Anda di halaman 1dari 13

Nama: Mangasa Barakel

Nim: 8111420561
Sengketa Lingkungan Indonesia dan penyelesainnya
A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki banyak wilayah provinsi, suku dan
budaya masing-masing. Dalam wilayah yang dimiliki negara ini memiliki banyak sumber daya
alam yang dapat digunakan untuk memperkaya dan menyejatrahkan masyarakat yang hidup di
wilayah ini. Seiring dengan perkembangan wilayah ini lingkungan sekitar tersebut dapat menjadi
pokok permasalahan dari berbagai pihak yang ingin memanfaatkan keberadaan lingkungan ini.
Misalkan Pihak Pemerintahan Daerah memetapkan UU yang menimbulkan kerugian. Masalah
ini dapat diselesaikan dengan mediasi antar kedua belah pihak namun juga dapat diselaisakan
dengan membawa perkara ini ke rana peradilan yakni Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Lembaga inilah yang menjadi alat untuk menyelesaikan sengketa antara pejabat negara dan
anggota masyarakat yang disebabkan tindakan pemerintahan yang telah mengancam kesejatraan
masyarakat sekitar.

Dalam pengetahuan awam Sengketa lingkungan merupakan “Perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup”1.hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 25 UUPPLH-2009 secara lebih
jelas penyelesaian sengketa ini dapat dilihat pada UUPPLH-2009 pasal 84 yang pada intinya
menjelaskan:

1. Untuk menyelesaikan sengketa dapat dilakukan dengan membawa ke pengadilan atau


diluar pengadilan
2. Dalam penyelesaikan sengketa lingkungan hidup pilihanya dilakukan oleh pihak yang
bersengketa
3. Gugatan dalam pengadilan menjadi jalan terakhir apabilah kedua pilihan telah dipakai
yakni penyelesaian diluar pengadilan dinilai kurang efektif oleh salah satu pihat terkait
dalam sengketa.

1
Dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 yang membahas Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penyebab terjadinya sengketa lingkungan hidup dapat terjadi karena banyak hal misalkan
terjadinya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan yang ada oleh pemerintah secara
sengaja maupun tidak sengaja. Pencemaran yang terjadi ini dapat terihat juga dari pembuangan
limbah sembarangan dikarnakan kelalaian oleh pihak admilistrasi misalkan yang sering terjadi
pencemaran sungai yang memiliki dasar hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup,
zat, energi dan/atau komponen lain ke lingkungan hidup oleh kegiatan manusia melampau batas
tertentu.2

Terjadinya pencemaran air ini pada umumnya diakibatkan oleh tindakan manusia. Limbah yang
tercipta oleh masyarakat atau pihak pemerintah berkaitan dapat berupa padat maupun cair dan
dengan jumlah banyak dan kecil. Pada jenis kegiatan yang dilakukan pencemaran ini dibagi
menjadi:

1. Pengelolahan dari pihak industri dengan membuang limbah ke saluran air yang
merupakan bekas dari hasil sisa dari produk, pertania, peternakan dan limbah lainya dari
sumber industri
2. Limbah domesitik/ Rumah tangga pada intinya merupakan limbah yang dibuang yang
merupakan hasil bekas dari industri ini bisa dari pertokoan, rumah tinggal, rumah sakit,
kantor, restoran dan sumber yang berasal dari domestik

.Hal ini harus ditangani dengan hati-hati dan baik juga apabilah masalah ini diselesaikan dengan
baik dan memberi perlindungan pada masyarakat yang ada.

B. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian hukum ini mengunakan pendekatan
Kuantitatif dengan meniliti data dan Undang-undang hukum yang ada pada sengketa lingkungan
data numerik dan kasus nyata yang ada. Pendekatan yang dilakukan adalah komparatif dengan
membandingkan kasus yang ada dan persamaanya dalam penyelsaian persoalan.

2
Pasal 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
C. PEMBAHASAN

Dalam pembahasan sengketa lingkugan perlu kembali ditekankan bahwa perkara ini tidaka
hanya melibatkan pihak yang sendiri konflik ini juga diiringi dengan keberadaan tuntutan
(Claim). Keberadaan Indoenesia sebagai negara hukum sudah cukup lama dengan begitupulah
dengan pentingnya perlindungan hukum kepada semua warga indonesia. Perlindungan hukum ini
dapat dilihat kembali pada PTUN yang melindungi kepentingan individual dan hak asasi
manusia. Fungsi dari PTUN dalam mengatassi perkara ini bukan hanya memberikan
perlindungan hukum pada pihak terkait namun juga sebagai sarana mencapai keadilan pada
pihak yang merasa telah dirugikan dan menderita oleh pihak pejabat pemerintah yang
menimbulkan dampak negatif pada lingkungan hidup wilayah tersebut.

Untuk menyelesaikan perkara sengketa lingkungan dengan PTUN didasarkan dengan Huku,
Acara Tata Usaha Negara sama dengan sengketa pada tata usaha negara lainya, dasar hukum
yang dipakai pada PTUN yakni UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51
Tahun 2009. Hakim memiliki tugas untuk mewujudkan keadilan dengan mengunakan
kewenagan yang dimilikinya dalam membuat keputusan. Keputusan yang diambil oleh hakim
haruslah berkualitas dengan bukti dan dasar hukum yang matang sebagaimana pilihan hakim
yang dicerminkan dalam juridical activism. Yang dimaksut dari juridical activism ini berupa
pilihan hakim untuk mengambil keputusan untuk mewujudkan keadilan. 3 Keberadaan juridical
activism di negara ini dalam upaya hakim untuk menciptakan keadilan sebagaimana pada Pasal 5
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 mengenai kuasa kehakiman. Undang- Undang ini membahas
bagaimana seorang hakim memiliki tugas untuk aktif guna menciptakan keadilan bagi
masyarakat dan bagaimana posisi hakim sebagai orang yang paling ahli dalam hukum dalam
proses peradilan.

Diharapkan dalam mengatasi sengketa lingkungan di rana peradilan para hakim memiliki
pemikiran yang terbuka hal ini dikarnakan adanya kemungkina perkara lingkungan hidup yang
memiliki sifat yang rumut dan terdapat banyaknya bukti ilmiah (Scientific evidence), karena hal

3
Indriati Amarini, Keaktifan Hakim Dan Peradilan Administrasi, Universitas Muhammadiyah PurwokPress,
Purwokerto, 2017, hlm. 318
ini diharapkan agar hakim teguh dan tegah dalam menerapkan prinsip-prinsip perlindungan
hukum dalam proses pengelolahan perkara lingkungan hidup.

Sebelum masalah perkara ini di bawah ke pengadilan kedua belah pihak harus terlebih dahulu
mencoba menyelesaikan masalah perkara ini diluar pengadilan. Tujuan dari dicobanya
menyelesakan perkara diluar pengadilan ini guna melindungi hak yang dimiliki kedua belah
pihak. Perlu diketahui bahwa jika perkara ini dibawah ke pengadilan dan menjadi tuntutan akan
memerlukan waktu yang lama dan pengeluaran yang dikeluarkan cukup banyak mulai dari
pengacara, saksi, dan hakim dan apalagi apabilah kasusnya tertunda dan memakan banyak waktu
oleh karena itu diusahakan terlebih dahulu menyelesaikan masalah diluarpengadilan.

Banyak masalah yang timbul pada sidang perdata banyak persidangan perdata yang terhambat
dikarnakan kurang kejelasan dalam hukum perdata yang menjadi kesempatan bagi oknum terkait
untuk mengunakan harta benda yang dimiliki. Penyelesaian sengketa lingkungan diluar
pengadilan didasari UUPPL-2009 yang memiliki tujuan untuk mencapai kesepakatan antarpihak
dalam bentuk ganti rugi dan bisa dengan menjamin adanya tindakan untuk mencegah
pencemaran atau perusakan terhadap lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa dengan metode
ini dapat difasilitasi dengan jasa pihak ketiga, halnya dalam kewenangan dalam pengambilan
keputusan maupun membantu menyelesaikan sengketa antara masyarakat dengan pihak
pemerintah. Pihak masyarakat maupun pemerintah sendiri dapat membentuk lembaga pelayanan
penyelesaian sengketa yang tidak berpihak pada siapapun ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan di Luar Pengadilan.

Meliputi kasus admilistrasi jika berkaitan dengan masalah lingkungan dengan pengaruh oleh
masyarakat dan kepentingan umum, dalam penyelesaian perkara ini harus mementingkan
beberapa faktor seperti kepentingan pihak yang dirugikan atau bahkan terluka pihak tersebut
memili hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan admilistrasi teruatama jika hal ini
menyangkutpautkan kesejatraan masyarakat lokal. Di perkara lingkungan, penggugat sebagai
pihak yang mengalami kerusakan lingkungan dapat megajukan permohonan pembebasan biaya
perkara peradilan. Setelah menerima permohonan ini pengadilan akan mempertimbangkan
permohonan dengan memperhatikan aset, statu, pandangan publik dan hal lainya untuk
memajukan gugatan guna mereparasi lingkungan yang telah rusak.

Pada sengketa lingkungan dalam admlistrasi dapat mempengaruhi pandangan publik dan
kepentingan masyarakat berkait hal ini dapat mempengaruhi masa depan wilayat tersebut
apabilah tidak diselesaikan dengan tepat akan menjadi masalah besar kedepanya. Pengadilan
memiliki wewenang untuk memutuskan langkah pernbaikan dalam jangka waktu pendek
(sementara) agar memperlambat kerusakan dan pencemaran lingkungan sebelum ada putusan
akhir tanpa pemohon oleh pihak penggugat. 4 Agar proses peradilan dapat berjalan dengan cepat
dan lancar dan tidak tertunda, Pengadilan dapat memberikan izin untuk pihak pengugat yang
mengajukan tanggapan.

Dalam UU No 30 Tahun 1999 mengenai Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.


Dinyatakan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan lembaga untuk menyelesaikan
sengketa dengan kontrak yang telah disetujui kedua belah pihak yakini mediasi, kostultasi,
konsiliasi dan pemahaman dari para ahli hukum. Berikut penyelesaian sengketa dengan langkah-
langkah Alternatif:
1. Sengketa dapat diselesaikan oleh pihak berkaitan melalui metode alternatif penyelsaian
sengketa dengan maksut itikad baik dibandingakn pergi sendiri ke Pengadilan Negeri
2. Sengketa dapat diselesaikan oleh pihak berkaitan melalui Alternatif penyelesaian dengan
pertemuan langsung oleh pihak berkaitan dengan maksimal waktu empat belas hari dan
kesepakatan ini merupakan kesepakatan tertulis
3. Sengketa dapat diselesaikan oleh pihak berkaitan melalui kesepakatan tertulis antar
pihak, sengketa yang diselesaikan dengan bantuan oleh penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator.
4. Sengketa dapat diselesaikan oleh pihak berkaitan dalam waktu paling lama empat belas
hari dengan bantuan penasehat hukum/ ahli namun tidak memediasi kedua belah pihak
maka dapat menghubungi lembaga arbiratase guna menunjuk mediator

4
Rule of The General Assembly Of Judges Of The Supreme Administrative Court On Administrative Court
Procedure, B.E. 2543 (2000)
5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat
dimulai.
6. Sengketa dapat diselesaikan oleh pihak berkaitan melalui mediator dengan memegang
kerahasiaan, dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) dengan tujuan tercapainya
kesepakatan dalam bentuk tertulis antar pihak terkait.
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan
mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib WACANA
HUKUM VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009 93 didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
8. Sengketa dapat diselesaikan oleh pihak berkaitan berbeda pendapat ,wajib selesai
terlaksana paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian tersebut tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan
kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga
arbitrase atau arbitrase ad–hoc.

Setelah dicoba mediasi akan dapat terjadi negosiasi. Negosiasi dalam pengertian umum memiliki
makna sebagai satu upaya penyelesaian sengketa bagi para pihak tanpa melalui proses
peradilan. Dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih
harmonis dan kreatif.Dengan demikian negosiasi adalah proses tawar menawar yang bersifat
consensus yang di dalamnya para pihak berusaha memperoleh atau mencapai persetujuan tentang
hal-hal yang di sengketakan atau yang memiliki kemungkinan menciptakan sengketa. Para pihak
yang bersengketa berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang
mereka hadapi secara korporatif dan saling terbuka. Meskipun sederhana, negosiasi adalah suatu
keterampilan yang bersifat mendasar yang dibutuhkan oleh para negosiator.
Negosiasi baik yang bersifat tranksional (transactional negotiation) maupun dalam konteks
penyelesaian sengketa (dispute negotiation), tidak hanya sekedar sebuah proses yang bersifat
intuitive, melainkan proses yang harus dipelajari, perlu pengetahuan, strategi dan keterampilan
tertentu. Menurut Suparto Wijoyo, bahwa negosiasi ini bersifat informal, tidak terstruktur, dan
waktunya tidak terbatas.

Tujuan dari penyelesaian masalah tanpa proses pengadilan adalah untuk mempersingkat waktu
dan tenaga apabilah dengan mengangkat gugata ke pengadilan, apalagi peradilan dinilai kurang
responsif dalam peyelesaian perkara. Sementara itu, dalam persidangan perdata di Indonesia,
kapan perkara dapat terselesaikan secara normatif tidak ada aturan hukum yang jelas, sehingga
bagi yang beritikad buruk akan semakin lama menikmati sesuatu kebendaan yang bukan
miliknya, sebaliknya yang beritikad baik akan semakin menderita kerugian oleh karena suatu
sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu terkait dengan beban pembuktian
dalam proses penyelesaian melalui litigasi merupakan kewajiban penggugat sebagaimana
dijelaskan diatas, padahal dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam
soal hokum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah.

Dalam Penyelasaian sengketa dengan pengadilan dimana diatur dalam UUPLH, pengaturan
penyelesaian sengketa lingkungan terdapat pada Pasal 84-93. Menurut Pasal 84 ayat (1)
UUPPLH: “Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan”. Penyelesaian sengketa lingkungan dengan mengunakan fasilitas pengadilan
dilaksanakan dengan tersampaikanya gugatan sengketa lingkungan yang didasarkan Pasal 87
ayat (1) UUPPLH jo Pasal 1365 BW tentang ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatigedaad).
Dialaskan ketentuan ini, masih banyak kesulitan bagi korban untuk berhasil dalam gugatan
lingkungan, korban memiliki kemungkinan kekalahan yang cukup tinggi . Kesulitan utama yang
dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat adalah :

1. Membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur
kesalahan (schuld) dan unsur hubungan kausal (Siti Sundari Rangkuti,1996:246). Pasal
1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan (schuld
aansprakelijkheid), yang dapat dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam
sistem hukum Anglo-Amerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan
pencemaran dengan kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk
menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah
pada tempatnya.
2. Masalah beban pembuktian (bewijslast atau burde of proof) yang menurut Pasal 1865
BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. Padahal, dalam
kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali
berada pada posisi ekonomi lemah, bahkan sudah berada dalam keadaan WACANA
HUKUM VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009 94 sekarat (seperti dalam Tragedi Ajinomoto di
Mojokerto). Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan
ganti kerugian untuk membuktikan kebenaran gugatannya (Siti sundari rangkuti,1991:16.
Menghadapi kelemahan ini, Hukum Lingkungan Keperdataan (privaatrechtelijk
miliuerecht) mengenal asas tanggunggugat mutlak (strick liability - risico
aansprakelijkheid) yang tertulis pada Pasal 88 UUPPLH.

Tanggunggugat mutlak timbul seketika pada pada saat terjadinya perbuatan, tanpa
mempersoalkan kesalahan tergugat. Apakah asas strict liability diterapkan untuk semua gugatan
lingkungan? Asas strict liability lazimnya hanya hanya diimplementasikan pada types of
situation tertentu (kasuistik). termasuk types of situation bagi berlakunya strick liability adalah
extrahazardous activities yang menurut Pasal 88 UUPPLH meliputi setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Ukuran ancaman serius tentu sangat saintifik dan membutuhkan pengaturan hukum yang cermat
demi terjaminnya kepastian hukum.

Di waktu belum berlakunya UUPPLH, asas strick liability sudah terterap secara selectif oleh
Pasal 21 UUPLH. Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa
keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan
lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya
sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya. Hukum Lingkungan Keperdataan tidak saja
mengenal sengketa lingkungan antara individu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat
dengan kepentingan yang sama melalui gugatan kelompok – class action – actio popularis.

Dalam Pasal 90 UUPPLH memberi pengaturan gugatann perwakilan hal ini menjadi simbol atas
keberhasilan dan kemajuan UUPPLL yang juga menjadi pengakuan pertama atas class actio
yang ada dalan perundang-undangan nasional di indonesia. Class action sendiri tidak bisa
ditumbukkan dengan ius standi lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi
Lingkungan Hidup (OLH) sebutan UUPLH.

Didasarkan dengan ketentuan pasal 92 Pasal 92 UUPPLH, OLH yang memiliki kuasa
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan harus memenuhi
persyaratan: berbadan hukum dan bertujuan melestarikan fungsi lingkungan. Dingatkan bahwa
bagian terbesar dari hukum lingkungan adalah hukum admilistrasi, perlu diketahui cara
pernyelesaian sengketa lingkungan dapat juga dengan berupa gugatan kepada setiap orang
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pasal 93 UUPPLH karena kepentingannya (atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat) dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
KTUN – “ijin” di bidang lingkungan berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN).
Dapat diambil contoh dari sengketa lingkungan dengan guagatan mengenai kehutanan yakni
penyelesaian sengketa melalui pengadilan (diatur dalam Pasal 76) Penyelesaian sengketa
kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai:
A. Pengembalian suatu hak,
B. Besarnya ganti rugi
C. Tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
D. Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu pengadilan dapat menetapkan
pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelakanaan tindakan tertentu tersebut setiap
hari.

Ada juga jenis gugatan yang dapat dipakai dengan gugatan biasa gugatan atas nama lngkungan
hidup. Pengugatnya ini tidaklah lagi merupakan masyarakat, instansi pemerintah atau instansi
pemerintah daerah yang memiliki tanggung jawab dalam bidang kehutanan, serta organisasi
bidang kehutanan. Masyarakat punya hak melakukakan gugatan class action, Hak mengajukan
gugatan tersebut terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 71) Jika diketahui bahwa masyarakat
menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah
yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat
(Pasal 72).
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan
berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan (Pasal 73
ayat 1). Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan harus memenuhi
persyaratan:
1. Berbentuk badan hukum
2. Organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan
didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan
3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
D. KESIMPULAN
Dapat disimpulakn mengenai keberadaan sengketa lingkungan yang merupakan kejadi perkara
yang terjadi apabilah masyarakat merasa dirugikan dengan pengunaan sumber daya alam yang
merugika dan mencemar wilyah daerah lokal. Tekah disimpulkan bahwa ada kelemahan dalam
hukum perdata dalam pengugatan bagi masyarakat yang memberikan kesempatan bagi oknum
terkait untuk menghabiskan/ menyembunyikan harta yang harusnya digunakan untuk
menyejatrahkan masyarakat. Walau sudah ada tindakan preventif UU yang terkait ini hanya
bersifat sementara dan tidak pantas dalam rangka waktu panjang. Lebih baik disarankan agar
daerah provinsi di indonesia mulai menciptakan organisasi hukum untuk menjerat kembali
pelanggaran Ham yang dapat terjadi di tanah Negara Indonesia merujuk pada Pasal 86
ayat (1) dan (2) UUPPLH-2009, sehingga tidak terjadi kekosongan lembaga untuk
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) terus menerus. Ditambahkan juga dengan
peradila yang kurang efektif mengenai sengketa lingkungan dan meminimalisir waktu lembaga
terkait untuk menghidadri keterlamabatan dalam penanganan kasus Haptum atau sengketa
lingkungan terkait lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amarini, Indriati, Keaktifan Hakim Dan Peradilan Administrasi, Universitas
Muhammadiyah Purwokerto Press, Purwokerto, 2017.

HR., Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011.

Harjiyatni, Francisca Romana, Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Pertama,


Kepel Press, Yogyakarta, 2017.

Susi Andi Nugroho, 2003, Naskah Akademik Court Dispute Resolution, Puslitbang Hukum
dan Peradilan MA.

Sodikin, 2003, Penegakan hokum lingkungan tinjauan atas UU


No. 23 tahun 1997,Jakarta: Djambatan.

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN. Rencana kerja Direktorat


penyelesaian sengketa lingkungan hidup. 2020

JURNA
Aminah. GUGATAN PERDATA BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DI
INDONESIA. Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro. 2019
Francisca Romana Harjiyatni. Studi Komparatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Di Pengadilan Tata Usaha Negara Indonesia Dan Thailand. 19 Mei 2022

La Ode Angga.ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI


LUAR PENGADILAN (NON LITIGASI). 2019

Selamat Lumban Gaol . PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PASCA BERLAKUNYA UU NOMOR
11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA. 2020

Umar Dani. PTUN dan Kebenaran Formal-Suatu Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa
Pertanahan di Indonesia. 2019

Anda mungkin juga menyukai