Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ANGGRAWAN PRAMUDYA

NIM : E1051191066
KELAS : PAGI
PRODI : ILMU POLITIK

“RANGKUMAN MATERI PLURALISME DAN ELITISME”

A. PLURALISME

Dewasa ini konsep Pluralisme telah menjadi sebuah kosakata wajib dalam
kehidupan politik modern, dan dianggap merupakan bagian inheren dari wacana dan
praktek demokrasi. Dalam pandangan Anthony Harold Birch, konsep ini
merupakan tradisi khas dan abadi dalam demokrasi Amerika Serikat yang telah
dirintis oleh para pemikir pluralis awal mereka, seperti James Madison dan
Alexander Hamilton. Birch bahkan meyakini bahwa persebaran konsep pluralisme
ini di berbagai negara dimulai dari Amerika dan merupakan ekspor intelektual
Amerika. Dan sekarang, semua sistim demokrasi pada hakekatnya berkarakter
prularis. Artinya, demokrasi tidak bisa dikaji apalagi diklaim oleh siapapun tanpa
menyertakan kemajemukan (pluralisme) di dalam diskursusnya.
Gagasan kemajemukan lahir dan berkembang di Amerika berpijak pada latar
belakang situasi keragaman wilayah yang berpotensi melahirkan dominasi oleh satu
wilayah atas wilayah lainnya. Kesimpulan pemikiran Madison dan Hamilton dalam
konteks ini adalah menggabungkan tigabelas negara bagian menjadi sebuah kesatuan
federal. Menurut mereka hal ini akan membuat faksi-faksi menjadi beragam dan
berlipatganda, sehingga meminimalisir potensi munculnya bahaya dominasi oleh
satu faksi atas faksi lainnya. Hal ini dikemukakan dengan tegas oleh Hamilton
melalui tulisannya dalam The Federalist No.51 seperti yang dikutip Birch, bahwa
“Society itself will be broken into so many parts, interests, and classes of citizens that the rights
of individuals or of the minority will be in little danger from interested combinations of the
majority.”

1
Kesimpulan Madison dan Hamilton itu didasarkan pada dalil normatif bahwa
Amerika harus mengatur sistem pemerintahan mereka sedemikian rupa sehingga
dapat meminimalkan kemungkinan bahwa para pemimpin dari salah satu faksi bisa
mendominasi faksi yang lain; yang oleh Madison dianggap sebagai bentuk
perampasan hak. Selain itu, terdapat empat hipotes empirik yang menjadi dasar
pertimbangan dan kesimpulan mereka, yakni :
Pertama, bahwa para politisi biasanya tidak termotivasi oleh pikiran sikap
altruistik atau kepedulian terhadap kepentingan publik.
Kedua, bahwa konflik kepentingan dalam masyarakat tidak bisa dihindari dan
tentu akan mengarah pada berkembangnya perselisihan atau konflik antar faksi.
Ketiga, bahwa faksi dalam masyarakat, jika tidak diawasi oleh pihak lain,
cenderung akan berusaha untuk memaksimalkan kepentingan mereka sendiri dengan
mengorbankan orang lain.
Keempat, bahwa bahwa faksi akan dipimpin atau diwakili oleh politisi yang
bisa diharapkan untuk menggunakan kekuasaan mereka untuk mempromosikan
kepentingan faksional sifatnya.
Merujuk pada fenomena Amerika dan pemikiran para perintis pluralismenya,
Madison dan Hamilton itulah, Birch mendefinisikan pluralisme atau kemajemukan.
Menurut Birch, kemajemukan merupakan salah satu cara dalam demokrasi
Amerika, yang disebutnya sebagai Pluralist Way. Menurut Birch, pluralist way adalah
“competition between sections and pressure groups”. Intinya seperti telah disinggung
didepan tadi, bahwa masyarakat dan para pemimpin faksi politik dipersatukan dalam
sebuah ikatan kesatuan federal, kemudian dipersilahkan mengkonolidasikan diri
dalam berbagai kelompok kepentingan yang setara dan terorganisir untuk saling
mengawasi dan bersaing secara sehat diantara mereka sendiri, sekaligus secara
bersama-sama mengontrol pembuatan kebijakan politik pemerintah. Dengan cara
demikian, sekali lagi, kemungkinan terjadinya dominasi oleh satu faksi atas faksi-
faksi lainnya dapat dihindarkan.
Dalam pandangan Anthony Birch, kemajemukan Amerika yang sebelumnya
didasarkan pada ide pembagian (sectional) dan geografis, setelah tahun 1950-an
digantikan oleh penekanan pada pentingnya peran kelompok-kelompok penekan

2
(pressure groups) yang terorganisir untuk mengimbangi pembuatan keputusan atau
kebijakan politik oleh pemerintah. Menurut Birch kelompok penekan merupakan
“bentuk politik paling dasar”, dan proses politik pada esensinya merupakan
perjuangan dari kelompok-kelompok tersebut. Sebelum munculnya konsep
“kelompok penekan”, istilah yang digunakan adalah “kelompok kepentingan”
(interest groups) yang dipahami sebagai kelompok yang memiliki fungsi
mempertahankan atau memperjuangkan kepentingan material para anggotanya.
Namun istilah yang kemudian lebih banyak digunakan oleh para ilmuan politik
adalah “kelompok penekan”.
Dalam melihat kemajemukan, Birch merujuk pada pandangan Robert Dahl
(1956). Karya-karya Robert Dahl mengangkat kembali gagasan kemajemukan dalam
pemikiran modern ilmu politik di Amerika Serikat. Menurut Robert Dahl,
kemajemukan ditampilkan sebagai “a polyarchical system… of checks and balances”.
Kemajemukan bukan semata-mata keseimbangan kekuasaan secara sama,
melainkan suatu sistem di mana setiap kelompok yang memiliki “legitimasi”
memiliki pengaruh atas kebijakan publik, dan tidak ada satu kelompok yang bisa
mendominasi sebuah proses politik.
Birch memandang kemajemukan di Amerika muncul sebagai upaya untuk
mencegah pemusatan kekuasaan pada mayoritas dan yang tidak dapat dikoreksi.
Dalam pandangan pengusung kemajemukan klasik, ancaman terbesar adalah
adanya pemusatan kekuasaan kelompok mayoritas, sehingga bentuk negara
kesatuan federal diharapkan dapat mereduksi potensi tersebut. Ini bisa dilihat dalam
dalam pandangan James Madison yang memandang bahwa ukuran dan keragaman
dari bentuk federasi akan menjaga hak-hak kaum minoritas dengan membuat
sulitnya mayoritas koheren manapun untuk dapat terbentuk. Sementara, dalam
pandangan pengusung gagasan kemajemukan modern, kelompok penekan menjadi
faktor kunci untuk mencegah potensi meluasnya wewenang pemerintahan yang
dapat memgakibatkan tindakan sewenang-wenang oleh pemerintah, terutama dalam
pembuatan keputusan atau kebijakan politik.
Namun, Birch tidak menjelaskan konsep kemajemukan dalam ranah filsafat
politik. Di sini akan dirujuk pada pemikiran Isaiah Berlin. Berlin memberikan

3
sumbangan pemikiran yang sangat penting mengenai kemajemukan dalam filsafat
dan pemikiran politik. Sumbangan besar Berlin bagi filsafat politik adalah konsepnya
mengenai “value pluralism” atau kemajemukan nilai. Maksudnya, suatu ide
mengenai kebaikan manusia bersifat majemuk dan tidak bisa direduksi, dan acapkali
tidak saling memiliki kecocokan, dan kadangkala tidak bisa diukur dengan standar
yang sama (incommensurable) antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain,
kebutuhan dasar manusia tidak bisa diseragamkan karena sangat beragam. Inilah
dilema pokok dalam kemajemukan: manusia hidup di dunia yang beragam yang
mana tidak dimungkinkan untuk mengakomodasi seluruh keutamaan (virtues) dan
nilai-nilai (values) manusia kepada satu bentuk kehidupan.

B. ELITISME

Di depan telah dikemukakan, bahwa istilah Pluralisme dan Elitisme


merupakan dua konsep yang lazim digunakan oleh para pemikir politik dalam
konteks diskursus mengenai bagaimana kekuasaan politik terdistribusi di dalam
masyarakat. Dalam model Pluralisme, distribusi kekuasaan melibatkan berbagai
kelompok kepentingan dalam masyarakat. Dapat juga dinyatakan, bahwa kekuasaan
terdistribusi secara relatif merata di dalam masyarakat. Sementara dalam perspektif
Elitisme sebaliknya, bahwa kekuasaan terdistribusi secara timpang alias tidak merata
di dalam masyarakat.
Dalam konteks fenomena ketimpangan distribusi kekuasaan inilah
sesungguhnya terma elitisme (selain pluralisme dan konsep-konsep lainnya) dibahas
oleh Birch dalam bukunya, Concepts and Theories of Modern Democracy itu. Dalam
perspektif elitisme, struktur masyarakat terbagi kedalam dua kelas yang berbeda,
yaitu sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan besar, atau akses luas
terhadap kekuasaan yang disebut sebagai elit; dan anggota masyarakat dalam jumlah
besar tetapi tidak memiliki kekuasaan ril yang dikenal sebagai massa.
Secara umum para ahli teori tentang elit mendeskripsikan elite sebagai bersifat
homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok (memiliki latar belakang yang

4
mirip, memiliki nilai-nilai kesetiaan dan kepentingan bersama). Elite mengatur
sendiri kelangsungan hidupnya dan keanggotaannya berasal dari satu apisan
masyarakat yang sangat terbatas (eksklusif). Elite pada dasarnya otonom, kebal akan
gugatan dari siapapun di luar kelompoknya.
Dalam masyarakat yang relatif kecil dan homogen (homogenous-geimenschaft),
ada kecenderungan elit berbentuk tunggal dan memiliki pengaruh dan kekuasaan di
seluruh cabang kehidupan seperti ekonomi, politik dan kultural. Sedangkan dalam
masyarakat yang kompleks, dan heterogen (heterogenous-geselschaft), ada
kecenderungan elit yang banyak ragamnya. Di setiap cabang-cabang kehidupan yang
penting (ekonomi, sosial, politik), akan muncul sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan yang lebih besar daripada yang lain. Orang atau sekelompok orang yang
memiliki kekuasaan dalam bidang ekonomi, dinyatakan sebagai elit di bidang
ekonomi. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang
politik dinyatakan sebagai elit di bidang politik. Akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan adanya orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam
lebih dari satu bidang kehidupan. Dimungkinkan juga yang bersangkutan selain
menjadi elit di bidang ekonomi menjadi elit di bidang politik.
Dalam kajiannya tentang Elitisme ini, Birch menampilkan kembali pokok-
pokok pemikiran dari 4 tokoh teoritisi paling dikenal dalam sejarah kajian seputar
Elitisme. Mereka, berdasarkan urutan tanggal lahir adalah : Vilfredo Pareto,
(sosiolog Italia), Geatano Mosca, (kerap disebut sebagai bapak ilmu politik Italia),
Robert Michels (sosiolog Jerman), dan Charles Wright Mills (sosiolog Amerika).
Mosca, nama lengkapnya Gaetano Mosca, lahir pada tanggal 1 April 1858
dan meninggal pada tanggal 8 Novembe 1941). Mosca yang berkebangsaan Italia ini
adalah seorang ilmuwan politik sekaligus pernah menjadi jurnalis.
Di samping Pareto yang mengembangkan teorinya atas dasar keahliannya
sebagai sosiolog dan psikolog, Gaetano Mosca lebih jauh mengembangkan teori elit
politik seperti halnya konsep mengenai pergantian (sirkulasi) elit. Ia menolak dengan
gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk monarki, aristrokasi dan
demokrasi yang telah dipakai sejak zaman Aristoteles, dia menegaskan bahwa hanya
ada satu bentuk pemerintahaan, yaitu Oligarki. Dalam semua masyarakat, dari yang

5
paling giat mengembangkan diri serta telah mencapai fajar peradaban, hingga pada
masyarakat yang paling maju dan kuat, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat,
yakni : kelas yang memerintah (the ruling class) dan kelas yang diperintah (the ruled
class).
Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang
semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan
yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih
besar, diatur dan dikontrol oleh yang pertama, dalam masalah saat ini kurang lebih
legal, tewakili dan keras serta mensuplai kebutuhan kelas yang pertama,paling tidak
pada saat kemunculannya, dengan instrument-instrumen yang penting bagi vitalitas
organisme politik. “Semakin besar suatu masyarakat politik “tambahnya, ”Samakin
kecil proporsi yang memerintah untuk diatur oleh, dan makin sulit bagi kelompok
mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas tersebut.
Seperti halnya Pareto, Mosca juga percaya dengan teori pergantian atau
sirkulasi elit. Karakteristik yang membedakan elit adalah “kecakapan untuk
memimpin dan menjalankan kontrol politik”. Sekali kelas yang memerintah tersebut
kehilangan kecakapannya dan orang-orang diluar kelas tersebut menunjukkan
kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang
berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca
percaya pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elit yang berkuasa, tidak
mampu lagi memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh masa, atau layanan
yang telah diberikannya dianggap tidak lagi bernilai, atau muncul agama baru, atau
terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka
perubahan adalah sesuatu yang tak dapat dihindari.
Mosca tidak saja mengajukan alasan psikologis sebagaimana yang
dikedepankan Pareto, tetapi juga alasan-alasan sosiologis. Dia menunjukan kaitan
perubahan di dalam lingkungan masyarakat dengan sifat-sifat individu. Rumusan
kepentingan dan cita-cita baru yang menimbulkan persoalan baru misalnya akan
semakin mempercepat pergantian elit. Mosca tidaklah setajam Pareto dalam
membahas masalah idealisme dan humanisme serta pandangannya terhadap
masalah penggunaan kekuatan boleh dikatakan sederhana. Dia lebih menyukai

6
suatu masyarakat yang dinamis dan berubah melalui persuasi. Dia juga
menyarankan agar elit yang memerintahkan secara bertahap mengadakan
perubahaan dalam sistem politik agar sistem tersebut dapat menyesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang dikehendaki masyarakat.

Sumber : Buku Concepts and Theories of Modern Democracy, oleh : Anthony Harold Birch

Anda mungkin juga menyukai