Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

MELEMAHNYA SUBKULTUR KEKUASAAN, RESPON ILMU


PEMERINTAHAN TERHADAP KRISIS NEGARA
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN

Perjalanan teoritik pemerintahan sebagai ilmu (science) memperoleh setidaknya dua


alasan kuat pada waktu itu, yaitu ilmu pemerintahan klasik yang bergerak dari negeri Belanda
hingga mendarat di ruang akademik Indonesia bukanlah ilmu yang semata bernuansa politik,
administrasi maupun hukum (Ndraha, 2001). Kesimpulan itu setidaknya dapat dilihat lewat
catatan Van Poeltje (1955) yang mendeskripsikan bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu
yang mempelajari upaya untuk mencapai kebahagiaan seluas-luasnya, baik jasmani maupun
rohani tanpa merugikan orang banyak. Memang bila ditelaah lebih jauh batasan ini dapat saja
membuka perdebatan yang panjang, misalnya dalam perspektif politik dapat dianggap bagian
dari pemahaman filsafat politik (upaya mencapai kebahagiaan bersama dan seluas-luasnya,
lihat Aristoteles tentang commons good). Demikian pula batasan tentang tanpa merugikan
orang banyak dapat dilihat dari kacamata politik sebagaimana defenisi yang jamak
dikemukakan David Easton soal penggunaan kekuasaan yang sedikit banyak bersifat paksa
oleh pemerintah yang sah.
Batasan ini suka atau tidak, juga dapat merangsang pemikiran dari perspektif ilmu
hukum oleh karena penggunaan kekuasaan oleh pemerintah adalah produk dari suatu institusi
hukum seperti organ pemerintah (lihat Hans Kelsen misalnya). Belum lagi kalau kita bicara
soal bagaimana realisasi terhadap upaya mencapai kebahagian itu sendiri yang dapat
dimaknai secara luas maupun sempit sebagaimana aktivitas pelayanan publik seperti ilmu
administrasi negara. Alasan kedua bahwasanya paradigma pemerintahan yang selama ini
dipelajari diberbagai ruang perkuliahan umum, lebih-lebih lembaga pemerintahan adalah
paradigma melayani pejabat sebagai atasan, suatu pengetahuan teknis Pangrehpraja yang
lama tertanam secara historis dalam sum-sum tulang paling dalam seorang pembelajar
diruang pendidikan tinggi pemerintahan. Praktis pemerintahan menjadi ilmu melayani atasan,
ilmu para pejabat, ilmu para birokrat tulen yang ketat hirarkhi dalam birokrasi klasik dan
modern. Kondisi ini pada kenyataannya melanggengkan relasi feodalisme dimasa lalu
(patron-client) sekaligus mengukuhkan sistem politik otoriter dimasa orde baru.
BAB II
PEMBAHASAN

Pasca runtuhnya orde baru dengan berbagai simbolnya, ilmu pemerintahan mengalami
pergeseran signifikan dimana ia mencapai pelepasan atau mungkin metamorfosa yang relatif
senyap dari bayang-bayang ilmu hukum, politik, bahkan ilmu administrasi negara (Ndraha
dlm Kybernorlogi, jilid 1 & 2, 2001). Sekalipun demikian, pengaruh ilmu politik barat pada
perkembangan selanjutnya terlalu kuat mempengaruhi pemerintahan Indonesia sehingga
pemerintahan hanya menjadi satu bagian dari studi dari ilmu politik (FISIPOL) sebagaimana
terlihat diberbagai universitas umumnya di Indonesia. Oleh sebab gejala pemerintahan itu
pada awalnya hanya berkutat pada soal-soal pelayanan publik teknis diruang birokrasi negara,
maka patut disadari pula mengapa ilmu pemerintahan pada masa lalu dianggap padanan dari
ilmu administrasi negara. Ini dapat dilihat dimana fakultas ilmu-ilmu sosial dan politik
menaungi sejumlah jurusan seperti politik, administrasi negara, sosiologi dan untuk beberapa
diantaranya membuka jurusan pemerintahan. Diberbagai universitas umum seperti UGM,
Unpadj, Undip, Unhas maupun Unlam, program studi pemerintahan berderajat sarjana (S1).
Studi pemerintahan di universitas umum semacam itu tentu saja berinduk pada ilmu politik
dan ilmu administrasi negara. Lebih tua dari itu, pemerintahan bahkan pernah menjadi
bagian dari studi ilmu hukum. Gambaran singkat itu tentu saja sedikit berbeda dengan
pengajaran pemerintahan di IIP dan STPDN (kini IPDN). Di IPDN, pemerintahan dipelajari
melalui dua level, yaitu derajat diploma dan derajat sarjana. Yang pertama sebagai
manifestasi dari pemerintahan sebagai suatu terapan (sains terapan, SSTP), yang kedua
pemerintahan sebagai ilmu murni yang mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang ilmu
politik dan administrasi (strata1). Pada tingkat selanjutnya dikembangkan pasca sarjana ilmu
pemerintahan.
Sebagai sebuah sains, ilmu pemerintahan dikontruksi dalam tiga nilai utama sebagai
kerangka pikir dasar, yaitu subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK) dan
subkultur sosial (SKS). Pengembangan nilai ekonomi sebagai sumber daya sebuah negara
dikelola dengan prinsip membeli seuntung mungkin, menjual semurah mungkin dan
mengelola sehemat mungkin. Ketika holdingisasi yang dijalankan pemerintah dewasa ini
lewat PP Nomor 72/2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara
pada BUMN dan Perseroan Terbatas kita cermati dengan baik, tampaknya separuh lebih
sumber daya negara bergerak liar ketangan swasta sebagai pemegang modal. Negara tampak
merugi bukan untung dihadapan para pemegang modal, sementara sumber daya tersebut
menjadi mahal ditangan rakyat, bahkan yang lebih menyedihkan ketika kendali keseluruhan
sumber daya kehilangan jaminan bagi pasokan masa depan generasi selanjutnya (lihat sumber
daya kelautan, pendidikan, kesehatan, kehutanan, energi, pertanian, teknologi, industri,
komunikasi dll). Pertanyaan pentingnya tampak selaras dengan kegelisahan ilmu administrasi
negara, dimanakah peran negara (baca;pemerintah) dan kepada siapakah sumber daya itu
mesti dialokasikan? Jika negara menjadi objek materi utama yang sama untuk ilmu politik,
hukum dan administrasi, maka ilmu pemerintahan kini mencakup aspek yang lebih luas dari
sekedar negara dalam kerangka pikirnya yaitu sumber daya ekonomi (swasta), sumber daya
kekuasaan (pemerintah) dan sumber daya sosial (masyarakat). Apabila peran pemerintah
sebagai satu-satunya unsur paling konkrit diantara unsur-unsur negara semakin menyusut,
ataupun dalam kasus diatas mengalami distorsi ketingkat yang paling dangkal (keterbatasan
peran), maka realitas sumber daya ekonomi dengan mudah berpindah kesemua pihak
pemegang modal termasuk pada sejumlah pengontrol modal di negara lain (lihat aktivitas
negara-negara di Asia Timur seperti China, Korea dan Jepang yang menjadi pengontrol
modal di Asia Tenggara dan negara lain pada umumnya). Pada titik tertentu prinsip
pemegang modal yang memberlakukan persaingan (competitivness) sebagai hukum besi
pasar bebas (laises fair) pada akhirnya berpotensi menciptakan gejala yang paling dikuatirkan
yaitu seleksi alam (natural selection), struggle for life, survival of the fittest, conflic dan
ketidakadilan (lawless). Dalam situasi semacam itu tentu saja diperlukan peran pemerintah
yang tak dapat dikecilkan maknanya. Melebarnya potensi kearah terciptanya ketidakadilan
dan ketidakdamaian tentu saja membutuhkan intervensi dalam bentuk aturan (rules). Guna
menegakkan aturan itu kita membutuhkan seperangkat kekuasaan yang dapat dipergunakan
seperlunya hingga terciptanya suatu ketertiban umum (social order). Menurut ilmu politik
agar kekuasaan tak mudah menjadi bias maka alokasi kekuasaan yang bersifat sah itu
haruslah dibatasi. Menurut ilmu hukum pembatasan kekuasaan dilakukan melalui undang-
undang sehingga kekuasaan tak menjadi liar sebagaimana kecemasan Hobbes, Locke dan
Mostesqueue.
Upaya menetralisir keadaan dengan penciptaan keadilan dan kedamaian oleh
subkultur kekuasaan setidaknya berpijak pada prinsip berkuasa semudah mungkin,
menggunakan kekuasaan se-efektif mungkin dan mempertanggungjawabkan penggunaan
kekuasaan seformal mungkin. Mengamati mekanisme sistem politik dilevel pusat maupun
(lebih lagi politik lokal seperti pemilukada), sirkulasi kekuasaan setiap periode berlangsung
tak begitu mudah selain mahal (high cost). Kekuasaan tampaknya tak efektif menyebarkan
benih-benih kesejahteraan dimana terlalu banyak program yang tak menyentuh dan dirasakan
langsung oleh masyarakat luas. Kartu-kartu gratis kini berganti dengan kenaikan diberbagai
sektor ekonomi seperti pajak, BBM, listrik, STNK dan BPKB. Kekuasaan lebih efektif
sebagai ancaman melalui kontrol media sosial daripada upaya melindungi warga negara yang
kritis dimuka umum. Negara cenderung bergerak dari demokrasi ke otoritarianisme
(Huntington, Gerungan, 2016). Kekuasaan tampak pula kurang dipertanggungjawabkan
secara formal. Penggunaan dana diluar APBN dan APBD seperti CSR untuk mengelola
pemerintahan di wilayah DKI Jakarta adalah contoh nyata dimana pemerintahan kehilangan
tanggungjawab formalnya. Dalam kasus kembalinya petahana sebagai Gubernur DKI Jakarta
tanpa mengindahkan pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah juga
merupakan fakta dimana kekuasaan jauh dari akuntabilitas formal. Masalah demikian dalam
waktu relatif pendek dapat menciptakan perilaku deuternement de pouvoir, abuse of power,
collution, corruption, nepotisme, penindasan dan pembohongan (public of lie).
Potret diatas idealnya membutuhkan upaya untuk mencegah dan mengurangi
kekuasaan yang liar dan incontitutional. Parahnya, subkultur ekonomi (pemegang modal) kini
bersetubuh terang-terangan dengan subkultur kekuasaan (pemerintah). Semakin bisu
masyarakat dalam merespon gejala diatas semakin terperosok pula subkultur sosial dihadapan
kedua subkultur yang terus memperkuat posisinya. Jika ilmu administrasi sebagaimana saran
Riant Nugroho membutuhkan semacam kolaborasi pemerintahan, maka dalam perspektif
ilmu pemerintahan diperlukan upaya mencegah dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan
lewat kontrol sosial (social control), baik manusia sebagai objek, sovereign maupun sebagai
consumer. Kontrol sosial setidaknya dilakukan pertama, membangun kepedulian, kesadaran,
keberanian dan spirit heroism. Meredupnya peran civil society dan mahasiswa sebagai kelas
menengah melalui jatah ekonomi diberbagai perusahaan pemerintah plat merah (BUMN)
mengindikasikan lemahnya kepedulian, kesadaran, keberanian dan heroisme masyarakat
terhadap ekses kolaborasi subkultur ekonomi dan kekuasaan (lihat seruduk sekelompok
mahasiswa dirumah mantan Presiden SBY). Kedua, perlunya memperkuat budaya
konsumeristik, dimana setiap warga negara memahami apa yang semestinya yang menjadi
hak, bagaimana memenuhinya, serta bagaimana menghentikan pelayanan pemerintah yang
buruk, sebab pada dasarnya masyarakat berhak memperoleh pelayanan pemerintahan yang
baik (Rasyid, 1999). Ketiga, diperlukan collective action sebagai upaya mengimbangi
kecendrungan membesarnya subkultur kekuasaan serta kemampuan mengembalikan tatanan
hukum dan sosial pada tempatnya. Tanpa itu, dalam rentang tertentu dapat memicu
terciptanya civil disobedience, civil distrust, anarkhi, terrorisme, perang saudara dan pada
titik ekstremitas, revolusi. Untuk mencegah bayangan kelam semacam itu ketiga subkultur
selayaknya berkembang selaras, seimbang, serasi dan sinergik. Dalam konteks itulah kita
memerlukan pembangunan masyarakat Indonesia, dan bukan sekedar pembangunan fisik,
sebagai upaya memperkuat dan menyeimbangkan kedudukannya yang paling lemah diantara
ketiga subkultur dimaksud.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selain berperan dalam mengatasi permasalahan global, Pemerintah juga telah
merumuskan dan mendorong berbagai kebijakan domestik guna memitigasi ketimpangan
perekonomian nasional pasca pandemi melalui penyeimbangan kebijakan terkait kesehatan
dan sosial ekonomi yang berfokus pada manajemen kesehatan, perlindungan sosial, dan
program pemulihan ekonomi.

Adapun kebijakan dalam negeri yang telah dilakukan Pemerintah guna memitigasi
dampak pandemi tersebut seperti  pemberian bantuan sosial bagi masyarakat berpenghasilan
rendah, akses pembiayaan bagi UMKM dan petani melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR),
peningkatan kapasitas dan perlindungan sosial bagi tenaga kerja yang terkena dampak
pandemi Covid-19 melalui Kartu Prakerja, serta peningkatan kemudahan berusaha melalui
implementasi Omnibus Law Cipta Kerja.

Di samping berbagai kebijakan terkait pandemi, Pemerintah juga mengupayakan


peningkatan ekonomi nasional dengan mendorong pemanfaatan teknologi digital yang sedang
berkembang untuk mendukung pengembangan UMKM dan meningkatkan kehidupan rumah
tangga berpenghasilan rendah. Melalui implementasi kebijakan tersebut serta didukung
dengan sinergi berbagai pihak, Pemerintah telah mampu mengendalikan dampak pandemi
dengan signifikan sehingga ke depannya diharapkan mampu menciptakan stabilitas
perekonomian nasional dan berperan dalam penyelesaian permasalahan global lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Easton, David, 1965. Political Analysis and A Systems Analysis of Political Life, USA

Labolo, Muhadam, 2016. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta

Ndraha, Taliziduhu, 2001. Kybernologi I & 2 (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta,

Jakarta

Nugroho, Riant, 2017. Kirisis Administrasi Negara, Makalah. IPDN, Jakarta

Poeltje, Van, 1955. Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan, Terj. IIP Press, Jakarta

Roffiq, Muhammad, 2017. Holdingisasi BUMN. Makalah, IPDN, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai