Anda di halaman 1dari 27

TEORI –TEORI

HUKUM
MUHAMMAD FAIZ
B022191050
S2 MEGISTER KENOTARIATAN
1. TEORI HUKUM ALAM
Kesuksesan hukum hingga mencapai hukum yang positif (Ala Hans kelsen: The Pure
Of Law) di era hukum modern  tidak terlepas dari sumbangsi Hukum Alam. Dapat
dikatakan bahwa hukum alam menjadi citi-cita tertinggi dari hukum positif. Hal ini dapat
diamati pada Thomas Aquino yang membedakan hukum dalam empat kategori yakni:
•  Lex Eternal (hukum abadi) merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala ada
sesuai dengan tujuan dan sifatnya. Dari Lex Eternal itulah, semua hukum bersumber
dan mempunyai kekuatan tetap (mengikat). Lex Eternal hanya sebagian kecil dapat
dimengerti oleh manusia.
• Lex Naturalis (hukum alam) yaitu bagian dari Lex Eternal yang dapat dimengerti dan
ditangkap oleh manusia sebagai makhluk yang mempunyai rasio. Manusia
menerapkan Lex Naturalis dalam peri-kehidupannya sehingga ia dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk.
• Lex Divina (hukum ketuhanan positif) yakni, hukum yang diwahyukan Tuhan bagi
segenap manusia. Lex Divina ini tercantum dalam kitab suci.
• Hukum positif buatan manusia, ialah hukum yang diciptakan manusia dengan jalan
menurunkannya dari Lex Naturalis.
• Hukum alam dari segi penamaan dikenal beberapa istilah yang
sama seperti, hukum kodrat, hukum abadi, dan hukum
asasi. Perbedaan peristilahan tersebut tentunya tidak terlepas
dari konteks sejarah dari beberapa pemikir hukum alam.
• Pastinya, hukum alam itu, menganggap ada kaidah yang
sifatnya universal. Oleh karena ada kaidah yang universal
maka tak pelak ketika Plato menyadari bahwa ide dalam
bukunya The Republic yakni “negara seyogianya dipimpin
oleh para cendikiawan, yang bebas, tidak terikat pada hukum
positif, tetapi pada keadilan” harus ia revisi dalam
bukunya The Law, ketika ia menyadari sulit mendapatkan
cendikiawan ideal dalam memimpin sebuah nengara, maka
satu-satunya jalan adalah negara harus melaksanakan
keaddilan berdasarkan kaidah-kaidah tertulis.
Hukum alam malah harus tunduk pada hukum positif dan otoritas negara
berdasarkan ide dari Plato, kemudian di amini  juga oleh Kelsen.  Hukum
alam tetap memilki perananan dalam berbagai fungsi sebagaimana
dikemukakan oleh Friedman (1976: 6) yakni:
• Dipergunakan hukum alam untuk mengubah hukum perdata Romawi yang
lama menjadi suatu sistem hukum umum, yak berlaku di seluruh dunia.
• Dipergunakan sebagai senjata dalam perebutan kekuasaan antara gereja
dari abad pertengahan dan kaisar-kaisar Jerman, baik oleh pihak Gereja
maupun pihak lawannya.
• Dipergunakan sebagai dasar hukum internasional dan dasar kebebasan
perseorangan terhadap pemerintah yang absolut.
• Dipergunakan oleh para Hakim di Amerika Serikat dalam menafsirakan
konstitusi. Dengan asas-asas hukum alam, para hakim menentang usaha-
usaha negara bagian yang dengan menggunakan perundang-undangan
hendak membatasi kebebasan perseorangan dalam soal-soal yang
meyangkut ekonomi.
• Dipergunakan untuk mempertahankan pemerintah yang
berkuasa atau setidaknya mengobarkan pemberontakan
terhadap kekuatan yang ada.
• Dipergunakan dalam waktu yang berbeda-beda untuk
mempertahankan segala bentuk ideologi.
• Sebagai dasar ketertiban internasional, hukum alam terus-
menerus memberikan ilham kepada kaum Stoa, ilmu dan
filsafat hukum Romawi, pendeta-pendeta dan gereja-gereja
abad pertengahan.
• Dengan melalui teoriteori Locked dan Paine, hukum alam
memberikan dasar-dasar kepada filsafat perseorangan dalam
konstitusi Amerika Serikat dan Undang-undang Dasar modern
lainnya.
Hukum alam sekarang ini ketika hukum sudah demikian
positifnya dalam ketentuan perundang-undangan terkadang
disangkali sebagai bukan hukum. Namun ia tidak membuka
mata. Tidakkah orang yang berpaham demikian, bahwa
dimanapun kejahatan pencurian adalah sebuah kejahatan, karena
mengambil “Hak Milik”  hak milik adalah sesuatu yang asasi
dalam setiap orang.
2. TEORI KEDAULATAN
• Kedaulatan kedalam (interne souverniteit), ialah bahwa
kekuasaan negara itu ditaati dan dapat memaksakan untuk
ditaati oleh rakyatnya.
•  Kedaulatan keluar (externe souverniteit), ialah bahwa
kekuasaan negara itu mampu mempertahankan diri terhadap
serangan yang datang dari luar dan sanggup mengadakan
hubungan dengan luar negeri. Kedaulatan keluar ini biasanya
disebut “kemerdekaan” (independence).
Kedaulatan_ sovergnty, sering diartikan sebagai “kekuasaan
tertinggi”, merupakan kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu
negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa campur tangan
dari pemerintah Negara lain. Bagi Jean Bodien, kedaulatan itu
bersifat mutlak. Raja bersifat legibus sulutus. Seorang raja-lah
yang berdaulat sebagai pembentuk hukum yang tertinggi. Raja
adalah bayangan Tuhan. Maka dalam personifikasinya kedaulatan
itu bersifat langgeng (permanence), tidak dapat dipisah-
pisahkan (indivisible), sebagai kekuasaan
tertinggi (supreme), tidak terbatas, dan lengkap (complete).
Teori kedaulatan yang dikemukakan oleh Jean Bodien
dianggap sebagai teori kedaulatan tradisional. Teori kedaulatan
tersebut ditolak oleh aliran pluralisme politik, bahwa teori
kedaulatan Boedin merupakan pandangan yang sempit dan tidak
berdasarkan alasan-alasan yang kuat, yang menolak masyarakat
yang bersifat pluralis. Tidak ada satupun dari pengelompokan itu
yang dapat diutamakan atau yang lebih tinggi dari pada yang
lain. Terhadap permasalahan tersebut muncul beberapa paham
atau teori yang memberi jawaban, yang masing-masing
menimbulkan suatu teori atau ajaran kedaulatan.
a. KEDAULATAN TUHAN (God
Sovergnty)
Tuhanlah merupakan sumber tinggi dari segala kebijakan rakyat.
Yang dijalankan oleh penguasa atau raja. Ajaran ini berkembang
pada zaman pertengahan (abad ke-5 – abad ke-15). Paham
kedaulatan Tuhan menganggap bahwa pemerintah/ negara
memperoleh kekuasaan yang tertinggi dari Tuhan. Dunia beserta
segala isinya adalah hasil ciptaan Tuhan. Kedaulatan Tuhan
melahirkan sebuah negara yang berdasarkan pada teokrasi
_ Theocratische Theorien (theos: tuhan; kratein: memerintah).
b.KEDAULATAN RAJA(Sovergnty of
the King)
Menurut teori ini,  adanya negara merupakan kodrat alam. 
Kekuasaan yang tertinggi dimiliki oleh pemimpin/ penyelenggara
negara dianggap berasal dari kodrat alam. Dengan kata lain 
kodrat alam merupakan satu-satunya sumber dari kedaulatan.
Setiap hukum akan mengikat karena dikehendaki oleh negara
menurut kodrat alam. Oleh karena itu segala kebijakan negara
adalah kebijakan yang benar dan berguna bagi rakyat. Rakyat
tidak dapat berbuat apa-apa, seluruh kemauan dan kehendak dari
rakyat sudah menjadi milik penguasa.
c. KEDAULATAN RAKYAT (People’s
Sovergnty)
Teori ini merupakan reaksi terhadap teori kedaulatan Tuhan
maupun kedaulatan raja. Dalam teori ini kedaulatan Tuhan
dinyatakan sebagai teori yang tidak terealiasi atas kehendak
baik (good will) Tuhan. Oleh karena raja seharusnya memerintah
rakyat dengan adil, dan jujur sesuai dengan kehendak Tuhan,
namun kenyataan banyak raja yang bertindak sewenang-wenang.
d. KEDAULATAN NEGARA(State’s
Sovergnty)
Ajaran kedaulatan negara adalah tidak lain merupakan
kelanjutan dari ajaran kedaulatan raja dalam susunan kedaulatan
rakyat, yang berkembang di Jerman dalam rangka
mempertahankan kedudukan raja yang didukung oleh golongan
bagsawan (junkertum), golongan angkatan
perang (militair), golongan alat-alat pemerintah (birokrasi).
Dalam ajaran ini rakyat dianggap  sebagai elemen negara yang
membentuk diri menjadi negara. Rakyat adalah negara. Rakyat
berdaulat otomatis juga negara berdaulat
d. KEDAULATAN HUKUM
Teori ini mengajarkan, bahwa pemerintahan memperoleh
kekuasaannya bukanlah dari Tuhan, raja, negara, maupun rakyat,
akan tetapi berasal dari hukum. Ajaran ini sebenarnya sudah lama
diungkapkan oleh filsuf Aristoteles, bahwa tak akan bisa
diketemukan seorang bijak (baca: filsuf) yang dapat menjadi
pemimpin, maka yang harus memimpin adalah hukum, seorang
yang menjadi pemimpin  harus bertindak berdasarkan hukum.
3. TEORI POSITIVESME
Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang
perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das
sein dan das sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada
hukum lain, kecuali perintah penguasa. Bahkan, bagian dari
Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme
berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan
Undang-Undang.
Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang
beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut
dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah
hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal
efektivitas hukum dalam masyarakat. Termasuk dalam aliran ini
ajaran Analytical Jurisprudence yang dikemukakan oleh John
Austin. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law is a
command (hukum merupakan perintah dari penguasa).
John Austin mendefinisikan hukum sebagai berikut: ”Law is
a command set, either directly or circuitously, by a sovereign
individual or body, to a members of some independent political
society in which his auhority is supreme.” Jadi hukum adalah
seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari
pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang
merupakan masyarakat politik yang independen, dimana
otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang
tertinggi.
Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang berisi
perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan
dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan
terhadap mereka itu. Jadi, landasan dari hukum adalah
“kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai
suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical
system), dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat
biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-
peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa
memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk
Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak
pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai  suatu
perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh
Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya
hanya oleh perintah-perintah umum yang mengharuskan
seseorang atau orang-orang untuk bertindak untuk menaati
hukum tersebut.
4. TEORI HUKUM FEMINISME
Kata feminist dalam berbagai kamus sering diartikan sebagai
kata benda (noun) atau kata sifat (adjective) yang diakitkan
dengan kata feminism.
Dalam Merriam Webster’s Dictionary and
Thesaurus, feminist merupakan kata sifat (adjective)
dari feminism yang berarti (1) teori tentang kesetaraan politik,
ekonomi dan social berdasarkan jenis kelamin, (2) aktivitas yang
diorganisasi atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan.
((Merriam-Webster, 2006, Merriam-Webster’s Dictionary and
Thesaurus. Merriam-Webster’s Dictionary and Thesaurus,
Incorporated Springfield, Massachusetts. Hlm. 398))
Kata feminist sebagai kata benda (noun) berarti pula supporter
atau pendukung feminism, atau kata sifat (adjective) yang berarti
berhubungan dengan atau mendukung persamaan hak bagi
perempuan. ((Dictionary, WordNet, 2003, http://www.webster-
dictionary.org/. Princeton University, New Jersey-United States.
Sebagaimana diakses pada tanggal 2 Maret 2014 di
http://www.webster-dictionary.org/definition/feminist))
Feminism dalam pandangan para ahli dan aktivis feminis
memiliki beragam makna. Linda Gordon mengartikan feminism
sebagai “an analysis of women’s subordination for the purpose of
figuring out how to change it” (suatu analisis terhadap
subordinasi perempuan untuk tujuan mencari tahu bagaimana
mengubahnya). ((Fineman, Martha Albertson, 2005, Feminist
Legal Theory Journal of Gender, Social Policy & The Law))
Feminism kemudian juga dipandang sebagai suatu keyakinan
yang beroperasi dalam suatu group, yang berarti keinginan untuk
meningkatkan otonomi perempuan. Sehingga feminism berarti
pula gerakan atau upaya sekumpulan orang yang dilakukan atau
yang berorientasi pada perubahan posisi perempuan. ((ibid. hlm.
18-29))
Feminism kemudian juga dipandang sebagai suatu keyakinan
yang beroperasi dalam suatu group, yang berarti keinginan untuk
meningkatkan otonomi perempuan. Sehingga feminism berarti
pula gerakan atau upaya sekumpulan orang yang dilakukan atau
yang berorientasi pada perubahan posisi perempuan. ((ibid. hlm.
18-29))
5. TEORI HUKUM MURNI ALA KELSEN

(Dilahirkan 1881)
Pembahasan utama Kelsen dalam teori hukum murni adalah
membebaskan ilmu hukum itu dari unsur ideologis; keadilan,
misalnya oleh Kelsen dipandang sebagai konsep ideologis.
Kelsen melihat dalam keadilan sebuah ide yang tidak rasional,
dan teori hukum murni, ia mempertahankan, tidak bisa menjawab
pertanyaan tentang apa yang membentuk keadilan karena
pertanyaan ini sama sekali tidak bisa dijawab secara ilmiah. Jika
keadilan harus diidentikkan dengan legalitas. Dalam arti tempat
keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif
melalui aplikasi kesadaran atasnya.
Teori hukum murni, menurut Kelsen, adalah sebuah teori
ilmu hukum positif, yang berusaha menjawab pertanyaan “Apa
hukum itu”? tetapi bukan pertanyaan “Apa hukum itu
seharusnya”?. Teori hukum muri mengkosentrasikan diri pada
hukum semata-mata, dan berusaha membebaskan ilmu
pengetahuan dari campurtangan ilmu-ilmu pengatahuan asing,
seperti Psikologi, dan Etika.Menurutnya, hukum tidak bisa
dijadikan sebagai obyek penelitian sosial.16 Oleh karena itu
obyek tunggalnya adalah menentukan apa yang dapat diketahui
secara teoretis tentang tiap jenis hukum pada tiap waktu dan
dalam tiap keadaan

Anda mungkin juga menyukai