Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN AGAMA

TATA CARA PEMERIKSAAN IZIN POLIGAMI

Disusun Oleh: Kelompok 2

Ketua Kelompok: Adelia Hidayatul Rahmi 2108016025

Anggota Kelompok:

1. Sheptia Elliza 2108016003


2. Nabila Nazifah 2108016009
3. Diana Rospita Lestari 2108016041
4. Tri Meylinda Sari 2108016254
5. Ainun Amalia Azizah 2108016255

Dosen Pengampu: Irma Suriyani S.Ag., M.Ag.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2023

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena atas rahmat dan
karunianya kelompok kami dapat menyelesaikan tugas ujian akhir semester mata kuliah
Hukum Acara dan Praktek Peradilan Agama dengan judul “Tata Cara Pemeriksaan Izin
Poligami”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada
ibu Irma Suriyani S.Ag., M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Acara dan
Praktek Peradilan Agama yang telah memberikan tugas ini terhadap kami. Kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang turut membantu dalam pembuatan
makalah ini.

Tugas mata kuliah Hukum Keuangan Negara ini kami buat sedemikian rupa dengan
harapan semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta merangsang pikiran dan
analisis pemikiran terhadap tata cara pemeriksaan izin poligami.

Kami sadar dengan penuh bahwa tugas kelompok kami ini sangatlah jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami mengharap bimbingan serta petunjuk dari ibu Irma Suriyani
S.Ag., M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan
Agama dengan memberikan kritik dan saran yang membangun agar tugas kami ini dapat
menjadi lebih baik lagi. Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi kami pada
khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Samarinda, 4 Oktober 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iii

I. PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................................. 4

B. Permasalahan ................................................................................................................................4

II. PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 6

A. Kerugian Daerah dan Tuntutan Perbendaharaan ..................... Error! Bookmark not defined.

B. Mekanisme Penyelesaian Kerugian Daerah Melalui Tuntutan Perbendaharaan . Error!


Bookmark not defined.

III. PENUTUP ..................................................................................................................................... 13

A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 13

B. Saran ............................................................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................................14

iii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poligami merupakan salah satu isu yang paling banyak dibicarakan dan kontroversial
dalam pernikahan. Poligami juga menjadi topik hangat yang tiada habisnya di kalangan
keluarga. Kata poligami sudah tidak asing lagi untuk dibicarakan. Di satu sisi, poligami
ditolak dengan berbagai alasan, baik normatif maupun psikologis, bahkan selalu dikaitkan
dengan ketidakadilan gender. Bahkan para penulis Barat kerap mengklaim bahwa poligami
membuktikan ajaran Islam sangat diskriminatif terhadap perempuan dalam bidang
pernikahan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan jasmani dan rohani antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan terjalinnya rumah tangga atau keluarga
yang damai, sakinah, mawadah, warahmah kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keimanan.
Sebaliknya, poligami dipromosikan karena dianggap mempunyai dukungan normatif yang
kuat dan dipandang sebagai alternatif dari perselingkuhan dan prostitusi. Karena pada
prinsipnya seorang laki-laki hanya boleh beristri satu dalam suatu perkawinan, maka
poligami atau suami mempunyai isteri lebih dari satu diperbolehkan jika para pihak
menghendakinya dan pengadilan telah memberikan izin. Perkara poligami merupakan
kewenangan mutlak Peradilan Agama yang mempunyai kekuasaan mengadili secara mutlak,
artinya perkara hanya dapat ditinjau dan diadili oleh Peradilan Agama. Perbedaan pandangan
hakim dalam meninjau izin poligami dapat menimbulkan ketidakpastian hukum berdasarkan
fakta empiris di lapangan. Meskipun kasus izin poligami masih diperdebatkan dan mediasi
diperlukan jika para pihak menghadiri sidang pertama, terkadang kasus izin poligami tidak
digugat dan oleh karena itu terdapat perbedaan pandangan mengenai perlu tidaknya mediasi.
Perbedaan pendapat ini tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari
keadilan.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan
hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Apa dasar hukum yang digunakan oleh Pengadilan Agama dalam melakukan
pemeriksaan izin poligami?
2. Bagaimana pemeriksaan izin poligami yang tidak mengandung sengketa dilakukan?
3. Bagaimanakah sikap hakim yang ideal dalam memeriksa perkara izin poligami?

4
4. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara izin poligami yang tidak
memenuhi syarat di Pengadilan Agama?

5
II. PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Pengadilan Agama Dalam Melakukan Pemeriksaan Izin Poligami


Dalam kamus hukum, Poligami adalah ikatan dimana salah satu pihak mempunyai
atau menikah beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda. Berdasarkan
hal tersebut, poligami mempunyai dua kemungkinan makna yaitu: Pertama, seorang
laki-laki menikah dengan banyak perempuan. Kedua, seorang perempuan menikah
dengan banyak laki-laki. Kemungkinan pertama disebut poligini dan kemungkinan kedua
disebut poliandri. Hanya saja sejak berkembangnya zaman pengertian itu mengalami
perubahan sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki yang memiliki banyak istri,
sedangkan poligini sendiri tak lazim digunakan, khususnya di Indonesia. Dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 3, poligami dapat diartikan ikatan perkawinan di
mana suami memiliki istri lebih dari seorang. Dalam PP Nomor 10 Tahun 1983
Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang di amandemen
menjadi PP No. 45 Tahun 1990 dalam Pasal 4 poligami dapat diartikan pegawai
negeri sipil pria yang memiliki istri lebih dari seorang.

Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa poligami yaitu beristri lebih dari
satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang. Sebagaimana
dalam Pasal 55 ayat (1) KHI. Dalam Hukum Islam, poligami mempunyai arti perkawinan
yang lebih dari satu, dengan batasan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada yang
memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih empat atau bahkan lebih dari
Sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan dalam memahami dan menafsirkan ayat dalam
QS. An-Nisa (4): 3, sebagaimana penetapan dasar hukum poligami.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami


adalah seorang laki-laki yang menikahi lebih dari seorang wanita pada waktu yang
sama, akan tetapi hanya dibatasi sampai empat orang. Poligami ini boleh dilaksanakan
dengan persyaratan khusus serta jumlah ketentuan yang harus dilaksanakan. Poligami
sendiri memiliki dasar hukum baik dari hukum positif maupun hukum Islam.

a. Poligami dalam Hukum Islam


Dalam komplikasi Hukum Islam, yang menjadi dasar diperbolehkannya beristri lebih
dari satu orang atau poligami terdapat pada pasal 55, yaitu:

6
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai
empat orang istri.
2. Syarat utama beristrilebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Walapun dalam hukum Islam memperbolehkan poligami, akan tetapi dalam hal suami
ingin berpoligami harus mempunyai alasan yang tepat. Menurut Amir Syarifuddin,
alasan poligami dalam Islam diantaranya adalah:

1. Bila laki-laki kuat syahwatnya, baginya seorang istri tidak memadai apakah ia
dipaksa harus beristri satu orang. Untuk mencukupkan kebutuhan tersebut
diberikan kesempatan untuk berpoligami asalkan syarat dapat berlaku adil
dapat dipenuhi.
2. Apabila ada seorang suami benar-benar ingin mempunyai anak, padahal istri
mandul. Apakah seorang suami itu harus mengorbankan keinginannya untuk
keturunan. Hal ini dibenarkan untuk menikah lagi.
3. Apabila istri menderita penyakit sehingga tidak mampu melayani suami.
4. Apabila dimasyarakat terjadi jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki,
bagaimana nasib perempuan yang tidak memperoleh suami. Disinilah
kesempatan untuk medapat suami, maka kaum perempuan diberi kesempatan
untuk menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat.
b. Poligami dalam Hukum Positif
Landasan hukum yang dianut oleh Indonesia sekarang adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan aturan pelaksanya PP No. 9 Tahun
1975 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menjadi dasar diperbolehkannya
poligami diatur pada Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi “Pengadilan, dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan”. Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat
diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan
Agama telah memberi izin.

7
Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:Pasal 4 ayat (2):
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang
suami yang akan beristrilebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan.

B. Pemeriksaan Izin Poligami Yang Tidak Mengandung Sengketa


Poligami akan mengandung sengketa, apabila suami mendalilkan bahwa isteri tidak
dapat menjalankan kewajiban, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan dan kemudian semua dalil-dalil
tersebut dibantah oleh Isteri atau isteri tidak bersedia untuk dipoligami. Fakta menarik yang
sering kita lihat dalam proses persidangan bahwa ketika permohonan izin poligami masuk
dalam proses persidangan tidak ada sengketa yang diperlihatkan para pihak. Secara serta
merta isteri mengakui secara murni dalil-dalil yang disampaikan suaminya adalah benar.
Isterinya juga telah merelakan Pemohon agar menikah lagidengan wanita lain karena berbagai
macam alasan. Bahkan kadang isterilah yang meminta suaminya untuk berpoligami.
Mengenai hal ini, ada dua perbedaan pendapat yang muncul tentang adanya mediasi
dalam perkara poligami. Pendapat pertama bahwa izin poligami sifatnya kontentius maka
harus ada mediasi sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa izin poligami hanya sifatnya
saja yang kontentius tetapi substansinya kedua belah pihak sudah saling merelakan untuk
berpoligami maka seharusnya tidak ada mediasi.
Para hakim yang menganut pendapat yang pertama meyakini bahwa, meskipun izin
poligami tidak mengandung sengketa, namun dalam buku II dijelaskan bahwa permohonan
izin poligami harus bersifat kontensius, pihak isteri didudukkan sebagai Termohon.
Dikarenakan izin poligami termasuk ke dalam perkara kontentius, maka apabila tidak
dilaksanakan mediasi, putusan batal demi hukum. Alasan mengapa kedudukan isteri sebagai
Termohon bukan Penggugat adalah seperti halnya cerai talak, poligami merupakan hak laki-
laki yang telah diatur di dalam hukum Islam, sehingga haknya tersebut dapat diajukan ke
Pengadilan Agama.
Adapun para hakim yang menganut pendapat yang kedua meyakini bahwa, apabila
tidak ada sengketa maka mediasi tidak perlu dilaksanakan, sebagaimana yang diatur dalam
Perma Nomor 1 Tahun 2016 pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa “Mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para

8
Pihak dengan dibantu oleh Mediator”. Berdasarkan Perma tersebut yang diselesaikan dengan
cara mediasi adalah perkara yang mengandung sengketa, dan apabila mediasi tetap dilakukan,
maka pelaksanaan mediasi tidak akan efektif karena mediator tidak akan menemukan
masalahnya untuk dicarikan solusi.

Menurut Pendapat kedua izin poligami hanya sifatnya saja yang kontentius tetapi
substansinya kedua belah pihak sudah saling merelakan untuk berpoligami maka seharusnya
tidak ada mediasi. Pendapat ini cenderung berlawanan dengan buku II, karena perkara yang
tidak dimediasi itu adalah perkara volunter dan perkara yang menyangkut legalitas hukum
seperti itsbat nikah, pembatalan nikah, hibah dan wasiat serta perkara yang salah satu
pihaknya tidak hadir di persidangan.10 Apabila perkara izin poligami tidak dimediasi maka
putusannya batal demi hukum. Akan tetapi secara substansi pendapat kedua ini sangat
efektif untuk memberikan pelayanan kepada para pihak, karena senyatanya tidak ada yang
perlu dimediasi antara keduanya karena sudah ada kerelaan masing-masing pihak.

C. Sikap Hakim Yang Ideal Dalam Memeriksa Perkara Izin Poligami


Pada dasarnya pemeriksaan perkara izin poligami oleh Hakim harus berdasarkan pada
sikap ideal seorang Hakim dalam memutuskan pemberian izin itu sendiri. Seorang hakim
yang memeriksa suatu perkara izin poligami harus berpegang dengan teguh pada hukum
acara yang diatur dalam hukum positif, kode etik serta suatu keputusan yang akan diambil
oleh Hakim nantinya harus berdasarkan pertimbangan yang tidak menyimpang dari kaidah-
kaidah hukum yang ada. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, sesuatu
yang berhubungan dengan pelaksanaan dan keadilan tergantung dari manusia-manusianya
dalam hal ini adalah hakim. Oleh karena itu, seorang Hakim dituntut untuk selalu berlaku
jujur, bebas dari pengaruh luar, serta berani mengambil keputusan yang tegas. Hal ini
dilakukan agar di kemudian hari izin poligami tersebut tidak berdampak buruk pada
seseorang.

Sikap hakim digambarkan dalam kode etik merupakan cerminan bahwa seorang
Hakim senantiasa berlandasan pada ketaqwaan Tuhan Yang Maha Esa, berlaku adil, bijaksana,
berwibawa serta berbudi luhur serta jujur. Ketawqwaan inilah yang membuat Hakim bekerja
dengan baik karena tuntutan agamanya.

Hakim juga harus dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum acara positif.
Dalam pemeriksaan suatu perkara, seorang Hakim hanya dapat mengabulkan izin poligami
jika memenuhi alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1

9
Tahun 1974. Selain itu, Hakim turut memberikan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
Pemohon jika ingin mengajukan izin poligami, seperti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

a. Adanya persetujuan istri atau istri-istri mereka secara tertulis dan bisa
dinyatakan secara lisan di depan muka persidangan yang tujuannya untuk
menghindari pemalsuan izin tertulis.
b. Adanya kepastian bahwa suami dapat dan mampu menjamin kebutuhan hidup
istri-istri serta anak-anaknya secara tertulis.
c. Adanya jaminan suami berlaku adil secara tertulis.

Pengadilan agama juga menunjukan sikapnya dalam pemberian izin poligami. Dalam
hal ini, pengadilan agama hanya dapat memberikan izin kepada Pemohon izin poligami
berdasarkan syarat-syarat yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 57.
Sehingga dengan sikap yang berpegang teguh pada hukum acara dan berdasarkan pada
pertimbangan hukum, seorang Hakim dalam memeriksa perkara izin poligami, dapat
memberikan izin poligami jika permohonan pemohon tersebut mengandung unsur atau pilar
yang sudah terpenuhi, yaitu hubungan hukum para pihak dan juga adanya syarat atau alasan
dalam poligami. Selain harus adanya unsur alasan dan pilar, izin yang dapat diberikan kepada
Pemohon juga harus disertai dengan pembuktian yang dibuktikan secara langsung dan
kehadiran saksi-saksi. Dengan terpenuhinya hal ini, Hakim dapat memberikan atau
menetapkan izin poligami berdasarkan apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

D. Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Perkara Izin Poligami Yang Tidak


Memenuhi Syarat Di Pengadilan Agama

Secara prinsip, pernikahan adalah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita.
Namun, ada situasi di mana seorang pria diizinkan untuk memiliki lebih dari satu istri, yang
dikenal sebagai poligami. Untuk melakukan poligami, seorang suami harus mengajukan
permohonan tertulis dengan alasan yang sesuai, sesuai dengan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Permohonan

10
ini harus diajukan kepada pengadilan agama di wilayah tempat tinggalnya dan harus
menyertakan salinan Akta Nikah sebelumnya serta surat izin yang dibutuhkan.

Pengadilan Agama akan melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Selama pemeriksaan, Pengadilan
Agama juga wajib memanggil dan mendengarkan keterangan dari istri yang bersangkutan
sesuai dengan Pasal 42 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Mendapatkan izin
untuk poligami adalah salah satu persyaratan untuk melakukan perkawinan dengan lebih dari
satu orang. Seseorang yang masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain tidak
diizinkan untuk menikah lagi kecuali setelah mendapatkan izin dari pengadilan, sesuai
dengan Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan.

Orang yang mencoba menikah lebih dari satu orang tanpa izin dari pengadilan dapat
menghadapi penolakan perkawinan karena tidak memenuhi persyaratan untuk
melangsungkan perkawinan. Selain itu, jika poligami dilakukan tanpa izin dari pengadilan,
perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh pengadilan, sesuai dengan Pasal 15 dan 24
Undang-Undang Perkawinan.

Dalam konteks pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara izin poligami yang tidak
memenuhi syarat di pengadilan, langkah-langkah yang perlu diambil adalah sebagai berikut:

1. Prinsip pernikahan harus dijelaskan, dimana pernikahan adalah ikatan antara seorang pria
dan seorang wanita, tetapi poligami bisa menjadi pengecualian dalam beberapa situasi.
2. Suami yang ingin melakukan poligami harus mengikuti prosedur yang ketat. Ini termasuk
mengajukan permohonan tertulis sesuai dengan peraturan yang diatur dalam hukum yang
berlaku, termasuk Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Pasal 41
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Permohonan ini harus diajukan kepada
pengadilan agama di wilayah tempat tinggalnya dan harus dilengkapi dengan salinan Akta
Nikah sebelumnya serta surat izin yang diperlukan.
3. Pengadilan Agama akan melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selama pemeriksaan, Pengadilan Agama juga akan mendengarkan keterangan dari istri
yang bersangkutan sesuai dengan hukum yang berlaku.
4. Izin untuk poligami merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
melakukan perkawinan dengan lebih dari satu orang. Seseorang yang masih terikat dalam
perkawinan dengan orang lain tidak diizinkan untuk menikah lagi kecuali setelah
mendapatkan izin dari pengadilan, sesuai dengan peraturan yang berlaku.

11
5. Pelanggaran izin poligami dapat memiliki konsekuensi serius. Orang yang mencoba
menikah lebih dari satu orang tanpa izin dari pengadilan dapat menghadapi penolakan
perkawinan karena tidak memenuhi persyaratan hukum. Selain itu, jika poligami
dilakukan tanpa izin dari pengadilan, perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh
pengadilan sesuai dengan hukum yang berlaku.
6. Setiap keputusan pengadilan memiliki struktur tertentu. Ini meliputi bagian awal
keputusan yang mencakup judul, nomor perkara, dan pernyataan awal yang mengacu
pada prinsip-prinsip hukum, identitas para pihak yang terlibat dalam perkara, bagian yang
mengenai perihal perkara atau kejadian yang terjadi, bagian pertimbangan hukum yang
mencakup evaluasi hakim terhadap bukti dan argumen yang disajikan selama persidangan,
serta amar putusan yang merupakan inti dari keputusan pengadilan.
7. Bagian penutup keputusan pengadilan berisi informasi mengenai tanggal pengucapan
putusan, identitas Hakim yang mengadili kasus, serta tandatangan dari Hakim dan
Panitera sidang. Bagian ini juga mengharuskan materai pada tanda tangan Ketua Majelis.

Pemahaman tentang pertimbangan hakim dalam memeriksa izin poligami yang tidak
memenuhi syarat di pengadilan melibatkan beberapa tahap penting. Prinsip dasar pernikahan
harus diakui, meskipun poligami bisa menjadi pengecualian dalam situasi tertentu. Suami
yang ingin melakukan poligami harus mengikuti prosedur ketat, termasuk mengajukan
permohonan tertulis sesuai dengan regulasi yang berlaku. Pengadilan Agama memainkan
peran utama dalam pemeriksaan izin poligami, dengan pemeriksaan teliti dan pendengaran
keterangan dari istri yang bersangkutan. Izin poligami menjadi syarat mutlak sebelum
melangsungkan perkawinan dengan lebih dari satu orang, dan pelanggarannya dapat
mengakibatkan penolakan perkawinan atau pembatalan perkawinan yang telah dilakukan.
Keputusan pengadilan mengikuti struktur yang ditentukan, dengan bagian penutup berisi
informasi tentang tanggal pengucapan putusan serta identitas Hakim yang mengadili kasus,
memastikan bahwa proses izin poligami berjalan sesuai dengan hukum dan dilakukan dengan
pertimbangan yang adil oleh pengadilan.

12
III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut : Pasal 4 ayat (2) :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Istri dapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Seorang hakum yang memeriksa suatu perkara izin poligami harus berpegang dengan
teguh pada hukum acara yang diatur dalam hukum positif kode etik serta suatu keputusan
yang akan diambil oleh Hakim nantinya harus berdasarkan pertimbangan yang tidak
menyimpang dari kaidah-kaidah hukum yang ada.

Ini meliputi bagian awal keputusan yang mencakup judul, nomor perkara dan
pernyataan awal yang mengacu pada prinsip-prinsip hukum, identitas para pihak yang terlibat
dalam perkara, bagian yang mengenai perihal perkara atau kejadian yang terjadi, bagian
pertimbangan hukum yang mencakup evaluasi hakim terhadap bukti dan argumen yang
disajikan selama persidangan, serta amar putusan yang merupakan inti dari keputusan
pengadilan

B. Saran
Pada saat pembuatan makalah, kami selaku kelompok 2 menyadari bahwa banyak
sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami harapkan kritik dan
sarannya mengenai Tata Cara Pemeriksaan Izin Pologami dalam kesimpulan di atas."

13
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat


dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.

Supardi Mursalin, Menolak Poligami; Studi Tentang Undang-Undang Perkawinan dan


Hukum Islam, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Oktasari, Orin. Pertimbangan Hakim Pengadilhan Agama Curup Terhadap Izin Poligami
Sumai yang Tidak Memenuho Syarat dalam Hukum Positif Di Indonesia, QIYAs
Vol1, NO.1, April 2016, hlm 47

Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. VI, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

14

Anda mungkin juga menyukai