Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/318774284

Teori Pilihan Rasional

Chapter · January 2016

CITATIONS READS

0 32,476

1 author:

Subhan El Hafiz
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
14 PUBLICATIONS   12 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

the article part of 'national identity' project View project

Konformitas View project

All content following this page was uploaded by Subhan El Hafiz on 30 July 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Teori Pilihan Rasional

Oleh:

Subhan El Hafiz

Dalam Buku “Teori Psikologi Sosial Kontemporer”

Pemilihan Anggota DPR dan Presiden pada 2014 menjadi fenomena yang luar biasa
bagi masyarakat, tidak hanya karena tokoh-tokoh yang diusungnya namun juga
berkaitan dengan lembaga survei yang mempublikasikan hasil surveinya. Salah satu
hasil survei yang menjadi pemberitaan hangat adalah survei terakhir yang dilakukan
oleh kompas dan diumumkan ke masyarakat pada 9 Januari 2014 menunjukkan hasil
bahwa partai-partai dengan basis massa Islam akan mengalami kemerosotan jumlah
suara yang diperoleh diprediksi hanya berkisar 2% (kompas.com, 10/4/2014). Namun
kompas.com (10/4/2014) juga mempublikasikan hasil hitung cepat kompas terkait
perolehan suara partai dalam pemilu justru membalikkan hasil survei yang dilakukan
oleh lembaga tersebut tiga bulan sebelumnya. Hasil hitung cepat menunjukkan partai
politik berbasis massa Islam berhasil memperoleh suara yang signifikan dimana PKB,
PAN, PKS, dan PPP berhasil memperoleh suara diatas 6%, bahkan jika perolehan suara
keempat partai tersebut digabung maka jumlah suara yang diperoleh partai berbasis
massa Islam lebih tinggi dibandingkan pemenang pemilu legislatif, PDIP yang
memperoleh 19,4% suara nasional.

Fenomena diatas menunjukkan bahwa pilihan seseorang bukanlah hal yang mudah
untuk diprediksi karena pilihan tersebut berkaitan dengan banyak aspek psikis yang
menyertainya. Hasil survei yang dilakukan dan diberitakan oleh kompas tiga bulan
sebelum pemilu legisatif ternyata menunjukkan hasil yang sangat berbeda pada saat
digelarnya pemilu legislatif. Jika diasumsikan bahwa semua teknik dalam berbagai
survei dan metode pemilihan responden sudah tepat, lalu apa yang terjadi pada diri para
pemilih selama tiga bulan sehingga mengubah pilihan masyarakat pada hari pemilihan?

Tidak hanya dalam politik, pilihan seseorang menjadi “rahasia” yang berusaha diungkap
dalam dunia ekonomi. Salah satu pertanyaan dalam perilaku konsumen terkait dengan
pilihan adalah apakah yang menyebabkan seseorang memilih barang A dan bukan
barang B. Andaikan kedua barang tersebut adalah sama (A=B) namun dijual ditempat
yang berbeda, apakah hal ini juga mempengaruhi pilihan konsumen terhadap barang
tersebut?
Selain masalah politik dan permasalahan dalam kajian perilaku konsumen, logika atau
rasionalisasi atas pilihan seseorang juga berkembang dalam kajian moral. Dalam banyak
penelitian tentang moral, pilihan seseorang dalam situasi dilemma (dilema moral)
seringkali menjadi faktor penentu untuk menentukan tingkatan moral seseorang. Dilema
moral tersebut diantaranya adalah apakah seseorang akan memilih untuk membunuh
satu orang dalam rangka menyelamatkan nyawa lima orang?

Berdasarkan gambaran fenomena-fenomena diatas, semua upaya memahami pilihan


seseorang dalam berbagai bidang, ekonomi, politik, moral, maupun yang lainnnya
menjadi sangat penting karena berkaitan dengan berbagai hal, dari praktis hingga
konseptual. Secara praktis, memahami pilihan seseorang dapat meningkatkan efektifitas
promosi. Begitu juga dalam politik, memahami logika dibalik pilihan dari pemilik suara
akan dapat mengefektifkan para aktor politik dalam memaksimalkan potensi mendulang
suara. Secara konseptual, pemahaman akan pilihan seseorang juga dapat menjadi dasar
untuk mengembangkan pendekatan untuk pendidikan moral masyarakat.

Hal inilah yang dipelajari dari konsep teori pilihan rasional (Rational Choice Theory)
atau Teori Pilihan (Choice Theory). Mendasarkan pada rangkaian eksperimen dan
penelitian ilmiah lainnya, para ahli berusaha memahami bagaimana seseorang
menentukan pilihannya. Banyak hal yang sudah dicapai dari perkembangan teori
tersebut sehingga secara praktis, para politisi, pendidik, maupun divisi pemasaran
berhasil meningkatkan pemasukannya, terpilih dalam sebuah pemilihan, mengajarkan
nilai moral secara tepat.

Sejarah Teori Pilihan Rasional

Herfeld dalam laman Max Planck Institute, sebuah lembaga riset terkemuka di dunia di
Jerman, menjelaskan bahwa konsep pilihan rasional awalnya dikembangkan di masa-
masa awal perang dingin setelah berakhirnya perang dunia II. Konsep tentang pilihan
menarik minat peneliti dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya filsafat, matematika,
statistik, dan ilmu komputer. Umumnya para peneliti berusaha membuat logaritma
bagaimana proses memilih dalam diri seseorang.

Herfeld menjelaskan bahwa Teori Pilihan Rasional kemudian dianggap sebagai konsep
Psikologi yang mencoba memahami karakter individu dalam pilihan yang akhirnya
dapat meramalkan perilaku seseorang. Walaupun demikian, teori ini juga dikritik bahwa
perilaku manusia tidak sekedar sebagaimana diramalkan oleh komputasi rasional.
Terutama jika dihadapkan pada pilihan yang kompleks, maka peramalan terhadap
pilihan seseorang menjadi lebih rumit dari sekedar rumus komputasi tertentu.

Salah seorang tokoh yang dianggap sebagai pendiri konsep pilihan rasional adalah John
von Neumann, seorang ilmuwan matematika. Neumann (1959) membangun konsepnya
dengan Theory of Game of Strategy dengan pertanyaan yang akan dijawab adalah “Jika
sejumlah (n) pemain diberikan permainan strategy, berapa kali tiap pemain harus
memainkan permainan tersebut dalam rangka mencapai hasil yang paling
menguntungkan. Neumann berkeyakinan bahwa konsep permainan strategi tersebut
merupakan konsep yang juga tergambar dalam kehidupan sehari-hari dimana setiap
orang akan berhadapan dengan orang lain sebagai kompetitor dan berusaha
mendapatkan hasil maksimal dari persaingan tersebut.

Dalam artikel tersebut Neumann berhasil membuat persamaan matematika untuk


memprediksi jumlah permainan yang dibutuhkan seseorang untuk mendapatkan hasil
maksimal. Namun demikian, dalam kesimpulannya, Neumann juga menyampaikan
bahwa dibutuhkan kajian tambahan dengan menggunakan pemain yang lebih paham
dengan permainan stategi yang dimaksud. Neumann ingin menekankan bahwa situasi
pilihan mungkin lebih kompleks jika pemain merupakan ahli dari permainan tersebut.

Dalam ilmu ekonomi dan filsafat moral, Adam Smith dianggap orang yang
mengenalkan konsep pilihan rasional (Scott, 2000; McFadden, 2013). Adam Smith
mengenalkan konsep Theory of Moral Sentimen yang terbit pertama kali pada 1759
dirujuk puluhan ribu kali dalam berbagai artikel ilmiah. Adapun konsep moral Smith
menurut Camerer & Loewenstein (2005) mengacu pada dua hal, yaitu passion dan
impartial spectator.

Camerer & Loewenstein (2005) menjelaskan bahwa passion yang dimaksud oleh Smith
adalah emosi dan dorongan, seperti seks, rasa lapar, marah, takut, atau rasa sakit.
Sedangkan impartial spectator adalah kemampuan individu untuk melihat diri dan
perilakunya dari perspektif orang luar. Bagi Smith, perilaku seseorang didorong oleh
passion dalam dirinya namun dapat dikalahkan jika ia mampu melihat perilakunya dari
perspektif orang luar (lihat Smith, 2010).

Dalam konteks ekonomi, Smith mengatakan bahwa interaksi pasar/ pertukaran dalam
pasar merupakan gabungan konsep kewajaran (fairness) dan perilaku menolong
(altruism) (Camerer & Loewenstein, 2005). Adapun konsep kewajaran muncul akibat
seseorang khawatir akan penilaian negatif dari impartial spectator, misalnya
kekhawatiran terhadap perpsepsi pembeli bahwa harga yang diberikan terlalu mahal.
Sedangkan dalam konteks altruism merupakan passion dari interaksi di pasar dimana
penjual berniat membantu pembeli dengan menyediakan barang yang dibutuhkan.

Sedangkan Scott (2000) menjelaskan bahwa teori pilihan rasional dibangun oleh George
Homans pada tahun 1961 yang membangun kerangka berpikir dari exchange teory yang
merupakan asumsi dasar dalam kajian behaviorisme dalam Psikologi. Hal ini
dikarenakan pilihan seseorang sangat bergantung pada konsep pertukaran (exchange)
dimana seseorang melakukan pilihan tertentu dikaitkan dengan apa yang akan
didapatkannya dari lingkungan. Namun pada akhirnya, konsep pilihan rasional menjadi
sangat matematis hingga akhirnya konsep ini berupaya diambil alih pada kajian
ekonomi mikro.

Bagi Homans (1958) setiap perilaku sosial pada dasarnya adalah pertukaran sesuatu
yang bermanfaat bagi individu. Pertukaran tersebut menggambarkan empat hal, yaitu:
perilaku psikologis, ekonomi, dinamika pengaruh, dan struktur kelompok kecil.
Berdasarkan pada konsep tersebut maka Homans mengatakan bahwa pilihan rasional
tergantung model pertukaran antar individu.

Pada tahun 1984, kajian tentang pilihan menjadi salah satu isu penting dimana
Kahneman & Tversky (1984) menuliskan artikel tentang bagaimana seseorang
menentukan pilihan dalam konteks pilihan beresiko tinggi dan dan pilihan beresiko
rendah. Kajian mereka berdua menyimpulkan bahwa dalam memilih terdapat dua hal
yang terpisah namun amat jarang dipisahkan dan seringkali dianggap sebagai satu
kesatuan. Kedua hal tersebut adalah experience value dan decision value, experience
value adalah rasa senang atau sedih terkait dengan pengalaman nyata sebagai hasil dari
sebuah pilihan sedangkan decision value berhubungan hasil yang diprediksi akan
didapatkan dari sebuah pilihan.

Saat ini, teori pilihan rasional terus berkembang dan dikuatkan dengan berbagai
eksperimen dan penelitian lain. Adapun konteks aplikasi dari teori pilihan rasional
dalam psikologi saat ini banyak digunakan dalam kajian perilaku konsumen, perilaku
politik, dan perilaku moral. Adapun penggunaan istilah rasional mengacu pada proses
kognisi seseorang terhadap sebuah pilihan sehingga kajian ini juga banyak digunakan
dalam kajian matematika terutama statistik dan komputational (komputer) terutama
dalam rangka membangun sistem kecerdasan buatan (artificial intelligent).

Namun demikian, disisi lain, teori pilihan rasional mendapat kritik yang cukup besar
sebagaimana yang dijelaskan oleh Herrnstein (1990) bahwa kritik terhadap teori ini
diantaranya adalah dari prinsip-prinsip psikologi kognitif dimana proses berpikir dan
mengambil keputusan tidak memenuhi standar dalam terminologi rasional. Hal ini
mengacu pada kata “rasional” yang seringkali digunakan oleh ilmuwan matematika
sebagai perilaku yang dapat dijelaskan dalam persamaan matematika.

Terlepas dari perkembangan teori pilihan rasional dan kritik yang menyertainya, maka
konsep teori ini beserta variasi teorinya, seperti: teori pilihan dll., tetap menarik untuk
dibahas terutama dalam memprediksikan perilaku dalam konteks sosial, terutama dalam
konteks masyarakat. Hal ini juga yang mendorong banyak ilmuan psikologi politik tetap
melakukan kajian menggunakan teori pilihan rasional ini. Selain itu, kajian dari
psikologi konsumen juga masih sangat membutuhkan teori ini untuk memprediksi
bagaimana respon pasar terhadap produk yang diluncurkannya.
Konsep Teori Pilihan Rasional

Boudon (2009) mengatakan bahwa teori pilihan rasional menekankan pentingnya kata
“rasional” dimana kata ini bermakna bahwa perilaku merupakan proses koginisi yang
harus dapat dijelaskan. Selain itu teori ini juga dijelaskan menggunakan istilah “utility
maximizing approach” berupa konsep bahwa seseorang akan melakukan pilihan yang
sangat menguntungkan bagi dirinya. Konsep utility maximizing approach mungkin bisa
dilihat kesamaannya dengan teori pilihan rasional dari eksperimen Neumann (1959)
yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan “seberapa banyak pemain harus bermain
untuk mendapat keuntungan maksimal?”.

Konsep Teori Pilihan Rasional secara teoritik bisa sangat kuat namun ketika
menjelaskan fenomena sosial menjadi sangat lemah (Boudon, 2009). Pada saat
memprediksi kemungkinan munculnya perilaku seseorang bisa jadi teori ini sangat
bermakna sehingga survey-survey menjelang pemilihan umum menjadi sumber yang
dianggap paling dipercaya untuk menjelaskan kemungkinan siapa yang akan dipilih
oleh responden. Namun jika terjadi fenomena, sebagaimana ketidak-sesuaian hasil
survey dalam contoh diawal maka teori ini sangat lemah dalam menjelaskan fenomena
tersebut.

Namun demikian, hal ini tidak menghambat penggunaan teori ini dalam berbagai
aplikasinya terutama dalam psikologi politik, psikologi konsumen, dan psikologi moral.
Secara konseptual, teori ini masih merupakan teori yang baik dalam memprediksi
perilaku seseorang dalam situasi tertentu. Kajian politik, terutama tentang perilaku
pemilih masih sangat membutuhkan teori pilihan rasional dalam memprediksi perilaku
pemilih, begitu juga psikologi konsumen yang membutuhkan prediksi bagaimana
konsumen memilih produk tertentu, begitu juga psikologi moral yang membutuhkan
teori ini untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan perilaku berdasarkan
nilai moral tertentu.

Boudon (2009) mengatakan bahwa teori pilihan rasional memiliki enam postulat, yaitu:
(1) setiap fenomena sosial adalah akibat dari pilihan seseorang, perilaku, sikap, dsb., (2)
perilaku dapat dipahami. Postulat pertama menunjukkan bahwa fenomena sosial
merupakan gambaran dari berbagai aspek personal, diantaranya pilihan, sedangkan
postulat kedua menjelaskan bahwa fenomena tersebut adalah rangkaian dari kejadian-
kejadian yang dapat dipahami. Adapun postulat ketiga merupakan postulat yang
mendasari kata rasional, yaitu (3) perilaku muncul sebagai akibat dari alasan-alasan
yang ada dipikiran.

Postulat keempat mendasarkan pada penyataan (4) bahwa alasan-alasan terhadap pilihan
sebuah perilaku didasari pada penilaian terhadap konsekuensi dari pilihan tersebut.
Sedangkan postulat kelima berkaitan erat dengan postulat sebelumnya, yaitu (5)
penilaian terhadap konsekuensi didasarkan pada akibat yang akan dirasakannya oleh
individu yang mengambil keputusan (egoisme). Sedangkan postulat terakhir
menyatakan bahwa (6) individu akan mengambil pilihan yang dirasakan paling
menguntungkan bagi dirinya.

Adapun kajian tentang pilihan rasional memiliki dua prinsip utama, yaitu dominasi dan
invariasi. Hal itu dijelaskan oleh Kahneman & Tversky (1984: 343) sebagai berikut:

However, all analyses of rational choice incorporate two principles: dominance


and invariance. Dominance demands that if prospect A is at least as good as
prospect B in every respect and better than B in at least one respect, then A
should be preferred to B. Invariance requires that the preference order between
prospects should not depend on the manner in which they are described

Konsep dominasi menunjukkan bahwa sesuatu (A) dipilih dari yang lain (B) karena
sesuatu tersebut (A) memiliki keunggulan dari yang lain (B). Namun demikian,
keunggulan tersebut tidak harus pada segala aspek namun setidaknya sesuatu yang
dipilih (A) memiliki salah satu aspek yang lebih unggul daripada yang lain (B). Prinsip
ini menunjukkan bahwa pilihan tersebut akan sangat tergantung dari keuntungan yang
akan diperoleh.

Sedangkan konsep invariasi menunjukkan bahwa preferensi/ minat dari pemilih


terhadap pilihan yang tersedia tidak tergantung pada cara pilihan tersebut digambarkan.
Dengan demikian, konsep pilihan rasional mengatakan bahwa pilihan akan rasional
apabila tidak dipengaruhi oleh cara menggambarkan pilihan yang tersedia baik A
maupun B seharusnya digambarkan secara setara. Dengan demikian, seseorang akan
memiliki pilihan yang rasional jika A dan B dijelaskan secara netral.

Kahneman & Tversky (1984) dalam artikelnya yang mendapat penghargaan dari
American Psychologist pada tahun 1983 mengatakan bahwa kajian dan analisa terhadap
perilaku memilih perlu memperhatikan dua sifat dari pilihan tersebut, yaitu pilihan yang
beresiko dan pilihan dengan resiko minimal. Adapun contoh dari pilihan beresiko
adalah apakah seseorang akan membawa payung atau tidak, termasuk apakah seseorang
memutuskan untuk ikut serta dalam perang atau tidak. Sedangkan contoh dari pilihan
yang minim resiko adalah pilihan dari transaksi jual beli antara pembeli dan penjual.

Pada pilihan yang beresiko, dalam sebuah eksperimen yang dilakukan kepada 152
responden dimana responden diminta untuk memilih antara dua pilihan dalam sebuah
cerita. Salah satu masalah yang diangkat dalam eksperimen adalah masalah penyakit
yang menyerang masyarakat. Cerita dari kasus tersebut kemudian diakhiri dengan
pertanyaan apakah anda akan memilih (a) menjalankan program A dengan 200 orang
akan selamat dengan kemungkinan 72%, atau (b) menjalankan program B dengan
sepertiga dari 600 orang selamat dengan kemungkinan gagal 28%.
Hasil eksperimen di atas ternyata menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memilih program A, yaitu menyelamatkan 200 orang dengan kepastian yang terlihat
lebih tinggi. Padahal jika diperhatikan dengan seksama kedua pilihan tersebut adalah
sama dimana program A menunjukkan tingkat keberhasilan 72% yang berarti tingkat
kegagalan 28% yang memiliki resiko setingkat dengan pilihan B. Dalam penelitian
diatas, Kahneman & Tversky (1984) berkeyakinan bahwa perhitungan akan hasil
(framing outcome) merupakan salah satu preferensi seseorang saat memilih.

Kelanjutan eksperimen dimana responden juga diminta untuk memilih dengan resiko
jumlah yang tidak berhasil diselamatkan. Hasilnya sebagian besar akan memilih dua
pertiga dari 600 orang akan meninggal dengan kemungkinan 78% daripada 400 orang
akan meninggal dengan kemungkinan 22%. Sekali lagi jika diamati, kedua kasus
tersebut memiliki resiko yang sama namun demikian sebagian besar orang lebih
memilih pilihan dengan peluang yang terlihat lebih besar, yaitu 78% pada kasus kedua
dan 72% pada kasus pertama.

Sedangkan pada pilihan dengan resiko minimal, Kahneman & Tversky (1984)
mengatakan bahwa pilihan seseorang akan memperhitungkan (framing) pada minimal,
topical, dan comprehensive. Ketiga hal ini akan mempengaruhi bagaimana seseorang
memilih pilihan dengan resiko minimal dari pilihan yang tersedia. Framing minimal
terkait dengan perbandingan usaha dan keuntungan, framing topical berkaitan dengan
tema dari sebuah pilihan, sedangkan pada framing comprehensive terkait dengan
peluang untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh.

Pada framing minimal, seseorang akan menilai bahwa usaha tambahan yang dilakukan
sepadan dengan jika ada keuntungan tambahan yang diperoleh walaupun sedikit.
Artinya seseorang mau melakukan usaha lebih walaupun hanya mendapat keuntungan
yang lebih sedikit dari pilihan sebelumnya. Dengan demikian, berdasarkan konsep ini
maka dapat diprediksi bahwa seseorang akan memilih untuk melakukan sesuatu lebih
sulit jika hal tersebut diasosiasikan dengan keuntungan walaupun keuntungan yang
diperoleh tidak cukup signifikan jika dibandingkan pilihan pertama dikurangi usaha.
Contoh dari framing minimal adalah seseorang akan memilih untuk menunggu lebih
lama dalam mendapatkan jatah makanannya jika disampaikan kepadanya bahwa jatah
makan berikutnya lebih banyak. Pilihan tersebut tetap akan menjadi pilihannya
walaupun orang ini sadar bahwa “lebih banyak” berarti hanya sedikit lebih banyak dan
tidak berbeda signifikan dengan pilihan sebelumnya.

Sedangkan untuk framing topical menunjukkan bahwa pilihan seseorang terjadi karena
penilaian akan keuntungan dan kerugian yang diperoleh bersifat relatif. Dalam framing
topical, seseorang akan lebih mudah membeli AC jika dilakukan bersamaan dengan
membeli mobil daripada membeli AC secara terpisah. Hal ini dikarenakan pembelian
AC pada kondisi pertama tidak dalam tema AC itu sendiri sedangkan pada pembelian
AC kondisi kedua dilakukan karena tema AC tersebut. Pilihan pertama dianggap lebih
menguntungkan karena seolah-olah AC hanya tambahan.

Pada framing comprehensive, terjadi pada seseorang jika orang tersebut dapat menilai
semua situasi secara bersamaan. Hal ini berarti jika seseorang diberikan kedua kasus
pembelian AC dalam contoh diatas secara bersamaan, maka peluang orang tersebut
membeli AC saja menjadi lebih tinggi. Hal ini terjadi karena penilaian seseorang
sebelum menentukan pilihan menjadi lebih menyeluruh dalam memperhitungkan
keuntungan dan kerugian yang didapat.

Berdasarkan rangkaian penelitiannya, Kahneman & Tversky (1984) menyimpulkan


bahwa pilihan seseorang sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu experience
value dan decision value. Experience value terkait dengan kenikmatan atau kepedihan,
kepuasan atau kekecewaan yang dirasakan secara nyata terkait dengan hasil dari sebuah
pilihan. Sedangkan decision value berkaitan dengan harapan secara umum mengenai
daya tarik atau daya tolak dari pilihan yang tersedia.

Dengan demikian, Kahneman & Tversky ingin mengatakan bahwa pada saat seseorang
memilih sesuatu maka orang tersebut akan menilai pengalamannya terkait dengan
pilihan tertentu dan harapannya terkait dengan pilihan yang akan dipilih. Dengan
demikian, seseorang yang akan memilih jenis makanan tertentu akan melihat
pengalamannya dengan jenis makanan yang sama yang pernah dicicipi. Selain
memperhitungkan pengalamannya dengan jenis makanan tersebut, seseorang pada saat
memilih juga akan memperhitungkan apa yang akan ia dapatkan jika memilih makanan
yang sama pada saat ini.

Kita mungkin memiliki pengalaman menikmati secangkir kopi yang sangat nikmat
disebuah warung. Hal ini akan mempengaruhi pilihan kita berikutnya ketika akan
minum kopi. Namun pada saat akan membeli kopi untuk kedua kalinya maka orang
tersebut akan memperhitungkan apakah dia akan mendapatkan rasa yang sama saat ini,
atau berkurang, atau justru lebih baik dari pengalaman sebelumnya. Interaksi antara
keduanya itulah yang menentukan pilihan rasional seseorang.

Implikasi Teori

Psikologi Konsumen

Perilaku konsumen secara umum banyak menggunakan konsep teori pilihan rasional
terutama jika dikaitkan dengan perilaku konsumen dalam menentukan barang atau jasa
yang akan dibeli. Pilihan terhadap variasi barang dan jasa secara umum menggunakan
konsep pilihan rasional dan berdasarkan konsep tersebut juga saat ini banyak tenaga
pemasaran dan iklan-iklan pemasaran yang menggunakan konsep pilihan rasional untuk
menarik minat pembeli.

Johsson, Pham, & Johar (2007) menjelaskan bahwa setiap orang akan berusaha
memaksimalkan keuntungan dari pilihannya namun demikian banyaknya pilihan akan
menyulitkan orang tersebut dalam memilih. Oleh karena itu, ada beberapa konsep untuk
mengatasi masalah dalam proses maksimalisasi karena keterbatasan tiap orang untuk
mengevaluasi setiap produk yang mungkin dibeli. Beberapa konsep tersebut adalah
heuristic, mental accounting, reference dependence and loss aversion, context effect dan
task effect.

Heuristik adalah konsep dimana seseorang akan berusaha menentukan pilihan terbaik
dengan usaha yang minimal. Contohnya, pada seseorang yang terkena atau terancam
penyakit diabetes maka kata kunci yang akan dicari adalah “tanpa gula”. Dengan
demikian, orang tersebut akan dengan lebih mudah menentukan pilihan berbagai produk
makanan dengan mengeliminasi semua produk yang dianggap mengandung gula.

Sedangkan konsep mental accounting berkaitan dengan usaha untuk mendapatkan hasil
yang maksimal dari kombinasi pilihan yang tersedia. Namun demikian, kombinasi
pilihan tersebut dapat menyebabkan seseorang mengkonsumsi secara berlebihan atau
justru kekurangan pada salah satu produk yang dikombinasikan. Contohnya, seseorang
akan lebih memilih membeli sepatu dan kaus kaki dengan harga lebih murah dari pada
membeli sepatu dan kaus kaki secara terpisah, namun demikian orang tersebut belum
tentu membutuhkan kaus kaki.

Pada konsep loss aversion, produk yang dipilih oleh seseorang adalah produk yang
memiliki resiko yang paling kecil dan tidak dapat ditukar dengan nilai tambah yang
sebanding dengan resiko tersebut atau lebih dari pilihan lain. Contohnya, seseorang
akan memilih untuk membeli saham dengan potensi keuntungan 5% dan resiko
kerugian 0% daripada memilih untuk membeli saham dengan potensi keuntungan 10%
dan resiko kerugian 2%. Kerugian ini memiliki dampak yang lebih besar bagi pilihan
seseorang terhadap suatu produk.

Konsep context effects menunjukkan bahwa seseorang akan memilih sebuah produk
didasarkan pada konteks yang dimunculkan dari masing-masing pilihan. Dua buah
produk, misalnya A & B, yang relatif sama dijual di tempat yang berbeda namun cukup
setara akan tetapi salah satu produk (A) di jual bersama dengan produk lain dengan
harga yang lebih murah. Berdasarkan konteks yang dimunculkan untuk produk A,
produk tersebut akan dinilai sebagai sebagai produk dengan harga yang lebih mahal dari
pada produk B.

Adapun konsep task effects menunjukkan bahwa pilihan konsumen tergantung pada
kondisi individu tersebut saat harus memilih. Pada saat seseorang terburu-buru, maka
orang tersebut kemungkinan besar akan memilih barang apapun yang ditawarkan oleh
penjual selama barang tersebut sesuai dengan kebutuhan dari konsumen. Konsep ini
seringkali digunakan oleh tenaga pemasaran dengan memberikan waktu yang terbatas
terhadap penawaran tertentu atau memberikan penawaran disela-sela waktu konsumen
menyelesaikan pekerjaannya sehingga pilihan yang dipilih sesuai dengan penawaran
yang diberikan.

Namun demikian, Johsson, Pham, & Johar (2007) juga menjelaskan bahwa kajian
psikologi konsumen saat ini juga banyak memperhatikan bagaimana pengaruh afeksi
terhadap penilaian dan pilihan dari konsumen terhadap suatu produk tertentu. Pengaruh
afeksi ini tentunya dapat mengabaikan peran kognisi yang banyak dijelaskan dalam
teori pilihan rasional bahkan kajian tentang peran emosi dalam perilaku konsumen
meningkat pesat yang dimulai pada periode pergantian millennium yaitu tahun 1995
hingga 2004. Hal ini menunjukkan bahwa konsep rasionalitas pada perilaku konsumen
tidak selalu dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku pemilih kecuali juga
memperhatikan peran emosi.

Kaitan Psikologi Konsumen dengan Teori Pilihan Rasional

Teori pilihan rasional jauh lebih bermakna dalam kajian psikologi konsumen karena
tujuannya memang untuk memprediksi perilaku membeli dari seseorang terhadap
sebuah produk. Rumusan umum dari teori pilihan rasional dimana seseorang akan
memilih sebuah produk didasari pengalamannya terhadap produk tersebut atau sejenis
(experience value) dan dan kondisi saat ini (decision value) telah berkembang dengan
sangat luas. Pengalaman yang positif dari sebuah produk berpotensi untuk
meningkatkan seseorang melakukan pembelian kembali sehingga banyak produsen
memberi perhatian pada layanan setelah pembelian sebuah produk demi memastikan
setiap konsumen untuk melakukan pembelian berikutnya.

Adapun konsep-konsep seperti heuristic, mental accounting, loss aversion, dll. lebih
fokus pada konsumen yang tidak memiliki pengalaman yang signifikan terhadap sebuah
produk. Konsep-konsep tersebut menekankan pada membangun decision value yang
memberi peluang lebih besar bagi seseorang untuk membeli sebuah produk tertentu.
Dengan demikian, individu yang tidak memiliki cukup referensi pengalaman terkait
dengan sebuah pilihan tertentu akan mengandalkan pada kondisi produk tersebut
dipresentasikan dalam berbagai modelnya.

Sedangkan postulat dari teori pilihan rasional, yaitu (1) sebuah produk akan dipilih
apabila produk tersebut memiliki keunggulan dari produk lain, dan (2) produk tersebut
dipresentasikan secara setara kepada pemilih (Kahneman & Tversky, 1984) juga
menentukan strategi dalam psikologi konsumen. Konsep pertama dapat dilakukan oleh
bagian pemasaran untuk menjelaskan keunggulan produknya dibanding produk lain
yang sejenis sehingga divisi marketing juga perlu memperhatikan kelemahan dari
produk lain yang sejenis untuk dijelaskan kelebihan dari produknya. Sedangkan untuk
konsep kedua, dilakukan dengan cara melakukan pengenalan produk pada calon
pembeli, bisa melalui orang yang dikenal seperti tema, atau dikenalkan di sebuah tempat
yang mewah sehingga presentasi tersebut dapat menarik perhatian dari calon pembeli.

Psikologi Moral

Kajian dalam psikologi moral umumnya berkaitan dengan kajian bagaimana seseorang
menghadapi dilema moral. Dalam konsep dilema moral, seseorang akan dihadapkan
pada pilihan untuk menjalankan nilai moral tertentu namun disaat yang sama pilihan
tersebut menyebabkan pelanggaran terhadap nilai moralnya. Salah satu contoh dari
dilema moral yang banyak digunakan dalam kajian psikologi moral adalah: apakah
seseorang mau mencelakai satu orang hingga meninggal dunia untuk menyelamatkan
lima orang.

Bagi Jonathan Haidt, memahami moralitas seseorang semudah memahami perilaku


seekor anjing (jika perilaku anjing tersebut dianalogikan sebagai perilaku moral) yang
dapat dilihat dari gerakan ekor anjing. Bagi Haidht, emosi seekor anjing dengan mudah
diperkirakan dari gerakan ekornya yang menggambarkan emosi anjing saat senang
maupun kondisi emosional lainnya. Dengan demikian, penilaian moral seseorang sangat
bergantung bagaimana kondisi emosinya terkait dengan situasi yang dihadapi (Haidt,
2001).

Bagi Haidth, moralitas sesungguhnya tidak memiliki dasar yang kuat dalam konteks
rasionalitas karena pilihan moral seseorang lebih dikendalikan oleh emosinya daripada
rasionalitas yang terjadi. Dengan demikian Haidt ingin mengatakan bahwa konsep
psikologi moral bukanlah konsep yang seharusnya dibangun dengan teori pilihan
rasional karena pilihan moral seseorang lebih banyak berdasarkan emosinya daripada
rasionalitas. Salah satu penelitiannya bersama Joshua Greene menunjukkan bahwa
semua bagian otak berperan dalam penilain moral namun tidak ada area khusus dalam
otak yang bertugas untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga disimpulkan bahwa
emosi lebih penting walaupun penalaran punya peran dalam penilaian moral seseorang
(Greene & Haidt, 2002).

Berbeda dengan Haidt, George Lind, mengatakan bahwa penilaian moral tidak
didasarkan hanya pada emosi individu semata. Bagi Lind, moralitas didasarkan pada
dua sistem psikis yang bekerja bersama-sama secara pararel, yaitu kognisi dan emosi.
Dengan demikian, pada saat seseorang memilih keputusan moral tertentu, hal itu
didasarkan pada penilaiannya berdasarkan kognisi dan pada saat yang sama keputusan
tersebut juga dipengaruhi oleh emosinya terkait dengan pilihan tersebut (Lind, 2006).
Bagi Lind, kemampuan melakukan penilaian moral disebut dengan kompetensi moral,
dan Lind membuat instrumen pengukuran kompetensi moral tersebut. Instrumen
pengukuran moral tersebut diberi nama Moral Competence Test (MCT) yang diyakini
oleh Lind sebagai instrument pengukuran kompetensi moral yang tidak bisa
dimanipulasi oleh individu yang dikenakan instrumen tersebut (testee). Dalam
instrumen tersebut, Lind memberi dua dilema yaitu dilema pekerja dan dilema dokter
dimana testee diminta menilai seberapa baik atau seberapa buruk sebuah perilaku dari
dilema tersebut (Lind, 2008).

Lind mendasari instrument pengukuran kompetensi moralnya pada teori Kohlberg yang
menjelaskan enam tingkatan moral. Menurut Lind, semakin tinggi kompetensi moral
seseorang maka testee akan menilai dilema berdasarkan nilai moral yang bersifat
universal. Sebaliknya, semakin rendah kompetensi moral testee maka dilema moral
akan dinilai menggunakan standar moral relatif, hanya berorientasi benar-salah dari
perspektifnya sendiri, sebagaimana kemampuan moral anak-anak (Lind, 2008).

Jika kedua konsep psikologi moral diatas berorientasi pada penilaian situasi dilema
moral, lain lagi konsep yang ditawarkan oleh Debrowski dimana moralitas ditentukan
oleh pilihan individu untuk berorientasi pada diri sendiri (self oriented) atau berorientasi
pada orang lain (sosial oriented). Perkembangan moral yang rendah ditandai dengan
perilaku yang lebih berorientasi pada diri sendiri, misalnya melawan penjahat untuk
menyelamatkan diri sendiri (self oriented). Sebaliknya perilaku atau tindakan melawan
penjahat untuk menyelamatkan orang lain (social oriented) maka moralitas individu
tersebut lebih tinggi dari pada yang pertama (dalam Bouchet, 2004).

Kaitan Psikologi Moral dan Teori Pilihan Rasional

Jika melihat konsep psikologi moral yang dikemukakan oleh Haidt, kemudian
dibandingkan dengan teori pilihan rasional, maka Haidth menolak konsep bahwa pilihan
moral seseorang adalah pilihan yang rasional sehingga tidak terkait dengan rasionalitas.
Bagi Haidt, intuisi mendahului penalaran/ rasionalitas seseorang dalam menentukan
pilihan moralnya. Kalaupun ada penilaian moral yang dimulai dengan penalaran,
seperti: penilaian akibat atau refleksi, kedua hal ini sangat jarang menjadi dasar pilihan
moral seseorang (Haidt, 2012).

Mengacu pada penjelasan Kahneman & Tversky (1984) tentang teori pilihan rasional,
maka dapat dilihat bahwa tidak semua penelitian dan kajian tentang psikologi moral
relevan dengan konsep pilihan rasional. Konsep yang diajukan Haidt, justru menolak
bahwa moralitas berkaitan dengan pilihan-pilihan rasional karena bagi Haidt pilihan
moralitas sangat berorientasi pada kondisi emosi seseorang. Namun hal itu tidak
sepenuhnya disetujui oleh Lind dan Debrowski.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia terkait dengan moralitas
diantaranya penelitian tentang emosi sebagai sistem peringatan dini moral. Dalam
penelitian tersebut, emosi memang memiliki peran dalam perilaku moral seseorang.
Semakin kuat emosi negatif seseorang terkait dengan pelanggaran moral yang akan
dilakukan maka akan semakin besar kemungkinan orang tersebut mencegah perilaku
yang melanggar moral itu terjadi. Namun demikian, emosi sebagai sistem peringatan
dini dapat menurun fungsinya apabila individu memiliki pengalaman sebelumnya yang
tidak mendapatkan hukuman sosial akibat pelanggaran nilai moral (El Hafiz, 2015).

Hal ini sesuai dengan konsep pilihan rasional yang dijelaskan oleh Kahneman &
Tversky (1984) dimana pada saat seseorang memilih ditentukan oleh experience value
dan decision value. Adapun emosi yang kuat atau lemah dalam mengendalikan perilaku
moral seseorang tergantung pada pengalaman sebelumnya saat seseorang melanggar
atau mentaati nilai moral seseorang merupakan experience value. Sedangkan kondisi
yang akan dipilih untuk ditaati atau dilanggar berserta segala konsekuensinya adalah
decision value dari orang tersebut.

Seseorang yang pernah melanggar nilai moralnya dan tidak dihukum, maka hal ini akan
menjadi pengalaman nyata bagi individu dalam pengambilan keputusan pelanggaran
moral berikutnya (experience value). Jika individu menghadapi situasi berupa
kesempatan untuk kembali melanggar nilai moralnya (decision value) maka hal ini akan
mendorong individu memutuskan untuk kembali melakukan perilaku yang tidak sesuai
dengan nilai moralnya. Sebaliknya, jika pada kesempatan pertama individu melanggar
nilai moralnya maka hal ini akan menjadi pengalaman untuk memutuskan perilaku pada
situasi yang relatif sama diwaktu yang berbeda.

Adapun terkait dengan decision value merupakan situasi yang dihadapi oleh individu
dimana seseorang akan memilih untuk melanggar nilai moral dirinya atau sebaliknya
mentaati nilai moral dirinya. Decision value berkaitan dengan penilaian terhadap
konsekuensi dan situasi yang akan dialami oleh seseorang pada saat akan melakukan
tindakan. Jika seseorang menilai perilaku melanggar atau mentaati moral memiliki
konsekuensi yang dirasakan positif yang juga dikaitkan dengan pengalamannya
terhadap pilihan tersebut maka perilaku akan dilakukan atau sebaliknya jika individu
menilai konsekuensinya akan negatif maka pilihannya adalah menahan perilaku
tersebut.

Adapun situasi dilema yang sering digunakan dalam kajian psikologi moral memiliki
konsep yang hampir serupa dengan risk aversion sebagaimana yang dijelaskan oleh
Kahneman & Tversky (1984) dalam konsep pilihan rasional. Dalam psikologi moral,
pelanggaran moral akan dinilai memiliki akibat yang lebih berat daripada ketaatan pada
moral. Hal ini ditunjukkan dengan penilaian seseorang terhadap pelanggaran moral
sebagai sebuah kejahatan walalupun dilakukan dengan cara yang baik.
Dalam sebuah eksperimen tentang penilaian moral, responden penelitian diminta untuk
menilai apakah sebuah perilaku baik atau jahat dengan memberikan kualitas baik atau
jahat dari sebuah perilaku. Adapun perilaku yang diberikan, merupakan kombinasi dari
perilaku baik yang dilakukan dengan alasan jahat dan perilaku jahat dengan alasan baik.
Hasilnya, sebagian besar responden (lebih dari 90%) akan menilai kedua kombinasi
perilaku tersebut sebagai perilaku jahat. Adapun penilaian terhadap perilaku baik hanya
diberikan pada perilaku baik yang dilakukan dengan alasan yang baik (lihat El Hafiz,
2013).

Eksperimen diatas menunjukkan bagaimana kejahatan memiliki bobot yang lebih besar
dalam penilaian moral seseorang. Dengan demikian, hal ini hampir serupa dengan
konsep risk aversion dimana kerugian dinilai lebih berat daripada keuntungan walaupun
dalam jumlah yang sama atau lebih besar. Kejahatan dinilai sebagai sebuah kerugian
dan kebaikan merupakan keuntungan, dengan demikian perilaku yang merupakan
kombinasi baik dan jahat akan dinilai sebagai perilaku jahat.

Psikologi Politik

Kajian teori pilihan rasional dalam psikologi politik umumnya banyak digunakan untuk
melakukan analisa terhadap pilihan politik seseorang, biasanya partai atau calon kepala
daerah. Walaupun demikian, konsep ini juga dapat menjelaskan bagaimana proses
politik lainnnya, seperti pengambilan keputusan dalam rapat maupun penentuan
kebijakan politik tertentu. Namun demikian, tetap kajian yang dianggap paling seksi
adalah perilaku pemilih dalam sistem politik seperti pemilihan umum.

Namun demikian, penelitian terhadap alasan seseorang menentukan pilihan dalam


pemilihan umum tidak satu konsep. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa emosi
tertentu memiliki peran penting dalam memobilisasi pemilih untuk memilih diantaranya
penelitian yang dilakukan oleh Valentino, Brader, Groenendyk, Gregorowicz, &
Hutchings (2011). Namun sebaliknya, Riker, (1995) mengatakan bahwa teori pilihan
rasional merupakan satu-satunya teori yang dapat menjelaskan perilaku politik dalam
sebuah pemilihan.

Valentino dkk. (2011) berdasarkan penelitiannya mengatakan bahwa emosi yang secara
khusus dapat memobilisasi banyak orang untuk memilih adalah emosi marah daripada
kecemasan maupun antusiasme. Dengan demikian, para calon yang dapat membangun
emosi rasa marah masyarakat yang kemudian emosi tersebut ditunjukkan dalam bentuk
perilaku memilih akan lebih dapat mendulang dukungan daripada calon yang sangat
kuat menjabarkan visi dan misinya sehingga memunculkan perasaan bersemangat dan
antusias. Kasus pada beberapa pemilihan presiden di Indonesia secara umum sesuai
dengan penelitian ini dimana perilaku pemilih yang mendukungnya karena adanya
pemberitaan yang menunjukkan bahwa calon tersebut terzalimi sehingga para pemilih
marah dan berbondong untuk membela dengan cara memberikan suara pada calon yang
terzalimi.

Namun tidak demikian penelitian yang dilakukan oleh Quattrone, & Tversky (1988)
yang menunjukkan bagaimana konsep pilihan rasional masih dapat digunakan untuk
menjelaskan perilaku pemilih. Penelitian Quattrone, & Tversky menjelaskan bahwa
salah satu model dalam pilihan rasional, yaitu risk aversion, terbukti mampu
menjelaskan alasan kenapa pasangan petahana (incumbent) dapat lebih unggul
dibandingkan penantangnya. Dalam artikelnya Quattrone, & Tversky menjelaskan
bahwa hal itu dikarenakan adanya potensi kerugian yang dapat dirasakan oleh pemilih
jika calon tersebut tidak terpilih lagi.

Kaitan Psikologi Politik dan Teori Pilihan Rasional

Penelitian Westen, Blagov, Harenski, Kilts, & Hamann (2006) terhadap peran otak
dapat dijadikan acuan bagaimana penggunaan teori pilihan rasional pada psikologi
politik. Menurut Westen dkk. Penggunaan konsep yang berkaitan dengan rasionalitas,
seperti teori pilihan rasional, dapat dilakukan apabila pemilih tidak memiliki
kecenderungan emosional yang cukup kuat terhadap salah satu pilihan yang tersedia.
Kebutuhan akan kebebasan akan pengaruh emosi pada pemilih ini yang menurut Simon
menyebabkan prinsip rasionalitas sulit digunakan untuk memprediksi fenomena dalam
perilaku politik pemilih (lihat Simon, 1985).

Sebagaimana prinsip dari teori pilihan rasional yang disampaikan oleh Kahneman &
Tversky (1984) dimana pilihan rasional akan terjadi apabila (1) sebuah pilihan memiliki
keunggulan dari pilihan lain, dan (2) semua pilihan dipresentasikan secara setara kepada
pemilih. Redlawsk (2004) mengatakan bahwa dalam sebuah kegiatan politik berupa
pemilihan, setiap pemilih menentukan sendiri strategi dan cara untuk memperoleh
informasi politik. Dengan demikian prinsip kedua dari teori pilihan rasional tentu akan
sangat sulit untuk dipenuhi.

Namun, teori pilihan rasional yang mengacu pada dua konsep utama yaitu experience
value dan decision value (Kahneman & Tversky, 1984) tetap dapat digunakan dalam
kondisi terbatas. Pengalaman yang buruk yang dialami pemilih (experience value) dari
keputusan politik seorang calon petahana kepala daerah, misalnya, dapat mengarahkan
keputusan individu bahwa ke depan potensi calon tersebut untuk terpilih lagi semakin
kecil kecuali pilihan yang ada (decision value) menunjukkan bahwa memilih calon
tersebut masih lebih baik dibandingkan calon lainnya.

Pada penggunaan teori pilihan rasional, salah satu penelitian yang dilakukan dalam
psikologi politik yaitu penelitian yang dilakukan oleh Quattrone, & Tversky (1988)
yang meneliti perilaku pemilih terhadap dua pilihan calon, yaitu penantang dan
petahana. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keunggulan yang dimiliki oleh
calon dari petahana adalah kekhawatiran akan kerugian yang akan didapatkan oleh
pemilih lebih memiliki peran penting daripada keuntungan yang bisa didapatkan oleh
penantang walaupun keuntungan tersebut lebih besar. Konsep ini sesuai dengan konsep
risk aversion dimana seseorang lebih memilih sesuatu dengan potensi resiko paling
kecil daripada pilihan lain yang kemungkinan menguntungkan dengan potensi lebih
besar.

Pada kasus politik di Indonesia, model ini sering digunakan oleh calon dari petahana
untuk menunda beberapa proyek pemerintah hingga menjelang waktu pemilihan.
Pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang langsung dirasakan oleh masyarakat
menjelang hari pemilihan akan menyebabkan masyarakat khawatir proyek tersebut tidak
akan selesai jika calon petahana tidak lagi terpilih. Pada konteks ini, pemilih merasa
bahwa adanya potensi resiko dari tidak berjalannya proyek jika petahana tidak lagi
terpilih sehingga program dari penantang walaupun lebih baik dengan peluang lebih
besar namun tidak dirasakan sepadan dengan resiko yang akan diterima.

Begitu juga dengan prinsip mental accounting dari teori pilihan rasional, sistem politik
Indonesia yang memilih calon kepala daerah sepaket dengan wakilnya dapat
menyebabkan seseorang merasa lebih menguntungkan untuk memilih calon tersebut.
Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia pada pemilu tahun 2014
oleh beberapa kalangan diperkirakan karena pasangan adalah Yusuf Kalla. Jika masing-
masing berjalan sendiri-sendiri, seperti pemilu tahun 2009 dimana Yusuf Kalla menjadi
calon presiden, maka peluang untuk terpilih ternyata lebih kecil.

Kesimpulan

Penjelasan Boudon (2009) mengenai Teori Pilihan Rasional yang secara teoritik bisa
sangat kuat namun sangat lemah saat menjelaskan fenomena sosial mungkin bisa
dijadikan kalimat yang penting dalam menyimpulkan teori ini. Peran emosi yang
terabaikan dalam teori pilihan rasional menjadi salah satu alasan mendasar teori ini
tidak cukup mampu dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial. Namun demikian,
beberapa fenomena politik, ekonomi, dan moral juga berhasil dijelaskan dengan baik
menggunakan teori pilihan rasional.

Dengan demikian penggunaan teori ini sebagai dasar untuk menganalisa perilaku sosial
perlu sangat hati-hati. Terlebih jika kita memperhatikan prinsip dari teori ini yang
mengharuskan tiap pilihan dipresentasikan secara setara atau sama. Asumsi ini justru
menjadi ganjalan terbesar aplikasi teori pilihan rasional karena hampir tidak ada kondisi
dimana pilihan-pilihan tersebut benar-benar disajikan kepada calon pemilih secara
setara.

Akan tetapi apresiasi yang besar tetap perlu diberikan kepada perkembangan teori ini
sebagaimana yang pernah dilakukan APA pada tahun 1983 kepada artikel yang
dituliskan oleh Kahneman & Tversky tentang pilihan rasional. Penghargaan ini
diberikan karena artikel tersebut telah banyak menginspirasi para pengambil kebijakan
dalam berbagai bidang, terutama ekonomi. Berdasarkan artikel tersebut, banyak strategi
pemasaran dilakukan yang mendasarkan pada kajian teori pilihan rasional.

Perkembangan teori ini ke depan bisa jadi sangat potensial jika teori ini juga
mengkolaborasikan emosi sebagai salah satu aspeknya. Untuk sampai pada tahap ini
tentunya pada ilmuan harus membangun asumsi bahwa emosi merupakan akibat dari
rasionalitas seseorang. Hal ini bukan tidak mungkin karena saat ini sudah muncul
penelitian yang mencoba membangun hubungan antara penalaran dengan emosi pada
diri individu walaupun masih penuh perdebatan mengenai emosi sebagai pemicu
penalaran atau penalaran sebagai pemicu emosi.

Daftar Pustaka

Bouchet, N. M. (2004). To Give Or to Take?: Assessing Five Levels of Moral


Emotional Development. Doctoral Disertation, The University of Akron

Boudon, R. (2009). Rational choice theory. The New Blackwell companion to social
theory (ed. B. S. Turner), 179-195.

Camerer, C. F., & Loewenstein, G. (2005). Adam Smith, Behavioral Economist. The
Journal of Economic Perspectives, 19(3), 131-145.

El Hafiz, S. (2013). Akibat Setitik Kejahatan, Rusak Kebaikan Sebelanga.Jurnal


Psikologi Ulayat, 1(2). 289-302

El Hafiz, S. (2015). Optimalisasi Emosi Sebagai Sistem Peringatan Dini Moral. Jurnal
Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-Empiris, 1(1). 9-16

Greene, J., & Haidt, J. (2002). How (and where) does moral judgment work?.Trends in
cognitive sciences, 6(12), 517-523.

Haidt, J. (2001). The emotional dog and its rational tail: a social intuitionist approach to
moral judgment. Psychological review, 108(4), 814-834

Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and
religion. Vintage.
Herfeld, C (diakses 29 April 2016), Tracing the Origins of Rational Choice Theory.
https://www.mpiwg-berlin.mpg.de/en/research/projects/DeptII_Herfeld_Tracing

Herrnstein, R. J. (1990). Rational choice theory: Necessary but not sufficient. American
Psychologist, 45(3), 356-367.

Homans, G. C. (1958). Social Behavior as Exchange. American Journal of Sociology,


(63)6. 597-606.

Johsson, E.J., M. T. Pham, & G. V. Johar (2007). Consumer Behavior and Marketing.
Social Psychology: Handbook of Basic Principles (2nd Edition) Ed. Arie W.
Kruglanski & E. Tory Higgins. pp 869-887. The Guilford Press.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1984). Choices, values, and frames. American
psychologist, 39(4), 341-350.

Kompas.com (10/4/2014). Partai Politik Berbasis Massa Islam Menjungkirbalikkan


Survei
http://nasional.kompas.com/read/2014/04/10/0622304/Partai.Politik.Berbasis.M
assa.Islam.Menjungkirbalikkan.Survei (diakses 29 April 2016)

Lind, G. (2006). Moral cognition or affect or both? Test and educational implications of
Piaget’s parallelism theory. Paper presented at the annual meeting of the
American Educational Research Association in San Francisco, 7. - 11. 4. 2006

Lind, G. (2008). The meaning and measurement of moral judgment competence


revisited - A dual-aspect model. In: D. Fasko & W. Willis, eds., Contemporary
Philosophical and Psychological Perspectives on Moral Development and
Education, 185 - 220. Cresskill. NJ: Hampton Press.

McFadden, D. L. (2013). The new science of pleasure (No. w18687). National Bureau
of Economic Research. (DOI): 10.3386/w18687

Quattrone, G. A., & Tversky, A. (1988). Contrasting rational and psychological


analyses of political choice. American Political Science Review, 82(03), 719-
736.

Redlawsk, D. P. (2004). What voters do: Information search during election


campaigns. Political Psychology, 25(4), 595-610.

Riker, W. H. (1995). The political psychology of rational choice theory.Political


Psychology, 16(1), 23-44.

Scott, J. (2000). Rational Choice Theory, in Browning, G, A Halcli, N Hewlett, and F


Webster (eds). Understanding Contemporary Society: theories of the present.
London: Sage. http://www.soc.iastate.edu/SAPP/soc401rationalchoice.pdf
(diakses 29 April 2016)

Simon, H. A. (1985). Human nature in politics: The dialogue of psychology with


political science. American Political Science Review, 79(02), 293-304.
Smith, A. (2010). The theory of moral sentiments. Penguin.
http://www.excellentfuture.ca/sites/default/files/Theory%20of%20Moral%20Se
ntiments%20Adam%20Smith.pdf (diakses 29 April 2016)

Valentino, N. A., Brader, T., Groenendyk, E. W., Gregorowicz, K., & Hutchings, V. L.
(2011). Election night’s alright for fighting: The role of emotions in political
participation. The Journal of Politics, 73(01), 156-170.

Von Neumann, J. (1959). On The Theory Of Games Of Strategy. Contributions to the


Theory of Games, 4, 13-42

Westen, D., Blagov, P. S., Harenski, K., Kilts, C., & Hamann, S. (2006). Neural bases
of motivated reasoning: An fMRI study of emotional constraints on partisan
political judgment in the 2004 US presidential election. Journal of cognitive
neuroscience, 18(11), 1947-1958.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai