Sirok Bastra
Hlm. Pangkalpinang, ISSN
Jurnal Kebahasaan dan Volume 3 Nomor 1
1—104 Juni 2015 2354-7200
Kesastraan
Pemuatan suatu tulisan dalam jurnal ini tidak berarti redaksi menyetujui isi tulisan tersebut. Isi tulisan
menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan telah ditinjau dan diulas oleh mitra bestari. Setiap karangan dalam
jurnal ini dapat diperbanyak setelah mendapat izin tertulis dari penulis, redaksi, dan penerbit.
PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Pemilik dan Pencipta semesta ini yang memiliki kuasa atas diri-Nya sendiri. Dialah
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Volume 3 Nomor 1 Jurnal
Sirok Bastra Tahun 2015 dapat terbit tepat pada waktunya.
Pada edisi ini, dimuat sepuluh tulisan, yakni enam tulisan kebahasaan, tiga tulisan kesastraan, dan satu
tulisan pengajaran sastra. Dalam penelitiannya, Hotnida Novita Sary mengkaji komponen makna yang terdapat
pada medan makna leksem yang bersinonim dengan rumah serta hubungan antarleksem tersebut. Berdasarkan
penelitian, ditemukan bahwa dalam medan makna rumah, ternyata rumah, gerha, dan wisma tidak memiliki
komponen makna rumah, berbeda dengan leksem-leksem lainnya. Komponen yang mengikat rumah dan gerha
adalah ‘tempat tinggal’. Jadi, tempat tinggal dirasa lebih umum dan di tempat teratas hierarki.
Dalam penelitiannya, Rima Gustiar Nadhia Putri membahas pola pengekalan bentuk akronim dalam
susunan organisasi dan satuan kerja Mabes Polri. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa bentuk panjang dalam
akronim dapat dibagi menjadi dua jenis kata, yaitu monomorfemis dan polimorfemis. Jenis kata inilah yang
membedakan pembentukan pengekalan kata dalam sebuah akronim. Pada jenis kata monomorfemis ditemukan 17
tipe pengekalan dan jenis kata polimorfemis ditemukan dua tipe pengekalan.
Dalam kajiannya, Kurniati dan Budi Utama membahas konvergensi bahasa Melayu Bangka yang
memiliki beragam dialek, baik yang digunakan di daerah sendiri atau di daerah lain. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa dalam komunikasi keseharian antarpengguna bahasa Bangka, terdapat konvergensi dalam
penuturan mereka. Dalam menggunakan bahasa, seperti penutur yang berasal dari daerah Sungailiat, tuturannya
memperlihatkan konvergensi dan melibatkan morfem-morfem isi. Mereka mempertahankan dialek Sungailiat
walau menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam kajiannya, Sarwo F. Wibowo menganalisis tingkat keterbacaan teks pada buku Bahasa Indonesia
Wahana Pengetahuan bagi kelas VII SMP/MTs dengan menggunakan teknik klos. Hasil analisis menunjukkan
bahwa seluruh teks yang dijadikan sampel tergolong pada tingkat keterbacaan frustasi dengan persentase rata-rata
tertinggi 38,19% dan terendah dengan persentase rata-rata 22,92%.
Dalam kajiannya, Thamrin membahas perluasan makna kata sapaan daeng dalam bahasa Makassar. Hasil
analisis menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan gelar daeng pada masa lampau dan masa sekarang dalam
realitas sosial masyarakat Makassar disebabkan oleh tiga faktor yaitu (a) fleksibilitas dalam sejarah penggunaan
gelar daeng yang menyebabkan luasnya makna daeng, (b) sistem kebudayaan suku Makassar yang lemah dalam
memberikan batasan-batasan penggunaan gelar daeng dalam kehidupan sosial masyarakat, (c) tidak ada sebutan
atau panggilan yang tepat untuk ditujukan kepada para pelaku ekonomi menengah ke bawah seperti pengayuh
becak, tukang sayur keliling, dan penarik bentor yang sarat dengan nilai-nilai kesopanan dan tata krama
berkomunikasi.
Dalam tulisannya, Novietri menganalisis salah satu komik karya Aji Praseyo yang berjudul “Setan
Menggugat” dengan menggunakan analisis wacana kritis Teun A. van Dijk dengan memaparkan pengungkapan
kritik sosial yang disampaikan penulis komik. Berdasarkan hasil analisis, komik “Setan Menggugat” disajikan
dengan struktur teks yang jelas dan mudah dipahami, kognisi sosial digunakan dengan tepat untuk
mengembangkan cerita, dan konteks sosial diamati di sekitarnya. Melalui analisis van Dijk, sudut pandang
penulis wacana komik dapat dijelaskan dengan lengkap dan kritis.
Dalam kajiannya, Abdul Azis dan Hajrah membahas inovasi guru dalam pembelajaran melalui pemilihan
bahan ajar cerita rakyat kategori mite sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra di SD. Hasil analisis data
dan temuan menunjukkan bahwa rata-rata penilaian responden untuk cerita rakyat kategori mite sebesar 3,775
atau pada kategori layak dijadikan bahan ajar. Bahan ajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran cerita rakyat
adalah jenis bahan ajar cerita rakyat apa saja. Namun, sebaiknya untuk tingkat SD, bahan ajar cerita rakyat yang
digunakan adalah bahan ajar ceita rakyat yang isinya harus sesuai dengan karakteristik, pengalaman, dan
kebutuhan siswa.
i
Dalam kajiannya, Agus Yulianto membahas hubungan antara teks dua puisi, yaitu puisi “Tangisan Batu”
dan puisi “Air Mata Legenda” karya Abdurrahman el Husainy dengan teks legenda rakyat Kalimantan Selatan
yang berjudul “Diang Ingsun dan Raden Pengantin”. Berdasarkan kajian, terdapat hubungan antara teks dua buah
puisi tersebut dengan teks cerita legenda rakyat Kalimantan Selatan yang berjudul “Diang Ingsun dan Raden
Pengantin”.
Dalam kajiannya, Diyah Musri Harsini membahas propaganda sebagai bentuk komunikasi massa yang
digunakan dalam lirik lagu band punk Marjinal yang meliputi deskripsi propaganda dan teknik-tekniknya. Hasil
analisis menunjukkan bahwa tidak semua teknik propaganda diterapkan dalam pembuatan sebuah lirik. Dari lima
album Marjinal yang terdiri atas 68 lagu dipilih 32 lagu yang menggunakan teknik propaganda. Teknik
propaganda yang terdapat di dalam ke-32 lagu tersebut adalah teknik propaganda name calling, testimonials,
plainfolk, using all forms of persuations, serta teknik propaganda gabungan.
Dalam penelitiannya, Ummu Fatimah Ria Lestari mengkaji morfologi cerita rakyat Asmat “Jipi”
berdasarkan teori struktur naratologi Propp. Berdasarkan penelitian, ditemukan enam belas fungsi naratif, tiga
pola cerita, dan empat lingkaran tindakan dalam cerita rakyat Asmat “Jipi”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah bersedia menerbitkan karya mereka pada
edisi ini. Para penulis merupakan peneliti, pakar, dosen, guru, dan mahasiswa dari berbagai sekolah, perguruan
tinggi, dan instansi. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para mitra bestari kami yang telah memberi
ulasan terhadap tulisan-tulisan yang masuk ke redaksi.
Demi memenuhi keberagaman isi dan penulis, Sirok Bastra membuka kesempatan bagi para peneliti dan
penulis menyampaikan hasil penelitian dan pemikiran mutakhir dalam bidang kebahasaan, kesastraan, dan
pengajarannya.
Tim Redaksi
ii
UCAPAN TERIMA KASIH UNTUK MITRA BESTARI
Redaksi Sirok Bastra mengucapkan terima kasih kepada para mitra bestari yang telah meninjau, menimbang, dan
mengulas makalah-makalah yang diterbitkan dalam Sirok Bastra Volume 3 Nomor 1, edisi Juni 2015, yakni
iii
DAFTAR ISI
PENGANTAR .................................................................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH UNTUK MITRA BESTARI ................................................................ iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................... iv
KUMPULAN ABSTRAK .................................................................................................................. v
ABSTRACT COLLECTIONS .............................................................................................................. xi
iv
INOVASI GURU DALAM PEMBELAJARAN MELALUI PEMILIHAN BAHAN AJAR
CERITA RAKYAT KATEGORI MITE SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR
(Teacher Inovation in Choosing Myth Folklore as Teaching Material for Indonesian Language
and Literature at Elementary School)
Abdul Azis dan Hajrah ..................................................................................................................... 65—74
v
Agus Yulianto: Analisis Intertekstualitas Puisi “Tangisan Batu” dan ...
ANALISIS INTERTEKSTUAL PUISI “TANGISAN BATU” DAN “AIR MATA LEGENDA” KARYA
ABDURRAHMAN EL HUSAINY
Intertextual Analysis in “Tangisan Batu” and “Air Mata Legenda” Poetry by Abdurahman El Husainy
Agus Yulianto
Balai Bahasa Provinsi Kaimantan Selatan
Jalan A. Yani, Km 32,2 Loktabat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Pos-el: agusb.indo@gmail.com
(diterima 18 Agustus 2014, disetujui 12 Maret 2015, revisi terakhir 6 Mei 2015)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara teks dua buah puisi, yaitu puisi “Tangisan Batu” dan
puisi “Air Mata Legenda” karya Abdurrahman el Husainy dengan teks legenda rakyat Kalimantan Selatan yang
berjudul “Diang Ingsun dan Raden Pengantin”. Kajian ini menggunakan pendekatan objektif dengan teori
strukturalisme dan interteks. Berdasarkan kajian, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara teks dua buah
puisi, yaitu puisi “Tangisan Batu” dan puisi “Air Mata Legenda” karya Abdurrahman el Husainy dengan teks
cerita legenda rakyat Kalimantan Selatan yang berjudul “Diang Ingsun dan Raden Pengantin”.
Kata kunci: sastra bandingan, puisi, legenda
Abstract
This study is aimed to present the relationship between text and two poetries, they are “Tangisan Batu” and “Air
Mata Legenda” by Abdurrahman El Husainy with South Borneo legend story entitled “Diang Ingsun dan Raden
Pengantin”. This study uses objective approach with structuralism and inter text theory. Based on the study, it is
found that there is relationship between text and the two poetries “Tangisan Batu” dan “Air Mata Legenda” by
Abdurrahman El Husainy with South Borneo Legend entitled “Diang Indsun dan Raden Pengantin”.
Key words: literature of comparison, poetry, legend story
satu dengan yang lain, bagaimana pengaruh suatu prosedur untuk mencapai suatu tujuan yang
antarkeduanya, serta apa yang diambil serta apa yang telah ditetapkan. Menurut Furchan (1982:440),
diberikan sebuah karya sastra pada karya sastra yang metode deskriptif digunakan untuk memperoleh
lain. “Tangisan Batu” dan “Air Mata Legenda” informasi tentang kondisi yang ada pada suatu
dipengaruhi oleh cerita rakyat Kalimantan Selatan penelitian yang dilakukan dengan melukiskan kondisi
yang berjudul “Kisah Diang Ingsun dan Raden “apa yang ada” itu, sedangkan metode kualitatif
Pengantin”. Membandingkan bentuk karya sastra memberi ruang kepada peneliti untuk terlibat
yang satu dengan bentuk karya sastra yang lain bukan langsung dengan objek yang diteliti sebagai pengamat
berarti menghilangkan keotonoman sebuah karya. dan pemberi interpretasi. Metode kualitatif
Nyoman Kutha Ratna menyatakan bahwa pendekatan mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap
objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab interaksi antara konsep-konsep yang sedang diteliti.
sedekat apa pun penelitian yang dilakukan pada Teknik yang dipakai dalam penelitian ini adalah
dasarnya bertumpu pada karya itu sendiri. teknik studi pustaka, yaitu dengan mencari buku-buku
Berdasarkan hal itu, selain menggunakan pendekatan yang berkaitan dengan penelitian.
intertekstualitas, penelitian ini juga menggunakan
2. KERANGKA TEORI
pendekatan objektif.
Sejauh yang peneliti ketahui, penelitian Puisi adalah sebuah karya sastra yang terkadang
intertekstual antara puisi “Tangisan Batu” dan “Air sulit untuk dipahami. Oleh sebab itu, tidak heran bila
Mata Legenda” dengan cerita rakyat Kalimantan Aminuddin (2000:110) menyatakan bahwa dalam
Selatan yang berjudul “Kisah Diang Ingsun dan upaya memahami teks sastra, terutama puisi, kesulitan
Raden Pengantin” belum pernah dilakukan. utama yang biasa muncul adalah dalam upaya
memahami makna. Dengan demikian, langkah awal
1.2 Masalah dari penelitian ini adalah mengkaji puisi sebagai
Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam sebuah struktur yang bermakna dan bernilai estetis.
penelitian ini adalah apakah terdapat keterkaitan teks Pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk
antara puisi “Tangisan Batu” dan “Air Mata Legenda” menganalisis dua buah puisi Abdurrahman el Husainy
karya Abdurrahman el Husainy dengan cerita rakyat yang berjudul “Tangisan Batu” dan “Air Mata
Kalimantan Selatan yang berjudul “Kisah Diang Legenda” adalah dengan menggunakan pendekatan
Ingsun dan Raden Pengantin”. objektif, strukturalisme dan intertekstual.
1.3 Tujuan Penelitian 2.2 Pendekatan Objektif
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Yudiono (2009:43) menjelaskan bahwa
keterkaitan antara teks puisi “Tangisan Batu” dan pendekatan objektif memandang karya sastra sebagai
“Air Mata Legenda” karya Abdurrahman el Husainy dunia otonom yang dapat dilepaskan dari dunia
dengan cerita rakyat Kalimantan Selatan yang pengarang dan latar belakang sosial budaya pada
berjudul “Kisah Diang Ingsun dan Raden Pengantin”. zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis
berdasarkan strukturnya sendiri. Dengan kata lain,
1.4 Manfaat Penelitian
karya sastra dipahami berdasarkan segi intrinsiknya.
Terkait dengan rumusan tujuan di atas, hasil Selanjutnya, Ratna (2009:72) memaparkan bahwa
penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pendekatan objektif merupakan pendekatan yang
referensi atau paling tidak sebagai pelengkap berbagai terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan
literatur atau hasil-hasil penelitian sastra yang sudah pada dasarnya bertumpu pada karya sastra itu sendiri.
ada dalam rangka penerapan dan pengembangan teori Dengan demikian, pendekatan objektif memusatkan
sastra, khususnya untuk bidang kajian interteks. perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal
1.5 Metode dan Teknik dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif ditimbulkan adalah mengabaikan, bahkan menolak
kualitatif. Menurut Semi (1990:105) metode adalah segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis,
sosiologis, politis dan unsur-unsur sosiokultural dan pengaruh. Interteks memungkinkan terjadinya
lainnya termasuk biografi. teks plural sehingga merupakan indikator utama
pluralisme budaya. Dalam teori-teori sastra
2.2 Teori Strukturalisme
tradisional, khususnya penelitian secara filologis,
Ratna (2009:91) menjelaskan bahwa secara hubungan yang ditujukkan melalui persamaan-
defenitif strukturalisme berarti paham mengenai persamaan disebut peniruan, jiplakan, bahkan sebagai
unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan plagiat. Akan tetapi, dalam teori sastra kontemporer,
mekanisme antarhubungannya. Di satu pihak, selama dalam batas-batas orisinalitas, peniruan
hubungan antara unsur yang satu dan unsur lainnya, di semacam ini termasuk kreativitas. Todorov
lain pihak, hubungan antara unsur dan totalitasnya. (1985:20—21) menyebut dengan istilah wacana
Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, polivensi, wacana yang memiliki hubungan dengan
seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman wacana sebelumnya, yang dipertentangkan dengan
tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. wacana monovalen, yaitu wacana yang tidak mengacu
Berdasarkan Kamus Istilah Sastra (2007:194), pada wacana sebelumnya.
strukturalisme adalah metode yang menganggap objek Menurut Ratna (2004:181) secara defenitif pada
studinya bukan hanya sekumpulan unsur yang dasarnya interteks mendekonstruksi dikotomi penanda
terpisah-pisah, melainkan sebagai suatu gabungan dan petanda semiotika konvensional, yakni karya
unsur yang berhubungan satu sama lain sehingga yang dianggap berdiri sendiri secara otonom. Menurut
satu bergantung pada yang lain. Kristeva (1980:36—38), karya sastra justru harus
2.3 Teori Intertekstual ditempatkan dalam kerangka ruang dan waktu secara
Kajian sastra bandingan tidak dapat dilepaskan kongkret sehingga teks memiliki hubungan dengan
dari interteks. Menurut Ratna (2004:172) secara luas teks-teks lain; memanfaatkan ungkapan-ungkapan
interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara dari teks-teks lain; teks sebagai permainan dan
satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, secara mozaik dari kutipan-kutipan terdahulu. Semata-mata
etimologis (textus, bahasa Latin), teks berarti melalui antarhubungan tersebutlah teks saling
‘tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan menetralisasikan satu dengan yang lain sehingga
jalinan’. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu masing-masing menampilkan makna yang
melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. sesungguhnya.
Peneletian dilakukan dengan cara menemukan Selanjutnya, Ratna (2004:176) menyatakan
hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau khazanah kebudayaan daerah Indonesia merupakan
lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks hipogram yang sangat kaya dalam rangka penelitian
tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks interteks. Interteks merupakan usaha pencaharian
memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi makna secara terus-menerus. Penelusuran makna
peneliti untuk menemukan hipogram. Interteks dapat dilakukan di luar karya individual, tidak dibatasi oleh
dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan ruang dan waktu; yang berbicara adalah subjek
puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dengan subjek, sebagai subjek teks, bukan pengarang
dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, secara faktual. Oleh karena itulah, intertekstualitas
melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik pada dasarnya adalah intersubjektivitas.
sebagai parodi maupun negasi. 3. PEMBAHASAN
Menurut Barthes (1977:159) pluralisme makna Analisis intertekstual puisi “Tangisan Batu” dan
dalam interteks bukan merupakan akibat ambiguitas, “Air Mata Legenda” karya Abdurrahman el Husainy
melainkan sebagai hakikat tenunannya. Oleh karena dilakukan dengan menggunakan pendekatan objektif
itu, menurut Hutchon (1992:vii), pada dasarnya tidak untuk mengetahui makna puisi secara utuh. Setelah
ada teks tanpa interteks. Oleh karena itu pula, usaha itu, peneliti mencari totalitas pemaknaan secara
untuk mencari asal-usul teks merupakan kegagalan. intertekstualitas lewat teks lain yang menjadi
Hal ini disebabkan dalam interteks tidak ada sumber
hipogram dan dianggap mempunyai hubungan dengan durhaka kepada ibunya, Diang Ingsun, dengan tidak
puisi-puisi tersebut. mengakui sebagai ibunya, tentu Raden Pengantin
Puisi “Tangisan Batu” adalah puisi yang berisi tidak akan menjadi batu. Akan tetapi, walaupun
penyesalan seorang anak yang telah durhaka terhadap Raden Pengantin telah menjadi batu, ia tetap berdoa
ibunya, sedangkan puisi “Air Mata Legenda” adalah kepada Tuhan agar surga itu akan tetap selalu ada di
puisi yang berisi penyesalan seorang ibu yang telah bawah telapak kaki ibunya. Hal itu disebabkan Raden
mengutuk anaknya. Puisi tersebut sebagai berikut. Pengantin tahu bahwa sampai kapan pun kasih sayang
seorang ibu kepada anaknya tetap tidak akan berubah.
3.1 Puisi “Tangisan Batu”
Gambaran itu terlihat pada larik berikut.
Tangisan batu
Andai dulu aku tidak merantau Tuhan jangan Kau pindahkan surga itu dari telapak kaki ibuku
Kita akan selalu hidup bersama Meski kini aku batu
Tapi kini aku batu, ibu.
Andai dulu aku menikah dengan gadis pilihanmu 3.3. Puisi “Air Mata Legenda”
Engkau tentu sudah menimang cucumu Air Mata Legenda
Tapi kini aku batu,ibu. Air matamu
Andai dulu aku tidak durhaka Air mataku
Dan engkau tidak berdoa Melelehkan getah legenda
Dan Tuhan tidak mengutukku Pulanglah batu
Dan aku masih anakmu Air mata membilas mulut busuk ini
Tapi kini aku batu,ibu. Pulanglah batu
Tuhan jangan Kau pindahkan surga itu dari telapak kaki Engkau masih anakku
ibuku Pulanglah batu
Meski kini aku batu Surga di bawah telapak kaki ini masih milikmu
Air mataku
3.2 Analisis Objektif Air matamu
Membaca puisi “Tangisan Batu” menimbulkan Melelehkan getah legenda
nuansa perasaan yang menyayat hati, persaan pilu,
dan perasaan menyesal yang seakan tiada ujung. Puisi 3.4 Analisis Objektif
ini secara keseluruhan mengandung makna sebagai Membaca puisi “Air Mata Legenda” juga
berikut. Judul puisi “Tangisan Batu” mengandung menimbulkan nuansa perasaan yang menyayat hati,
makna batu yang menangis. Secara alamiah tidak persaan pilu, dan perasaan menyesal yang seakan
mungkin sebuah batu dapat menangis. Akan tetapi, tiada ujung. Puisi ini secara keseluruhan mengandung
batu yang dikisahkan dalam puisi ini adalah batu yang makna sebagai berikut. Judul puisi “Air Mata
berasal dari seorang anak yang telah durhaka kepada Legenda” mengacu pada air mata penyesalan Diang
ibunya yang kemudian dikutuk menjadi batu. Ingsun yang telanjur mengutuk Raden Pengantin,
Tangisan batu menyiratkan makna sebuah penyesalan anaknya, menjadi batu. Juga air mata penyesalan
yang amat sangat dari si anak akan dosa kepada Raden Pengantin yang telah durhaka kepada ibunya.
ibunya. Akan tetapi, nasi telah menjadi bubur, Air mata itu kini telah menjadi legenda, telah menjadi
kutukan telah terjadi dan akibatnya pun telah terjadi. sebuah cerita yang abadi tentang penyesalan seorang
Secara struktural puisi ini mengisahkan sebuah ibu dan anak terhadap nasib yang telah menimpa
kejadian sebagai berikut. Andaikata si anak atau mereka.
Raden Pengantin tidak memiliki keinginan untuk Secara struktural puisi ini mengisahkan sebuah
menjadi orang kaya dengan jalan pergi merantau tentu kejadian sebagai berikut. Diang Ingsun yang telanjur
kejadian yang memilukan, yaitu terkutuknya Raden mengutuk anaknya mengalami penyesalan yang luar
Pengantin menjadi batu tidak akan terjadi. Andaikata biasa. Hal itu termanifestasikan dengan air mata yang
Raden Pengantin tidak menikah dengan gadis meleleh di kedua pipinya. Demikian juga dengan
pilihannya yang mempunyai kesombongan karena Raden Pengantin yang menyesal telah durhaka
kekayaaannya, tentu Raden Pengantin tidak akan terhadap ibunya yang termanifestasikan juga dengan
menjadi batu. Andaikata Raden Pengantin tidak melelehnya air mata di kedua pipinya. Akan tetapi,
seorang ibu tetaplah seorang ibu, orang yang sampai Kisah Diang Ingsun dan Raden Pengantin
kapan pun dan dengan kejadian apa pun akan tetap (Asal Mula Gunung Batu Benawa)
mencintai anaknya. Raden Pengantin telah menjadi Di sebuah kampung yang sunyi, tinggallah dua
batu, tetapi Diang Ingsun tetap berharap anaknya tetap orang ibu dan anak. Mereka bernama Diang Ingsun
pulang ke rumah. Hal itu terlihat dalam larik puisi dan Raden Pengantin. Ayah Raden Pengantin sudah
berikut. lama meninggal dunia. Sebagai orang kampung,
kehidupan mereka layaknya kehidupan masyarakat
Pulanglah batu
Air mata membilas mulut busuk ini kampung pada umumnya.
Pulanglah batu Setelah ayah Raden Pengantin meninggal dunia,
Engkau masih anakku kehidupan Diang Ingsun dan Raden Pengantin
Pulanglah batu menjadi miskin. Mereka bertahan hidup hanya dengan
Surga di bawah telapak kaki ini masih milikmu menanam padi di sawah dan sedikit sayuran di dekat
Diang Ingsun menyesal tiada tara karena telah pondok mereka. Selain itu, mereka mencari kayu api
mengeluarkan kutukan dari mulutnya yang di hutan atau memetik dedaunan di hutan yang
menyebabkan anaknya menjadi batu. Diang Ingsun sekiranya dapat dimakan.
ingin membilas mulutnya sendiri sampai bersih Pekerjaan yang paling sering mereka lakukan
karena telah mengeluarkan kutukan terhadap anaknya adalah mencari ikan dengan perahu kecil yang
sendiri. Akan tetapi, semua menjadi sia-sia. Kutukan dayungnya sudah rapuh. Perahu dan dayung yang
telanjur dilontarkan. Kasih sayang Diang Ingsun tetap sudah rapuh itu besar sekali jasanya untuk mereka
abadi untuk anaknya. Oleh sebab itu, Diang Ingsun bertahan hidup. Ibu dan anak itu saling menyayangi
tetap menyediakan kata maaf yang termanifestasikan karena tidak memiliki saudara yang lain.
dengan surga untuk Raden Pengantin itu masih tetap Beberapa tahun kemudian, Raden Pengantin
berada di telapak kakinya. tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan berotak
cerdas. Kemudian terpikir olehnya untuk mengubah
3.5 Analisis Intertekstual (Hubungan nasib demi masa depan. Hal itu ia sampaikan kepada
Antarteks) ibunya, Diang Ingsun. Diang Ingsun pada mulanya
Membaca puisi-puisi Abdurrahman el Husainy sangat berat untuk mengabulkan keinginan Raden
yang berjudul “Tangisan Batu” dan “Air Mata Pengantin itu. Berkat kegigihan dan niat yang mulia,
Legenda” memang begitu menyentuh. Pemahaman yaitu memberikan kehidupan yang layak untuk Diang
yang timbul secara mendalam terhadap kedua isi puisi Ingsun, akhirnya keinginan Raden Pengantin untuk
tersebut tidak lepas dari pengetahuan tentang legenda merantau dikabulkan.
cerita rakyat yang menjadi hipogram-nya. Legenda Dengan semangat dan tekad hati yang kuat,
tersebut adalah cerita “Diang Ingsun dan Raden pergilah Raden Pengantin keesokan harinya diringi air
Pengantin”. Legenda ini begitu terkenal di mata dan doa ibunya. Kampung yang sunyi itu
Kalimantan Selatan. Seperti yang telah diakui oleh bertambah sunyi lagi. Sesudah Raden Pengantin
penyairnya sendiri bahwa penulisan kedua puisinya meninggalkan pundoknya yang tua itu, Diang Ingsun
tersebut dilatarbelakangi oleh legenda “Diang Ingsun yang sudah tua tidak lagi berdaya. Diang Ingsun
dan Raden Pengantin”. selalu berdoa agar Raden Pengantin selamat dan
Dengan demikian, analisis puisi seperti ini tidak beruntung nasibnya. Doa ibu yang sudah tua dengan
dapat dilepaskan dari hubungan intertekstual antara khusyuk rupanya mendapatkan rahmat dari Allah Swt.
teks puisi dengan teks legenda cerita rakyat yang Ternyata nasib Raden Pengantin bertambah baik
menjadi hipogram-nya tersebut. Oleh sebab itu, ketika berada di negeri orang.
dengan sendirinya untuk memahami kedua puisi Rupanya yang tampan, otaknya yang cerdas
Abdurrahman el Husainy ini pembaca harus ditambah dengan sifatnya yang jujur manjadikan
mengetahui cerita legenda “Diang Ingsun dan Raden Raden Pengantin disenangi banyak orang. Awalnya
Pengantin” yang uraian ceritanya sebagai berikut. dia menjadi orang upahan, lama-lama ia memiliki
perusahaan sendiri dan anak buah yang berjumlah gunung itu. Menurut orang, burung elang tua itu
puluhan orang. Raden Pengantin kemudian menikah adalah penjelmaan Diang Ingsun yang sedih karena
dengan putri seorang raja Jawa yang berparas cantik menyesali sumpahnya.
rupawan.
Dalam kondisi masih pengantin baru, Raden Penyair Abdurrahman el Husainy adalah putra asli
Pengantin dan istrinya berniat untuk pulang kampung Kalimantan Selatan. Dengan demikian, cerita legenda
mengunjungi Diang Ingsun. Mereka pulang dengan “Diang Ingsun dan Raden Pengantin” sudah ia ketahui
menggunakan benawa atau kapal laut yang megah sejak ia masih kecil. Rupanya cerita tersebut sangat
mengarungi laut Jawa menuju kampung Raden membekas di jiwanya sehingga menginspirasi untuk
Pengantin. menciptakan bait-bait puisi yang mengisahkan
Berita kedatangan kapal Raden Pengantin perjalanan hidup Diang Ingsun dan Raden Pengantin.
membuat kampung Diang Ingsun geger. Hal itu Dalam puisi “Tangisan Batu” jelas tokoh batu
disebabkan kampung tersebut belum pernah didatangi yang diceritakannya adalah sosok Raden Pengantin
benawa atau kapal laut yang besar. Pada hari yang yang mendapat kutukan dari ibunya. Penyesalan-
cerah itu datanglah benawa ke pantai kampung Diang penyesalan yang tertuang dalam fragmen-fragmen
Ingsun. Mendengar benawa sudah datang dengan kehidupan dalam puisi seperti “Andai dulu aku tidak
segala kemegahannya, Diang Ingsun cepat mengambil merantau / Andai dulu aku menikah dengan gadis
perahu kecilnya pergi menyongsong kedatangan pilihanmu / Andai dulu aku tidak durhaka” jelas
rombongan Raden Pengantin. merujuk kepada tokoh Raden Pengantin dalam cerita
Diang Ingsun melihat di atas anjungan berdiri legenda “Diang Ingsun dan Raden Pengantin”.
sepasang muda-mudi. Diang Ingsun menyakini bahwa Begitu juga dalam puisi yang berjudul “Air Mata
laki-laki yang berdiri di anjungan itu adalah Raden Legenda”, ibu yang penuh penyesalan karena telah
Pengantin dan pada kenyataannya memang demikian. mengeluarkan kutukan dari mulutnya jelas merujuk
Kemudian Diang Ingsun memanggil Raden kepada tokoh Diang Ingsun. Larik puisi “Air mata
Pengantin. Raden Pengantin yang melihat Diang membilas mulut busuk ini / Pulanglah batu / Engkau
Ingsun dengan pakaian yang buruk dan bau tiba-tiba masih anakku / Pulanglah batu” jelas merujuk kepada
merasa malu. Raden Pengantin membuat keputusan Diang Ingsun. Rasa penyesalan yang begitu
yang sangat salah, yaitu tidak mau mengakui Diang mendalam dan rasa kasih sayang yang tiada batas
Ingsun sebagai ibunya karena merasa malu terhadap membuat Diang Ingsun tetap mengharapkan Raden
istrinya. Pengantin untuk kembali pulang ke rumah walaupun
Betapa hancur hati Diang Ingsun melihat kelakuan sudah berubah wujud menjadi batu. Diang Ingsun
Raden Pengantin. Raden Pengantin kemudian pulang tetap berharap bahwa kemurkaannya yang menjadi
kembali ke tanah Jawa. Diang Ingsun berdoa kepada sebab kemurkaan Tuhan sehingga terkabulkan doanya
Tuhan untuk memberi azab kepada Raden Pengantin. tidak membuat Raden Pengantin celaka untuk selama-
Doa Diang Ingsun dikabulkan Tuhan. Di tengah lamanya. Diang Ingsun tetap berharap rasa
perjalanan, tiba-tiba langit menjadi gelap, petir penyesalannya itu dapat membuat Raden Pengantin
menyambar, badai datang melanda menerpa juga mendapatkan ampunan dari Tuhan. Hal itu
rombongan kapal Raden Pengantin. Sebentar saja termanifestasikan dalam larik puisi “Surga di bawah
kapal Raden Pengantin terhempas dan hancur telapak kaki ini masih milikmu”. Dalam cerita
berantakan dan berubah menjadi batu. Buritan kapal legenda “Diang Ingsun dan Raden Pengantin”
terdampar di kampung Diang Ingsun yang kemudian penyesalan Diang Ingsun ini tergambarkan dalam
diberi nama Gunung Batu Benawa, yaitu gunung kutipan berikut. “Bila turun hujan panas, seekor
menjadi batu. Kampung Diang Ingsun itu kemudian di burung elang tua akan mengeluaran suara sedih dari
beri nama pagat ‘putus’. puncak ketinggian gunung itu. Menurut orang, burung
Bila turun hujan panas, seekor burung elang tua elang tua itu adalah penjelmaan Diang Ingsun yang
akan mengeluaran suara sedih dari puncak ketinggian sedih karena menyesali sumpahnya”.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algeesindo.
Barthes, Roland. 1977. Image, Musix, Text. New York: Hill and Wang.
Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Hutcheon, Linda. 1992. A Poetics of Postmodernisme. New York dan London: Routletge.
Inarti, Susri. 2013. Analisis Intertekstual Puisi Dongeng Sebelum Tidur Karya Gunawan Muhammad (dalam
Metasastra Volume 6, Nomor 1, Juni 2013). Bandung: Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat.
Semi. M. Atar. 1990. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa.
Tim Penyusun. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Languange: a Semiotic Approach to Literature and Art. Columbia: Columbia
University Press.
Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Todorov, Tzvetan. 1984. Mikhail Bakhtin the Dialogical Principle. Manchester: Manchester University Press.