Ilmu Pemerintahan:
Anti pada Politik, Lupa pada Hukum,
dan Enggan pada Administrasi
Demokrasi patut dipuji, tetapi pemerintahan hukum bagaikan roti kita sehari-hari,
seperti air untuk minum dan udara untuk bernafas, dan hal terbaik tentang demokrasi
adalah bahwa hanya dia yang sanggup mengamankan
pemerintahan hukum untuk kita. (Gustav Radbruch, 1946)
ABSTRAK
Ilmu Pemerintahan (IP) adalah khas Indonesia, yang tidak dikenal di belahan dunia lain.
Tetapi IP selalu memperoleh stimulus eksternal: kolonialisme, developmentalisme, dan
neoliberalisme. Para pendiri membuat IP untuk alasan aksiologis-praktis, tanpa disertai
dengan ontologi dan epistemologi yang memadai. Secara ontologis, konsep pemerintah
merupakan tradisi Anglo Saxon, tetapi pemerintahan diambil dari tradisi hukum Eropa
Kontinental dan bestuurskunde warisan kolonial, yang di negeri asal disebut administrasi.
IP sukses mencetak banyak birokrat, tetapi ia tidak membawa roh “pemerintahan rakyat”
dan tidak sanggup mencerahkan praktik pemerintahan Indonesia, melainkan hanya ikut
menjaga law and order yang diwarisi dari beamtenstaat kolonial. Developmentalisme
dan administrasi negara datang mewarnai Orde Baru, sekaligus juga membentuk sosok
IP. Dekade 1990-an Ilmu Politik datang melakukan ‘subversi’ terhadap IP, yang sanggup
melucuti warna hukum, tetapi tidak merekonstruksi IP. Di era reformasi, studi politik
semakin jauh dari pemerintahan, dan IP mengikuti tradisi neoliberalisme, dengan
memahami pemerintahan sebagai manajemen publik dan governance. Hari ini, IP anti
pada politik, lupa pada hukum, dan enggan pada administrasi. Ia mengalami krisis
identitas, yang tidak sanggup membedakan antara Administrasi Publik dan IP. Krisis
epistemologi juga terjadi, yakni klaim IP sebagai disiplin ilmu tidak disertai dengan
penggunaan pemerintahan sebagai subjek dan perspektif untuk memahami dan
menjelaskan fenomena sosial.
ABSTRACT
Governmental Science (GS) is unique to Indonesia, which is unknown in the rest of the
world. But GS always gets an external stimulus: colonialism, developmentalism, and
neoliberalism. The founders created GS for axiological-practical reasons, without being
accompanied by adequateontology and epistemology. Ontologically, the concept of
government is an Anglo-Saxon tradition, but government is taken from Continental
European legal traditions and bestuurskunde colonial heritage, which in the origin country
is called administration. GS succeeded in producing many bureaucrats, but it did not carry
the spirit of "people's government" and was unable to enlighten the practice of the
Indonesian government, but only participated in maintaining the law and orders inherited
from colonial beamtenstaat. Developmentalism and state administration came to color the
New Order, as well as to form an GS figure. The decade of the 1990s Political Science
came to subvert GS, which was able to ignite the color of law, but did not reconstruct GS.
In the reform era, political studies are farther away from government, and GS follows the
tradition of neoliberalism, understanding government as public management and
governance. Today, GS is anti-politics, forget the law, and are reluctant about
administration. GS experienced a crisis of identity, which was unable to distinguish
between Public Administration and GS. The epistemological crisis also occurred, namely
the claim of GS as a scientific discipline not accompanied by the use of government as a
subject and perspective to understand and explain social phenomena.
Informasi Artikel
Diterima: April 2020, Disetujui: Mei 2020, Dipublikasikan: Juni 2020
DOI: https://doi.org/10.47431/governabilitas.v1i1.77
PENDAHULUAN
Apa itu pemerintah (an)? Apa itu Ilmu Pemerintahan (IP)? Apakah IP layak
menyandang predikat sebagai disiplin ilmu? Apa kekhasan IP yang berbeda dengan ilmu
politik dan administrasi publik? Apakah pemerintahan itu sebagai objek semata atau bisa
hadir sebagai subjek dan perspektif? Apa yang dimaksud pemerintah dan pemerintahan
menurut IP? Bagaimana IP memahami dan menjelaskan hakikat dan fenomena
pemerintahan? Selain telah mencetak banyak pamong praja, serta bicara efisiensi,
efektivitas dan kinerja pemerintahan, apa sumbangan IP terhadap pengetahuan
pemerintahan yang berguna untuk perubahan pemerintahan berkedaulatan rakyat sesuai
mandat konstitusi?
Saya mengajukan sederet pertanyaan itu sebagai bentuk otokritik terhadap IP,
yang sudah berumur tujuh dekade, dan saya menjadi bagian di dalamnya selama tiga
dekade terakhir. Munculnya beragam sekte, mazhab, dan perspektif tentu merupakan
kelaziman dalam ilmu pengetahuan. Almond (1990) pernah berbicara sekte dan mazhab
dalam ilmu politik, yang masing-masing duduk pada meja terpisah, yakni: meja kanan
bermetodologi lunak, meja kiri yang bermetodologi lunak, meja kanan bermetodologi
keras, dan meja kiri bermetodologi keras. Semakin kaya perspektif, maka ilmu semakin
kaya dengan novelty, yang bisa mengatasi anomali dan krisis. Beragam perspektif saling
bekontestasi tentang pemahaman dan penjelasan, sehingga komunitas epistemik, praktisi,
dan orang banyak akan bisa menemukan perspektif apa yang paling relevan dengan
pengetahuan, praktik, dan realitas sosial.
sanggup menjawab pertanyaan pada paragraf pertama. Banyak sarjana bisa membuat dan
mengumpulkan definisi IP, yang cukup untuk dihafal mahasiswa, tetapi tidak
memperkaya pengetahuan dan tidak mencerahkan praktik pemerintahan. Itu semua terjadi
karena IP mewarisi kolonialisme, meniru praktik salah kaprah pemerintahan, dan
mengikuti neoliberalisme. Dengan begitu, tulisan ini bertujuan agar masyarakat IP
berubah dari “tidak mengetahui apa yang diketahui, diajarkan, dan dihafal” menjadi
“mengetahui apa yang diketahui”, sehingga IP duduk tegak lurus sebagai disiplin ilmu.
Jika mau duduk tegak lurus, maka IP tidak bisa sibuk dengan barang basi (seperti objek
formal dan objek material dengan pendekatan monodisplin, multidisiplin, dan
interdisplin, yang sebenarnya tidak jelas), tetapi secara epistemologis tidak sanggup
menghadirkan pemerintahan sebagai subjek dan perspektif.
memutuskan dan melaksanakan. Bukan sekadar politik, H. Finer (1946), yang kerap
dikutip, memahami pemerintahan sebagai politik dan administrasi, atau pemerintahan
terdiri dari proses politik dan proses administrasi yang koheren. Politik adalah soal
kehendak sosial, persetujuan rakyat, dan kekuasaan untuk menetapkan hukum.
Administrasi adalah penggunaan cadangan kehendak dan kekuasaan sosial ini dengan
metode personal, mekanik, teritorial, dan prosedural yang sesuai untuk memberikan
layanan pemerintah secara spesifik kepada mereka yang berhak. Mesin administrasi
berada di bawah fase politik dalam pemerintahan, dan memang seharusnya demikian,
sebab politik menentukan kehendak dan fungsi, dan ini bekerja sebelum, berdaulat atas
dan pencipta mesin dan prosedur administrasi. Administrasi adalah pelengkap diskresi
dan diskresi adalah politik yang hampir sepenuhnya tidak terhalang dan karakter serta
kehendak bebasnya, tetapi administrasi hanyalah cerminan dari kekuasaan politik. Ini
adalah penerima jumlah kebijaksanaan yang lebih kecil.
Lebih kompleks dari makna dan proses memerintah, pemerintahan secara lengkap
berbicara tentang “siapa memerintah siapa, apa, dan bagaimana”. Konsep siapa pertama
menunjuk subjek, yakni pemerintah. Dalam politas fasis, negara bertindak sebagai
pemerintah, kepala negara secara absolut menjalankan pemerintahan. Dalam politas
demokratis, pemerintah sebagai representasi kedaulatan rakyat menjalankan
pemerintahan. Di luar dua politas itu, ada pula penguasa yang bertindak sebagai
pemerintah, ada pula aristokrat, segelintir elite yang disebut pemerintahan oligarkhis,
serta ada pula pemerintahan dipegang oleh birokrat yang kerap disebut negara pegawai
(birokratik).
Masalah who govern itu bisa menjadi analisis empirik yang selalu menarik. Tetapi
saya hendak mengatakan bahwa frasa “siapa memerintah siapa, apa, dan bagaimana”
merupakan susunan kelembagaan yang dipengaruhi oleh tradisi pengetahuan. Dalam
konteks ini, pengetahuan dan praktik pemerintahan di Indonesia dibentuk oleh divergensi
dan konvergensi antara tradisi Eropa Kontinental versus Anglo Saxon sekaligus
perbedaan antara politik versus administrasi. Tradisi Eropa yang mengutamakan
stateness, berbicara tentang negara, hukum dan administrasi; sebaliknya tradisi Anglo
Saxon yang bercorak stateless berbicara pemerintah, politik dan administrasi (Dyson,
1980; B.G Peters, 1999; Overeem, 2013; Bohne, 2014; Grimm, 2016; Maier, 2019).
Konsepsi negara hukum (rechtsstaat) sebenarnya bukan negara legal-formal belaka,
tetapi esensinya adalah negara adil yang melindungi kebebasan, tetapi legalisme negara
HUKUM PEMERINTAHAN
UUD 1945 memperoleh pengaruh campuran antara tradisi Anglo Saxon dan Eropa
Kontinental yang dikontekstualisasikan sesuai aspirasi dan kondisi Indonesia. Konstitusi
menyebut “rakyat” 100 kali, “negara” juga 100 kali, “pemerintah(an)” 32 kali, “hukum”
20 kali, “warga” 17 kali, “manusia” 10 kali, dan “masyarakat” 10 kali. Konstitusi
menegaskan rakyat yang menyatakan kemerdekaan untuk membentuk Negara Republik
Indonesia.
Namun campuran ini pasti licin, diperebutkan oleh beragam sekte dan mazhab
pengetahuan. Saya sebagai sarjana politik-pemerintahan sangat menyukai paragraf
keempat Pembukaan UUD 1945 yang ideologis, baik frasa “Pemerintah Negara
Indonesia” yang diikuti dengan rangkaian tujuan kemerdekaan; serta frasa “Negara
Repubik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Sebaliknya, para sarjana hukum lebih
sering mendiskusikan frasa “Indonesia negara hukum demokratis” yang ada dalam batang
tubuh. Bagi saya, frasa “Negara Repubik Indonesia yang berkedaulatan rakyat” adalah
kebaruan, buah dari dekolonisasi, yang membedakan dengan negara kolonial.
Bagaimanapun praktik negara hukum sudah ada dalam negara kolonial, yakni penguasa
kolonial memerintah dengan hukum (rule by law), meski hukum itu bukan untuk
kebebasan, hak asasi manusia dan demokrasi.
Konsep negara hukum (rechtsstaat) pernah disebut dalam konstitusi awal, namun
kata asing itu hilang dan diganti menjadi “negara hukum yang demokratis” dalam
konstitusi amandemen, yang mungkin dimaksudkan bisa mengakomodasi secara luwes
terhadap gagasan rule of law yang muncul dari tradisi Anglo Saxon. Frasa “negara hukum
demokratis” (democratic rechtsstaat) juga sudah dipakai oleh Jerman setelah Perang
Dunia II, yang sekarang disebut negara konstitusional. Bahkan di era neoliberal selama
hampir tiga dekade terakhir, rule of law dipakai secara global, menandai konvergensi cara
pandang hukum, baik Amerika maupun Eropa.
Karena pengaruh tradisi Eropa, dan karena warisan kolonial, ide “negara centris”
memang sangat kuat, bahkan lebih kuat ketimbang pemerintah demokratis, meski kata
kunci rakyat – sebagai sebuah konsep politik -- sangat fundamental dalam konstitusi. Para
sarjana hukum sukses melakukan glorifikasi konsep negara hukum, supremasi hukum,
penegakan hukum, dan hukum sebagai panglima untuk melawan politik atau ekonomi
sebagai panglima. Pandangan hukum positivis dan dogmatis mengatakan bahwa
supremasi hukum harus di atas segalanya, bahwa kekuasaan negara dan penyelenggaraan
pemerintahan harus berdasar pada hukum secara konstitusional, bukan pada kekuasaan
semata. Argumen ini adalah sebuah “moralitas politik” yang anti-politik untuk melawan
penguasa yang mereka sebut lalim dan tidak bermoral seperti setan.
Pemikiran negara centris melahirkan ilmu negara di Fakultas Hukum. Ilmu negara,
yang legal formal, dipotong-potong menjadi hukum tata negara, hukum administrasi
negara, hukum tata pemerintahan. Ketika kuliah S1, saya memperoleh empat mata kuliah
berjudul hukum: Pengantar Ilmu Hukum, Sistem Hukum Indonesia, Hukum Tata Negara,
dan Hukum Tata Pemerintahan. Tetapi setelah pembaruan kurikulum 1991 yang
disubversi oleh Ilmu Politik, mata kuliah bernama hukum hilang dari kurikulum IP,
diganti dengan sejumlah mata kuliah bernama politik.
Para sarjana hukum positivis-kontinental memahami pemerintahan bukan dengan
politik dan demokrasi, melainkan dengan kerangka negara hukum, dan menempatkan
peran sentral hukum dalam pemerintahan (BG Peters, 1999), sehingga dapat dikatakan
bahwa pemerintahan adalah hukum. Secara hukum, aktivitas pemerintahan dimaknai
sebagai perbuatan “mengatur dan mengurus”, yang sampai sekarang dikenal secara paten
dalam undang-undang. Menurut sudut hukum, pemerintahan mengandung pembentukan
hukum, pelaksanaan hukum, dan penegakan hukum. Pembentukan hukum, menurut
aliran hukum positif, harus menurunkan perintah dan harus sesuai dengan konstitusi.
Karena itu institusi hukum maupun sarjana hukum harus mengambil peran besar dalam
membuat undang-undang. Menurut Anglo Saxon, pembentukan hukum adalah perbuatan
politik, dan pelaksanaan hukum adalah tindakan administrasi. Politik berbicara tentang
siapa yang membuat hukum dan apa isi hukum, dan administrasi adalah soal bagaimana
menjalankan hukum. Subjek yang disebut siapa tidak lain adalah institusi pemegang
kedaulatan rakyat, yakni parlemen dan pemerintah.
Hukum positivistik memandang pemerintahan harus bekerja seperti baris-berbaris:
“setiap orang tidak bisa melakukan apapun kecuali yang diperintah”. Pejabat pemerintah
bisa berbuat kalau memperoleh perintah hukum. Jika tidak ada perintah hukum, maka
pejabat tidak boleh berbuat meskipun didesak oleh rakyat. Hukum bukan ekspresi
kebebasan seperti bermain sepak bola (setiap pemain bebas melakukan apapun kecuali
yang dilarang, seperti petuah rule of law oleh AV Dicey), bukan pula untuk pencapaian
kehendak rakyat dan hak warga secara adil, bukan pula untuk memperkuat otoritas dan
diskresi pemerintah yang sesuai dengan konteks sosial dan kehendak rakyat. Hukum yang
kaku lebih banyak untuk mengendalikan dan membatasi kekuasaan pemerintah, daripada
memberi energi kepada pemerintah. “Ketika orang Amerika berpikir tentang masalah
pembangunan pemerintah, ia mengarahkan dirinya bukan pada penciptaan otoritas dan
akumulasi kekuasaan tetapi lebih pada pembatasan otoritas dan pembagian kekuasaan”,
ungkap Huntington (1968). Dengan begitu, hukum tidak menjadi apa yang disebut J.
Wilson (1896) sebagai “otot besar pemerintah” (great sinew of government) untuk
mewujudkan kehendak rakyat, melainkan malah menjadi birokrasi “sangkar besi” yang
diingatkan Max Weber. Pejuang hukum progresif, Prof. Satjipto Rahardjo, juga
mengingatkan bahwa Indonesia bukan “negara hukum” melainkan “negara peraturan”;
yakni bukan hukum untuk manusia tetapi manusia untuk hukum.
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
IP secara eksplisit menjadi sebuah nama jurusan, bersama Publisistik dan
Hubungan Internasional, dalam Akademi Ilmu Politik (AIP) yang berdiri tahun 1947 di
Yogyakarta. Kata “politik” dan tiga jurusan itu sebenarnya bercita rasa Anglo Saxon
ketimbang Eropa Kontinental, sebab selama masa penjajahan, tidak pernah mengajarkan
kata politik, dan kata ini tentu hadir karena spirit dekolonisasi. AIP dibubarkan pada tahun
1949, bergabung ke dalam Fakultas Hukum Sosial Politik di UGM. Fakultas ini
bertambah menjadi Fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik pada tahun 1951. Tahun
1958, Jurusan IP hilang, diganti dengan nama ilmu usaha negara. Dua tahun sebelumnya
lahir sekolah kedinasan Departemen Dalam Negeri, yakni Akademi Pemerintahan Dalam
Negeri, yang memiliki tubuh pengetahuan IP. Tahun 1960, ilmu usaha negara berganti
lagi menjadi IP, dan lahir pula ilmu administrasi negara di Fakultas Sosial Politik.
Pembentukan dan pengajaran IP dilakukan karena alasan aksiologis-praktis, yaitu
mengisi tenaga pamong praja yang terdidik dan terlatih, seperti halnya pengajaran yang
pernah dilakukan oleh negara kolonial. Pilihan kebijakan ini tidak salah tetapi juga tidak
duduk. Jika duduk secara koheren, maka IP seharusnya mendidik kader-kader pemerintah
maupun mencerahkan pemerintah(an), meski siapapun bisa menjadi pemerintah,
termasuk rakyat jelata yang tidak sekolah. Untuk mendidik kader-kader negara (baca:
pamong praja, atau birokrat), lebih duduk dengan administrasi publik atau ilmu usaha
negara. Dengan begitu, IP tumpul tidak berkembang sesuai dengan ontologi-epistemologi
pemerintahan, melainkan sebagai sekolah pamong praja atau bisa disebut birokratologi
(ilmu yang mempelajaridan membentuk birokrasi). Konstruksi pemahaman ini tidak lain
karena roh pemerintahan “negara pegawai” (HJ Benda, 1966; R. McVey, 1982) yang
diwarisi dari negara kolonial, meskipun konstitusi sudah menegaskan “pemerintahan
berkedaulatan rakyat”.
Pendiri dan pengasuh IP generasi awal adalah para sarjana hukum didikan Indologi,
meskipun tradisi ini sebenarnya tidak mengenal konsep pemerintah, melainkan negara.
Agar tidak terlalu hukum, para mahasiswa IP memperoleh pelajaran tentang bestuur
(yang diterjemahkan menjadi pemerintahan), sebuah konsep yang sudah lama dikenal
dalam pengajaran dan praktik administrasi negara kolonial. Buku Gerrit van Poelje
Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia,
Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (1953), yang diajarkan sekaligus menjadi buku
hafalan bagi mahasiswa IP. Bestuurskunde, yang disebut IP (terapan) itu, menurut Poelje,
adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana mengatur dan memimpin sebaik-baiknya dinas
umum. Ini serupa dengan ilmu kedinasan dan perkantoran. Bahkan tidak sedikit sarjana
IP yang menobatkan Gerrit van Poelje sebagai Bapak IP. Penobatan ini merupakan
perbuatan salah dan serampangan yang tidak pantas untuk diakui.
Pemahaman pemerintahan dengan lensa bestuur itu mengandung sejumlah
masalah dan kesalahan. Pertama, kesalahan etimologi dan terjemahan. Menterjemahkan
bestuur menjadi pemerintahan adalah salah kaprah, kesalahan serius yang selalu
dibenarkan menjadi kebenaran. Tradisi pengetahuan Eropa Kontinental, termasuk
Belanda, tidak pernah menjadikan “pemerintah” sebagai tema pemikiran dan subjek
kajian. LP van de Spiegel pernah menulis risalah Schets Der Regeerkunde (1786), dengan
makna regeer lebih dekat ke konsep pemerintahan ketimbang bestuur, dan buku ini
dianggap Rutgers (2005) sebagai Het Gulden Boekje Uit De Nederlandse Bestuurskunde,
buku emas administrasi Belanda. Tetapi regeerkunde mati suri di Belanda, dan kelak
nama ini malah dijadikan semacam “IP” oleh Afrika Selatan. Baru tahun 1928, hadir
Gerrit van Poelje, seorang pejabat yang menjadi profesor pertama dalam bidang
bestuurskunde dan mendirikan bestuurskunde di Nederlandsche Handels-Hoogeschool.
Para sarjana Belanda memaknai bestuur bukan sebagai pemerintahan tetapi sebagai
administrasi. Setelah Perang Dunia II, apa yang disebut bestuurskunde disepakati dan
dirayakan oleh para sarjana sebagai administrasi publik ala Belanda, yang setara dengan
public administration ala Amerika Serikat (Kickert dan Toonen, 2006; Philip Marcel
Karré dkk, 2020).
Bahkan generasi baru sudah meninggalkan ajaran bestuurskunde warisan van
Poelje yang praktikal, menuju ilmu yang reflektif dan kritis. Bestuurkunde warisan lama
dipandang mengabaikan rasionalitas hukum, ekonomi dan pratik politik (Kickert
danToonen, 2006; Braun dkk, 2015; Schillemans, 2017). Jurnal Bestuurkunde edisi
terbaru 2020, sengaja mengusung tema Kritische Bestuurskunde, yang meninjau ulang
pengetahuan instrumental, sembari membawa studi kebijakan dan administrasi
menggunakan teori kritis. “Kami percaya bahwa pendekatan kritis tidak hanya memiliki
prinsip-prinsip lapangan sebagai objek analisis, tetapi juga realitas politik dan praktik
kebijakan”, ungkap Robert van Putten dkk (2020). Dengan pendekatan kritis, Asosiasi
Administrasi Publik Belanda (Vereniging voor Bestuurskunde) hendak membawa
kebijakan dan administrasi yang mereka tekuni menjadi masalah publik, bersentuhan
dengan konflik nilai dalam masyarakat, masuk ke ruang percakapan demokratis,
sekaligus relevan dengan praktik debat sosial yang lebih luas.
Kedua, praktik dan IP dipandang dan disusun sebagai bestuur, atau pemerintahan
sebagai administrasi, membuatnya menjadi sempit, parsial, tanggung, praktis, dan naif.
Pemahaman ini serupa dengan perbuatan administratif yang dilakukan oleh para
administrator di kantor organisasi perangkat daerah (OPD, yang bukan organisasi
pemerintahan daerah), mulai dari dinas hingga kecamatan. Ranah openbaar bestuur itu
termasuk pemerintahan, tetapi pemerintahan tanpa pemerintah, atau pemerintahan yang
dikerjakan oleh administrator. IP dalam pengertian bestuurkunde cenderung mekanik,
Mungkin semua itu bisa disebut “ketidaktahuan atas apa yang diketahui”. Tetapi
pengetahuan dan praktik pemerintahan yang mungkin mengandung “ketidaktahuan atas
apa yang diketahui” itu sudah menjadi norma, habitus, dan wabah yang disengaja, baik
di kampus maupun di kantor kecamatan, sehingga saya sebut bukan lagi sebagai “ilmu
pengetahuan” melainkan “politik pengetahuan”. Maksudnya adalah, di balik pengetahuan
terdapat kepentingan dan kekuasaan, yakni kekuasaan pemerintahan birokratik yang anti-
politik dan anti pemerintahan berkedaulatan rakyat yang dimandatkan konstitusi.
Ketiga, konsep pemerintah merupakan tradisi Anglo Saxon, dan dengan semangat
dekolinisasi, konstitusi Indonesia menegaskan konsep “pemerintah yang berkedaulatan
rakyat”, tetapi sayang, tetapi sayang, IP mengajarkan pemerintahan sebagai bestuur ala
kontinental dan kolonial. Pemerintahan sebagai bestuur itu sudah diajarkan dan
dipraktikkan oleh negara kolonial Belanda di Hindia Belanda dengan sebutan
binnenlands bestuur (BB), yang dimaknai sebagai Pemerintahan Dalam Negeri. BB
secara keilmuan mengandung hukum-administrasi yang bercorak formalistik, hirarkhis,
sentralistik, dan birokratik. Negara kolonial yang memilah birokrasi menjadi dua lapis:
BB sebagai birokrasi level tinggi dari gubernur jenderal sampai asisten residen yang
dipegang oleh orang Eropa, dan pangreh praja (Indslands Bestuur) sebagai level rendah
yang mewadahi priyayi pribumi ke dalam birokrasi mulai dari bupati ke bawah.
HJ Benda (1966) menyebut negara kolonial itu sebagai negara pegawai
(Beamtenstaaten), yang apolitis, dengan corak pemerintahan administratif par
excellence. BB, dimata Benda, adalah sosok "setengah dewa" yang sangat kuat di dunia
kolonial. Para aparat negara kolonial bertugas mempertahankan perdamaian dan
ketertiban sebagai sumum bonum, sekaligus juga mengutamakan kebijakan kolonial di
atas semua instrumen untuk implementasi, bukan dari tuntutan sosial yang bersaing tetapi
dari dan untuk "administrasi yang baik" semata. Untuk mendukung birokrasi dan
“administrasi yang baik” itu, pada awal 1900, negara kolonial mendirikan Opleiding
Schoolen voor Indlansche Ambtenaren atau Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera),
setingkat perguruan tinggi, di Bandung, Magelang, dan Probolinggo, yang kemudian
berkembang menjadi MOSVIA (Middelbaar Opleiden Schoolen voor Indische
Ambtenaren) pada 1927. Keduanya mengajarkan hukum administrasi untuk menyiapkan
pangreh praja yang kompeten, cekatan, tertib, loyal, berwibawa, dan menjadi pusat
teladan bagi rakyat jelata.
dikenal dalam dunia pemerintahan negara. Manajemen dikenal dalam dunia bisnis
perusahaan. Dalam pemerintahan demokratis, administrasi merupakan kelanjutan dari
politik dan hukum. Politik adalah soal menentukan arah dan nilai yang melandasi
kebijakan, sekaligus juga berurusan dengan apa, siapa dan bagaimana pembentukan
hukum (undang-undang), yakni melalui institusi pemegang kedaulatan rakyat
(pemerintah-eksekutif dan parlemen-legislatif). Administrasi adalah soal pelaksanaan
hukum yang dijalankan oleh birokrasi dengan dikendalikan oleh pemerintah-eksekutif.
Rangkaian ini semua bermaksud untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagai “input”
pembentuk pemerintahan, sekaligus menghadirkan negara untuk melayani-melindungi
warga sebagai “output”. Manajemen, yang dipelajari oleh ekonomi, berbicara tentang
perbuatan merencanakan, mengelola, mengendalikan, dan menggerakkan sumberdaya
dalam organisasi bisnis secara efisien untuk mencapai efektivitas dan produktivitas
berupa keuntungan sebesar-besarnya.
Kedua konsep itu barangkali mempunyai kesamaan pada tindakan, tetapi sangat
berbeda pada sisi nilai, kepentingan, dan tujuan. Administrasi birokrasi juga berbicara
tentang kompetensi profesional, efisiensi dan efektivitas, tetapi administrasi yang
digerakkan oleh pemerintah ini tidak mengejar laba-keuntungan seperti halnya dalam
manajemen perusahaan.
Tetapi neoliberalisme membuat manajemen menjadi digdaya dan hegemonik.
Kaum neoliberal membuat manajemen bukan sebagai perangkat ilmiah tetapi menjadi
ideologi, yang para kritikus, menyebutnya sebagai manajerialisme. Mereka memasukkan
manajemen dan manajerialisme ke dalam dunia politik, pemerintahan dan negara. Mereka
menggunakan manajerialisme untuk melucuti pemerintah-negara, yang melalui
manajemen publik, mengarahkan sektor publik dan pelayanan dikelola dengan
manajemen bisnis dengan mata uang efisiensi dan laba. Demikian catatan kritis Thomas
Klikauer (2013):
Pengetahuan itu sudah jauh dari konsep “pemerintahan berkedaulatan rakyat” yang
dimandatkan konstitusi. Bagaimanapun pelayanan publik untuk warga harus baik dan
efektif. Tetapi apakah ini bisa diselesaikan dengan manajemen publik dan pendekatan
pelanggan? Bagaimana konstruksi pengetahuan “pemerintahan sebagai manajemen”
memahami perbuatan pemerintahan secara politik, hukum, dan administrasi untuk
melakukan transformasi dari manusia menjadi rakyat dan menjadi warga? Cara pandang
manajerialisme tidak peduli pada masalah itu. Mereka tidak peduli pada pemerintah yang
kuat dan berkedaulatan rakyat. Kepedulian mereka adalah membuat pemerintah sebagai
korporasi.
Kedua, pemerintahan sebagai tatakelola (governance). Konsep, yang dibangun
dengan anti-government ini, sungguh licin. Seperti halnya konsep government
sebelumnya, konsep governance juga dimaknai dengan sudut yang berbeda. Politik pada
umumnya memahami governance sebagai relasi kuasa antara pemerintah dan rakyat, atau
relasi antara negara dan nonnegara. Selebihnya memahami governance dari sudut
administrasi, manajemen dan teknis, yakni governance dalam pengertian pasar, jaringan,
kerjasama, kemitraan, dan lain-lain.
Peringatan dan kritik terhadap governance sudah sangat banyak. Rhodes (1996),
seorang professor of government, yang selalu mengutamakan pemerintah (government),
mengingatkan bahwa tatakelola sebagai jaringan yang mengatur diri sendiri merupakan
tantangan bagi kemampuan memerintah karena jaringan menjadi otonom dan menolak
panduan pusat. Mereka adalah contoh utama “kepemerintahan tanpa pemerintah”. Bagi
saya, governance sangat penting, tetapi bisa juga berbahaya. Pemerintah(an) tanpa
governance akan membuat birokratik dan lalim, tetapi governance tanpa pemerintah,
akan membuat teknokrasi yang kian melemahkan pemerintah demokratis untuk
mewujudkan kehendak rakyat.
Meskipun diskusi governance berbuih-buih, namun akhirnya, ia diambil alih oleh
governance (GG), yang oleh M. Grindle (2017), sebagai pendamping normatif. GG
sangat marak di Indonesia selama era reformasi. Ketika bicara GG, orang langsung
menunjuk sejumlah indikator, misalnya akuntabilitas, transparansi, partisipasi, rule of
law, responsivitas dan seterusnya. Dulu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat
gemar dengan GG, yang beliau pidatokan di ruang wakil rakyat hingga dalam sidang
POLITIK PEMERINTAHAN
Para penganut “IP otonom” pernah menuding bahwa IP di UGM, yang lahir
kembali pada tahun 1960, lebih bersifat politik daripada pemerintahan. Kondisi ini,
menurut Sujamto (2015), karena “penguasa secara sadar menempatkan politik sebagai
panglima”. Ini pendapat khas administrasi bestuurkunde yang anti-politik, untuk
melemahkan Soekarno -- yang memaknai politik sebagai debat tentang arah dan
kebijakan guna mencapai tujuan kemerdekaan – sebagai pembenar kehadiran “ekonomi
sebagai panglima” model developmentalis-kolonial pada era Orde Baru.
Ketika politik masih menjadi barang tabu di zaman Orde Baru, mulai penghujung
hadir Afan Gaffar, Riswandha Imawan, dan M. Ryaas Rasyid yang membawa ilmu politik
untuk mewarnai IP. Meski analisis sistem politik dan struktural fungsional sudah
dibaca secara moral, tetapi sebaiknya dilihat sebagai arena dan kesempatan bagi rakyat
untuk melakukan negosiasi, bahkan, merebut sumberdaya dari elite. Ruang negosiasi
elite-rakyat itulah yang perlu dikaji secara kontekstual, sehingga bisa menjadi modalitas
untuk meninggalkan politik patologis menuju politik perubahan.
Perspektif poskolonialis, yang anti-orientalis Barat, lebih tajam melucuti analisis
politik patologis yang positivistik. Di mata kaum anti-orientalis, analisis yang berpusat
pada elite itu, sungguh tidak mempunyai kontribusi secara aksiologis terhadap perubahan,
malah sebaliknya, membenarkan (melegitimasi) intervensi teknologi kekuasaan
teknokratis dari Jakarta maupun dari Barat. Kritik ini mengingatkan saya pada warning
sejarawan Nordholt (1996) terhadap penggunaan “despotisme oriental” oleh para sarjana
Barat untuk memberi gambaran tentang kerajaan Asia yang berwatak lalim dan menindas
republik desa. “Model ini membantu melegitimasi penundukan kolonial atas sebagian
besar Asia: begitu penguasa lalim digantikan oleh kuasa kolonial yang rasional dan
budiman, penduduk lokal dijamin dan hidup tenang bersama dengan desa tradisional
mereka yang tertutup”, demikian ungkap Nordholt.
KESIMPULAN
IP adalah khas Indonesia, yang tidak dikenal di belahan dunia. Tetapi IP selalu
memperoleh stimulus eksternal: kolonialisme, developmentalisme, dan neoliberalisme.
Ia hadir karena keperluan aksiologi pragmatis, yang bukan untuk menyiapkan kader-
kader pemerintah, bukan pula untuk mencerahkan praktik pemerintahan secara utuh,
tetapi sekadar untuk mencetak birokrasi yang lebih banyak untuk menjaga law and order,
seperti halnya para pangreh praja kolonial untuk menjaga rust en orde. Tujuan aksiologi
yang tidak duduk itu tidak dilengkapi dengan ontologi yang memadai. Para sarjana
berputar-putar menentukan objek IP adalah gejala pemerintahan. Tetapi makna
pemerintahan yang disajikan sungguh salah kaprah dan dangkal. Pertama, konsep
pemerintah lahir dari tradisi Anglo Saxon, tetapi para sesepuh memahami pemerintahan
dari sudut Eropa Kontinental, yakni konsep bestuurkunde yang diimpor dari Negeri
Belanda. Adaptasi ini adalah kesalahan parah. Orang Belanda menyebut bestuurskunde
sebagai administrasi, orang Indonesia menerjemahkan bestuurskunde sebagai
pemerintahan. Kedua, konstitusi telah menyediakan roh, semangat, dan pengetahuan
tentang “pemerintahan berkedaulatan rakyat”, yang mirip dengan “pemerintahan
republikenisme” ala Anglo Saxon, tetapi para sesepuh malah membuat “pemerintahan
DAFTAR PUSTAKA
Adiwisastra, Y. 2015. “Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Administrasi Negara”, dalam M.
Labolo, dkk. eds. Dialektika Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Almond, G. 1990. A Discipline Divided: Schools and Sects in Political Science. London
and Newbury Park: Sage Publications.
Aspinall, E. dan W. Berenschot. 2019. Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and
the State in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Benda, H.J. 1966. “The Pattern of Administrative Reforms in the Closing Years of Dutch
Rule in Indonesia”. The Journal of Asian Studies. 25: 4.
Bohne, E. et. al. eds. 2014. Public Administration and the Modern State Assessing Trends
and Impact. Basingstoke: Palgrave.
Braun, C. dkk. 2015. Quo Vadis, Nederlandse Bestuurskunde?. Bestuurskunde. 24:
Djojowadono, S. 2015. “Perkembangan Ilmu Pemerintahan”. dalam M. Labolo, dkk.
Dyson, K. 1980. The State Tradition in Western Europe: A Study of an Idea and an
Institution. Oxford: Oxford University Press.
Finer, H. 1946. Theory and Practice of Modern Government. New York: Deal Press.
Finer, S. 1970. Comparative Government. London: Allen Lane.
Grimm, D. 2016. Constitutionalism: Past, Present, and Future. Oxford: Oxford
University Press.
Grindle, M. 2017. “Good Governance, R.I.P.: A Critique and an Alternative”.
Governance. 30: 1.
Hadiz, V. 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective. Stanford: Stanford University Press.
Harvey, D. (2007). A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.
Huntington, S. 1968. Political Order in Changing Societies. Yale: Yale University Press.
Karniawati, N. 2015. “Hakekat Ilmu Pemerintahan”. CosmoGov: Jurnal Ilmu
Pemerintahan, 1:2.
Karré, P.M. et. al. 2020. “Public Administration in the Netherlands: State of the Field”,
dalam Geert Bouckaert and Werner Jann eds. European Perspectives for Public
Administration. Leuven: Leuven University Press
Kickert, W dan T. Toonen. 2006. “Public Administration in The Netherlands: Expansion,
Diversification and Consolidation”. Public Administration. 84:4
Klikauer, T. 2013. “What Is Managerialism?”. Critical Sociology, 41:7.
Lay, C. (2019).“Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan
Kemanusiaan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Politik dan Pemerintahan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 6 Februari.
Labolo, M. dkk. eds. 2015. Dialektika Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Maier. C. 2019. Der Rechtsstaat in Spanien und Deutschland – Überlegungen zum
Modell einer Europäischen Demokratie,
https://www.academia.edu/37131719/Der_Rechtsstaat_in_Spanien_und_Deutschl
and_%C3%9Cberlegungen_zum_Modell_einer_europ%C3%A4ischen_Demokrat
ie, 27 Mei 2020.
McVey, R. (1982), “The Beamtenstaat in Indonesia”. dalam B. Anderson dan A. Kahin
(eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate,
Ithaca: Cornell University Modern Indonesia Project.
Nordholt, H.S. 1996, Spell of Power: A History of Balinese Politics 1650-1940, Leiden:
KITLV Press.
Ndraha, T. 2003. Kybernologi: Ilmu Pemerintahan Baru. Jakarta: Rineka Cipta.
Osborne, D dan T. Gaebler. 1992, Reinventing Government. New York: Penguin.