Sejarah
Legenda tentang upacara adat Kebo-Keboan berasal dari kisah Mbah Kanti yang
mendapat wagsit. Sesepuh desa bernama Mbah Kanti kemudian pergi ke bukit untuk
melakukan semedi dikarenakan terjadi wabah penyakit di Desa Alasmalang yang penyakitnya
tidak bisa disembuhkan oleh kekuatan manusia. Bila terkena penyakit di malam hari, maka
paginya akan mati. Mbah Kanti memohon petunjuk dan kesembuhan terkait dengan
permasalahan yang menimpa warga di desanya. Dari aktivitas semedi itulah Mbah Kanti
mendapatkan wangsit supaya warga Desa Alasmalang melakukan ritual adat selamatan desa.
Wangsit itu lebih spesifik mengarahkan supaya selamatan desa digelar dengan ritual Kebo-
keboan dan mengagungkan Dewi Sri sebagai simbol kemakmuran dan keselamatan. Wangsit
yang diperoleh Mbah Kanti itu kemudian dilaksanakan oleh seluruh warga desa.
Ajaib, setelah penyelenggaraan ritual adat itu, penyakit yang sempat menyerang
warga tiba-tiba hilang. Begitu juga dengan hama yang menyerang tanaman warga di sawah.
Selain wangsit tersebut, para petani juga diminta agar menjelma menjadi seperti kerbau.
Hingga akhirnya upacara adat tersebut menjadi sebuah kebiasaan dan dianggap menjadi
kearifan lokal di desa tersebut. Bila melihat sejarah upacara Kebo-Keboan sudah ada sejak
abad 18. Upacara adat ini pada zaman dahulu merupakan sebuah media untuk melestarikan
tradisi luhur. Pada tahun 1960 tradisi ini mulai jarang dilaksanakan. Setelah reformasi tradisi
kebo-keboan muncul kembali di Desa Alasmalang. Inisiator kembalinya Kebo-Keboan di
masyarakat atas bantuan Sahuni. Selain di desan Alasmalang, tradisi ini juga berkembang di
desa Aliyan.
Makna tradisi Kebo-Keboan berkaitan juga dengan ajaran Hindu dan Budha. Di
dalam kitab Purana, tokoh Dewi Durga digambarkan mempunyai tangan delapan. Tangan
kanan berjumlah empat dengan posisi memegang cakra berapi, sara, serta seekor kerbau.
Tangan kiri juga berjumlah empat, masing-masing memegang sangkha, dua pasa, dan rambut
asura. Tangan kanan melambangkan kebajikan atau kebaikan yang diartikan sebagai
penguasa tanaman dan kesuburan. Hal ini dilambangkan oleh seekor kerbau atau Sang Hyang
Nandini, sedangkan tangan kiri sebagai lambang angkara murka, pembinasa asura, dan
menguasai berbagai penyakit menular. Oleh karena itu Kebo-Keboan masih berkaitan dengan
kerjaan Blambangan, pemilihan kerbau sebagai media dalam upacara adat merupakan simbol
kebaikan bagi rakyat, khusunya dalam bidang pertanian.
Penyajian
Disusun Oleh :
Ratna Intan Riyanti 122020030141
Khikmatul Nadia Putri 122020030148
Yesi Nur Faiqotun N 122020030153
Ema Saputri Kusuma W 122020030165