Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan nikmatnya kepada
hamba-hambaNya, khususnya nikmat sehat. Dimana dengan kesehatan kita dapat belajar dan
berfikir merenungkan alam dan ciptaanNya.
Dan tak lupa sholawat beriring salam tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah
SAW, yang telah gigih berjuang membela islam dan melawan kejahiliyahan, sehingga kita dapat
merasakan cahaya ilmu pengetahuan sampai saat ini.
Bersama tetesan tinta ini penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada bapak ibu
yang telah menghantarkan hingga ke bangku kuliah dan dengan motivasinya tertanam semangat
pada diri penulis untuk terus gigih berjuang belajar untuk mencari ridhoNya.
Dan penulis mengucapkan beribu terima kasih kepada pengampu dosen mata kuliah yang
telah memberikan tugas kepada penulis berupa makalah, Semoga dengan tugas ini tujuan proses
kegiatan belajar mengajar tercapai, yakni pemahaman pada diri panulis terhadap ilmu yang telah
di sampaikan dan dapat mengamalkannya pada kehidupan sehari-hari khususnya.

Wassalamu’allaikum wr.wb
.

i
DAFTAR ISI

JUDUL....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Kebijakan Publik..........................................................................3


B. Ciri-ciri kebijakan publik...........................................................................3
C. Konsep Kebijakan Publik..........................................................................3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan pertama yang nampak tidak begitu mudah adalah mendifinisikan istilah kebijakan
atau (kebijaksanaan). Kita mendengarka kata ini setiap hari, tetapi digunakan untuk mengacu
pada seperangkat kegiatan atau keputusan yang sangat beragam. Dalam satu hari seseorang
dapat mendengarkan seorang senator amerika menyatakan bahwa “Negara ini tidak lagi
memiliki kebijakan luarnegeri terhadap Amerika Latin”, seorang walikota mengumumkan
sebuah perubahan kebijakan pengawasan lalu lintas di suatu kawasan bisnis, seorang pejabat
Migas menyatakan bahwa kebijakan baru menginginkan pompa bensin lebih dekat ke jalan,
dan seorang guru menjelaskan bahwa kebijakan departemen harus disalurkan ke segenap
lapisan.
Dalam kenyataan, kata kebijakan sering digunakan dan dipertukarkan maknanya dengan
Tujuan, program, patokan, dan maksud besar tertentu. Di dalam percakapan sehari-hari
antara para pembuat keputusan dan rekan-rekannya pergantiakn makna semacam ini
bukanlah masalah. Biasanya dalam hubungan atau kaitan teknis atau administrative tertentu
kata ini mempunyai acuan khusus yang hanya demengerti oleh kelompok tertentu. Sebagai
contoh, sebuah kelompok petugas pengawasan polusi udara tentu memahami apa yang
dimaksud dengan “kebijakan pencemaran udara” yang mengacu pada pasal 1857c-7 dari
Amendemen Penjernihan udara tahun 1970. Mereka para ahli dan tahu tentang Hukum dan
peraturan.
Definisi ini menimbulkan beberapa pertanyaan atau masalah bagi kita untuk menilai
berapa lama sebuah keputusan dapat bertahan atau hal apakah yang membentuk konsisten
dan pengulangan tingkah-laku yang dimaksud serta siapa yang sebenarnya menentukan
jumlah pembuat kebijakan dan pematuh kebijakan tersebut. Tetapi walau demikian, definisi
ini telah memperkenalkan beberapa komponen kebijakan public.

1
B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi dari kebijakan publik?
b. Bagaimana cirri-ciri kebijkan publik?
c. Bagaimana konsep kebijakan publik?
d. Bagaimana perjalnan penelitian implementasi kebijkan publik?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi kebijakan public

Menurut Fadilah Putra (2001), kebijakan publik adalah sesuatu yang dinamis dan
kompleks bukannya sesuatu yang kaku dan didominasi oleh para pemegang kekuasaan formal
semata, namun kebijakan publik kembali ke makna dasar demokratiknya, yaitu kebijakan
yang dari, oleh dan untuk publik (rakyat). Sementara Menurut James E. Anderson (1978)
kebijakan adalah perilaku dari aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian ini memberikan
pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang
berisi serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu
masalah tertentu. Kebijakan dan politik tidak dapat dipisahkan. Pengambilan keputusan
mengenai tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan
penyusunan skala prioritas. Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan
public ( Public Policy) yang menyangkut pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan publik
adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.

B. Ciri- ciri kebijakan public


Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan-kebijakan public bersumber pada
kenyataan bahwa kebijakan itu lazimnya dipikirkan, didesain, dirumuskan, dan diputuskan
oleh David Easton (1953:1965) disebut orang-orang yang memiliki otoritas (public
authorities) dalam sistem politik. Dalam sistem politik/masyarakat tradisional yang
sederhana, meraka itu contonya para ketua adat atau ketua suku. Sedangkan di sistem politik
atau masyarakat modern yang kompleks, meraka itu adalah para eksekutif, legislator, hakim,
administrator, monarki, dan sejenisnya. Meraka inilah, masih menurut pendapat Eston,
merupakan orang-orang yang dalam kesehariannya terlibat langsung dalam urusan-urusan
politik dalam sistem politik, dan gianggap oleh sebagian besar warga sistem politik itu
sebagai pihak yang mempunyai kapasitas dan bertanggung jawab atas urusan-urusan politik
tadi.
C. Konsep kebijakan public
Pertama, kebijakan public lebih merupakan tindakan yang sengaja dilakukan dan
mengarah pada tujuan tertentu, daripada sekedar sebagai bentuk perilaku atau tindakan
menyimpang yang serba acak (at random), asal-asalan, dan serba kebetulan. Kebijakan-
kebijakan publik, semisal kebijakan pembangunan atau kebijakan sosial dalam sistem-sistem
politik modern, bukan merupakan tindakan yang serba kebetulan atau asal-asalan, melainkan
tindakan yang direncanakan (by plened).
Kedua, kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan
dan berpola, menngarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
pemerintah, dan bukan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Misalnya, kebijakan tidak
hanya mencakup keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu,
melainkan diikuti dengan keputusan-keputusan/petunjuk-petunjuk teknis pelaksanaan yang
lebih detail, bersangkut paut dengan proses implementasi dan mekanisme pemaksaan
pemberlakuannya.
Ketiga, kebijakan itu ialah apa yang nyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-
bidang tertentu. Misalnya, dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, menghapus
kemiskinan, memberantas korupsi, memberantas buta aksara, menggalakkan program
keluarga berancana, dan menggalakkan perumahan rakyat bagi golongan masyarakat
berpenghasilan rendah,. Sebagai ilustri, apabila pemerintah daerah (DPRD) membuat
peraturan daerah yang mengharuskan para pengusaha pelacuran (bordir) untuk menutup
usanya dalam tenggang waktu satu tahun sejakdikeluarkannya peraturan tersebut, namun
kemudian ternyata sesudah masa tenggang waktu itu habis tidak ada upaya serius untuk
memaksakan pemberlakuan apa pun yang terjadi walaupun usaha rumah pelacuran serupa,
baik secara terhubung maupun secara terang-terangan makin berkembangbiak maka cukup
adil jika kita menyatakan bahwa kebijakan pemerintah daerah kusus rumah pelacuran itu
sebenarnya tindakan mengatur apa pun.
Keempat, kebijakan public mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Dalam
bentuknya yang positif, kebijakan public mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan
pemerintah yang dimaksudkan untuk memengaruhi penyelesaian atas masalah tertentu.
Sementara dalam bentuknya yang negative, ia kemungkinan meliputi keputusan-keputasan
pejabat-pejabat pemerintah untuk hak bertindak, atau tidak melakukan tindakan apa pun
dalam masalah dimana campur tangan pemerintah itu sebenarnya justru amat diperlukan.

1. Teori-teori pengambilan keputusan kebijakan


a. Definisi pembuatan keputusan kebijakan
Raymond Bauer, dalam tulisannya berjudul “the study of policy
formation” merumuskan pembuatan kebijakan public sebagai proses trasformasi
atau pengubahan input politik emnjadi output politik. Dari rumusan ini pandangan
yang diketengahkan oleh Beaur tersebut tanpak amat dipengaruhi oleh teori
analisis sistem (system analysis), sebagaimana pernah dianjurkan oleh David
Easton (1963).
Pakar lainnya, Don K. Prince, menyebutkan bahwa proses pembuatan
kebijakan yang bertanggung jawab ialah proses yang melibatkan intraksi antara
kelompok-kelompok ilmuan, pemimpin-pemimpin, organisasi internasional, para
administrator, dan para politisi.
Amitai Etzioni (1968), menjelaskan bahwa”melalui proses pembuatan
keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang acapkali masih kabur dan
abstrak, sebagaimana tampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat,
diterjemahkan oleh para actor (politik) ke dalam komitmen-komitmen yang lebih
spesifik, menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkret”.
Menurut pendapat Udoji, siapa yang berfartisipasi dan apa peranannya
dalam proses tersebut untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik
pengambilan keputusan itu sendiri.

b. Tiga teori pengambilan keputusan


Secara tivikal, pembuatan kebijakan merupakan tindakan yang berpola,
yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan di antaranya
ada yang merupakan keputusan rutin, dan ada pula yang tidak rutin. Didalam
praktik pembuatan kebijakan sehari-hari amat jarang kita jumpai suata kebijakan
yang hanya terdiri dari keputusan tunggal. Dalam buku ini, akan dibahas tiga teori
pengambilan keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam berbagai
kepustakaan kebijakan public.teopri-teori yang dimaksud, yakni teori rasional
komprehensif, teori incremental, dan teori pengamatan terpadu.
1. Teori rasional komprehensif
Barangkali, teori pengambilan keputusan yang paling dikenal dan
mungkin yang banyak diterima oleh kalangan luas ialah teori rosional
komprehensif. Unsur-unsur dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
 Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu, yang dapat
dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai
masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu satu sama lain.
 Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang memberikan pedoman
pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai
dengan urutan kepentingannya.
 Berbagai alternative untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara
saksama.
 Akibat-akibat, (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap
alternative yang dipilih diteliti.
 Setiap alternative dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat
diperbandingkan dengan alternative-alternatif lainnya.
 Pembuat keputusan akan memilih alternative dan akibat-akibatnya, yang
dapat memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai, dan sasaran yang telah
digariskan.
2. Teori Inkremental
Teori incremental dalam pengambilan keputusan mencerminkan suatu
teori pengambilan keputusanyang menghindari banyak masalah yang harus
dipertimbangkan (seperti dalam teori rasional komprehensif), dan pada saat
yang sama, merupakan teori yang lebih banyakmenggambarkan cara yang
ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan
sehari-hari.
Pokok-pokok teori inkremental ini dapat diuraikan sebagai berikut:
 Pemilihan tujuan atau sasaran dan anlisis tindakan empiris yang
diperlukan untuk tercapainya dipandand sebagai sesuatu hal yang saling
terkait, daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah.
 Pembuat keputusan dianggap sebagai hanya mempertimbangkan
beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah,
dan alternative-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara incremental
atau marginal bila dibandingkan dengan kebijakan yang ada sekarang.
 Bagi setiap alternative, hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang
mendasar saja yang ada sekarang.
 Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan diredefinisikan
secara teratur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkinan
untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana, serta
sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih
dapat ditanggulangi.
 Tidak ada keputusan ataucara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah.
Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa
berbagai analis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu,
meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling
tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
 Pembuatan keputusan yang imkremental pada hakikatnya bersifat
perbaikan-perbaikan kecil. Hal ini lebih diarahkan untuk mempebaiki
ketidaksempurnaan dari upaya-upaya yang konkret dalam mengatasi
masalah sosial yang ada sekarang daripada sebagai upaya untuk
menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang
akan dating.
3. Teori pengamatan terpadu (mixed scanning theory)
Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi, Amitai Etzioni.
Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritis incremental yang diarahkan
pada teori rasional komprehensif. Namun, ia juga mununjukkan adanya
beberapa kelemahan yang terdapat pada teori inkremental.
Misalnya, keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut
inkremental akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan-
kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan, serta kelompok
yang mampu mengorganisasikan kepentingan dalam masyarakat. Sementara
itu, kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah secara
ekonomi dan politik akan terabaikan. Lebih lanjut, dengan memusatkan
perhatiannya pada kepentingan atau tujaun jangka pendek dan hanya
berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kenijakan-
kebijakan yang ada sekarang, maka model inkremental cendrung
mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social innovation)
yang mendasar. Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968), gaya
inkremental dalam pembuatan keputusan cendrung menghasilkan
kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya
menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri bagi pakar Dror
yang pada dasarnya merupakan salah seorang penganjur teori rasional
terkemuka, model inkremental ini justru dianggapnya merupakan srategi
yang tidak cocok untuk diterapkan di Negara-negara sedang berkembang.
Sebab, di Negara-negara ini perubahan yang kecil-kecilan (inkremental)
tidaklah memadai guna tercapainya perbaikan besar-besaran.
c. Kriteria pengambilan keputusan
Dalam pandangan Anderson yang dalam tulisan ini telah kita elaborasi
nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan
kebijakan itu dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu:
1. Nilai-nilai politik, pembuat keputusan kebijakan mungkin melakukan
penilaian atas alternative kebijakan yang dipilihnya dari sudut pentingnya
alternative-alternatif itu bagi partai politiknya, atau bagi kelompok-kelompok
klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan
yang lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti itu bukan mustahil
dibuat demi keuntungan politik, dan kebijakan akan dilihat sebagai instrument
untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan
kepentingan dari partai politik, atau tujuan dari kelompok kepentingan yang
bersangkutan.
2. Nilai-nilai organisasi, para pembuat keputusan kebijakan khususnya birokrat
(sipil atau militer), mungkindal mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-
nilai organisasi dimana ia terlibat/bekerja di dalamnya. Organisasi, semisal
badan-badan administrasi publik (dinas pemerintah), menggunakan berbagai
bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya
menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oelh
organisasi.
3. Nilai-nilai pribadi, hasrat untuk melindungi, memenuhi kesejahtraan,
kebutuhan fisik, kebutuhan financial, reputasi diri, dan posisi historis dalam
pengambilan keputusan para politisi di DPR yang menerima uang sogok untuk
membuatkeputusan tertentu yang menguntungkan si pemberi uang sogok,
misalnya sebagai ungkapan terima kasih hadiah atas diloloskannya pasal-pasal
tertentu dalam Rancangan Undang-undang (RUU), pemberian perizinan, atau
penandatanganan kontrak pembangunan proyek-proyek tertentu yang
biayanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sudah jelas
mempunyai kepentingan pribadi dalam benaknya.
4. Nilai-nilai kebijakan, dari perbincangan diatas, satu hal hendak dicamkan,
yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang terlampau sinis dan menarik
kesimpulan dengan cepat bahwa para pengambil keputusan politik itu adalah
manusia-manusia yang jahat dan jenis pribadi yang tidak bermoral, lantaran
mereka dalam bertindak melulu dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan
demi keuntungan politik, organisasi atau pribadi. Meski jumlahnya mungkin
sedikit, ada pula para pembuat keputusan yang bertindak berdasarkan persepsi
dan alas an pembelaan mereka terhadap kepentingan umum (public interest);
atau berdasarkan keyakinan tertentu mengenai kebijakan public apa yang kira-
kira secara moral tepat dan benar.
5. Nilai-nilai ideologi, Ideologi pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-
nilai dan keyakina yang secara logis saling berkaitan, mencerminkan
gambaran sederhana mengenai dunia, serta fungsi sebagai pedoman bertindak
bagi masyarakat yang meyakininya. Diberbagai Negara sedang berkembang di
kawasan Asia, Afrika, dan Timur Tengah nasionalisme yang mencerminkan
hasrat dari orang-orang atau bangsa yang bersangkutan untuk merdekan dan
untuk menentukan nasibnya sendiri telah memberikan peran penting dalam
mewarnai kebijakan luar negeri maupun dalam negeri mereka. Pada masa
gerakan nasional menuju kemerdekaan, nasionalisme telah berfungsi sebagai
minyak bakar yang mengobarkan semangat perjuangan bangsa-bangsa di
Negara-negara sedang berkembang melawan kekuatan colonial.
d. Actor-Aktor yang Berperan dalam proses kebijakan
Dalam proses kebijakan, menurut Charles O. Jones, sedikitnya ada empat
golongan atau tipe actor (pelaku) yang terlibat, yaitu:
 Golongan rasionalis
 Golongan teknisi
 Golongan incremental, dan
 Golongan reformis.
2. Esensi nilai (values) dalam kebijakan
Masalah nilai (value) dalam diskursus (discourse) analisis kebijakan public, pada
umumnya akan menyentuh aspek metapolicy, karna menyangkut hakikat (substance),
perspektif, sikap, dan perilaku yangtersembunyi atau yang dinyatakan secara terbuka dari
actor-aktor yang bertanggung jawab dalam perumusan atau pembuatan kebijakan public
(Hodgkinson, 1978: 121). Sayangnya, kendati masalah metapolicy ini amat penting,
ternyata sangat sedikit para ahli ilmu sosial di Indonesia yang rajin menulis mengenai
masalah ini. Dari yang sedikit itu, tampaknya hanya pemikir seperti almarhum
Soedjatmoko yang menonjol (1984).
Prinsip utilitarian yang kita coba paparkan di atas kelihatannya amat sederhana
dan mudah dipahami, namun sesungguhnya melibatkan sejumlah isu yang tidak mudah
dipecahkan. Ada sejumlah isu mendasar (basic issues) yang akan muncul, yang tidak
mudah dijawab apabila prinsip diatas kita kaitkan dengan keputusan-keputusan kebijakan
public (public policy decisions).
Pertama, isu yang menyangkut hal-hal berikut ini:
a. bagaimana mengukur kemaslahatan atau kebaikan umum itu;
b. kemaslahatan siapa saja yang harus diperhitungkan;
c. apakah upaya memaksimalkan kemaslahatan umum itu hanya menyangkut akibat-
akibat/dampak atau tujuan kebijakan yang ingin dicapai, ataukah cara-cara atau dampak
atau tujuan kebijakan itu dicapai juga termasuk yang seharusnya dievaluasi. Kedua, isu-
isu yang selama ini telah menyebabkan para pembuat keputusan (terutama yang
menganut aliran utilitarian) terbelah ke dalam berbagai aliran pemikiran. Di sini, ada
sebagian kelompok penganut aliran utilitarian yang memasukkan hewan dalam seluruh
kalkulasinya mengenai konsep kebahagiaan, kendati mereka tidak bermaksud
menyertakan atau menyepadankan antara ewan dan manusia. Kelompok ini menegaskan
bahwa tidak ada alas an yang cukup masuk akal untuk menepiskan setiap makhluk
hidup, termasuk hewan, dari pertimbangan moral tentang kebahagiaan.
Munculnya kepedulian terhadap perlindungan swasta liar, semisal yang di lakukan oleh
yayasan World Wild Life Fund, tampaknya juga dipengaruhi oleh pemikiran di atas.
Ketiga, isu yang menyangkut perdebatan sengit antara kelompok aliran utilitarian
yang lebih berorientasi pada tindakan (act-utilitarian) dan kelompok aliran utilitarian
yang lebih berorientasi pada aturan (rule-utilitarian). Kelompok utilitarian yang disebut
pertama, berpendapat bahwa setiap tindakan harus memaksimalkan kebahagian.
Sedangkan kelompok aliran yang disebut kedua berpendapat bahwa tindakan-tindakan
individu itu seharusnya tidak memperkosa hukum atau aturan yang bermanfaat bagi
masyarakat.
Prinsip yang kedua, ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi yang harus
diatur sedemikian rupa sehingga keduanya dapat:
a) Memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka, paling tidak beruntung
dalam masyarakat, sejalan dengan penerapan “prinsip penabungan yang adil”
(just saving principle), dan
b) Memungkinkan kesempatan terbuka pada semua orang untuk menduduki jabatan
dan posisi benar-benar berlangsung dalam situasi yang adil.
Prinsip yang disebut pertama, berarti perlu adanya kebebasan dan persamaan yang
penuh, sedangkan prinsip yang kedua, dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang
adil dan sederajat terhadap si lemah mereka yang tak beruntung dalam masyarakat oleh
sebab itu, dalam pandangan Rawls, kebebasan itu dalam artian hak-hak politik, dasar
sedangkan keadilan dalam artian persamaan memperoleh kesempatan serta perlakuan
yang positif terhadap si lemah.
3. Kompleksitas implementasi kebijakan (policy implementatiaon)
Bagi mereka yang melihat kebijakan public dari persfektif policy cycle (siklus
kebijakan), implementasi kebijakan itu merupakan suatu aktivitas yang paling penting.
Tetapi, tidak seperti anggapan sebagian orang bahwa setiap kebijakan itu akan
terimplementasikan dengan sendirinya, seolah aktivitas implementasi kebijakan tersebut
menyangkut sesuatu yang tinggal jalan. Realita menunjukkan, implementasi kebijakan itu
sejak awal melibatkan sebuah proses rasional dan emosional yang teramat kompleks.
Jadi, ia bukan sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu. Studi
implementasi, mau tak mau, akan memasuki ranah permasalahan konflik, keputusan-
keputusan yang pelik, dan isu mengenai siapa yang memperoleh apa, barapa banyak dari
suatu kebijakan (lihat dan bandingkan Grindle, 1980).
Secara jujur, kita dapat mengatakan bahwa kebijakan public apa pun sebenarnya
mengandung resiko untuk gagal. Hogwood dan Gunn (1986) telah membagi pengertian
kegagalan kebijakan (policy failure) ini dalam dua kategori besar, yaitu:
 Non-implementation (tidak terimplemntasikan) dan
 Unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil).
Tidak terimplemntasi mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksankan
sesuai dengan renncana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam
pelaksanaannya tidak mau berkerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efesien,
bekerja setengah hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan,
atau kemungkinan permasalahan yang dianggap diluar jangkauan kekuasaan, sehingga
betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka
tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi. Pengakuan
terbuka dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dirapat paripurna kabiner Indonesia
Bersatu II bahwa hanya 50 persen saja kebijakannya yang telah dilaksanakan oleh para
mentri-mentrinya kiranya merupakan contoh yang baik mengenai non-implentation
tersebut.
Sementara itu, implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi ketika suatu
kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi
eksternal ternyata tidak menguntungkan, misalnya tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian
kekuasaan (coup de’ tat), bencana alam, dan lain sebagainya. Kebijakan tersebut tidak
berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikhendaki. Bisanya,
kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal itu disebabkan oleh faktor berikut:
pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy),
kebijakan itu memang jelek (bad luck).
Dengan kata lain, dalam inplementasi program khususnya yang melibatkan
banyak organisasi/instansi pemerintah, sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang,
yakni:
 Pemrakarsa kebijakn/pembuat kebijakan (the center atau pusat),
 Pejabat-pejabat pelaksana lapangan (the periphery), dan
 Aktor-aktor perorangan itu ditujukan, yakni kelompok sasaran (target group).
Dilihat dari sudut pandang pusat, maka fokus analisi implementasi kebijakan itu
akan mencakup usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atasan atau lembaga-
lembaga di tingkat pusat untuk mendapatkan keputusan dari lembaga-lembaga atau
pejabat-pejabat yang lebih rendah/daerah, dalam upaya mereka memberikan pelayanan
atau mengubah perilaku masyarakat/kelompok sasaran dari program yang bersangkutan.
4. Memahami konsep implementasi kebijakan
Dalam arti seluas-luasnya, implementasi juga sering dianggap sebagai bentuk
pengoprasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan
undang-undang dan menjadi kesepakatan bersama di antara beragam pemangku
kepentingan (stakheholders), aktor, organisasi (public atau privat), prosedur, dan teknik
secara sinergistis yang digerakkan untuk bekerjasama guna menerapkan kebijakan ke
arah tertentu yang dikhendaki. Rasionalitas atau alas an di balik langkah seperti ini tak
lain dimaksudkan agar sikap, perilaku, dan pikiran dari semua pemangku kepentingan
yang terlibat dapat lebih terkontrol serta tetap terjaga pada relnya. Dengan demikian,
tujuan dan sasaran program atau kebijakan itu secara keseluruhan dapat dicapai secara
memuaskan. Secara sederhana, situasi implementasi mungkin dapat kita ibaratkan
sebagai sebuah kereta kencana berpenumpang yang ditarik oleh empat ekor kuda yang
warna kulitnya beragam: hitam, putih, cokelat, dan abu-abu. Seorang sais kereta yang
piawai tentu saja harus memahami karakter individual dan perilaku masing-masing kuda.
Ia harus mampu menciptakan kerja sama sedemikian rupa denga keempat kuda tersebut.
Penyikapan kognitif dimaksudkan agar keserempakan tempo berlari kuda-kuda (yang
berbeda karakter) itu tetap terkontrol, dan yang terpenting kereta tidak terguling.
D. Perjalanan penelitian implementasi kebijakan
Saat ini, hanya sedikit atau bahkan tidak ada upaya serius yang dibuat untuk
mengembangkan model dinamika proses implementasi, sehingga tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara pengurangan atau mengatasi masalah-masalah tersebut. Di samping itu,
pendekatan studi kasus yang digunakan nyaris hanya oleh para peneliti awal, membuat
para investigator merasi kesulitan untuk memperkenalkan elemen kendali bagi berbagai
penjelasan atau untuk menarik kesimpulan berdasarkan apa yang mereka temukan. Para
peneliti di masa itu khawatir dengan fenomena terlalu banyaknya variable yang
disodorkan, sementara kasusnya terlalu sedikit. Tidak mengherankan jika dalam situasi
seperti itu mereka tidak bisa berbuat banyak, karena tidak mampu menyimpulkan apa-apa
berdasarkan temuan mereka. Namun, pada pertengahan 1970-an, situasinya telah agak
membaik lantaran para pemerhati dan peneliti implementasi kebijakan telah mulai
mengalihkan perhatian mereka pada tahap perkembangan intelektual selanjutnya, yaitu
pembuatan model.
 Teori implementasi kebijakan (1975-1980)
Meskipun penjelasan mengenai berbagai faktor yang membatasi atau menjadi
kendala bagi berlangsungnya implementasi yang efektif adalah suatu yang sangat
bermanfaat, namun patut disayangkan hal itu ternyata tidak menghasilkan perkembangan
teori yang signifikan mengenai implementasi kebijakan. Pekerjaan akademis yang
dilakuan dalam area ini, yang kemudian dikenal dengan istilah pendekatan top-down dan
bottom-down.
Apa yang dimaksud dengan pendekatan top-down? Pada intinya, logika dalam
pendekata top-down selalu diawali dengan keputusan kebijakan yang dibuat oleh para
pejabat pemerintah (pusat) dan kemudian mempersoalkan hal-hal sebagai berikut:
 Sampai sejauh mana tindakan para pelaku implementasi serta kelompok sasaran
sejalan/konsisten dengan tujuan serta prosedur di dalam keputusan kebijakan?
 Sampai sejauh mana tujuan telah dicapai setelah program/proyek/aktivitas tertentu
dijalankan beberapa waktu, atau sejauh mana dampak yang timbul benar-benar
konsisten dengan tujuan?
 Apa yang menjadi faktor-faktor utama yang mempengaruhi keluaran (output) dan
dampak (impact) kebijakan, baik yang relevan bagi kebijakan pemerintah maupun
kebijakan politis lain yang signifikan?
 Bagaimana kebijakan di reformasikan dari waktu ke waktu sejalan dengan
pengalaman yang diperoleh?
pergulatan pemikiran akademis pertama untuk mengembangkan model top-down
telah dilakukan oleh dua pakar kebijakan, Donald van Meter dan Carl van Horn (1975).
Model mereka yang disebut dengan istilah a model of the policy implementation process
(model proses implementasi kebijakan).
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

kebijakan publik adalah sesuatu yang dinamis dan kompleks bukannya sesuatu yang kaku
dan didominasi oleh para pemegang kekuasaan formal semata, namun kebijakan publik kembali
ke makna dasar demokratiknya, yaitu kebijakan yang dari, oleh dan untuk publik (rakyat).
Sementara Menurut James E. Anderson (1978) kebijakan adalah perilaku dari aktor (pejabat,
kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan-kebijakan public bersumber pada


kenyataan bahwa kebijakan itu lazimnya dipikirkan, didesain, dirumuskan, dan diputuskan oleh
David Easton (1953:1965) disebut orang-orang yang memiliki otoritas (public authorities) dalam
sistem politik.

kebijakan public lebih merupakan tindakan yang sengaja dilakukan dan mengarah pada
tujuan tertentu, daripada sekedar sebagai bentuk perilaku atau tindakan menyimpang yang serba
acak (at random), asal-asalan, dan serba kebetulan.

Dalam arti seluas-luasnya, implementasi juga sering dianggap sebagai bentuk


pengoprasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan undang-
undang dan menjadi kesepakatan bersama di antara beragam pemangku kepentingan
(stakheholders), aktor, organisasi (public atau privat), prosedur, dan teknik secara sinergistis
yang digerakkan untuk bekerjasama guna menerapkan kebijakan ke arah tertentu yang
dikhendaki.
DAFTAR PUSTAKA

Wahab, Prof.Dr.H. Solichin Abdul, M.A. 2012. Analisis kebijakan dari formulasi ke penyusunan
model – model kebijakan publik. Jakarta : PT Bumi Aksara

Jones, O. Charles. 1991. Pengantar kebijakan publik (public policy). Jakarta utara : CV.
Rajawali.

Anda mungkin juga menyukai