang membuat
Anda tidak nyaman. Bagaimana mungkin Anda mencapai facework antar busaya yang
kompeten?
Pengetahuan adalah dimesi kompetensi facework yang paling penting. Sulit untuk bisa
sensitive secara budaya kecuali Anda merasa bahwa mungkin Anda berbeda dari teman sekelas
Anda. Teori Ting-Toomey menawarkan wawasan mendasar mengenai budaya kolektivitik dan
individualistis, face-concers, gaya konflik, dan jarak kekuasaan, kesemuanya bisa membantu
Anda memahami perspektif mahasiswa Amerika, dan sebaliknya. Jika Anda membaca bab ini
Kesadaran menunjukkan pengakuan bahwa hal-hal tidak selalu seperti yang terlihat.
Merupakan sebuah pilihan yang dibuat secara sadar untuk mencari banyak persepsi akan satu
peristiwa. Mungkin hasil kerja orang lain yang tidak begitu baik bukan disebabkan oleh
kemalasan tetapi itulah hasil terbaik yang bisa dilakukan orang tersebut dalam situasi yang ada.
Mahasiswa itu mungkin memiliki ketidakmampuan belajar, sedang memiliki masalah emosional,
kurang jelas memahami tugas yang diberikan, atau memiliki keinginan untuk sekadar lulus mata
kuliah itu. Tentu saja, percakapan yang Anda lakukan untuk memdiskusikan tugas juga terbuka
Kesadaran berarti sangat menyadari asumsi-asumsi kita sendiri, sudut pandang kita dan
tendesi etnosentris ketika mengalami keadaan-keadaan yang kurang familiar bagi kita. Secara
terus menerus, kesadaran berarti memperhatikan sudut pandang perspektif dan interpretif orang
lain yang berbeda dengan kita dalam memandang suatu peristiwa antar budaya.
Ketika Anda penuh dengan kesadaran, secara mental Anda mematikan pilot otomatis pikiran
Anda dan memproses suatuperistiwa percakapan melalui rute pusat pikiran sebagaimana
disebutkan ELM (lihat bab 14). Tetapi Anda juga dibebaskan untuk berempati dengan
mahasiswa lain dan melakukan pendekatan percakapan dengan mindset yang baru atau kreatif.
Hasilnya bisa menjadi solusi baru berkat kemampuan Anda memiliki cara berpikir yang berbeda.
efektif dan adaptif dalam situasi tertentu. Mungkin Anda belajar komunikasi untuk mendapatkan
kompetensi seperti itu. Semoga departemen Anda menawarkan mata kuliah komunikasi
bermain peran, atau simulasi. Tanpa praktik umpan balik dari orang lain, sulit bagi Anda menjadi
lebih baik. Relawan di pusat resolusi konflik melatih ketrampilan mediasi mereka lewat
pembelajaran eksperimental ini. Beberapa teknik yang ditampilkan di Gambar 31-1 ketrampilan-
ketrampilan parallel yang oleh dianggap penting Ting-Toomey di komunikasi lintas budaya.
Contohnya, kesetaraan orang yang bertikai (disputant equality) dan pengakuan emosi
(acknowledgement of emotions) didesain untuk menjaga atau memberi muka (give face) ke pihak
yang bertikai bukan untuk mengancam citra-diri publik (public self-image) mereka. Hal ini akan
menjadi ketrampilan yang membantu ketika Anda harus berkomunikasi dengan mahasiswa
dalam kelompok penelitian Anda. Jadi Anda juga bisa melakukan pembicaraan terus-terang gaya
Amerika yang bisa dipahami oleh orang dari budaya individualis/ budaya konteks rendah.
Dengan menggunakan kedua ketrampilan secara bersama, Anda akan meningkatkan mutual face
mengibarkan bendera teoretikal – berdasarkan penelitian empiris atau interpretif, dan kemudian
teoretisi dan peneliti lain berusaha menurunkan bendera teoretikal tersebut. Kebanyakan teori di
buku telah berhasil selamat dari tantangan tersebut. Jarang si peneliti sendiri yang menurunkan
bendera teoretis yang mereka kibarkan, peneliti lain biasanya lebih suka menurunkan bendera itu
untuk mereka. Teori face-negotiation berbeda karena tantangan yang dihadapi berasal dari
pendukungnya sendiri – John Oetzel dan Stella Ting-Toomey. Agar Anda bisa mengerti
mengapa hal ini terjadi, saya akan mengulas kembali diskusi perbedaan individual dalam satu
budaya mereka.
Sama seperti bagaimana budaya berbeda dalam skala yang antara self-face dan other-
face, Ting-Toomey mengakui bahwa orang dalam budaya yg sama berbeda dalam penekanan
relatif yang mereka buat dalam dua kepentingan muka ini (antara self-face dan other-face). Ting-
“tingkatan dimana orang membayangkan dirinya relatif otonom atau relatif terhubung dengan
orang lain.” Psikolog Hazel Markus dan Shinobu Kitayama menyebut dimensi ini self-construal
Diri yang independen menghargai identitas-aku dan lebih berorientasi dengan self-face,
jadi konsep diri yang ini sesuai dengan budaya individualis seperti Amerika Serikat. Namun
mengingat adanya keragaman etnis dalam masyarakat Amerika, bisa ditemukan orang yang
dibesarkan di Amerika Serikat yang sangat interdependen. Diri yang interdependen menghargai
Budaya adalah keseluruhan kerangka kerja untuk face-concern, tetapi individu suatu budaya
memiliki gambaran diri berbeda juga pandangan berbeda mengenai sampai tingkatan mana
mereka memberi muka pada orang lain atau mengembalikan muka sendiri dalam situasi konflik.
diagram di bawah ini. Setiap tanda tambah (+) mewakili self-construal seseorang yang
menyertakan semua orang dalam face concern. Setiap tanda bintang (*) mewakili self-construal
seseorang yang dibesarkan dalam budaya individualis yang menekankan independensi dan self-
reliance. Budayanya jelas berbeda. Tetapi bagian yang tumpang tindih menunjukkan bahwa
orang Amerika bisa terlalu terfokus pada other-face sehingga bisa saja ia memiliki self-image
yang lebih interdependen dibandingkan orang yang dibesarkan di Jepang dengan high-construal
Ting-Toomey membangun teorinya pada gagasan mendasar bahwa orang dari budaya
kolektivis/budaya konteks tinggi terlihat berbeda dalam cara mereka mengatur muka dan situasi-
situasi konflik dengan orang dari budaya individualis/budaya tingkat rendah. Dalam lusinan
artikel ilmiah ia telah mempertahankan keyakinan dasar tersebut. Namun dalam penelitian baru-
baru ini, Oetzel dan Ting-Toomey menemukan bahwa “ self-construal merupakan prediktor gaya
konflik yang lebih baik dibanding latar belakang etnis/budaya:” Sekarang Anda dapat memahami
mengapa teori face-negotiation dikatakan “in progress”, dan Ting-Toomey menulis bahwa
lebih baik.
melakukan penelitian lintas budaya di China, Jepang, Jerman dan Amerika Serikat. Mereka lagi-
lagi memutuskan bahwa self-construal adalah variabel antara yang kuat antara budaya dan jenis
face maintenance yang digunakan orang. Teori face-negotiation yang sudah direvisi sekarang
Jenis budaya Jenis self-construal Jenis face maintenance Jenis manajemen konflik
Perbedaan antara budaya kolektivis dan individualis tetap penting karena budaya
memiliki efek kuat terhadap self-contrual individu. Tetapi arti identitas individu lebih dekat
kepada gaya menangani konflik yang dipilih seseorang, jadi secara tentu saja identitas individu
memprediksi perilaku sengketa yang dilaporkan lebih baik dibandingkan budaya yang
digeneralisasikan.
akar budayanya dan perannya dalam penyelesaian konflik. Mengingat perpaduan asuhan China
Hong Kong, pernikahan dengan orang Amerika keturunan Irlandia, dan kehidupan profesional
yang dihabiskan di lima universitas di Amerika Serikat berfokus pada masalah-masalah antar
kekuasaan, dan dampak mereka terhadap komunikasi. Tapi ia ingin menyempurnakannya dan ia
sadar teorinya harus lebih kompleks lagi agar bisa memprediksi lebih baik mengenai bagaimana
orang akan memberi respon dalam situasi-situasi konflik. Saya menghargai komitmen yang
diberikannya.