Anda di halaman 1dari 6

A.

PENDAHULUAN
Teori Negosiasi Muka (Face Negotiation Theory) merupakan teori yang dicetuskan oleh
Stella Ting-Toomey dan bersifat multisisi. Teori ini menggabungkan penelitian dari
komunikasi lintas budaya, konflik, kesantunan, dan facework. West dan Turner
menyatakan bahwa Teori Negosiasi Muka adalah satu dari sedikit teori yang secara eksplisit
mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai
muka orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara
yang berbeda. Komentar-komentar ini membentuk latar belakang dari Teori Negosiasi Muka
(West dan Turner, 2010 : 160-161).
Pada bagian ini kami mencoba untuk memberikan sebuah contoh kasus tentang Teori
Negosiasi Muka.
Suatu hari sebuah grup band ternama asal benua Amerika melakukan hajatan
atau kunjungan ke Indonesia untuk sejenak bertemu dengan para penggemarnya.
Sesampainya di Indonesia para personil grup band ternama tersebut dijemput oleh
para anggota Event Organizer yang dipimpin oleh Sandy sebagai manajer. Mereka
kemudian diantar ke sebuah hotel guna beristirahat karena beberapa jam kemudian
mereka harus melaksanakan sebuah gladi resik untuk pelaksanakan konser pada
keesokan hari.
Pada pukul 16:45 Wita para personil sudah berkumpul di sebuah hotel ternama.
Sesampainya di sana mereka mulai melakukan pengamatan sambil memberikan
saran dan anjuran tentang suasana panggung dan keadaan sound system yang layak
untuk digunakan. Tiba-tiba setelah beberapa saat si vokalis memanggil Sandy si
manajer dan mulai melakukan percakapan. Keadaan sound system di sini sangat
buruk ditambah lagi daya listrik yang lemah karena ditopang oleh dua generator
listrik saja kata si vokalis. Maafkan saya dan kekurangan kami. Kami sudah
melakukan yang terbaik dengan semua perhitungan yang akurat kata Sandy. Kami
ini adalah grup band ternama dan kami tidak ingin mengecewakan para penonton
apalagi para penggemar kami balas si vokalis. Memangnya apa yang anda
kawatirkan dengan keadaan seperti ini? tanya Sandy. Sebagai vokalis, saya tidak
mau suara saya terdengar buruk bila keadaan sound system yang seperti ini
ditambah lagi listrik yang tiba-tiba padam di pertengahan konser jawabnya. Sandy
yang paham dengan keadaan negaranya yang selalu dihantui oleh kejadian mati

lampu pun mulai memberikan alternatif lain. Anda dan teman-teman anda adalah
grup band ternama. Anda sebagai vokalis pasti tahu apa yang harus dilakukan ketika
apa yang tidak diharapkan terjadi. Bila sound system kami mendadak buruk, anda
bisa menyuruh teman-teman anda untuk berpindah ke cara akustik. Bila listrik
mendadak padam, anda harusnya bisa menjaga kenyamanan suasana dengan
beberapa gurauan sambil menunggu generator kami siap kata Sandy. Tapi kami
ingin berpindah ke tempat yang lebih baik! perintah si vokalis. Namun, Sandy
berkata lagi, Apakah anda ingin mengecewakan penonton anda. Mereka datang
jauh-jauh hanya untuk melihat dan bertemu dengan grup band anda. Bila kita
berpindah tempat, mereka akan sangat kecewa. Anda adalah grup band ternama
yang terkenal di kancah internasional. Anda dan teman-teman anda pasti mampu
menghadapi segala ketidakmungkinan yang terjadi. Percayalah, semuanya akan
baik-baik saja. Lalu si vokalis berkata Baiklah, siapkanlah alat musik akustik
untuk berjaga-jaga.
Contoh kasus ini secara langsung menggambarkan inti dari Teori Negosiasi Muka.
Vokalis grup band asal benua Amerika dan Sandy berasal dari dua kebudayaan yang berbeda
sehingga semua interpretasi dan solusi penanganan konflik dan kesulitan yang dilakukan
pastilah berbeda. Sandy berusaha memberikan motivasi kepada si vokalis untuk tetap
menghibur para penggemarnya melalui pujian dan tidak ingin mempermalukan grup band
mereka dengan memberikan alternatif permainan akustik. Sedangkan si vokalis ingin
menyelesaikan konflik yang berorientasi pada solusi langsung yang pragmatis walaupun
kadang pernyataan yang diberikan tidak menghiraukan norma dan nilai dari si lawan bicara.
Perilaku yang ditimbulkan oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam keadaan tersebut
disebut dengan istilah muka atau face.
B. ASUMSI TEORI NEGOSIASI MUKA
Teori Negosiasi Muka memiliki beberapa asumsi yang mencakup komponen-komponen
penting, yakni; muka, konflik, dan budaya. Berikut beberapa pokok dalam Teori Negosiasi
Muka (West dan Turner, 2010 : 164-166) :
a) Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu
menegosiasikan identitas mereka secara berbeda di dalam budaya yang
berbeda.
2

b) Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya.


c) Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan
(muka).
Asumsi pertama menekankan pada identitas diri (self-identity), atau cirri pribadi atau
atribut karakter seseorang. Ketika orang bertemu, mereka mempresentasikan citra diri
mereka dalam sebuah interaksi. Citra ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan
agar identitas tersebut diterima orang lain. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan
dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran akan
identitasnya atau muka (muka diri) dan identitas atau muka orang lain (muka lain).
Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen pertama dari teori
ini. Konflik dalam teori ini bekerja sama dengan muka dan budaya. Bagi Ting-Toomey,
konflik dapat merusak muka sosial dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua
orang. Konflik mengancam muka kedua belah pihak dan ketika terdapat negosiasi yang
tiidak bersesuaian dalam bagaimana menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina orang
lain, memaksakan kehendak, dst), konflik dapat memperparah situasi.
Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan
terhadap muka. Ting-Toomey menyatakan bahwa tindakan yang mengancam muka
mengancam baik muka positif maupun negatif dari para partisipan. Dalam hal ini, terdapat
dua usaha yang dapat dilakukan ketika keadaan ini terjadi, yakni penyelamatan muka dan
pemulihan muka. Penyelamatan muka mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa
yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Sedangkan pemulihan
muka terjadi setelah terjadi kehilangan muka. Ting-Toomey menyatakan bahwa orang
berusaha untuk memulihkan muka dalam merespon akan suatu peristiwa.
C. PENANGANAN KONFLIK MENURUT TEORI NEGOSIASI MUKA
Teori Negosiasi Muka (Face Negotiation Theory) memiliki beberapa cara penanganan
konflik yang turut serta mempengaruhi proses negosiasi muka, yakni (http://www.academia.edu/20290697/Teori_Negosiasi_Rupa_Face_Negotiation_Theory_) :
a) Avoiding (penghindaran), yakni; saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan
saya dengan anggota kelompok.
b) Obliging (keharusan), yakni; saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota
kelompok.

c) Compromising, yakni; saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian


sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d) Dominating, yakni; saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e) Integrating, yakni; saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok
untuk memecahkan masalah bersama-sama.
D. MUKA, TEORI KESANTUNAN, DAN FACEWORK
a) Muka
Ting-Toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework.
Muka merupakan fitur penting dalam kehidupan. David Ho meyakini muka melingkupi
seluruh aspek kehidupan sosial. Menurut Erving Goffman, muka (face) adalah citra dari
diri yang ditunjukan orang dalam percakapannya dengan orang lain. Goffman
mendeskripsikan muka sebagai sesuatu yang dipertahankan, hilang, atau diperkuat.
Kemudian Ting-Toomey kembali mendefinisikan muka dalam kaitannya dengan nilai diri
yang positif dan/atau memproyeksikan nilai lain dalam situasi interpersonal (West dan
Turner, 2010 : 161).
Keberagaman budaya mempengaruhi bagaimana cara untuk saling berhubungan dan
menampilkan muka. Kebutuhan akan muka selalu ada di dalam budaya, tetapi semua
budaya tidak mengelolanya secara sama. Ting-Toomey berpendapat bahwa muka dapat
diinterpretasikan dalam dua cara yang utama, yakni kepedulian akan muka (face
concern) dan butuhan akan muka (face need). Kepedulian akan muka berarti kepentingan
untuk mempertahankan muka seseorang atau muka orang lain. Sedangkan kebutuhan
akan muka merupakan keinginan untuk diasosiasikan atau tidak diasosiasikan dengan
orang lain (West dan Turner, 2010 : 162).
b) Muka dan Teori Kesantunan
Teori muka Ting-Toomey dipengaruhi juga oleh teori kesantunan Penelope Brown
dan Stephen Levinson yang menyatakan bahwa orang akan menggunakan strategi
kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Terdapat dua kebutuhan universal
tentang muka, yakni kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif. Kebutuhan
muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang lain.
Sedangkan muka negatif (negative face) adalah keinginan untuk dibiarkan sendiri dan
bebas dari orang lain (West dan Turner, 2010 : 162).
c) Facework

Dalam menjalin hubungan, seringkali seseorang mengalami suatu keadaan terancam


terhadap muka positif dan negatifnya. Dia cendrung mencari bantuan atau cara untuk
mengembalikan muka atau mitra mereka. Dalam hal ini Ting-Toomey menyebutnya
dengan istilah facework. Facework merupakan srategi verbal dan nonverbal yang kita
gunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan
menyerang atau mempertahankan (atau menyelamatkan) citra sosial orang lain. Dengan
kata lain, facework berkaitan dengan bagaimana orang membuat apapun yang mereka
lakukan konsisten dengan muka mereka.
Terdapat tiga jenis facework, yakni kepekaan (ketimbangrasaan), solidaritas, dan
pujian. Facework ketimbangrasan merujuk pada batas di mana orang menghargai
otonomi seseorang. Kemudian facework solidaritas berhubungan dengan seseorang
menerima orang lain sebagai anggota dari kelompok dalam. Sedangkan facework
keperkenanan (pujian) merupakan cara yang melibatkan meminimalkan penjelekan dan
memaksimalkan pujian kepada orang lain (West dan Turner, 2010 : 163).
E. VARIABEL KULTURAL YANG MEMPENGARUHI MUKA
Ada dua variabel budaya yang mempengaruhi muka (Littlejohn dan Foss, 2014 : 251254) . Pertama adalah kolektivisme individualisme. Banyak kebudayaan yang menghormati
individu di atas komunitas atau kelompok. Kebudayaan-kebudayaan ini menjunjung tinggi
otonomi, tanggung jawab individu, dan pencapaian individu. Kebudayaan-kebudayaan ini
disebut individualis. Sebaliknya, kebudayaan-kebudayaan yang cenderung menghormati
komunitas atau kebersamaan di atas individu disebut kolektif. Yang penting bagi kebudayaan
ini adalah hubungan antar manusia dan menjunjung tinggi ketertarikan seseorang pada apa
pun yang dirasa aneh atau tidak tepat.
Kita akan mengharapkan agar anggota kebudayaan individualis melakukan lebih banyak
muka yang ditunjukan pada atau menghormati orang lain sebagai individu yang mandiri.
Mereka akan memandang diri mereka sebagai bagian penting yang terpisah dari orang lain
dan bekerja untuk membangun harga diri mereka sendiri seperti layaknya orang lain. Ketika
seseorang dalam kebudayaan individualis diserang atau diancam, akan dianggap tidak tepat
untuk membantu membangun rupa individu tersebut untuk memperbaiki kerusakan atau
menghormati orang lain untuk mengimbangi ancaman muka.

Sebaliknya, dalam kebudayaan kolektivis, muka biasanya tidak terorientasi pada diri
sendiri. Namun, seseorang mengakui keberhasilan kelompok atau komunitas, menempatkan
nilai-nilai kelompok diatas nilai perorangan. Anggota kebudayaan kolektivis cenderung
sedikit menghilangkan konsep diri dan saling menghormati. Mereka menerima kehilangan
rupa dan membangunnya kembali dengan mengakui keharusan untuk bekerja lebih keras
untuk kepentingan kelompok. Dalam kebudayaan kolektivis, anda akan menerima kritik,
membicarakan keefektifan orang lain, dan berjanji untuk melakukan sesuatu yang lebih baik,
sesuai dengan standar kelompok di masa yang akan datang. Dalam mengembalikan muka
seseorang di kebudayaan tersebut, anda akan memuji kelompok dimana seseorang tergabung
didalamnya atau mungkin orang tersebut merupakan seorang anggota kelompok yang baik.
Kebudayaan tidak pernah seutuhnya individualis atau kolektivis dalam orientasinya.
Sebagian besar manusia memiliki perasaan individualistis dan kolektivisme, tetapi dalam
sebuah kebudayaan, salah satu perasaan ini akan menonjol. Kebudayaan-kebudayaan di
Eropa utara dan Eropa barat seperti di Amerika utara, cenderung individualis, sedangkan
kolektivisme banyak terdapat di Asia, Afrika, Timur tengah, dan Amerika latin.
Variabel kultural kedua yang mempengaruhi muka adalah jarak kekuasaan (power
distance). Dalam banyak kebudayaan di dunia, ada hierarki atau makna status yang kuat,
dimana anggota-anggota tertentu sebuah kelompok menggunakan pengaruh dan kendali yang
kuat atas orang lain. Anggota-anggota kebudayaan ini menerima pembagian kekuasaan yang
tidak merata sebagai sesuatu yang normal. Namun, dalam kebudayaan yang berbeda, jarak
yang dirasakan antara kelompok dan individu hanya sedikit. Sekali lagi, jarak kekuasaan
adalah sebuah variabel dengan beberapa kebudayaan memiliki banyak jarak kekuasaan dan
beberapa yang lain hanya sedikit. Dalam kebudayaan di Malaysia, Negara-negara Amerika
Latin tertentu, Filipina, dan Negara-negara Arab, jarak kekuasaan ditegaskan. Dalam
kebudayaan di Selandia baru dan Skandinavia, jarak kekuasaan ditekan.

Anda mungkin juga menyukai