Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ETIKA BUDAYA SUMATERA UTARA

“ KEBUDAYAAN BATAK TOBA“


Dosen Pengampu Sihar Siahaan, S.T,
M.T.

Disusun

Kelompok3 – Batak Toba


M Fahri Irawan 2205011069
Dika Dwi Aldani 2205011029
M Farhan Hamid 2205011118

PROGRAM STUDI TEKNIK


MESIN POLITEKNIK NEGERI
MEDAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Tiada kalimat yang pantas penulis ucapkan kecuali rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas selesainya makalah yang berjudul "Kebudayaan Batak Toba". Tidak lupa pula
dukungan baik secara materil dan nonmateril yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu, izinkan penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Sihar
Siahaan, S.T, M.T.

Penulis sadar bahwa makalah yang disusun ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
dengan rendah hati penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
penyempurnaan makalah ini.

Medan, 13 November 2023


i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian..................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................6
2.1 Bentuk Kepemimpinan adat Toba Di Kabupaten Toba.........................................................6
2.2 Adat Perkawinan suku Batak Toba Di Kabupaten Toba.......................................................7
2.3 Sistem kekerabatan dan pembagian harta waris pada suku Batak Toba Di Kabupaten
Toba......................................................................................................................................10
2.4 Delik Adat Pada Masyarakat Toba Di Kabupaten Toba...................................................... 11
BAB III PENUTUP......................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................14
3.2 Saran.....................................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................16

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatera yang terletak
pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, dengan luas daratan 71.680 km². Medan
adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara juga merupakan pusat kantor pemerintahan dan pusat
bisnis hingga menjadikan Medan sebagai kota terbesar ke-3 di Indonesia. Pada bagian pesisir
timur, wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan
infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga
merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya.
Pada masa kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini termasukresidentie Sumatra's Oostkust bersama
provinsi Riau.Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan
ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong konsentrasi penduduk. Daerah di
sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir, merupakan daerah padat penduduk yang
menggantungkan hidupnya kepada danau ini.
Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk
(kepulauan Nias) yang terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di
sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera Hindia. Pusat
pemerintahan terletak di Gunung Sitoli, dan pulau Berhala di selat Sumatera (Malaka).
Kepulauan Batu ini terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar: Sibuasi, Pini, Tanahbala,
Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulautelo di pulau Sibuasi. Kepulauan Batu terletak di
tenggara kepulauan Nias.
Provinsi ini dihuni oleh banyak suku bangsa yang tergolong dari Melayu Tua dan Melayu
Muda. Penduduk asli provinsi ini terdiri dari Suku Melayu, Suku Batak, Suku Nias, dan Suku
Aceh. Daerah pesisir Sumatera Utara, yaitu timur dan barat pada umumnya didiami oleh Suku
Melayu dan Suku Mandailing yang hampir seluruhnya beragama ISLAM.

Hal. 1
2

Sementara di daerah pegunungan banyak terdapat Suku Batak yang sebagian besarnya
beragama KRISTEN. Selain itu juga ada Suku Nias di kepulauan sebelah barat. Kaum
pendatang yang turut menjadi penduduk provinsi ini didominasi oleh Suku Jawa. Suku lainnya
adalah Suku Tionghoa dan beberapa minoritas lain1.
Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang wilayahnya meliputi
Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu, dan sekitarnya.
Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena 4 (empat) sub atau bagian suku
bangsa Batak (Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah dan contoh marga yang
berbeda. Pada Desember 2008, Keresidenan Tapanuli disatukan dalam Provinsi Sumatera Utara.
Toba saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Toba Samosir yang beribukota di Balige.
Kabupaten Toba Samosir dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 12. Tahun 1998 tentang
pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Mandailing Natal, di
Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Toba Samosir ini merupakan pemekaran
dari Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Utara2. Lebih lanjut budaya suku Batak Toba
berdasarkan rumusan C. Kluckhohn, yaitu :
1. Bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat, ialah:
(1) Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo;
(2) Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak;
(3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun;
(4) Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.

2. Sistem Pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam.
Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu
disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama
mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu
pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada
persetujuan pesertanya3.

1
BPS Sumut, Sumatera Utara, http://www.bps.sumut.go.id.com, acces 25 Desember 2013.
2
Wikipedia, Suku Batak Toba, http://www.wikipedia.com, acces 24 Desember 2013.
3
Jona L Toruan, Suku Bangsa Batak dan Konsep Kebudayaan Batak, http://www.habatakon01. blogspot.com, 25
Desember 2013.
Hal. 2
3

3. Teknologi
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan
untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa
Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani.
Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso
gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang
panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang
mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.

4. Organisasi Sosial
a. Perkawinan
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda
klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain
selain marganya (eksogami). Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari
suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara
tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja karena
mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk mahar perkawinan-saudara
mempelai wanita yang sudah menikah.

b. Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan
hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan
(genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga
mulai dari si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan
kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga
tertentu) maupun karena perkawinan.
Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah dalam
marga. Dimana marga artinya, misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah marga
Harahap dengan marga lainnya. Berhubung bahwa adat Batak atau tradisi Batak sifatnya
dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap

Hal. 3
4

perbedaan corak tradisi antar daerah4.

5. Mata Pencaharian
Pada umumnya masyarakat Batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan
didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi
tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan
kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian
penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun,
anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.

6. Sistem Religi
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan. Agama
kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara. Walaupun d
emikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih mmpertahankan
konsep asli religi pendduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta
beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan bertempat tinggal diatas
langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya dan kedudukanya . Debeta Mula
Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom:
berkedudukan sebagai penguasa dunia mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan
jiwa orang batak mengenal tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh
kekuatan yang dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak
juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.

7. Kesenian
Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas (bersifat
hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak
adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah,
upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara
menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang .

4
Wikipedia, Op. Cit.
Hal. 4
5

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah sistem ketatanegaraan (kepemimpinan) pada suku Batak Toba?
2. Bagaimana hukum adat tentang perkawinan pada suku Batak Toba?
3. Bagaimanakah bentuk pembagian harta waris dan sistem kekerabatan suku Batak
Toba?
4. Bagaimana hukum adat terhadap delik adat (penculikan) pada suku Batak Toba?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui sistem ketatanegraan (kepemimpinan) pada suku Batak Toba;
2. Mengetahui tentang hukum perkawinan pada suku Batak Toba;
3. Mengetahui bentuk pembagian harta waris dan sistem kekerabatan suku Batak
Toba;
4. Mengetahui tentang hukum terhadap delik adat (penculikan) pada suku batak Toba.

1.4 Manfaat
1. Bagi penulis penelitian ini digunakan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Etika
Budaya Sumatera Utara
2. Bagi masyarakat makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang
suku Batak Toba.

Hal. 5
6

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kepemimpinan
Secara umum orang Batak Toba menyebut dirinya keturunan raja (anak ni raja). Karena
itu mereka semua adalah raja. Namun yang dimaksud adalah raja dalam arti kehormatan.
Memang dikenal juga raja yang dikaitkan dengan jabatan, walaupun setelah tidak memegang
jabatan struktural itu, yang bersangkutan tetap dipanggil raja namun sudah dalam arti yang
umum. Orang Batak Toba mengenal jenis kepemimpinan sebagai berikut :
1. Raja Huta, yakni pemimpin tertinggi di dalam satu huta atau kampung pemukiman. Secara
tradisi biasanya pendiri kampung dipilih rakyatnya menjadi raja huta. Kemudian ditentukan
siapa yang menjadi raja pandua atau raja kedua (wakil raja).
2. Raja Horja, yaitu raja yang memimpin beberapa huta (kampung) yang bergabung menjadi
satu horja. Raja dipilih dari para raja huta yang bergabung dalam federasi Horja. Demikian
juga wakilnya. De Boer menyebutkan bahwa raja horja adalah kesatuan kolektif pemimpin
horja yang bernama raja parjolo, raja partahi dan raja pandapotan.
3. Raja Bius, yaitu raja yang memimpin upacara di dalam satu persekutuan bius. Raja bius
dipilih dari setiap kumpulan horja. Dinamakan juga Raja Pandapotan dipilih dalam satu
rapat warga. Dia berkemampuan memimpin dan menyelenggarakan upacara keagamaan
bersama raja parbaringin. Bila dia menyelenggarakan pesta bius, maka raja-raja pandapotan
yang lain diundang untuk berpartisipasi.
4. Raja Parbaringin yaitu terdiri dari empat orang yang dipilih anggota masyarakat dari tiap-
tiap bius marga dalam satu rapat khusus. Raja-raja ini merupakan pemimpin-pemimpin
upacara kepercayaan keagamaan.
5. Raja Maropat (Toba), adalah para pemimpin yang secara struktural dibentuk oleh Raja
Sisingamangaraja XII, sebagai orang yang sangat dipercayainya dalam segala hal. Mereka
berfungsi mewakili Raja Sisingamangaraja dalam pesta bius untuk minta hujan, melawan
penyakit kolera atau cacar, maupun pesta taon atau mamele taon yang diselenggarakan sekali
setahun saat panen perdana.
Upacara-upacara adat selalu dipimpin oleh orang yang dihunjuk secara demokratis
oleh masing-masing pihak (hasuhuton) yang terlibat adat. Penghunjukan pemimpin upacara
adat yang dinamakan juga raja parhata atau Raja Parsinabul (parsinabung), dengan
Hal. 6
7

menanyakan semua keturunan nenek moyang (marompu-ompu) secara berurutan menurut


senioritas dalam silsilah keturunan. Proses pemilihan pemimpin upacara pada adat kematian,
perkawinan dan yang lain adalah sama. Tampaknya penamaan pemimpin di kalangan orang
Batak Toba cenderung beragam. Hal ini bisa terjadi karena pemerintahan adat Batak Toba
tidak sentralistis, tetapi otonomitis, atau desentralistis. Masing-masing wilayah punya
kebiasaan penamaan kepemimpinan sendiri, sesuai dengan latar historis mereka masing-
masing. Bahkan tampaknya pada setiap jenis kegiatan ditentukan para pemimpinnya dengan
nama sendiri yang dihubungkan dengan fungsinya. Misalnya ketika akan membahas
pendirian satu perkampungan baru, maka akan hadir dalam rapat atau tonggo raja (sering
juga dinamakan marria raja) yang diadakan khusus untuk tujuan itu, raja parjolo, raja patahi,
raja huta dan raja namora. Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang mendiskusikan
pembangunan perkampungan baru itu secara musyawarah untuk bermufakat. Setiap hadirin
berhak bicara (demokrasi) sesuai dengan jenjangnya. Bila tidak tercapai permufakatan, maka
gagasan mendirikan kampung baru itu harus ditunda. Atau bila yang berencana kurang
merasa puas, mereka akan mengulangi permohonannya pada kesempatan lain, atau
membawanya ke tingkat horja untuk dipertimbangkan5.
Berdasarkan fakta di atas, maka pada masyarakat adat Batak Toba dalam hal
pemilihan pemimpin mereka sudah mengenal sistem Demokrasi. Dengan demikian,
berdasarkan pendapat Pospisil pendekatan terhadap kepemimpinan oleh masyarakat adat
Batak Toba ialah pendekatan Sosiometrik yang dimana pemimpin itu ditentukan dengan
teknik pemilihan anggota dengan perhitungan puluhan. Pendekatan ini mencampuradukan
cara pandang antara gejala kepemimpinan yang sedang berjalan (actual) dengan pandangan
para anggota kelompok terhadap kepemimpinan itu6.
Dengan pendekatan yang bersifat soisometrik tersebut maka kedudukan yang
diperoleh oleh pemimpin dalam adat Batak Toba merupakan kedudukan yang bersifat
achieved status yaitu kedudukan yang hanya dapat diperoleh dengan usaha7 dan bukan
merupakan kedudukan social yang bersifat ascribed status yaitu kedudukan social yang
diperoleh dengan sendirinya.

5
Bungaran Antonius Simanjuntak, Demokrasi Batak Toba, Kepemimpinan, dan Perilaku Hubungan Sosial,
http://www.simanjutak.or.id, accces 24 Desember 2013.
6
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 98.
7
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 170.
Hal. 7
8

2.2 Perkawinan
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut hukum eksogami
(perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam
masyarakat Batak Toba: orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri
(namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan
bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Hak
tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki.
Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni :
1. Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan
2. Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan),
dan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak.
Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi apabila tondi mereka tidak bisa lagi
hidup rukun (so olo marrongkap tondina) dan itu akan tampak di kemudian hari.
Ketidakrukunan ini mungkin akan mengakibatkan terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali
mereka sudah melahirkan anak, ikatan antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta
semakin kokoh. Hukum eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan sudah melekat
dalam diri setiap orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya tidak mengherankan,
apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya.
Yang termasuk pelanggaran, antara lain na tarboan-boan rohana (yang dikuasai oleh
nafsu-keinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto (saudara perempuan
dari anggota marga sendiri). Selain larangan marsumbang, hubungan lain yang tidak
diperkenenkan adalah marpadanpadan (kumpul kebo). Marsumbang baru dibolehkan jika
perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi selama beberapa
generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka pendapat umum dan alat
kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan. Ritusnya adalah sebagai berikut: gondang
mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau mengaum), artinya, rakyat akan
berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku. Peribahasa yang digunakan untuk
semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni babi;
Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi." (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak
taat hukum dan menjalankan yang tabu)8.
Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat

8
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hlm. 209.
Hal. 8
9

demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau
dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial
sebagaimana yang ditentukan oleh adat. Ritusnya adalah sebagai berikut : Pihak-pihak yang
melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti
mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para kepala dan ketua
yang tercemar karena kejadian itu. Makanan yang dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran
(panagurasion) terhadap tanah dan penghuninya9.
Berdasarkan pendapat Posposil yang mengatakan bahwa hukum harus memenuhi empat
syarat, yakni :
a. Attribute of authority. atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktifitas
kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan melalui suatu mekanisme yang
diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keuputusan itu memberi
pemecahan terhadap ketagangan social yang disebabkan karena misalnya ada : (i)
serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap hak orang lain;
(iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap
keamanan umum.
b. Attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-
keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan
yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap
peristiwa-peristiwa dalam masa yang akan dating.
c. Attribute of obliogation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan pemegang
kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak ke satu terhadap pihak kedua,
tetapi juga hak dari pihak kedua harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Didalam hal ini pihak
kesatu dan kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Kalau keputusan tidak
mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan tak akan
ada akibatnya dan karena itu tidak akan merupakan keputusan hukum; dan kalau pihak itu
misalnya nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan
kewajiban pihak ke satu ke pihak kedua itu bukanlah hukum, melainkan suatu keputusan
yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.
d. Attribute of sanction menentukan bahwa keputusan-keputasan dari pihak berkuasa itu
harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi

9
Wikipedia, Perkawinan Adat Batak Toba, http://wikipedia.com, acces 25 Desember 2013.
Hal. 9
10

jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (yang misalnya amat
dipentingkan dalam sistem-sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga sanksi rohani
seperti misalnya menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan sebagainya 10 maka
ritus-ritus yang di lakukan masyarakat Batak Toba terhadap pelanggaran na tarboan-
boan rohana, marsumbang dan marpadanpadan merupakan hukum adat karena dalam
pelaksanaanya terdapat keterlibatan pemimpin (authority), berlaku umum (universal),
bersifat obligation yang dimana masyarakat berhak untuk menangkap dan menuntut
pelaku dan perlaku wajib untuk melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum), serta
adanya sanksi berupa manjuhuti mangindahani.

2.3 Sistem Kekerabatan dan Pembagian Harta Waris


Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang patrilineal yaitu garis
keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun
dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah
atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun
bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah.
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki – laki
sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain
pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak
laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu
anak laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia
mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian
harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system
kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan
perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil
kepada anak – anak nya dalam pembagian harta warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar),
hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak
perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga
serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan
hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.

10
Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 202.
Hal. 10
11

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena
sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang
bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang
mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada
anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak
memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan
pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak
perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan
dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih
terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan
dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam
mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka,
Rumah Induk atau Rumah peninggalan orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua
anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampung
halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya.
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan
saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang
tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan
tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka
berkeluarga11.

2.4 Delik Adat (Penculikan)

Mengenai hukum pelanggaran digunkan istilah panguhumon ta angka parsala, yang


berarti hukum dalam hal mereka yang berbuat salah, pengadilan terhadap mereka serta hukuman
yang dijatuhkan. Sala berarti kesalahan, perbuatan tercela, pelanggaran; parsala (orang yang
melakukan suatu kesalahan, orang yang melakukan pelanggaran). Istilah parsala agak luas
penerapanya daripada pengaloasi (orang yang menyalahi), karena mangaloasi (menyalahi) yang
menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus diumumkan sebagai peraturan yang
harus dipatuhi, sedangkan parsala dapat juga berarti sesuatu yang tidak boleh dilakukan, dalam
11
Rudian Siaban, Pembagian Warisan Dalam Adat Batak Toba, http://www.rudin76-ban.blogspot.com, acces 25
Desember 2013.
Hal. 11
12

arti yang lebih umum12.

Ada banyak tindakan yang termasuk sebagai pelanggaran dalam masyarakat adat Batak
Toba, namun akan dibahas tentang tindakan penculikan bagi masyarakat Batak Toba. Tindakan
penculikan bagi masyarakat Batak Toba tidak hanya merugikan pihak terkait (keluarga korban)
juga terhadap kepala dan ketentraman serta kedamian di dalam masyarakat. Jika terjadi kasus
penculikan, tiba-tiba aka

n terdengar hentak dan tepuk pada lantai batu seperti yang lazim pada suatu tarian, dan
orang pun akan mengalir berduyun-duyun untuk memberi bantuan kepada yang empunya hajat.
“Kendang bertalu-talu, harimau mengaum” terdengar pada waktu seluruh wilayah dalam
keadaan cemas begitu rupa sehingga semua orang berhimpun untuk memuntahkan perasaan hati.
Oleh karena itu, selain pihak yang tersinggung harus menerima pemuasan, kepala juga harus
ikut serta ketika hukuman harus dijalani dengan cara menghidangkan nasi dan daging dan ketika
denda dan sebagainya harus dibayar13.

Berdasarkan fakta di atas bisa diketahui bahwa panguhumon ta angka parsala merupakan
hukum karena telah memenuhi 4 tanda hukum, yakni : authority, obligation, universal, dan
sanction14 dan memiliki budaya hukum yang bersifat partisipan.

12
J.C. Vergouwen, Op. Cit., hlm. 484.
13
Ibid.
14
Hilman, Op. Cit., hlm. 93.
Hal. 12
13

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kepemimpinan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui bahwa penetapan pemimpin pada
masyarakat Batak Toba didasarkan atas sistem demokrasi, hal ini terlihat misalnya Raja
Horja merupakan raja dari beberapa kampung (huta) yang dipilih dari para Raja Huta.
Dalam mengambil keputusan bersama, masyarakat Batak Toba selalu mengedepankan
musyawarah-mufakat, misalnya dalam menentukan pembentukan kampung (huta) baru.
Senada dengan pendapat Pospisil bahwa sistem demokrasi yang dianut oleh masyarakat
Batak Toba menentukan pemimpin adalah pendekatan kepemimpinan yang bersifat
sosiometrik.

2. Perkawinan
Masyarakat Batak Toba merupakan penganut sistem perkawinan eksogami sehingga
endogamy atau dalam bahasa Batak Toba disebut marsumbang dianggap sebagi
pelanggaran terhadap hukum adat dan akan membuat roh para leluhur marah. Selain
marsumbang, na tarboan-boan rohana, dan marpadanpadan juga merupakan sebuah
pelanggaran terhadap hukum adat dan dipercaya akan membuat roh-roh leluhur marah.
Para pelaku akan mendapat sanksi berupa manjuhuti mangindahani yakni
mempersembahkan jamuan nasi dan daging (babi, sapi atau kerbau) guna memperbaiki
nama kepala atau raja yang tercemar karena kejadian itu, sekaligus mentahirkan tanah dan
penghuninya.

3. Sistem Kekerabatan dan Pembagian Harta Waris


Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal.
Dalam hal pembagian harta waris pihak perempuan tidak mendapat harta warisan apa-apa
dari orang tuanya, harta warisan akan jatuh pada anak laki-laki baik anak kandung
maupun anak tiri namun ada beberapa warisan yang tidak bisa diserahkan kepada anak tiri
misalnya pusaka turun-temurun. Dan anak laki-laki bungsu (siapudan) memiliki hak-hak
khusus dalam pembagian harta waris. Sedangkan pihak perempuan yang tidak mendapat
harta warisan apa-apa dari orang tuanya akan mendapat harta warisan dari mertuanya atau
Hal. 13
14

orang tua suaminya. Jika tidak terdapat anak laki-laki sebagai pewaris maka harta warisan
akan jatuh di tangan saudara ayahnya. Saudara ayahnya yang menerima harta warisan
tersebut berkewajiban menafkahi anak perempuan pewaris sampai dia berkeluarga.

4. Delik Adat (Penculikan)


Masyarakat Batak Toba memiliki budaya hukum partisipan yakni suatu sikap
dimana masyarakat ikut menilai setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat
dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan
keluarga dan dirinya sendiri. Sanksi atau pertobatan (manopoti/pauli uhum) yang
dibebankan kepada penculik adalah berupa manjuhuti mangindahani yakni
mempersembahkan jamuan nasi dan daging (babi, sapi atau kerbau) guna memperbaiki
nama kepala atau raja yang tercemar karena kejadian itu, sekaligus mentahirkan tanah dan
penghuninya.

3.2 Kritik dan Saran


1. Kepemimpinan
Sistem demokrasi dan sikap musyawarah-mufakat dalam mengambil keputusan
bersama yang telah dikenal oleh masyarakat Batak Toba hendaknya terus dipertahankan.
Mengingat perkembangan zaman yang semakin kompleks saat ini maka sikap
bermusyawarah untuk mufakat itu sangat sesuai demi menjaga kesatuan dan persatuan di
kalangan masyarakat.

2. Perkawinan
Sistem perkawinan eksogami yang dianut oleh masyarakat Batak Toba hendaknya
dipertahankan karena dengan adanya keharusan untuk mengawini orang diluar marganya
maka hal tersebut terhindar sikap maupun proses berpikir yang monoton.

3. Sistem Kekerabatan dan Pembagian Harta Waris


Sikap patrilineal perlu ditinjau kembali dengan mempertimbangkan berbagai aspek
terutama aspek keadilan, dan tidak menutup kemungkinan akan adanya rasa iri dan
keinginan untuk memberontak dari para salah satu pihak yang bersangkutan terutama ahli
waris dari pihak perempuan.
Hal. 14
15

4. Delik Adat (Penculikan)


Sanksi berupa manjuhuti mangindahani sangat efektif sehingga sangat layak untuk
dipertahankan, bila perlu pemerintah harus mencoba untuk memikirkan sanksi-sanksi
pidana selain penjara, kurungan dan denda sebagaimana yang kita kenal saat ini. Dan
merubah bentuk-bantuk sanksi yang sederhana namun memberi efek jera berat bagi pelaku
sebagaimana sanksi manjuhuti mangindahani di masyarakat Batak Toba.

Hal. 15
16

DAFTAR PUSTAKA

BPS Sumut, Sumatera Utara, http://www.bps.sumut.go.id.com, acces 25 Desember 2013.

Wikipedia, Suku Batak Toba, http://www.wikipedia.com, acces 24 Desember 2013.

Jona L Toruan, Suku Bangsa Batak dan Konsep Kebudayaan Batak, http://www.habatakon01.
blogspot.com, 25 Desember 2013.

Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.
98.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 170.

J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2004,
hlm. 209.

Wikipedia, Perkawinan Adat Batak Toba, http://wikipedia.com, acces 25 Desember 2013.

Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 202.

Rudian Siaban, Pembagian Warisan Dalam Adat Batak Toba, http://www.rudin76-


ban.blogspot.com, acces 25 Desember 2013.

J.C. Vergouwen, Op. Cit., hlm. 484.

Ibid.

Hilman, Op. Cit., hlm. 93.

Anda mungkin juga menyukai