Desa tomok merupakan salah satu desa yang terletak didaerah pulau
Samosir, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Tomok adalah pintu
gerbang untuk memasuki pulau samosir melalui pelabuhan ajibata, parapat.sebab
desa ini letaknya sangat strategis dipulau samosir karena lokasinya yang mudah
dijangkau dengan menggunakan kendaraan seperti transportasi umum dan lain
nya.desa ini merupakan salah satu desa kecil selain desa simanindo yang letaknya
hanya beberapa kilometer saja. Namun desa tomok mempunyai objek wisata yang
luar biasa indah nya.mulai dari panorama alam yang membentang dengan jejeran
perbukitan hiaju serta beberapa objek wisata sejarah dan budaya yang dapat kita
temukan disalah satu kawasannya.
Kedua desa tersebut berada di salah satu kecamatan dari 16 kecamatan yang ada
di Kabupaten Samosir yakni, Kecamatan Simanindo. Kecamatan Simanindo yang
berpusat di desa Ambarita terdiri dari 21 desa/kelurahan. Secara geografis
Kecamatan Simanindo terletak pada 2° 32’ – 2° 45’ LU dan 98° 50’ BT. Tomok
Parsaoran pada kecamatan ini merupakan pintu gerbang yang berada di sebelah
Timur Pulau Samosir.
Adapun desa Tomok Parsaoran berdasarkan Profil Desa terletak antara batasan-
batasan wilayah yaitu:
Desa Tomok Parsaoran dari sisi ekonomi memiliki potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan. Salah satu potensi yang nampak adalah masih luasnya
lahan tidur khususnya di dusun III Tomok, dimana lahan ini sangat cocok
dikembangkan menjadi areal pertanian terkhusus tanaman pangan dan palawija,
sayur dan buah, serta tanaman coklat yang telah terbukti dapat tumbuh dan
produktif. Pertanian yang dikembangkan selama ini masih pertanian tradisional
seperti padi, cokelat, bawang, cabai, cengkeh, kemiri dan lain-lain. Untuk itu
dibutuhkan sebuah pembaharuan dibidang pertanian untuk meningkatkan
pertanian. Keterbatasan lahan dan teknologi pertanian yang ramah lingkungan
mutlak diperlukan. Selain untuk pertanian lahan ini juga bisa dikembangkan
untuk lahan peternakan, khususnya peternakan besar seperti sapi, kerbau dan
kambing.
3. Bahasa
Berdasarkan variasi dialek bahasa, seluruh etnik toba dapat
dikategorisasikan ke dalam empat wilayah, yaitu : Silindung, Humbang, Toba,
dan Samosir. Mereka secara umum menggunakan bahasa batak toba dengan
penekanan dan intonasi yang sedikit berbeda (Samosir 1988: 44). Variasi dialek
dalam bahasa Batak Toba tersebut hanyalah mengandung sedikit perbedaan. Pada
umumnya, perbedaan itu mencakup intonasi (lagu kalimat), dimana wilayah
Tapanuli Utara termasuk menggunakan pemakaian bahasa batak toba yang lebih
“halus”. Di wilayah Samosir, termasuk desa Tomok Parsaoran, masyarakatnya
menggunakan bahasa batak toba yang kurang halus atau “sedang”. Sementara di
wilayah Toba termasuk Pardamean Ajibata mengunakan bahasa batak toba yang
sedikit “kasar” dengan nada yang sedikit lantang.
4. Religi
Pada akhir tahun 1870-an dan awal tahun 1880 masyarakat Batak Toba
secara besar-besaran masuk agama Kristen yang diperkenallan oleh Nomensen.
Perubahan secara pesat ini terjadi karena beberapa raja di tanah batak yang
berpengaruh juga masuk agama Kristen. Dimana masyarakat batak toba adalah
masyarakat yang suka mengikuti pemimpinnya dalam segala hal termasuk agama,
sehingga konversi pemimpinpemimpin oarang batak tersebut mengakibatkan
konversi massa dari keluargakeluarga dan para pengikutnya.
Seiring masuknya Kristen ke tanah batak sampai saat ini masyarakat batak
toba secara umum telah menganut agama Kristen dan ada sebagian kecil
menganut kepercayaan Parmalim.
5. Kebudayaan
a. Kesenian
Untuk membicarakan kesenian lokal yang terdapat pada masyarakat batak toba di
Tomok Parsaoran, dapat dilihat melalui 3 cabang seni yang ada di daerah ini yaitu
seni musik, seni tari dan seni ukir atau pahat.
1) Seni Musik
Seni musik pada masyarakat batak toba dapat dikelompokkan ke dalam
dua bahagian besar yaitu musik vokal dan musik intrumental. Berdasarkan
kegunaan dan tujuan lagu, musik vokal pada masyarakat batak toba dibagi
menjadi delapan jenis, yaitu : ende mandideng (menidurkan anak), ende
sipaingot (nyanyian nasehat), ende pargaulan (nyanyian muda-mudi), ende
tumba (nyanyian muda-mudi sambil menari), ende sibaran (nyanyian individu
tenteng penderitaan), ende pasu-pasuan (nyanyian pemberkatan), ende hata
(nyanyian bersajak), dan ende andung yaitu, nyanyian ratapan (Pasaribu 1986 :
27 – 28).
Menurut bapak Lundu Sidabutar salah satu pemusik dari Tomok
kedelapan jenis ende ini sudah jarang di temui di masyarakat Tomok
Parsaoran. Ende mandideng yang mereka gunakan telah berbahasa Indonesia
seperti nina bobo. Ende tumba juga telah jarang dijumpai, hanya pada saat
perayaan HUT RI setiap SD masih sering membawa lagu tumba dengan tarian
tumba.
2) Seni Tari
Seni tari yang ada pada masyarakat batak toba adalah Tortor. Tortor
adalah tarian seremonial yang dapat kita jumpai pada setiap upacara batak
toba yang selalu berkaitan erat dengan musik dengan gondang. Tortor tidak
dapat terjadi tanpa gondang. Hati-hati di dalam menyebutkan tortor sebagai
seni tari.. Tortor bukanlah ‘seni tari’ seperti halnya kita memahami ‘tumba’,
sebagai suatu seni gerak tubuh. Tortor adalah bagaian dari pelean maupun
ritual, dan tortor hanya ditampilkan dengan iringan gondang, serta hanya
dilakukan ketika dialog verbal tidak mampu untuk menguraikannya. Tortor
adalah sebuah pernyataan ritual dan religius. Walaupun secara fisik tortor
merupakan tarian, namun makna yang lebih dalam dari gerakan-gerakannya
menunjukkan bahwa tortor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui
gerakan-gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan. (Purba
dalam Pasaribu 2004 : 64). Selain tortor seremonial, masyarakat batak toba
khusunya dan di tomok mengenal tortor sawan dan tortor tunggal panaluan.
kita dapat menemukan tortor tersebut di Tomok yaitu tortor sigale-gale.
3) Seni Ukir dan Pahat
Seni ukir atau pun pahat pada masyarakat batak toba masih dapat kita
temukan khususnya di daerah Tomok dan Ajibata. Masyarakat yang rajin
mengukir dan memahat disebut sebagai panggorga atau panggorit. Seni ukir
dan seni pahat sangat terlihat jelas pada souvenir yang di jual sebagai
cendramata yang memiliki ukiran batak atau gorga dan pahatan-pahatan pada
miniatur termasuk tongkat tunggal panaluan dan kerajinan tangan masyarakat
yang bersifat souvenir disekitar wilayah Ajibata dan yang paling banyak
adalah di Tomok. Menurut kepercayaan masyarakat batak pada umumya,
gorga yang ada pada bangunan rumah batak memiliki arti yang dimana tidak
banyak lagi orang yang mengerti arti dari gorga yang biasanya ada di rumah
batak.
b. Adat
Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi
masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.
Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa
kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan
bagian dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan ( Sidabutar : 2014).
Menurut bapak Bapak O. Manurung salah satu tokoh Adat di desa
Pardamean Ajibata menyebutkan bahwa sistem kekerabatan dan Adat masyarakat
batak Toba secara keseluruhan telah terkandung di dalam adat dalihan na tolu.
Beliau menegaskan bahwa dimana saja masyarakat batak berlandaskan pada
sistem hubungan sosial dalihan na-tolu termasuk di desa Tomok Parsaoran.
Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba, secara tradisional diatur
dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan yang disebut dalihan na tolu. Secara
harfiah, dalihan na tolu mengandung arti “tungku yang tiga”. Dalihan na tolu
merupakan sebuah sistem hubungan sosial yang berlandaskan pada tida pilar dasar
kemasyarakatan, yakni : hula-hula (pihak keluarga pemberi istri), anak boru
(pihak keluarga penerima istri), dan dongan tubu (sesama saudara semarga)
(Harahap dan Hutajulu 2005 : 7)
Bagi masyarakat Batak Toba, hula-hula dianggap memiliki status yang
tertinggi, baik di lihat dari cara bagaimana kelompok ini ditempatkan secara sosial
maupun dilihat dari cara penghormatan yang diberikan oleh kedua kelompok
lainnya. Hal ini tercermin dalam pepatah orang batak yang merupakan isi dari
dalihan na tolu yang menyatakan: “somba mar hula-hula, adalah berikanlah
sembah pada hula-hula, rukunlah diantara sesama dongan tubu, berikanlah
perhatian/kasih sayang pada anak boru”. Lebih dari itu, khususnya untuk
hulahula, orang batak juga memberisebutan kepada kelompok tersebut sebagai
debata na tarida yang artinya “ Tuhan yang tampak.
Salah satu daerah di Kabupaten Samosir yang memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai objek wisata sejarah adalah Desa Tomok. Tomok
merupakan daerah tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan
diantara desa-desa yang ada di Pulau Samosir. Hal ini disebabkan hanya di desa
ini terdapat bandar pelabuhan penyeberangan Ferry terbesar yang mampu
mengangkut truk, mobil, sepeda motor, dan lain-lain yang menghubungkan
Parapat ke daerah wisata di sekitar Pulau Samosir. Selain sebagai pelabuhan
terbesar untuk mengangkut penumpang, faktor lain yang menguntungkan adalah
masih banyak didapati peninggalan-peninggalan kebudayaan Batak Toba yang
telah berusia ratusan tahun (Rizabuana, 1992: 35) Desa Tomok secara khusus
merupakan daerah asal Marga Sidabutar. Karenanya hampir seluruh lapisan
masyarakat setempat yang ditemui disana merupakan bagian dari klen Marga
Sidabutar. Berbicara tentang sejarah, bukti-bukti peninggalan sejarah bahwa
Tomok sebagai salah satu desa tradisional Batak Toba yang telah berusia ratusan
tahun dan masih dapat disaksikan hingga sekarang, antara lain adalah keranda
batu, Sigale-gale,dan Museum Batak (Rizabuana, 1992: 35)
Dewasa ini kunjungan ke objek sejarah sudah menjadi bagian dari
perjalanan wisata. Peninggalan sejarah di suatu daerah menjadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan. Berdasarkan hal diatas, untuk mengetahui lebih lanjut
tentang “Potensi Kekayaan Peninggalan Bersejarah Tomok Sebagai Objek Wisata
Sejarah”.
DESA TOMOK : PINTU GERBANG PULAU SAMOSIR – SIGALE-GALE,
MAKAM RAJA SIDABUTAR DAN MUSEUM BATAK SAMOSIR
a. Sigale-gale
Cerita di balik Patung Sigale-gale
Dahulu kala, Sigale-gale adalah anak seorang raja. Putra tunggal dari raja
Rahat yang memiliki wajah tampan dan satu satunya penerus keturunan. Anak
raja tersebut, Manggale, meninggal di medan perang. Kematian Sigale-gale inilah
yang menyebabkan raja Rahat mengalami ganguan kejiwaan. Penasihat kerajaan
lalu mencari tabib di seluruh negeri. Seorang tabib mengatakan bahwa raja sakit
rindu. Dan untuk mengobatinya sang tabib mengusulkan kepada penasehat
kerajaan untuk dibuat suatu upacara di kerajaan itu dan memahat sebuah kayu
menyerupai wajah anaknya Sigale-gale. Dalam upacara itu, sang tabib memanggil
roh Sigale-gale dan rohnya dimasukkan ke dalam kayu yang dipahat menyerupai
wajahnya, kemudian boneka Sigale-gale itu manortor dengan iringan khas musik
Batak Toba, yaitu gondang Mula-mula, gondang Somba dan gondang Mangaliat.
Dalam bahasa batak, sigale-gale berarti lemah gemulai. Saat ini, Sigale-
gale telah menjadi salah satu identitas dalam pariwisata Provinsi Sumatera Utara
secara umum, dan Samosir secara khususnya.
Foto desa wisata Tomok. Sebuah desa kecil yang berada di daerah Sumatera
Utara. Tepatnya berada di pesisir timur daerah Samosir, komplek Danau Toba,
propinsi Sumatera Utara.
Di dalam desa ini memang sudah terkenal oleh masyarakat luas tentang
keindahan desa kecil ini pada sector pariwisata dan perdagangan yang sudah
meluas ke daerah lain. Karena di dalam desa kecil ini kita aka menemukan banyak
sekali peninggalan-peninggalan barang atau benda yang memiliki nilai sejarah
yang tinggi, dan terdapat rumah adat yaitu rumah bolon dan rumah siborik.
Selain itu di bawah kepala raja ada patung seorang ulama’ dari Takengon Aceh
yang bernama Syech Said. Syech Said yang beragama islam ini selain berguru
kepada raja yang kedua, juga menjadi panglima perangnya. Konon ada sebuah
cerita dimana Syech Said memimpin perang dan membawa beberapa pasukan. Di
saat pihak lawan menyerang, pasukan syech said menyuruh pasukannya untuk
membuka celananya sehingga lawannya pergi tunggang langgang. Musuh
tunggang langgang karena adanya kepercayaan “sial” bila melihat sesama jenis
telanjang dan bila ada seseorang yang memiliki “kekuatan magic” maka akan
kehilangan magic tersebut.
Pada makam tersebut, anda akan melihat semacam kain selendang dengan
warna merah, hitam, dan putih. Ketiga warna itu menjadi simbol spiritual orang
Batak. Putih menandakan warna surga (kesucian), merah menandakan warna
bumi (ketenangan), dan hitam menandakan warna bawah tanah (kematian).
Bila diperhatikan pada salah satu makam yang ada, anda akan melihat
ukiran cicak menghadap ke empat payudara. Arti dari ukiran tersebut adalah cicak
merupakan lambang bahwa orang Batak harus bisa hidup seperti cicak, mudah
beradaptasi dengan menempel di mana-mana. Sementara payudara merupakan
simbol bahwa orang batak harus memiliki banyak anak. Jadi tidak heran bahwa
keluarga orang batak dahulu memiliki banyak anak karena dahulu orang batak
mempercayai bahwa semakin banyak anak akan semakin banyak rezeki. Arti dari
keempat payudara tersebut adalah kemana pun orang batak pergi, ia tidak akan
melupakan ibunya/istrinya, termasuk tanah kelahirannya.
a. Huta Siallagan
Menurut penuturan para orangtua, Huta atau kampung adalah sebuah
kelompok rumah yang berdiri di atas tanah satu kawasan yang dihuni oleh
beberapa keluarga yang terikat dalam satu kerabat. Dalam masyarakat Batak,
dimana marga merupakan sebuah identitas yang akan menjelaskan asal usul
kekerabatannya, maka Huta atau kampung juga dibangun sebagai identitas tempat
tinggal yang selanjutnya huta akan dinamai sebagai huta marga. Demikian juga
halnya marga Siallagan (turunan Raja Naiambaton garis keturunan dari Raja
Isumbaon anak ke dua si Raja Batak) membangun sebuah huta/perkampungan
yang dinamakan Huta Siallagan yang dibangun oleh keluarga marga Siallagan
yang dikuasai oleh seorang pemimpin yaitu Raja Huta, dalam hal ini Raja
Siallagan.
Masuk ke dalam rumah adat Batak kita harus melalui tangga yang
ditempatkan pada bagian tengah dan kita harus berhati-hati dan merunduk agar
tidak terantuk pada kayu palang; maknanya bahwa kita sebagai tamu harus sopan,
santun dan hormat mendatangi pemilik rumah. Tangga ini biasanya terdiri dari 3,
5 atau 7 anak tangga (dahulu, hitungan ganjil bagi rumah orang yang dihormati
atau rumah Raja, sedang untuk rumah pembantu atau orang yang miskin).
Didalam rumah (ruangan terbuka tanpa sekat-kamar) terdapat benda-benda
peralatan rumah tangga sehari-hari seperti :
– Tataring (tungku) dan hudon tano (periuk tanah) ditempatkan ditengah
ruangan sebagai tempat memasak makanan dan minuman bagi penghuni
rumah atau tamu.
– Hassung (terbuat dari bambu yang panjang dan besar) digunakan untuk
menampung dan mengangkat air dari mata air.
– Sapa (piring besar) tersebut dari kayu sebagai tempat makanan dihindangkan
bagi seluruh anggota keluarga.
– Solub (terbuat dari bambu) sebagai tempat menyimpan makanan yang sudah
dimasak, atau juga menjadi alat takaran beras.
– Peralatan dapur lainnya biasanya terdiri dari kayu dan batu seperti sendok
nasi, lesung kecil dan tatakan.
Selain benda-benda tersebut, terdapat sebuah benda berbentuk empat persegi
(seperti tampi) yang dibuat tergantung dibagian belakang atas ruangan, dahulu
berfungsi sebagai tempat persembahan memohon berkat dan perlindungan dari
roh nenek moyang dan Yang Maha Kuasa (mulajadi na bolon).
Diluar rumah/halaman, biasanya terdapat kursi-kursi batu tempat duduk,
dan juga lesung (losung) yang digunakan untuk menumbuk padi atau beras untuk
dimakan atau dijadikan tepung (itak) bahan membuat makanan tradisi Batak untuk
acara adat atau sesajen, makanan ini yang disebut Itak Puti, Itak Gurgur dan
Nahinopingan/ Nahinindatni andalu (bahan terdiri dari tepung beras, gula aren,
kelapa dan garam secukupnya).
Kini Hau Habonaran masih berdiri kokoh dengan umur diperkirakan berumur
ratusan tahun, namun keluarga Raja selalu memeliharanya sesuai dengan kondisi
lingkungan (tidak ditebang).
d. Batu Persidangan
Mestinya dipahami bahwa suku Batak (5 sub etnis) adalah etnis bangsa Indonesia
yang memiliki ciri tersendiri bahkan dianggap sebagai suku bangsa yang spesifik
di dunia karena memiliki daerah asal-usul yang jelas, bahasa dan aksara, struktur
kekerabatan, adat-istiadat dan hukum serta gaya/pola kehidupan sosial bahkan
agama tersendiri (dahulu agama Mulajadi atau mungkin Parmalim). Ini berarti
orang-orang Batak sekarang tidak menganut hanya satu agama tetapi agama-
agama yang ada di Indonesia).
Akan halnya adat-istiadat dan hukum (adat) Batak merupakan peninggalan nenek
moyang yang diwariskan secara turun temurun untuk mengatur atau menata
kehidupan dan pergaulan orang Batak didalam (bona pasogit) atau diluar daerah
asalnya (parserahan).
Batu kursi (persidangan dan eksekusi) adalah salah satu bukti peninggalan
sejarah terdapatnya hukum Batak di huta Siallagan. Batu kursi di huta Siallagan
ditempatkan pada dua lokasi sesuai dengan aturan dan fungsinya yang berbeda.
Kelompok Batu kursi pertama, dibawah pohon kayu Habonaran, ditempatkan di
tengah huta Siallagan yang dipergunakan sebagai tempat rapat-pertemuan Raja
dan pengetua adat untuk membicarakan berbagai peristiwa kehidupan warga di
huta Siallagan dan sekitarnya, juga menjadi tempat persidangan atau tempat
mengadili sebuah perkara kejahatan.
Menurut penuturan para orangtua, bahwa batu kursi pertama ini terdiri dari
Kursi Raja dan permaisuri, Kursi Para Tetua Adat, Kursi Raja dari Huta/kampung
Tetangga dan Para undangan, juga Datu/Pemilik Ilmu Kebathinan. Ditempat
inilah diputuskan dan ditetapkan peraturan “pemerintahan, kemasyarakatan” dan
hukum yang tegas bagi yang melanggarnya. Artinya Raja Huta Siallagan tidaklah
melakukan sesuatu dengan dasar “kekuasaan” semata, tetapi dilakukan secara
musyawarah, mendengarkan pendapat dan usul serta pertimbangan dari para tetua
adat yang diundang hadir untuk kemudian menetapkan keputusan secara jujur,
adil dan bijaksana.
Konon, Batu Kursi pertama ini selain sosialisasi peraturan hukum adat-
istiadat, juga dipergunakan untuk menetapkan hukuman bagi orang-orang yang
melakukan tindakan kriminal (pembunuhan, pencurian), pelecehan/pemerkosaan
dan sebagainya. Setelah melalui proses investigasi, interogasi kepada terdakwa,
maka Para Pengetua Adat dan Raja dari huta tetangga memberikan usul jenis
hukuman yang harus diiberikan kepada terdakwa dan oleh Raja Siallagan (dikenal
sebagai Raja yang adil dan tegas) ditetapkan menurut peraturan “kerajaan”
Siallagan yakni Hukuman Denda, Hukum Penjara (dihukum pasung) dan Hukum
Mati (hukum pancung/dibunuh). Hukum denda biasanya bagi seseorang yang
melakukan kesalahan ; Hukum Penjara ditetapkan bagi seseorang yang melakukan
kejahatan ringan seperti pencuri, berkelahi, memfitnah; sedang Hukum Mati
(dipancung) merupakan hukuman yang ditetapkan bagi seseorang yang berbuat
kejahatan berat seperti Pembunuh, Pemerkosa.
Kelompok Batu Kursi kedua, ini terletak dibagian luar dari huta Siallagan
namun masih sekitar huta. Disini terdapat juga Kursi untuk Raja, para Penasehat
Raja dan tokoh adat, termasuk masyarakat yang ingin menyaksikan pelaksanaan
hukuman mati. Penjahat dibawa oleh hulubalang raja ke tempat eksekusi dengan
mata tertutup menggunakan Ulos, Raja dan para penasehat raja serta masyarakat
telah berkumpul, kemudian penjahat ditempatkan diatas meja batu besar, bajunya
ditanggalkan.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, atas perintah Raja, Eksekutor yang juga
Datu (memiliki ilmu gaib) menanyakan keinginan permintaan terakhir dari sang
penjahat. Bila tidak ada lagi, selanjutnya eksekutor menanggalkan semua pakaian
dari tubuh penjahat dan mengikat tangannya ke belakang. Menurut yang empunya
cerita, ditanggalkannya pakaian penjahat adalah untuk mengetahui dan
menghilangkan bilamana kekuatan gaib yang dimiliki oleh penjahat. Kemudian
tubuh penjahat disayat dengan pisau tajam, sampai darah keluar dari tubuhnya.
Bila sang penjahat yang disayat tidak juga mengeluarkan darah, maka penjahat
dibuat telanjang dan diletakkan diatas meja batu, kemudian disayat-sayat kembali
bahkan air jeruk purut diteteskan kedalam luka sayatan, sehingga eksekutor yakin
sang penjahat tidak lagi memiliki kekuatan gaib di tubuhnya. Eksekutor harus
memastikan bahwa sang penjahat sungguh-sungguh tidak memiliki kekuatan
apapun, jauh dari segala sesuatu yang berbau kekuatan magis.
Selanjutnya tubuh sang penjahat diangkat dan diletakkan ke atas batu pancungan
telungkup dengan posisi leher persis berada disisi batu, sehingga kelak bila
dilakukan eksekusi, sekali tebas kepala terpisah dari tubuhnya. Selanjutnya Sang
Datu, dengan membacakan mantra-mantra kemudian mengambil pedang yang
sudah tersedia, dengan sekali tebas, kepala penjahat dipenggal hingga terpisah
dari tubuhnya. Untuk mengetahui apakah benar penjahat sudah mati, sang Datu
kemudian menancapkan kayu “Tunggal Panaluan” ke jantung penjahat, lalu
jantung dan hati dikeluarkan dari tubuh penjahat dan darahnya ditampung dengan
cawan. Hati dan jantung penjahat dicincang dan kemudian dimakan oleh Raja dan
semua yang hadir, darahnya juga diminum bersama.