Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Hukum

Dosen Pengampu: Drs. Materan, M.H.I.

Disusun Oleh Kelompok 8:

1. Haikal Al-Fattah (2221508028)


2. Muhammad Ridho Arief Rausan Fikri (2221508008)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS SAMARINDA

2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aliran Hukum Alam


Perkembangan aliran hukum alam telah dimulai sejak 2.500 tahun
yang lalu, yang berasal pada keinginan untuk meraih tingkatan yang lebih
tinggi. Menurut pernyataan Friedman dalam konteks lintas sejarah bahwa
aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan
yang absoulut. Hukum alam di sini dipandang sebagai hukum yang bersifat
universal dan abadi.1
Secara sederhana hukum alam dapat diartikan sebagai hukum yang
aturannya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta, dan dari
akal serta perilaku manusia, oleh karenanya ia dianggap sebagai hukum yang
bersifat abadi. Para ahli filsuf memiliki berbagai pandangan yang berbeda
dalam memaknai hukum alam daiantaranya adalah:
1. Aristoteles
Menurutnya hukum alam adalah suatu hukum yang
berlaku selalu dan di mana-mana karena hungannya dengan
sendirinya, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam juga berbeda dengan hukum positif yang secara
keseluruhan hanya tergantung dari ketetapan manusia.
Hukum harus ditaati demi keadilan, keadilan selain
bagi keutamaan umum (hukum alam) juga keadilan sebagai
keutamaan moral khusus. Keadilan dapat menentukan
bagaimana hubungan yang baik antar sesama manusia,
contohnya keadilan dalam pembagian harta dan jabatan,

1
Sukarno Aburaera, Muhdar, and Maskun, Filsafat Hukum Teori & Praktik (Jakarta: Kencana, 2017).
keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum
pidana, keadilan dalam hukum privat dan lain-lain.
2. Thomas Aquinas
Dalam mengkaji hukum Aquinas membedakan antara
hukum yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau
akal budi manusia. Hukum yang didapat dari wahyu disebut
ilahi positif (ius divinuim positivum). Hukum yang didapatkan
berdasarkan akal budi adalah ‘hukum alam’ (ius naturale),
hukum bangsa-bangsa (ius gentium), dan hukum positif
manusiawi (ius positivium humanum).
3. Hugo Grotius
Grotius merupakan seorang humanisme, yang selalu
mencari dasar baru bagi hukum alam pada diri manusia.
Menurutnya manusia memiliki kemampuan untuk memahami
segalanya secara rasional melalui pemikirannya. Manusia
dapat menyusun hukum alam dengan prinsip a priori yang
dapat diterima secara umum, sehingga dapat dipandang sebagai
hukum yang berlaku secara riil layaknya hukum positif.2

Pada dasarnya aliran hukum alam dibedakan menjadi dua macam yaitu
aliran hukum alam irasional yang berpandangan bahwa segala bentuk hukum
berasal dari Tuhan dan bersifat universal kemudian aliran hukum alam
rasional yang berpandangan bahwa manusialah yang menjadi sumber dari
hukum alam yang bersifat abadi dan universal tersebut.

Gagasan yang termaktub dalam kedua pandangan hukum


menggambarkan bagaimana hukum alam diwujudkan sebagai bagian organik
dan esensial dalam hirarki nilai-nilai hukum pihak yang mendukung aliran

2
Ramlani Lina Sinaulan, Buku Ajar Filsafat Hukum, ed. Yuhelson (Yogyakarta: Zahir Publishing,
2021).
hukum alam irasional diantaranya; Thomas Aquinas, Jhon Salisbury, Dante,
Piere Dubois, Marsilius Padua, dan Jhon Wyclife. Adapun pihak yang
mendukung aliran hukum alam rasional adalah; Hugo de Groot (Grotius),
Cristian homasius, Immanuel kant dan Samuel von Pufendorf.

Membahas lebih lanjut tentang hukum alam rasional dan hukum alam
irasional pada dasarnya tetap berada pada satu jalur yang sama, di mana
kedudukan alam menjadi kunci utama dalam menemukan hakikat hukum
alam itu sendiri. Friedmann mencoba mengkonstruksi hukum alam dengan
memandang dari fungsi yang dimilikinya. Menurutnya, hukum alam memiliki
sifat jamak diantaranya:

1. Sebagai instrumen utama dalam transformasi dari hukum sipil


kuno pada zaman Romawi ke suatu sistem yang luas dan
kosmopolitan.
2. Sebagai senjata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara
gereja pada Abad Pertengahan dan para Kaisar Jerman.
3. Sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung
berlakunya hukum internasional, dan menuntut kebebasan
individu terhadap absolutisme.
4. Sebagai dasar bagi para hakim Amerika (yang berhak untuk
menafsirkan konstitusi) dalam menentang usaha-usaha
perundang-undangan negara untuk memodiikasi dan
mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang ekonomi
dengan menerapkan prinsip-prinsip hukum alam.3
B. Positivisme Hukum
Sebagai sistem filsafat, positivisme muncul sekitar abad ke-19. Sistem
ini memiliki prinsip bahwa sesuatu dipandang benar apabila ia tampil dalam
bentuk pengalaman, atau apabila ia sungguh-sungguh dapat dipastikan
3
Aburaera, Muhdar, and Maskun, Filsafat Hukum Teori & Praktik.
sebagai kenyataan, atau apabila ia ditentukan me lalui ilmu-ilmu pengetahuan
apakah sesuatu yang dialami merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.
Kaitannya dengan aliran hukum positif (positivisme hukum), maka
dipandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berla ku dan hukum, yang seterusnya, antara das Sein dan das
Sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada hukum lain kecuali perintah
penguasa (law is a command of the lewgivers). Bahkan pada bagian aliran lain
dari aliran hukum postif yang dikenal dengan nama legisme, memiliki
pandangan yang lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang
lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.4
Berdasarkan coraknya, positivisme hukum (aliran hukum positif)
terbagi menjadi dua bagian diantaranya:
1. Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence): John
Austin (1790-1859)
Didasari pada kalimat “hukum adalah perintah dari
penguasa Negara”, menurut Jhon Austin hakikat hukum
terletak pada kata “perintah” itu sendiri. Hukum dipandang
sebagai sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Dalam bukunya
yang berjudul The Province of Jurisprudence Determined,
Austin menyatakan, “A law is a command which obliges a
person or person…law and other commands are said to
proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”. Yang
artinya “Hukum adalah perintah yang mewajibkan seseorang
atau orang-orang ... hukum dan perintah lain dikatakan
berasal dari atasan, dan untuk mengikat atau mewajibkan
bawahan”.
Kemudian Austin menjelaskan, bahwa pihak yang
memiliki kekuasaan itulah yang mampu menetapkan apa yang
4
Aburaera, Muhdar, and Maskun.
diperbolehkan, adanya kekuasaan yang dimiliki itu memaksa
orang lain untuk taat, dengan memberlakukan hukum dengan
cara menakut-nakuti, serta mengarahkan tindakan orang lain
sesuai keinginannya. Ia juga mengatakan “Hukum adalah
perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil,
atau sebaliknya”. Lebih lanjut Austin membagi hukum dalam
dua jenis yaitu:
a. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine
laws).
b. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terbagi
dua yaitu:
1) Hukum yang sebenarnya. Hukum dalam
arti yang sebenarnya ini (disebut juga
hukum positif) meliputi hukum yang
dibuat oleh penguasa dan hukum yang
disusun oleh manusia secara individu
untuk melaksanakan hak-hak yang
diberikan kepadanya.
2) Hukum yang tidak sebenarnya. adalah
hukum yang tidak dibuat oleh penguasa,
sehingga tidak memenuhi persyaratan se
bagai hukum, seperti ketentuan dari
suatu organisasi olahraga. Hukum yang
sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu:
perintah, sanksi, kewajiban, dan
kedaulatan.5
2. Aliran Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973)

5
Serlika Aprita and Rio Adhitya, Filsafat Hukum, ed. Shara Nurachma (Depok: Rajawali Pers, 2020).
Menurut Hans Kelsen hukum harus bersih dari unsur-
unsur yang nonyuridis, seperti sosiologis, politis, historis,
bahkan etis. Pemikiran ini yang kemudian dikenal dengan teori
hukum murni dari Kelsen Jadi, hukum adalah suatu
sollenskagorie (kategori keharusan/ideal), bukan seins-kategori
(kategori faktual). Menurutnya hukum merupakan keharusan
yang mengatur perilaku manusia sebagai makhluk rasional.
Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah
“bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law thought to
be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Dengan
demikian, walaupun itu sollenskagorie, yang dipakai adalah
hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius
constituendum). Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat
dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen mengatakan
bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama
sekali tidak mengetahui karya Austin. Meski demikian, asal
usul filosofis Austin dan Kelsen memiliki corak yang berbeda
Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme,
sedangkan Austin pada Utilitarianisme.
Kelsen dianggap sebagai Neokantian karena ia
menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan bentuk dan
isi. Bagi Kelsen keadilan sebagai isi hukum berada diluar
hukum, karena menurutnya hukum berurusan dengan bentuk
(forma), bukan isi (materia). Maka suatu hukum dapat saja
tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh
penguasa. Di sisi lain Kelsen sendiri mengakui bahwa sejatinya
hukum positif bias saja tidak efektif lagi, ini terjadi karena
kepentingan masyarakat yang diatur sudah ada dan biasanya
dalam keadaan demikian penguasa pun tidak akan
memaksakan penerapannya. Misalnya dalam hukum pidana
keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan
istilah dekriminalisasi dan depenalisasi hingga suatu ketentuan
dalam hukum positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku
lagi, terutama secara sosiologis.6
C. Utilitarianisme
Aliran utilitarianisme ini lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri
metafisis dan abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran
ini merupakan aliran yang mengutamakan kemanfaatan sebagai tujuan
hukum. Adapun kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan
(happiness). Dengan kata lain baik buruknya suatu hukum tergantung pada
apakah hukum tersebut mampu memberikan kebahagiaan kepada manusia
atau tidak.
Kebahagiaan ini semestinya dapat dirasakan oleh setiap individu,
namun apabila kebahagiaan ini tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak
mungkin) oleh seluruh kalangan, maka diupayakan agar kebahagiaan tersebut
dapat dirasakan oleh sebanyak-banyaknya individu dalam masyarakat, (the
greatest happiness for greatest number of people).
Beberapa tokoh yang menjadi Pendukung Utilitarianisme yang paling
penting adalah:
1. Jeremy Bentham (1748-1832) Bentham
Menurut Bentham alam semesta telah memberikan
kebahagiaan dan kesusahan di dalamnya. Kebaikan adalah
kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan, sedangkan peran
hukum disini adalah memelihara kebaikan dan mencegah
kejahatan. Pandangan Bentham ini didasari oleh perhatiannya pada
individu-individu, baginya hukum semestinya pertama-tama
6
Aburaera, Muhdar, and Maskun, Filsafat Hukum Teori & Praktik.
memberikan jaminan kebahagiaan pada individu, bukan langsung
ke masyarakat secara keseluruhan, namun bukan berarti
kepentingan masyarakat dapat diabaikan.
Agar tidak menuai adanya bentrokan, serta untuk mencegah
timbulnya homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi
manusia lain) kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan
sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Selain itu untuk
menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat,
perlu adanya rasa simpati dari setiap individu, walaupun titik berat
perhatian harus ada pada individu, karena apabila setiap individu
memperoleh kebahagiaannya, secara simultan kebahagiaan atau
kesejahteraan masyarakat dapat diperoleh dengan sendirinya.
2. Jhon Stuar Mill (1806-1873)
Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan.
Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal
yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh
manusia bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan
kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.
3. Rudolf von Jhering (1818-1892)
Menurutnya tujuan dari hukum adalah untuk melindungi
kepentingan, dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti
Bentham yakni dengan melukiskannya sebagai pengejaran
kesenangan dan menghindari penderitaan.7
D. Madzhab Sejarah
Aliran madzhab sejarah atau Historische Rechtsschule merupakan
reaksi terhadap tiga hal yaitu:
1. Rasinalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam,
kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang se muanya berperan
7
Aprita and Adhitya, Filsafat Hukum.
pada ilsafat hukum, dengan teruta ma mengandalkan jalan pikiran
deduktif tanpa memerhati- kan fakta sejarah, kekhususan dan
kondisi nasional
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi
dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya
kekuatan tekad manusia untuk meng atasi lingkungannya),
seruannya ke segala penjuru dunia.
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim
menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat
memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan
sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu
sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai suatu
yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.

Selain itu terdapat faktor lain yaitu masalah kodifikasi umum Jerman
pasca berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut
(1772-1840), guru besar pada universitas Heidelberg di Jerman dalam
tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul “Uber die Notwendigkeit eines
Allegemeinen Burgerlichen rechts fur Deutchland” (Tentang Keharusan Suatu
Hukum Perdata bagi Jerman), ia menyatakan keberatan dengan suatu hukum
yang berkembang berdasarkan sejarah, hal ini dipengaruhi oelh keinginannya
akan kesatuan negara.

Hukum dianggap sukar untuk diselidiki, semenara jumlah sumbernya


bertambah sepanjang masa, sehingga hilang keseluruhan gambaran darinya.
Oleh sebab itu perlu diadakannya perubahan secara tegas dengan penyusunan
undang-undang dalam kitab dan hal ini yang menjadi kebanggaan Jerman.

Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa di daerah-daerah, hukum


tersebut mesti disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat sehingga
orang harus menghormati adat, membuatnya tidak dapat mengimbangi
keuntungan yang dibawa olehnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa abad ke-18


merupakan abad rasionalisme. Cara berfikir rasionalisme yang mengajarkan
universalisme dalam berfikir menjadi salah satu faktor munculnya madzhab
sejarah, yang menentang universalisme. Madzhab sejarah juga timbul sejalan
dengan dengan gerakan nasionalisme di eropa, Jika sebelumnya para ahli
hukum memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut Mazhab Sejarah
sudah mengarah pada bangsa, tepatnya jiwa dan bangsa

1. Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)


Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu dengan
timbulnya bahasa pada suatu bangsa, adanya perbedaan bahasa
pada tiap-tiap bangsa menunjukkan tidak ada bahasa yang
bersifat universal, demikian pula hukum menurutnya tidak ada
hukum yang bersifat universal. Pandangan ini jelas menolak
cara berfikir penganut aliran hukum alam.
Menurutnya hukum timbul bukan karena perintah
penguasa ataupun karena kebiasaan, akan tetapi hukum timbul
karena perasaan keadilan yang sumbernya terletak pada jiwa
bangsa.
Menyikapi hal tersebut Paton memberikan
pandangannya terhadap pemikiran Savigny. Yang pertama
jangan sampai kepentingan golongan tertentu dinyatakan
sebagai volkgeist dari masyarakat secara keseluruhan, kedua
tidak selamanya perundang-unndangan timbul begitu saja,
kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di
Inggris yang terbentuk karena hasil perjuangan keras, ketiga
adanya volkgeist tetap perlu adanya penyusun yang
memprosesnya menjadi bentuk hukum, dalam hal ini peran
hakim dan cendikiawan hukum harus diperhatikan, keempat
dalam banyak kasus, peniruan memainkan peranan yang lebih
besar daripada yang diakui banyak penganut mazhab sejarah.
banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih hukum
Romawi dan medapat pengaruh dari hukum Prancis.
Perlu di garis bawahi meskipun Savigny menyatakan
bahwa hukum tidak lahir dari kebiasaan, namun pada
kenyataannya volksgeist sendiri berasal dari kehidupan
masyarakat, yang secara selektif dipilih berdasarkan nilai-nlai
kebiasaan yang positif.
2. Puchta (1798-1846)
Sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum
suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (volksgeist) yang
bersangkutan. Menurut Puchta hukum terbagi tiga bentuk,
pertama langsung berupa adat istiadat, kedua melalaui undang-
undang, ketiga melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para
apakar hukum.
Menurutnya keyakinan hukum yang hidup dari jiwa
bangsa harus disahkan secara hukum masyarakat dalam bentuk
yang terorganisir dalam Negara. Negara mengesahkan hukum
dan menetapakan undang-undang.
Menurut Huijbers pemikiran Puchta ini sebenarnya
tidak jauh dari sebenarnya tidak jauh dari teori Absolutisme
Negara dan positivisme yuridis, hal ini karena Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian
rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-
sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat
istiadat, dan pengolahan ilmiah hukum oleh para pakar hukum,
sehingga hukum adat peranannya seolah dikesampingkan. Di
lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan
dukungan apa pun. Ia berhak untuk membentuk undang-
undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa
yang hidup dalam jiwa orang yang dipraktikkan sebagai adat
istiadat.
3. Henry Summer Maine (1822-1888)
Maine dianggap sebagai pelopor madzhab sejarah di
Inggris , pemikiran Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran
Savigny yang kemudian olehnya dikembangkan lagi dalam
berbagai penelitian. Salah satu penelitiannya yang terkenal
yaitu membandingkan perkembangan lembaga hukum pada
masyarakat yang sederhana dengan masyarakat yang telah
maju ditinjau dari perspektif sejarah. Kesimpulan dari
penelitian tersebut memperkuat pemikiran Savigny, yang
membuktikan dan pola evolusi pada berbagai masyarakat
dalam situasi sejarah yang sama.
Sumbangan Maine bagi studi hukum dalam
masyarakat, terutama tampak pada penerapan metode empiris,
sistematis, dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum.
Pendekatan ilmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang
lazim digunakan dalam pemikiran ilosois dan spekulatif.8
E. Sociological Jurisprudence
Aliran ini berkembang di Amerika, yang pada intinya berpandangan
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat. Makna kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang
mencermikan kehidupan masyarakat. Sehingga aliran ini memisahkan secara
8
Aburaera, Muhdar, and Maskun, Filsafat Hukum Teori & Praktik.
tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the
living law).
Tokoh utama aliran Sociological Jurisprudence, Roscoe Pound
menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial dan alat kontrol
masyarakat (Law as a tool of social engineering and social controle) yang
bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat
memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan
merupakan usaha untuk menciptakan keharmonisan demi kepentingan
masyarakat Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang
dilakukan oleh penguasa negara.
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese
dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya,
kedua aliran tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup
menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur
kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari
atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman.
Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman.
Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum.
Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang
diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang
atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik
dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu. Tokoh lain aliran sociological
jurisprudence adalah Eugen Ehrlich (1862- 1922), ia beranggapan bahwa
hukum tunduk pada ketentuan-ketentuan sosial tertentu. Hukum tidak
mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan
pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara
resmi oleh Negara.9
F. Realisme Hukum
9
Aprita and Adhitya, Filsafat Hukum.
Tokoh yang terkenal dalam ajaran ini adalah hakim agung Oliver
Wendell Holmes, Jerome Frank, dan Karl Llewellyn. Mereka adalah kaum
realis yang mendasarkan pemikirannya pada konsep radikal mengenai proses
peradilan. bagi mereka, seorang hakim lebih layak dikategorikan sebagai
pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus dapat menentukan
asas mana yang digunakan dan pihak mana yang dimenangkan.
Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan
suatu dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia
akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan.
Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain: hukum adalah alat
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu
menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh
pengadilan.10

G. Realisme Skandinavia
Aliran skandinavia merupakan suatu aliran dalam filsafat hukum yang
berfokus pada kesejahteraan sosial (social welfare). 11 Beberapa tokoh yang
terkenal dari aliran ini diantaranya adalah Olivecrona, Alf Ross, H.L.A. Hart,
Julius Stone, dan John Rawls.
1. Olivecrona
Olivecrona merupakan seorang pakar hukum dari Swedia,
menurut pandangannya, menganggap hukum adalah suatu perintah
dari manusia adalah sebuah kekeliruan, karena tidak mungkin ada
manusia yang dapat memberikan semua perintah dari hukum itu.
Selain itu ia juga menolak untuk mengidentikkan pemberi perintah

10
Sinaulan, Buku Ajar Filsafat Hukum.
11
Aprita and Adhitya, Filsafat Hukum.
dari suatu hukum dengan negara atau rakyat, baginya identifikasi
demikian adalah sesuatu yang abstraksi dan tidak realistis.
Hal ini menunjukkan bahwa Olivecrona menyangkal adanya
hukum normatif. Menurutnya yang terjadi sesungguhnya tatkala
suatu aturan diberlakukan adalah sebuah ancang-ancang seperti
halnya rancangan undang-undang semata. Suatu ketentuan hukum
selalu mempunyai dua unsur yaitu gagasan untuk berbuat dan
beberapa simbol imperatif (ought, duty, ofence).
Ketentuan undang-undang hanyalah suatu kata-kata diatas
kertas, kenyataan yang berkaitan dengan pembicaraan ilmiah
tentang hukum haruslah sesuai dengan reaksi psikologis para
individu, yaitu tentang tindakan apa dan perasaan apa yang timbul
tatkala mereka mendengar atau melihat suatu ketentuan.
2. Alf Ross
Menurut pandangannya hukum adalah suatu realitas sosial, ia
mengupayakan untuk membentuk suatu teori hukum yang empiris
belaka namun tetap dapat mempertanggungjawabkan unsur
normatif sebagai unsur mutlak dari gejala hukum. Hal ini mungkin
saja terjadi jika normatif yang berlaku dari peraturan-peraturan
hukum di tafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis
dari kenyataan-kenyataan saja.
Menurut Ross perkembangan hukum melewati empat tahapan.
Pertama hukum merupakan suatu sistem paksaan yang aktual,
kedua hukum adalah cara berlaku sesuai dengan kecenderungan
dan keinginan anggota komunitas, ketiga hukum adalah sesuatu
yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar,
keempat supaya hukum bisa berlaku perlu adanya kompetensi pada
orang-orang yang membentuknya.
3. H.L.A. Hart
Herbert Lionel Adolphus Hart berpendapat bahwa hukum
harus ditinjau dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi
eksternal berarti hukum merupakan suatu perintah dari penguasa,
dan secara internal yaitu keterikatan antara perintah dan penguasa
secara batiniah.
Norma-norma hukum dibagi menjadi dua yaitu norma primer
dan norma sekunder, norma primer adalah norma yang mengatur
tindak dan perilaku subjek hukum, apa saja yang harus dilakukan
dan apa saja yang tidak boleh di lakukan, norma sekunder adalah
norma yang menentukan syarat-syarat berlakunya norma primer
sehingga menunjukkan sifat yuridis dari norma tersebut.
Mengenai materi hukum Hart berpendapat bahwa, materi
hukum berasal dari prinsip-prinsip moral, meski demikian sebagai
penganut positivism hukum, Hart memisahkan secara tegas antara
hukum (dalam arti das sein) dan moral (das sollen). Adapun yang
disebut hukum hanyalah sesuatu yang menyangkut aspek formal,
sehingga suatu hukum dapat saja dikatakan sebagai meskipun
secara materi tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan
prinsip moral.
4. Julius Stone
Menurut pandangannya hukum adalah suatu kenyataan sosial,
adapun makna dari kenyataan sosial dapat dipahami melalui
penyelidikan logis-analitis, sebagai mana yang telah dipraktikkan
oleh Austin dan pengikutnya. Akan tetapi keinginan Stone adalah
menjangkau lebih jauh lagi. Keinginannya untuk mengajarkan
suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata
hukum yang berlaku, hal ini menjadi suatu kemajuan sebab dalam
aliran hukum analitis norma-norma hukum sama sekali tidak
dipelajari.
Stone selaku guru besar dari University of Sydney sejak tahun
1942, mengembangkan suatu metode penelitian hukum tersendiri
yang bersifat interdisipliner, dengan memanfaatkan hasil penelitian
dalam logika, sejarah, psikologi, dan sosiologi, tujuannya semata-
mata untuk memudahkan orang dalam meneliti dan mempelajari
hukum. Pandangan Stone tentang hukum tidak jauh berbeda
dengan Hart, baginya hukum dan moral adalah sesuatu yang
berbeda. Hukum adalah semua aturan, baik yang mengandung
aspek moral ataupun tidak
5. John Rawls
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika
dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat
yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang
masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula
dengan teori posisi asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls
banyak terpengaruh oleh aliran utilitarianisme.12
H. Freirechtslehre
Freirechtslehre atau yang dikenal pula dengan ajaran hukum bebas
merupakan ajaran yang paling keras dalam menentang positivisme hukum,
dalam penentangannya freirechtslehre sejalan dengan kaum realis Amerika
Serikat, yang membedakannya adalah jika aliran realisme menitikberatkan
pada penganalisisan hukum sebagai kenyataan di masyarakat, maka
freirechtslehre tidak terbatas disitu, freirechtslehre berpandangan bahwa
hakim mempunyai tugas untuk menciptakan hukum. Sebagai penemu hukum
yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi
menciptakan penyelesaian yang tepat pada masalah atau peristiwa konkret,
12
Aburaera, Muhdar, and Maskun, Filsafat Hukum Teori & Praktik.
sehingga perkara tersebut dapat dipecahkan oleh norma yang diciptakan oleh
sang hakim.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah
peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja undang-undang
bukan sebagai pemeran utama, melainkan hanya sebatas alat bantu untuk
memperoleh pemecahan masalah yang tepat menurut hukum, dan tidak selalu
harus sama dengan penyelesaian undang-undang.13

13
Aprita and Adhitya, Filsafat Hukum.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Aburaera, Sukarno, Muhdar, and Maskun. Filsafat Hukum Teori & Praktik. Jakarta:
Kencana, 2017.

Aprita, Serlika, and Rio Adhitya. Filsafat Hukum. Edited by Shara Nurachma.
Depok: Rajawali Pers, 2020.

Sinaulan, Ramlani Lina. Buku Ajar Filsafat Hukum. Edited by Yuhelson. Yogyakarta:
Zahir Publishing, 2021.

Anda mungkin juga menyukai