Anda di halaman 1dari 5

HAK DASAR YANG TAK BOLEH DILUPAKAN1

A.D. Agung Sulistyo

Realita kehidupan bernegara di Indonesia menunjukkan hukum terus mengikuti


arus politik. Politik menjadi faktor dominan dalam pembangunan hukum yang
akan terus berkembang sesuai dengan ‘cetak-biru’nya. Pembangunan hukum
yang dimaksud merupakan suatu tindakan politik yang memegang kendali dalam
menentukan arah, corak, dan materi hukum; yang dianggap sering kali berada
pada posisi berhadap-hadapan dengan penegakan Hak Asasi Manusia.

Masyarakat pun terus berharap akan politik yang bersih, yang menjadi kendaraan
rakyat untuk mencapai kesejahteraan, bukan dipakai oleh insan politik sekedar
untuk melanggengkan kekuasaan.

Substansi Hukum dalam Penataan Regulasi


Jika tahun lalu sempat muncul istilah ‘obesitas hukum’ untuk menyebut begitu
banyak jumlah peraturan yang muncul, tahun ini DPR dan Pemerintah belum
berhasil memenuhi target prolegnas 2018 (50 prolegnas prioritas, 9 prolegnas
kumulatif). Tentu kita berharap produk legislasi yang dihasilkan tidak hanya dilihat
secara kuantitas, melainkan juga kualitas. Selain “keadilan” sebagai roh dari
hukum, prinsip rule of law mematok standar kualitas hukum dengan jaminan pada
hak dasar warga negara –Hak Asasi Manusia (HAM) di sebuah negara– dapat
dimiliki oleh setiap warga negara.
Saat ini, permasalahan krusial dalam pembentukan regulasi yang
berkualitas adalah revisi kumpulan undang-undang pidana yang dikitabkan, yakni
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Setelah hampir empat tahun
melalui masa pembahasan, draft terakhir yang dibahas Pemerintah bersama DPR
masih mengandung rumusan dan materi bermasalah. RKUHP itu jika disahkan
saat ini dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, atau

1
Catatan Akhir Tahun 2018 (hasil kajian bidang Politik Hukum), dipaparkan dalam diskusi public Syndicate
Update edisi khusus akhir tahun bertema “Riuh Tahun Politik: More Noise than Voice” yang diselenggarakan
pada 14 Desember 2018 oleh Lembaga Kajian Kebijakan PARA Syndicate.
mengkriminalisasi masyarakat dalam banyak hal, khususnya hal-hal yang terkait
dengan penghormatan terhadap HAM.

Sebagai contoh adalah penerapan pidana mati. Meskipun telah diatur


sebagai pidana yang bersifat khusus dan sebagai alternatif, namun bertentangan
dengan prinsip hak dasar yang tergambar dalam Kovenan Internasional, yang
juga telah diratifikasi oleh Indonesia.

Selain penerapan pidana mati, pengaturan tentang tindak pidana


penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, dan pemerintahan yang sah; juga
tindak pidana penghinaan terhadap agama, berpotensi memunculkan
kriminalisasi dan pelanggaran HAM. Demikian pula muncul pasal-pasal karet
dengan penafsiran yang tidak baku, seperti tentang “Pembukaan Rahasia”,
cenderung membungkam kebebasan pers sebagai penjaga demokrasi dan nalar
publik.

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai kitab undang-undang ini


nantinya akan diterima sebagai instrumen resmi yang diorientasikan untuk
menghadapi masalah-masalah yang kontemporer. Oleh karena itu substansi
hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, karena sangat tergantung
pada bidang yang akan diatur, dan nantinya berlaku umum bagi semua orang.
Bidang tersebut dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi, dan politik,
serta perkembangan lain di tingkat global yang sulit diprediksi.

Dalam pembentukannya harus memperhatikan aspirasi yang berkembang


dan penghormatan pada nilai-nilai yang berlaku umum, seperti hak-hak dasar
sebagai manusia. Hak dasar itu meliputi hak sosial dan budaya, politik dan hukum,
serta ekonomi dan pembangunan. Hal-hal tersebut merupakan sumber sekaligus
parameter dalam menguji substansi peraturan perundangan yang akan dibentuk.

Maka, meskipun terdapat target waktu untuk selesai, namun kodifikasi


hukum pidana ini tidak boleh dilakukan terburu-buru, tanpa dikaji satu per satu
bidang yang akan diatur hingga tuntas. Selain dapat bertentangan dengan prinsip-
prinsip dasar kemanusiaan dan asas keadilan, dampak yang dapat ditimbulkannya
pun terlalu besar. Ketika hukum tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, maka
akan terjadi penolakan oleh masyarakat. Sehingga, seharusnya pembentukan
hukum harus selalu mempertimbangkan perlindungan terhadap HAM, baik dalam
pendekatan filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

2
Legislasi dan Struktur Hukum
Drama politik produksi rumah rakyat yang ramai menjadi tontonan namun gagal
menjadi tuntunan, diputar tahun ini. Polemik disahkannya UU MD3 oleh DPR
semakin membuktikan politik berkuasa atas hukum. DPR sebagai lembaga politik
telah merampas wewenang hukum dengan memunculkan klausul pemanggilan
paksa dan pembentukan pengadilan sendiri yang dijalankan oleh Mahkamah
Kehormatan DPR.
Realitas baru transformasi ruang publik dari Orde Baru ke Reformasi
nyatanya masih menyajikan kisah kekuasaan yang sama otoriternya, hanya
berganti lakon dan jam tayang saja. Syukurlah happy ending, Mahkamah
Konstitusi yang awalnya diragukan akan memutus perkara sesuai track-
record kewenangannya, telah membatalkan sebagian pasal yang nyata
kontroversi untuk membuat DPR menjadi lembaga dengan kekuasaan luar biasa.
Lain kisah dengan saudara tuanya, Mahkamah Agung (MA). Setelah tahun
lalu apresiasi diberikan pada MA yang melakukan terobosan progresif dengan
komitmen bagi kesetaraan gender dan non-diskriminasi, namun sayang,
implementasi masih di angan-angan. MA tampak gagap menjalankan
komitmennya sendiri.
Sikap MA yang memutus Baiq Nuril bersalah dalam putusan tingkat kasasi
membuktikan MA gagal menerapkan sistem peradilan yang bersifat setara bagi
perempuan, sedangkan hal tersebut telah diaturnya sendiri dalam Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) RI No. 3 tahun 2017. Perma ini adalah komitmen MA
dan lembaga peradilan manapun di Indonesia dalam peradilan yang non-
diskriminasi. Terkait dengan perspektif gender, Perma menjadi Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Perma ini sangat penting karena hingga kini masih banyak terjadi
diskriminasi terhadap perempuan, yakni segala pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang berdampak
mengurangi/meniadakan pengakuan, atau penggunaan HAM dan kebebasan-
kebebasan pokok di berbagai bidang. Nyata terdapat “relasi kuasa” dalam
peradilan, yakni relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan, juga
ketergantungan status sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang
menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lain yang dirugikan.

3
Kasus peradilan lain yang berhubungan dengan relasi kuasa adalah
dipidananya ‘WA’, seorang anak berusia 15 tahun yang menjadi korban
pemerkosaan. Dirinya dipidana telah melakukan aborsi, dan dikenai vonis dengan
hukuman enam bulan penjara. Jaksa dan majelis hakim mengabaikan fakta
trauma psikologis pada korban yang tidak berdaya menanggung beban kejadian
yang dialami. Padahal, tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat
dibebankan kepada anak korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis,
sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan tahun 2009.

Budaya Hukum
Aspek kultural yang berkembang dalam masyarakat merupakan pengikat sistem
hukum yang ada. Selain nilai-nilai, terdapat pula sikap dan pola perilaku yang
akan menangkap ide tentang hukum, dan posisinya dalam tatanan sosial. Jika
masyarakat membawa nilai-nilai positif, maka hukum akan diterima dengan baik.
Sebaliknya jika negatif, maka masyarakat akan menentangnya, bahkan
menganggap hukum itu tidak perlu atau tidak ada.
Persoalan stagnasi budaya hukum yang hingga kini terjadi adalah
keengganan masyarakat untuk menempuh jalur hukum di saat dirinya mengalami
tindakan pidana ataupun ketidakadilan. Kekerasan terhadap kelompok minoritas
dan rentan adalah kondisi nyata yang sering tak terlihat. Kekerasan seksual
terhadap perempuan dan anak adalah contoh lain dari daftar panjang tindak
pidana dan pelanggaran HAM yang tidak dilaporkan. Selain karena relasi kuasa
dan faktor psikologis korban, kondisi itu juga terjadi karena ketidakpercayaan
pada sistem hukum untuk mampu melindungi hak dasarnya sebagai warga negara
dan manusia.
Pada beberapa kasus, aturan perundangan masih berkutat pada materi
hukum yang didorong oleh sekelompok masyarakat tertentu yang memiliki
pengaruh atau kekuatan menyuarakan pendapatnya. Dibantu oleh media yang
berperan sebagai mesin-viral, wacana dan pendapat tersebut berkembang
menjadi hal yang seolah-olah paling penting atau dibutuhkan. Budaya hukum dan
politik yang dibangun oleh propaganda kekuatan dan/atau kekuasaan itulah yang
kini kian berkembang, mengambil kekosongan nilai-nilai positif yang telah terkikis
atau ditinggalkan oleh masyarakat.

Dalam konteks politik saat ini, perkembangan budaya hukum dapat diamati
dari proses penegakan hukum yang tidak berjalan pada para pelaku ujaran

4
kebencian dan hoax di ruang-ruang publik, yang telah memberikan kepuasan dan
kepercayaan diri lebih besar, hingga berpotensi dicontoh secara masif dan
dijadikan model dalam strategi politik elektoral. Hal tersebut terlepas dari
spekulasi wacana ‘teori strategi politik’ yang sengaja dibuat untuk menghilangkan
kepercayaan publik pada hukum dan pemerintah. Politik identitas –fragmentasi
masyarakat dalam identitas gender, kepercayaan, ras, agama, etnis, dan
ekonomi–, akhirnya masih menjadi mainan dan alat politik di pemilu serentak
mendatang.

Penutup

Sebagai penutup, perlu diingat bahwa fungsi hukum bukan sekedar tegaknya
aturan formil, tetapi untuk mewujudkan keadilan materil. Keadilan sebagai
substansi tidak boleh ditinggal oleh formalitas hukum yang kerap dipakai oleh
para juris yang lebih berperan hanya sebagai ‘robot hukum’.

Pemenuhan hak-hak kehidupan manusia merupakan nyawa dari


hukum. Sebagai sebuah prinsip, pelanggaran HAM adalah peniadaan hak kodrati
universal yang melekat pada martabatnya seorang manusia; yang adalah milik
semua orang dari segala bangsa. Maka, jaminan penghormatan pada HAM harus
bersifat universal dan menyeluruh. Sehingga dapatlah disimpulkan, bahwa aturan
hukum yang tidak berlandaskan pada prinsip HAM merupakan hukum yang tidak
baik; demikian pula dengan penegakan hukumnya.

Anda mungkin juga menyukai