Masyarakat pun terus berharap akan politik yang bersih, yang menjadi kendaraan
rakyat untuk mencapai kesejahteraan, bukan dipakai oleh insan politik sekedar
untuk melanggengkan kekuasaan.
1
Catatan Akhir Tahun 2018 (hasil kajian bidang Politik Hukum), dipaparkan dalam diskusi public Syndicate
Update edisi khusus akhir tahun bertema “Riuh Tahun Politik: More Noise than Voice” yang diselenggarakan
pada 14 Desember 2018 oleh Lembaga Kajian Kebijakan PARA Syndicate.
mengkriminalisasi masyarakat dalam banyak hal, khususnya hal-hal yang terkait
dengan penghormatan terhadap HAM.
2
Legislasi dan Struktur Hukum
Drama politik produksi rumah rakyat yang ramai menjadi tontonan namun gagal
menjadi tuntunan, diputar tahun ini. Polemik disahkannya UU MD3 oleh DPR
semakin membuktikan politik berkuasa atas hukum. DPR sebagai lembaga politik
telah merampas wewenang hukum dengan memunculkan klausul pemanggilan
paksa dan pembentukan pengadilan sendiri yang dijalankan oleh Mahkamah
Kehormatan DPR.
Realitas baru transformasi ruang publik dari Orde Baru ke Reformasi
nyatanya masih menyajikan kisah kekuasaan yang sama otoriternya, hanya
berganti lakon dan jam tayang saja. Syukurlah happy ending, Mahkamah
Konstitusi yang awalnya diragukan akan memutus perkara sesuai track-
record kewenangannya, telah membatalkan sebagian pasal yang nyata
kontroversi untuk membuat DPR menjadi lembaga dengan kekuasaan luar biasa.
Lain kisah dengan saudara tuanya, Mahkamah Agung (MA). Setelah tahun
lalu apresiasi diberikan pada MA yang melakukan terobosan progresif dengan
komitmen bagi kesetaraan gender dan non-diskriminasi, namun sayang,
implementasi masih di angan-angan. MA tampak gagap menjalankan
komitmennya sendiri.
Sikap MA yang memutus Baiq Nuril bersalah dalam putusan tingkat kasasi
membuktikan MA gagal menerapkan sistem peradilan yang bersifat setara bagi
perempuan, sedangkan hal tersebut telah diaturnya sendiri dalam Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) RI No. 3 tahun 2017. Perma ini adalah komitmen MA
dan lembaga peradilan manapun di Indonesia dalam peradilan yang non-
diskriminasi. Terkait dengan perspektif gender, Perma menjadi Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Perma ini sangat penting karena hingga kini masih banyak terjadi
diskriminasi terhadap perempuan, yakni segala pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang berdampak
mengurangi/meniadakan pengakuan, atau penggunaan HAM dan kebebasan-
kebebasan pokok di berbagai bidang. Nyata terdapat “relasi kuasa” dalam
peradilan, yakni relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan, juga
ketergantungan status sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang
menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lain yang dirugikan.
3
Kasus peradilan lain yang berhubungan dengan relasi kuasa adalah
dipidananya ‘WA’, seorang anak berusia 15 tahun yang menjadi korban
pemerkosaan. Dirinya dipidana telah melakukan aborsi, dan dikenai vonis dengan
hukuman enam bulan penjara. Jaksa dan majelis hakim mengabaikan fakta
trauma psikologis pada korban yang tidak berdaya menanggung beban kejadian
yang dialami. Padahal, tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat
dibebankan kepada anak korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis,
sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan tahun 2009.
Budaya Hukum
Aspek kultural yang berkembang dalam masyarakat merupakan pengikat sistem
hukum yang ada. Selain nilai-nilai, terdapat pula sikap dan pola perilaku yang
akan menangkap ide tentang hukum, dan posisinya dalam tatanan sosial. Jika
masyarakat membawa nilai-nilai positif, maka hukum akan diterima dengan baik.
Sebaliknya jika negatif, maka masyarakat akan menentangnya, bahkan
menganggap hukum itu tidak perlu atau tidak ada.
Persoalan stagnasi budaya hukum yang hingga kini terjadi adalah
keengganan masyarakat untuk menempuh jalur hukum di saat dirinya mengalami
tindakan pidana ataupun ketidakadilan. Kekerasan terhadap kelompok minoritas
dan rentan adalah kondisi nyata yang sering tak terlihat. Kekerasan seksual
terhadap perempuan dan anak adalah contoh lain dari daftar panjang tindak
pidana dan pelanggaran HAM yang tidak dilaporkan. Selain karena relasi kuasa
dan faktor psikologis korban, kondisi itu juga terjadi karena ketidakpercayaan
pada sistem hukum untuk mampu melindungi hak dasarnya sebagai warga negara
dan manusia.
Pada beberapa kasus, aturan perundangan masih berkutat pada materi
hukum yang didorong oleh sekelompok masyarakat tertentu yang memiliki
pengaruh atau kekuatan menyuarakan pendapatnya. Dibantu oleh media yang
berperan sebagai mesin-viral, wacana dan pendapat tersebut berkembang
menjadi hal yang seolah-olah paling penting atau dibutuhkan. Budaya hukum dan
politik yang dibangun oleh propaganda kekuatan dan/atau kekuasaan itulah yang
kini kian berkembang, mengambil kekosongan nilai-nilai positif yang telah terkikis
atau ditinggalkan oleh masyarakat.
Dalam konteks politik saat ini, perkembangan budaya hukum dapat diamati
dari proses penegakan hukum yang tidak berjalan pada para pelaku ujaran
4
kebencian dan hoax di ruang-ruang publik, yang telah memberikan kepuasan dan
kepercayaan diri lebih besar, hingga berpotensi dicontoh secara masif dan
dijadikan model dalam strategi politik elektoral. Hal tersebut terlepas dari
spekulasi wacana ‘teori strategi politik’ yang sengaja dibuat untuk menghilangkan
kepercayaan publik pada hukum dan pemerintah. Politik identitas –fragmentasi
masyarakat dalam identitas gender, kepercayaan, ras, agama, etnis, dan
ekonomi–, akhirnya masih menjadi mainan dan alat politik di pemilu serentak
mendatang.
Penutup
Sebagai penutup, perlu diingat bahwa fungsi hukum bukan sekedar tegaknya
aturan formil, tetapi untuk mewujudkan keadilan materil. Keadilan sebagai
substansi tidak boleh ditinggal oleh formalitas hukum yang kerap dipakai oleh
para juris yang lebih berperan hanya sebagai ‘robot hukum’.