Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Menganalisis Metode Deduktif, Induktif dan Metode Ilmiah Dalam Filsafat

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4:

TOMI APRA SANTOSA


DESI SAKINAH TINENDUNG
MAIYUSRI EKA PUTRI

DOSEN PEMBIMBING
Dr. Yuni Ahda, M.Si

MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
BAB I
PENDAHULUA
N

A. Latar Belakang
Berkembangnya rasionalisme di Eropa mendorong tumbuhnya aliran
filsafat positivisme yang bertolak dari prinsip kesatuan ilmu pengetahuan
yang terutama di- dasarkan pada prosedur pokok: observasi/eksperimentasi-
formulasi konsep-konsep-verifikasi. Dari dasar tersebut dengan sendirinya
semua bidang studi yang tidak memenuhi prosedur pokok ilmu harus
dilepaskan dari kategori ini. Metode dasar yang dikembangkan salah
satunya nomotetis. Nomotetis tujuan utamanya merumuskan hukum- hukum
yang berlaku umum (general laws) atau disebut juga generalisasi. Di lain
pihak berkembang pula di daratan Eropa sekitar awal abad XIX kelompok
Hermeneutika yang pada dasarnya menolak monisme metode dalam ilmu
sebagaimana yang dianjurkan kaum Positivis.
Pembahasan tentang ilmu pengetahuan (science) merupakan pembahasan
yang akan selalu menarik dan akurat, karena ilmu pengetahuan merupakan
sesuatu yang berkembang secara alamiah sesuai dengan perkembangan
pemikiran manusia yang sangat peka terhadap proses interaksi yang dilakukan
oleh manusia dengan lingkungan sekitarnya. Mempelajari kasus, sudah
sering diguna- kan dalam ranah bidang kesehatan, psikologi, organisasi, dan
bidang lain untuk menunjukkan hal-hal penting dari kasus yang dipelajari.
Studi kasus digunakan untuk memberikan pemahaman akan sesuatu yang
menarik perhatian, proses sosial yang terjadi, peristiwa konkret, atau
pengalaman orang yang menjadi latar dari sebuah kasus. Sebuah studi
kasus diharap- kan dapat menangkap kompleksitas satu kasus dan
metodologi ini semakin berkem- bang dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk
dalam bidang yang berorientasi pada praktik seperti studi lingkungan,
pendididikan dan lainnya (Prihatsanti et al., 2018).
Oleh karena itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
metode-metode dalam mendapatkan pengetahuan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan metode deduktif ?
2. Apa yang dimaksud dengan metode induktif ?
3. Apa yang dimaksud dengan metode ilmiah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang metode deduktif.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang metode induktif.
3. Untuk mengetahui dan memahami tentang metode ilmiah.
BAB II
PEMBAHASA
N

A. Definisi Metode Deduktif


Metode deduktif atau lebih dikenal dengan silogisme Aristoteles adalah
metode pemerolehan pengetahuan baru melalui kesimpulan deduktif, yaitu
kesimpulan yang diperoleh dari adanya pengetahuan atau dalil umum yang
disebut premis utama atau premis mayor, yang dijembatani oleh premis titian
atau minor ( Hindersah, 2005: 4). Sebelum adanya penelitian, premis mayor
didasarkan atas pandangan atau dogma tertentu yang bersumber dari
pandangan agama, filsafat, atau pandangan seseorang yang memiliki otoritas
seperti pendeta, pemimpin, atau tokoh masyarakat, orang arif-bijaksana dan
sebagainya. Menurut Burhanuddin (1998:78) deduktif adalah penalaran atau
cara berpikir yang bertolak dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum,
kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Kemudian dijelaskan bahwa untuk menarik sebuah kesimpulan secara
deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut silogysme.
Silogisme tersusun dari dua buah pernyataan (premise) dan sebuah kesimpulan
(konklusi). Contohnya, Semua manusia akan mati ( Premise 1) Boni adalah
manusia ( Premise 2) Jadi Boni akan mati ( Konklusi). Tabel struktur silogisme
dapat dilihat gambar bawah ini:

(Sumber: Rustan, 2018)


Namun kesimpulan di sini hanya bernilai benar jika kedua premis dan
cara yang digunakan juga benar, serta hasilnya juga menunjukkan koherensi
data tersebut (Supriasumantri, 1985). Penalaran deduktif merupakan salah satu
cara berfikir logis dan analistik, yang tumbuh dan berkembang dengan
adanya pengamatan yang semakin intens, sistematis, dan kritis (Mustofa,
2016).
Pertambahan pengetahuan yang diperoleh manusia, yang akhirnya akan
bermuara pada suatu usaha untuk menjawab permasalahan secara rasional
sehingga dapat dipertanggung jawabkan kandungannya, tentunya dengan
mengesampingkan hal-hal yang irasional. Adapun penyelesaian masalah
secara rasional bermakna adanya tumpuan pada rasio manusia dalam usaha
memperoleh pengetahuan yang benar. Dan paham yang mendasarkan dirinya pada
proses tersebut dikenal dengan istilah paham rasionalisme. Metode deduktif
dan paham ini saling memiliki keterikatan yang saling mewarnai, karena
dalam menyusun logika suatu pengetahuan para ilmuan rasionalis cenderung
menggunakan penalaran deduktif (Mustofa, 2016).
Lebih jauh lagi deduksi sering lahir dari sebuah persangkaan mayoritas
orang. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa setiap keputusan adalah deduksi,
Dan setiap deduksi diambil dari suatu generalisasi yang berupa generalisasi
induktif yang berdasar hal-hal khusus yang diamati. Generalisasi ini terjadi karena
adanya kesalahan dalam penafsiran terhadap bukti yang ada (Muslih, 2008).
Generalisasi induktif sering terjadi dari banyaknya tumpuan pada pengamatan
terhadap hal-hal khusus yang kenyataanya tidak demikian. seperti halnya
kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien, hal ini terjadi karena
tanda-tandanya sama namun bisa jadi ada penyakit lain dengan tanda-tanda seperti
itu, ataupun kasus polisi yang menyelidiki barang bukti di tempat tindakan
kriminal.
Ada beberapa teori yang sering dikaitkan dengan metode deduktif. Di
antaranya “teori koherensi”, serta “teori kebenaran pragmatis.” (Supriasumantri,
1985). Hal yang disebut terakhir merupakan sebuah proses pembuktian secara
empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta real yang mendukung semua
pernyataan sebelumnya. Adapun pencetus teori ini adalah Charles S. Pierce dalam
sebuah makalah dengan judul “how to make our ideas clear?” yang terbit pada
tahun 1878. Bagi seorang penggiat pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan ada tidaknya fungsional hal tersebut dalam kehidupan praktis.
Dengan kata lain, sebuah pernyataan bernilai benar jika berkonsekuensi dengan
adanya kegunaan praktis dalam kehidupan manusia (Supriasumantri, 1985).
Kelebihan model ini adalah terletak pada faktor kebutuhan fokus yang
intens dalam menganalisa suatu pengertian dari segi materinya, sehingga
penggunaan waktu bisa lebih efisien. Bahkan dari segi lain keterampilan yang
digunakan bisa tersusun lebih rapi, hal ini bisa terjadi karena poin-poin yang ingin
dicapai sudah jelas. Terlebih pendekatan ini sesuai untuk digunakan dalam proses
pembelajaran, seperti halnya guru memberikan penerangan sebelum memulai
pembelajaran. Selain itu pada deduksi, kesimpulannya merupakan suatu
konsekuensi logis dari premis- premisnya. Sehingga pada suatu penalaran yang
baik, kesimpulan dapat menjadi benar manakala premis-premisnya benar.
(Mustofa, 2016)
Adapun kelemahannya terletak pada aktifitas penarikan kesimpulan yang
dibatasi pada ruang lingkup tertentu. Serta jika salah satu dari kedua premisnya,
atau bahkan keduanya salah maka kesimpulan yang didapat berdasarkan premis
tersebut akan salah pula. Kelemahan lainnya adalah kesimpulan yang diambil
berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis awalnya, sehingga
sulit diperoleh kemajuan ilmu pengetahuan jika hanya mengandalkan logika
deduktif (Hardiman, 2014).
B. Metode Induktif
Metode induktif adalah metode penarikan kesimpulan dari kasus-kasus
individual nyata ( khusus) ke kesimpulan yang bersifat umum ( Burhanuddin,
1988:72). Menurut Benyamin Molen metode induksi atau induktif adalah suatu
penalaran yang bertitik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus,
kemudian yang bersifat umum. Penalaran induktif adalah cara berfikir untuk
menarik kesimpulan (Mustofa, 2016), dari pengamatan terhadap hal yang bersifat
partikular kedalam gejala-gejala yang bersifat umum atau universal. Sehingga
dapat dikatakan bahwa penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat terbatas
dan khusus lalu diakhiri dengan statemen yang bersifat komplek dan umum
(Rapar, 1999).
Generalisasi adalah salah satu ciri yang paling khas dalam metode induksi.
Hanya saja, generalisasi di sini tidak berarti dengan mudahnya suatu proposisi
yang diangkat dari suatu individu dibawa untuk digeneralisasikan terhadap suatu
komunitas yang lebih luas. Justru, melalui metode ini, diberikan suatu
kemungkinan untuk disimpulkan. Dalam artian, bahwa ada kemungkinan
kesimpulan itu benar tapi tidak berarti bahwa itu pasti benar, sehingga akhirnya
disinilah lahir probabilitas ( Mundika, 2000).
Ciri khas dari metode induktif adalah generalisasi. Generalisasi dapat
dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama, yang dikenal dengan istilah
induksi lengkap, yaitu generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal
partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti.
Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap rumah di desa ada pohon
kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan pernyataan umum “setiap rumah di
desa memiliki pohon kelapa.” Maka generalisasi macam ini tidak bisa
diperdebatkan dan tidak pula ragukan (Hadi & Gallagher, 1994). Kedua, yang
dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau bahkan dengan hanya
sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang biasa disebut dengan induksi tidak
lengkap ( Rapar, 1999).
Dalam penalaran induksi atau penelitian ilmiah sering kali tidak
memungkinkan menerapkan induksi lengkap, oleh karena itu yang lazim
digunakan adalah induksi tidak lengkap. Induksi lengkap dicapai manakala
seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti dan diamati secara mendalam
(Hadi & Gallagher, 1994). Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan
teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan
umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap.
Bahkan manakala seseorang seusai mengamati hal-hal partikular kemudian
mengeneralisasikannya, maka sadar atau tidak, ia telah menggunakan induksi.
Generalisasi di sini mungkin benar mungkin pula salah, namun yang lebih perlu
dicermati adalah agar tidak terjadi sebuah kecerobohan generalisasi. Misalnya
“sarjana luar negeri lebih berkualitas daripada sarjana dalam negeri.” Jenis induksi
tidak lengkap inilah yang sering kita dapati. Alasanya sederhana, keterbatasan
manusia.
Induksi sering pula diartikan dengan istilah logika mayor, karena membahas
pensesuaian pemikiran dengan dunia empiris, ia menguji hasil usaha logika
formal (deduktif), dengan membandingkannya dengan kenyataan empiris
(Mundiri, 2000). Sehingga penganut paham empirme yang lebih sering
mengembangkan pengetahuan bertolak dari pengalaman konkrit. Yang akhirnya
mereka beranggapan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh
langsung dari pengalaman nyata. Dengan demikian secara tidak langsung penggiat
aliran inilah yang sering menggunakan penalaran induktif. Karena Penalaran ini
lebih banyak berpijak pada observasi indrawi atau empiris. Dengan kata lain
penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang
bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.Inilah alasan
atas eratnya ikatan antara logika induktif dengan istilah generalisasi, serta
empirisme.
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada suatu
dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati sampai mengerucut
pada suatu kesimpulan yang general. Sebagai contohnya jika kita ingin
mengetahui berapa rata-rata tinggi badan anak umur 9 tahun di Indonesia tentu
cara paling logis adalah dengan mengukur tinggi seluruh anak umur 9 tahun di
Indonesia. Proses tersebut tentu akan memberikan kesimpulan yang dapat
dipertanggung jawabkan namun pelaksanaan dari proses ini sendiri sudah menjadi
dilema yang tidak mudah untuk ditanggulangi.
Untuk menghindari kesalahan yang disebabkan karena generalisasi yang
terburu, Bacon menawarkan empat macam idola atau godaan dalam berfikir:
Pertama, idola tribus, yaitu menarik kesimpulan, tanpa dasar yang cukup.
Artinya, kesimpulan diperoleh darik pengamatan yang kurang mendalam, dan
memadai, sehingga ia diambil dari penelitian yang masih dangkal. Kedua, idola
spesus, yakni, kesimpulan yang dihasilkan bukan berdasarkan pengamatan yang
cukup, namun lebih sebagai hasil dari prasangka belaka. Ketiga, idola fori, poin
ketiga ini cukup menarik, karena kesimpulan lahir hanya sebatas mengikuti
anggapan ataupun opini public secara umum. Dan Keempat, idola theari,
anggapan bahwa dunia ini hanyalah sebatas panggung sandiwara, makanya
kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan mitos, doktrin, ataupun lainnya
(Supriasumantri, 1985).
Metode induktif ini diadobsi oleh banyak penggiatnya, karena ia dipandang
dapat memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang ragam pengetahuan yang akan dituju.
Sehingga lebih mudah menemukan pola-pola tertentu suatu ilustrasi yang ada. Ia
juga dinilai efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam suatu
proses pencapaian kesimpulan. Sebabnya tiada lain adalah adanya kasus awal
yang tepat. Adapun kelemahan dari proses ini antara lain, metode induktif, sesuai
dengan sifatnya, yaitu tidak memberikan jaminan bagi kebenaran kesimpulannya
(Mustofa, 2016). Meskipun, premis- premisnya semua benar, tidak otomatis
membawa kebenaran pada kesimpulan yang diperoleh, selalu saja ada
kemungkinan terdapat sesuatu yang tidak sama sebagaimana di amati. Serta pada
induksi, kesimpulannya bukan merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-
premisnya.
C. Metode Ilmiah

Metode ilmiah merupakan prosedur untuk mendapatkan pengetahuan


yang disebut ilmu (Swantara, 2015). Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut
ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang
dinamakan dengan metode ilmiah. “Metode” merupakan suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang
sistematis. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari
peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode
ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang disebut
epistimologi. Epistimologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana
caranya kita mendapatkan pengetahuan.
Selanjutnya metode ini mengikuti prosedur-prosedur tertentu yang sudah
pasti yang sudah digunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuan. Unsur pertama dalam metode
ini, sejumlah pengamatan yang dipakai dasar untuk merumuskan masalah. Bila
ada suatu masalah dan sudah diajukan satu penyelesaian yang dimungkinkan,
maka penyelesaian yang diusulkan itu dinamakan “hipotesa”.(Maskhuroh,
2013). Hipotesa adalah usulan penyelesaian yang berupa saran dan sebagai
konsekwensinya harrus dipandang bersifat sementara dan akal keluar dari
pengalaman, mencari satu bentuk, di dalamnya disusun fakta-fakta yang sudah
diketahui dalam suatu kerangka tertentu dengan harapan fakta-fakta tersebut
cocok dengan hipotesa yang disarankan tersebut. Maka metode penalaran yang
bergerak dari suatu perangkat pengamatan yang khusus kearah suatu
pernyataan mengenai semua pengamatan yang sama jenisnya dikenal dengan
induksi.
Selain itu, Unsur-unsur metode ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Pola prosedural, meliputi: pengamatan, percobaan, pengukuran, survai,
deduksi, induksi, analisis, dan lainnya.
2. Tata langkah, meliputi: penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila
perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian
hasil.
3. Berbagai tehnik, meliputi: daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan,
pemanasan, dan lainnya.
4. Aneka alat, meliputi: timbangan, meteran, perapian, komputer, dan
lainnya (Abdullah, 2019).
Corak-corak metodologis yang digunakan dan dikembangkan
menyebabkan ilmu pengetahuan itu bersifat pisitivistik (bebas dari pikiran
etik), deterministik (berdasarkan pada hukum-hukum kausalitas),
evolusionistik (melihat sejarah sebagai dasar dalam menentukan objek yang
diteliti), sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan melalui metode
kunatitatif dan eksperimental melalui observasi. Sifat ilmiahnya suatu
pengetahuan terletak pada kelangsungan proses yang runtut dari segenap
tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada perakteknya tahap-tahap
kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan yang terdiri dari:
a. Tahap pertama adalah observasi, maka yang dimaksudkan adalah
bahwa tahap ini berlangsung hanya sekedar melakukan pengamatan
biasa. Kenyataan empirik yang terjadi, maka objeknya diteliti,
dikumpulkan, bertugas mencari benang merah dari bahan-bahan
tersebut dan disororti dalam suatu kerangka ilmiah.
b. Tahap kedua adalah induksi. Dalam hal ini, pernyataan suatu
observasi dinyatakan dalam bentuk pernyataan yang umum. Induksi
dipermudah dengan menggunakan alat-alat bantu matematik dalam
merumuskan serta mengumpulkan data-data empirik. Pengukuran
secara kuantitatif terhadap besaran-besaran tertentu yang saling
berhubungan, maka hubungan tersebut dapat digambarkan dalam
simbol matematika. Apabila suatu kejadian dapat terjadi secara
berulang-ulang, maka pernyataan umum tersebut memperoleh
kedudukan sebagai hukum.
c. Tahap ketiga adalah dilaksanakannya deduksi-deduksi logisi, yaitu
data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem yang runtut.
Penyusunan sistem seperti ini juga tergantung dipergunakannya
pengertian-pengertian operasional tertentu, yaitu bahasa buatan
dalam rangka pembentukan teori ilmiah.
d. Tahap keempat adalah observasi eksperimental, yaitu pernyataan
dimaksudkan untuk mengukuhkan pernyataan-pernyataan rasional
hasil deduksi sebagai teori.
Verifikasi merupakan tahapan untuk mengukuhkan atau menggugurkan
pernyataan-pernyataan rasional hasil dari deduksi-deduksi logis. Jadi
kesimpulannya metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup tindakan
pikiran, pola kerja, cara teknis, tata langkah untuk memperoleh pengetahuan,
atau mengembangkan pengetahuan. Pola umum tata langkah dalam metode
ilmiah yang berkembang menyebabkan ilmu pengetahuan bersifat positivistik,
deterministik, evolusionistik, sehingga analisisnya selalu dibantu dengan
pendekatan kuantitatif dan eskperimen melalui observasi (Maskhuroh, 2013).
Mengenai langkah-langkah dalam metode ilmiah, ternyata belum ada
kesatuan paham dari para ilmuwan dan filsuf. Mereka mem- punyai pendapat
yang berbeda-beda dan memiliki dasar yang kuat untuk metodenya tersebut.
Namun dalam konteks ini penulis berusaha untuk mensintesanya dengan mengacu
pada pendapat para pakar. Menurut J. Lachman (dalam Dadang Supardan,
2008:43) metode ilmiah mencakup: perumusan hipotesis spesifik atau pertanyaan
spesifik untuk menyelidiki, perancangan penyelidikan, pengumpulan data,
pengolahan data penggolongan data dan pengem- bangan generalisasi, serta
pe- meriksaan kebenaran (Sabari, 2011). Pendapat serupa disampaikan Gie
(1999:111) yaitu metode ilmiah mencakup meng-analisis, mendeskripsikan,
mengklasifikasikan, mengadakan pe- ngukuran, memperbandingkan, dan
melakukan survei.
Salah satu metode ilmiah yang dapat dijadikan rujukan adalah pendapat
Tyndall (dalam Jujun S. Suriasumantri, 1990:125- 129) yang dikenal dengan
proses logico-hypothetico-verifikasi. Langkah-langkahnyameliputi: 1) Perumusan
masalah 2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis 3) Perumusan
hipotesis, 4) Pengujian hipotesis, dan 5) Penarikan kesimpulan. Langkah- langkah
tersebut dapat dibagankan seperti di bawah ini.

Sumber: Sabari, 2011

Suriasumantri dalam Sabari (2011) menyampaikan ada enam kerangka


dasar prosedur ilmiah, yaitu:
a. Sadarkan adanya masalah dan perumusan masalah.
Adanya kondisi kejiwaaan (sadar) pada diri para ilmuwan, bahwa
jumlahnya. Ketika manusia menemukan beberapa kesulitan alam
menghadapi dunia secara akal, maka manusia menciptakan masalah dan
mengajukan sesuatu pertanyaan yang menurut alam pikirnya dapat
dijawab dunia terdiri dari fakta dan kejadian yang terpisah-pisah
dan banyak
b. Pengamatan dan Pengumpulan data
Tahap ini merupakan sesuatu yang paling dikenal dalam metode ilmiah,
dikarenakan banyaknya ke- giatan ilmiah yang diarahkan pada
pengumpulan data. Sehingga banyak orang yang menyamakan
keilmiahan dengan pengumpulan fakta. Peng- amatan dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung, bahkan fakta yang teliti
dimungkinkan dapat dilaksanakan dengan bantuan alat yang dibuat
manusia dengan metode ilmiah.
c. Penyusunan dan klasifikasi data.
Tahap ini menekankan ini penyusunan fakta dalam kelompok- kelompok,
jenis-jenis dan kelas- kelas. Dalam cabang-cabang ilmu,
usaha untuk mengidentifikasi, menganalisasi, membandingkan dengan
fakta-fakta yang relevan disebut taksonomi.
d. Perumusan hipotesis
Hipotesis merupakan pernyataan sementara tentang hubungan antara
variabel. Hubungan ini diajukan dalam bentuk dugaan kerja atau teori
yang merupakan dasar dalam menjelaskan kemungkinan hubungan
tersebut.
e. Deduksi dan hipotesis
Hipotesis sebagai langkah penyusunan per- nyataan yang logis yang
menjadi dasar untuk menarik kesimpulan atau deduksi mengenai
hubungan variabel-variabel tertentu yang di- selidiki. Hipotesis dapat
menolong peneliti dalam memberikan ramalan dan menemukan fakta
yang baru.
f. Tes dan pengujian kebenaran.
Pengujian kebenaran ilmu berarti mengetes alternatif-alternatif hipo-
tesis dengan pengamatan kenyataan yang sebenarnya atau melalui
eksperimen. Jika fakta tidak mendukung satu hipotesis, maka
hipotesis yang lain dipilih dan diproses ulang. Hakim yang terakhir
menurut kaum empirisme adalah data empiris yaitu kaidah yang
bersifat umum/hukum/generalisasi haruslah memenuhi persyaratan
pengujian hipotesis. Sedangkan me- nurut kaum rasionalis, hipotesis
hanya baru dapat diterima secara keilmuan apabila konsisten
dengan hipotesis-hipotesis sebelumnya yang telah disusun dan teruji
kebenarannya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Metode deduktif adalah suatu metode penalaran atau cara berpikir yang
bertolak dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat khusus.
2. Metode induktif adalah metode penarikan kesimpulan dari kasus-kasus
individual nyata ( khusus) ke kesimpulan yang bersifat umum.
3. Metode ilmiah adalah prosedur untuk mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. (2019). Pengembangan Teori Akuntansi Berbasis Filsafat Ilmu.


AKRUAL Jurnal Akuntansi, 1(2), 105–112.
Maskhuroh, L. (2013). Ilmu Sebagai Prosedur ( Metode Memperoleh Pengetahuan
Ilmiah). Madrasah, 6(1), 97–112.
Mustofa, I. (2016). Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai
Dasar Penalaran Ilmiah. Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam, 6(2), 122–
142.
Prihatsanti, U., Suryanto, S., & Hendriani, W. (2018). Menggunakan Studi Kasus
sebagai Metode Ilmiah dalam Psikologi. Buletin Psikologi, 26(2), 126.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38895
Sabari, J. (2011). Metode Ilmiah Dalam Ilmu-Ilmu Sosial. | A g a s t y A, 1(1),
117–132.

Anda mungkin juga menyukai