2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
1
Sukarno Aburaera, Muhdar, and Maskun, Filsafat Hukum Teori & Praktik (Jakarta: Kencana, 2017).
keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum
pidana, keadilan dalam hukum privat dan lain-lain.
2. Thomas Aquinas
Dalam mengkaji hukum Aquinas membedakan antara
hukum yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau
akal budi manusia. Hukum yang didapat dari wahyu disebut
ilahi positif (ius divinuim positivum). Hukum yang didapatkan
berdasarkan akal budi adalah ‘hukum alam’ (ius naturale),
hukum bangsa-bangsa (ius gentium), dan hukum positif
manusiawi (ius positivium humanum).
3. Hugo Grotius
Grotius merupakan seorang humanisme, yang selalu
mencari dasar baru bagi hukum alam pada diri manusia.
Menurutnya manusia memiliki kemampuan untuk memahami
segalanya secara rasional melalui pemikirannya. Manusia
dapat menyusun hukum alam dengan prinsip a priori yang
dapat diterima secara umum, sehingga dapat dipandang sebagai
hukum yang berlaku secara riil layaknya hukum positif.2
Pada dasarnya aliran hukum alam dibedakan menjadi dua macam yaitu
aliran hukum alam irasional yang berpandangan bahwa segala bentuk hukum
berasal dari Tuhan dan bersifat universal kemudian aliran hukum alam
rasional yang berpandangan bahwa manusialah yang menjadi sumber dari
hukum alam yang bersifat abadi dan universal tersebut.
2
Ramlani Lina Sinaulan, Buku Ajar Filsafat Hukum, ed. Yuhelson (Yogyakarta: Zahir Publishing,
2021).
hukum alam irasional diantaranya; Thomas Aquinas, Jhon Salisbury, Dante,
Piere Dubois, Marsilius Padua, dan Jhon Wyclife. Adapun pihak yang
mendukung aliran hukum alam rasional adalah; Hugo de Groot (Grotius),
Cristian homasius, Immanuel kant dan Samuel von Pufendorf.
Membahas lebih lanjut tentang hukum alam rasional dan hukum alam
irasional pada dasarnya tetap berada pada satu jalur yang sama, di mana
kedudukan alam menjadi kunci utama dalam menemukan hakikat hukum
alam itu sendiri. Friedmann mencoba mengkonstruksi hukum alam dengan
memandang dari fungsi yang dimilikinya. Menurutnya, hukum alam memiliki
sifat jamak diantaranya:
5
Serlika Aprita and Rio Adhitya, Filsafat Hukum, ed. Shara Nurachma (Depok: Rajawali Pers, 2020).
Menurut Hans Kelsen hukum harus bersih dari unsur-
unsur yang nonyuridis, seperti sosiologis, politis, historis,
bahkan etis. Pemikiran ini yang kemudian dikenal dengan teori
hukum murni dari Kelsen Jadi, hukum adalah suatu
sollenskagorie (kategori keharusan/ideal), bukan seins-kategori
(kategori faktual). Menurutnya hukum merupakan keharusan
yang mengatur perilaku manusia sebagai makhluk rasional.
Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah
“bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law thought to
be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Dengan
demikian, walaupun itu sollenskagorie, yang dipakai adalah
hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius
constituendum). Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat
dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen mengatakan
bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama
sekali tidak mengetahui karya Austin. Meski demikian, asal
usul filosofis Austin dan Kelsen memiliki corak yang berbeda
Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme,
sedangkan Austin pada Utilitarianisme.
Kelsen dianggap sebagai Neokantian karena ia
menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan bentuk dan
isi. Bagi Kelsen keadilan sebagai isi hukum berada diluar
hukum, karena menurutnya hukum berurusan dengan bentuk
(forma), bukan isi (materia). Maka suatu hukum dapat saja
tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh
penguasa. Di sisi lain Kelsen sendiri mengakui bahwa sejatinya
hukum positif bias saja tidak efektif lagi, ini terjadi karena
kepentingan masyarakat yang diatur sudah ada dan biasanya
dalam keadaan demikian penguasa pun tidak akan
memaksakan penerapannya. Misalnya dalam hukum pidana
keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan
istilah dekriminalisasi dan depenalisasi hingga suatu ketentuan
dalam hukum positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku
lagi, terutama secara sosiologis.6
C. Utilitarianisme
Aliran utilitarianisme ini lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri
metafisis dan abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran
ini merupakan aliran yang mengutamakan kemanfaatan sebagai tujuan
hukum. Adapun kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan
(happiness). Dengan kata lain baik buruknya suatu hukum tergantung pada
apakah hukum tersebut mampu memberikan kebahagiaan kepada manusia
atau tidak.
Kebahagiaan ini semestinya dapat dirasakan oleh setiap individu,
namun apabila kebahagiaan ini tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak
mungkin) oleh seluruh kalangan, maka diupayakan agar kebahagiaan tersebut
dapat dirasakan oleh sebanyak-banyaknya individu dalam masyarakat, (the
greatest happiness for greatest number of people).
Beberapa tokoh yang menjadi Pendukung Utilitarianisme yang paling
penting adalah:
1. Jeremy Bentham (1748-1832) Bentham
Menurut Bentham alam semesta telah memberikan
kebahagiaan dan kesusahan di dalamnya. Kebaikan adalah
kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan, sedangkan peran
hukum disini adalah memelihara kebaikan dan mencegah
kejahatan. Pandangan Bentham ini didasari oleh perhatiannya pada
individu-individu, baginya hukum semestinya pertama-tama
6
Aburaera, Muhdar, and Maskun, Filsafat Hukum Teori & Praktik.
memberikan jaminan kebahagiaan pada individu, bukan langsung
ke masyarakat secara keseluruhan, namun bukan berarti
kepentingan masyarakat dapat diabaikan.
Agar tidak menuai adanya bentrokan, serta untuk mencegah
timbulnya homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi
manusia lain) kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan
sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Selain itu untuk
menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat,
perlu adanya rasa simpati dari setiap individu, walaupun titik berat
perhatian harus ada pada individu, karena apabila setiap individu
memperoleh kebahagiaannya, secara simultan kebahagiaan atau
kesejahteraan masyarakat dapat diperoleh dengan sendirinya.
2. Jhon Stuar Mill (1806-1873)
Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan.
Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal
yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh
manusia bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan
kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.
3. Rudolf von Jhering (1818-1892)
Menurutnya tujuan dari hukum adalah untuk melindungi
kepentingan, dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti
Bentham yakni dengan melukiskannya sebagai pengejaran
kesenangan dan menghindari penderitaan.7
D. Madzhab Sejarah
Aliran madzhab sejarah atau Historische Rechtsschule merupakan
reaksi terhadap tiga hal yaitu:
1. Rasinalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam,
kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang se muanya berperan
7
Aprita and Adhitya, Filsafat Hukum.
pada ilsafat hukum, dengan teruta ma mengandalkan jalan pikiran
deduktif tanpa memerhati- kan fakta sejarah, kekhususan dan
kondisi nasional
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi
dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya
kekuatan tekad manusia untuk meng atasi lingkungannya),
seruannya ke segala penjuru dunia.
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim
menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat
memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan
sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu
sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai suatu
yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.
Selain itu terdapat faktor lain yaitu masalah kodifikasi umum Jerman
pasca berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut
(1772-1840), guru besar pada universitas Heidelberg di Jerman dalam
tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul “Uber die Notwendigkeit eines
Allegemeinen Burgerlichen rechts fur Deutchland” (Tentang Keharusan Suatu
Hukum Perdata bagi Jerman), ia menyatakan keberatan dengan suatu hukum
yang berkembang berdasarkan sejarah, hal ini dipengaruhi oelh keinginannya
akan kesatuan negara.
G. Realisme Skandinavia
Aliran skandinavia merupakan suatu aliran dalam filsafat hukum yang
berfokus pada kesejahteraan sosial (social welfare). 11 Beberapa tokoh yang
terkenal dari aliran ini diantaranya adalah Olivecrona, Alf Ross, H.L.A. Hart,
Julius Stone, dan John Rawls.
1. Olivecrona
Olivecrona merupakan seorang pakar hukum dari Swedia,
menurut pandangannya, menganggap hukum adalah suatu perintah
dari manusia adalah sebuah kekeliruan, karena tidak mungkin ada
manusia yang dapat memberikan semua perintah dari hukum itu.
Selain itu ia juga menolak untuk mengidentikkan pemberi perintah
10
Sinaulan, Buku Ajar Filsafat Hukum.
11
Aprita and Adhitya, Filsafat Hukum.
dari suatu hukum dengan negara atau rakyat, baginya identifikasi
demikian adalah sesuatu yang abstraksi dan tidak realistis.
Hal ini menunjukkan bahwa Olivecrona menyangkal adanya
hukum normatif. Menurutnya yang terjadi sesungguhnya tatkala
suatu aturan diberlakukan adalah sebuah ancang-ancang seperti
halnya rancangan undang-undang semata. Suatu ketentuan hukum
selalu mempunyai dua unsur yaitu gagasan untuk berbuat dan
beberapa simbol imperatif (ought, duty, ofence).
Ketentuan undang-undang hanyalah suatu kata-kata diatas
kertas, kenyataan yang berkaitan dengan pembicaraan ilmiah
tentang hukum haruslah sesuai dengan reaksi psikologis para
individu, yaitu tentang tindakan apa dan perasaan apa yang timbul
tatkala mereka mendengar atau melihat suatu ketentuan.
2. Alf Ross
Menurut pandangannya hukum adalah suatu realitas sosial, ia
mengupayakan untuk membentuk suatu teori hukum yang empiris
belaka namun tetap dapat mempertanggungjawabkan unsur
normatif sebagai unsur mutlak dari gejala hukum. Hal ini mungkin
saja terjadi jika normatif yang berlaku dari peraturan-peraturan
hukum di tafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis
dari kenyataan-kenyataan saja.
Menurut Ross perkembangan hukum melewati empat tahapan.
Pertama hukum merupakan suatu sistem paksaan yang aktual,
kedua hukum adalah cara berlaku sesuai dengan kecenderungan
dan keinginan anggota komunitas, ketiga hukum adalah sesuatu
yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar,
keempat supaya hukum bisa berlaku perlu adanya kompetensi pada
orang-orang yang membentuknya.
3. H.L.A. Hart
Herbert Lionel Adolphus Hart berpendapat bahwa hukum
harus ditinjau dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi
eksternal berarti hukum merupakan suatu perintah dari penguasa,
dan secara internal yaitu keterikatan antara perintah dan penguasa
secara batiniah.
Norma-norma hukum dibagi menjadi dua yaitu norma primer
dan norma sekunder, norma primer adalah norma yang mengatur
tindak dan perilaku subjek hukum, apa saja yang harus dilakukan
dan apa saja yang tidak boleh di lakukan, norma sekunder adalah
norma yang menentukan syarat-syarat berlakunya norma primer
sehingga menunjukkan sifat yuridis dari norma tersebut.
Mengenai materi hukum Hart berpendapat bahwa, materi
hukum berasal dari prinsip-prinsip moral, meski demikian sebagai
penganut positivism hukum, Hart memisahkan secara tegas antara
hukum (dalam arti das sein) dan moral (das sollen). Adapun yang
disebut hukum hanyalah sesuatu yang menyangkut aspek formal,
sehingga suatu hukum dapat saja dikatakan sebagai meskipun
secara materi tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan
prinsip moral.
4. Julius Stone
Menurut pandangannya hukum adalah suatu kenyataan sosial,
adapun makna dari kenyataan sosial dapat dipahami melalui
penyelidikan logis-analitis, sebagai mana yang telah dipraktikkan
oleh Austin dan pengikutnya. Akan tetapi keinginan Stone adalah
menjangkau lebih jauh lagi. Keinginannya untuk mengajarkan
suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata
hukum yang berlaku, hal ini menjadi suatu kemajuan sebab dalam
aliran hukum analitis norma-norma hukum sama sekali tidak
dipelajari.
Stone selaku guru besar dari University of Sydney sejak tahun
1942, mengembangkan suatu metode penelitian hukum tersendiri
yang bersifat interdisipliner, dengan memanfaatkan hasil penelitian
dalam logika, sejarah, psikologi, dan sosiologi, tujuannya semata-
mata untuk memudahkan orang dalam meneliti dan mempelajari
hukum. Pandangan Stone tentang hukum tidak jauh berbeda
dengan Hart, baginya hukum dan moral adalah sesuatu yang
berbeda. Hukum adalah semua aturan, baik yang mengandung
aspek moral ataupun tidak
5. John Rawls
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika
dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat
yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang
masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula
dengan teori posisi asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls
banyak terpengaruh oleh aliran utilitarianisme.12
H. Freirechtslehre
Freirechtslehre atau yang dikenal pula dengan ajaran hukum bebas
merupakan ajaran yang paling keras dalam menentang positivisme hukum,
dalam penentangannya freirechtslehre sejalan dengan kaum realis Amerika
Serikat, yang membedakannya adalah jika aliran realisme menitikberatkan
pada penganalisisan hukum sebagai kenyataan di masyarakat, maka
freirechtslehre tidak terbatas disitu, freirechtslehre berpandangan bahwa
hakim mempunyai tugas untuk menciptakan hukum. Sebagai penemu hukum
yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi
menciptakan penyelesaian yang tepat pada masalah atau peristiwa konkret,
12
Aburaera, Muhdar, and Maskun, Filsafat Hukum Teori & Praktik.
sehingga perkara tersebut dapat dipecahkan oleh norma yang diciptakan oleh
sang hakim.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah
peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja undang-undang
bukan sebagai pemeran utama, melainkan hanya sebatas alat bantu untuk
memperoleh pemecahan masalah yang tepat menurut hukum, dan tidak selalu
harus sama dengan penyelesaian undang-undang.13
13
Aprita and Adhitya, Filsafat Hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Aburaera, Sukarno, Muhdar, and Maskun. Filsafat Hukum Teori & Praktik. Jakarta:
Kencana, 2017.
Aprita, Serlika, and Rio Adhitya. Filsafat Hukum. Edited by Shara Nurachma.
Depok: Rajawali Pers, 2020.
Sinaulan, Ramlani Lina. Buku Ajar Filsafat Hukum. Edited by Yuhelson. Yogyakarta:
Zahir Publishing, 2021.