Anda di halaman 1dari 20

Face-Negotiation Theory

Of Stella Ting-Toomey

Selama satu dekade terakhir saya telah bekerja sebagai relawan mediator di sebuah

metropolitan center untuk resolusi konflik. Peran saya sebagai seorang mediator ialah untuk

menolong orang-orang yang sedang terlibat dalam sebuah konflik hingga meraih sebuah

kesepakatan sukarela yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Saya tidak berperan sebagai

seorang hakim tidak juga sebagai penasihat, dan saya berusaha keras untuk tidak membuat

penilaian moral mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebagai seorang mediator, saya

adalah pihak ketiga yang netral yang tugasnya hanya dan hanya untuk memfasilitasi

berlangsungnya proses negosiasi. Bukan berarti itu tugas yang mudah.

Kebanyakan pihak yang bersengketa datang ke center sebagai upaya terakhir untuk

menghindari biaya dan intimidasi dalam persidangan. Layanan ini gratis, dan kami melakukan

segala upaya untuk menjauhkan ancaman dari proses negosiasi. Tetapi setelah gagal atau

menolak untuk menyelesaikan perbedaan mereka sendiri, mereka merasakan berbagai tingkatan

kemarahan, terluka, ketakutan, kebingunan dan malu. Di satu sisi, mereka berharap negosiasi

akan membantu menyelesaikan perselisihan mereka. Di sisi lain, mereka ragu bahwa duduk

mengitari meja akan melunakkan kerasnya hati dan mengubah respons yang kelihatannya tidak

bisa diganggu gugat lagi.

Staf profesional di center menginstruksikan relawan untuk beroperasi dalam sebuah

model negosiasi yang memaksimalkan kesempatan orang untuk mencapai kesepakatan yang

dapat diterima bersama. Sejak hari pertama pelatihan, para staf bersikeras bahwa “mediator

mengontrol proses negosiasi, bukan hasil akhirnya.” Gambar 31-1 menunjukkan beberapa teknik
yang digunakan mediator untuk memastikan kemajuan negosiasi tanpa menyarankan bentuk

solusinya. Jika digunakan dengan baik, teknik-teknik tersebut bekerja dengan baik. Mayoritas

negosiasi berakhir pada kesepakatan yang disepakati dan dijaga bersama.

Akan tetapi, model negosiasi tidak bekerja dengan baik terhadap semua orang. Meskipun

center melayani area urban yang multietnis, saya dan kolega saya menyadari jumlah orang Asia

yang mencari mediasi konflik secara tidak proporsional berjumlah kecil. Dalam kesempatan

langka ketika orang Jepang, Vietnam, China, atau Korea datang ke kantor, diskusi yang

dilakukan terlihat hanya berputar-putar tanpa ada penyelesaian. Bahkan ketika partisipan meraih

kesepakatan, mereka terlihat lebih lega negosiasi tersebut berakhir dibanding merasa puas

dengan solusi yang dicapai.

Teori Face-Negotiation Stella Ting-Toomey membantu menjelaskan perbedaan budaya

dalam merespons konflik. Seorang kolega Gudykunst dari departemen komunikasi di California

State University, Fullerton, Ting-Toomey mengasumsikan bahwa orang dari setiap budaya selalu

menegosiasikan muka. Istilah ini merupakan metafora bagi citra diri publik kita, bagaimana kita

ingin orang lain melihat kita dan memperlakukan kita. Facework mengacu pada “pesan-pesan

verbal dan nonverbal spesifik yang membantu menjaga dan mengembalikan kehilangan muka,

dan untuk menjunjung tinggi dan menghormati mendapatkan muka”. Identitas kita dapat selalu

dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian bergejolak karena konflik membuat kita

merasa rapuh. Teori Face-Negotiation mengemukakan bahwa facework orang-orang dari budaya

individualis seperti Amerika Serikat atau Jerman akan sangat berbeda dengan facework orang-

orang dari budaya kolektivistik seperti Jepang atau Korea. Menurut Ting-Toomey, ketika

facework berbeda, gaya penanganan konfliknya juga turut berbeda.


Kolektivisme Versus Individualisme

Ting-Toomey memusatkan teori face-negotiationnya pada perbedaan antara kolektivisme

dan individualisme. Pembedaan paling ekstensif antara kolektivisme dan individualisme telah

dilakukan oleh psikolog University of Illinois Harry Triandis. Ia mengatakan bahwa ada tiga

perbedaan penting antara kolektivisme dan individualisme. Perbedaan itu antara lain cara

berbeda dalam mendefenisikan diri (self), tujuan (goals) dan tugas (duty).

Pikirkan seorang pria bernama Em. Em yang kolektivis akan berpikir dirinya sebagai

seorang ayah, penganut agama Kristen dan seorang guru. Em yang individualis mungkin hanya

berpikir dirinya hanya sebagai Em, Em yang independen dari afiliasi kelompok manapun. Em

yang kolektivistik tidak akan menghalangi tujuan-tujuan kelompok afiliasinya, tetapi Em yang

individualistis akan secara wajar mengejar kepentingan pribadinya. Em yang kolektivistik telah

disosialisasikan untuk menikmati tugasnya yang membutuhkan pengorbanan dalam

pengabdiannya terhadap orang lain; Em yang individualistis akan menerapkan prinsip minimax

untuk menentukan serangkaian kegiatan yang akan dia lihat sebagai sesuatu yang menyenangkan

dan menguntungkan dirinya.

Lebih dari dua per tiga orang di dunia lahir di dalam budaya kolektivistik, sementara

kurang dari sepertiga populasi hidup dalam budaya individualistis. Untuk membantu Anda

membuat gambaran mental yang lebih jelas terhadap perbedaan ini, saya akan mengikuti metode

peneliti antar-budaya yang menyebut Jepang dan Amerika Serikat sebagai contoh klasik budaya

kolektivistik dan individualistis. Harap dicatat bahwa China, Korea atau Vietnam juga bisa

digunakan untuk merepresentasikan perspektif kolektivistik. Saya juga bisa menyertakan

Australia, Jerman, Swiss, atau salah satu masyarakat Skandinavia sebagai contoh pendekatan
individualistis. Pengelompokan budaya nasional ini ke dalam kategori kolektivistik dan

individualistis yang dilakukan Ting-Toomey memisahkan teori manajemen konfliknya dari

hanya daftar karakteristik-karakteristik nasional, jadi silahkan buat substitusi mental.

Triandis mengatakan bahwa orang Jepang menghargai kebutuhan dan tujuan kolektif di

atas kebutuhan dan tujuan individual. Mereka berasumsi bahwa lama kelamaan, setiap keputusan

individual akan mempengaruhi semua orang dalam kelompok. Untuk itu, perilaku seseorang

dikontrol dengan norma kelompok. Identitas-kami orang Jepang ini cukup asing bagi identitas-

aku yang dianut orang Amerika yang menghargai kebutuhan dan tujuan individualistis di atas

kebutuhan dan tujuan kelompok. Perilaku orang Amerika diatur oleh aturan personal atas diri

yang bebas yang lebih terkait dengan hak-hak individual daripada tanggung jawab kelompok.

Marching to a different drummer, itulah aturan di Amerika Serikat, tanpa pengecualian.

Triandis menyatakan identitas in-group yang kuat di masyarakat Jepang membuat mereka

melihat orang lain ke dalam kategori kita-mereka. Lebih penting bagi orang Jepang

mengidentifikasi latar belakang dan afiliasi kelompok orang asing yang mereka daripada sikap

atau perasaan orang yang dianggap asing tersebut – bukan karena mereka tidak peduli dengan

tamu mereka, tetapi karena perbedaan individual yang unik bagi mereka terlihat kurang begitu

penting dibanding informasi berbasis kelompok. Orang yang dibesarkan di Amerika Serikat

menunjukkan rasa penasaran yang berbeda. Mereka dipenuhi dengan pertanyaan mengenai

kehidupan tamu mereka yang memiliki budaya berbeda. Apa yang mereka pikirkan? Apa yang

mereka rasakan? Apa rencana mereka? Orang Amerika berasumsi setiap orang itu unik, and

mereka mengurangi ketidakpastian dengan menanyakan berbagai pertanyaan sampai pada titik

pemeriksaan-silang (cross-examination).
Dengan pemahaman perbedaan antara budaya kolektivistik dan individualistis ini,

bacalah deskkripsi teknik-teknik mediasi di Gambar 31-1. Jika dilihat secara keseluruhan, daftar

tersebut memberikan pengetahuan yang bisa diandalkan hingga pada level yang mampu

memediasi resolusi konflik antar budaya ini. Partisipan yang datang ke pusat konflik (conflict

center) diperlakukan sebagai individu bertanggung jawab yang bisa menentukan sendiri apa

yang mereka inginkan. Mediator mendorong individu antagonis untuk menegosiasikan

perbedaan di antara mereka dan menjaga agar pembicaraan tetap terfokus pada kemungkinan

kesepakatan final. Sementara mediator berhati-hati untuk tidak memberi tekanan pada klien

untuk mencapai mufakat, iklim kesegeraan mengesankan bahwa mediasi ini adalah kesempatan

terbaik untuk menyelesaikan masalah mereka dalam cara yang dapat diterima bersama dan

melanjutkan hidup. Mediator berupaya keras agar hak kedua belah pihak sama-sama dihargai

dalam usaha pencapaian kesepakatan.

Berhasil atau tidaknya kedua belah pihak mencapai kesepakatan, pendekatan mediator

yang ada di Gambar 31-1 menawarkan tempat aman dimana tidak ada pihak yang perlu merasa

malu. Setidaknya tidak ada pihak dari budaya individualis Amerika! Ternyata, teknik-teknik

yang dibuat agar orang bisa menjaga muka selama negosiasi merupakan ancaman tambahan

untuk dihadapi bagi orang dari budaya kolektivistik. Tidak heran orang-orang ini menjaga jarak

atau pergi dengan tidak puas. Teori face-negotiation Ting-Toomey menjelaskan mengapa hal ini

terjadi dengan menggambarkan dimensi-dimensi muka yang berbeda.

The Multiple Faces of Face


Meski kearifan barat memandang muka (face) lebih dikhawatirkan di Asia, Ting-Toomey

dan peneliti relasional lainnya menemukan bahwa muka (face) adalah kekuatiran universial.

Alasannya karena muka adalah perpanjangan konsep-diri, informasi yang rapuh, yang berbasis-

identitas (identity-based). Sebagaimana dicatat Ting-Toomey, kebanyakan dari kita pernah

merasakan muka kita menjadi merah. Itu adalah tanda yang menunjukkan kita merasa canggung,

dipermalukan, malu, atau bangga – semuanya masalah yang berkaitan dengan muka. Dalam teori

kesopanan (theory of politeness) mereka yang telah dikembangkan dengan baik, ahli bahasa

University of Cambridge Penelope Brown dan Stephen Levinson mendefenisikan muka sebagai

“gambaran-diri umum (public self-image) yang ingin diklaim oleh setiap anggota masyarakat

bagi diri mereka”. Banyak penulis Barat memandang muka sebagai benda yang hampir nyata

yang akan menanjak atau jatuh seperti masa depan kacang kedelai di pertukaran komoditas

Board of Trade. Peneliti Taiwan L. Yutang menyebut muka sebagai “gambaran psikologis yang

dapat diraih dan hilang dan diperjuangkan dan diberikan sebagai hadiah”. Istilah ini termasuk

kepentingan kaum bangsawan akan harga diri, kehormatan dan status. Tetapi istilah itu juga

termasuk “omongan sampah” arogansi setelah lemparan slam-dunk di lapangan basket – “in your

face”. Ting-Toomey secara sederhana mengacu istilah muka pada “gambaran yang

diproyeksikan seseorang dalam suatu situasi relasional”.

Meski pandangan secara keseluruhan yang menganggap muka sebagai gambaran-diri

umum cukup terus-terang dan konsisten dengan konsep generalized other milik Mead (lihat Bab

4), Ting-Toomey menyoroti beberapa masalah yang mengubah muka menjadi objek penelitian

beraneka segi. Muka memiliki pengertian berbeda bagi setiap orang tergantung pada identitas

budaya dan identitas individu mereka.


Pertanyaan muka siapa yang berusaha untuk Anda jaga? Mungkin terlihat konyol bagi

kebanyakan orang Amerika atau orang-orang dari budaya individualis lainnya. Jawabannya jelas:

muka saya! Tetapi Ting-Toomey memperingatkan kita bahwa ada banyak tempat di dunia

dimana muka mengandung fokus terhadap orang lain. Bahkan di tengah konflik, masyarakat dari

budaya kolektivis tetap memperhatikan atau lebih mempedulikan menjaga muka pihak lain

sebagaimana mereka menjaga muka mereka sendiri. Jawaban mereka atas pertanyaan yang

berkaitan dengan muka adalah muka anda atau muka kita.

Menjaga-muka (face-restoration) atas kepentingan-diri (self-concerned) adalah strategi

facework yang digunakan untuk mencari tempat unik dalam hidup, memelihara otonomi dan

mempertahankan kebebasan personal. Tidak heran, menjaga-muka merupakan strategi muka

tipikal di hampir semua budaya individualis. Face-giving untuk orang lain merupakan strategi

facework yang digunakan untuk membela dan mendukung kebutuhan seseorang akan

keikutisertaan. Artinya untuk menjaga orang lain bukannya mempermalukan atau menghina

pihak lain di muka umum. Face-giving adalah strategi muka karakteristik di semua budaya

kolektivis.

Ketika muka anda terancam, apakah anda cenderung menangkal serangan verbal sebelum

serangan tersebut dilancarkan, atau anda memperbaiki dampak yang timbul dan memulihkan

kekuatan setelah menerima pukulan? Ting-Toomey menyatakan individu dari masyarakat

kolektivis menggunakan strategi melupakan diri-sendiri (self-effacing) untuk secara proaktif

mengelak dari ancaman muka potensial bagi kedua pihak dan orang lain. (“Saya minta maaf. Ini

kesalahan saya.”). Yang terjadi disini adalah face-saving dan face-giving. Orang-orang dari

masyarakat individualis lebih cenderung menjaga-muka dengan melakukan pembenaran atas apa
yang mereka lakukan atau menyalahkan situasi yang ada. Itulah yang disebut self-face-repair

dan face-restoration.

Tentu saja, kolektivis dan individualis bukan satu-satunya kategori. Perbedaan antara

urusan other-face dan self-face tidak absolut. Sama seperti dilektik relasional yang bersikeras

setiap menginginkan rasa saling terhubung dan rasa terpisah dalam suatu hubungan yang erat

(lihat bab 11), jadi semua orang juga menginginkan afiliasi dan otonomi dalam masyarakat.

Orang yang dibesarkan di Jepang atau di negara-negara Lingkaran Pasifik lainnya juga memiliki

keinginan dan kebutuhan personal; orang Amerika dan orang-orang dari negara-negara di Eropa

Utara juga memiliki hasrat untuk lebih terhubung dengan kelompok masyarakatnya. Perbedaan

budaya itu selalu hanya persoalan tingkatan semata.

Tetap saja ketika dalam situasi sulit, kebanyakan orang dari budaya kolektivistik

cenderung mengistimewakan muka-orang lain (other-face) atau muka-bersama (mutual face) di

atas muka-diri (self-face). Dalam cara yang sama, orang yang dibesarkan dalam budaya

individualistis normalnya lebih khawatir dengan muka-diri (self-face) dibanding khawatir dengan

muka-orang lain (other-face).

Face: Linking Culture and Conflict Management

Sekarang sudah jelas terdapat hubungan antara budaya dan manajemen-muka (face-

management). Karena perhatian utama kebanyakan orang di budaya kolektivis adalah muka-

orang lain, facework mereka adalah mengorbankan (giving) muka. Sebaliknya, muka-diri (self-

face) menjadi perhatian utama bagi kebanyakan masyarakat dalam budaya individualis, jadi

facework mereka adalah menyelamatkan (saving) atau mengembalikan (restoring) muka mereka
sendiri. Selama dekade terakhir, penelitian Ting-Toomey berpusat dalam membuktikan

hubungan antara keprihatinan-diri (self-concern) dari budaya yg berbeda dan gaya utama

masyarakat ketika menyelesaikan konflik. Intinya, teori face-negotiation Ting-Toomey

mengusulkan sebuah rantai sebab-akibat dua-tahap (two-step causal chain) dengan

pemeliharaan-muka (face maintenance) sebagai hubungan yang menjelaskan antara budaya dan

gaya pemecahan konflik:

Jenis budaya jenis face maintenance jenis manajemen konflik

Berdasarkan penelitian M. Afzalur Rahim, professor manajemen dan pemasaran di

Western Kentucky University, Ting-Toomey mengidentifikasi lima respons berbeda terhadap

situasi dimana terdapat ketidakcocokan kebutuhan, kepentingan, atau tujuan – menghindar,

menurut, berkompromi, mendominasi, dan bersatu. Andaikan, misalnya, Anda adalah pemimpin

kelompok mahasiswa yang bersama-sama melakukan tugas penelitian kelas. Intruktur anda akan

memberikan nilai yang sama kepada anda semua berdasarkan kualitas hasil kerja kelompok, dan

evaluasi tugas itu akan bernilai dua per tiga nilai akhir mata kuliah tersebut. Seperti yang

seringnya terjadi dalam kasus seperti ini, salah satu anggota kelompok menyerahkan hasil

pekerjaan yang jelek dan anda hanya memiliki waktu tiga hari sebelum evaluasi tugas. Anda

tidak mengenal anggota kelompok ini dengan baik, tapi anda tahu dengan pasti bahwa butuh

waktu 72 jam penuh untuk menyelesaikan bagian tugas tersebut. Cara manajemen konflik mana

yang akan anda pakai?

Menghindar: “saya menghindar membahas perselisihan saya dengan anggota kelompok”

Menurut: “saya akan mengikuti keinginan anggota kelompok”

Berkompromi: “saya akan menggunakan metode take and give sehingga kompromi bisa
dicapai”
Mendominasi: “saya akan tegas menempatkan diri saya dalam masalah ini”

Bersatu : “saya akan bertukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk bersama-sama
menyelesaikan masalah yang ada.”

Teori face-negotiation menyatakan bahwa menghindar, menurut, berkompromi,

mendominasi dan bersatu berbeda-beda menurut gabungan perhatian orang-orang akan muka-

diri dan muka-orang lain. Gambar 32-1 memetakan kelima jenis manajemen konflik ini menurut

urusan muka mereka yang terkait dengan budaya. Menurut, sebagai contoh, merupakan perilaku

pilihan orang yang peduli pada muka orang lain, tetapi tidak peduli dengan muka sendiri.

Sebaliknya, mendominasi adalah perilaku seseorang yang peduli menjaga mukanya tetapi tidak

peduli untuk menjaga muka orang lain. Area kosong di bagian kiri gambar merepresentasikan

prediksi awal Ting-Toomey bahwa mengindar, menurut dan kompromi akan menjadi respons

tipikal orang-orang dari budaya kolektivis. Area berbayang di bagian kanan merepresentasikan

ekspektasi awal Ting-Toomey bahwa anggota budaya individualis akan cenderung memilih

strategi mendominasi dan bersatu. Mengingat pengalaman saya sebagai mediator hanya dalam

situasi-situasi konflik inter-etnis, saya tidak bisa mendebat prediksi-prediksi ini.

Ting-Toomey sudah menguji teorinya pada hampir seribu mahasiswa di Jepang, China,

Korea Selatan, Taiwan dan Amerika Serikat. Para mahasiswa ditanyai bagaimana ketua mereka

menghadapi mahasiswa yang tidak begitu dikenal yang perlu mengerjakan kembali tugas mereka

yang kurang bagus dalam tiga hari agar kelompok mereka bisa menyelesaikan tugas yang

diberikan. Seperti yang sudah diduga, ditemukan hubungan yang kuat antara jenis budaya dan

face concern. Mahasiswa Amerika yang individualis menunjukkan pilihan jelas terhadap strategi

mendominasi untuk menyelesaikan masalah, sementara mahasiswa Asia yang kolektivis

mengindikasikan mereka akan sekalian menghindar mempermasalahkan persoalan yang ada atau

berusaha menuruti apa yang diinginkan kelompoknya. Sejauh ini, sangat bagus.
Penemuan yg mengejutkan menyangkut gaya bersatu dan kompromi dalam konfik. Teori

face-negotiation Ting-Toomey mengklaim bahwa mahasiswa dari Amerika akan lebih memilih

strategi penyelesaian masalah yang langsung daripada mahasiswa Asia yang akan cenderung

memilih berkompromi. Hasil dari area ini bercampur baur. Dalam peninjauan kembali, terlihat

kelompok budaya dan etnis berbeda yang menyatakan maksud mereka ke dalam istilah bersatu

dan kompromi. Secara tradisional, gaya berorientasi-solusi (solution-oriented) ini mencerminkan

pendekatan barat dalam manajemen konflik dalam situasi-situasi di tempat kerja. Bagi

kebanyakan orang Amerika, integrasi (bersatu) berarti meraih solusi yang baik, sementara bagi

orang Asia integrasi lebih merupakan istilah relasional yang berarti mencapai perdamaian satu

sama lain. Jika Anda membaca kembali teknik pihak ketiga di Gambar 31-1 dengan mengingat

perbedaan ini, Anda akan mengerti mengapa mereka yang berasal dari negara-negara Lingkar

Pasifik bisa frustasi dengan praktek mediasi standar Amerika yang berusaha bersama mencari

solusi, melakukan pertemuan pribadi, pengujian realitas, dan mendorong kesepakatan.

Teori Face-Negotiation yang telah Direvisi

Atas dasar penelitian lima-budaya, Ting-Toomey menyadari perlunya beberapa konsep

teori face-negotiation. Dia menyimpulkan peta gaya konflik yang ditunjukkan gambar 31-2 tidak

cukup mengidentifikasi beragam strategi yang sebenarnya digunakan orang-orang, juga tidak

merefleksikan alasan mengapa orang-orang menggunakan strategi tersebut. Ting-Toomey juga

yakin perbedaan kolektivis-individualis bukan satu-satunya variable budaya yang mempengaruhi

gaya manajemen konflik orang-orang, dan kemudian Ting-Toomey menambahkan pertimbangan

kekuatan (power) ke dalam teorinya.


Gaya Konflik Baru

Hampir semua teks mengenai penyelesaian sengketa mengacu pada tiga gaya utama

penyelesaian konflik: menghindar, menurut, kompromi, dominasi, dan integrasi. Meski

terkadang istilah yang digunakan berbeda – menarik diri, mengalah, negosiasi, bersaing, dan

memecahkan masalah – kelima kategori ini telah seringkali didiskusikan dan diteliti hingga

kelimanya hampir terlihat seperti telah dipahat di atas batu. Sekalipun demikian, Ting-Toomey

dan John Oetzel, kolega peneliti Ting-Toomey di Departemen Komunikasi University of New

Mexico, mengingatkan kita bahwa gaya-gaya ini telah muncul dalam situasi kerja di negara-

negara Barat. Dengan menggunakan sampel beragam etnis, mereka telah mengidentifikasi tiga

gaya manajemen konflik tambahan yang dilewatkan oleh peneliti berbasis individualis Amerika.

Gaya-gaya tersebut antara lain ekspresi emosional (emotional expression), agresi pasif (passive

aggression) dan bantuan pihak ketiga (third-party help). Dalam contoh tugas mahasiswa yang

telah diberikan sebelumya, gaya-gaya baru ini bisa saja diekspresikan sebagai berikut:

Ekspresi emosional: “Apapun yang dikatakan ‘nyali’ dan ‘hati’ saya, saya akan menunjukkan
perasaan ini.”

Agresi pasif: “Tanpa menuduh seseorang malas secara langsung, saya akan membuatnya
merasa bersalah.”

Bantuan pihak ketiga: “Saya akan meminta Professor membantu kita menyelesaikan konflik
ini.”

Gambar 31-3 memetakan peta gaya konflik Ting-Toomey dan Oetzel yang baru, diatur

menurut face concern mereka. Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menghindar dan

kompromi sekarang ditempatkan di dekat menurut di daerah other-face yang lebih tinggi.

Ternyata semua ini adalah strategi berbeda yang digunakan orang di budaya kolektivis untuk

mencapai hasil yang sama – mengorbankan-muka untuk pihak lain. Kedua, bentuk oval dan
persegi panjang yang menggambarkan integrasi dan bantuan pihak ketiga dilapiskan untuk

menunjukkan budaya kolektivis dan individualis sama-sama menggunakan strategi ini, tetapi

menginterpretasikannya dengan cara berbeda. Ting-Toomey menyatakan orang kolektivis yang

mengadopsi gaya ini fokus pada kolaborasi dan konsesi tingkat-relasional, mengingat

individualis berkonsentrasi menyelesaikan masalah tugas pada cara yang membawa penyelesaian

masalah. Lebih jauh lagi, kolektivis memilih meminta bantuan pihak ketiga yang familiar,

sementara individualis menginginkan saran dari orang yang tidak mereka kenal yang tidak

memihak.

Power Distance (Jarak Kekuasaan)

Pada pengenalan seksi antarbudaya ini, saya menampilkan jarak kekuasaan sebagai

dimensi penting untuk membandingkan budaya. Anda akan ingat Geert Hofstede mendefenisikan

jarak kekuasaan sebagai sejauh mana anggota masyarakat yang kurang berkuasa menerima

bahwa kekuasaan tidak dibagikan secara seimbang. Meski Amerika Serikat dan Jepang

menyediakan ilustrasi budaya yang ideal bagi kolektivisme dan individualisme, masing-masing,

tidak ada yang berada dalam skala ektrim jarak kekuasaan. Menurut Hofstede, Israel adalah

contoh budaya dengan jarak kekuasaan yang kecil, sementara Meksiko adalah kasus klasik

masyarakat dengan jarak kekuasaan yang besar.

Israel menghargai kesetaraan hak dan hadiah berdasarkan performa personal. Di tempat

kerja, pegawai diharapkan mengemukakan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, jadi

pengusaha yang dianggap baik menggunakan gaya manajemen yang demokratis. Sebaliknya,

orang Meksiko menerima distribusi kekuasaan yang tidak seimbang, peran yang hirarkis, dan
hadiah berdasar umur. Di tempat kerja, bawahan diharapkan untuk diberitahu apa yang harus

dilakukan, sehingga seorang bos terhormat menjadi pihak yang berperan sebagai otokrat yang

baik. Ketika anggota masyarakat berstatus rendah mengalami ancaman-muka (face-threat) di

Israel, biasanya mereka membela diri dengan menggunakan strategi muka-diri (self-face). Tetapi

kebalikannya di Meksiko cenderung menggunakan strategi melupakan-diri sendiri untuk

meminimalkan kemungkinan kehilangan muka.

Menghubungkan gaya penyelesaian konflik yang baru diidentifikasi dengan masalah

kekuasaan, Ting-Toomey mencatat bahwa mediator pihak ketiga di budaya jarak kekuasaan yang

besar biasanya orang yang sangat dihormati oleh kedua pihak yang bersengketa (orang yang

bijak, orang yang lebih tua, contohnya). Pihak yang bersengketa mungkin bersedia membuat

kelonggaran untuk “memberi muka” mediator yang dihormati ini. Dalam prosesnya, mereka

menghindari konfrontasi tanpa saling kehilangan muka. Interaksi yang dideskripsikan Ting-

Toomey terlalu rumit untuk diprediksi atau dijelaskan dengan proposisi kausal sederhana.

Kerumitan ini menggambarkan kesulitan yang dihadapi Ting-Toomey dan Oetzel ketika mereka

berusaha mengombinasikan masalah jarak kekuasaan dengan perbedaan mendasar teori face-

negotiation antara budaya kolektivistik dan individualistis.

Application: Competent Intercultural Facework

Tujuan utama teori Ting-Toomey melampaui sekedar mengidentifikasi cara-cara orang

dalam budaya yang berbeda menegosiasikan muka atau menangani konflik. Ting-Toomey yakin

bahwa pengetahuan budaya, kesadaran, dan keahlian interaksi (interaction skill) facework tiga

persyaratan bagi komunikasi efektif antar budaya. Bayangkan jika Anda adalah seorang
mahasiswa Jepang yang sedang belajar di Universitas di Amerika Serikat. Sebagai pemimpin

yang telah ditunjuk dalam tugas penelitian kelas, Anda merasa menegur anggota kelompok yang

orang Amerika yang kebetulan tidak produktif dalam tugas adalah tugas Anda yang membuat

Anda tidak nyaman. Bagaimana mungkin Anda mencapai facework antar busaya yang

kompeten?

Pengetahuan adalah dimesi kompetensi facework yang paling penting. Sulit untuk bisa

sensitive secara budaya kecuali Anda merasa bahwa mungkin Anda berbeda dari teman sekelas

Anda. Teori Ting-Toomey menawarkan wawasan mendasar mengenai budaya kolektivitik dan

individualistis, face-concers, gaya konflik, dan jarak kekuasaan, kesemuanya bisa membantu

Anda memahami perspektif mahasiswa Amerika, dan sebaliknya. Jika Anda membaca bab ini

dengan seksama, pengetahuan ini akan memberi manfaat bagi Anda.

Kesadaran menunjukkan pengakuan bahwa hal-hal tidak selalu seperti yang terlihat.

Merupakan sebuah pilihan yang dibuat secara sadar untuk mencari banyak persepsi akan satu

peristiwa. Mungkin hasil kerja orang lain yang tidak begitu baik bukan disebabkan oleh

kemalasan tetapi itulah hasil terbaik yang bisa dilakukan orang tersebut dalam situasi yang ada.

Mahasiswa itu mungkin memiliki ketidakmampuan belajar, sedang memiliki masalah emosional,

kurang jelas memahami tugas yang diberikan, atau memiliki keinginan untuk sekadar lulus mata

kuliah itu. Tentu saja, percakapan yang Anda lakukan untuk memdiskusikan tugas juga terbuka

terhadap banyak interpretasi. Ting-Toomey menulis:

Kesadaran berarti sangat menyadari asumsi-asumsi kita sendiri, sudut pandang kita dan
tendesi etnosentris ketika mengalami keadaan-keadaan yang kurang familiar bagi kita. Secara
terus menerus, kesadaran berarti memperhatikan sudut pandang perspektif dan interpretif orang
lain yang berbeda dengan kita dalam memandang suatu peristiwa antar budaya.
Ketika Anda penuh dengan kesadaran, secara mental Anda mematikan pilot otomatis pikiran

Anda dan memproses suatuperistiwa percakapan melalui rute pusat pikiran sebagaimana

disebutkan ELM (lihat bab 14). Tetapi Anda juga dibebaskan untuk berempati dengan

mahasiswa lain dan melakukan pendekatan percakapan dengan mindset yang baru atau kreatif.

Hasilnya bisa menjadi solusi baru berkat kemampuan Anda memiliki cara berpikir yang berbeda.

Ketrampilan berinteraksi adalah kemampuan Anda untuk berkomunikasi dengan baik,

efektif dan adaptif dalam situasi tertentu. Mungkin Anda belajar komunikasi untuk mendapatkan

kompetensi seperti itu. Semoga departemen Anda menawarkan mata kuliah komunikasi

interpersonal dan komunikasi antar budaya yang memasukkan latihan-latihan terstruktur,

bermain peran, atau simulasi. Tanpa praktik umpan balik dari orang lain, sulit bagi Anda menjadi

lebih baik. Relawan di pusat resolusi konflik melatih ketrampilan mediasi mereka lewat

pembelajaran eksperimental ini. Beberapa teknik yang ditampilkan di Gambar 31-1 ketrampilan-

ketrampilan parallel yang oleh dianggap penting Ting-Toomey di komunikasi lintas budaya.

Contohnya, kesetaraan orang yang bertikai (disputant equality) dan pengakuan emosi

(acknowledgement of emotions) didesain untuk menjaga atau memberi muka (give face) ke pihak

yang bertikai bukan untuk mengancam citra-diri publik (public self-image) mereka. Hal ini akan

menjadi ketrampilan yang membantu ketika Anda harus berkomunikasi dengan mahasiswa

dalam kelompok penelitian Anda. Jadi Anda juga bisa melakukan pembicaraan terus-terang gaya

Amerika yang bisa dipahami oleh orang dari budaya individualis/ budaya konteks rendah.

Dengan menggunakan kedua ketrampilan secara bersama, Anda akan meningkatkan mutual face

dan menyelesaikan tugas penelitian tepat waktu.


Critique: Cofounded by Individual Difference

Mengkritik sebuah teori seperti sedang bermain king-of-the-hill. Seorang peneliti

mengibarkan bendera teoretikal – berdasarkan penelitian empiris atau interpretif, dan kemudian

teoretisi dan peneliti lain berusaha menurunkan bendera teoretikal tersebut. Kebanyakan teori di

buku telah berhasil selamat dari tantangan tersebut. Jarang si peneliti sendiri yang menurunkan

bendera teoretis yang mereka kibarkan, peneliti lain biasanya lebih suka menurunkan bendera itu

untuk mereka. Teori face-negotiation berbeda karena tantangan yang dihadapi berasal dari

pendukungnya sendiri – John Oetzel dan Stella Ting-Toomey. Agar Anda bisa mengerti

mengapa hal ini terjadi, saya akan mengulas kembali diskusi perbedaan individual dalam satu

budaya mereka.

Sama seperti bagaimana budaya berbeda dalam skala yang antara self-face dan other-

face, Ting-Toomey mengakui bahwa orang dalam budaya yg sama berbeda dalam penekanan

relatif yang mereka buat dalam dua kepentingan muka ini (antara self-face dan other-face). Ting-

Toomey menggunakan istilah diri-independen dan diri-interdependen yang merujuk kepada

“tingkatan dimana orang membayangkan dirinya relatif otonom atau relatif terhubung dengan

orang lain.” Psikolog Hazel Markus dan Shinobu Kitayama menyebut dimensi ini self-construal

atau dengan istilah yang lebih familiar, citra-diri (self-image).

Diri yang independen menghargai identitas-aku dan lebih berorientasi dengan self-face,

jadi konsep diri yang ini sesuai dengan budaya individualis seperti Amerika Serikat. Namun

mengingat adanya keragaman etnis dalam masyarakat Amerika, bisa ditemukan orang yang

dibesarkan di Amerika Serikat yang sangat interdependen. Diri yang interdependen menghargai

identitas-kita, menekankan pada keterhubungan relasional, lebih peduli dengan other-face,


dengan demikian lebih dekat dengan kolektivisme. Tetapi lagi-lagi, berbahaya untuk

menstereotipekan semua anggota masyarakat kolektivis memiliki self-construal yang sama.

Budaya adalah keseluruhan kerangka kerja untuk face-concern, tetapi individu suatu budaya

memiliki gambaran diri berbeda juga pandangan berbeda mengenai sampai tingkatan mana

mereka memberi muka pada orang lain atau mengembalikan muka sendiri dalam situasi konflik.

Realitas relasional perbedaan citra-diri antara dua budaya berbeda direpresentasikan di

diagram di bawah ini. Setiap tanda tambah (+) mewakili self-construal seseorang yang

dibesarkan di masyarakat kolektivis yang mengajarkan anggotanya menjadi interdependen dan

menyertakan semua orang dalam face concern. Setiap tanda bintang (*) mewakili self-construal

seseorang yang dibesarkan dalam budaya individualis yang menekankan independensi dan self-

reliance. Budayanya jelas berbeda. Tetapi bagian yang tumpang tindih menunjukkan bahwa

orang Amerika bisa terlalu terfokus pada other-face sehingga bisa saja ia memiliki self-image

yang lebih interdependen dibandingkan orang yang dibesarkan di Jepang dengan high-construal

yang relatif tinggi.

Budaya Kolektivis (Jepang)


Other-face +++++++++++++++++++++
********************************************** Self-face
Budaya Individualis (Amerika Serikat)

Ting-Toomey membangun teorinya pada gagasan mendasar bahwa orang dari budaya

kolektivis/budaya konteks tinggi terlihat berbeda dalam cara mereka mengatur muka dan situasi-

situasi konflik dengan orang dari budaya individualis/budaya tingkat rendah. Dalam lusinan

artikel ilmiah ia telah mempertahankan keyakinan dasar tersebut. Namun dalam penelitian baru-

baru ini, Oetzel dan Ting-Toomey menemukan bahwa “ self-construal merupakan prediktor gaya
konflik yang lebih baik dibanding latar belakang etnis/budaya:” Sekarang Anda dapat memahami

mengapa teori face-negotiation dikatakan “in progress”, dan Ting-Toomey menulis bahwa

“usaha teorisasi lebih lanjut dibutuhkan untuk “mendekategorisasi” konsep kolosal

‘indivisualisme’ dan ‘kolektivisme’… ke dalam level-budaya, kategori-yang menjelaskan yang

lebih baik.

Dengan bantuan kolega-kolega internasional, Oetzel dan Ting-Toomey baru-baru ini

melakukan penelitian lintas budaya di China, Jepang, Jerman dan Amerika Serikat. Mereka lagi-

lagi memutuskan bahwa self-construal adalah variabel antara yang kuat antara budaya dan jenis

face maintenance yang digunakan orang. Teori face-negotiation yang sudah direvisi sekarang

terlihat seperti ini:

Jenis budaya Jenis self-construal Jenis face maintenance Jenis manajemen konflik

Perbedaan antara budaya kolektivis dan individualis tetap penting karena budaya

memiliki efek kuat terhadap self-contrual individu. Tetapi arti identitas individu lebih dekat

kepada gaya menangani konflik yang dipilih seseorang, jadi secara tentu saja identitas individu

memprediksi perilaku sengketa yang dilaporkan lebih baik dibandingkan budaya yang

digeneralisasikan.

Stella Ting-Toomey telah menghabiskan hidupnya mengeksplorasi konsep muka – baik

akar budayanya dan perannya dalam penyelesaian konflik. Mengingat perpaduan asuhan China

Hong Kong, pernikahan dengan orang Amerika keturunan Irlandia, dan kehidupan profesional

yang dihabiskan di lima universitas di Amerika Serikat berfokus pada masalah-masalah antar

budaya, Ting-Toomey tidak akan meninggalkan penelitian budaya kolektivis-individualis, jarak

kekuasaan, dan dampak mereka terhadap komunikasi. Tapi ia ingin menyempurnakannya dan ia
sadar teorinya harus lebih kompleks lagi agar bisa memprediksi lebih baik mengenai bagaimana

orang akan memberi respon dalam situasi-situasi konflik. Saya menghargai komitmen yang

diberikannya.

Anda mungkin juga menyukai