Anda di halaman 1dari 20

KEJAHATAN KORPORASI

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA


KORUPSI (Studi Kasus : Korupsi Dana Bansos)”

Dibimbing oleh

LALU SAIPUDIN SH.,MH

Disusun oleh:

NI LUH PUTU RAY KARTIKA

(D1A019427)

Kelas: Kejahatan Korporasi A1

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2022

1
Kata pengantar

Puji syukur prnuulis panjatkan atasa kehadiran Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat rahmat
dan karunia-NYA lah penulis dapat menbyelesaikan tugas mata kuliah Kejahatan Korporasi
berupa makalah yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI SEBAGAI
PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus : Korupsi Dana Bansos Juliari Batu Bara)”

Dalam penyeleaian makalah ini penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak baik bantuan
secara materil ataupun juga moril. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang
Tua yang selalu memberi support, bapak Lalu saipudin SH.,MH selaku dosen pembimbing mata kuliah
dan rekan kuliah serta semua pihak yang telah membabntu dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis yang masih dalam proses belajar menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Olek karena itu, penulis mengharapkan kritik dan juga saran yang bersifat membangun agar penulis dapat
lebih baik lagi di kemudian hari. Dan terahir, semoga makalah ini dapat memberi banyak manfaat kepada
penulis sendiri dan juga pembacanya. Sekian terimakasih.

Penulis

2
Daftar Isi

Kata pengantar.......................................................................................................................2

Daftar isi................................................................................................................................3

BAB I : Pendahuluan

1.1 Latar Belakang............................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................5

BAB II : Tinjauan Pustaka

2.1 Tinjauan tentang korupsi............................................................................................6

2.2 Tinjauan tindak pidana korupsi oleh korporasi..........................................................7

BAB III : PEMBAHASAN

3.1 Korporasi....................................................................................................................9

3.2 Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana................................12

BAB IV : PENUTUP

4.1 Kesimpulan......................................................................................................................18

4.2 Saran................................................................................................................................18

Daftar Pustaka.......................................................................................................................20

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal tahun 2019 terdapat satu jenis virus yang mengancam kehidupan
manusia di dunia. Virus tersebut bernama Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
telah dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) debagai Global Pandemic
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) serta
bencana nonalam berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 ‘’’0
tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
Dalam rangka penanganan, pengendalian dan/atau pencegahan pandemi covid-19 beserta
dampaknya khususnya di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial, pemeritah dapat menetapkan
bauran kebijakan melalui penetapan pendanaan antara pemerintah dengan badan usaha yang
bergerak di bidang pembiayaa pelayanan kesehatan dan skema lainnya. Contoh nyata upaya
pemerintah mengatasi dampak pandemi ini adalah dengan menyelenggarakan program dana
bantuan sosial (Bansos) bagi masyarakat miskin atau mereka yyang terkena dampak pandemi.
Pemerintah membentuk badan khusus untuk menangani pandemi covid-19, yaitu dengan
membentuk komite khusus penangana covid-19 da n dewan Nasional Pemulihan Ekonomi (PEN)
dimana pembentukan panitia ini tertuang dalam peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang
Penanganan Penyakit Virus Corona 2019 (Covid-19) dan Panitia Pemulihan Ekonomi.
Dana bantuan sosial (BANSOS) yang seharusnya dimanfaatkann meningkatkan konnsumsi
rumah tangga, meningkatkan daya beli, meningkatkan investasi, menghidupkan kembali usaha
usaha masyarakat dan mengatasi segala permasalahan yang timbul akibat. Namun nyatanya
kebijakan pemerintah tersebut justru disalahgunakan oleh oknum tertentu salah satunya aksi
korupsi dalam dana bantuan sosial covid-19 yang dilakukan oleh menteri sosial Juliari Peter Batu
bara. Hal ini seakan menambah deretan kasus kejahatan kerah putih ( white collar crime) selain itu
kasus ini semakin membuktikan statment banyak orang tentang sangat jarang para pentinggi yang
tulus dan semakin tinggi jabatan maka semakin mempermudah para oknum untuk mencurangi
rakyat kecil. Dengan kewenangan dan kedudukan yang dimiliki maka para pejabat dan petinggi di
negeri ini dengan sangat mudahnya membentuk skenario untuk menutupi kejahatan yang
dilakukannya, misalnya korupsi bansos yang dilakukan oleh mantan mentri sosial ini. Menteri
juliari membentuk izin khusus yang terdiri dari direktur jendral perlinndungan jaminan sosial Papen

4
Nazarudin dan dua orang sebagai penjabat pembuat komitmen yakni Matheus Joko Santoso dan
Adi Wahyono. Langkah kedua, adalah menetapkan tim khusus untuk menunjuk langsung pemenang
tender dan menetapkan isi paket bansos, kemudian peserta tender diminta untuk menyerahkan fee
minimal 10% untuk satu paket sembako kepada Menteri Juliari. Fee tersebut figunakan untuk
memenuhi keperluan pribadi.
Kasus korupsi Juliari Batu Bara bukan merupakan kasus korupsi bantuan sosial yang pertama,
bahkan jumlah kasus korupsi dana bencana juga pernah mengemuka di beberapa daerah yang
mengalami bencana alam, seperti masyarakat Aceh korban Tsunami di Pulai Nias; Donggala dan
Sukabum; juga korban gempa bumi di lombok menurut catatann Indonesia Coruption Watch
(ICW) dalam sepuluh tahun terahir sedikitnya terdapat 87 kasus korupsi bencana yang tengah
ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, atau KPK. Nilai kerugian negara akibat korupsi dana bencana
ini cukup besar bahkan mencapai angka miliyaran rupiah (Yuntho 2020) 1
Untuk lebih memahami tentang korupsi khususnya yang dilakukan oleh korporasi serta sebab-
sebabnya dan pertanggungjawabannya maka penulis membuat makalah ini dengan judul
“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus :
Korupsi Dana Bansos )”

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan Korporasi?
b. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi?

1
https://antikorupsi.org/id/article/kronik-pemberantasan-korupsi-2008 terahir diakses tanggal : 10 oktober

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang korupsi


Fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas prilaku manusia dalam
interaksi sosial yang dianggap menyimpangserta membahayakan masyarakat dan negara. Korupsi
merupakan satu permmasalahan dan musuh negara yang sangat sulit untuk dimusnahkan dalam
upayya pemusnahannya diperlukan kerjasama antara semua pihak mengingat peraturan
perundangn-undangann sudah sangat banyak dibentuk salah satunya tentang Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau
Corruptus (Webster student dictionary : 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu
berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua 2. Dari bahasa Latin itulah
turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt : Perancis, yaitu
corruption; dan belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari
bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia, yaitu “korupsi” 3

Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya.27 Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak.
Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau
aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah
kekuasaan jabatannya4.

Menurut Benveniste korupsi didefinsikan menjadi 4 jenis yaitu sebagai berikut 5 :

a. Discretionery corruption ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan


menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik
yang diterima oleh para anggota organisasi.

2
Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional , cetakan kelima,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 4.
3
Ibid, hlm. 4.
4
Evi Hartanti, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8.
5
http://repository.uinbanten.ac.id/3417/5/BAB%20II.pdf terahir diakses 12 ktober 2022

6
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa
atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

c. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang


dimaksudkan unuk mengejar tujuan kelompok.

2.2 Tinjauan Tindak pidana Korupsi oleh korporasi


Secara etimologi tentang kata korporasi (Belanda : corpotatie, Inggris : Corporation,
Jerman : korporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan
kata lain yang berakhir dengan “tio” maka“corporatio” sebagai kata benda (substantivum),
berasal dari kata kerja“corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan
atau sesudah itu6 Menurut Utrecht dan Moh. Soleh Dijndang tentang Korporasi ialah : suatu
gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek
hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi
mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing. 7
Menurut Helbert Edelherz perbuatan pidana korupsi disebutkan sebagai berikut : “white
collar crime : an illegal act or services of illegal acts committed by nonphysical means and by
concealment or guile, to obtain or property, to avoid the payment or loss of money or property,
to obtain business or personal advantage”.(Kejahatan kerah putih : suatu perbuatan atau
serentetan perbuatan yang bersifat illegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal
bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari
pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis/keuntungan
pribadi.)
Secara umum, istilah korupsi selama ini mengacu pada berbagai tindakan gelap dan
tidak sah untuk mendapatkan keuntungan prbadi atau kelompok yang dikualifikasikan sebagai
perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri orang lain, atau badan hukum (sekarang
diperluas dengan istilah korporasi). Namun, dalam perkembangan terakhir, dari beragam

6
E-book Soetan K Malikoel Adil, dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Dalam Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Kencana Prenandamedia Group, Jakarta, hlm. 23
7
Chidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 64.

7
pengertian korupsi terdapat penekanan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau
kedudukan publik untuk keuntungan pribadi, orang lain, atau korporasi.
korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam
perundang-undangan khusus di luar KUHP, yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk
hukum pidana umum atau KUHP itu sendiri masih menganut subjek hukum pidana secara
umum, yaitu manusia (Pasal 59 KUHP).
Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi
sosial, menurut Satjipto Rahardjo : modernisasi sosial dampaknya pertama harus diakui, bahwa
semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politik yang
terdapat disitu, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan
menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan
yang santai, tetapi dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi terorganisasi, jelas dan
terperinci. Sekalipun cara-cara seperti ini mungkin memenuhi kebutuhan masyarakat yang
samakin berkembang, namun persoalan-persoalan yang ditimbulkan tidak kurang pula
banyaknya.8
Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literatur sering disebut juga dengan
“Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya melainkan muncul seiring
dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak
pidana korporasi ini berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis
kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white collar crime itu sendiri
Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie memberikan definisi yaitu sebagai : white
collar crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial
and bussines world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated frauds
of senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara popular dikenal sebagai tindak
pidana korporasi (corporate crime) atau lebih simpelnya disebut dengan kejahatan-kejahatan
yang dilakukan oleh orang – orang yang memiliki kewenangan dan jabatan tinggi.

8
Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, hlm. 3-4

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Korporasi
Secara umum, hukum tidak hanya mengatur manusia sebagai subjek hukum, akan
tetapi selain manusia perseorangan dikenal pula subjek hukum yang lain yaitu badan
hukum (korporasi) yang padanya melekat hak dan kewajiban hukum layaknya manusia
perseorangan sebagai subjek hokum, oleh karena itu, untuk mencari tahu apa yang
dimaksud dengan korporasi, tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini
disebabkan oleh karena istilah korporasi sangat erat kaitannya dengan istilah “badan
hukum” yang dikenal dalam bidang hukum perdata. Perlu pula dikemukakan bahwa
menurut Rudi Prasetya, “Kata korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan di
kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain,
khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa
Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal
entities atau korporasi9
Sedangkan jika dilihat berdasarkan etimologisnya, pengertian korporasi yang dalam
bahasa lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation
(Jerman), merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin yaitu “corporatio”10
Menurut Garner dan Bryan A, mengemukakan bahwa pengertian korporasi diambil
dari istilah dalam bahasa Inggris "Corporation" yang berarti badan hukum atau
sekelompok orang yang oleh Undang-Undang diperbolehkan untuk melakukan perbuatan
sebagaimana seorang individu sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang
sahamnya11

Dilain kesempatan, Kenneth S. Ferber dalam bukunya Corporation Law menyatakan


bahwa:

9
Kristian, Urgensi pertanggungjawaban pidana korporasi
10
ibid
11
Kristian, Urgensi pertanggungjawaban pidana korporasi

9
Korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja yang dapat
dilakukan oleh manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual properti, baik yang nyata
secara pribadi dan resmi atas namanya sendiri.
Mengenai hakekat dari korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat dari
pernyataan klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan bahwa: Korporasi adalah
suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikirannya sendiri dibanding dengan tubuhnya
sendiri; kehendak yang dijalankan dan bersifat mengarahkan harus secara konsisten
dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin disebut agen atau wakil, tetapi
yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan kehendak dari korporasi, yaitu ego dan pusat
korporasi

Dari pendapat di atas terlihat bahwa ada perbedaan ruang lingkup mengenai subjek
hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum perdata dengan
korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum pidana. Pengertian korporasi
dalam bidang hukum perdata adalah “badan hukum”, sedangkan dalam hukum pidana
pengertian korporasi bukan hanya yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan
hukum. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa beberapa pengertian korporasi
sebagaimana dikemukakan diatas merupakan pengertian korporasi yang disampaikan
oleh para ahli hukum sedangkan perumusan definisi sebagai hukum positif belum ada.
Keadaan ini tentu dalam prakteknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena
penafsiran apa yang dimaksud dengan “korporasi” akan sangat bergantung dari pendapat
siapa kita berangkat. Singkatnya, apabila dilihat dari sudut pandang hukum pidana
Indonesia, terminologi “korporasi” belum didefinisikan secara tegas. Hal ini merupakan
hal yang wajar mengingat dalam hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan
Belanda masing menganut individual responsibility.
Namun demikian, didalam beberapa Undang-Undang yang bersifat khusus seperti
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan didalam
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang yang sudah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek
hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang

10
dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hokum.
Berikut ini akan diuraikan Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang
terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan khusus diluar KUHP yang ruang
lingkupnya diatur sedemikian luas (lebih luas dari pengertian korporasi dalam hukum
perdata) yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-undang berikut ini:16 Undang-Undang
Nomor 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
UndangUndang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos; Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian; dan lain sebagainya. Berdasarkan ketentuan dalam berbagai
Undang-Undang tersebut diatas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa12:
1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu,
yang diatur dalam undang-undang khusus;
2. Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tetapi digunakan istilah yang
bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten;
3. Istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam UndangUndang Psikotropika
yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep KUHP atau Rancangan KUHP tahun
1993.

Dari berbagai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan korporasi sebagai
subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang khusus diluar KUHP. Oleh
karena, perumusan korporasi sebagai subjek hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas
dalam Buku KUHP sehingga dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi
baik tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur diluar
KUHP. Hal ini dapat dijumpai dalam Rancangan KUHP (yang selanjutnya akan disingkat
RKUHP) tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 47 yang menyatakan: “Korporasi merupakan
subyek tindak pidana” dan pasal 182 yang menyatakan bahwa: “Korporasi adalah
kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum”

12
Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 226.

11
3.2 Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering disebut juga dengan
“Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya melainkan muncul seiring
dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana
korporasi ini berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis
kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white collar crime itu sendiri
Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie memberikan definisi yaitu sebagai: white
collar crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial
and bussines world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated frauds of
senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara popular dikenal sebagai tindak
pidana korporasi (corporate crime)13

Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box mengemukakan tipe dan
karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan
tindak pidana atau kejahatan konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang
lingkup tindak pidana korporasi melingkupi:14

1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan
kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi
kejahatan).
3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti
pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban.

Dalam tulisan ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah Crimes for corporation yakni
kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan
tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan. Berkaitan dengan korban kejahatan korporasi ini,
Muladi membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan korporasi
sebagai berikut:
13
Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 44.
14
Muladi dan Dwija Priyatno hal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
1995), hal. 41.

12
Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan mudah, sedangkan pada
kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak, seperti pemerintah, perusahaan lain
atau konsumen yang jumlahnya banyak, sedangkan secara individual kerugiannya sangat sedikit.

Dilihat dari segi historis, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat melakukan
tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana sudah berlangsung
sejak 1635. Pengakuan korporasi ini dimulai ketika sistem hukum Inggris mengakui bahwa
korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana namun hanya terbatas pada tindak pidana
ringan. Berbeda dengan sistem hukum Inggris, di Amerika Serikat, Eksistensi korporasi sebagai
subjek hukum pidana yang diakui dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana baru diakui eksistensinya pada tahun 1909 melalui putusan
pengadilan.15

Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi pertanggungjawaban korporasi atau mengakui


korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana berkembang pula pada beberapa Negara seperti
Belanda, Italia, Perancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberapa Negara Eropa termasuk
berkembang pula di Indonesia.

Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia, menurut
KUHP Indonesia, karena KUHP Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil
law) sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara common law seperti Inggris,
Amerika Serikat dan Canada. Di negara-negara Common Law tersebut perkembangan
pertanggungjawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Pengadilan Inggris
mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi pidana denda karena
kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum.16 Perlu pula dikemukakan bahwa
pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul pada dasarnya tidak melalui
penelitian yang mendalam dari para ahli hukum, melainkan hanya sebagai trend akibat dari
adanya kecenderungan dari formalisme hukum (legal formalism). Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi berkembang melalui peran pengadilan
tanpa adanya teori pendukung yang membenarkannya. adanya kecenderungan dari formalisme

15
Kristian, Urgensi pertanggungjawaban pidana korporasi
16
Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi,

13
hukum (legal formalism). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa doktrin pertanggungjawaban
pidana korporasi berkembang melalui peran pengadilan tanpa adanya teori pendukung yang
membenarkannya.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, konsep pertanggungjawaban korporasi yang hanya


terbatas bagi tindak pidana ringan dirasakan tidak mencukupi oleh sebab itu konsep
pertanggungjawaban korporasi hanya terbatas pada tindak pidana ringan hanya bertahan hingga
akhir abad ke-1913. Setelah itu, para ahli hukum khususnya ahli hukum pidana barulah mencari
dasar pembenar perlunya korporasi dianggap sebagai subjek hukum pidana yang dapat
melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Berikut
beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar pembenar korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana:

1. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat
demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana korporasi hanya
dijatuhi sanksi keperdataan.17
2. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga kehadiran
hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi
tindakan-tindakan actor rasional korporasi.
3. Tindakan korporasi melalui agen-agennya pada satu sisi seringkali menimbulkan
kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga kehadiran sanksi pidana diharapkan
mampu mencegahnya dari mengulangi tindakannya itu.
4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk menghindari
tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;
5. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik
yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk
dimungkinkan memidana korporasi, korporasi, atau pengurus saja;
6. Mengingat didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang
penting pula;
7. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan menegakkan norma-norma dan
ketentuan yang ada dalam masyarakat;

17
Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi

14
Mengenai bentuk pertanggungjawaban koorporasi dalam hukum pidana harus ada
kesalahan yang menyertai suatu perbuatan, yang mana perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Jadi dalam konsep hukum pidana, hanya manusia yang
dipandang dapat melakukan kesalahan dan sekaligus dimintakan pertanggung jawaban. Sudarto
mengatakan bahwa asas kesalahan (geen straf zonder schuld) merupakan asas yang
fundamental dalam pemidanaan. Meskipun orang telah melakukan tindak pidana, tidak selalu
dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dijatuhi pidana apabila orang itu
mempunyai kesalahan atau dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Kapan orang
(pelaku atau pembuat) itu dikatakan mempunyai kesalahan?. Mengenai hal ini Sudarto
menyatakan bahwa unsur-unsur kesalahan terdiri dari pertama, adanya kemampuan
bertanggung jawab pada si pembuat (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit), artinya
keadaan jiwa si pembuat harus normal; kedua, hubungan batin antara si pembuat dengan
perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk-
bentuk kesalahan; ketiga, tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada
alasan pemaaf.

Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek tindak


pidana, muncul pertanyaan, untuk mempertanggungjawabkan korporasi, apakah diperlukan
kemampuan bertanggungjawab? Nampaknya merupakan hal yang tidak mudah mencari dasar
kemampuan bertanggungjawab korporasi, karena korporasi sebagai subyek tindak pidana
tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (naturlijk
persoon). Namun demikian, persoalan tersebut dapat diatasi apabila kita menerima konsep
kepelakuan fungsional (functioneel daderschap). Menurut Wolter, kepelakuan fungsional
(functioneel daderschap) adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasi tindak
pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan dari masyarakat.
Ciri khas dari kepelakuan fungsional, yaitu perbuatan fisik dari yang satu (yang sebenarnya
melakukan atau membuatnya) menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain.

Apabila kita menerima konsep functioneel daderschap, maka kemampuan


bertanggungjawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum
pidana. Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam
pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah.

15
Oleh karena itu kemampuan bertanggungjawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas
nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subyek
tindak pidana
Unsur kedua dari pertanggungjawaban atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya
adalah hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya. Hubungan batin ini berupa
kesengajaan dan kealpaan. KUHP kita tidak memberikan pengertian atau definisi tentang
kesengajaan dan kealpaan. Namun kita dapat menemui pengertian dua hal tersebut dalam
Memorie van Toelichting (M.v.T), yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai ‘menghendaki’
dan mengetahui (willens end wetens). Sedangkan kealpaan dalam M.v.T dijelaskan bahwa pada
umumnya bagi kejahatan, undang-undang mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan
kepada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang
mungkin besar bahayanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika
terjadi akan menimbulkan banyak kerugian-kerugian sehingga undang-undang harus bertindak
pula terhadap mereka yang tidak hati-hati. Untuk menentukan kesengajaan dan kealpaan dalam
rangka mempertanggungjawabkan tindak pidana korporasi memang menjadi persoalan, karena
korporasi tidak mempunyai sifat kejiwaan seperti layaknya manusia. Jadi tidaklah mungkin dapat
menentukan antara hubungan batin sipembuat (dalam hal ini korporasi) dengan perbuatannya.
Selain bentuk pertanggungjawaban disebut diatas, Muladi menyebutkan model
pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:

Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab.


a. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab.
b. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung
jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban
yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak
memenuhi kewajiban diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan
yang menghapuskan pidana. Adapun dasar pemikirannya adalah: korporasi itu sendiri tidak
dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, tetapi selalu penguruslah yang
melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana

16
Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab, maka
ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang
bertanggung jawab; yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan
oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasasrkan anggaran dasarnya.
Tindak pidana yang dilakukan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang
tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadi
tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung
jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu ataukah tidak tentang dilakukannya
perbuatan itu.
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya
adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata
untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana
ternyata tidak cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai
hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh
korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam
masyarakat, atau yang diderita oleh saingannya, keuntungan dan/atau kerugian itu adalah
lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak
memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan
yang telah dilarang oleh undang-undang itu.

17
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

pengertian korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris "Corporation" yang berarti
badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-Undang diperbolehkan untuk
melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu sebagai subjek hukum, berbeda dengan para
pemegang sahamnya Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan
mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat abstrak, seperti
pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya banyak, sedangkan secara
individual kerugiannya sangat sedikit. Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi
pertanggungjawaban korporasi atau mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana yang
dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dimintakan pertanggungjawaban secara pidana
berkembang pula pada beberapa Negara seperti Belanda, Italia, Perancis, Kanada, Australia,
Swiss, dan beberapa Negara Eropa termasuk berkembang pula di Indonesia

Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian
tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu
kemampuan bertanggungjawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi
dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subyek tindak pidana
pertanggungjawaban atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah hubungan batin
antara pembuat dengan perbuatannya. Hubungan batin ini berupa kesengajaan dan kealpaan.
karena korporasi tidak mempunyai sifat kejiwaan seperti layaknya manusia. Jadi tidaklah
mungkin dapat menentukan antara hubungan batin sipembuat (dalam hal ini korporasi) dengan
perbuatannya.

4.2 Saran

Korporasi merupakan pihak yang memiliki kedudukan dan kewenangan yang tinggi atau dalam
kata lain adalah yang berkuasa. Oleh karenanya, korporasi merupakan salah satu pihak yang
seharusnya turut berperan serta dalam melakukan upaya pencegahan korupsi. Korupsi bukan
merupakan satu permasalahan yang kecil sehingga dibutuhkan banyak pihak untuk memberantasnya

18
saling bahu membahu untuk menyelamatkan kehidupan di generasi selanjutnya dan keuangan negara.
Hal ini dapat dilakukan dengan berkontribusi pada pencegahan korupsi secara nasional dan pemerintah
mengupayakan untuk merubah sttrategi dari yang sebelumnya misalkan dengan membahas kebijakan
dan regulasi antikorupsi di Indonesia yang terkait dengan korporasi dan membahas program anti korupsi
serta evektifitasnya dengan menggandeng generasi milenial sebagai penggeraknya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional , cetakan kelima,
Rajawali Pers, Jakarta.

Evi Hartanti, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8.

Chidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 64.

Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung

Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002).

Muladi dan Dwija Priyatno hal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
1995).

Kristian, Urgensi pertanggungjawaban pidana korporasi. I201

Artikel dan E-Book

https://antikorupsi.org/id/article/kronik-pemberantasan-korupsi-2008

http://repository.uinbanten.ac.id/3417/5/BAB%20II.pdf

E-book Soetan K Malikoel Adil, dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana
KorporasiDalam Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Kencana Prenandamedia Group, Jakarta

20

Anda mungkin juga menyukai