Anda di halaman 1dari 42

STATUS

KEDOKTERAN INDUSTRI
“DESICCATED COCONUT”

Disusun oleh:
Azkia Fachrina Hanifa (201910401011071)
Nabila Fitri Kurnia (201910401011087)

Pembimbing :
Dr. Feny Tunjungsari, M.kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI
I. STATUS UMUM TEMPAT KERJA (FACTORY VISIT)
A. Identitas
1. Nama Perusahaan :
2. Alamat :
3. Jenis Usaha :
4. Jumlah tenaga kerja :

B. Analisis Komponen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


1. Proses Industri / Proses Kerja
Bahan
No. Unit Kerja Bahan Baku Alat Kerja Cara Kerja
Berbahaya
1 Penerimaan Kelapa yang APD gloves 1. Kelapa yang sudah dipisahkan dari kulit luar dan -
buah kelapa sudah dipisahkan dan masker sabutnya diangkut dari kebun menuju tempat
dari kebun dari kulit luar dan penerimaan di pabrik
sabut 2. Seleksi kelapa yang akan digunakan sebagai bahan baku
serbuk kelapa
2 ●
3 Shelling - Kelapa yang ● mesin 1. Petugas menghidupkan mesin deshelling  Fly wheel
( pemisahan sudah diseleksi deshelling 2. Petugas mengambil kelapa yang telah di … mesin
tempurung ) ● APD gloves 3. Petugas memisahkan tempurung dengan daging buah kelapa deshelling
dan sepatu secara manual menggunakan mesin
boot 4. Setelah dipisahkan diletakkan pada mesin pengangkut
4 Paring - Kelapa yang ● Pisau 1. Petugas mengambil kelapa yang sudah melalui proses ● Pisau
sudah melalui pengupas shelling dari mesin pengangkut
tahap Shelling 2. Petugas mengupas kelapa dengan pisau
3. Setelah bersih petugas meletakkan kelapa pada mesin
pengangkut

1
5 Pemotongan ● Kelapa yang ● mesin 1. Kelapa yang telah dikupas secara otomatis masuk
sudah decapping kedalam mesin decapping untuk memecah kelapa yang
dikupas masih bulat.

6 Produksi - ● APD gloves 1. memasangkan badan dengan leher gitar dengan terlebih ● Mesin
dan masker dahulu membuat lubangnya dengan alat khusus disebut press
● alat press truss rod, setelah itu badan dan leher gitar dimasukkan ● Mesin
bridge pada alat press khusus pemotong
● palu 2. setelah itu leher gitar dipasang fret (dudukan benang kayu
gitar) dengan cara disusun dengan rapi dan dimasukkan ● palu
dengan palu kemudian, pekerja memasukkan leher gitar ● freet
ke alat press khusus.
3. setelah itu dilakukan pengukuran dengan cermat antara
freet dengan tempat perletakan bridge gitar, setelah
ditemukan lokasi yang tepat, maka pekerja
menghilangkan sedikit cat yang ada pada badan gitar
untuk perlekatan bridge, setelah dilekatkan kemudian di
press dengan alat press khusus bridge
7 Tuning - Jack Output ● APD 1. Pada gitar yang mendukung alat elektronik, dapat ● Mesin
- Kabel gloves dan dipasang Jack Output Solder
- Equalizer masker 2. Merangkai kabel pada Jack Output ● Palu
- Senar Gitar ● Mesin 3. Memasang Equalizer di bagian samping badan gitar. ● Senar
- Timah Solder Solder 4. Pasang senar dan kepala senar di Bridge gitar sampai ke Gitar
● Palu Headstock
● Penggaris 5. Memeriksa kelayakan dari senar gitar dan settingan
headstock
6. Menyesuaikan Intonasi dan stabilitas performa gitar
7. Dokumentasikan tanggal pembuatan gitar pada label
gitar

2
2. Lingkungan Kerja
No Unit Kerja Ling. Fisik Ling. Biologi Ling. Kimia Ling. SosBud Ling. Ergonomi
1 Penerimaan buah - Kondisi Ruangan yang - Pegawai mudah berkeringat : ● Getah dan Stress dapat - Berulangnya posisi
kelapa dari kebun lembab : Penggadaan baju dan celana serbuk terjadi pada mengambil buah kelapa
Menggunakan baju dan kerja yg panjang dgn bahan kain tempurung pegawai dan yang tidak ergonomi
celana Panjang dgn yg menyerap keringat serta dari buah hubungan meningkatkan
bahan kain yg diberikan kipas angin atau kelapa kurang terjadinya LBP
menyerap keringat dan blower utk meningkatkan harmonis antar
persiapkan baju ganti. sirkulasi udara. pegawai.
- Buah kelapa, getah - Ruangan yang lembab
kelapa dan serbuk meningkatkan jumlah kuman
kelapa : Gunakan (bakteri, virus atau jamur) di
pakaian Safety, Helm, dalam ruangan dan dapat
Masker, dan Sarung meningkatkan resiko infeksi
tangan - Penerangan yang kurang
- Penerangan yang meningkatkan resiko kesalahan
kurang saat bekerja

Proses - Penggunaan alat - Pegawai mudah berkeringat : ● Getah dan Stress dapat - Penggadaan untuk
pemindahan pemindah tempurung Penggadaan baju dan celana serbuk terjadi pada tempat alas yg tinggi.
kelapa dari tempat kelapa : SOP yang kerja yg panjang dgn bahan kain tempurung pegawai dan
penerima kelapa tepat dan pengawasan yg menyerap keringat serta dari buah hubungan

3
ke shelling pegawai untuk diberikan kipas angin atau kelapa kurang
(pemisahan mencegah terjadinya blower utk meningkatkan ● harmonis antar
tempurung) trauma. sirkulasi udara. pegawai.
- Buah kelapa, getah -
kelapa dan serbuk
kelapa : Gunakan
pakaian Safety,
Masker, dan Sarung
tangan.
- Bising Mesin :
Penggunaan APD Ear
Plug
2 Shelling - Penggunaan alat - Pegawai mudah berkeringat : ● Getah dan Stress dapat - Tempat alat kurang
( pemisahan pemisah tempurung Penggadaan baju dan celana serbuk terjadi pada tinggi, posisi kepala
tempurung ) kelapa : SOP yang kerja yg panjang dgn bahan kain tempurung pegawai dan tertuju kebawah, tidak
tepat dan pengawasan yg menyerap keringat serta dari buah hubungan ada istirahat dan
pegawai untuk diberikan kipas angin atau kelapa kurang tempat duduk
mencegah terjadinya blower utk meningkatkan harmonis antar
trauma. sirkulasi udara. pegawai.
- Getah kelapa dan - Ruangan yang lembab
serbuk kelapa : meningkatkan jumlah kuman
Gunakan pakaian (bakteri, virus atau jamur)
Safety, Masker, Gogle,
Celemek, sepatu boot,
dan Sarung tangan
- Bising Mesin :
Penggunaan APD Ear
Plug
- Penerangan yang
kurang : diberikan
cahaya lampu yang
cukup utk

4
meminimalkan
kesalasahan saat
bekerja.
- Sirkulasi Udara yang
kurang : Diberikan
blower atau kipas
angin.
3 Paring - Penggunaan alat - Pegawai mudah berkeringat : ● Getah dan Stress dapat - Meja pengupas kurang
pemisah kulit kelapa Penggadaan baju dan celana serbuk terjadi pada tinggi, posisi kepala
(pisau) : SOP yang kerja yg panjang dgn bahan kain tempurung pegawai dan tertuju kebawah, tempat
tepat dan pengawasan yg menyerap keringat serta dari buah hubungan duduk tidak ada
pegawai untuk diberikan kipas angin atau kelapa kurang bersandarnya.
mencegah terjadinya blower utk meningkatkan harmonis antar - Gerakan berulangnya
trauma. sirkulasi udara. pegawai. tangan untuk mengupas
- Getah kelapa dan - Ruangan yang lembab yang beresiko
serbuk kelapa : meningkatkan jumlah kuman meningkatkan kejadian
Gunakan pakaian (bakteri, virus atau jamur) CTS.
Safety, Masker, Gogle,
Celemek, sepatu boot,
penutup kepala, dan
Sarung tangan.
- Bising Mesin :
Penggunaan APD Ear
Plug
- Penerangan yang
kurang : diberikan
cahaya lampu yang
cukup utk
meminimalkan
kesalasahan saat
bekerja.
- Sirkulasi Udara yang

5
kurang : Diberikan
blower atau kipas
angin.
4 Pemotongan - Penggunaan mesin - Pegawai mudah berkeringat : ● Getah dan Stress dapat Gerakan berulangnya
Kelapa pemotong kelapa : Penggadaan baju dan celana serbuk terjadi pada tangan untuk mengupas
SOP yang tepat. kerja yg panjang dgn bahan tdari buah pegawai dan yang beresiko
- Penggunaan alat kain yg menyerap keringat serta kelapa hubungan meningkatkan kejadian
pemotong kelapa diberikan kipas angin atau kurang CTS.
(pisau) : SOP yang blower utk meningkatkan harmonis antar
tepat dan pengawasan sirkulasi udara. pegawai.
pegawai untuk
mencegah terjadinya
trauma.
- Getah kelapa dan
serbuk kelapa :
Gunakan pakaian
Safety, Masker,
Gogle, Celemek,
sepatu boot, penutup
kepala, dan Sarung
tangan.
- Bising Mesin :
Penggunaan APD Ear
Plug
- Sirkulasi Udara yang
kurang : Diberikan
blower atau kipas
angin.
5 Pencucian Kelapa - Penggunaan mesin Pegawai mudah berkeringat : ● Bahan Stress dapat Gerakan berulangnya
pencucian kelapa : Penggadaan baju dan celana kerja untuk terjadi pada tangan untuk mendorong
SOP yang tepat. yg panjang dgn bahan kain yg pencucian pegawai dan dan memberikan takaran
- Penggunaan alat menyerap keringat serta diberikan kelapa hubungan yg beresiko

6
pendorong kelapa : kipas angin atau blower utk kurang meningkatkan kejadian
SOP yang tepat dan meningkatkan sirkulasi udara. harmonis antar CTS.
pengawasan pegawai pegawai.
untuk mencegah
terjadinya trauma.
- Pengunaan alat takar :
SOP yang tepat
- Gunakan pakaian
Safety, Masker, sepatu
boot, penutup kepala,
dan Sarung tangan.
- Bising Mesin :
Penggunaan APD Ear
Plug
- Sirkulasi Udara yang
kurang : Diberikan
blower atau kipas
angin.
6 Pemotongan dan - Penggunaan mesin - - - -
Proses Menjadi Pemotong dan Kelapa
Dessicated Parut Kering : SOP
Coconut yang tepat.
7 Pemilihan - Penggunaan alat sortir - Pegawai sortir sudah betul ● Serbuk Stress dapat Gerakan berulangnya
Dessicated atau pemisah diberikan jas lab. Kelapa terjadi pada tangan, berdiri dlm
Coconut dan dessicated Coconut : - Pegawai pengemasan mudah Parut pegawai dan jangka waktu yg lama,
Pengemasan SOP yang tepat. berkeringat : Penggadaan baju Kering hubungan
dan membungkuk saat
- Penggunaan alat dan celana kerja yg panjang dgn kurang
Pengemasan bahan kain yg menyerap harmonis antar proses pengemasan dpt
Dessicated Coconut : keringat serta diberikan kipas pegawai. meningkatkan kejadian
SOP yang tepat dan angin atau blower utk myalgia.
pengawasan pegawai meningkatkan sirkulasi udara
untuk mencegah dan mengurangi paparan panas

7
terjadinya trauma. yg dihasilkan dari mesin.
- Gunakan pakaian
Safety, Masker, sepatu
boot, penutup kepala,
dan Sarung tangan.
- Bising Mesin :
Penggunaan APD Ear
Plug
- Sirkulasi Udara yang
kurang : Diberikan
blower atau kipas
angin.

3. Karyawan
Jumlah Rata-
Populasi rata Status
No. Unit kerja Resiko Kesehatan Penanganan Resiko
L P Lama Kesehatan
kerja
1 Tempat 9 jam Tidak ada -Ruangan kerja yang lembab dapat menyebabkan 1. persiapkan baju ganti dan
Penyimpanan keluhan Penyakit jamur kulit hindari pakaian berlapis
Kayu 2. Tambahkan ventilasi
- Kurang sirkulasi udara udara untuk ruangan
dapat menyebabkan ISPA penyimpanan
3. Gunakan APD dalam
- Tidak menggunakan APD yang sesuai dapat
bekerja seperti sarung
menyebabkan penyakit dermatitis kontak iritan
tangan dan masker

2 Pembuatan 9 jam Tidak Ada - Alat kerja yang berisiko jika salah prosedur dapat - Pembuatan SOP yang tepat
Leher Gitar Keluhan menyebabkan Vulnus amputatum dalam proses kerja
- Memakai APD dalam
- Tidak memakai APD seperti Masker, sarung bekerja seperti sarung
tangan, peredam suara dan kacamata tangan, masker, peredam

8
- dapat menyebabkan Dermatitis kontak iritan, suara dan kacamata
Noise-induced Hearing Loss, ISPA maupun - Diberikan jam istirahat
Konjungtivitis yang cukup
- Jam kerja yang berlebihan dapat menurunkan
kewaspadaan

3 Fingerboard 9 jam Tidak ada - alat kerja yang berisiko jika salah prosedur dapat - Pembuatan SOP yang tepat
keluhan menyebabkan Vulnus amputatum dalam proses kerja
- Memakai APD dalam
- Tidak memakai APD seperti Masker, sarung bekerja seperti sarung
tangan, peredam suara dan kacamata dapat tangan, masker, peredam
menyebabkan Dermatitis kontak iritan, Noise- suara dan kacamata
induced Hearing Loss, ISPA maupun - Diberikan jam istirahat
Konjungtivitis yang cukup dan waktu
relaksasi tangan yang cukup
- Jam kerja yang berlebihan dapat menurunkan
kewaspadaan
- Penggunaan tangan yang repetitif dapat
menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome

4 Pembuatan 9 jam Tidak ada -Alat kerja yang berisiko terjadinya Vulnus -Pembuatan SOP yang tepat
Badan Gitar Keluhan Amputatum jika salah prosedur dalam proses kerja
- Memakai APD dalam
- Tidak memakai APD seperti Masker, sarung bekerja seperti sarung
tangan, peredam suara dan kacamata dapat tangan, masker, peredam
menyebabkan Dermatitis kontak iritan, Noise- suara dan kacamata
induced Hearing Loss, ISPA maupun - Diberikan jam istirahat
Konjungtivitis yang cukup dan waktu
relaksasi tangan yang cukup
- Jam kerja yang berlebihan dapat menurunkan
kewaspadaan

9
- Penggunaan tangan yang repetitif dapat
menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome
5 Pengecatan 9 jam Tidak ada - Tidak memakai APD seperti Masker, sarung - Memakai APD dalam
keluhan tangan, peredam suara dan kacamata dapat bekerja seperti sarung
menyebabkan Dermatitis kontak iritan, Noise- tangan, masker, peredam
induced Hearing Loss, ISPA maupun suara dan kacamata
Konjungtivitis - Diberikan jam istirahat
yang cukup dan waktu
- Jam kerja yang berlebihan dapat menurunkan relaksasi tangan yang cukup
kewaspadaan
- Penggunaan tangan yang repetitif dapat
menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome
6 Produksi 9 jam Tidak Ada - Alat kerja yang berisiko Vulnus amputatum jika -Pembuatan SOP yang tepat
Keluhan salah prosedur dalam proses kerja
- Memakai APD dalam
- Tidak memakai APD seperti Masker, sarung bekerja seperti sarung
tangan, peredam suara dan kacamata dapat tangan, masker, peredam
menyebabkan Dermatitis kontak iritan, Noise- suara dan kacamata
induced Hearing Loss, ISPA maupun - Diberikan jam istirahat
Konjungtivitis yang cukup dan waktu
relaksasi tangan yang cukup
- Jam kerja yang berlebihan dapat menurunkan
kewaspadaan
- Penggunaan tangan yang repetitif dapat
menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome
7 Tuning 9 jam Tidak ada - Alat kerja yang berisiko Luka bakar jika salah -Pembuatan SOP yang
keluhan prosedur tepat dalam proses kerja
- Memakai APD dalam
- Tidak memakai APD seperti Masker, sarung bekerja seperti sarung
tangan, peredam suara dan kacamata dapat tangan yang sesuai SOP
menyebabkan Dermatitis kontak iritan. - Diberikan jam istirahat

10
- Jam kerja yang berlebihan dapat menurunkan yang cukup dan waktu
kewaspadaan relaksasi tangan yang cukup
- Perbaikan Posisi duduk
- Penggunaan tangan yang repetitif dapat seusai dengan posisi duduk
menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome ergonomis yang sesuai
- Posisi duduk yang tidak sesuai dapat menyebabkan
Low Back Pain

4. Sistem Manajemen
Problem K3
No. Komponen Kebijakan Manajemen
Internal Eksternal
1 Proses - Ketidaklengkapan APD seperti masker, - Resiko Penyakit Akibat
Industri/Kerja peredam suara earbuds, safety gloves yang Kerja karena - Memberikan APD yang sesuai pada
sesuai saat produksi noncompliance setiap unit
karyawan
- Pemberlakuan sistem reward dan
punishment pada karyawan terhadap
kepatuhan penggunaan APD

2 Lingkungan Kerja
● Lingkungan - Menyediakan dan mengedukasi
fisik ● Bising yang ditimbulkan oleh mesin Tidak ditemukan pekerja untuk menggunakan
menyebabkan penurunan pendengaran earbud / penutup telinga

● Getaran dari mesin cukup tinggi


● Kurangnya pencahayaan dan ventilasi dari
ruangan

11
● Pada unit pemotongan dan pengamplasan
para pekerja masih tidak menggunakan
sarung tangan

- Menggunakan sarung tangan


sehingga tidak mudah tembus benda
tajam saat melakukan proses
pemotongan dan pengamplasan

● Lingkungan
Biologi Tidak ditemukan Tidak ditemukan
● Lingkungan
Kimia - Resiko terpapar cat yang dapat Tidak ditemukan - Penggunaan apron, sepatu boot,
mengiritasi secara langsung google, sarung tangan untuk

mengenai tangan, dan mata ataupun mengurangi untuk menghindari


paparan bahan iritan
yang dapat terhirup oleh pekerja

● Lingkungan
Sos-Bud Tidak ditemukan
● Lingkungan
ergonomi - Beberapa karyawan kurang - - Menyediakan fasilitas tempat kerja
memperhatikan posisi ergonomi dalam yang ergonomis

12
- Sosialisasi Perbaikan Posisi duduk
menjalankan pekerjaannya sesusai dengan posisi duduk yang
ergonomis
3 Karyawan -Vulnus Amputatum Resiko LBP Promotif
- Dermatitis kontak iritan -Memberi penyuluhan dan pelatihan
- Noise-induced Hearing Loss kepada pekerja terhadap alat
- ISPA
pelindung diri
- Konjungtivitis
- Carpal Tunnel Syndrome Preventif
- Luka bakar -Keharusan penggunaan alat pelindung
- Low Back Pain diri yang sesuai dengan standar,
berhati-hati terhadap keamanan diri
sendiri
Kuratif
-Memberi pengobatan secara
menyeluruh sesuai hasil
pemeriksaan kesehatan akibat
kecelakaan kerja
Rehabilitatif
- Rehabilitasi dini secara tepat untuk
memperbaiki kualitas hidup pekerja.

13
5. Regulasi / Undang Undang

a. Nasional:

Undang - undang Permenakertrans No. 4 Tahun 1987

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 mengenai Keselamatan Kerja

Peraturan Pemerintah 88 tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja

Undang - undang Permenakertrans No. 8 Tahun 2010

Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia


dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 14 Tahun 2012 Nomor
: 51 Tahun 2012 Tentang Optimalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan di
Provinsi dan Kabupaten/Kota

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56 Tahun 2016 Tentang


Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.70 tahun 2016 Tentang


Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018


Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja.

b. Internasional:

Mengacu pada WHO/ILO 2013 tentang kesehatan dan keselamatan kerja

Mengacu pada Occupational and Safety Management Systems atau sering disingkat
dengan OHSAS 18001: 2007

14
II. OCCUPATIONAL DIAGNOSIS (DIAGNOSIS KESEHATAN KERJA)
No. Diagnosis Kategori
1 Noise Induced Hearing Loss Occupational disease
2 Konjungtivitis Occupational related disease
3 Infeksi Saluran Nafas Akut Occupational related disease
4 Dermatitis Kontak Iritan Occupational disease
5 Carpal Tunnel Syndrome Occupational disease
6 Low Back pain Occupational related disease

III. PEMBAHASAN
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Manajemen Kesehatan dan keselamatan kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan
upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga
kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju
masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu
ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Kesehatan dan keselamatan Kerja (K3) tidak dapat
dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun industri (Rejeki, 2016).
K3 merupakan upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman dan
mencapai tujuan yaitu produktivitas setinggi-tingginya. Kesehatan dan Keselamatan
Kerja sangat penting untuk dilaksanakan pada semua bidang pekerjaan, karena dapat
mencegah dan mengurangi resiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat
melakukan kerja (Salawati, 2015).
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari
sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang
berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan
produktif.(Kemenkes, 2012) sistem manajemen perusahaan tersebut secara keseluruhan
meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses
dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian,
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Adapun tujuan
dan sasaran SMK3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di
tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan
kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit

15
akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, nyaman, efisien dan produktif
(ILO, 2013).
SMK3 dilaksanakan pada setiap perusahaan dengan berpedoman pada penerapan 5
prinsip dasar sebagai berikut (Rejeki,2016)
1. Komitmen dan Kebijakan
Setiap tingkat pimpinan dalam perusahaan harus menunjukkan komitmen
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja sehingga Sistem Manajemen K3
berhasil diterapkan dan dikembangkan.
Selanjutnya perlu dilakukan tinjuan awal pada sistem K3, Hasil peninjauan
awal K3 merupakan bahan masukan dalam perencanaan dan pengembangan
Sistem Manajemen K3.
Setelah proses tinjauan, kebijakan K3 dibuat melalui proses konsultasi antara
pengurus dan wakil tenaga kerja yang kemudian harus dijelaskan dan
disebarluaskan kepada semua tenaga kerja, pemasok dan pelanggan.

2. Perencanaan
Perusahaan hendaknya membuat perencanaan yang efektif dengan sasaran
yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan memuat tujuan, sasaran dan indikator
kinerja yang diterapkan dengan mempertimbangkan identifikasi sumber bahaya,
penilaian dan pengendalian risiko serta hasil pelaksanaan tinjauan awal terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja.

3. Penerapan
Dalam mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan dapat
menunjuk personel yang mempunyai kualifikasi yang sesuai. Beberapa hal yang
dilakukan perusahaan dalam penerapan K3 meliputi:
a. Jaminan Kemampuan
b. Kegiatan Pendukung
c. Identifikasi Sumber Bahaya, Penilaian dan Pengendalian risiko

4. Pengukuran dan Evaluasi


Pengukuran dan Evaluasi Perusahaan harus memiliki sistem untuk mengukur,
memantau dan mengevaluasi kinerja Sistem Manajemen K3 dan hasilnya harus
dianalisis guna menentukan keberhasilan atau untuk melakukan identifikasi
tindakan perbaikan

16
a. Inspeksi dan Pengujian
b. Audit Sistem Manajemen K3
c. Tindakan Perbaikan dan Pencegahan

5. Tinjauan Ulang dan Peningkatan oleh Pihak Manajemen


Pimpinan yang ditunjuk harus melaksanakan tinjauan ulang Sistem
Manajemen K3 secara berkala untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan yang
berkesinambungan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan keselamatan dan
kesehatan kerja.
Ruang lingkup tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 harus dapat mengatasi
implikasi keselamatan dan kesehatan kerja terhadap seluruh kegiatan, produk
barang dan jasa termasuk dampaknya terhadap kinerja perusahaan.

Penulisan risiko di tempat kerja dilakukan dengan mengikuti 5 langkah sistematis sebagai
berikut: (ILO,2013)
1. Mengidentifikasi dan Mencari potensi bahaya yang terdapat di tempat kerja
2. Menetapkan akibat yang ditimbulkan oleh potensi bahaya tersebut dan bagaimana
kemungkinan kejadiannya.
3. Melakukan evaluasi terhadap risiko dan menetapkan apakah persyaratan untuk
pencegahan yang ada sudah layak atau masih diperlukan tambahan persyaratan
pengendalian lain.
4. Mencatat semua temuan
5. Mengkaji hasil penilaian dan melakukan revisi apabila diperlukan

Pengendalian dapat dilakukan dengan hirarki pengendalian risiko sebagai berikut: (ILO
2013)
1. Eliminasi Menghilangkan suatu bahan/tahapan proses berbahaya
2. Substitusi atau penggantian cara dan bahan kerja
3. Rekayasa Teknik dengan pemasangan alat pelindung mesin, ventilasi dan sensor
4. Pengendalian Administrasi seperti pemisahan lokasi, pergantian jam kerja dll.
5. Alat Pelindung Diri

Proses Produksi
Pada pabrik pembuatan gitar, terdapat 7 unit kerja dalam proses produksi antara lain:

1. Tempat Penyimpanan kayu

17
CORT Team memilih kayu terbaik yang akan digunakan, memperhatikan, memilih
kayu yang siap untuk proses produksi dan memotongnya sesuai kebutuhan

2. Pembuatan Headstock dan Neck


Petugas mempress kayu yang akan digunakan kemudian disimpan dalam kondisi
kontrol iklim khusus selama 4 minggu. Kemudian kayu tersebut akan dipotong
untuk membentuk Neck dan Headstock, memberi ruang untuk Truss Rod kemudian
dibentuk lagi sehingga lebih nyaman dan ditambah akses dovetail neck

3. Fingerboard
Petugas menaruh bahan di mesin CNC, kemudian membentuk desain yang
diinginkan dan beberapa detail seperti inlays yang dibuat dengan tangan, kemudian
dipasangkan dan diamplas. Setelah itu dapat di pasang Truss rod pada ruang yang
telah disediakan kemudian dan Fingerboard direkatkan dengan Neck dan di lem.
Setelah di lem fingerboard dan neck perlu dilakukan penekanan dengan mesin press
dan dilanjutkan dengan pengecatan

4. Pembuatan Badan Gitar


Petugas merekatkan kedua kayu yang digunakan untuk penutup atas badan gitar,
kemudian dikencangkan dengan tekanan dan mesin, diamplas dan dipotong untuk
membuat bentuk yang diinginkan serta membuat lubang ditengah untuk lubang
suara. Petugas memasang ornamen dengan teliti. Kemudian petugas memasang
bracing atau penyangga. Kemudian ditekuk dengan menggunakan alat press, ditinjau
tingkat ketebalan yang sesuai

5. Pengecatan
Petugas mempersiapkan badan gitar yang akan di cat di ruang cat, bagian belakang
dan samping gitar di cat dengan menggunakan tangan. Kemudian gitar dipersiapkan
untuk diberikan cat pelindung yang terdiri dari 3 lapis. Setelah diberikan lapisan cat
pelindung pertama dan kedua, pengecatan bagian atas gitar dilakukan dengan teknik
Traditional Sunburst dan dilanjutkan dengan pemberian lapisan cat pelindung ketiga.
Setelah itu bagian bawah dan samping gitar dimasukan mesin pengilap untuk
menambah hasil yang baik. Setelah semua proses tersebut, gitar dibawa ke tim
Quality Control untuk diperiksa.

6. Produksi

18
Memasang badan gitar dengan leher gitar kemudian di press dengan mesin. Setelah
itu leher gitar dipasang fret dan bridge gitar kemudian di press lagi dengan mesin

7. Tuning
Gitar yang telah melewati proses produksi, gitar yang mendukung alat elektronik
akan dipasang Jack Output, dan Equalizer. Kemudian senar gitar dipasang dari
bridge sampai headstock. Setelah dipasang tim quality control akan memeriksa
kelayakan gitar serta menyesuaikan intonasi, stabilitas dan performa gitar. Dan di
akhir dipasang label gitar sesuai waktu pembuatannya.

Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Berhubungan dengan Kerja


Angka kejadian Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di
Indonesia tahun Pada tahun 2012 kasus PAK dan KAK 103.000 kasus. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3) di Indonesia belum berjalan dengan baik (Salawati, 2015).
Jika tempat kerja aman dan sehat, setiap orang dapat melanjutkan pekerjaan mereka
secara efektif dan efisien. Sebaliknya, jika tempat kerja tidak terorganisir dan banyak
terdapat bahaya, kerusakan dan absen sakit tak terhindarkan, mengakibatkan hilangnya
pendapatan bagi pekerja dan produktivitas berkurang bagi perusahaan. (ILO, 2013).
Beberapa penyakit akibat kerja yang berisiko terjadi di industri gitar Cor-Tek
Corporation, Korea antara lain yaitu:
1. Noise Induced Hearing Loss
Gangguan pendengaran akibat kebisingan (Noise-induced hearing loss/NIHL)
adalah kerusakan irreversible pada sel-sel rambut koklea telinga di bagian dalam akibat
kebisingan. Ini mungkin muncul sebagai gangguan pendengaran sebagian atau total
dan tingkat keparahannya bergantung terutama pada durasi paparan kebisingan dan
intensitas suara. Secara audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan
berbagai frekuensi. Bising dengan intensitas berlebih dapat merusak organ
pendengaran. Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dapat merusak organ
pendengaran. (Azizi, 2010; Raul et al, 2018)
Di Indonesia, prevalensi ketulian mencapai 4,6% di tahun 2007 namun telah
mengalami penurunan di tahun 2013 yaitu menjadi 2,6% secara nasional. Namun
Prevalensi NIHL di Indonesia belum diketahui secara pasti namun diperkirakan akan
terus meningkat seiring dengan perkembangan industri. (Syah and Keman, 2017)

19
NIHL merupakan jenis tuli sensorineural dan umumnya terjadi pada kedua telinga.
NIHL merupakan gangguan pendengaran akibat terpapar bising di suatu lingkungan
kerja dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus. Apabila seorang pekerja
terpajan bising di tempat kerja tanpa menggunakan alat pelindung telinga selama 8 jam
kerja per hari, maka NAB pajanan bising yang boleh diterima oleh pekerja tersebut
adalah 85 dBA (Salawati, 2013; Kemenkes RI, 2012).
Untuk Penatalaksanaan NIHL di lingkungan pekerjaan harus dilakukan secara
menyeluruh dimulai dari pencegahan hingga tahap rehabilitatif. Bagi pekerja yang
belum atau sudah terpajan dengan kebisingan diberikan perlindungan menurut tata cara
medis berupa identifikasi sumber bising, pengurangan sumber bising, penggunaan
APD dan melakukan tes audiometri rutin bagi pekerja yang berisiko terpapar
kebisingan. selain edukasi promotif yang baik, kuratif juga diperlukan pada pasien
yang menderita NIHL akibat pekerjaan. tindakan kuratif yang dapat diberikan ialah
terapi seusai penyebab ketulian dengan rotasi kerja ke daerah yang intensitas
kebisingannya rendah dan medikamentosa dengan pemberian kortikosteroid,
antioksidan dan neurotropik (Septiana and Widowati, 2017; Mayasari and Khairunisa,
2017; Sofian and Manshur, 2013)

2. Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah radang pada konjungtiva yang merupakan membrane mukosa
transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior (Konjungtiva palpebra)
dan anterior (konjungtiva bulba). dalam bentuk akut maupun kronis yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, klamidia, riketsia, parasit, imunologi, kimiawi dan lain lain.
Penyakit ini memiliki gejala yang bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata
berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. (Vaughan et
al, 2012; Ilyas and Yulianti, 2013)
Pada pekerja pengolahan kayu di wilayah Ghana, insidensi penyakit mata akibat
pekerjaan didominasi oleh beberapa penyakit antara lain: Konjungtivitis Alergi (80%),
Ocular corpus alienum (76.67%), Infeksi (33.3%) Pinguecula (25.33%), Pterygium
(47.33%). Hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai bahayanya
partikel biologi berbahaya yang disebabkan oleh bahan produksi maupun pentingnya
APD dalam proses produksi. (Lomotey et al, 2018)
Mata manusia memiliki mekanisme pelindung anatomi dan fisiologis yang efektif
dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di lingkungan industri, mekanisme alami ini

20
seringkali tidak memadai untuk mencegah cedera, sehingga penggunaan alat pelindung
mata menjadi penting. Keluhan utama pada konjungtivitis adalah sensasi benda asing,
tergores, terbakar, terasa penuh di sekeliling mata, gatal dan fotofobia. (Vaughan et al,
2012; Lomotey et al, 2018)
Untuk penatalaksanaan Konjungtivitis di lingkungan pekerjaan harus dilakukan
secara menyeluruh dimulai dari pencegahan hingga tahap rehabilitatif. Pada kasus
konjungtivitis akibat kerja, edukasi mengenai faktor pencegahan seperti kebersihan
tangan dan penggunaan APD sangat penting dalam pencegahan penyakit akibat kerja.
Pengobatan kuratif perlu memperhatikan penyebab dari konjungtivitis tersebut, apabila
disebabkan oleh infeksi bakterial dapat ditatalaksana dengan pemberian antibiotika,
dan bila disebabkan oleh reaksi imunologis (alergi) maka penghindaran alergen dan
pemberian obat terutama obat topikal anti alergi dapat menjadi pilihan. selain itu
istirahat dan perbaikan kondisi tubuh juga diperlukan dalam prinsip rehabilitasi
penyakit konjungtivitis. (Lomotey et al, 2018 ; Ryder and Benson, 2020 ; Rathi and
Murthy, 2017)
3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
ISPA adalah infeksi akut yang menyerang organ saluran pernapasan yang
disebabkan oleh virus, jamur, dan bakteri. Penyakit ini dapat bermanifestasi pada
pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, dan dapat menimbulkan berbagai
spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai
penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor
lingkungan dan faktor penjamu. ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran
pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke
manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam 20 sampai
beberapa hari (Saleh M, 2017; Risma, 2019).
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013 menunjukkan
prevalensi infeksi saluran pernafasan akut sebesar 24%. Hasil studi mengenai Profil
Masalah Kesehatan Pekerja di Indonesia tahun 2005 didapatkan 40,5% dari pekerja
memiliki keluhan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan salah
satunya adalah gangguan pernapasan. Jumlah tiap tahun kejadian ISPA di Indonesia
150.000 kasus atau dapat dikatakan seorang meninggal tiap 5 menitnya (Fuqoha, et al.
2020).
Edukasi terhadap para pekerja sebagai salah satu cara mengurangi angka kejadian
ISPA. Beberapa kegiatan promosi kesehatan untuk tindakan promotif dapat dilakukan

21
berupa promosi kebersihan pernapasan dan etika batuk dan tindakan pengobatan agar
pekerja yang terinfeksi tidak menularkan kepada pekerja yang lain, kemudian kegiatan
dan penilaian faktor risiko kejadian ISPA. Selain itu bisa ditambahkan dengan kegiatan
penyuluhan dan penyebaran media leaflet tentang penyakit ISPA di lingkungan kerja
(Bonhevi, 2018; WHO, 2007). Selain promotif, tindakan lainnya seperti preventif agar
menghindari penyakit ISPA akibat kerja adalah mengevaluasi lingkungan fisik tempat
kerja dan memperbaiki temperatur atau suhu di tempat kerja, kelembaban di tempat
kerja, penerangan atau pencahayaan di tempat kerja dan sirkulasi udara di tempat kerja
(Cahyani, 2018). Sebagian besar penyebab ISPA adalah virus, maka sebagai tindakan
kuratifnya adalah memberikan obat analgetik-antipiretik, nasal dekongestan dan
antihistamin untuk mengatasi gejala klinis ISPA dan pada kenyataannya antibiotika
banyak diresepkan untuk mengatasi infeksi ini, sementara antibiotika ditujukan untuk
pengobatan pada penyakit yang disebabkan oleh bakteri. ISPA secara umum diagnosis
dan diberikan antibiotik dengan beberapa pertimbangan. Pola penggunaan antibiotik
yang tidak tepat dapat berakibat pada resistensi antibiotik, sehingga perlu dilakukan
strategi penggunaan antibiotik untuk mencegah kejadian resistensi antibiotik tersebut.
kemudian untuk tatalaksana rehabilitatif selanjutnya adalah memberikan para pekerja
istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi seimbang dan juga kontrol secara
berkala (Bonhevi, 2018) dan (WHO, 2007).

4. Dermatitis Kontak Iritan


Dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu masalah kesehatan terkait
pekerjaan yang paling umum di negara maju dan berkembang (Bains, et al, 2018).
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit akibat paparan zat
kimia, fisik, atau agen biologis iritan, dimana faktor endogen sebagai barier kulit dan
riwayat dermatitis sebelumnya juga berpengaruh. DKI terjadi setelah paparan tunggal
terhadap bahan iritan yang beracun bagi kulit (Antoine, 2013). Penentuan penyebab
dermatitis kontak pada lingkungan kerja sangat penting untuk identifikasi secara tepat,
karena menghindari bahan penyebab akan mengarah pada kesembuhan dan
mengurangi angka kekambuhan (Sibomana, et al, 2019).
Persentase dermatitis akibat kerja dari seluruh penyakit akibat kerja di Indonesia
menduduki porsi tertinggi sekitar 50-60%. Selain prevalensi yang tinggi, lokasi
kelainan dermatitis akibat kerja biasanya terdapat pada lengan, tangan dan jari. Hal ini

22
sangat mengganggu penderita dalam melakukan pekerjaan sehingga sangat
berpengaruh negatif terhadap produktivitas kerjanya (Laila, 2020).
International Occupational Hygiene Association (IOHA) menjelaskan bahwa perlu
melakukan antisipasi, pengenalan, evaluasi, dan pengendalian bahaya yang timbul di
atau dari tempat kerja yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan pekerja. Cara
promotif yang bisa dilakukan antara lain menghimbau pekerja agar memakai APD
sesuai standar secara tepat, selalu menjaga kebersihan diri sebelum dan sesudah
bekerja, Selain Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan penghindaran
terhadap iritan yang dicurigai (Jilcha, 2016). Kemudian untuk tindakan promotifnya
dapat melakukan identifikasi, utamanya di lingkungan tempat kerja dengan cara
mengevaluasi kemungkinan bahan iritan yang ada di tempat kerja, evaluasi lama
paparan bahan iritan (PERDOSKI, 2017). Selain itu, untuk tatalaksana kuratifnya bisa
diberikan pengobatan baik secara sistemik, topikal, diberikan secara simtomatis sesuai
gejala yang dialami pasien, dan pada kasus klinis derajat berat, dapat ditambah
kortikosteroid oral setara dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari)
(Antoine, 2013) dan (PERDOSKI, 2017). Lalu untuk upaya rehabilitatif yang bisa
dilakukan adalah menganjurkan penderita untuk menghindari bahan iritan yang
menyebabkan iritasi kulit, meminum obat dan secara kontrol secara rutin, istirahat
yang cukup kurang lebih 8 jam sehari dan Edukasi mengenai prognosis, informasi
mengenai penyakit, serta perjalanan penyakit yang akan lama walaupun dalam terapi
dan sudah modifikasi lingkungan pekerjaan, perawatan kulit (PERDOSKI, 2017).

IV. INTERVENSI
LANGKAH 1 : Proses Kerja
Pada proses kerja diseluruh unit kerja, Para pekerja pabrik gitar masih belum
memperhatikan pentingnya penggunaan APD seperti penggunaan kacamata (Goggles) dan
juga alat peredam kebisingan di lingkungan pabrik. Hal tersebut dapat menjadi faktor
risiko terjadinya penyakit akibat kerja yang berupa iritasi/infeksi mata dan juga gangguan
fungsi pendengaran pada pekerja. Selain itu, pada unit kerja pembuatan leher gitar dan
produksi, masih terdapat beberapa pekerja yang tidak menggunakan sarung tangan, hal
tersebut dapat berdampak buruk bagi pekerja karena dapat meningkatkan risiko terjadinya
penyakit akibat kerja yang berupa iritasi kulit maupun trauma. Pada beberapa unit kerja
seperti pembuatan leher gitar, badan gitar, proses pengecatan, produksi maupun proses
tuning, terdapat proses yang memerlukan penggunaan keahlian tangan yang diulang secara

23
terus menerus dan penggunaan alat yang mengharuskan pekerja duduk dengan posisi yang
tidak ergonomis, hal tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit akibat kerja berupa
gangguan muskuloskeletal.
Prosedur kerja yang tepat, pekerjaan yang terorganisir, istirahat yang cukup,
relaksasi tubuh setelah bekerja, dan juga penggunaan APD yang sesuai dapat mengurangi
bahaya dan risiko penyakit akibat kerja. Hal tersebut dapat dicegah dengan perencanaan
alat pelindung diri yang tepat, pembuatan standar prosedur kerja yang tepat, penyediaan
kursi yang ergonomis untuk pekerja, vaksinasi jika terdapat risiko penularan biologis
bahkan dapat direkomendasikan untuk rotasi kerja jika memang memungkinkan. (ILO,
2013)

LANGKAH 2 : Lingkungan Kerja


Lingkungan kerja industri yang sehat merupakan salah satu faktor yang menunjang
meningkatnya kinerja dan produksi yang secara bersamaan dapat menurunkan risiko
gangguan kesehatan, penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja. Lingkungan kerja industri
harus memenuhi standar dan persyaratan kesehatan lingkungan kerja industri sebagai
persyaratan minimal yang harus dipenuhi.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.70 tahun 2016 Tentang
Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri Pasal 4 disebutkan bahwa
persyaratan kesehatan lingkungan kerja industri meliputi:
a. Persyaratan faktor fisik
b. Persyaratan faktor biologi
c. Persyaratan penanganan beban manual
d. Persyaratan kesehatan pada media lingkungan.

Untuk memenuhi standar dan persyaratan kesehatan lingkungan kerja industri sesuai
dengan Peraturan Menteri ini, setiap pabrik industri harus melakukan pemantauan secara
berkala. Kegiatan pemantauan tersebut dapat bekerjasama dengan pihak lain yang
memiliki kompetensi di bidang higiene industri, kesehatan kerja atau kesehatan
lingkungan. Pemantauan tersebut dapat dilakukan dengan cara:
a. Pengamatan, pengukuran, dan surveilans faktor fisik, kimia, biologi, dan
penanganan beban manual, serta indikator pajanan biologi sesuai potensi bahaya
yang ada di lingkungan kerja

24
b. Pemeriksaan, pengamatan, pengukuran, surveilans, dan analisis risiko pada media
lingkungan.

Pada lingkungan fisik, Gangguan kebisingan yang melebihi ambang batas dapat
diminimalisasi dengan penggunaan alat pelindung diri berupa ear-muff ataupun ear plug.
Iklim kerja yang tidak sesuai dan suhu panas menyebabkan beberapa keluhan seperti
dehidrasi, badan mudah lelah, nyeri kepala dan sebagainya, hal yang dapat dilakukan
untuk meminimalisasi hal ini dengan memenuhi kecukupan kalori sesuai beban kerja,
asupan cairan yang adekuat (minimal 8 gelas/hari), tidak terlalu dekat dengan alat yang
menghasilkan uap panas dan pemakaian pakaian berwarna terang untuk menghambat dan
dan menurunkan efek panas radiasi. Pencahayaan yang tidak adekuat dapat dievaluasi
dengan memastikan setiap pekerja mendapatkan penerangan yang sesuai dapat
menurunkan risiko kecelakaan kerja. Pengendalian getaran dapat dilakukan dengan
mendesain ulang peralatan dengan memasangkan peredam getaran, bila getaran
disebabkan oleh mesin besar, gunakan penutup lantai yang bersifat menyerap getaran dan
gunakan alas kaki. Pada lingkungan kimia, beberapa benda dan bahan dapat diletakkan
secara benar untuk menghindari adanya reaksi yang berbahaya atau untuk mengurangi
adanya kecelakaan kerja.
Pada lingkungan sosial budaya, dapat dilakukan adanya evaluasi rutin penggunaan
APD lengkap, seperti pelindung kepala, pelindung mata dan muka, pelindung telinga,
pelindung pernapasan beserta perlengkapannya, pelindung tangan dan pelindung kaki.
Melakukan pengawasan dan memastikan para karyawan telah menggunakan APD dengan
baik dan benar. Melakukan pemberian reward dan punishment pada karyawan terkait
dengan kepatuhan dalam penggunaan APD. Memberikan penyuluhan pentingnya
penggunaan APD. Penyuluhan mengenai penyakit yang dapat ditimbulkan akibat
pekerjaan. Penyuluhan mengenai bahaya kerja dan bagaimana pencegahan untuk
meminimalkan risiko mengalami penyakit akibat kerja. Penyuluhan mengenai posisi
ergonomis saat mengambil barang, mengolah bahan, dan posisi ketika bekerja yang baik
dan benar.

LANGKAH 3 : Karyawan
Untuk manajemen kondisi pekerja dibagi menjadi 3 yaitu Pencegahan Primer,
Pencegahan Sekunder, dan Pencegahan Tersier:

25
1. Pencegahan Primer
a. Health Promotion
o Memberikan edukasi mengenai faktor yang berbahaya dan dapat ditimbulkan dari
lingkungan pabrik
o Memberikan edukasi mengenai perbaikan kondisi tubuh, pemeriksaan kesehatan
rutin dan menjaga kesehatan
o Memberikan edukasi mengenai pentingnya penggunaan APD untuk mencegah
penyakit akibat kerja dan penyakit terkait kerja

b. Specific Protection
o Menganjurkan pekerja untuk memakai APD lengkap seperti helm proyek, masker,
earmuff/buds/plug, Goggles yang telah disediakan pabrik.

2. Pencegahan Sekunder
a. Early Diagnosis
o Melakukan Screening kesehatan awal untuk pekerja yang akan memulai kerja di
pabrik gitar secara berkelompok maupun mandiri oleh dokter perusahaan atau
rumah sakit atau puskesmas setempat
o Melakukan screening kesehatan rutin setiap 6 bulan bagi pekerja yang sebelumnya
telah bekerja. Baik secara berkelompok maupun mandiri oleh dokter perusahaan
atau rumah sakit atau puskesmas setempat
b. Prompt Treatment
o Bila terdapat keluhan atau terjadinya penyakit akibat kerja, pekerja tersebut harus
segera dilakukan penatalaksanaan yang cepat dan tepat untuk mengurangi risiko
terjadinya kecacatan.

3. Pencegahan Tersier
Mengembalikan fungsi pekerja secara bertahap dan bila perlu, diberikan waktu istirahat
atau pemindahan tugas ke unit kerja yang tidak memperburuk penyakit yang dimiliki
oleh pekerja

LANGKAH 4 : Kebijakan Manajemen

26
Terdapat beberapa hal yang dapat disarankan kepada pihak manajemen yaitu,

pertama, manajemen perusahaan perlu memenuhi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 8 Tahun

2010, mulai dari pengadaan APD (Alat Pelindung Diri) hingga sosialisasi tentang pentingnya

penggunaan APD saat di tempat kerja kepada seluruh karyawan tanpa terkecuali. kemudian

masih teramati bahwa beberapa karyawan selama kegiatan produksi di tempat pembuatan

gitar ada yang masih belum memenuhi standar penggunaan APD. Beberapa karyawan terlihat

belum mengenakan sarung tangan atau ada yang sudah menggunakan sarung tangan, namun

sarung tangannya sudah robek, lalu ada beberapa tahap dari proses terpantau karyawan masih

ada yang belum mengenakan masker, dan kacamata pelindung (goggle). Menurut

Permenakertrans No. 8 Tahun 2010 APD yang harus digunakan selama di tempat kerja yaitu

alat pelindung kepala, alat pelindung mata dan wajah, pelindung telinga, pelindung

pernapasan, pelindung tangan, dan pelindung kaki. Hal tersebut penting guna melindungi

karyawan dari risiko penyakit akibat kerja maupun penyakit yang berhubungan dengan kerja.

Usulan yang lain yaitu manajemen perusahaan perlu memenuhi standar gedung

produksi yang telah diatur oleh pemerintah dalam Permenkes No. 70 Tahun 2016 Pasal 9

Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri, bahwa perusahaan harus

melakukan upaya pengendalian bahaya dan Kesehatan lingkungan kerja, seperti menyediakan

pengaman untuk alat-alat produksi tajam (alat pemotong) untuk mengurangi risiko

kecelakaan kerja, menjalankan program pengendalian kebisingan mesin produksi dengan

memberikan peredam suara pada dinding ruang kerja dan memberikan alat pelindung telinga

ear plug kepada seluruh karyawan, menyediakan exhaust untuk menyerap debu-debu akibat

proses produksi sehingga paparan debu yang dihirup oleh pekerja dapat berkurang, serta

menciptakan tempat kerja yang bersih, aman dan nyaman untuk pekerja.

27
Usulan terakhir, untuk menyesuaikan dengan undang - undang Permenakertrans No. 4

Tahun 1987, yaitu perusahaan harus membentuk tim pembinaan dan penilaian, serta

menunjuk tim ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Perusahaan yang berfungsi

sebagai supervisor dan auditor K3 Perusahaan demi pengendalian bahaya dan Kesehatan

lingkungan kerja. Kemudian selain itu, perusahaan perlu mensosialisasikan mengenai

undang-undang yang mengatur perlindungan kesehatan kerja dan ketenagakerjaan, dan

mewajibkan seluruh pekerja untuk mentaati peraturan. Memberikan reward kepada pekerja

yang berprestasi dan memberikan sanksi yang tegas kepada pekerja yang tidak menaati

peraturan.

LANGKAH 5 : Regulasi yang Berlaku


Penanganan masalah kesehatan kerja secara holistic dan komprehensif dapat
tercapai melalui peraturan dan perundangan yang bertujuan melindungi pekerja. Undang-
undang yang menangani masalah keselamatan dan kesehatan kerja di industri adalah
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.70 tahun 2016 Tentang Standar dan
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Lingkungan Kerja.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Antoine Amado, Apra Sood, & James S. Taylor. Irritant Contact Dermatitis. In:
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. Mc.Graw Hill; 2013.
p.499-506.
2. Azizi MH. Occupational Noise-induced Hearing Loss. IJOEM [Internet]. 2010.
[cited 2020 Nov 20];1(3):116 - 23. Available from:
doi:10.1097/JOM.0000000000001423
3. Bains S N, Nash P, Fonacier L. Irritant Contact Dermatitis. Clinic Rev Allerg
Immunol. 2018 Oct 6 [cited 2020 Nov 19] 1-11. Available from:
https://doi.org/10.1007/s12016-018-8713-0.
4. Bonhevi PE, Temporiti ER. Transmission and Control of Respiratory Viral
Infections in the Healthcare Setting. Curr Treat Options Infect Dis. 2018 [cited
2020 Nov 19];10:182-196 Available from: https://doi.org/10.1007/s40506-018-
0163-y.
5. Cahyani RH. Hubungan Faktor Lingkungan Kerja Fisik Dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pekerja Industri Mebel PT. Niaga Merapi
Yogyakarta [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Aisyiyah
Yogyakarta; 2018
6. Fuqoha IS, Suwonda A, Jayanti S. Hubungan Paparan Debu Kayu Dengan
Kejadian ISPA Pada Pekerja Mebel di PT.X Jepara. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
2017 Jan [cited 2020 Nov 19];5(1):378-386.
7. Ilyas S, Yulianti SR. 2013. Ilmu penyakit mata edisi keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
8. International Labour Organization. 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Jakarta: ILO
9. International Labour Organization. 2013. Rekomendasi mengenai Daftar Penyakit
Akibat Kerja dan Rekaman serta Notifikasi Kecelakaan dan Penyakit Akibat
Kerja.
10. Jilcha K, Kitaw D. Industrial Occupational Safety and Health Innovation for
Sustainable Development. Elsevier. 2016 [cited 2020 Nov 19]:1-9. Available from
: http://dx.doi.org/10.1016/j.jestch.2016.10.011.
11. Kemenkes RI. Standar Dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2016

29
[Internet]. 2016 [cited 2020 Nov 20 ]. Available from:
http://kesjaor.kemkes.go.id/documents/PMK_No._70_ttg_Standar_Kesehatan_Lin
gkungan_Kerja_Industri_.pdf
12. Laila F, Sugiharto. Keluhan Dermatosis Pada Pekerja Pengupas Singkong. Higeia:
Journal of Public Health Research & Development. 2017 Jan [cited 2020 Nov
19];1(1):65-72.
13. Lomotey SAA, Tchiakpe MP, Nartey ET and Nkansah EK. Ocular Hazards
among Woodworkers at Ashaiman Timber Market, Ghana. EC Ophthalmology
[Internet]. 2018 [cited 2020 Nov 24];9(2):60-71. Available form:
https://www.ecronicon.com/ecop/pdf/ECOP-09-00265.pdf
14. Mayasari D, Khairunnisa. Pencegahan Noise Induced Hearing Loss pada Pekerja
Akibat Kebisingan. Jurnal Agromed Unila [Internet]. 2017 Dec [cited 2020 Aug
23]; 4(2):354-360. Available from:
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/1814/pdf
15. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan
kesehatan. WHO. 2007.
16. PERDOSKI. Dermatitis Kontak Iritan. Dalam : PPK Bagi Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin di Indonesia. Perdoski:2017. P: 207-12.
17. Rathi VM, Murthy SI. Allergic conjunctivitis. Community Eye Health Journal
[Internet] 2017. [cited 2020 Nov 20];29(99):7-10. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5968423/pdf/jceh_30_99_S7.pdf
18. Raul M, Bruce K, Robert D, James C. Occupational Noise-Induced Hearing Loss.
American College of Occupational and Environmental Medicine [Internet]. 2018
September [cited 2020 Nov 20]; 60(9): e496-e500. Available from:
https://doi.org/10.1097/JOM.0000000000001423
19. Rejeki, S. 2016. Kemenkes RI: Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Pusdik
SDM Kesehatan.
20. Risma IA. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Pekerja Home
Industry Batu Bata di Desa Kleco Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan
[skripsi]. Madiun: Program Studi Kesehatan Masyarakat Stikes Bhakti Husada
Mulia Madiun; 2019
21. Ryder EC, Benson S. Conjunctivitis. Statpearls [Internet] 2020. [cited 2020 Nov
20 ]. Available form: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541034/
30
22. Salawati L. Noise-Induced Hearing Loss. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2013
Apr; 13(1): 45-49
23. Salawati, L. 2015. Penyakit Akibat Kerja dan Pencegahan. JURNAL
KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2. Aceh: Universitas Syiah
Kuala.
24. Saleh M, Gafur A, Aeni S. Hubungan Sumber Polutan dalam Rumah Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Kecamatan Mariso Kota
Makassar. Higiene. 2017 [cited 2020 Nov 19];3(3):169-176.
25. Septiana NR, Widowati E. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Higeia: Journal
of Public Health Research and Development. 2017 Jan; 1(1): 73-82
26. Sibomana I, Neal A. Good, Patrick T. Hellman, Lewis Rosado, David R. Mattied.
Acute Dermal Toxicity Study Of New, Used And Laboratory Aged Aircraft
Engine Oils. Elsevier B V. 2019 Nov 14 [cited 2020 Nov 19];6(2019):1242-1252.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.toxrep.2019.11.010.
27. Sofian N, Mansyur M. Penatalaksanaan Terkini Gangguan Pendengaran Akibat
Bising pada Layanan Primer. IDI: Jurnal Indon Med Assoc. 2013 Des 12;
64(12):631-637
28. Syah PB, Keman S. Pengaruh Penggunaan Pelindung Telinga Terhadap Noise
Induced Hearing Loss dan Tinitus pada Pekerja Bengkel. Jurnal Kesehatan
Lingkungan [Internet]. 2017 Jan [cited 2020 Nov 20]; 9(1): 21-30. Available
from:https://www.researchgate.net/publication/330253335_Effect_of_Using_Hear
ing_Protection_and_Earphone_on_Noise_Induced_Hearing_Loss_and_Tinnitus_i
n_Workshop%27s_Workers
29. Vaughan D, Asburry T, Riordan-Eva P and Whitcher JP. Vaughan & Asbury :
Oftalmologi Umum. 17 ed. Jakarta: EGC, 2012

31
LAMPIRAN DOKUMENTASI

32
33
34
35
36
37
38
39
40
41

Anda mungkin juga menyukai