Anda di halaman 1dari 306

Ketut Artawa

Jufrizal
Ketut Artawa
Jufrizal

Pustaka Larasan
2018
TIPOLOGI LINGUISTIK
Konsep Dasar dan Aplikasinya

Penulis
Ketut Artawa
Jufrizal

Pracetak
Slamat Trisila

Penerbit
Pustaka Larasan
Jalan Tunggul Ametung IIIA No. 11B
Denpasar-Bali
Ponsel: 0817353433
Pos-el: pustaka_larasan@yahoo.co.id

Cetakan Pertama: 2018

ISBN 978-602-5401-21-3

ii
Motto:
“Pelajari olehmu akan bahasa, kamu tahu (sebagian) hakikat
manusia”

“Benda akan usang dan habis jika terus dipakai; bahasa akan
baru dan hidup jika terus dipakai”

“Hiburan untuk kehilangan bahasa adalah catatannya”

Untuk:
Sang Pencipta dengan segala kemahakuasaan-Nya

Orang tua, keluarga, dan saudara dengan segala kasih-sayang


mereka;

Guru-guru dengan segala didikan dan arahan mereka;

Pemerhati dan pencinta bahasa dengan segala perhatian dan


cinta mereka.

iii
KATA PENGANTAR

Kita patut bersyukur kepada Tuhan Yang Mahapengasih


dan Mahapenyayang, dan secara khusus berterima kasih kepada
Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D. dan Prof. Dr. Jufrizal,
M.Hum. atas karya mereka bertajuk Tipologi Linguistik: Konsep
Dasar dan Aplikasinya ini. Sebagai Guru Besar Linguistik Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Udayana, Pak Artawa, demikian sapaan
yang akrab terhadap profesor ini, memang selalu tekun, serius,
dan konsisten menekuni tipologi linguistik. Karya-karyanya di
bidang tipologi linguistik telah menginspirasi banyak kolega,
secara khusus para mahasiswa Progran Magister dan Doktor
Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan di
universitas-universitas lainnya, baik di Indonesia maupun di
sejumlah negara. Buku Tipologi Linguistik ini adalah buah dari
ketekunan dan kesungguhan Pak Artawa dan Pak Jufrizal.
Bagi kalangan linguis Indonesia, kehadiran buku ini
sangat bermakna. Adalah kenyataan, bahwa buku tipologi
linguistik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, salah satu
bidang kajian linguistik yang kerap menggelitik para linguis
muda, kehadiran buku ini harus disyukuri secara khusus
pula. Mengapa? Bukankah pustaka kelinguistikan berlabelkan
tipologi linguistik tergolong masih langka? Kehadiran buku
ini adalah jawaban yang bijak, cerdas, dan dedikatif dari Prof.
Artawa dan Prof. Jufrizal dari Universitas Negeri Padang. Di
Indonesia, kita kenal karya-karya tipologi rintisan Prof. Dr. J.
W.M. Verhaar, SJ, Dr. Sudaryanto, di sisi karya Prof. Dr. Gorys
Keraf berjudul Linguistik Bandingan Tipologi yang berbasiskan
morfologi, bukan sintaksis. Dengan demikian, buku Tipologi
Linguistik yang dipersembahkan oleh dua linguis Indonesia ini
patut dibaca dan layak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para
linguis, para dosen, dan mahasiswa, secara khusus para peneliti

iv
bahasa di Indonesia.
Sebagai kolega, saya memang memiliki pengetahuan
tentang tipologi linguistik yang sangat sedikit. Namun, bergaul
akrab dengan Prof. Artawa selama belasan tahun, linguis
yang selalu haus dan tiada henti menggali dan menggali data-
data tentang fenomena gramatikal bahasa-bahasa Nusantara,
rangsangan untuk memahami kedalaman fenomena tipologi
bahasa-bahasa, selalu mengispirasi saya dan kawan-kawan.
Kepedulian dan ketekunan Prof. Artawa dan Prof. Jufrizal,
sebagaimana terjadi dalam ajang-ajang akademis formal dan
informal, berlangsung secara teratur, baik dalam bincang-
bincang rutin di kampus maupun di luar. Lebih daripada itu,
Prof. Artawa kerap terjun langsung di lapangan untuk menggali
data-data tipologi linguistik bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Karya ini turut menambah wawasan saya, dan tentu banyak
penggiat linguistik, tentang tipologi linguistik. Prof. Artawa,
narasumber linguistik saya dan kawan-kawan, seperti juga
Prof. Jufrizal, adalah teman belajar yang bersahaja, rendah hati,
setia, hangat, dan tekun. Tatkala kami berdua, khususnya saya
mencoba sedikit nyambung secara empirik tentang fenomena
menipisnya afiks-afiks sejumlah bahasa Austronesia atau
Melayu Polinesia Tengah, Beliau menimpali dan merangsangnya
dengan menyatakan: “Bahasa-bahasa Austronesia atau Melayu
Polinesia Tengah, seperti bahasa Lio, Ngadha, Palué, Sumba-
Kambera, Sabu, Sikka, Roti itu pasti memiliki strategi sintaktis
tersendiri, dan itu patut digali”. Jawaban yang ketus juga
muncul dari Prof. Dr. Jufrizal, M. Hum., rekan muda yang tak
kalah gesit dengan tingkat kepedulian dan kreasinya telah turut
menambah khazanah tipologi linguistik.
Secara ringkas, buku ini diawali dengan pemahaman
tentang bahasa dan ilmu bahasa, tipologi linguistik dan tipologi
bahasa, buku ini membuka cakrawala kita tentang dunia tipologi
linguistik. Pentingnya kategori gramatikal-semantik dasar,
mengajak pembaca dan penekun ilmu bahasa untuk memasuki
rimba tipologi gramatikal dengan peran morfosintaksis. Berpijak
dan mengacu pada struktur dasar kalimat bahasa Indonesia,

v
predikat dan fungsi-fungsi S, A, O, dan E, kalimat intransitif
dan transitif, cakrawala kita diperluas dengan paparan yang
komprehensif dari kedua penulis ini tentang sistem aliansi
gramatikal, struktur informasi, dan tipologi bahasa, serta
telaah bahasa. Dasar-dasar tipologi linguistik dan aplikasinya
membantu peneliti awal untuk menggali tipologi bahasa-
bahasa.
Sungguh, buku ini membuka cakrawala linguistik
setiap pembaca untuk menemukan fakta-fakta kesemestaan
dan keunikan elemen-elemen kelinguistikan yang tipologis.
Sebelum menutup pengantar sederhana ini, “pesan-pesan”
tipologis linguistis kedua penulis buku ini, sekaligus juga tugas
bagi para linguis muda Indonesia khususnya. Dalam Bab V,
Sistem Aliansi Gramatikal yang dikutip (oleh kedua Penulis
buku ini) dari Dixon (1994), Song (2000), dan Payne (2002),
bahwa secara teoretis ada kemungkinan lima sistem aliansi
gramatikal bahasa(-bahasa) manusia. Tiga di antaranya yakni
sistem tripartit, sistem AP/S, dan sistem netral (S=A=P) ternyata
jarang dan belum ditemukan, jika dibandingkan dengan dua
sistem lainya: nominatif-akusatif dan ergatif-absolut. Kutipan
ini sengaja diantarkan kepada para pembaca khususnya kepada
para linguis muda Indonesia untuk menapaki jalan menuju
rimba fenomena tipologi linguistik dunia dan Indonesia
khususnya yang kaya dengan bahasa-bahasa daerah. Secara
khusus, pesan penting itu mengajak para linguis untuk
menyibak dan menyingkap fenomena kebahasaan di Indonesia
tengah dan timur sebagai kawasan yang menyimpan simpul
konvergensi linguistik antara rumpun Austronesia-Trans Papua
yang berbeda secara tipologis, dan mungkin dengan bahasa-
bahasa asli yang pernah hadir di belahan bumi ini untuk boleh
dijadikan asumsi awal menekuni tipologi linguistik khususnya,
atau juga menyingkap misteri kelinguistikan bahasa-bahasa
nusantara dan dunia.
Sambil menunggu karya-karya lainnya di bidang tipologi
linguistik dari Prof. Artawa dan Prof. Jufrizal, para linguis
muda Indonesia pasti tergugah dan digugat untuk mengemban

vi
tanggung jawab akademisnya agar terus meneliti ciri-ciri
kesemestaan dan keunikan bahasa-bahasa di Indonesia. Negeri
ini kaya dengan bahasa-bahasa sebagai sumber pengetahuan
linguistik dan sumber nilai kehidupan yang insani. Semoga,
sentuhan akademis kedua profesor linguistik mengilhami
setiap pembaca buku Tipologi Linguistik yang hadir di depan
Anda ini.

Denpasar, 29 September 2017
Aron Meko Mbete

vii
PRAKATA

Bangsa Indonesia mesti menyadari bahwa perkembangan


ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari perkembangan hidup dan budaya manusia,
apalagi pada zaman mutakhir ini. Pembelajaran dan telaah-
lanjut dari pokok-pokok kajian pada bidang ilmu pengetahuan,
seni, dan teknologi harus terus dilakukan dan dikembangkan.
Pembelajaran, pencermatan, dan telaah lanjut dari berbagai
sisi dan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan teknololgi akan
memberi perbaikan dari sisi ontologi, epistemologi, ataupun
aksiologi. Segala puja-puji untuk Tuhan, Sang Maha Pencipta dan
Pemelihara alam, dengan izin dan kekuatan yang diberi-Nya,
serta dorongan dan dukungan dari berbagai pihak, buku yang
berjudul Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya
ini dapat diselesaikan dan hadir di hadapan pembaca yang
budiman. Inti pokok isi buku ini, secara keseluruhan, adalah
teori-teori dasar tentang linguistik dan pokok-pokok kajian
dalam Tipologi Linguistik, khususnya Tipologi Gramatikal. Bab
terakhir memuat secara ringkas kaitan dan sumbangan logis
kajian tipologi linguistik dengan kajian kebahasaan lainnya.
Pendeskripsian dan penelaahan yang disajikan dalam
buku ini diarahkan untuk lebih memberikan dan meletakkan
dasar-dasar teoretis, konseptual, dan analisis Tipologi Linguistik,
khususnya Tipologi Gramatikal, dengan dukungan data dari
beberapa bahasa untuk menguji penerapan praktisnya.
Sebagian data dan contoh penelaahan yang disajikan dalam
buku ini diambil dari hasil-hasil penelitian dan kajian tipologis
yang dilakukan oleh penulis. Kami berharap buku ini dapat
digunakan serta bermanfaat bagi para pembelajar linguistik di
tingkat Sarjana (S1), Magister (S2), Doktor (S3), dan peneliti yang
berminat pada kajian mikrolinguistik, terutama pada bidang
tipologi linguistik dan kajian-kajian lanjutannya.
viii
Tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak buku
ini tidak mungkin hadir di hadapan pembaca dan pembelajar
bahasa. Adalah pada tempatnya, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi perhatian,
bantuan, dan kebaikan budi dalam penulisan dan penerbitan
buku ini. Semua perhatian, bantuan, dan fasilitas yang diberikan
sangat berarti sehingga buku ini dapat diterbitkan. Seluruh
guru dan pembimbing pada Universitas Negeri Padang (dahulu
IKIP Padang) dan Program Studi Ilmu Linguistik Universitas
Udayana, Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menekuni ilmu linguistik, melakukan penelitian,
dan menulis buku ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tulus kepada
Bapak Prof. Dr. I Ketut Darmalaksana yang telah meluangkan
waktunya untuk menyunting dan memberikan masukan untuk
penyempurnaan buku ini. Segala kekeliruan yang masih ada
dalam buku ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tulus disampaikan
kepada semua keluarga dan handai taulan penulis, di Pulau
Dewata, Bali, dan di Sumatera Barat, Ranah Minangkabau.
Dengan penuh perhatian, kasih sayang, dan dorongan semangat
mereka semua telah dan terus menjadi “modal” untuk berbuat
baik demi ilmu pengetahuan, ibadah, dan tantangan hidup.
Ucapan terima kasih, hormat, dan doa keselamatan juga
terhimpun untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu per satu pada tulisan ini. Namun, penulis selalu bermohon
kepada Tuhan Yang Mahakuasa kiranya semua bantuan dan
dorongan hikmah yang diberikan menjadi pahala yang berlipat
ganda. Amiin!
Penulis sungguh menyadari bahwa buku ini bukanlah
hasil karya maha agung “tanpa cacat”, meskipun penulis telah
berupaya untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kemampuan
yang ada. Masih banyak hal yang memerlukan pencermatan lebih
jauh, mendalam, dan tajam, serta penambahan penjelasan yang
belum seutuhnya diperoleh dalam buku ini. Untuk itu, tertitip
harapan kepada semua ahli, peneliti, dan pemerhati bahasa,

ix
serta pembaca yang budiman untuk memberikan masukan,
tegur sapa, dan saran membangun demi perbaikan buku ini.
Kepada para pembelajar dan pencinta linguistik diharap pula
dapat memberikan masukan, di samping menggunakan buku
ini sebagai sumber belajar. Sekali lagi, terima kasih untuk semua!
Kiranya buku ini ikut memberikan secercah manfaat untuk ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang lingusitik. Amiin!


Denpasar, Januari 2018

Penulis

x
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................ iv


Prakata ......................................................................................... viii
Daftar Isi ...................................................................................... xi
Daftar Tabel/Bagan ..................................................................... xiii
Daftar Singkatan dan Lambang ............................................... xiv

BAB I BAHASA DAN ILMU BAHASA ................................. 1
1.1 Bahasa dan Kebudayaan ................................................... 1
1.2 Bahasa dan Komunikasi ................................................... 4
1.3 Linguistik: Apa Pentingnya? ............................................ 8
1.4 Linguistik dalam Keberagaman Bahasa ......................... 14
1.5 Catatan Penutup ................................................................ 19

BAB II TIPOLOGI LINGUISTIK DAN TIPOLOGI BAHASA 23
2.1 Linguistik Deskriptif dan Linguistik Teoretis ............... 23
2.2 Tipologi Linguistik dan Teori Tatabahasa ...................... 26
2.3 Tipologi Linguistik: Sejarah Singkat dan Arah
Kajiannya ............................................................................ 30
2.4 Tipologi Linguistik dan Tipologi Bahasa ....................... 34
2.5 Catatan Penutup ................................................................ 38

BAB III KATEGORI GRAMATIKAL-SEMANTIS DASAR
DALAM TIPOLOGI LINGUISTIK .......................................... 41
3.1 Kesemestaan Bahasa ......................................................... 41
3.2 Kelas Kata ........................................................................... 46
3.3 Peran-Peran Semantis ....................................................... 52
3.4 Relasi-Relasi Gramatikal .................................................. 56
3.5 Satuan Sintaktis-Semantis Dasar Semesta dan Aliansi
Gramatikal .......................................................................... 62
3.6 Catatan Penutup ................................................................ 69

xi
BAB IV TIPOLOGI GRAMATIKAL ......................................... 71
4.1 Tipologi Tataurut Kata ...................................................... 71
4.2 Tipologi Fonologis dan Morfologis ................................. 84
4.3 Tipologi Gramatikal: Morfosintaksis .............................. 100
4.4 Catatan Penutup ................................................................ 112

BAB V SISTEM ALIANSI GRAMATIKAL ............................. 115
5.1 Dasar-Dasar Teori Sistem Aliansi Gramatikal ............... 115
5.2 Peran Semantis dan Relasi Gramatikal ........................... 132
5.3 Sistem Aliansi Gramatikal dan Tipologi Bahasa ........... 187
5.4 Catatan Penutup ................................................................ 190

BAB VI STRUKTUR INFORMASI DAN TIPOLOGI BAHASA 191


6.1 Sekilas tentang Struktur Informasi ................................. 191
6.2 Struktur Informasi dalam Tipologi Linguistik .............. 195
6.3 Pendekatan terhadap Struktur Topik – Komen ........... 208
6.4 Pelepasan ke Kiri dan Pentopikalan ............................... 213
6.5 Istilah Fokus ....................................................................... 216
6.6 Argumen Posisi Awal ....................................................... 219
6.7 Struktur Informasi Topik-Komen Bahasa Minangkabau:
Telaah Singkat .................................................................... 223
6.8 Catatan Penutup ............................................................... 232

BAB VII TIPOLOGI BAHASA DAN TELAAH KE­


BAHASAAN ............................................................................... 235
7.1 Tipologi Linguistik dan Kealamiahan Bahasa .............. 235
7.2 Tipologi Linguistik dan Komunikasi Lintas Bahasa .... 239
7.3 Tipologi Lingusitik, Perubahan Bahasa, dan Budaya 245
Berbahasa ............................................................................ 254
7.4 Kajian Tipologi Linguistik untuk Pembelajaran Bahasa
7.5 Catatan Penutup ................................................................ 257

Glosarium .................................................................................... 269
Daftar Pustaka ............................................................................. 273
Indeks ........................................................................................... 283
Tentang Penulis .......................................................................... 287

xii
DAFTAR TABEL/BAGAN



Tabel 1: Sepuluh Besar Negara dengan Jumlah Bahasa
Terbanyak ................................................................... 18
Tabel 2: Kategori Kata dan Afiks-afiks Pembentuk Verba
Intransitif .................................................................... 92
Tabel 3: Kategori Kata dan Afiks-afiks Pembentuk Verba
Transitif ..................................................................... 99
Tabel 4: Pronomina bahasa Inggris ....................................... 140
Tabel 5: Proses Sintaktis dan Sistem Tipologi Bahasa ........ 189

Bagan 1: Sistem Aliansi Gramatikal Bahasa-Bahasa di


Dunia ........................................................................... 67
Bagan 2: Sistem Aliansi Gramatikal bahasa bertipologi
akusatif dan ergatif ................................................. 188
Bagan 3: Keadaan Kognitif Rujukan dalam Wacana ............ 196

xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

A : argumen agen pada klausa transitif


ABS : absolutif
Adj : adjektiva
Adv : adverbia
ag : agen
AKT : aktif
AKU : akusatif
APL : aplikatif
ARG : argumen
ART : artikel, artikula
ASP : aspek
BB : bahasa Bali
BEN : benefaktif
BI : bahasa Indonesia
BM : bahasa Minangkabau
COMP : complemen
DAT : datif
DEF : definit
Dek : deklaratif
DIA : diatesis
dsb. : dan sebagainya
E : extended (diperluas)
ed. : editor (tunggal)
eds. : editor (jamak)
ERG : ergatif
FAdj : frasa adjektival
FAdv : frasa adverbial
FN : frasa nominal
Fprep : frasa berpreposisi (frasa preposisional)
FV : frasa verbal
GEN : genitif
gr : gramatikal
Imp : imperatif
INF : infiks

xiv
JM : jamak
KAU : kausatif
Kls : klausa
KOM : komen
KOMP : komplemen
KON : konfiks
KOO : koordintif
LL : laki-laki
LOK : lokatif
MAR : markah
MED : medial
N : nasal
NOM : nomina/nominatif
NUM : numeral
O (Obj) : objek (dalam tipologi)
OBL : oblik
OL : objek langsung
OTL : objek tak langsung
P : argumen pasien pada klausa transitif
PAR : partikel
PAS : pasif
PERS : persona
POS : posesif
PP : preposisional phrase
PR : perempuan
PRE : prefiks
PRED : predikat
Ps : pasien
PUR : purposif
REF : refleksif
REL : relatif
S : argumen satu-satunya pada klausa intransitif
(subjek)
Sa : S dimarkahi seperti A
SG : singular
Sp : S dimarkahi seperti P

xv
SUBJ (Subj) : subjek
Subj-a : argumen subjek
Subj-Gr : subjek gramatikal
SUBO : subordinatif
SUF : sufiks
TG : tunggal
TLF : tatabahasa leksikal fungsional
TNS : tense (kala)
TOP : topik
TPA : tuturan penutur asli
TPF : teori pemetaan fungsional
TPL : teori pemetaan leksikal
TTG : tatabahasa transformasi generatif
V : verba
V0 : verba bentuk asal
Val : valensi
VI : verba intransitif
VT : verba transitif
- : tanpa
+ / - : boleh dengan atau tanpa
+ : wajib dengan
* : takberterima/takgramatikal
≠ : tidak sama, berbeda dari
Ø : zero, kosong

xvi
BAB I

BAHASA DAN ILMU BAHASA

B
1.1 Bahasa dan Kebudayaan
ahasa adalah gejala alam yang sangat berperan dalam
kehidupan manusia; bahasa ada karena manusia ada,
dan manusia menjadi manusia karena ada bahasa. Para
pemerhati dan ahli bahasa, termasuk manusia pada umumnya,
sudah sama sama memaklumi bahwa bahasa adalah gejala
alam yang sangat dekat hubungannya dengan manusia. Begitu
dekatnya hubungan manusia dengan bahasa menyebabkan
sebagian manusia tidak menganggap bahasa itu sesuatu yang
aneh. Bahkan, orang awam ada yang berpendapat bahwa bahasa
tidak perlu dipertanyakan lagi karena dia bukan sesuatu yang
aneh. Bahasa sudah sangat lazim adanya dan menjadi bagian
hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu pulalah
mungkin yang menyebabkan orang awam tidak begitu peduli
dengan kekhasan dan “keajaiban” bahasa, mirip dengan tidak
begitu pedulinya mereka dengan adanya batu dan kerikil di tepi
kali.
Di sisi lain, para pemerhati dan ahli bahasa malahan
“mencurahkan” segenap perhatian dan daya telaah mereka
untuk mengungkapkan hakikat bahasa. Mereka sangat
menyadari bahwa bahasa adalah gejala yang memanusiakan
manusia; tanpa bahasa manusia akan sangat sulit untuk mampu
berperan sebagai makhluk utama di muka bumi ini. Berkenaan
dengan itu, sejak mulai berkembangnya pikiran dan budaya
manusia, pemerhati bahasa telah dan terus mempertanyakan
apa itu bahasa. Pertanyaan sederhana itulah yang terus berlanjut
sampai sekarang dan menjadi “pemicu” ilmuwan bahasa
untuk mempelajari bahasa dari berbagai sisi dan berdasarkan
kerangka pikir dan tujuan yang beragam. Akan tetapi, semua
yang mereka lakukan terhimpun pada upaya mencari jawaban
dari pertanyaan: apa itu bahasa?.

1
Ketut Artawa & Jufrizal

Alam bahasa yang begitu luas dan rumit menyebabkan


pengkajian atas bahasa tidak mungkin memuat segala hal tentang
hakikat bahasa itu. Di antara banyak hal, keberhubungan erat
antara bahasa dan kebudayaan merupakan “pertautan” penting
yang menjadikan bahasa sangat “dekat” dengan kehidupan
manusia, si pemilik dan penutur bahasa itu sendiri. Di samping
sebagai salah satu unsur penting dari kebudayaan, bahasa juga
adalah penyampai dan wahana komunikasi dari butir-butir
kebudayaan itu sendiri; kebudayaan ada dan berkembang
dengan bantuan bahasa (lihat lebih jauh Duranti, 1997; Foley,
1997). Bahkan, sebagaimana dikemukakan, secara filosofis,
bahasa dapat menjadi lambang dan identitas penuturnya, baik
secara perorangan maupun kelompok.
Keberhubungan “erat” antara bahasa dan kebudayaan
sudah tidak dipertanyakan lagi oleh para pemerhati dan ahli
bahasa; keduanya mempunyai hubungan timbal-balik yang
begitu rumit dan sistematis seiring dengan perkembangan
kehidupan manusia (lihat Artawa, 2005; Jufrizal dkk., 2008,
2009). Keberhubungan erat antara bahasa dan kebudayaan
penuturnya, di antaranya, diungkapkan oleh Duranti (1997:7)
yang menyatakan bahwa bahasa adalah perangkat yang paling
lentur, cerdas, dan paling ampuh, yang dikembangkan oleh
manusia sebagai budaya kemanusiaannya. Bahasa ada karena
ada manusia, dan manusia itu mampu melakukan daya cipta
dan karsa dalam memperbaiki kehidupannya dalam bentuk-
bentuk perangkat kebudayaan yang memungkinkan mereka
terus berkembang sepanjang masa.
Lebih jauh, Duranti (1997:42, 63; lihat juga Foley, 1997;
Artawa, 2005; Jufrizal, 2013) mengungkapkan juga bahwa bahasa
adalah “panduan” kehidupan sosial budaya karena bahasa
dapat menggantikan tindakan langsung secara fisik melalui
perangkat ujaran yang dapat dimengerti oleh orang lain dalam
kelompoknya. Bahasa, sebagai alat yang paling ampuh untuk
menyampaikan pesan, memungkinkan manusia memaknai
dunia dan mengungkapkan alam sekitarnya demikian rupa
dalam bentuk ujaran yang sistematis dan disampaikan kepada
orang lain yang menjadi mitra tuturnya. Ujaran yang sistematis
sebagai wujud dari bentuk bahasa itu menyiratkan bahwa bahasa

2
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

tidak “lahir” begitu saja dan tanpa aturan; bahasa mempunyai


tata bahasa dan tata guna yang dipatuhi secara bersama oleh
masyarakat penuturnya. Artinya, bahasa bukan “sesuatu” yang
dapat dibuat semena-mena atau dipahami sesukanya. Oleh
karena itu, bahasa mesti dicermati secara utuh sebagai gejala
yang mempunyai bentuk, makna, fungsi, dan juga nilai.
Dalam banyak hal, bahasa dan tata bahasa juga
menunjukkan keberhubungan yang dapat dicermati berdasarkan
bentuk, makna dan tatanan sosial masyarakat penuturnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Foley (1997:11 – 14; lihat juga
Artawa, 2005; Jufrizal, 2013), manusia hidup dalam kelompok
sosial dan sebagai akibatnya manusia dapat terikat dengan
pasangan structural, pasangan antara struktur bahasa dan
budaya alamiah masyarakat penuturnya. Budaya yang dimaksud
adalah ranah perilaku manusia antar generasi yang berkenaan
dengan sistem komunikasi. Perilaku komunikasi tersebut
dapat berbentuk verbal atau bukan verbal, tetapi mereka mesti
merasa bagian dari kelompok tersebut secara sosial budaya,
termasuk sejarah kehidupan mereka yang menjadi perekat
kesatuan kelompok dimaksud. Dalam hal ini, peran bahasa
menjadi sangat penting dan menentukan keberlangsungan
hidup masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan. Oleh
karena itu, bahasa boleh didefinisikan sebagai sistem tanda dan
kaidah-kaidah penggabungan tanda-tanda linguistis. Semua
tanda linguistik yang saling berhubungan dan tersusun secara
sistematis tersebut membentuk alat komunikasi verbal, yaitu
bahasa yang dengannya manusia dapat berkembang melebihi
makhluk lain seperti hewan atau tumbuhan.
Lebih jauh, ternyata prinsip-prinsip penggabungan yang
mengikat unsur-unsur bahasa terkecil menjadi kesatuan yang
lebih besar – bunyi menjadi suku kata atau kata, kata menjadi
frasa, klausa atau kalimat – disebut tata bahasa (grammar)
dari bahasa dimaksud. Dalam hal tata bahasa sebagai kaidah
“alamiah” dari bentuk dan makna bahasa, dia juga mempunyai
persentuhan dengan tatanan pemakaian dan nilai bahasa.
Dengan demikian, tata bahasa, secara keseluruhan, bukan saja
tata kata dan tata kalimat, tetapi juga tata makna dan tata guna
serta tata nilainya. Hal ini berarti bahwa bahasa mempunyai

3
Ketut Artawa & Jufrizal

sistem dan kaidah yang mempunyai pertautan yang sangat


rumit dan sistematis dengan butir-butir budaya masyarakat
penuturnya (lihat Foley, 1997:29; Jufrizal dkk., 2008).
Dengan demikian, kajian linguistik mempunyai kaitan
erat dengan kajian kemasyarakatan (sosiologi) dan kajian
kebudayaan (antropologi dan etnografi) yang memungkinkan
bahasa menjadi titik telaah dalam hubungannya dengan
berbagai fitur kemanusiaan di luar bahasa. Kajian kebahasaan
yang dikaitkan dengan fenomena alam lain di luar bahasa telah
menjadi bidang kajian yang menarik dan berkembang pesat
sejak pertengahan abad ke-20. Banyak gejala kemanusiaan dan
alamiah lain yang berkaitan dengan bahasa yang menarik dan
menantang untuk dicermati dan dipelajari secara saksama.
Meskipun demikian, linguistik tetap mendasari setiap kajiannya
dari fitur-fitur kebahasaan, baik secara terpisah maupun
bersamaan.

1.2 Bahasa dan Komunikasi


Di samping sebagai bagian dan alat kebudayaan, bahasa
adalah juga alat komunikasi yang paling utama dalam kehidupan
manusia. Pada dasarnya, kebudayaan seperti disinggung di atas,
adalah komunikasi; komunikasi yang dipahami sebagai sistem
tanda yang dipakai untuk mengungkapkan makna dan gagasan.
Kebudayaan sebagai komunikasi juga berarti bahwa daya cipta
dan karsa manusia “harus” diwariskan dan disampaikan dari
satu generasi ke generasi. Pendapat umum dari kebudayaan
adalah sesuatu disebarluaskan, diwariskan dari satu masa ke
masa berikutnya melalui tindakan manusia dalam interaksi
langsung atau tidak langsung, terutama dengan tanda-tanda
linguistik. Memiliki kebudayaan artinya memiliki komunikasi,
dan memiliki komunikasi artinya memiliki hubungan dengan
bahasa. Dengan demikian, kebudayaan adalah komunikasi, atau
sekurang-kurangnya, bagian dari komunikasi yang menjadi ciri
dari manusia beradab (lihat lebih jauh Duranti, 1997).
Bahasa sebagai alat utama komunikasi sudah tidak perlu
lagi dipertanyakan karena dengan bahasa manusia dapat
mengungkapkan dan menyampaikan pesan atau gagasan secara
lugas dan mudah. Dalam pengertian paling umum, komunikasi

4
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

adalah proses interaksi antar dua wujud (entitas) atau lebih


yang bergabung dalam menyampaikan atau menerima pesan
dengan menggunakan media tertentu. Dalam hal ini, bahasa
adalah alat utama yang lazim digunakan, di samping media
komunikasi lain. Komunikasi pada dasarnya adalah urusan
dan fungsi sosial yang memungkinkan manusia dapat saling
berhubungan dan melakukan berbagai perkembangan hidup.
Selain itu, komunikasi adalah proses berbagi makna melalui
perilaku verbal dan bukan verbal (lihat Cherry, 1959; Howell
dan Vetter, 1985; Levine dan Adelman, 1993).
Sebagaimana dimaklumi, bahasa adalah kode yang
terdiri atas unsur-unsur suara/bunyi atau huruf, kata, frasa, dan
seterusnya, yang disusun demikian rupa sehingga “mengemas”
makna untuk satu hal dan tidak bermakna untuk hal lainnya.
Komunikasi tanpa bahasa, idealnya, adalah sesuatu yang boleh
dikatakan kurang efektif; komunikasi tanpa bahasa merupakan
komunikasi primitif. Setiap bahasa yang berkembang,
sebenarnya, adalah keberhasilan dari tubuh dan pikiran
manusia dan merupakan perkembangan dari teori-teori saluran
komunikasi yang lebih primitif tersebut. Bahasa dipergunakan
untuk mengungkapkan gagasan-gagasan rumit dan abstrak
yang ada dalam kebudayaan dan diri manusia (lihat Sobur,
2003:308). Dengan demikian, bahasa sebagai alat komunikasi
manusia melebihi peran alat (saluran) komunikasi lain yang
tidak bersifat bahasa.
Kemampuan berkomunikasi dengan bahasa merupakan
keunggulan makhluk yang disebut manusia. Dengan bahasa
manusia dapat mengemas makna dengan berbagai tujuan dan
nilai tertentu yang mungkin tidak dapat diungkapkan melalui
alat (saluran) komunikasi lain, seperti gambar, tanda, lambang,
atau yang lain. Meskipun bahasa adalah alat yang paling lentur
dan paling cerdas sebagai alat komunikasi, komunikasi dengan
bahasa tentu saja tidak boleh dilakukan secara semena-mena;
tatanan dan kaidah bahasa menjadi bagian penting yang perlu
dipatuhi agar proses komunikasi dapat berjalan dengan baik.
Berkaitan dengan ini, para ahli bahasa dan komunikasi (lihat
misalnya Sobur, 2003:306) berpendapat bahwa agar manusia
tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan

5
Ketut Artawa & Jufrizal

bahasa, maka ditetapkan konvensi-konvensi yang harus ditaati


oleh pemakai bahasa. Konvensi-konvensi itu kemudian diatur,
diklasifikasi, dan dikaidahkan sehingga melahirkan tata bahasa.
Meskipun demikian, bukan berarti aturan baku tata bahasa
adalah hal yang kaku dan wajib diikuti secara ketat, tanpa
pengetahuan resmi tentang tata bahasa, pada dasarnya manusia
mempunyai naluri untuk berkomunikasi. Namun, tentu saja
bahasa tanpa tata bahasa yang baik akan melahirkan bentuk
dan ungkapan bahasa yang kurang baik adanya.
Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki kemampuan
komunikatif yang tidak dimiliki oleh alat komunikasi lain. Bahasa
dapat mengemas berbagai makna dan nilai yang tidak kasat mata
yang hanya mungkin dirasa dan dipahami oleh manusia sebagai
makhluk yang cerdas dan berbudaya. Kemampuan mengemas
makna dan nilai sosial-budaya yang rumit merupakan nilai lebih
yang hanya dimiliki oleh bahasa. Andaikan bahasa tidak ada,
tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi dalam perkembangan
kehidupan manusia; manusia boleh jadi tidak banyak berbeda
dari makhluk lain, seperti hewan. Dengan demikian, bahasa
merupakan anugerah yang sangat tinggi nilainya bagi manusia
sebagai wahana pemberdayaan dan pengembangan taraf hidup
manusia.
Sudah sama-sama dimaklumi, dan seperti yang di­
kemukakan oleh Payne (2006:1 – 2), setiap alat mempunyai dua
unsur, yakni fungsi (function) dan bentuk (form). Fungsi adalah
guna (tugas) alat itu yang dirancang untuk apa ia dibuat, dan
bentuk adalah struktur nyata yang memenuhi tugas tersebut.
Sebagai contoh, palu tukang kayu adalah alat yang berbentuk
dan dirancang demikian rupa untuk dapat membenamkan
paku ke dalam kayu dan juga untuk mencabutnya kembali
jika diperlukan. Palu tersebut, tentu saja dibuat dan dirancang
dengan bentuk tententu sehingga dapat melakukan (digunakan)
tugasnya sebagaimana diharapkan. Demikian pula bahasa, yang
dibentuk, dirancang, dan dikembangkan oleh manusia (secara
sosial budaya) dengan berbagai perangkat nyata dan kaidah
yang mengikat bentuk-bentuk itu sehingga berfungsi sebagai
alat komunikasi.
Dapat dimengerti bahwa, di samping mempunyai sistem

6
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

gramatikal yang bersifat internal, bahasa juga mempunyai


fungsi utama sebagai alat komunikasi. Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan
alat kebudayaan itu sendiri. Berkenaan dengan itu, pembahasan
para ahli tentang bahasa, kebudayaan (budaya), dan komunikasi,
meskipun dapat dilakukan secara terpisah, sering bersentuhan
satu sama lain dan saling melengkapi. Bahasa adalah bagian dari
kebudayaan; kebudayaan diungkapkan (antara lain) dengan
bahasa; bahasa adalah alat komunikasi; komunikasi ditentukan
(diikat secara konvensional) oleh kebudayaan; komunikasi
tanpa bahasa adalah hal yang (amat) sulit dan aneh.
Di samping bahasa merupakan sistem dengan kaidah dan
ciri khas yang tertata, bahasa dapat pula dipahami sebagai kode
(code); kode komunikasi yang dikaitkan dengan kominikasi
verbal. Dari segi fungsi, bahasa adalah alat komunikasi; bahasa
adalah kode dengan sistem dan kaidah terentu, tersusun, dan
mempunyai makna sehingga dimengerti dan dipahami sebagai
alat komunikasi dalam kehidupan manusia. Dalam pengertian
yang lebih luas, bahasa bukan hanya suatu perwujudan dunia
yang telah ada sebagaimana adanya, melainkan bahasa itu adalah
dunia itu sendiri. Bahasa sebenarnya bagian dari perwujudan
dan perlambang kehidupan duniawi manusia. Alam bahasa
begitu luas, seluas alam dan pengalaman manusia penuturnya
(lihat lebih jauh Duranti, 1997; Chapman, 2000; Artawa, 2005).
Selain bahasa, kebudayaan (budaya) juga merupakan
bagian penting dari kehidupan manusia di muka bumi ini. White
dan Dillingham (1973:9) mengungkapkan bahwa manusia dan
budaya merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Tidak
ada kebudayaan tanpa manusia, dan tidak ada pula manusia
tanpa kebudayaan. Sulit dibayangkan seperti apa kehidupan
manusia ini tanpa bahasa dan kebudayaan. Sebagaimana bahasa,
batasan kebudayaan juga beragam sesuai dengan titik pandang
orang yang membuat batasan itu. Oatey (dalam Oatey,ed.,
2000:4) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah kumpulan
seperangkat sikap, kepercayaan, konvensi tingkah laku, asumsi-
asumsi, dan nilai-nilai dasar yang tidak berwujud nyata yang
dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan memengaruhi
setiap tingkah laku anggotanya dan tafsiran anggotanya

7
Ketut Artawa & Jufrizal

terhadap makna tingkah laku orang lain. Hal ini juga berarti
bahwa bahasa, kebudayaan, dan komunikasi merupakan gejala
alamiah penting yang menentukan keberadaan manusia di
muka bumi ini sebagai makhluk yang cerdas dan berkembang.

1.3 Linguistik: Apa Pentingnya?


Tingkat kecerdasan dan kemampuan manusia untuk
terus berkembang telah menjadi “modal” istimewa bagi mereka
untuk melakukan banyak hal yang tidak mungkin diikuti oleh
ciptaan Tuhan yang lain. Bahasa adalah gejala alam yang dimiliki
dan dikembangkan oleh manusia secara bertahap dan dalam
rentang waktu tertentu menjadi sasaran kajian ilmiah sejak mula
manusia mulai mengembangkan kebudayaan dalam bentuk
ilmu pengetahuan. Pertanyaan sederhana “apa itu bahasa” telah
dan terus memicu pemerhati dan ahli bahasa untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Hal-hal aneh dan menakjubkan tentang
bahasa terus dipelajari secara ilmiah yang secara bertahap telah
melahirkan linguistik, salah satu cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari (hakikat) bahasa secara ilmiah.
Ungkapan manusia hidup dalam “lautan” bahasa,
berdasarkan paparan di atas, boleh jadi cukup berterima adanya.
Ribuan bahasa yang ada di muka bumi ini menunjukkan
bahwa sebagai makhluk berakal manusia itu sangat dinamis
dan kreatif. Bandingkan dengan “bahasa” hewan yang tidak
berkembang sebagaimana halnya bahasa manusia. Penelitian
dan pendokumentasian bahasa seperti dilaporkan oleh Summer
Institute of Linguistics (SIL) (lihat Grimes, 1996) menyebutkan
bahwa ada 6703 bahasa di dunia. Dilihat dari lima wilayah
persebarannya (Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Pasifik),
kawasan Asia merupakan tempat beradanya 2.165 bahasa
(33%). Sementara itu, kawasan Eropa hanya mempunyai 225
bahasa (3%). Di kawasan Pasifik ditemukan 1.302 bahasa
(19%), di Amerika ada 1000 bahasa (15%), dan di benua hitam,
Afrika, tercatat 2.011 bahasa (30%). Kajian sosiolinguistik dan
dialektologi, misalnya, menyebutkan bahwa satu bahasa dapat
mempunyai puluhan dialek atau sosiolek yang kalau dilihat
lebih saksama akan ditemukan puluhan lagi subdialek yang
jumlah sangat banyak (lihat juga Artawa, 2005; Jufrizal, 2013).

8
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlahnya dan keberagaman


bahasa yang ada di muka bumi ini merupakan anugerah Tuhan
dan kekayaan alam yang menakjubkan.
Perhatian manusia terhadap bahasa dan berbagai bentuk
kajiannya sebenarnya telah dimulai semenjak manusia itu
menyadari dan memperhatikan keberadaan bahasa itu sendiri.
Namun, dalam sejarah perkembangan ilmu bahasa (linguistik),
kajian ilmiah kebahasaan dimulai dari periode linguistik kuno,
linguistik tradisional, dan berlanjut sampai dengan linguistik
modern (lihat Lyons, 1987; Robins, 1990; Parera, 1991; Bloomfield,
1995). Munculnya linguistik sebagai cabang ilmu pengetahuan
di antara cabang-cabang ilmu lain menunjukkan bahwa bahasa
merupakan gejala alam yang penting, perlu, dan bermanfaat
untuk dipelajari. Bahkan, jika dicermati secara saksama, kajian
bahasa memberikan sumbangan yang sangat berarti pada ilmu
pengetahuan lain dan kehidupan manusia. Kehidupan manusia
yang makin mendunia dan arus informasi yang begitu cepat
seakan-akan mengubah dunia ini menjadi semakin kecil dan
“mudah” di antaranya, ditentukan oleh bahasa sebagai alat
komunikasi.
Dalam perkembangan linguistik sebagai cabang
ilmu pengetahuan, berdasarkan ruang lingkup kajiannya
linguistik dapat dikelompokkan menjadi: (1) mikrolinguistik
(micro linguistics); dan (2) makrolinguistik (macro linguistics).
Ahli linguistik (misalnya Trager) pada akhir tahun 1940-an
menyebutkan bahwa linguistik mikro itu merupakan kajian
bahasa yang mengeluarkan kajian makna dari tata bahasa;
kajian sistem formal bahasa. Namun dalam perkembangannya,
mikrolinguistik menjadi pembidangan ilmu kebahasaan yang
mengkaji sistem bahasa sebagai abstraksi dari apa saja yang
diamati seperti yang ada di luar sistem tersebut. Secara sederhana,
linguistik mikro adalah bidang linguistik yang mempelajari
sistem bahasa. Makrolinguistik, di sisi lain, merupakan bidang
linguistik yang mempelajari bahasa dari semua aspek. Jika
cabang-cabang mikrolinguistik berusaha mempelajari bahasa
yang berkenaan dengan aspek formal dari sistem bahasa saja,
maka cabang-cabang makrolinguistik berupaya mempelajari
bahasa dalam kaitannya dengan banyak aspek, baik di dalam

9
Ketut Artawa & Jufrizal

maupun di luar bahasa (lihat Kridalaksana, 1993; Matthews,


1997; Artawa, 2005).
Cabang-cabang linguistik seperti fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik berdasarkan ruang lingkup bidang
kajiannya termasuk ke dalam mikrolinguistik. Sementara itu,
cabang-cabang linguistik seperti sosiolinguistik, psikolinguistik,
linguistik kebudayaan, terjemahan, pengajaran bahasa, dan
lain-lain termasuk ke dalam makrolinguistik. Pembidangan
linguistik juga dapat didasarkan pada tujuan pengkajiannya
menjadi linguistik teoretis dan linguistik terapan. Linguistik
teoretis, pada umumnya, merupakan bidang mikrolinguistik,
sementara linguistik terapan termasuk bidang makrolinguistik.
Linguistik telah mengalami perkembangan yang cukup pesat,
terutama sejak awal abad ke-20. Berbagai dasar pemikiran dan
landasan filsafat pengkajian bahasa telah dan terus muncul
dalam dunia linguistik sebagai bukti bahwa bahasa termasuk
gejala alam yang menantang dan menarik untuk diungkapkan.
Begitu luas dan rumitnya “alam bahasa” menjadikan para
ilmuwan (bahasa) berusaha mengungkapkan hakikat bahasa
itu dari berbagai segi. Keadaan ini memunculkan berbagai
cabang linguistik dan penemuan aspek-aspek kebahasaan
baru yang belum terungkap pada masa sebelumnya. Teori
linguistik tradisional dan struktural telah mendapat reaksi pada
pertengahan abad ke-20 dengan munculnya teori Tata Bahasa
Generatif Transformasional rintisan Chomsky. Walaupun teori
Tata Bahasa Transformasionl telah mengalami pengembangan
dan pembenahan yang cukup berarti, pada awal tahun 1980-an
muncul pula rasa “kurang puas” di kalangan ilmuwan bahasa
terhadap teori tata bahasa yang dirintis oleh Chomsky tersebut.
Di antara teori linguistik yang muncul sebagai “reaksi” terhadap
teori tata bahasa transformasional adalah tipologi linguistik yang
menuju ke upaya penipologian bahasa-bahasa di dunia secara
lintas bahasa. Berdasarkan tujuan dan bidang kajiannya, tipologi
linguistik pada dasarnya termasuk ke bidang mikrolinguistik.
Dalam perjalanannya, tipologi linguistik berkembang menjadi
tipologi gramatikal dan tipologi fungsional. Penipologian
bahasa berusaha mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan
ciri-ciri gramatikalnya. Pengelompokan tersebut dilakukan

10
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

secara lintas bahasa dan berjalan beriringan dengan kajian


kesemestaan bahasa (language universal) (lihat Comrie, 1989;
Croft, 1993; Artawa, 2005).
Daya tarik dan pentingnya belajar linguistik sebagai ilmu
pengetahuan tentang kebahasaan, tentu saja, tidak sama bagi
setiap orang atau pembelajar bahasa. Bagi sebagian mahasiswa
atau pembelajar bahasa di berbagai jenjang pendidikan, linguistik
termasuk mata kuliah (mata pelajaran) yang menjemukan,
sulit atau bahkan tidak berfaedah sama sekali. Mereka tidak
jarang merasa “cemas” dan tidak “bersemangat” ketika belajar
linguistik, apalagi beberapa bagian cabang linguistik yang masuk
ke dalam kelompok mikrolinguistik. Mereka sudah merasa
“enggan” untuk memilih linguistik sebagai mata kuliah (mata
pelajaran) utama dalam program kebahasaan mereka. Cerita-
cerita dan kabar negatif tentang kerumitan analisis linguistik
dan sulitnya mendapat data kebahasaan boleh jadi menambah
“seramnya” linguistik.
Keadaan tersebut jelas tidak menguntungkan secara
keilmuan dan jika dicermati lebih teliti, cerita-cerita dan
pendapat tentang “runyamnya” kajian kebahasaan tidak lah
selamanya benar. Secara filosofis, mempelajari bahasa sama
artinya dengan mempelajari keajaiban manusia yang menjadi
pemilik dan penuturnya. Bahasa telah menjadi “jembatan”
perkembangan peradaban manusia seiring dengan sejarah
keberadaan makhluk ini di muka bumi ini. Mempelajari bahasa
bukan hanya berarti mempelajari bahasa itu sendiri, tetapi juga
mempelajari butir budaya penting manusia yang tidak dimiliki
oleh makhluk lain. Tidaklah berlebihan untuk menyatakan
bahwa mempelajari bahasa adalah pekerjaan yang sangat
berfaedah dan mempunyai arti penting dalam mendukung
perkembangan hidup manusia sebagai makhluk yang cerdas
dan berbudaya.
Jika sudah “masuk” ke dalam linguistik, para pemerhati,
pencinta, dan ahli bahasa malahan merasa “kerasan” dan ingin
terus “menggelutinya” untuk dapat mengungkapkan berbagai
fenomena dan kekhasan bahasa tersebut. Keberhasilan untuk
mendeskripsikan ihwal kebahasaan dan mengungkapkan
fenomena “baru” yang ada dalam bahasa merupakan kebahagiaan

11
Ketut Artawa & Jufrizal

tersendiri bagi peneliti dan ahli bahasa. Mencermati berbagai


bentuk keteraturan dan keajaiban sistem bahasa merupakan
tantangan ilmiah yang memicu mereka untuk terus menelaah
bahasa dan “senang” berada di bawah payung linguistik. Oleh
karena itu, tidak pula mengherankan jika ada pencinta dan ahli
bahasa menyatakan bahwa belajar linguistik itu menyenangkan
dan berfaedah.
Apa faedah dan pentingya mempelajari linguistik itu? Ada
banyak alasan mengapa belajar linguistik itu mempunyai arti
penting. Namun, sekurang-kurangnya, berdasarkan berbagai
pendapat dari para ahli, Freeman dan Freeman (2004:x – xi)
mengemukakan lima alasan utama pentingnya belajar linguistik
itu. Pertama, bahasa adalah sesuatu yang memanusiakan
manusia. Manusia dilahirkan membawa potensi-internal
untuk mampu berbahasa; setelah lahir mereka hidup dalam
kelompok masyarakat dan lingkungan tertentu yang juga telah
menunggu bayi baru dengan bahasa. Dengan bahasa manusia
dapat berkomunikasi dengan cara yang sangat berbeda dari
komunikasi hewan atau tumbuhan. Oleh karena itu, belajar
linguistik memungkinkan kita untuk mempelajari sesuatu yang
amat berharga dalam hidup manusia.
Tingginya nilai bahasa dalam kehidupan manusia tidak
hanya dapat dilihat dari fungsinya sebagai alat komunikasi dan
keberadaannya sebagai salah satu anugerah Tuhan yang istimewa,
tetapi juga dapat dicermati dari kekhasan dan keindahan sistem
tata bentuk dan tata gunanya yang jauh melebihi apa yang
dimiliki oleh alat komunikasi yang lain. Dalam hal ini, manusia
pun berperan sebagai pengembang dan pencipta bahasa
sesuai dengan perkembangan sosial budaya yang ada dalam
lingkungannya. Bahasa adalah milik perorangan dan sekaligus
milik kelompok manusia yang juga menjadi alat perekat yang
cukup kuat dalam masyarakat pemakainya. Mempelajari semua
keunggulan bahasa ini, sudah jelas, akan sangat berguna untuk
kemajuan umat manusia secara keseluruhan.
Alasan kedua adalah semakin banyak kita mengetahui
bagaimana bahasa bekerja, akan semakin efektif kita dapat
menggunakan bahasa itu. Seseorang yang mengenal dan
memahami dengan baik cara kerja bahasa dan bagaimana

12
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

bahasa itu memainkan perannya, orang tersebut akan dapat


menggunakan bahasa itu secara tepat guna. Meskipun
pengetahuan kebahasaan bukanlah satu-satunya cara untuk
dapat menggunakan bahasa secara tepatguna, pengetahuan
tersebut sangat menentukan bagi seseorang untuk meracik
dan menggunakan bahasa secara baik. Tentu saja pengetahuan
bagaimana bahasa bekerja dapat diketahui secara ilmiah
dengan belajar linguistik. Dengan demikian, belajar linguistik
mempunyai arti penting untuk mendukung pemakaian bahasa
secara baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi.
Alasan ketiga mengapa belajar linguistik itu penting adalah
bahwa mempelajari bahasa itu menarik dan menyenangkan.
Ini adalah asalan yang agak bersifat “perasaan” daripada
ilmiah. Akan tetapi, alasan ketiga ini membuktikan bahwa para
pencinta dan ahli linguistik sangat berbahagia dan berbangga
jika mereka dapat mengungkapkan fenomena kebahasaan
yang khas dan baru. Alasan ini tidak hanya milik para peneliti
dan ahli bahasa, melainkan juga milik pembelajar dan guru
bahasa. Pembelajar dan guru bahasa akan sangat senang jika
mereka dapat mencapai sasaran belajar bahasa sebagaimana
diharapkan. Akan lebih menyenangkan lagi jika mereka dapat
berkomunikasi dengan dua bahasa atau lebih. Mereka akan
sangat merasa bahwa belajar bahasa itu menyenangkan dan
menarik secara akademis dan praktis.
Selanjutnya, alasan keempat mengapa mempelajari
linguistik itu penting adalah bahwa orang terpelajar itu harus
mengetahui tentang bahasa. Orang terpelajar dan terdidik
ditandai, di antaranya, oleh pengetahuan kebahasaan yang
benar dan keterampilan berbahasa yang baik. Bahasa orang
terpelajar itu tertata dan “menyejukkan” sehingga gagasan dan
pesan yang ingin dikomunikasikan dapat dipahami oleh mitra
tuturnya. Untuk mendapatkan keteraturan berbahasa seperti
ini, pengetahuan linguistik akan sangat diperlukan dan tentu
saja didukung oleh perangkat komunikatif lainnya.
Alasan terakhir adalah bahwa kajian tentang bahasa itu
jelas merupakan kajian tentang jiwa-rohani manusia; bahasa
adalah percikan keadaan kejiwaan penuturnya. Jiwa dan “rupa”
rohaniah manusia tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia itu

13
Ketut Artawa & Jufrizal

sendiri. Kita tidak mempunyai daya untuk melihat “rupa nyata”


jiwa kita. Namun, Tuhan telah memberikan sebagian kecil
kesempatan kepada kita untuk melihat kira-kira rupa jiwanya
tersebut, yaitu melalui bahasa. Dalam kajian psikolinguistik
atau neurolinguistik, bahasa digambarkan sebagai percikan dan
gambaran jiwa penuturnya. Orang yang jiwa sedih, misalnya,
akan dapat diketahui melalui bahasanya. Begitu juga orang
yang gembira, marah, ketakutan, atau terdesak akan dapat
diperkirakan melalui bahasanya.
Belajar linguistik dan belajar bahasa adalah pasangan yang
saling mendukung, baik pada tataran akademis-teoretis maupun
praktis-komunikatif. Pengetahuan kebahasaan secara ilmiah dan
teoretis adalah dasar penting untuk dapat berkomunikasi dengan
bahasa tertentu. Oleh karena itu, berbagai metode dan teknik
pengajaran-pembelajaran bahasa tidak dapat menghindar dari
konsep dan teori linguistik yang dirumuskan berdasarkan kajian
linguistik. Kajian-kajian linguistik dengan berbagai temuan dan
simpulannya menjadi pemasok data kebahasaan dan dasar
penetapan sistem dan metode pengajaran-pembelajaran bahasa,
baik bahasa pertama, kedua, apalagi bahasa asing (lihat Stern,
1994). Dengan demikian, belajar linguistik mempunyai arti
penting bagi peneliti dan ahli bahasa, dan juga bagi pembelajar
dan guru bahasa.

1.4 Linguistik dalam Keberagaman Bahasa


Linguistik sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan
lahir dari kepedulian dan perhatian manusia terhadap bahasa
yang sangat besar peranannya sebagai alat komunikasi. Selain
itu, bahasa adalah juga fenomena yang sangat menakjubkan
dan istimewa dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia
di muka bumi. Meskipun bahasa berada sangat dekat dengang
manusia, kajian kebahasaan secara ilmiah dengan sebutan
linguistik baru muncul pada akhir abad ke-19 dan mulai
berkembang dengan pesat sejak awal abad ke-20. Sebenarnya
sebelum abad ke-19, malahan sudah mulai sejak tiga abad
sebelum Masehi, kajian kebahasaan telah dilakukan oleh para
pemerhati dan filosuf bahasa sebagai bagian dari kajian filsafat,
logika, filologi, dan semiotika. Filsafat memperlakukan bahasa

14
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

sebagai alat berpikir, logika menggunakan bahasa sebagai


sarana berpikir yang berterima, filologi melihat bahasa dalam
perbandingan tata bahasa, dan semiotika menempatkan bahasa
sebagai bagian dari ilmu tanda (lihat Parera, 1991; Bloomfield,
1995).
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli, Parera (1991:6)
menyimpulkan tujuan pokok kajian bahasa (linguistik)
berdasarkan perkembangannya, yakni (i) mengelompokkan
dan membeda-bedakan; (ii) menghubung-hubungkan; (iii)
mengendalikan; dan (iv) meramalkan gejala-gejala bahasa
alamiah. Kajian linguistik tersebut mengarahkan peneliti
dan ahli bahasa untuk merumuskan dan melahirkan teori-
teori bahasa yang dapat berupa teori semesta atau teori yang
hanya khusus berlaku untuk satu atau beberapa bahasa saja.
Perkembangan linguistik sebagai cabang ilmu pengetahuan
sejak awal abad ke-20 sudah begitu pesat, baik pada bidang
mikrolinguistik maupun makrolinguistik. Dengan berbagai
pendekatan dan dasar logika berpikir, para ahli dan peneliti
bahasa berupaya mengungkapkan dan menjelaskan berbagai
fenomena kebahasaan, baik secara konseptual-teoretis maupun
praktis-pedagogis.
Menurut Dixon (2010:1), ada sejumlah pendekatan yang
mungkin digunakan untuk mengkaji bahasa. Berdasarkan
berbagai pendekatan itu, linguistik boleh ditempatkan sebagai
ilmu sosial-humaniora atau sebagai bagian dari ilmu alam.
Berkenaan dengan hal ini, penempatan ilmu bahasa sebagai
bagian dari ilmu alam (a natural science), yang bersamaan dengan
cabang ilmu seperti geologi, biologi, fisika, atau kimia, cukup
beralasan untuk dijadikan dasar pemikiran terutama untuk
kajian linguistik deskriptif-eksploratif. Sehubungandengan
itu, Toulmin (1984) seperti yang dikutip oleh Dixon (2010:1)
menyatakan bahwa tugas ilmu pengetahuan ialah untuk
menjelaskan peristiwa nyata, proses atau fenomena di alam,
dan tidak ada sistem gagasan teoretis, istilah teknis, dan
prosedur matematis yang dianggap bermutu kecuali sistem
itu mampu menggenggam data empiris pada beberapa titik
dan dalam beberapa keadaan dan menolong data itu dapat
dimengerti. Dengan demikian, pada dasarnya, tugas linguistik

15
Ketut Artawa & Jufrizal

ialah untuk menjelaskan hakikat bahasa manusia, melalui


keterlibatan aktif dalam pemerian bahasa-bahasa itu – masing-
masingnya dipandang sebagai sistem yang terpadu – bersamaan
dengan penjelasan mengapa masing-masing bahasa seperti
itu, bersamaan dengan pencarian ilmiah menafsirkan dan
mengevaluasi.
Lebih jauh, Dixon (2010:1 – 2) menegaskan bahwa untuk
menguasai bidang ilmu tertentu, seseorang mesti terlibat secara
aktif dalam bidang ilmu tersebut, memulainya dari tataran akar
rumput. Seperti halnya ahli biologi melakukan pencermatan dan
pengujian rinci terhadap tingkah makhluk hidup di alam jagat
raya, para ahli bahasa juga mesti berkenaan dengan penemuan
fenomena kebahasaan yang lengkap dan rumit. Mereka harus
menjadikan berbagai sistem dan kaidah kebahasaan, yang
kadang-kadang rumit dan membingungkan itu, sebagai sasaran
kajian dan bahan yang “disenangi” untuk ditelaah secara ilmiah.
Keberhasilan menemukan dan menjelaskan berbagai fenomena
yang sulit, rumit, dan khas merupakan kebahagiaan tersendiri
bagi mereka. Di sisi lain, tentu saja, bukanlah seseorang itu
disebut ahli atau peneliti bahasa (linguist) jika dia “muak”
dengan data dan kerumitan sistem kebahasaan, lalu menyatakan:
“Ya sudah lah, ini semua tidak perlu lagi dilanjutkan”. Pencita dan
pemerhati bahasa adalah orang yang rela berlama-lama dan
merenungi sekumpulan data untuk sampai pada penemuan
ihwal kebahasaan yang mempunyai arti penting secara teoretis
dan praktis.
Kajian atas data pada tahap awal, apalagi pada bahasa
yang relatif baru dan belum mempunyai deskripsi awal, boleh
jadi hanya bersifat pemerian (deskripsi) tataran permukaan.
Hal ini akan sangat membantu peneliti untuk sampai pada
tahap analisis yang bersifat penjelasan dan penemuan hal-hal
baru, serta berlanjut untuk penelaahan yang bersifat penafsiran
dan evaluatif. Hal ini berarti bahwa ahli dan peneliti bahasa
tidak “boleh” puas jika baru sampai pada tahap pemerian.
Telaah tahap ini masih belum cukup berarti untuk merumuskan
kaidah-kaidah sistem kebahasaan yang melahirkan teori
bahasa. Oleh karena itu, telaah linguistik tidak cukup hanya
sampai pada tahap pemerian secara kualitatif atau kuantitatif

16
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

saja, melainkan harus berlanjut untuk menjawab pertanyaan


bagaimana dan mengapa fenomena bahasa itu demikian. Ahli
dan peneliti bahasa akan membuka mata selebar-lebarnya untuk
mengungkapkan sisi rumit dan “menantang” dari keseluruhan
sistem bahasa manusia.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dixon (2010:4),
ada empat tugas dasar dari semua cabang ilmu pengetahuan,
termasuk linguistik, yaitu mendeskripsikan, menjelaskan,
menafsirkan, dan mengevaluasi. Dua tugas pertama,
mendeskripsikan dan menjelaskan, menjadi bagian penting
dalam kajian linguistik yang memungkinkan lahirnya konsep
dan teori-teori dasar bahasa. Menafsirkan dan mengevaluasi
adalah tugas lanjutan yang berguna untuk kajian linguistik
lanjutan, baik yang bersifat teoretis maupun praktis-pedagogis.
Pendeskripsian berkenaan dengan: bagaimana bahasa disusun;
umpamanya, apakah bahasa itu mempunyai sistem kala (tense)
atau gender, hakikat sistem tersebut, dan cara-cara bagaimana
sistem itu bersesuaian dengan kaidah-kaidah gramatikal.
Seiring dengan itu, kajian berlanjut untuk mengejar penjelasan
dengan menjawab pertanyaan mengapa; mengapa satu bahasa
mempunyai empat gender, sementara yang lain hanya dua,
dan yang lain lagi mengenal tiga, atau bahasa lainnya tidak
mengenal gender sama sekali. Sementara itu, tugas menafsirkan
dan mengevaluasi merupakan tugas lanjutan dan dapat
dihubungkan dengan kebijakan yang bersifat penerapan,
pengajaran, politik, dan perencanaan bahasa.
Keberadaan linguistik sebagai cabang ilmu pe­ngetahuan
menjadi semakin bermakna di tengah-tengah jumlah dan
keberagaman bahasa yang ribuan banyaknya. Sebagai
pembaharuan data dan informasi tentang jumlah bahasa,
sebagaimana yang dikemukakan pada bagian 1.3 di atas, Rene
van den Berg dari SIL International (2014:2) menyebutkan
bahwa jumlah keseluruhan bahasa di dunia berdasarkan
berbagai laporan penelitian adalah sekitar 7.100. Yang menarik
adalah bahwa Papua Nugini dan Indonesia menempti urutan
pertama dan kedua sebagai Negara dengan jumlah bahasa
terbanyak. Berikut adalah tabel sepuluh besar Negara dengan
jumlah bahasa terbanyak, seperti yang dikemukakan oleh van

17
Ketut Artawa & Jufrizal

den Berg (2014:2).

Tabel 1. Sepuluh Besar Negara dengan Jumlah Bahasa


Terbanyak
Jumlah ba- Jumlah
Peringkat Negara
hasa Penduduk
1 Papua Nugini 836 7.000.000
2 Indonesia 706 251.000.000
3 Nigeria 522 128.000.000
4 India 447 1.080.000.000
5 Meksiko 282 106.000.000
6 Kamerun 280 16.000.000
7 R.R. Cina 298 1.300.000.000
8 Brasilia 215 210.000.000
9 Amerika Serikat 214 295.000.000
10 Australia 214 20.000.000

Sementara itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan


Bahasa Republik Indonesia mencatat bahwa jumlah bahasa
daerah (bahasa lokal) di Indonesia adalah 719, dengan rincian
21 bahasa sudah dibakukan, 97 bahasa sedang berkembang, 248
bahasa kuat, 265 bahasa terancam punah, dan 75 bahasa hampir
punah (lihat Amalia, 2014:106). Perbedaan jumlah bahasa
(daerah) di Indonesia, 706 atau 719, bukan sesuatu yang penting
untuk diperdebatkan karena, di samping persentasenya tidak
berarti, ada kemungkinan pelaporan dari Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia belum terekam oleh
Ethnologue, sumber yang dikutip oleh Rene van den Berg. Yang
paling penting untuk dimaklumi adalah alangkah banyaknya
jumlah bahasa di muka bumi ini. Jumlah tersebut belum termasuk
dialek geografis atau dialek sosial dari satu bahasa, apalagi jika
ditambah dengan subdialek atau ragam-ragam stilistikanya.
Hal ini berarti bahwa linguistik mempunyai “ladang” yang
subur untuk “digarap”, sekaligus tantangan bagi pemerhati dan
peneliti bahasa untuk mengolah “belantara” kebahasaan yang
menakjubkan itu.
18
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu, kajian


mikrolinguisti dan makrolinguistik telah berkembang begitu
pesat dengan berbagai subcabang yang memungkinkan bahasa
ditelaah dari berbagai sisi. Adanya jumlah dan keberagaman
bahasa merupakan bentuk “tantangan” yang mengharuskan
para peneliti dan ahli bahasa menemukan cara untuk dapat
menjadikan kajian kebahasaan dapat mengungkapkan
kesemestaan (universal) dan kekhasan (specification) bahasa-
bahasa manusia. Keinginan ahli dan peneliti bahasa untuk
menemukan ciri-ciri kesemestaan antarbahasa dan menjelaskan
ciri-ciri khusus yang menandai keberagaman bahasa
merupakan inti pokok kajian Kesemestaan Bahasa (Language
Universal) dan Tipologi Linguistik (Linguistic Typology) yang
mengarah ke pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan
kesamaan/kemiripan tata kata dan tata bahasa lahiriahnya.
Dengan demikian, kajian Tipologi Linguistik yang menyasar
pengelompokan bahasa menjadi kelompok-kelompok tertentu
merupakan bagian penting dari teori dan bentuk kajian linguistik
untuk menelaah keberagaman bahasa manusia di muka bumi
secara lintas bahasa.

1.5 Catatan Penutup


Sosok bahasa, yang sangat menakjubkan, boleh jadi tidak
menjadi perhatian bagi orang awam karena bahasa itu sangat
dekat dengan diri mereka dan mereka hidup dalam “lautan
bahasa”. Kedekatan dan lautan bahasa yang menyertai kehidupan
manusia ke mana-mana telah menjadikan orang awam tidak
merasa perlu bertanya lagi apa itu bahasa. Hal ini mirip dengan
kenyataan dalam kehidupan sehari-hari bahwa sesuatu yang
biasa bukanlah hal yang luar biasa. Pandangan berbeda akan
lahir dari seseorang pencinta, pemerhati, peneliti, dan ahli
bahasa. Bahasa adalah mukjizat yang sangat menakjubkan dan
keistimewaannya perlu ditelaah dan diungkapkan. Pertanyaan
“apa itu bahasa” telah menjadi pemicu lahir dan berkembangnya
linguistik, ilmu yang mempelajari ihwal kebahasaan secara
ilmiah. Keberadaan linguistik di antara sekian banyak cabang
ilmu pengetahuan lain tentu saja sangat ditentukan oleh karya-
karya ilmiah dan mengesankan dari para peneliti dan ahli

19
Ketut Artawa & Jufrizal

bahasa itu sendiri. Apabila telaah dan temuan kajian kebahasaan


tidak mampu hadir sebagai hal yang mempunyai ciri ilmiah,
boleh jadi linguistik akan hilang secara perlahan dan tidak lagi
menjadi bidang ilmu yang unggul.
Keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan dari berbagai
unsur dan lingkungan kehidupan manusia. Oleh karena itu,
linguistik tidak hanya mengkaji bahasa sebagai (sistem) bahasa
itu sendiri, tetapi juga mencermati bahasa dalam hubungannya
dengan berbagai faktor sosial budaya yang ada. Bahasa adalah
kebudayaan dan alat kebudayaan manusia yang memungkinkan
mereka hadir di muka bumi sebagai makhluk cerdas dan
berkembang. Bahasa dan ilmu bahasa besar kemungkinan
terus berubah dan berkembang karena bahasa dan kebudayaan
manusia juga tidak pernah “diam”; kebudayaan manusia
berjalan dan berubah seiring dengan perkembangan pola pikir
dan sistem sosial budaya mereka. Oleh karena itu, data dan
informasi kebahasaan sebagai bahan dasar kajian linguistik terus
bertambah dan berubah yang tentu saja akan terus mengubah
dan memperkaya konsep dan teori kebahasaan itu sendiri.
Para pemerhati, peneliti, dan ahli bahasa harus siap untuk
menghadapi semua hal itu, terus belajar, dan mengembangkan
keilmuannya seiring dengan perubahan dan perkembangan
bahasa manusia di muka bumi ini.
Kemungkinan jumlah bahasa untuk terus bertambah tetap
ada, namun kemungkinannya untuk berkurang tampaknya
lebih mungkin terjadi. Adanya laporan Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia yang menyebutkan
bahwa ada 265 bahasa terancam punah dan 75 bahasa hampir
punah menyiratkan adanya kemungkinan dalam masa yang
tidak terlalu lama lagi akan ada lebih kurang 100 bahasa
yang hilang dan mati di bumi Nusantara. Belum lagi laporan
penelitian linguistik internasional yang juga menyebutkan
bahwa ada dua samapi dengan lima bahasa di dunia yang mati
tiap tahun. Secara keilmuan dan sosial-budaya, berita kematian
bahasa adalah kerugian besar yang sangat “disedihkan” oleh
pemerhati dan peneliti bahasa, termasuk mereka yang mencintai
kebudayaan. Meningkatkan kegiatan penelitian bahasa secara

20
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

kuantitatif dan kualitatif dan dorongan untuk mempertahankan


kehidupan bahasa ibu dan bahasa daerah merupakan jalan baik
yang bisa ditempuh untuk mengurangi kerugian dan kesedihan
tersebut.
Para ilmuwan dan pemerhati bahasa terus mempelajari
dan mencermati perihal bahasa, baik secara mikro maupun
makro. Dalam hal ini, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai
fenomena alam yang terpisah dari gejala sosial-budaya
masyarakat penuturnya. Pertautan bahasa dengan berbagai sisi
kehidupan manusia telah dan terus memungkinkan ilmuwan
bidang ilmu lain untuk melihat bahasa sebagai fenomena yang
“patut” dicermati dan dikaitkan dengan rumpun ilmu mereka.
Ilmuwan bahasa, tentu saja, menjadikan bahasa sebagai dasar
berpijak dan untuk selanjutnya dapat boleh jadi bekerjasama
dengan ilmuwan lain yang mempunyai bidang kajian yang
bersentuhan dengan bahasa.

21
22
BAB II

TIPOLOGI LINGUISTIK
DAN TIPOLOGI BAHASA

S
2.1 Linguistik Deskriptif dan Linguistik Teoretis
ecara alamiah, manusia normal memperoleh,
menghasilkan, memahami, dan menyimpan bahasa
(ibunya) dalam dirinya “nyaris” dirasakan sebagai
sesuatu yang biasa saja, bukanlah hal yang luar biasa. Ternyata
para peneliti dan ahli bahasa berpendapat sebaliknya; bahasa
adalah sesuatu yang luar biasa. Paparan dan simpulan kajian
linguistik dan perkembangan bahasa manusia membuktikan
bahwa bahasa merupakan fenomena yang rumit dan sangat luar
biasa, baik dari sisi bentuk, makna, fungsi maupun nilainya.
Bidang kajian linguistik deskriptif dan teoretis, misalnya, adalah
pembidangan linguistik yang menjadikan kajian kebahasaan
terus berkembang untuk dapat mengungkapkan hakikat
bahasa berdasarkan data bahasa apa adanya dan tafsiran ilmiah
atas hasil kajiannya. Berkenaan dengan itu, ada baiknya pada
bagian ini dibahas sekilas-lintas tentang linguistik deskriptif
dan linguistik teoretis.
Sebagaimana diketahui, bentuk bahasa yang asli adalah
bahasa lisan, sedangkan bahasa tulisan hanyalah pemindahan
(salinan) dari bahasa lisan menjadi bentuk tulisan melalui sistem
tertentu yang dicipta untuk itu. Dalam hal ini, bahasa lisan
atau bahasa alam pikiran dipindah-tuliskan dengan tanda dan
lambang tertentu sehingga wujud bahasa dapat dilambangkan
dan/atau terekam demikian rupa untuk dapat ditelaah secara
ilmiah. Pemindahan (salinan) bahasa lisan menjadi bahasa
tulis (transkripsi) telah memungkinkan bahasa diteliti secara
deskriptif dan ditelaah secara teoretis. Analisis bahasa tanpa
rekaman dan/atau transkripsi hampir mustahil dapat dilakukan
karena bahasa lisan lenyap seiring dengan selesainya ujaran
tersebut. Oleh karena itu, telaah awal data kebahasaan secara

23
Ketut Artawa & Jufrizal

linguistis merupakan telaah deskriptif yang hasil-hasilnya


dikembangkan menjadi butir-butir teori kebahasaan. Dalam hal
ini, linguistik deskriptif menjadi dasar untuk menjadi linguistik
teoretis.
Linguistik deskriptif (descriptive linguistics) merupakan
istilah untuk kajian kebahasaan yang mulai dikenal sejak
tahun 1940-an, terutama di Amerika Serikat. Kajian linguistik
deskriptif menitikberatkan bahan kajiannya berdasarkan data
dan informasi kebahasaan apa adanya; kajian linguistik apa
adanya. Peneliti dan ahli bahasa menelaah data dan informasi
pemakaian bahasa sebagaimana adanya, objektif. Linguistik
deskriptif muncul sebagai reaksi atas kajian linguistik preskriptif
(prescriptive linguistics) yang menguasai kajian kebahasaan pada
masa kuno dan tradisional awal. Linguistik preskriptif, yang
juga dikenal dengan linguistik normatif (normative linguistics)
menyandarkan kajian kebahasaan atas dasar normatif dan
bagaimana seharusnya. Oleh karena itu, linguistik preskriptif
berusaha menelaah data kebahasaan untuk dapat disejalankan
dengan logika dan pola pikir penelitinya sehingga lebih bersifat
subjektif (lihat Lyons, 1987:7, 42 – 43; Matthews, 1997).
Lebih jauh, Lyons (1987:42 – 43) menyatakan bahwa kajian
linguistik itu seharusnya bersifat deskriptif, kajian berdasarkan
data apa adanya, bukan bersifat preskriptif- normatif dan
subjektif. Kajian linguistik harus lah telaah dan simpulan yang
“memenangkan data”; temuan dan simpulan kebahasaan
yang dikemukakan harus dapat menjawab keberadaan dan
keterpakaian bahasa sebagaimana ia ditemukan di lapangan.
Kajian linguistik yang memenangkan data inilah yang sangat
besar peranannya dalam perumusan teori-teori dan konsep
kebahasaan yang dapat dijadikan acuan yang sahih dalam
teori kebahasaan. Data dan informasi kebahasaan yang tidak
berdasarkan data, tidak memenangkan data, dan banyak
dikaitkan dengan ukuran benar – salah sesuai logika peneliti
atau normatif umum akan merusak mutu teori atau konsep
kebahasaan yang dilahirkan. Ukuran benar – salah dalam banyak
hal sering digunakan untuk menguatkan dalil dan maksud
tertentu meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan hal yang
sebenarnya. Pada masa perkembangan linguistik awal, kajian

24
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

preskriptif menjadi acuan keberhasilan linguistik karena pada


zaman itu logika matematis dan unsur subjektif peneliti atau
penulis mendapat tempat terhormat. Pada zaman linguistik
mutakhir, ilmuwan kebahasaan lebih menghormati kajian
linguistik deskriptif, telaah kebahasaan yang memenangkan
data.
Linguistik mutakhir, di samping “menghormati” kajian
linguistik deskriptif, memerlukan bentuk kajian linguistik
teoretis, bentuk kajian lanjutan yang bersifat penjelasan-tafsiran
untuk merumuskan teori-teori dan konsep kebahasaan yang
berlaku secara semesta dan/atau khusus. Kajian seperti itu
menghendaki ketajaman pikiran dan kemampuan menafsir
sebagai lanjutan dari telaah data deskriptif yang dikumpulkan
di lapangan. Linguistik teoretis atau linguistik eksplanatoris
menjadikan data, informasi, dan simpulan penelitian deskriptif
sebagai bahan telaah lanjutan yang menghasilkan pokok-pokok
kaidah dan teori linguistik yang tidak hanya berlaku untuk
bahasa-bahasa tertentu, tetapi juga berlaku secara semesta
(lihat Lyons, 1987; Matthews, 1997). Dari kajian teoretis itu,
para pemikir dan ahli bahasa merumuskan dan “memodelkan”
beberapa teori linguistik formal dan cara kajian kebahasaan
yang mungkin digunakan dalam telaah linguistik secara
keseluruhan.
Meskipun linguistik secara umum lebih berpihak pada
telaah deskriptif, bukan berarti prinsip-prinsip linguistik
preskriptif ditinggalkan sama sekali. Linguistik preskriptif
sangat diperlukan dalam pemakaian bahasa untuk ilmu logika,
bahasa hukum, dan untuk pembelajaran bahasa, baik bahasa
pertama (bahasa ibu), maupun pembelajaran bahasa kedua,
apalagi bahasa asing. Perencanaan bahasa dan politik bahasa
juga memerlukan kajian linguistik preskriptif, terutama dalam
usaha pembakuan bahasa dan ketertiban administratif. Dalam
beberapa hal, pemakaian bahasa bagaimana seharusnya masih
sangat diperlukan dalam kondisi masyarakat multibahasawan
dan untuk menjadi salah satu perekat sosial budaya yang efektif.
Guru dan pembelajar bahasa dan para pengambil kebijakan
hukum dan politis tetap memerlukan hasil kajian linguistik
preskriptif.

25
Ketut Artawa & Jufrizal

2.2 Tipologi Linguistik dan Teori Tata Bahasa


Tipologi linguistik (linguistic typology) merupakan satu
di antara teori dan model kajian linguistik yang mendasarkan
kajiannya atas data alami dan sistem struktur bahasa alami.
Dengan demikian, prinsip-prinsip kajian linguistik deskriptif
dan bentuk kajian yang “memenangkan data” menjadi alur
dasar pengkajian tipologi linguistik. Berkenaan dengan itu,
kajian tipologi linguistik menghendaki lahirnya pendeskripsian
bahasa sebagaimana adanya dan membuat penjelasan serta
penafsiran ilmiah berdasarkan data dan informasi yang lazim
adanya dalam satu atau beberapa bahasa. Selain itu, kajian
tipologi linguistik juga berbentuk kajian perbandingan lintas
bahasa untuk sampai pada penipologian bahasa (-bahasa)
berdasarkan sejumlah besar data dari berbagai sistem tata
bahasa dan tata kata bahasa di dunia.
Kata tipologi (typology), secara etimologis, berarti
pengelompokan ranah (classification of domain), yang bersinonim
dengan istilah taksonomi. Istilah teknis tipologi yang telah
masuk ke dalam linguistik merujuk ke pengelompokan bahasa-
bahasa berdasarkan ciri khas tata kata dan tata kalimatnya.
Apabila diperbandingkan secara lintas bahasa, bahasa-
bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan batasan-batasan
ciri khas strukturalnya, secara lahiriah. Kajian tipologi awal
dalam linguistik yang terkenal adalah penetapan kelompok
(pengelompokan) bahasa-bahasa secara luas berdasarkan
sejumlah fitur yang saling berhubungan (lihat Mallinson
dan Blake, 1981:3). Pencermatan terhadap sistem dan pola
keberhubungan antara bahasa-bahasa alami manausia secara
luas memperlihatkan adanya sistem dan pola tata kata dan tata
kalimat yang sama atau, sekurang-kurangnya, mirip sehingga
dapat dikelompokkan.
Di antara bentuk kajian tipologi linguistik periode awal
adalah tipologi tata urut kata (word order typology) seperti yang
dilakukan oleh Greenberg (1963) (lihat Mallinson dan Blake,
1981). Hasil kajian tipologi Greenberg telah menunjukkan bahwa
bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut urutan dasar
subjek, objek, dan verba (S,O,V), dengan tata urut kata yang
lazim, seperti S – V – O, V – O – S, O – V – S, dan kemungkinan

26
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

lainnya. Kajian awal ini memicu peneliti dan ahli tipologi


linguistik untuk lebih mencermati kemungkinan penipologian
bahasa berdasarkan ciri khas tata bahasa yang lain secara lintas
bahasa. Kajian yang berusaha mencermati fitur-fitur dan ciri
khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia kemudian membuat
pengelompokan berdasarkan kesamaan atau kemiripan fitur-
fitur tata bahasa tersebut dikenal dalam dunia linguistik sebagai
kajian tipologi linguistik (linguistic typology) yang menghasilkan
tipologi bahasa (language typology) (lihat Artawa, 2005; Jufrizal,
2012).
Istilah tipologi linguistik dan tipologi bahasa boleh
jadi membingungkan dan dipakai dalam pengertian yang
sama, terutama bagi pemula. Hal ini disebabkan oleh adanya
beberapa buku rujukan yang tidak secara tegas menjelaskan
perbedaannya. Kedua istilah tersebut sesungguhnya mem­
punyai pengertian yang berbeda meskipun mempunyai kaitan
yang sangat erat. Tipologi linguistik, di satu sisi, merujuk ke
teori-teori atau kerangka teoretis kajian tipologi yang dikenal
dalam linguistik. Tipologi linguistik boleh dikatakan sebagai
teori dan model kajian yang dijadikan dasar pengkajian untuk
mengelompokkan bahasa-bahasa, penipologian bahasa. Di sisi
lain, tipologi bahasa berarti kelompok-kelompok bahasa yang
kurang lebih mempunyai ciri-ciri dan sifat perilaku gramatikal
yang sama. Hal ini berarti bahwa tipologi bahasa merupakan
hasil pengkajian data kebahasaan berdasarkan teori tipologi
linguistik. Tipologi linguistik mempunyai pengertian sebagai
teori atau kerangka teoretis suatu bentuk kajian dalam linguistik
yang menjadikan tipologi sebagai penekanannya; kajian
pengelompokan (tipologi) dalam dunia linguistik (Artawa,
2005; Jufrizal, 2012).
Selain itu, jika disebut linguistik tipologi, penekanannya
adalah pada linguistiknya; teori-teori atau model pengkajian
linguistik untuk menemukan tipologi bahasa. Tipologi
linguistik berbicara tentang tipologi linguistik (tata urut kata)
Greenberg, tipologi linguistik Mallinson dan Blake, tipologi
linguistik Comrie, tipologi linguistik Dixon, dan sebagainya.
Meskipun teori tipologi linguistik itu dikemukakan oleh
banyak ahli (untuk memudahkan, penyebutannya dikaitkan

27
Ketut Artawa & Jufrizal

dengan nama ahli yang mengembangkannya), tujuan utama


ilmu tipologi linguistik tersebut pada dasarnya adalah sama.
Comrie (1988) menyatakan bahwa tujuan linguistik tipologi
ialah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat-
perilaku struktural bahasa tersebut. Tujuan pokoknya ialah
untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu? Ada dua
asumsi pokok linguistik tipologi, yakni (a) semua bahasa dapat
dibandingkan berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan
di antara bahasa-bahasa yang ada.
Song (2001:2) menjelaskan bahwa di samping terdapat
perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada, mesti ada sifat
perilaku tertentu yang menyebabkan mereka dikelompokkan
sebagai bahasa manusia. Mesti ada kesatuan-kesatuan dasar
yang dimiliki oleh semua bahasa manusia. Berkenaan dengan
itu, ada sekelompok ahli bahasa yang secara langsung tertarik
untuk menemukan kesatuan dasar tersebut dengan mempelajari
variasi struktural bahasa di muka bumi yang sangat banyak itu.
Ahli bahasa seperti inilah yang dikenal dengan ahli tipologi
linguistik (linguistic typologists), atau singkatnya disebut ahli
tipologi (typologist). Penemuan mereka atas variasi lintas-
linguistik itu disebut tipologi bahasa, atau tipologi saja
untuk pendeknya. Kajian untuk menemukan kesamaan atau
kemiripan sifat-perilaku gramatikal antarbahasa dengan
memperbandingkan berbagai ragam pola struktur bahasa
yang ada merupakan sasaran utama kajian tipologi linguistik,
sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Sebenarnya, kajian pengelompokan bahasa dapat
dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu genetik, tipologi, dan area
(kawasan). Akan tetapi, pengelompokan bahasa berdasarkan
genetik dan area (kawasan) penyebaran bahasa lebih banyak
melibatkan ilmu lain seperti biologi, sosiologi, atau antropologi.
Pengelompokan bahasa pada buku ini dibatasi pada kajian
tipologis saja. Kajian tipologi linguistik dapat dilakukan pada
semua lapisan (tataran) bahasa: fonologi, morfologi, dan
sintaksis. Pada tataran fonologi, bahasa-bahasa manusia dapat
dikelompokkan menurut rentangan vokal yang dimiliki, atau
ukuran rentangan sistem fonem segmentalnya. Pada tataran
morfologi, bahasa dikelompokkan sebagai bahasa isolasi,

28
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

infleksi (fleksi), aglutinasi, atau polisintesis. Namun, kajian


tipologi gramatikal menjadikan tataran morfosintaksis sebagai
tataran bahasa yang dikajinya (lihat lebih jauh Mallinson dan
Blake, 1981; Parera, 1991; Jufrizal, 2012).
Menurut Whaley (1997), kajian tipologi dalam tautannya
dengan linguistik (tipologi linguistik) adalah pengelompokan
bahasa-bahasa atau komponen bahasa berdasarkan ciri dan
sifat-perilaku formal (lahiriah) yang dimiliki bersama. Definisi
ini mengandung tiga proposisi dasar, yaitu: (1) tipologi yang
meliputi perbandingan lintas bahasa; (2) tipologi yang meliputi
pengelompokan, baik (a) komponen bahasa, maupun (b)
bahasa itu sendiri; dan (3) tipologi yang berkenaan dengan
pengelompokan pada fitur-fitur formal bahasa. Hal mendasar
lain yang perlu diingat adalah bahwa pengelompokan
berdasarkan fitur-fitur gramatikal yang sama atau mirip
bukan berarti semua hal persis sama. Sebagian sifat-perilaku
gramatikal yang ada antarbahasa itu tidak persis sama atau
mirip, tetapi hanya pada tataran kecenderungan (tendency) saja.
Kecenderungan yang sudah didasarkan pada data kebahasaan
yang bersifat deskriptif-alamiah sudah cukup dijadikan dasar
untuk penipologian bahasa secara semesta (lihat juga Mallinson
dan Blake, 1981; Jufrizal, 2012).
Whaley (1997:7) menandaskan bahwa satu hal penting
yang perlu menjadi catatan adalah tipologi linguistik itu bukanlah
teori tata bahasa, sebagaimana halnya Teori Penguasaan dan
Pengikatan, Tata Bahasa Fungsional, Tata Bahasa Kognitif, Tata
Bahasa Relational, Tata Bahasa Leksikal Fungsional, atau teori
formal lainnya yang dirancang untuk memodelkan bagaimana
bahasa bekerja. Tipologi linguistik bertujuan untuk menentukan
pola-pola dan hubungan antara pola-pola tersebut secara lintas
budaya. Oleh karena itu, metodologi dan hasil kajian tipologi
linguistik, pada dasarnya, bersesuaian dengan teori tata bahasa
apa saja. Dengan demikian, kajian tipologi linguistik dapat
berada di dalam berbagai teori tata bahasa sebagai bagian yang
sangat penting adanya dalam analisis bahasa dengan teori tata
bahasa formal.
Hasil kajian tipologi linguistik dapat dilakukan men­
dahului kajian bahasa dengan teori tata bahasa formal yang

29
Ketut Artawa & Jufrizal

lebih bersifat deskriptif formal dengan pemodelan teoretis


yang dirancang untuk itu. Lazimnya, tipologi linguistik dapat
memudahkan penerapan analisis dengan teori tata bahasa formal
untuk berbagai bahasa. Dengan demikian, tipologi linguistik dan
berbagai teori tata bahasa formal dapat berjalan beriringan dan
saling memperkuat analisis data yang ada untuk sampai pada
sasaran penelitian. Namun, kajian tipologi linguistik merupakan
bentuk kajian data bahasa yang lebih deskriptif-alamiah. Kajian
seperti ini jelas akan sangat membantu penelaahan data bahasa
dengan teori tata bahasa formal.

2.3 Tipologi Linguistik: Sejarah Singkat dan Arah


Kajiannya
Tipologi linguistik (baca: tipologi untuk singkatnya),
secara umum, mempunyai sepasang tujuan, yaitu (i) untuk
menemukan kesemestaan; dan (ii) untuk menetapkan
rentangan ragam (variasi) yang mungkin di antara bahasa-
bahasa. Mencermati kedua jenis arah (tujuan) kajian ini, teori
dan kerangka kajian tipologi linguistik bermula dari kajian
perbandingan bahasa (linguistik komparatif), terutama yang
bersifat sinkronis. Pada awalnya, kajian linguistik komparatif
yang mengarah ke kajian tipologi lingusitik lebih terfokus pada
tataran morfologi (leksikon), sebagaimana banyak terlihat pada
model kajian ilmuwan bahasa Jerman, Friedrich von Schiegel dan
Wilhelm von Humboldt, pada tahun 1800-an. Seperti diketahui,
kajian linguistik komparatif dapat didasarkan pada klasifikasi
genetis, wilayah (area), atau sosiolinguistik. Namun, dalam
perkembangannya karena pengaruh aliran-aliran linguistik,
kajian tipologi linguistik lebih mementingkan perbandingan
dan klasifikasi struktural, gramatikal, dan fungsional, sehingga
tipologi linguistik yang dikenal pada masa mutakhir ini adalah
tipologi struktural, tipologi gramatikal, atau tipologi fungsional
(lihat Parera, 1991; Whaley, 1997; Artawa, 2005; Jufrizal, 2012).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Whaley (1997:18
– 19), ketertarikan ilmuwan tipologi masa tahun 1800-an pada
kajian perbandingan dan pengelompokan morfologi didukung
oleh kenyataan bahwa kata dan kelompok kata antarbahasa
lebih kasat mata untuk diperbandingkan. Kajian-kajian tipologi

30
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

masa awal dilakukan untuk membuat pengelompokan tataran


morfologis antarbeberapa bahasa serumpun dan berlainan
rumpun sehingga diperoleh klasifikasi bahasa berdasarkan
tata katanya. Akan tetapi, kajian tipologi mutakhir, terutama
sejak tahun 1970-an, telah beralih ke tataran morfosintaksis
yang umum dikenal sebagai tipologi gramatikal. Hal yang
mengalami perubahan dan perkembangan tidak hanya sasaran
bahan kajian, tetapi juga asumsi, metode, dan pelibatan data
lintas bahasa juga turut berubah
Whaley (1997) lebih jauh menjelaskan bahwa tipologi
linguistik awal lebih menitikberatkan kajiannya pada tipologi
morfologis. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh kenyataan
bahwa perbedaan tataran dan proses morfologis antarbahasa
cukup tajam dan mudah diamati. Berkenaan dengan itu,
tipologi morfologis yang mengelompokkan bahasa menjadi
bahasa isolasi, infleksi, aglutinasi, atau polisintetis adalah hasil
kajian yang sangat penting pada masa itu. Hasil kajian tipologi
morfologis tersebut masih terus menjadi bagian penting dalam
kajian tipologi linguistik sampai saat ini (lihat juga Mallinson
dan Blake, 1981; Comrie, 1989).
Seperti yang dijelaskan oleh Mallinson dan Blake (1981:20
– 21; lihat juga Comrie, 1989:42 – 43; Whaley, 1997:20 -21; Jufrizal,
2012:12 – 13), kajian tipologi linguistik yang bertumpu pada
tataran morfologi mengelompokkan bahasa menjadi empat
tipologi bahasa, yaitu:
(i) Bahasa isolasi (isolating language): kelompok bahasa
dengan sistem morfologis di mana satu kata terbentuk
dari satu morfem. Pada bahasa jenis ini tidak ada proses
afiksasi; ada hubungan satu lawan satu antara kata dan
morfemnya. Bahasa China, Vietnam, Korea, dan sejumlah
bahasa daerah di kawasan Indonesia timur adalah contoh-
contoh bahasa isolasi ini.

(ii) Bahasa fusional atau bahasa infleksi (futional atau


inflectional language): kelompok bahasa yang morfemnya
diwujudkan dengan afiks-afiks, tetapi sifat-perilaku
morfologisnya berdempet atau berdekatan sekali dengan
proses sintaktisnya sehingga cukup sulit untuk memilah

31
Ketut Artawa & Jufrizal

afiks-afiks tersebut. Pada bahasa seperti ini, proses


morfosintaksisnya menjadi sangat menentukan. Bahasa
Arab, Latin, Sanskerta, dan sejumlah bahasa kecil di
Papua adalah contoh bahasa dengan tipologi morfologis
seperti ini.

(iii) Bahasa aglutinasi (agglutinative language): kelompok bahasa


yang mempunyai proses morfologis yang dapat dengan
mudah dipilah dengan memperhatikan jenis morfemnya.
Pada bahasa dengan tipologi seperti ini, batas-batas antara
morfem bebas dan morfem terikat cukup jelas dan proses
morfologis afiksasi menjadi sangat menonjol. Proses
morfologis dan sintaktis pada bahasa ini dapat dibedakan
dengan jelas meskipun ada juga yang berhubungan erat
dan ketat. Bahasa-bahasa rumpun Melayu, seperti bahasa
Indonesia, bahasa Turki, dan Hongaria adalah contoh-
contoh bahasa yang bertipologi aglutinasi.

(iv) Bahasa polisintetis atau inkorporasi (polysintetic atau


incorporation language): kelompok bahasa yang mempunyai
kemungkinan untuk mengambil sejumlah morfem
leksikal dan menggabungkannya bersama untuk menjadi
kata tunggal. Bahasa dengan tipologi morfologis seperti
ini, misalnya bahasa Eskimo, bahasa Inggris.

Dalam perkembangan selanjutnya, tipologi linguistik


mulai mengarah ke perbandingan sistem gramatikal bahasa-
bahasa secara lintas bahasa yang melibatkan tataran morfologi
dan sintaksis. Kajian tipologi tata urut kata (word order typology)
yang dilakukan oleh Greenberg menandai lahirnya tipologi
gramatikal yang sudah melibatkan tataran sintaksis. Kajian
tipologi gramatikal berkembang pesat sejak tahun 1970-an
sebagai salah satu reaksi terhadap model kajian tata bahasa
generatif transformasional yang sangat bersifat teoretis-
mentalistis. Perkembangan tipologi gramatikal didukung oleh
kebutuhan berbagai teori tata bahasa mutakhir seperti Tata
bahasa Relasional, Tata bahasa Leksikal Fungsional, dan Tata
bahasa Peran dan Referensi akan data deskriptif alamiah dan

32
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

terpakai seperti apa adanya. Ahli dan peneliti bahasa seperti


Dixon, Comrie, Whaley, Shibatani, Mallinson, Blake, Donohue,
Artawa, Arka adalah sebagian kecil ilmuwan tipologi linguistik
yang mengembangkan kajian ini untuk menipologikan bahasa-
bahasa di muka bumi secara gramatikal.
Dengan munculnya perkembangan teori dan kajian tata
bahasa fungsional sebagai dampak dari pengkajian bahasa
sebagai alat komunikasi, sebagian ahli, misalnya Talmy Givon,
van Valin dan kawan-kawan, mengembangkan (model) kajian
tipologi fungsional. Sebagaimana nama dan dasar pengembangan
teorinya, tipologi fungsional berupaya membandingkan dan
mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan bagaimana
bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, bukan berdasarkan
struktur lahiriah gramatikalnya. Meskipun demikian, konstruksi
gramatikal dan berbagai fitur gramatikal dalam bahasa manusia
masih tetap dijadikan landasan penelaahannya. Buku ini tidak
membahas lebih jauh perihal tipologi fungsional karena gagasan
dasar penulisannya adalah sebagai buku yang masuk ke dalam
kelompok tipologi linguistik, khususnya tipologi gramatikal.
Sebagaimana yang sudah disinggung pada beberapa
bagian terdahulu, tipologi linguistik arah kajian atau tujuannya
untuk mengelompokkan bahasa-bahasa manusia berdasarkan
kesamaan atau kemiripan struktur lahiriah tata kata dan tata
kalimatnya melalui perbandingan sejumlah besar data yang
beragam secara lintas bahasa. Perbandingan dan pengelompokan
sifat-perilaku gramatikal bahasa-bahasa dilakukan dengan
parameter (rambu-rambu) lintas linguistik, baik yang bersifat
semesta maupun khusus. Kajian tipologi linguistik, idealnya,
dirancang untuk dapat “memasukkan” semua bahasa manusia ke
dalam kelompok tertentu sejauh bahasa itu memiliki kesamaan,
kemiripan, atau kecenderungan sifat-perilaku gramatikal yang
dapat diamati secara lahiriah. Secara teoretis, semua bahasa
alami manusia dapat dan mungkin dikelompokkan menjadi
satu kelompok karena secara genetis dan bentuk lahiriahnya,
bahasa-bahasa di muka bumi mempunyai ciri kesemestaan
sebagai dasar terbentuknya bahasa, di samping mempunyai
ciri khusus yang memunculkan lebih dari 7000 bahasa manusia
yang sudah tercatat saat ini.

33
Ketut Artawa & Jufrizal

2.4 Tipologi Linguistik dan Tipologi Bahasa


Pada tahun 1970-an mulai terlihat dalam dunia linguistik
keperluan akan adanya kajian yang bersifat lintas bahasa, baik
dalam linguistik teoretis maupun dalam bidang kajian bahasa
secara empiris teori-netral. Kebutuhan dan perkembangan kajian
lintas bahasa dengan data empiris tersebut dapat dikatakan
sebagai bagian dari reaksi terhadap Tata Bahasa Generatif
Transformasional yang cenderung didasarkan pada perilaku
ketata bahasaan bahasa Inggris yang lebih bersifat mentalistis-
teoretis. Perkembangan teori dan pengkajian yang bersifat lintas
bahasa memunculkan teori linguistik (tata bahasa/gramatika),
seperti Tata Bahasa Relasional (Perlmutter dan Postal, 1977;
dan Johnson dan Postal, 1980), dan Tata Bahasa Fungsional
(Dick, 1978) (lihat Mallinson dan Blake, 1981). Ahli lain, seperti
Comrie, mengembangkan model kajian bahasa yang mengarah
ke generalisasi bahasa berdasarkan skala luas kajian-kajian
bahasa yang bersifat perbandingan. Model kajian lintas bahasa
yang mengarah dan berupaya untuk membuat generalisasi dan
pengelompokan bahasa-bahasa itu menjadi arah baru penelitian
linguistik sejak tahun 1980-an. Kajian kebahasaan seperti ini
memberikan sumbangan pemikiran dan kerangka teoretis dasar
pada tipologi linguistik dan tipologi bahasa (Mallinson dan
Blake, 1981:1 - 2).
Seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu, kajian
tipologi bahasa bekenaan dengan pengelompokan bahasa-
bahasa berdasarkan struktur gramatikal lahiriahnya. Akan
tetapi, bukan itu saja dasar yang dipakai untuk mengelompokkan
bahasa-bahasa manusia, melainkan ada pula cara lain. Smith
(lihat Mallison dan Blake, 1981) membedakan tiga dasar
pengelompokan bahasa, yakni (i) pengelompokan berdasarkan
genetik; (ii) pengelompokan berdasarkan tipologi; dan (iii)
pengelompokan berdasarkan areal (kawasan). Mallinson dan
Blake juga mengemukakan bahwa penelitian generalisasi lintas
bahasa atau kesemestaan bahasa (language universal) merupakan
pokok pikiran utama yang melatari penelitian (kajian) tipologi
skala besar. Penelitian kesemestaan bahasa menghendaki kajian
tipologis secara lintas bahasa seluas mungkin. Adanya hubungan
penelitian kesemestaan bahasa dengan penelitian tipologi

34
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

menyebabkan para ahli berpendapat bahwa kajian tipologi


linguistik dan kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan
dan mulai terlihat sejak pertengahan abad ke-20.
Kesemestaan bahasa (language universal) dan gramatika
semesta (universal grammar) adalah dua istilah yang sering
disebut dan dikaitkan dengan tipologi linguistik. Sebelum
dilihat apa itu kesemestaan bahasa dan gramatika semesta
(universal grammar), ada baiknya dicermati lebih dahulu apa
yang dikemukakan oleh van Valin Jr. dan Lapolla (2002:2—4)
tentang tujuan teori lingusitik. Menurut mereka, teori lingusitik
itu harus dapat: (i) memerikan fenomena linguistik; (ii)
menjelaskan fenomena linguistik; (iii) memahami (memberikan
pemahaman) dasar kognitif bahasa. Tipologi linguistik pada
awal perkembangannya berada pada dua tujuan pertama dari
tiga tujuan teori linguistik tersebut. Kajian tipologi linguistik,
apakah yang memakai pendekatan tipologi klasifikasi,
tipologi murni, atau tipologi fungsional, pada dasarnya hanya
bersifat “deskriptif” atau “taksonomis”. Linguistik tipologi
(teori linguistik yang berkaitan dengan tipologi) ”belum”
mempersiapkan cara-cara untuk pengembangan teori bahasa
yang dapat berfungsi sebagai bentuk lain teori linguistik
generatif. Kajian tipologi linguistik bersifat deskriptif-alamiah
dan lintas bahasa (lihat juga Croft, 1993:1—3).
Dalam perkembangan dan kelanjutan kajiannya yang
bersifat deskriptif-alamiah lintas bahasa tersebut, tipologi
linguistik secara tajam dan berkesinambungan akan sampai
pada tujuan yang ketiga dari teori linguistik, yaitu memahami
dasar kognitif bahasa. Dengan kata lain, kajian tipologi
linguistik yang cermat dan mendalam dipercayai akan sampai
pada tahap memahami dasar-dasar kognitif bahasa. Hipotesis
ini didasarkan atas pangkajian tipologi bahasa yang beriringan
dengan kajian kesemestaan bahasa. Seperti diketahui, kajian
kesemestaan bahasa mengarah dan berusaha ke perumusan
dan penemuan gramatika bahasa manusia yang bersifat lintas
bahasa. Kesemestaan bahasa dan tata bahasa semesta, secara
teoretis, menjadi sasaran dan ”impian ilmiah” sebagian ilmuwan
bahasa, sebagai bagian dari wujud penelaahan bahasa secara
lintas bahasa.

35
Ketut Artawa & Jufrizal

Ilmuwan tata bahasa (grammarian) menempuh jalan yang


berbeda untuk menemukan dan merumuskan tata bahasa
semesta. Menurut Comrie (1989), ada dua pendekatan utama yang
dipakai oleh ahli bahasa untuk mempelajari dan menyimpulkan
kesemestaan bahasa. Pendekatan pertama adalah bahwa untuk
melakukan penelitian kesemestaan bahasa perlu diperoleh data
dari bahasa-bahasa yang ada di dunia seberagam dan sebanyak
mungkin. Perumusan dan penemuan gramatika universal
dilakukan berdasarkan kajian deskriptif-alamiah terhadap
sifat-perilaku gramatikal dan data bahasa secara lintas bahasa.
Pengkajian dan pendapat seperti ini merupakan dasar berpikir
penelitian tipologi linguistik. Pendekatan kedua, berdasarkan
pendapat sebagian ahli linguistik adalah bahwa jalan terbaik
untuk mempelajari kesemestaan bahasa ialah melalui kajian
rinci dan mendalam terhadap sejumlah kecil (beberapa) bahasa
saja. Para ahli bahasa yang berpegang pada pendekatan ini
berkesimpulan bahwa kesemestaan bahasa dipahami sebagai
struktur abstrak dan cenderung bersifat bawaan. Keduanya
dapat dipakai sebagai alat untuk menjelaskan kesemestaan
bahasa. Pendapat kedua ini merupakan anutan para ilmuwan
mentalistik-teoretis, seperti ilmuwan tata bahasa generatif
dan para penggagas teori tata bahasa formal yang berusaha
”memodelkan” bagaimana bahasa bekerja.
Apa itu gramatika semesta dan kesemestaan bahasa?
Kesemestaan bahasa (juga dapat dikatakan sama dengan
kesemestaan linguistik) adalah sifat-perilaku kebahasaan
yang (lebih kurang) dimiliki bersama oleh semua bahasa atau
pernyataan-pernyataan kebahasaan yang dimiliki oleh (hampir)
semua bahasa. Kesemestaan dalam hal ini dapat bersifat mutlak,
relatif, atau statistis. Kesemestaan bahasa ini dirumuskan secara
linguistis demikian rupa dalam bentuk butir-butir gramatika
semesta; setiap sistem gramatika atau seperangkat pernyataan
gramatikal yang dihipotesiskan dimiliki oleh semua bahasa
(lihat Foley dan van Valin, Jr., 1984; Matthews, 1997). Song (2001)
menyebutkan bahwa kesemestaan bahasa adalah sifat-perilaku
yang dimiliki oleh bahasa-bahasa manusia, atau sekurang-
kurangnya dimiliki oleh sebagian besar bahasa di muka bumi
ini. Dengan demikian, gramatika semesta merupakan hasil

36
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

kajian ketata bahasaan secara lintas bahasa yang memuat


kaidah-kaidah semesta yang dimiliki oleh (hampir) semua
bahasa alami manusia.
Seperti yang disinggung pada bagian terdahulu,
kajian tipologi linguistik, di sisi lain, berkenaan dengan
pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan kesamaan dan
kemiripan struktur lahiriah untuk kemuduan di kelompokkan
ke dalam jenis struktur yang berbeda. Jika demikian, cara
kerja kajian tipologi linguistik dan kesemestaan bahasa dapat
dikatakan ”bertentangan”. Pendapat seperti ini ada benarnya
karena pada permukaannya bentuk dan arah pengkajiannya
memang berbeda. Penelitian kesemestaan bahasa, di satu sisi,
berusaha menemukan: (i) perilaku dan sifat-sifat gramatikal
yang umum dimiliki oleh semua bahasa manusia; (ii) mencari/
menemukan kemiripan sifat-perilaku gramatikal yang ada
secara lintas bahasa; dan (iii) berusaha menetapkan batas-batas
variasi bahasa manusia. Di sisi lain, penelitian tipologi linguistik
berusaha: (i) mengelompokkan bahasa-bahasa; menetapkan
bahasa-bahasa ke dalam kelompok tertentu; (ii) mengkaji dan
meneliti perbedaan antara bahasa-bahasa; dan (iii) mempelajari
variasi-variasi bahasa manusia (Comrie, 1983, 1989).
Perbedaan cara kerja tersebut, sebenarnya, mempunyai
implikasi logis timbal balik. Apa implikasi timbal baliknya?
Menurut Comrie (1989), untuk menetapkan tipologi bahasa
perlu ditetapkan parameter-parameter tertentu untuk
mengelompokkan bahasa-bahasa di dunia. Untuk menetapkan
tipologi bahasa diperlukan pembuatan asumsi kesemestaan
bahasa. Hal ini berarti bahwa penipologian bahasa memerlukan
asumsi-asumsi dasar tentang kesemestaan bahasa, sementara
untuk mendapatkan kesemestaan bahasa atau gramatika
semesta diperlukan pengkajian mendalam tentang tipologi
bahasa-bahasa di dunia. Berdasarkan keterkaitan ini penelitian
kesemestaan bahasa dan penelitian tipologi sebenarnya bukan
bertentangan, melainkan saling memperkuat dan berjalan
beriringan (lihat juga Croft, 1993).
Sehubungan dengan paparan di atas, Song (2001:9—
10) juga mengemukakan bahwa para ahli tipologi linguistik
berupaya mempelajari variasi-variasi lintas bahasa untuk

37
Ketut Artawa & Jufrizal

memahami hakitat bahasa manusia. Interaksi model kajian


kesemestaan bahasa dan kajian tipologi linguistik dapat menjadi
pokok utama untuk merumuskan sifat-perilaku kesemestaan
bahasa dengan dasar klasifikasi tipologis. Tujuan utama kajian
tipologi linguistik memang berada pada tahap pemerian
(description) dan penjelasan (explanation) secermat mungkin
sifat-perilaku gramatikal bahasa-bahasa di dunia. Namun,
kajian lanjutan yang lebih cermat dan dalam skala besar terus
mengarah ke penemuan gramatika semesta. Tujuan lanjut dan
mendalam ini dapat dikaitkan dan ditafsirkan sebagai tujuan
untuk memahami perihal kognitif tentang bahasa. Jika demikian
halnya, penipologian bahasa-bahasa manusia secara gramatikal
akan turut mengusung dan memenuhi tuntutan tujuan ideal
linguistik ketiga seperti yang disebut di atas.
Hasil-hasil kajian tipologi linguistik sesuai dengan langkah-
langkah kerja yang sudah menjadi acuan bersama berujung
pada temuan dan simpulan tipologis untuk mengelompokkan
satu atau beberapa bahasa yang diteliti ke dalam kelompok
tertentu yang disebut tipologi bahasa (language typology).
Langkah-langkah kerja yang sudah menjadi acuan baku di
kalangan ilmuwan tipologi linguistik adalah: (i) menentukan
fenomena kebahasaan yang akan dikaji; (ii) mengelompokkan
secara tipologis fenomena kebahasaan yang sedang diteliti; (iii)
merumuskan gejala umum (generalisasi) dari pengelompokan
tersebut; dan (iv) membuat penjelasan dari generalisasi yang
dirumuskan tersebut (Song, 2001:4). Langkah-langkah kerja ini
membutuhkan data deskriptif-alamiah sebanyak dan seberagam
mungkin secara lintas bahasa untuk sampai pada perbandingan
dan persesuaian data yang dikaji. Kecukupan dan keberagaman
data menjadi sangat penting untuk menetapkan satu atau
beberapa bahasa yang diteliti masuk ke tipologi bahasa tertentu,
baik secara morfologis maupun gramatikal (morfosintaktis).

2.5 Catatan Penutup


Bab II buku ini masih bersifat antaran teoretis umum dan
pengenalan yang mulai lebih khusus pada tipologi linguistik
dan tipologi bahasa. Antaran dan pengenalan ini dimaksudkan
untuk memberikan gambaran awal tentang sejarah singkat,

38
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

teori, dan tujuan kajian tipologi linguistik untuk sampai ke


penippologian bahasa, tipologi bahasa. Pembaca dan pembelajar
linguistik pemula, khususnya yang berminat pada bidang
tipologi linguistic diharapkan tidak terlalu “gamang” dan
“takut” untuk terus menggeluti bidang kajian ketata bahasaan
ini. Banyak berita dan kejadian “aneh” di kalangan pembelajar
linguistik yang berkembang bahwa tipologi linguistik itu sulit
dan “memusingkan”. Dalam beberapa hal, pandangan dan
berita seperti itu ada benarnya, apabila dilihat dari cara kerja
dan perumusan simpulan yang membutuhkan data yang
sahih, banyak, beragam, dan kemampuan analisis komparatif
yang memadai. Akan tetapi, semua hal itu bisa ditepis apabila
pembaca dan pembelajar linguistik memulai pembelajarannya
secara bertahap dan dengan semangat tinggi. Paparan yang
diawali dengan pengenalan teoretis umum dan dikaitkan dengan
linguistik sebagai bidang ilmu pengetahuan dalam khazanah
keilmuan manusia adalah bagian dari upaya untuk membawa
pembaca dan pembelajar menyenangi tipologi linguistik.
Kajian tipologi linguistik bermula dari adanya perhatian
ilmuwan dan peneliti bahasa terhadap keberagaman fitur-fitur
kebahasaan yang mungkin dibanding-bandingkan dan dibeda-
bedakan, lalu dikelompokkan berdasarkan ciri kesamaan dan
kemiripan yang dapat dicermati. Keingintahuan dan upaya
untuk mencermati, membandingkan, dan mengelompokkan
berbagai ciri dan sistem gramatikal bahasa-bahasa manusia jika
dimulai dari hal-hal yang mungkin dan sederhana akan memicu
rasa senang dan melakukan telaah lanjut pada hal-hal yang lebih
rumit dan menantang. Kinerja berurut yang dilakukan dengan
saksama dan senang hati akan mengubah pendapat “miring”
tentang tipologi linguistik; kajian tipologi linguistik boleh jadi
menjadi menarik dan menantang untuk dilakukan. Kajian lintas
bahasa dan perbandingan yang dilakukan menjadi daya tarik
tersendiri dalam mengungkapkan hakikat bahasa dari sisi tata
bahasanya. Rasa senang dan kemauan untuk “bergelimang”
data bahasa yang beragam dan kadang-kadang aneh dan asing
menjadi dasar penting untuk mendalami bidang linguistik ini.
Ribuan bahasa dengan berbagai sistem ketata bahasaan
dan fitur-fitur pemarkahnya merupakan “tantangan” dan

39
Ketut Artawa & Jufrizal

daya tarik ilmiah tersendiri bagi peneliti dan ilmuwan tipologi


linguistik. Dengan mengikuti tahapan kerja dan cara analisis
yang sudah menjadi acuan dalam kajian tipologi linguistik,
khususnya tipologi gramatikal, peneliti akan sampai pada
penipologian (melakukan pengelompokan) bahasa (-bahasa)
sehingga ditemuakan tipologi bahasa. Penipologian bahasa
mempunyai arti penting untuk merumuskan tata bahasa semesta
dan sangat membantu dalam pembelajaran bahasa, baik bahasa
pertama, kedua maupun bahasa asing. Dengan demikian,
kajian tipologi linguistik bukan hanya bermanfaat untuk kajian
linguistik teoretis, tetapi juga berguna bagi pembelajaran bahasa
secara praktis dan komunikatif.

40
BAB III

KATEGORI GRAMATIKAL-SEMANTIS
DASAR DALAM TIPOLOGI LINGUISTIK

K
3.1 Kesemestaan Bahasa
esemestaan bahasa (language universals) adalah
pernyataan sifat-perilaku bahasa yang mendasar;
kesemestaan bahasa merupakan pernyataan empiris.
Dengan menyatakannya sebagai pernyataan empiris, berarti
bahwa kesemestaan bahasa adalah deskripsi dari pola-pola yang
ditemukan dalam data bahasa yang dicermati. Dengan demikian,
ketepatan (accuracy)-nya dapat diuji dengan menerapkan semua
deskripsi itu pada bahasa-bahasa terdahulu yang belum dikaji
(Whaley, 1997:31; lihat juga Mallinson dan Blake, 1981:6).
Sebagaimana yang sudah dipaparkan pada bagian terdahulu,
kajian tipologi linguistik sangat memerlukan data dari beragam
bahasa yang dipakai oleh manusia seberagam dan sebanyak
mungkin sehingga boleh dikatakan tipologi linguistik dan
kajian kesemestaan bahasa berjalan beriringan.
Perjalanan tipologi linguistik dari periode awal ke
periode mutakhir ditandai oleh berbagai perkembangan bentuk
dan arah kajian. Perubahan dan perkembangan penting yang
perlu dicatat adalah bahwa kajian tipologi linguistik pada masa
awal yang terfokus pada penipologian secara keseluruhan
(holistic typology) berubah ke penipologian fitur-fitur bahasa
(partial typology) (Whaley, 1997:23). Pergeseran arah kajian ini
juga diikuti oleh penguatan landasan teori dan model kajian,
di antaranya melibatkan prinsip-prinsip kesemestaan bahasa
yang menjadi bagian penting penipologian bahasa. Oleh karena
itu, pada bagian ini akan dipaparkan sekilas-lintas perihal jenis-
jenis kesemestaan bahasa dimaksud.
Seperti yang dijelaskan oleh Whaley (1997:31 – 36) (lihat
juga Mallinson dan Blake, 1981; Song, 2001), pada dasarnya ada
dua jenis pernyataan kesemestaan (universals) yang lazim dikenal,

41
Ketut Artawa & Jufrizal

yaitu kesemestaan mutlak (obsolute universals) dan kesemestaan


tidak mutlak (nonabsolute universals). Akan tetapi, begitu istilah
semesta digunakan, kebanyakan orang beranggapan bahwa
itu artinya benar untuk semua hal; inilah yang dikenal sebagai
kesemestaan mutlak. Di sisi lain, ada kesemestaan yang boleh
jadi tidak benar untuk semua hal dan keadaan, tetapi berlaku
untuk kebanyakan; ini yang dirujuk sebagai kesemestaan
tidak mutlak. Kesemestaan tidak mutlak ini lebih umum
keterpakaiannya dalam penelitian (kajian) tipologi linguistik
karena sifat-perilaku bahasa tidak selamanya bersifat mutlak,
melainkan ada yang bersifat kecenderungan (tendency) saja.
Kecenderungan dengan dukungan data yang banyak sudah
boleh dijadikan dasar penipologian bahasa meskipun pada
saatnya nanti memerlukan kajian ulang jika ditemukan data
yang lebih kuat untuk menolaknya.
Kesemestaan mutlak (absolute universals) adalah
kesemestaan yang berlaku benar untuk seluruh bahasa, seperti
contoh berikut (Whaley, 1997:32).

(1) a. Semua bahasa mempunyai konsonan dan vokal.


b. Semua bahasa membedakan antara nomina dan verba.
c. Semua bahasa mempunyai cara-cara untuk membentuk
klausa interogatif.

Kesemestaan mutlak terlihat sebagai kaidah yang sudah sangat


jelas sehingga muatan ilmiah dan keterujiannya menjadi
sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Oleh karena itu,
kesemestaan mutlak biasanya menjadi acuan dasar saja untuk
menentukan kesemestaan sifat-perilaku gramatikal yang lain.
Lebih jauh, Whaley (1997) menyatakan bahwa
kesemestaan bukan-mutlak (nonabsolute universals), di sisi lain,
adalah jenis kesemestaan yang mempunyai dan mengakui
adanya pengecualian. Kesemestaan jenis ini berkenaan dengan
sifat-perilaku bahasa yang lazim berterima untuk semua
bahasa. Meskipun kesemestaan bukan-mutlak ini tidak bisa
dianggap sebagai cerminan mutlak dari sifat-perilaku semua
bahasa, kesemestaan ini menggambarkan kecenderungan.
Tingkat kecenderungan ini tergantung pada beberapa jenis
pengecualian dari kesemestaan mutlak. Berikut adalah contoh-

42
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

contoh kesemestaan bukan-mutlak.

(2) a. Kebanyakan bahasa mempunyai vokal [ i ], seperti dalam


bahasa Inggris pada feet.
b. Kebanyakan bahasa mempunyai adjektiva.
c. Bahasa umumnya menggunakan intonasi naik untuk
menandai pertanyaan ya dan tidak.

Semua pernyataan pada (2) di atas mempunyai tingkat


kemungkinan tinggi. Pernyataan (2a), misalnya, tingkat
kebenarannya lebih dari 90% (Maddieson dalam Whaley,
1997).
Selain pembagian kesemestaan yang bersifat mutlak dan
tidak mutlak, pernyataan atau kaidah semesta dalam linguistik
dapat pula dibedakan menjadi kesemestaan implikasional dan
bukan implikasional (implicational and nonimplicational universal).
Whaley (1997; lihat juga Mallinson dan Blake, 1981; Song, 2001)
menjelaskan bahwa kesemestaan implikasional mempunyai
prakondisi, yaitu dia dapat ditempatkan dalam kaidah “jika X
maka Y”. Contohnya adalah seperti pada (3) berikut.

(3) a. Kesemestaan Greenberg 4: Dengan jumlah yang jauh lebih


besar dari frekuensi kebetulan, bahasa-bahasa dengan tata
urut biasa SOV adalah bahasa posposisional.
b. Kesemestaan Greenberg 3: Bahasa-bahasa dengan tata urut
lebih banyak (dominan) VSO selalu bahasa praposisional.

Dalam kesemestaan ini, S adalah subjek, O adalah objek,


dan V adalah verba. Pada (3a) dan (3b), ada kemungkinan
untuk menurunkan hal tersebut sebagai sebuah pernyataan
kondisional – umpamanya, jika sebuah bahasa adalah SOV,
maka bahasa tersebut adalah bahasa posposisional dengan
jumlah yang jauh lebih banyak daripada frekuensi kebetulan.
Hal ini merupakan sebuah diagnosis mudah untuk menentukan
apakah kesemestaan itu bersifat implikasional.
Lebih jauh, Whaley (1997:33) menjelaskan bahwa ada
beberapa sifat-perilaku kesemestaan implikasional yang perlu
dicatat. Pertama, dia bisa menjadi kesemestaan mutlak, seperti
pada (3b), atau dapat menjadi bukan-mutlak, seperti pada (3a).
Kedua, implikasi itu bersifat bukan-tak terarah. Maksudnya, kita

43
Ketut Artawa & Jufrizal

tidak bisa mengambil sebuah kesemestaan implikasional lalu


mengalihkannya menjadi prakondisi dan pernyataan semesta
untuk menurunkan kesemestaan lain. Umpamanya, ambillah
(3b) – jika sebuah bahasa VSO, maka bahasa itu praposisional
– dan kebalikannya – jika sebuah bahasa praposisional, maka ba-
hasa itu VSO – melahirkan pernyataan yang tidak benar karena
ada banyak bahasa praposisional yang bukan VSO, misalnya ba-
hasa Inggris yang bersifat preposisional, tetapi mempunyai tata
urut kata SVO.
Terakhir, kesemestaan implikasional adalah tetrakoris
(dari bahasa Yunani, tetra ‘empat’ dan choris ‘terpisah’, yang
bermakna ‘memasukkan ke dalam empat bagian’ yakni, mereka
memperkenalkan empat variable bebas (seperti mempunyai tata
urut kata VSO dan menjadi praposisional) yang memberikan
empat kemungkinan logis berikut:

(4) praposisional posposisional


VSO ya tidak
-VSO ? ?

Perlu diingat bahwa kesemestaan implikasional tidak


membuat pernyataan apa-apa tentang bahasa yang tidak
VSO. Kemungkinan logis ini boleh jadi atau tidak untuk
dibuktikan. Kesemestaan implikasional tidak secara langsung
mengatakan hal itu. Croft (1990, 1993) seperti dikutip Whaley
(1997:33) menyatakan bahwa keuntungan kesemestaan mutlak
implikasional adalah bahwa kesemestaan tersebut menghapus
satu jenis (tipologi) bahasa yang mungkin. Seperti contoh di
atas tadi, misalnya, keberadaan bahasa VSO yang posposisional
jadi terbuang.
Jenis dan sifat kesemestaan yang sudah dibahas di atas
semuanya merupakan kesemestaan dalam bentuk tunggal
(simple universals). Selain itu, juga ada kemungkinan bahasa-
bahasa mempunyai kesemestaan implikasional ganda (complex
implicational universals). Pada pernyataan ganda, ada dua (atau
lebih) prakondisi, seperti berikut (lihat Whaley, 1997:34):

(5) Kesemestaan Greenberg 5: Jika sebuah bahasa mempunyai tata


urut kata dominan SOV dan genitif mengikuti penguasaan
nomina, maka demikian juga adjektiva mengikuti nomina.

44
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Logika bahasa pada pernyataan (5) adalah: “jika X, maka jika Y,


maka Z”. Pada waktu bersamaan, pernyataan implikasional ganda
boleh jadi lebih kuat atau lebih lemah dari pernyataan tunggal.
Kesemestaan implikasional ganda mempunyai keuntungan
untuk menghilangkan pengecualian – maka mereka sering
kali dapat dinyatakan sebagai pernyataan mutlak. Di sisi lain,
ketika pernyataan itu menjadi mutlak, mereka menghilangkan
proporsi yang lebih kecil dari jenis-jenis bahasa. Cermati logika
kesemestaan berikut (dikutip dari Whaley, 1997:34).

(6) Nomina + Adjektiva Adjektiva + Nomina


SOV
N + Gen ya tidak
Gen + N ? ?
-SOV
N + Gen ? ?
Gen + N ? ?

Tiga parameter pernyataan implikasional ganda di atas


memunculkan delapan jenis bahasa. Kesemestaan itu hanya
menghilangkan satu dari delapan dan menguatkan kemungkinan
keberadaan satu dari delapan itu.
Seperti yang dikemukakan oleh Whaley (1997:34 –
35), karena kesemestaan ganda cenderung menghilangkan
pengecualian, kesemestaan tersebut memperkuat prediksi
tentang hakikat dasar bahasa. Kesemestaan seperti itu
mendukung sifat-perilaku yang mesti benar untuk bahasa
apa saja. Dengan demikian, menempatkan contoh penentang
tunggal perlu untuk menyangkal pernyataan yang dibuat oleh
sebuah kesemestaan mutlak. Sebagai contoh, Whaley (1997)
yang mengutip Campbell, Bubenik, dan Saxon (1988), menunjuk
bahasa Tigre (rumpun bahasa Semitik: Eritrea) untuk menolak
(pernyataan) kesemestaan seperti pada (5) (data diambil oleh
mereka dari Raz, 1983:32, 83, 94).

(7) a. rabbi ‘astar wa medar fatra


tuhan langit dan bumi cipta
‘Tuhan menciptakan langit dan bumi

45
Ketut Artawa & Jufrizal

b. ‘ab la- hesan


father ART-anak lelaki
‘Ayah anak lelaki itu’

c. la- gendab ‘enas


ART-tua orang (lelaki)
‘Lelaki tua’

Data di atas memperlihatkan bahwa bahasa Tigre merupa­kan


bahasa SOV (7a) dan mempunyai urutan nomina-genitif (7b),
tetapi masih mempunyai urutan adjektiva-nomina (7c).
Perihal kesemestaan yang diungkapkan dengan
serangkaian pernyataan mutlak, bersyarat, baik tunggal
maupun ganda, merupakan satuan-konsep penting yang
menjadi dasar penipologian bahasa. Pemahaman tentang
kesemestaan sifat-perilaku gramatikal bahasa-bahasa yang
ditunjuk-kan oleh data ketata bahasaan bahasa yang diteliti
menjadi pengetahuan penting ilmuwan dan peneliti tipologi
linguistik. Kecerdasan pencermatan data dan kemampuan untuk
membuat perbandingan secara lintas bahasa perlu adalah hal
penting lain yang harus dimiliki oleh peneliti dan pembelajar
kajian tipologi linguistik. Rumusan pernyataan-pernyataan
kesemestaan, secara sekilas, boleh dikatakan tidak terlalu sulit.
Akan tetapi, apabila sudah dirhadapkan dengan sekumpulan
data dengan keberagaman yang tinggi, hubungan kealamihan
data dengan perihal kesemestaan memerlukan pencermatan
yang sungguh-sungguh dan ketajaman telaah perbandingan
yang baik. Sebagai gambaran awal, sajian tentang kesemestaan
dalam kajian tipologi linguistik seperti di atas dirasa sudah
cukup. Untuk membentuk dan memperkuat ketajaman telaah
dan kemampuan mengaitkan temuan penelitian dengan data
bahasa lain secara lintas bahasa diperlukan usaha tambahan
melalui banyak membaca dan berdiskusi.

3.2 Kelas Kata
Meskipun kajian tentang kelas kata (word class; part of
speech), secara sekilas, terlihat lebih bersifat kajian morfologis,
pemahaman dan penetapan kelas kata itu sendiri merupakan
bagian dari kajian sintaksis. Hal ini berarti juga bahwa

46
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

kategori (kelas) kata adalah perihal morfosintaksis. Pentingnya


pemahaman dan penetapan kelas kata dalam tipologi linguistik
disebabkan oleh fakta bahwa kelas kata itu merupakan kategori
(ketentuan) kata yang berkenaan dengan serangkaian sifat-
perilaku semantis, morfologis, dan sintaktis. Dalam sejarah
pengkajian kelas kata, linguistik tradisional memperlakukan
kelas kata sebagai inti tata bahasa. Namun, dalam linguistik
mutakhir (modern), klasifikasi kata atau kategori kata hanyalah
dianggap sebagai salah satu aspek tata bahasa, sejajar dengan
aspek-aspek yang harus mendapat perlakuan yang seimbang
bila ingin mendeskripsikan tata bahasa secara memadai (lihat
Lyons, 1987; Kridalaksana, 1994; Whaley, 1997). Dengan
demikian, perihal kelas kata menjadi salah satu bagian penting
dalam kajian tipologi linguistik.
Penetapan kelas kata, pada dasarnya, bukan hal sederhana
karena logika pikir dan budaya berbahasa masyarakat dari
bahasa dan budaya yang berbeda adalah juga berbeda. Selain
itu, asumsi dasar atas fenomena alam dan pemindahannya
ke dalam bahasa dilakukan oleh manusia dengan cara dan
tata alir ketata bahasaan yang relatif berbeda. Sebuah verba
dalam satu bahasa boleh jadi tidak diberlakukan sebagai verba
dalam bahasa yang lain. Ada pula kenyataan bahwa kalimat
(klausa) dalam satu bahasa hanya diungkapkan dalam satu
satunya struktur (dengan struktur tertentu) dalam bahasa
yang lain. Untuk menetapkan kelas kata dalam satu bahasa,
berbagai pendekatan telah dilakukan dan dikembangkan
oleh para ilmuwan filosuf bahasa. Kridalaksana (1994:6–7)
menyatakan bahwa semua pendekatan terhadap kelas kata
dapat digolongkan menjadi: pendekatan tradisional, semesta,
dan deskriptif. Pendekatan tradisional, selain dianut oleh para
ilmuwan bahasa aliran rasionalis abad pertengahan, juga dianut
oleh Chomsky dan para pengikut aliran tata bahasa generatif
transformasional. Pendekatan ini ditandai oleh penerimaan
“tanpa pencadangan” klasifikasi kata sebagaimana diakui oleh
para ahli yang mempergunakan kerangka tata bahasa Yunani-
Latin, tanpa memedulikan ciri-ciri tiap kelas kata. Dalam
pandangan aliran Chomsky, usaha mencari kelas kata hanyalah
bagian dari langkah penemuan yang sifatnya tidak terlalu penting

47
Ketut Artawa & Jufrizal

dalam teori linguistik. Pendekatan aliran semesta (universalism)


merupakan pencarian dan penetapan kelas kata yang digunakan
oleh Jesperson (1924) yang berusaha menghubungkan alam luar
bahasa, khususnya logika, dengan sistem gramatikal, sehingga
diperoleh lima kelas: substantiva, adjektiva, pronomina, verba,
dan partikel, yang bersifat semesta, namun perwujudannya
dalam tiap bahasa berbeda-beda. Lalu, pendekatan aliran
deskriptif yang dipelopori oleh Sapir (1921) beranggapan
bahwa karena tiap bahasa mempunyai kerangka sosial budaya
tersendiri, maka tiap bahasa mempunyai kelas kata tersendiri.
Dalam perkembangannya, pendekatan ini banyak menandai
karya-karya dan kajian linguistik yang mendeskripsikan
bahasa-bahasa bukan Eropa. Kajian ini membuktikan bahwa
kelas kata Yunani-Latin tidak selalu dapat diterapkan secara
lintas bahasa.
Secara praktis-sederhana, penentuan kelas (kategori
leksikal) kata menjadi nomina, verba, adjektiva, adverbia,
preposisi, artikula, partikel, dan lainnya dapat dilakukan
melalui beberapa cara. Pertama, dengan memperhatikan
bentuk-bentuk yang berhubungan dekat dengan satu kata.
Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata fork dan forks, book dan
books, truck dan trucks menunjukkan hubungan dekat yang
menandai nomina melalui pemarkah jamak -s. Kedua ialah
dengan memperhatikan ketentuan (gramatikal) suatu kata
pada kategori apa kata tersebut dapat bergabung menjadi
frasa. Biasanya, artikel, preposisi, adjektiva adalah kategori
(kelas) kata yang mendahului nomina dalam bahasa Inggris.
Dalam bahasa Indonesia, artikel atau adjektiva datang sesudah
nomina, sementara preposisi mendahului nomina. Ketiga,
dengan mencermati makna atau muatan semantis sebuah kata.
Cara lain ini memungkinkan terjadinya perbedaan kelas kata
untuk satu kata dengan makna yang sama dalam bahasa yang
berbeda. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kerangka
sosial budaya dan fitur-fitur semantis kata secara lintas bahasa
adalah berbeda (Finegan, 2004:41 – 42).
Penentuan dan penetapan kelas kata secara lintas bahasa
lebih mungkin dilakukan melalui pendekatan deskriptif dengan
memperhatikan fitur-fitur morfologis, sintaktis, dan semantis

48
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

yang bertaut secara sistematis dalam satu kata dengan fitur sosial
budaya masyarakat penutur satu bahasa. Dengan pendekatan
deskriptif-naturalistis, kelas kata secara lintas bahasa tidak
mutlak sama karena pola pikir dan pemahaman manusia secara
lintas budaya terhadap lingkungannya juga berbeda. Namun
secara semesta, kelas kata utama yang dimiliki oleh bahasa-
bahasa manusia adalah nomina, verba, adjektiva, dan adverbial.
Kelas kata utama ini lazimnya merujuk ke kata (leksikon) utama,
kata yang mempunyai makna leksikal yang kurang lebih tetap.
Kelas kata lain yang umum dikenal dan merujuk ke kata-kata
fungsional atau gramatikal adalah preposisi, konjungsi, artikel,
partikel, numeralia, demonstrativa, kopula, kata bantu verba,
kata tugas, dan lain-lain.
Dengan demikian, tidak semua bahasa mempunyai kelas
kata yang sama. Umpamanya, sejumlah bahasa, seperti bahasa
Yunani kuno, tidak mempunyai kata bantu verba (auxiliary verb).
Bahasa Jepang, di sisi lain, adalah contoh bahasa yang tidak
mengenal preposisi. Dalam beberapa bahasa, misalnya bahasa
Thai (Daic: Thailand), ketika sebuah nomina dijelaskan oleh
numeralia, sebuah kata tambahan yang disebut pengelompok
(classifier) juga dibutuhkan (Whaley, 1997:57 – 58). Berikut
adalah contoh-contohnya (data dari Schachter, 1985 seperti
dikutip oleh Whaley, 1997:58).

(8) a. deg soong khon


anak lelaki dua pengelompok
‘dua (orang) anak lelaki’

b. maa saam tua


anjing tiga pengelompok
‘tiga (ekor) anjing’

c. baan sii lang


rumah empat pengelompok
‘empat (buah) rumah’

Adanya pengelompok (classifier) dalam frasa nominal (yang


menunjukkan jumlah) lazim adanya dalam rumpun bahasa
Melayu seperti bahasa Indonesia dan BM. Berikut ini adalah
contoh-contohnya.

49
Ketut Artawa & Jufrizal

(9) a. empat ikat lidi (Indonesia)


b. enam ekor sapi
c. dua kuntum mawar
d. dua buah pendapat

(10) a. ampek karuang bareh (Minangkabau)


‘empat karung beras’
b. duo incek kacang
‘dua biji kacang’
c. sapuluah piriang sawah
‘sepuluh petak sawah’
d. tigo rumpun lado
‘tiga rumpun cabai’

Sehubungan dengan paparan di atas, jelaslah bahwa pada


dasarnya kelas kata bukanlah butir linguistik yang bersifat
semesta. Namun, dalam kajian linguistik lintas-bahasa, perihal
kelas kata juga melahirkan sejumlah butir kesemestaan bahasa.
Pertama, semua bahasa membedakan antara kelas kata terbuka
dan kelas kata tertutup. Kelas kata terbuka adalah kelas (kategori)
kata yang anggotanya tidak terbatas karena kata-kata baru boleh
bertambah secara terus menerus. Sebagaimana dikemukakan di
atas, kelas kata utama, nomina,verba, adjektiva, dan adverbia,
boleh dikatakan sebagai kelas kata terbuka secara lintas-bahasa.
Sebaliknya, kelas kata tertutup adalah kelas (kategori) kata
yang anggotanya relatif tetap, seperti demonstrativa, preposisi,
konjungsi, kopula, dan yang lainnya (Whaley, 1997:58).
Kesemestaan kelas kata dalam kaitannya dengan kelas
kata terbuka dan tertutup juga bukan bersifat mutlak karena
salah satu kelas kata terbuka dalam satu bahasa boleh jadi
merupakan kelas kata tertutup dalam bahasa lain. Seperti
dijelaskan oleh Whaley (1997:58 – 59), yang mengambil data dari
Dixon (1982), banyak bahasa, seperti bahasa Inggris, mempunyai
adjektiva sebagai kelas kata terbuka, mungkin untuk menerima
tambahan anggota baru. Hal yang sama ada dalam bahasa-
bahasa rumpun Melayu, seperti bahasa Indonesia, BM, dan
sebagian besar bahasa-bahasa daerah di Nusantara. Dalam
beberapa bahasa lain, misalnya bahasa Hausa (bahasa Chadic
barat: Nigeria), adjektivanya hanya berjumlah 12 buah. Berikut

50
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

adalah datanya.

(11) babba ‘besar’


gajere ‘pendek’
sabo ‘baru’
fari ‘putih’
qanqane ‘kecil’
danye ‘segar, mentah, belum masak’
tsofo ‘tua’
qarami ‘kecil’
dogo ‘panjang, tinggi’
mugu ‘buruk’
baqi ‘hitam’
ja ‘merah’

Hal lain yang perlu diketahui dan dicatat adalah kelas


kata antarbahasa dapat bertukar tempat; adjektiva dalam
satu bahasa mesti diungkapkan sebagai verba dalam bahasa
lain. Keadaan seperti ini sangat penting diperhatikan oleh
peneliti dan ilmuwan tipologi lingusitik karena mereka akan
mencermati sifat-perilaku gramatikal bahasa-bahasa secara
lintas bahasa. Mari perhatikan data berikut (data 12a,b adalah
bahasa Manipuri: Tibeto-Burman dari Bhat, 1994; dan data 13a,b
adalah bahasa Quechua: Peru dari Weber, 1983) yang semuanya
dikutip dari Whaley (1997:59 – 60).

(12) a. ey mabu u- de
saya dia-Akusatif lihat-negatif
‘Saya tidak melihatnya’

b. phi edu ngang-de


pakaian itu merah-negatif
‘Pakaian itu tidak merah’

Data di atas memperlihatkan bahwa konsep adjektiva “merah”


pada 12b diperlakukan sama dengan konsep verba “lihat” pada
12a. Ini berarti bahwa konsep adjektiva dalam bahasa Inggris
diungkapkan dengan leksikon verba dalam bahasa Manipuri.
Data 13a,b berikut (bahasa Quechua:Peru) adalah contoh
bahasa yang mengungkapkan konsep adjektivl (dalam bahasa
Inggris) sebagai leksikon nomina.

51
Ketut Artawa & Jufrizal

(13) a. rumi-ta ri- kaa


batu-Akusatif PRO1TG-lihat
‘Saya melihat batu’
b. hatun-ta ri- kaa
besar-Akusatif PRO1TG-lihat
‘Saya melihat yang besar(batu)

Kata hatun ‘besar’ mengambil kasus akusatif dan berfungsi se-


bagai objek langsung pada (13b), yang jelas tidak berbeda per-
lakuannya dengan nomina rumi ‘batu’ pada (13a). Selain itu, ada
pula bahasa yang membagi kelas kata adjektiva menjadi nomina
atau verba. Seperti dikemukakan oleh Dixon (dalam Whaley,
1997:60), dalam bahasa-bahasa demikian, konsep adjektiva ter-
tentu yang berhubungan dengan sifat-perilaku fisik, seperti ga-
gah, tampan, cantik, tinggi, semampai, dan sebagainya diungkap-
kan sebagai verba. Sementara itu, konsep adjektiva yang berke-
naan dengan mutu kemanusiaan, seperti bahagia, dengki, gembira,
cemburu, dan sebagainya diungkapkan sebagai nomina.
Adanya kesemestaan dan ketidaksemestaan mutlak
sehubungan dengan kelas kata secara lintas bahasa merupakan
kategori dasar penting yang mesti menjadi perhatian ilmuwan
dan peneliti tipologi linguistik, khususnya tipologi gramatikal,
dalam penipologian bahasa-bahasa. Percermatan lintas bahasa
menunjukkan bahwa penentuan kelas kata dalam satu bahasa
dan secara lintas bahasa harus melibatkan tataran morfologi,
sintaksis, semantik, dan bahkan tataran wacana. Masing-
masing tataran ini mempunyai kekuatan dan kiat gramatikal
tersendiri atau secara bersama-sama untuk membangun kelas
kata dalam satu bahasa. Oleh karena itu, jalan yang paling baik
untuk menentukan kelas kata ialah menggabungkan tataran
tersebut secara sistematis sehingga kelas kata sebuah leksikon
(kata) dalam satu bahasa dapat bersesuaian dengan kealamian
bahasa yang bersangkutan. Kaidah kealamian data ini menjadi
butir penting dalam kajian tipologi linguistik.

3.3 Peran-Peran Semantis


Peran-peran semantis merupakan kategori makna
yang diungkapkan oleh sebuah predikasi (klausa) dan unsur-

52
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

unsurnya yang dicermati pada tataran sintaksis. Pentingnya


pemahaman dan telaah peran-peran semantis dalam tipologi
linguististik karena klausa adalah tataran (sintaksis) terkecil
dalam satu bahasa yang mengungkapkan makna lengkap. Dalam
sintaksis, kajian kalimat dimulai dari telaah kalimat tunggal
yang terdiri atas satu satuan predikasi (satu subjek dan satu
predikat, dengan ada atau tidak ada objek). Dalam linguistik,
sebutan klausa dan kalimat tunggal adalah sama dari sisi
unsur-unsur gramatikal bentukannya. Oleh sebab itu, sebutan
klausa tanpa ada tambahan istilah lain, seperti sebutan, klausa
majemuk, klausa kompleks, klausa induk, klausa sematan, dan
sebagainya, adalah sama dengan kalimat (utuh) tunggal. Klausa
adalah unit dasar struktur gramatikal yang mengungkapkan
makna lengkap (lihat Elson dan Pickett, 1983; Jufrizal, 2012).
Selain itu, peran-peran semantis juga dikaitkan dengan
adanya batasan klausa tunggal (kalimat) yang didasarkan pada
kategori (satuan) semantis. Secara lintas bahasa (lihat lebih jauh
Elson Pickett, 1983:61 – 62; van Valin, Jr. dan Lapolla, 2002),
kalimat dapat dipandang dalam pengertian sebagai satuan
semantis, satuan fonologis, atau gramatikal. Secara semantis,
klausa (kalimat tunggal) adalah proposisi atau predikasi yang
terdiri atas sejenis topik dan komen tentang topik itu. Dalam
banyak bahasa, topik berfungsi sebagai subjek gramatikal dari
klausa yang bersangkutan dan komen adalah predikatnya.
Berkenaan dengan itu, batasan tradisional tentang kalimat
secara semantis adalah konstruksi yang megungkapkan pikiran
lengkap, dan secara gramatikal adalah konstruksi yang terdiri
atas subjek – predikat.
Sebagai satuan fonologis, kalimat ditandai oleh adanya
intonasi atau rentang-nada (contour) akhir; intonasi nada suara
yang dipahami sebagai penanda “selesai”nya sebuah konstruksi
ujaran utuh. Dalam bahasa tulis kalimat ditandai secara mekanis
dengan tanda titik. Lazimnya, penutur dan masyarakat bahasa
menandai fitur-fitur suprasegmental secara alami sebagai
intonasi akhir yang menandai sebuah kalimat tunggal. Lalu,
kalimat sebagai satuan gramatikal dipahami sebagai konstruksi
yang terdiri atas, sekurang-kuragnya, subjek dan predikat, satuan
yang merupakan predikasi. Dalam kajian tipologi gramatikal,

53
Ketut Artawa & Jufrizal

pengertian kalimat sebagai satuan gramatikal ini adalah batasan


yang menjadi acuan utama, meskipun dukungan dari batasan
semantis dan fonologis tidak boleh pula diabaikan, terutama
untuk bahasa-bahasa yang sifat-perilaku gramatikalnya sangat
berdekatan dengan tataran semantik dan fonologi itu.
Sebagian ilmuwan bahasa menggunakan istilah peran
gramatikal (grammatical roles) untuk maksud yang sama dengan
peran semantis (semantic roles), sebagai pasangan dari relasi
gramatikal (grammatical relations) (lihat misalnya Palmer, 1994).
Menurut Palmer (1994:8), istilah agen dan pasien merupakan
peran gramatikal penting dalam kajian tipologi linguistik. Agen
dan pasien membentuk dasar perbedaan antara kalimat transitif
dan intransitif, yang dalam hal ini, agen dan pasien mesti ada
dalam klausa transitif, sementra pada klausa intransitif hanya
ada satu argumen inti, yaitu kategori subjek gramatikal. Peran
semantis agen dan pasien juga penting dalam perbedaan antara
sistem ergatif – akusatif, aktif – pasif, ergatif – antipasif. Hal
ini berarti bahwa peran semantis agen dan pasien berkenaan
dengan perihal semantik yang terkandung dalam konstruksi
klausa dasar suatu bahasa.
Berikut adalah serangkaian klausa dasar bahasa Indonesia
yang mengandung peran semantis agen dan pasien.

(14) a. Ibu tua itu pergi ke pasar pagi-pagi sekali.


b. Pedagang pasar sering membuang sampah sembarangan.
c. Sampah sering dibuang oleh pedagang pasar sembarangan.
d. Petugas pemerintah menurunkan gambar partai secara paksa hari itu.

Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa (14a) adalah klausa


intransitif dengan satu-satunya argumen, yaitu frasa nominal
ibu tua it, yang juga berperan sebagai subjek gramatikal dan
agen. Klausa (14b) adalah klausa transitif berdiatesis aktif
dengan dua argumen, yaitu pedagang, yang merupakan subjek
gramatikal dan secara semantis adalah agen, dan sampah
sebagai objek gramatikal yang berperan sebagai pasien. Klausa
(14c) adalah klausa intransitif turunan yang berasal dari (14b)
melalui kaidah pemasifan; frasa nominal sampah adalah subjek
gramatikal dengan peran semantis pasien, sementara pedagang
pasar yang secara semantis adalah agen, tetapi dia bukan lagi

54
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

berkedudukan sebagai relasi gramatikal intii. Frasa nomina


pedagang pasar pada (14c) yang sudah dimarkahi oleh preposisi
di mengalami penurunan relasi gramatikal dan mempunyai
peran semantis yang secara umum disebut relasi oblik (oblique).
Selanjutnya, klausa (14d) adalah jenis klausa yang secara
semantis dikenal sebagai konstruksi kausatif. Pada klausa ini,
petugas pemerintah adalah agen dan gambar partai merupakan
pasien. Konstruksi kausatif ditunjukkan oleh adanya sufiks –kan
pada verbanya.
Kalimat sering kali mengandung frasa nominal dengan
aneka peran semantis dalam satu konstruksi. Pada kalimat:
“Kemaren sore, kakak membuat kue besar untuk ulang tahun kakek”,
frasa nominal kemarin sore mempunyai peran semantis sebagai
temporal, kakak adalah agen, kue besar adalah pasien, dan ulang
tahun kakek adalah tujuan. Selain agen dan pasien, berikut adalah
sejumlah peran semantis lain yang perlu diketahui dalam kajian
tipologi gramatikal (Whaley, 1997:65; lihat juga Elson dan
Pickett, 1983; Finegan, 2004).

(15) Agen : wujud (sesuatu) yang menyebabkan tindakan


: Orang itu memasak nasi.
Benefaktif : sesuatu yang menerima manfaat (keuntungan)
: Kue ini dibuat untuk adik bungsu kami.
Komitatif : sesuatu yang mengungkapkan kepengikutan
: Dia selalu berjalan sore hari dengan kursi rodanya.
Pemengalam: penerima ransangan kognitif
: Saya takut akan angin kencang.
Tujuan : titik akhir perpindahan (gerakan perbuatan)
: Ibu baru saja sampai di pasar tumpah pukul 8 pagi tadi.
Lokatif : titik dalam ruang (tempat)
: Pak Lurah tinggal di Kampung Batu.
Pasien : wujud (sesuatu) yang dipengaruhi oleh tindakan
: Orang kampung membakar pondok maksiat itu.
Maksud : alasan untuk melakukan tindakan
: Orang tua itu mengumpulkan plastik bekas untuk
hidup.
Penerima : wujud (sesuatu) yang menerima sesuatu (objek)
: Rakyat menyumbang harta untuk keuangan Negara.
Sumber : asal gerakan
: Orang itu masuk dari pintu samping.
Temporal : titik waktu
: Kami meninggalkan kota itu pukul tujuh pagi

55
Ketut Artawa & Jufrizal

Tema : sesuatu (objek) yang bergerak


: Pemerintah mengirim makanan cepat saji ke
pedalaman.

Sebenarnya, daftar peran semantis di atas hanyalah


untuk memenuhi pengertian jenis-jensis peran semantis yang
umumnya dipakai oleh ilmuwan bahasa. Akan tetapi, daftar
tersebut boleh jadi belum mewakili semua peran semantis yang
dimiliki oleh bahasa manusia secara lintas bahasa. Artinya,
ada kemungkinan bahwa daftar peran semantis di atas belum
cukup untuk satu atau beberapa bahasa, namun ada pula
kemungkinan “berlebih” bahasa yang lain. Boleh jadi daftar
di atas malahan tidak selalu cocok untuk beberapa bahasa dan
memerlukan sebutan peran semantis yang lain. Yang penting
dipahami adalah bahwa peran-peran semantis adalah muatan
semantis yang dikemas oleh klausa dan unsur-unsurnya.
Pencermatan peran-peran semantis secara gramatikal menjadi
bagian penting dalam kajian tipologi linguistik, khususnya
tipologi gramatikal.
Comrie (1989:59) menegaskan bahwa yang penting
dipahami terkait dengan peran-peran semantis agen, pasien,
daya, alat, sumber atau yang lain adalah semuanya bukanlah
peran semantis yang terpisah-pisah. Peran-peran semantis
adalah hal yang lebih tepat dianggap sebagai sifat-perilaku yang
saling berkelanjutan dan berhubungan, bukan bersifat terpisah.
Hal ini berarti bahwa satu peran semantis dari satu unsur klausa
ditentukan dan diperkuat oleh peran semantis lain. Selain itu,
peran semantis juga dipengaruhi oleh budaya berbahasa dan
fungsi-fungsi komunikatif bahasa itu sendiri.

3.4 Relasi-Relasi Gramatikal
Whaley (1997:67) menjelaskan bahwa relasi-relasi grama-
tikal adalah peran-peran fungsional pada klausa, yang meliputi
subjek, objek langsung (OL) dan objek tak langsung (OTL), yang
ditunjukkan oleh pemarkah morfologis dan sintaktis (lihat juga
van Valin, Jr., 2004; Artawa, 2004; Jufrizal, 2012). Relasi-relasi
gramatikal diperlihatkan dalam bahasa oleh kelompok sifat-
perilaku yang dikaitkan dengan (frasa) nomina yang tidak se-
cara langsung dapat dihubungkan dengan peran semantis (fra-

56
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

sa) nomina itu. Dalam bahasa Inggris, misalnya, nomina yang


membawa banyak peran semantis yang berbeda-beda dapat
berkedudukan sebagai subjek klausa; agen, seperti pada John
bought the tickets; pasien, seperti pada The tickets were bought by
John, penerima, seperti pada John was sent an anonymous letter,
dan sebagainya. Dengan kata lain, tujuan utama relasi-relasi
gramatikal adalah untuk “menetralkan” perbedaan-perbedaan
peran semantis untuk tujuan-tujuan morfologi dan sintaksis.
Sebagaimana sudah diketahui, kajian linguistik tradisional
membagi klausa atas subjek (apa yang dibicarakan) dan predikat
(apa yang terjadi tentang sesuatu). Pendapat yang lebih mutakhir
tentang pembagian klausa ini adalah bahwa klausa merupakan
konstruksi predikasi, konstruksi yang terdiri atas predikator
dengan satu argumen atau lebih. Dengan demikian, kalimat
tunggal (klausa) dirumuskan sebagai “argumen – predikator
– argumen”. Dalam kajian tipologi, ada dua asumsi dasar
tentang kalimat, yakni (i) konsep struktur predikator dapat
diperlakukan untuk semua bahasa; dan (ii) kedua argumen itu
berbeda dalam hal hubungan semantisnya dengan predikator,
dan keduanya juga berbeda satu sama lain melalui pemarkah
gramatikal. Struktur klausa yang mempunyai dua argumen,
salah satunya diidentifikasi sebagai agen (pelaku) dan yang lain
sebagai pasien (penderita). Agen dan pasien yang dimarkahi oleh
fitur-fitur gramatikal dalam suatu bahasa merupakan apa yang
disebut peran gramatikal. Sementara itu, seperti dikemukakan
di atas, relasi gramatikal meliputi subjek, objek, dan sebagainya.
Agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang paling
penting dalam kajian tipologi. Tiga peran gramatikal lain yang
mengikuti agen dan pasien adalah benefisiari, instrumental, dan
lokatif (Palmer, 1994: 2-3, 6-20; Jufrizal, 2012).
Pengertian relasi-relasi gramatikal yang dikemukakan
oleh Comrie (1983:59) dan Blake (1990:1) juga senada dengan apa
yang dikemukakan di atas. Relasi-relasi gramatikal memegang
peranan penting dalam sintaksis bahasa alamiah. Relasi
gramatikal itu adalah subjek (S), objek langsung (OL), dan objek tak
langsung (OTL). Dalam Tata Bahasa Relasional, relasi gramatikal
itu adalah S, OL, OTL, dan relasi oblik (OBL). Relasi gramatikal
S, OL, dan OTL merupakan relasi gramatikal sintaksis murni,

57
Ketut Artawa & Jufrizal

sedangkan relasi OBL adalah relasi yang bersifat semantis (relasi


semantis pada tataran sintaksis). Relasi oblik yang bersifat
semantis tersebut adalah lokatif, benefaktif, dan instrumental (lihat
juga Artawa, 2004; Jufrizal, 2007; Jufrizal, 2012).
Pengertian dasar relasi gramatikal yang meliputi S, OL,
dan OTL boleh dihubungkan dengan argumen klausa, yaitu
unsur kelengkapan klausa selain predikatnya. Dengan kata lain,
sebutan relasi gramatikal S, OL, dan OTL secara keseluruhan
adalah argumen klausa yang secara gramatikal tersusun
demikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh sifat-perilaku
semantis verba (predikat)-nya. Hal ini juga berarti bahwa relasi-
relasi gramatikal ditentukan kehadirannya oleh predikat klausa
yang secara bersamaan juga memuat peran-peran semantis
tertentu. Dengan demikian, sebutan subjek dan objek adalah
fungsi-fungsi gramatikal dalam klausa, sementara sebutan agen,
pasien, penerima dan yang lain adalah istilah peran semantis.
Peran semantis dan relasi gramatikal adalah dua hal yang
berbeda, namun mempunyai kaitan erat dalam kajian sintaksis,
termasuk dalam kajian tipologi gramatikal.
Relasi-relasi gramatikal dimarkahi dengan cara yang
berbeda-beda dari satu bahasa ke bahasa lain; masing-masing
bahasa mempunyai cara-cara tertentu untuk memarkahi relasi-
relasi gramatikalnya. Bahasa Inggris, misalnya, menempatkan
relasi subjek sebagai argumen praverbal dan memicu
persesuaian verba (verb agreement). Jika subjek sebuah klausa
adalah pronomina, maka pronomina itu berkasus nominatif
(he, they, she, atau we), bukan berkasus objektif (him, them, her,
atau us). Lebih jauh lagi, jika dua kalimat digabung dengan and
‘dan’, subjek (dan bukan relasi lainnya) kedua bisa dilesapkan;
umpamanya – “Mary saw John, and then kissed him” adalah
konstruksi gramatikal, sedangkan “Mary saw John, and then she
kissed” merupakan konstruksi tidak gramatikal. Selain itu, ada
lagi sejumlah sifat-perilaku gramatikal dan semantis lain yang
berlaku pada relasi-relasi gramatikal S, OL, dan OTL bahasa
Inggris yang menjadikannya sama atau berbeda dengan bahasa-
bahasa lain secara lintas bahasa.
Bahasa-bahasa lain di dunia mempunyai sifat-
perilaku gramatikal dan kerangka sintaktis beragam dalam

58
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

memperlakukan relasi-relasi gramatikalnya. Bahasa Inggris


adalah bahasa yang dapat merelatifkan secara langsung relasi S,
seperti The man who I saw is her brother; dan O, seperti I called the
man whom she met last week. Dalam bahasa Malagasi (salah satu
bahasa rumpun Austronesia), misalnya, hanya relasi gramatikal
(S)ubjek saja yang dapat direlatifkan secara langsung, seperti
diperlihatkan oleh contoh berikut (data dari Keenan dan Comrie,
seperti dalam Whaley, 1997:68).

(16) ny mpianatra [izay nahita ny vehivavy]…


ART siswa yang melihat ART wanita
‘siswa yang melihat wanita itu…’

Artawa (2004:23) juga menyatakan bahwa bahasa Bali


(BB) termasuk bahasa yang hanya dapat merelatifkan subjek.
Klausa relatif dalam BB ditandai oleh partikel ane/sane ‘yang’
yang secara gramatikal berperan sebagai pronomina relatif.
Lihat contoh berikut!

(17) a. I Warta maca koran.


ART Warta AKT-baca surat kabar
‘I Warta membaca surat kabar’

b. I Warta [ane maca koran] timpal-ne.


ART Warta[ REL AKT-baca surat kabar] POS3TG
‘I Warta yang membaca surat kabar itu temannya’

c. *Koran [ane I Warta maca] koran tiang-e.


surat kabar [REL ART Warta AKT-baca] surat kabar-POS1TG
‘Surat kabar yang I Wayan (mem)-baca adalah suratkabarku’

Pada (17a), frasa nominal I Warta adalah frasa nominal


praverbal, yang juga adalah subjek yang berperan semantis agen,
dan koran adalah frasa nominal pascaverbal yang merupakan
objek berperan semantis pasien. Perelatifan subjek-agen pada
(17b) dengan verba bermarkah aktif adalah konstruksi yang
berterima secara gramatikal. Sementara itu, perelatifan secara
langsung objek-pasien seperti pada (17c) adalah konstruksi
yang tidak berterima secara gramatikal.
BM (BM) seperti dinyatakan oleh Jufrizal (2004, 2007,
2012) adalah satu bahasa daerah di Indonesia yang hanya juga

59
Ketut Artawa & Jufrizal

bisa merelatifkan subjek secara langsung, sebagaimana halnya


bahasa Malagasi dan BB. Klausa relatif BM dimarkahi oleh
kata hubung (penanda relatif) nan ‘yang’. Mari dimulai dengan
memperhatikan sajian contoh-contoh kalimat transitif dengan
verba tak-bermarkah berikut.

(18) a. Kuciang makan nasi kunik.


kucing makan nasi kunyit
‘Kucing makan nasi kunyit’

b. Kuciang [nan makan nasi kunik] gapuak.


kucing [REL makan nasi kunik] gemuk
‘Kucing yang makan nasi kunyit gemuk’

c. Nasi kunik [nan kuciang makan] lamak.


nasi kunyit [REL kucing makan] enak
‘Nasi kunyit yang kucing makan enak’

Berdasarkan contoh (18a,b,c), BM dapat merelatifkan FN


praverbal (subjek) dan FN posverbal (objek). Pada klausa (18a),
FN praverbal kuciang dan FN posverbal nasi kunik sama-sama
dapat direlatifkan, seperti dapat dilihat pada (18b,c).
Verba makan merupakan verba transitif yang boleh muncul
tanpa prefiks nasal dalam BM (ada sejumlah kecil verba dalam
BM seperti ini). Seluruh verba transitif yang berperilaku seperti
ini dapat pula mengambil pemarkah prefiks nasal. Dengan
demikian, bentuk Kuciang ma-makan nasi kunik (dengan verba
ma-makan) dapat dikatakan sebagai bentuk yang lebih berterima
sebagai klausa dasar BM. Berkenaan dengan hal ini, bentuk
klausa relatif * Nasi kunik nan kuciang ma-makan lamak tidak
berterima secara gramatikal. Hal ini berarti bahwa BM tidak
dapat merelatifkan objek secara langsung (merelatifkan objek
tanpa penurunan diatesis; pemasifan atau penopikalan; BM
hanya dapat merelatifkan relasi subjek secara langsung apabila
konstruksi klausa dasarnya bermarkah verba aktif (prefiks
ma-). Untuk mengetahui lebih jauh keberterimaan perelatifan
secara gramatikal dalam BM pada klausa transitif dengan verba
berafiks (nasal), perhatikan contoh-contoh berikut (data dari
Jufrizal, 2004, 2007, 2012).

60
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(19) a. Pudin mam-bao lapiak.


Pudin AKT-bawa tikar
‘Pudin membawa tikar’

b. Pudin [nan mam-bao lapiak] dunsanak kami.


Pudin [REL AKT-bawa tikar] keluarga POS1JM
‘Pudin yang membawa tikar keluarga kami’

c. *Lapiak [nan Pudin mam-bao] rancak.


tikar [REL Pudin AKT-bawa] bagus
‘Tikar yang Pudin membawa bagus’

(20) a. Adiak man-cari anak itiak.


adik AKT-cari anak itik
‘Adik mencari anak itik’

b. Adiak [nan man-cari anak itiak] cadiak.


adik [REL AKT-cari anak itik] cerdik
‘Adik yang mencari anak itik cerdik’

c. *Anak itiak [nan adiak man-cari] putiah.


anak itik [REL adik AKT-cari ] putih
‘Anak itik yang adik mencari putih’

Serangkaian contoh di atas menunjukkan bahwa klausa


transitif BM dengan verba berafiks-nasal dapat merelatifkan
FN praverbal (subjek) (lihat 19b dan 20b). Akan tetapi,
apabila prefiks-nasal pada verba dipertahankan, perelatifan
FN posverbal, seperti (19c dan 20c), tidak berterima secara
gramatikal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa BM termasuk
bahasa yang tidak dapat merelatifkan objek secara langsung.
Selanjutnya, telaahan tentang perelatifan dalam BM pada
kalimat intransitif dapat diperhatikan melalui contoh-contoh
berikut.

(21) a. Paja tu lalok.


anak-ART tidur
‘Anak itu tidur’

b. Paja [nan lalok] tu latiah bana.


anak [REL tidur] ART letih benar
‘Anak yang tidur itu sangat letih’

61
Ketut Artawa & Jufrizal

(22) a. Anak-nyo ma- ratok.


anak-POS3TG AKT-ratap
‘Anaknya meratap’

b. Anak-nyo [nan ma- ratok] manjo.


anak-POS3TG [REL AKT-ratap] manja
‘Anaknya yang meratap manja’

Contoh (21b) dan (22b) memperlihatkan bahwa FN prav-


erbal (subjek) yang merupakan argumen satu-satunya (berper-
an sebagai agen) dapat direlatifkan secara langsung. Perelatifan
subjek-agen tersebut berterima, baik pada klausa intransitif
dengan verba berafiks maupun dengan verba tanpa afiks.
Kesemestaan relasi gramatikal S, OL, OTL masih menjadi
perdebatan di kalangan ahli dan peneliti tipologi gramatikal.
Sebagian ahli berpendapat bahwa relasi-relasi gramatikal itu
adalah semesta (universal), tetapi ada pula yang menyatakan
bahwa relasi gramatikal bukan hal yang besifat semesta.
Whaley (1997:68) menjelaskan bahwa status kesemestaan relasi
gramatikal dipertanyakan dalam dua hal. Pertama, rangkaian
khusus relasi-relasi gramatikal yang ditemukan dalam bahasa-
bahasa di dunia masih diperdebatkan, di antaranya mengenai
batasan subjek secara lintas bahasa. Kedua, sebagian ilmuwan
bahasa mempertanyakan apakah relasi-relasi gramatikal itu
ada dalam semua bahasa, atau apakah ada bahasa tertentu yang
tidak menerima konsep-konsep relasi gramatikal itu dalam
konstruksi klausa (atau kalimat)-nya.

3.5 Satuan Sintaktis-Semantis Dasar Semesta dan Aliansi


Gramatikal
Dalam kajian tipologi linguistik, khususnya tipologi
gramatikal, ilmuwan tipologis menggunakan satuan-satuan
dasar (primitives) sintaktis-semantis yang bersifat semesta
(universal) untuk tujuan penipologian berdasarkan sistem aliansi
gramatikal antara klausa intransitif dan klausa transitif. Satuan-
satuan dasar sintaktis-semantis semesta (universal syntactic-
62
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

semantic primitives) yang dikemukakan oleh Dixon (1994) adalah


di antara sistem-simbolis yang banyak diacu dalam tipologi
linguistik, khususnya mengenai pivot dan konsep lain yang
terkait dengannya. Menurut Dixon (1994:111), kebingungan
yang berkenaan dengan penentuan subjek dalam bahasa
ergatif, secara mendasar, disebabkan oleh kenyataan bahwa
teori linguistik dikembangkan dari bahasa-bahasa yang dikenal
di Eropa. Bahasa-bahasa tersebut mempunyai ciri-ciri akusatif
pada tiap tataran. Jika demikian, tentu saja perlakuan bahasa-
bahasa dari rumpun bahasa bukan Eropa “cenderung digiring”
untuk sama dengan sifat-perilaku bahasa-bahasa nominatif-
akusatif. Perlakuan seperti itu “merusak” kealamian sifat-
perilaku gramatikal bahasa-bahasa tertentu yang mempunyai
tipologi berbeda dari bahasa-bahasa akusatif tersebut.
Dixon (1994) juga mencatat bahwa untuk bahasa-bahasa
jenis itu, sifat-perilaku semantis dan gramatikal tertentu adalah
sama untuk memberikan definisi dua-sisi tentang subjek dalam
pengertian bahwa subjek kalimat adalah argumen FN yang
merujuk ke ‘agen’ yang memprakarsai dan mengontrol kegiatan;
FN subjek biasanya wajib dalam sebuah kalimat; menerima
kasus tidak bermarkah; dapat dirujuk-silangkan dengan verba,
dan secara gramatikal merupakan poros/sumbu (pivot) untuk
pemberlakuan pemajemukan koordinatif dan subordinatif.
Sebagaimana telah dimaklumi, pasien pada konstruksi ergatif
(dalam bahasa ergatif secara sintaktis), bukan agen, mempunyai
sifat-perilaku subjek. Dengan demikian, pada bahasa ergatif,
sifat-perilaku semantis dan gramatikal subjek tidak tepat sama
(lihat juga Artawa, 2002:22; Jufrizal, 2012).
Dixon (1994:6 - 8) mencanangkan suatu sistem deskripsi
gramatikal yang dapat digunakan untuk menggambarkan
fenomena gramatikal dalam setiap bahasa, apapun jenis
(tipologi)-nya. Daripada menggunakan istilah ‘subjek’ dan
‘objek’, Dixon lebih memilih untuk mengemukakan satuan-
satuan dasar (primitives) sintaktis pra-teoretis berikut:

63
Ketut Artawa & Jufrizal

S : subjek intransitif
A : subjek transitif
O : objek transitif

Dixon menegaskan bahwa A, S, dan O merupakan kategori


inti semesta dan dia membatasi pengertian “subjek” sebagai
kategori semesta dalam pengertian satuan-satuan dasar sintaktis
tersebut. Dalam sistem ini, A dan S dikelompokkan bersama
sebagai “subjek” (lihat Dixon, 1994:111 - 142). Hal ini sejalan
dengan pendapat Dixon bahwa setiap usaha untuk menyusun
kesemestaan tipologis yang benar mesti didasarkan secara
semantis. Jadi, pengertian “subjek” paling cocok dipahami
sebagai kategori semesta jika dipandang dari sudut semantis.
Meskipun demikian, Artawa (1998:132) berpendapat
bahwa dalam memahami relasi S, A, dan O, mesti dicatat
bahwa S secara semantis tidak selalu agen. Hal itu disebabkan
oleh sifat-perilaku verba intransitif yang secara umum terbagi
menjadi dua kategori, yaitu verba intransitif yang menghendaki
S mirip-agen dan yang menghendaki S mirip-pasien. Ahli lain
seperti Comrie (1981,1989), misalnya, tidak menggunakan
simbol O untuk merujuk ke objek transitif. Sebagai gantinya,
Comrie menggunakan P. Berkaitan dengan simbol O (Dixon)
dan P (Comrie), Artawa (1998:132 - 133) dan Artawa (2002:23))
berpendapat bahwa ada pelengkap pasien P (O menurut Dixon)
pada konstruksi transitif berperilaku seperti subjek gramatikal
sehingga agak kurang tepat jika disebut objek. Comrie pun
berpendapat bahwa dalam bahasa ergatif, P mempunyai
perilaku subjek, bukan A. Berkenaan dengan ini, dalam buku
ini digunakan istilah P untuk merujuk ke objek transitif, yang
oleh Dixon dilambangkan dengan O. Dengan demikian, satuan-
satuan dasar sintaktis pra-teoretis dalam buku ini lebih memilih
pelambangan berikut:

S : subjek intransitif
A : subjek transitif
P : objek transitif

Sehubungan dengan sifat-perilaku subjek, ada sedikit


perbedaan antara subjek menurut Dixon dan subjek menurut
Comrie. Relasi gramatikal subjek yang diusulkan oleh Comrie
64
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

untuk bahasa ergatif secara sintaktis berbeda dari pengertian


subjek oleh Dixon untuk bahasa yang sama. Subjek menurut
Comrie dapat dikatakan sebagai “subjek permukaan”/ ‘subjek
lahir” atau “subjek gramatikal” dalam bahasa-bahasa ergatif
secara sintaktis (S/P – absolutif). Sementara itu, menurut Dixon,
subjek itu adalah “subjek dalam”/ “subjek batin” (S/A), yang
hanya berlaku pada struktur dasar. Istilah subjek gramatikal
dapat dibandingkan dengan istilah ‘pivot’ yang dikemukakan
oleh Dixon. Batasan subjek menurut Dixon juga mempunyai
beberapa masalah jika dihubungkan dengan P – subjek dalam
bahasa ergatif secara sintaktis (lihat Artawa, 2002, 2004; Jufrizal,
2012).
Sehubungan dengan pivot, Artawa (1998:132-133) me­
nyebutkan bahwa istilah pivot diperkenalkan oleh Health
(1975). Untuk mendeskripsikan penentuan saling rujuk dalam
kalimat kompleks, Health memakai dua istilah: pengontrol dan
pivot. FN pengontrol adalah FN pada klausa yang lebih tinggi,
sementara pivot adalah FN pada klausa yang lebih rendah.
Meskipun dia tidak mendefinisikan pivot, Health menganggap
bahwa FN dalam kasus nominatif dalam sebuah klausa, seperti
dalam bahasa Inggris, adalah pivot. Foley dan van Valin
(1984:110) mendefinisikan pivot sebagai semua jenis FN yang
kepadanya proses gramatikal utama dikaitkan (sensitive), baik
sebagai pengontrol maupun sebagai target. Foley dan van Valin
mengatakan bahwa subjek merupakan FN pivot dalam bahasa
Inggris, sementara objek adalah FN pivot dalam bahasa Dyirbal.
Definisi lain tentang pivot diberikan oleh Palmer (1994:242).
Menurutnya, pivot adalah relasi yang dengannya relasi lain
berujuk-silang atau saling merujuk (co-referential) dan terlibat
dalam kaidah-kaidah sintaktis untuk koordinasi, subordinasi,
pemerlengkap, perelatifan, dan sebagainya (lihat juga Artawa,
2004; Jufrizal, 2012).
Dixon (1979), seperti dikutip oleh Artawa (2004) dan Jufrizal
(2012), menegaskan bahwa penting untuk membedakan antara
‘subjek’ dengan ‘pivot’. Menurutnya, ‘subjek’ adalah kategori
semesta, terbatas pada kriteria sintaktis-semantis. Semeantara
itu, ‘pivot’ adalah kategori khusus bahasa yang benar-benar
sintaktis pada hakikat-semantis dan aplikasi-gramatikal. Subjek

65
Ketut Artawa & Jufrizal

hanya berlaku pada struktur dalam, sementara pivot merujuk


ke fungsi-fungsi turunan. Namun, Dixon mencatat bahwa jika
sebuah bahasa mempunyai pivot sintaktis, yang benar-benar
S/A, ada keinginan untuk menggunakan hanya satu istilah,
yaitu apakah subjek atau pivot. Akan tetapi, apabila sebuah
bahasa mempunyai S/P pivot, kedua istilah (subjek dan pivot)
tersebut mesti dipertahankan.
Lebih jauh, Dixon (1994:154) menjelaskan bahwa pada
dasarnya ada dua variasi pivot (beberapa bahasa hanya
menunjukkan satu jenis, yang lainnya merupakan campuran
dari keduanya), yaitu:
(i) pivot S/A – FN yang berujuk-silang mesti pada fungsi
S atau A turunan pada masing-masing klausa yang
digabungkan;
(ii) pivot S/P – FN yang berujuk-silang mesti pada fungsi
S atau P turunan pada masing-masing klausa yang
digabungkan.

Untuk kemungkinan penggabungan klausa, bahasa Inggris


tercatat sebagai bahasa yang bekerja menurut pengertian pivot
S/A, sementara bahasa Dyirbal bekerja dengan pivot S/P.
Untuk penipologian bahasa(-bahasa) secara lintas
bahasa pada tataran gramatikal (morfosintaksis) diperlukan
pencermatan data dan penelaahan mendalam atas sifat-perilaku
gramatikal suatu bahasa pada klausa dan kalimat, baik intransitif
maupun transitif. Hal ini disebabkan oleh adanya temuan ciri-
ciri bahasa yang bercampur antara tipologi ergatif-absolutif dan
nominatif-akusatif. Pada tataran sintaksis, membuat keputusan
apakah sebuah bahasa memperlihat ciri ergatif (P diperlakukan
sama dengan S secara sintaktis) atau memperlihatkan ciri sebagai
bahasa akusatif (A diperlakukan sama dengan S secara sintaktis)
mengharuskan pengkaji mempertimbangkan dan memeriksa
perilaku gramatikal beberapa jenis konstruksi sintaktis yang
berbeda-beda dan beragam (Artawa, 1998:133).
Sistem aliansi gramatikal (grammatical alignment) oleh
sebagian ahli disebut sebagai sistem pengelompokan S, A,
dan P (lihat Payne, 2002). Sistem aliansi gramatikal atau
pengelompokan satuan-satuan dasar semantis-gramatikal (S,
A, dan P) bekenaan dengan persekutuan satuan-satuan tersebut

66
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

pada klausa intransitif dengan klausa transitif. Berdasarkan


kajian data lintas bahasa, bahasa-bahasa manusia dapat
mengatur sistem relasi gramatikal dalam membentuk aliansi
gramatikalnya dengan dua cara utama, yaitu S = A, ≠ P dan S =
P, ≠ A. Namun, analogi-logis atas data kebahasaan yang ada, ada
lima kemungkinan sistem pengelompokan satuan-satuan dasar
semantis-gramatikal tersebut. Kelima sistem pengelompokan
tersebut dapat digambarkan sebagai bagan berikut:

Bagan 1: Sistem Aliansi Gramatikal Bahasa-Bahasa di Dunia

(a) S (b) S (c) S

A P A P A P

(d) S (e) S

A P A P

Sistem aliansi gramatikal seperti digambarkan pada (a),


yaitu S = A, ≠ P, dan (b), yaitu S = P, ≠ A adalah sistem yang
paling banyak dijumpai secara lintas bahasa. Smentaraitu,
sistem aliansi gramatikal seperti digambarkan pada (c), yaitu S
≠ A ≠ P dan (e), yaitu S = A = P jarang ditemukan (meskipun
ada kemungkinannya) secara lintas bahasa. Sistem aliansi
gramatikal seperti pada (d) adalah sistem yang tidak mungkin
ada dalam bahasa manusia. Logika sistem yang mungkin ada
seperti digambarkan di atas memungkinkan bahasa-bahasa
manusia dapat dikelompokkan sebagai bahasa akusatif, ergatif,
atau campur, dengan memperhatikan sifat-perilaku gramatikal
lahir tersebut.
Sistem pengelompokan antara S, A, dan P dalam kajian
tipologi linguistik (lihat Payne, 2002) melalui perbandingannya
dalam klausa intransitif dan transitif bahasa(-bahasa) tertentu
dikenal pula sebagai sistem persekutuan gramatikal atau aliansi
gramatikal (grammatical alignment) (lihat Artawa, 2005; Jufrizal,

67
Ketut Artawa & Jufrizal

2012). Seperti yang dijelaskan oleh Payne (2002), sejumlah bahasa


dapat memperlakukan S dan A dengan cara yang sama secara
gramatikal, dan memperlakukan P dengan cara yang berbeda.
Dalam bahasa Inggris, misalnya, bentuk kasus pronominal –
satu bentuk, yaitu he, digunakan untuk menandai pronomina
orang ketiga tunggal (laki-laki), baik sebagai S maupun A.
Bentuk lain, him, digunakan untuk orang ketiga tunggal (laki-
laki) untuk peran semantis P:

(23) a. He (S) left.


b. He (A) hit him (P).

Contoh di atas memperlihatkan sistem aliansi gramatikal: satu-


satunya argumen pada klausa intransitif (S) diperlakukan sama
dengan argumen agen (A) pada klausa transitif, dan perlakuan
yang berbeda diberikan untuk argumen pasien (P) pada
klausa transitif ( S = A, ≠ P ). Sistem aliansi gramatikal seperti
ini dinamakan sistem nominatif-akusatif secara sintaktis. Hal
ini berarti bahwa bahasa Inggris adalah bahasa bertipologi
nominatif-akusatif, atau bahasa akusatif sebagai sebutan
pendeknya.
Pada bahasa-bahasa kelompok Quechuan (kelompok
bahasa yang dipakai di pegunungan Andes, Amerika Selatan),
sistem nominatif-akusatif tersebut dimarkahi secara morfologis.
Perhatikan contoh berikut ini (data dari Weber, 1989 seperti
yang dikutip oleh Payne, 2002)!

(24) a. Juan-0 aywan.


Juan-NOM (S) pergi
‘Juan pergi’

b. Juan-0 Pedro-ta maqan.


Juan-NOM (A) Pedro-AKU (P) pukul
‘Juan memukul Pedro’

Bahasa Quechuan memarkahi secara morfologis S dan A dengan


cara yang sama, yaitu dengan pemarkah kosong (0=zero); sistem
ini dinamakan kasus nominatif. Sementara itu, kasus yang
memarkahi satu-satunya peran P dengan –ta dinamakan kasus
akusatif. Pemarkahan kasus dalam bahasa ini mirip dengan

68
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

kasus bahasa-bahasa Indo-Eropa.


Data bahasa Yup’ik Eskimo (Alaska) memperlihatkan
sistem aliansi gramatikal yang berbeda; S diperlakukan sama
dengan P, dan perlakuan yang berbeda diberikan untuk A (
biasa dirumuskan sebagai S = P, ≠ A).

(25) a. Doris-aq ayallruuq.


Doris-ABS (S) berjalan
‘Doris berjalan’

b. Tom-am Doris-aq cingallrua.


Tom-ERG (A) Doris-ABS menyapa
‘Tom menyapa Doris’

Pada contoh ini, pemarkah kasus –aq diberikan pada argumen


S klausa intransitif (25a) dan pada argumen P klausa transitif
(25b). Pemarkah kasus –am hanya memarkahi argumen A klausa
transitif. Pemarkah kasus untuk A itu sendiri disebut kasus
ergatif, dan pemarkah morfologis yang memarkahi S dan P
dengan cara yang sama itu disebut kasus absolutif. Berdasarkan
data ini, bahasa Yup’ik Eskimo dikenal sebagai bahasa ergatif-
absolutif (Payne, 2002:135).
Kedua sistem aliansi gramatikal seperti itu merupakan
sistem tipologis yang jelas dan berada pada dikotomi yang
sangat bertentangan. Akan tetapi, ada pula sejumlah bahasa
yang mengenal kedua sistem itu dalam konstruksi klausa/
kalimatnya meskipun dengan derajat kekuatan yang berbeda.
Bahasa ini sering disebut oleh ilmuwan tipologis sebagai bahasa
aktif, bahasa netral, atau bahasa dengan S-alir dan S-terpilah.
Bahasa Indonesia, bahasa Melayu, dan bahasa Bali adalah
sebagian contoh bahasa yang mempunyai konstruksi klausa
dengan sistem akusatif atau ergatif. Tentu saja, penipologian
bahasa-bahasa harus didasarkan pada data yang banyak,
beragam dan sahih meskipun tipologi bahasa bukan sesuatu
yang kaku. Pembahasan penipologian bahasa(-bahasa) dapat
dilihat pada bab-bab berikutnya.

3.6 Catatan Penutup


Bab ini masih merupakan bagian dari pengantar untuk
“menghantarkan” pembelajar (pembaca) untuk memahami

69
Ketut Artawa & Jufrizal

beberapa istilah dan konsep-konsep dasar yang digunakan


dalam kajian tipologi lingusitik. Diharapkan sajian pada bab ini
dapat menjadi bagian yang bersifat teoretis dan praktis dalam
kerja penipologian bahasa. Sebagian pembahasan dan contoh-
contoh sengaja disederhanakan agar tidak menimbulkan
“kepusingan” yang menjadikan kajian tipologi linguistik
membosankan dan sulit. Tentu saja hal ini bukan berarti kajian
tipologi linguistik adalah bentuk kajian kebahasaan yang sangat
sulit. Dengan memperhatikan penjelasan dari bab pertama
sampai dengan bab ketiga ini, kajian tipologi linguistik dapat
menjadi menyenangkan tanpa menghindari berbagai kerumitan
data dan telaahannya untuk sampai pada hasil kajian yang tidak
hanya berterima, tetapi juga andal dan bermutu.
Perihal sintaktis-semantis merupakan konsep dan telaah
penting dalam kajian tipologi linguistik yang memungkinkan
pembelajar (pembaca) melakukan telaah mendalam atas fitur-
fitur gramatikal-semantis yang dibawa oleh bentuk-bentuk
bahasa pada tataran sintaksis. Sebagaimana diketahui, tataran
sintaksis adalah unit bahasa terkecil yang membawa makna
lengkap ujaran manusia. Oleh karena itu, kajian tipologi
gramatikal memerlukan telaah sintaktis-semantis untuk
melakukan penipologian gramatikal secara baik. Hal ini juga
berarti bahwa kajian tipologi gramatikal bukan hanya kajian
atas bentuk bahasa, tetapi juga atas makna yang terkemas dalam
konstruksi bahasa manusia.

70
BAB IV

TIPOLOGI GRAMATIKAL

T
4.1 Tipologi Tata Urut Kata
ipologi tata urut kata (word order typology), yang oleh
sebagian ahli juga sering disebut sebagai tipologi tata
urut unsur (constituent order typology), adalah salah satu
bentuk kajian mendasar dalam tipologi linguistik, terutama
dalam tipologi gramatikal. Sebagaimana sudah dijelaskan
pada bagian terdahulu, tipologi linguistik adalah bentuk kajian
kebahasaan yang berusaha menelaah tata kata dan tata kalimat
yang lazim adanya dalam bahasa-bahasa manusia melalui
perbandingan susunan lahiriah bahasa tersebut secara lintas-
bahasa. Hasil kajian tipologi linguistik ini melahirkan tipologi
bahasa-bahasa alamiah manusia yang ada di muka bumi. Salah
satu gejala ketata bahasaan yang menjadi perhatian ilmuwan
bahasa, di antaranya bagi ilmuwan tipologi linguistik, adalah
bagaimana tata urut kata dan/atau unsur bahasa yang lazim
adanya dalam bahasa-bahasa manusia. Kajian tipologi linguistik
yang berkenaan dengan tata urut kata dan unsur bahasa pada
tataran frasa dan klausa dikenal dengan tipologi tata urut kata
(word order typology) atau tipologi tata urut unsur (constituent
order typology).
Whaley (1997:79) menjelaskan bahwa salah satu bidang
kajian utama dalam tipologi adalah bentuk kajian yang
berkenaan dengan urutan unsur-unsur dalam klausa dan frasa.
Bentuk kajian seperti ini boleh dikatakan sebagai kajian awal
yang berujung pada penemuan kesemestaan bahasa manusia
dari sisi pola tata urut unsur yang lazim adanya dalam bahasa-
bahasa manusia. Hasil kajian ini melahirkan kaidah-kaidah
semesta tata urut kata yang berterima dalam bahasa (-bahasa)
tertentu yang tentu saja sangat penting artinya dalam kajian
kesemestaan bahasa dan tipologi linguistik. Salah satu kaidah
kesemestaan Greenberg (1966) yang diturunkan dari hasil kajian
tipologi tata urut kata adalah:
71
Ketut Artawa & Jufrizal

“Berdasarkan keseringan yang begitu banyak ditemukan,


kebanyakan bahasa dengan tata urut V-S-O mempunyai adjektiva
sesudah nomina”

Hal ini berarti bahwa pada umumnya bahasa-bahasa yang


mempunyai tata urut kata pada tataran klausanya menempatkan
adjektiva setelah nomina pada frasanya.
Kajian atas tipologi tata urut kata, sebenarnya, telah
dimulai sejak lama oleh para ilmuwan linguistik. Parera (1991)
mencatat bahwa kajian kebahasaan yang mengarah ke tipologi
tata urut kata sudah dimulai sejak awal abad ke-19 sebagai kajian
lanjutan atas hasil kajian linguistik historis-komparatif. Ahli-ahli
linguistik seperti Jacob Grimm, Frederick von Schlegel, August
von Schlegel, Wilhelm von Humboldt, Franz Bopp, August Pott,
dan August von Schleicher menulis dan menyuarakan kajian-
kajian kebahasaan yang boleh dianggap sebagai perintis lahirnya
kajian tipologi tata urut kata pada kurun waktu 1808 – 1850.
Secara umum, tulisan dan kajian mereka boleh dikelompokkan
sebagai klasifikasi tipologi morfologis abad ke-19. Bentuk
kajian lanjutan dari rintisan mereka melahirkna kajian tipologi
gramatikal pada tataran tata kata dan tata kalimat yang terus
berkembang sepanjang abad ke-20.
Menurut Payne (2002), selama bertahun-tahun ilmuwan
dan peneliti bahasa berusaha untuk menjelaskan apa sebenarnya
konstruksi dasar dalam bahasa yang mengemas gagasan (idea)
dasar manusia dalam berkomunikasi. Jika fonem dianggap
sebagai unsur bahasa terkecil yang tidak “sanggup” mengemas
gagasan lengkap dan wacana dianggap sudah memuat hal-hal
yang melewati konstruksi gramatikal dalam mengemas pesan,
maka proposisi, istilah semantis, adalah konsep yang lebih layak
digunakan untuk mewakili kesatuan unsur-unsur bahasa yang
mengemas gagasan dasar dalam peristiwa komunikasi verbal.
Komunikasi sebenarnya adalah pertautan antara pilahan makna
yang dikemas melalui konstruksi (bentuk-bentuk) gramatikal
bahasa secara sistematis. Dalam hal ini, klausa (kadang-kadang
disebut juga kalimat) adalah konstruksi yang paling sesuai
dianggap sebagai konstruksi pengemas satuan makna dalam
pengertian proposisi tersebut. Oleh karena itu, kajian tipologi

72
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

tata urut kata lebih banyak berkenaan dengan tataran klausa


dan juga frasa (lihat juga Lyons, 1987; Song, 2001).
Berdasarkan bentuk dan arah kajian tipologi tata urut
kata yang berkembang, tataran frasa dan klausa bahasa-bahasa
manusia adalah sasaran kajian yang lazim adanya. Pada tataran
frasa, nomina dan verba dianggap sebagai dasar konstruksi.
Sementara itu, pada klausa, verba dijadikan dasar konstruksi.
Berdasarkan kajian tipologi tata urut kata, bahasa-bahasa
manusia mempunyai tata urut kata untuk membentuk frasa dan
klausa yang berterima secara alamiah dalam bahasa itu. Bahkan,
dalam bahasa-bahasa serumpun pun sering ditemukan adanya
variasi tata urut kata yang berbeda secara gramatikal. Untuk itu
diperlukan kajian tipologi linguistik yang memerlukan alat uji
gramatikal yang sahih untuk menetapkan tipologi tata urut kata
dalam bahasa tersebut. Dalam banyak hal, penentuan tipologi
tata urut kata bahasa (-bahasa) tertentu tidak “cukup” mudah
dilakukan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan
tata urut kata dalam frasa atau klausa bahasa tersebut yang
menurut penutur asli boleh berterima lebih dari satu. Dalam
hal ini, diperlukan kejelian peneliti dalam menelaah data dan
ketersediaan data yang berterima secara gramatikal. Ukuran
utama adalah ukuran-ukuran gramatikal-semantis, bukan
ukuran-ukuran pragmatis-wacana yang sangat sering dianggap
oleh penutur awam atau pemakai bahasa itu sebagai hal-hal
yang boleh-boleh saja digunakan.
Sama dengan telaah tipologi linguistik yang berkenaan
dengan tataran gramatikal lainnya, kejelian peneliti dan ilmuwan
bahasa atas “tumpukan data” yang tersedia sangat penting. Uji
gramatikal merupakan upaya dasar yang mesti dilakukan untuk
membuat simpulan-simpulan tipologis yang andal. Meskipun
alat ukur gramatikal sering juga tidak mudah “dibuat”, tingkat
intuisi kebahasaan dan pengetahuan teoretis yang adal menjadi
landasan utama untuk penipologian gramatikal bahasa-bahasa
manusia. Tipologi tata urut kata termasuk kajian tipologis
yang “merepotkan” karena adanya data yang beragam dan
semuanya dianggap berterima (secara gramatikal) oleh penutur
aslinya. Dalam hal ini, peneliti tipologi tata urut kata pada frasa
dan klausa harus berpegang pada keberterimaan gramatikal

73
Ketut Artawa & Jufrizal

yang teruji, bukan keberterimaan yang bersifat tertanda atau


pragmatis (lihat Comrie, 1989; Song, 2001; Payne, 2002).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan telaah tipologi
tata urut kata bahasa manusia secara lintas bahasa, ada enam
pola tata urut kata yang mungkin adanya pada klausa bahasa-
bahasa manusia, yaitu: SOV, SVO, VSO, VOS, OSV, dan OVS.
Bahasa-bahasa manusia sering dapat dikelompokkan menjadi
salah satu dari pola tata urut kata ini sebagai tipologi tata urut
dasarnya. Jika ada dua (kemungkinan) pola dalam satu bahasa,
besar kemungkinan salah satunya bukan dasar. Penentuan ini
memerlukan ketelitian peneliti dan kesahihan data yang ditelaah.
Hasil telaah tipologi tata urut kata klausa itu digunakan untuk
menelaah tipologi tata urut frasa dan telaah tipologi gramatikal
lanjut untuk bahasa yang bersangkutan (lihat Payne, 2002:72).
Whaley (1997) menjelaskan bahwa bahasa Inggris adalah
bahasa dengan tipologi tata urut kata dasar SVO. Meskipun
ada klausa bahasa ini dengan kemungkinan tata urut kata OSV
(26e), atau VSO (26f), pola tata urut SVO (26a,b,c,d) dianggap
lebih dasar (lihat juga ahli lain seperti Comrie, 1989; Song, 2001;
Payne, 2002). Konstruksi klausa seperti pada (26e) dan (26f)
adalah konstruksi gramatikal yang sudah dipengaruhi oleh
fungsi-fungsi pragmatis-komunikatif sehingga merupakan
konstruksi tertanda.

(26) a. Phil seems strange.


b. The new neighbor seems strange.
c. That the Red Sox won the pregnant seems strange.
d. Seymour sliced the salami.
e. Beans, I hate.
f. Believe you me.

Konstruksi klausa bahasa Inggris berikut adalah konstruksi


yang tidak berterima secara gramatikal.

(27) a. *Believe John Mary.


b. *Hit Jane Seymour.
c. *Surrender you your village.

Tidak semua bahasa mempunyai tata urut kata yang ketat


seperti yang dimiliki oleh bahasa Inggris. Ada bahasa-bahasa

74
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

yang mempunyai tata urut kata yang sulit ditetapkan oleh


ilmuwan tipologi linguistik karena adanya saling-hubung yang
kuat antara tataran gramatikal dengan pragmatis dalam bahasa
tersebut. Di sisi lain, ada bahasa yang mempunyai tata urut kata
yang longgar. Pada bahasa seperti ini, pemarkahan morfologis-
semantis sangat berperan. Bahasa Yunani kuno (Hellenic)
adalah contoh bahasa dengan pola tata urut kata seperti ini.
Berikut adalah contohnya (lihat Whaley, 1997:81).

(28) a. ho didaskal-os paideuei to paidi- on (SVO)


ART guru- NOM mengajar ART anak lelaki-AKU
‘Guru mengajar anak lelaki itu’

b. ho didaskal-os to paidi-on paideuei (SOV)

c. paideuei ho didaskal-os to paidi-on (VSO)

d. paideuei to paidi-on ho didaskal-os (VOS)

e. to paidi-on ho didaskal-os paideuei (OSV)

f. to paidi-on paideuei ho didaskal-os (OVS)

Tidak ada perbedaan makna secara semantis antara konstruksi


dengan tata urut kata yang berbeda tersebut. Hal ini disebabkan
oleh pemarkah morfologis –os yang merupakan pemarkah kasus
nominatif yang berperan sebagai subjek klausa dan sebagai
pemarkah –on yang merupakan pemarkah kasus akusatif yang
berperan sebagai objek klausa tersebut.
Berdasarkan enam tipologi tata urut kata dasar yang
mungkin ada dalam bahasa-bahasa manusia, di bawah ini
adalah contoh dari bahasa-bahasa dengan tipologi tata urut
klausa yang berbeda. Tipologi tata urut kata dalam satu bahasa
tidak mungkin ada variasi yang memungkinkan adanya pola
tata urut yang lebih dari satu. Akan tetapi, variasi pola yang ada
besar kemungkinan diakibatkan oleh faktor-faktor pragmatis
yang masuk ke dalam tataran gramatikal bahasa tersebut.

(29) SOV: Taro ga inu o mita (Jepang)


Taro SUB anjing OBJ lihat
‘Taro melihat anjing itu’

75
Ketut Artawa & Jufrizal

SVO: Umugore arasoma igitabo (Kinyarwanda)


wanita 3TG-baca buku
‘Wanita itu sedang membaca buku’

VSO: Bara Elohim et ha-shamayim (Ibrani Biblika)


mencipta Tuhan OBJ ART-surga
‘Tuhan menciptakan surga’

VOS: Manasa lamba amin ’ny savony ny lehilahy (Malagasy)


cuci pakaian dengan ART sabun ART laki-laki
‘Laki-laki itu mencuci pakaian dengan sabun’

OVS: Toto ya- hosi- ye kamara (Hixkaryana)
laki-laki dia (jaguar)-terkam-dia (laki-laki) laki-laki
‘Jaguar menerkam laki-laki itu’

OSV: pako xua u- ’u (Urubu)
pisang John dia-makan
‘John makan pisang’
(Data dikutip dari Whaley, 1997:81 – 82)

(30) SOV: kiho-ka saca-lil cha-ass-ta (Korea)


Keeho-NOM singa-AKU sepak-KL-IND
‘Keeho menyepak singa’

SVO: khon nii kat maa tua nan (Thailand)
laki-laki ini menggigit anjing penentu itu
‘Laki-laki ini menggigit anjing itu’

VSO: Lladdodd draig ddyn (Wels)
bunuh naga laki-laki
‘Seekor naga membunuh laki-laki itu

VOS: manasa ny lamba ny vehivavy (Malagasy)
mencuci ART pakaian ART wanita
‘Wanita itu sedang mencuci pakaian’

OVS: pi? kokampo unki? (Panare)
anak mencuci wanita
‘Wanita itu memandikan anak itu’
OSV: samuuy yi qa-wuh (Nadeb)
siamang orang-orang makan
‘Orang-orang memakan siamang’
(Data dikutip dari Song, 2001:1 – 2)

76
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Seperti disinggung sebelumnya, penentuan tipologi tata


urut dasar dalam satu bahasa memerlukan uji tipologis dan
sekumpulan data yang berterima. Hal ini semua memerlukan
ketelitian dan kemampuan analisis yang memadai dan
pengetahuan teoretis yang baik. Berikut adalah contoh
kajian dan uji tipologis yang dilakukan terhadap BM untuk
menentukan tipologi tata urut kata klausa dalam bahasa daerah
ini. Penelaahan uji tipologis didasarkan pada pengertian tata
urut seperti yang dikemukakan oleh Greenberg (1963) dan
ahli lain seperti Pullum (1977), Steele (1978) (dalam Mallinson
dan Blake, 1981:121—124) dan Dryer (dalam Shopen, ed., 2007)
yang secara teoretis mengatakan bahwa bahasa-bahasa di dunia
mempunyai konstruksi “subjek-predikat’ sebagai dasar kalimat/
klausa. Keberadaan objek dalam konstruksi klausa dasar juga
menjadi penting karena dikaitkan dengan sifat-perilaku verba
yang menempati predikat. Pengertian tata urut kata BM dalam
buku ini merujuk ke “tata urut dasar”, yakni urutan yang ada
pada klausa netral secara stilistika, indipenden, dan indikatif,
dengan pelibat FN penuh untuk S(intransitif) atau untuk
A(gen) dan O(bjek) (Mallinson dan Blake, 1981:125). Pelibat (S-i,
A atau O) secara gramatikal merupakan komplemen verba yang
menjadi inti-pokok klausa. Berkenaan dengan itu, telaah tata
urut kata BM mencermati tata-urutan S(ubjek), V(erba), dan
O(bjek) yang memiliki sifat perilaku gramatikal.
Untuk memudahkan pemahaman aplikasinya, telaah
tipologi tata urut kata BM dilakukan terhadap klausa/kalimat
imperatif, deklaratif, dan interogatif, seperti dipaparkan di
bawah ini (lihat juga Jufrizal, 2012).

(a) Klausa Imperatif


Dalam BM, perintah yang diberikan oleh penutur
kepada seseorang/mitra wicara dapat diungkapkan dengan: (i)
predikat verbal saja (misalnya Anok! ‘Diam!’); (ii) ujaran lengkap
berpredikat verbal (misalnya: Saba waang! ‘Sabarlah kamu!’,
Antok, nak! ‘Diamlah nak!’); (iii) kata tugas perintah (misalnya
Ayoh, capek! ‘Ayo, cepat!’); (iv) kata seru saja (misalnya Ancik, lu!
‘Tunggu!’ (lihat Moussay, 1981;1998). Secara sintaktis, kalimat
imperatif (perintah) BM dibentuk oleh predikat verbal dengan

77
Ketut Artawa & Jufrizal

atau tanpa FN (argumen). Kajian tata urut kata klausa imperatif


BM diarahkan pada imperatif dengan predikat verbal saja (i)
dan ujaran lengkap berpredikat verbal (ii). Bentuk imperatif (iii)
dan (iv) sebenarnya tetap memakai pola (i) dan (ii), namun telah
dimasuki unsur-unsur pragmatis dan stilistika-budaya (konteks
luar bahasa).
Bentuk imperatif yang hanya berupa pemakaian verba
dasar adalah bentuk inti kalimat imperatif, termasuk dalam
BM. Verba tanpa afiks tersebut dapat diikuti oleh partikel lah
‘lah’ yang mempunyai fungsi pragmatis dan sosiolinguistis.
Pemakaian partikel lah memberikan nuansa lebih lembut,
sopan, penegasan, atau harapan. Berikut adalah contoh bentuk
imperatif seperti yang dimaksud.

(31a) Ambiak!
Ambil!

(31b) Baolah!
Bawalah!

Bentuk kalimat imperatif lain dalam BM adalah ujaran


lengkap berperedikat verbal yang mempunyai FN. Apa pun
kategori FN (khusus atau umum) yang menyertai predikat
verbal, verbanya tidak berafiks nasal. FN tersebut dapat
mendahului verba atau mengikutinya. Dalam konstruksi ini,
verba dapat diikuti partikel lah. Penempatan FN sesudah verba
dalam kalimat imperatif BM lebih mendasar dibandingkan
penempatan FN sebelum verbanya. FN dalam kalimat imperatif
BM adalah pasien. Contoh-contoh berikut kiranya dapat
memberikan gambaran bentuk imperatif yang berupa ujaran
lengkap berpredikat verba.

(32a) Baco surek tu!


baca surat-ART
‘Baca surat itu!’

(32b) Abuih aia!


rebus air
‘Rebus air!’

78
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(32c) Suoklah nasi!


suap-PAR nasi
‘Suaplah nasi!’

(33a) Sarok tu buang!


sampah-ART buang
‘Sampah itu buang!’

(33b) Tarompa bukak!


terompah buka
‘Terompah buka!’

(33c) Samba ambiaklah!


sambal ambil-PAR
‘Sambal ambillah!’

Pola urutan kata klausa pada (32a, b, dan c) adalah V-O


(pasien) dan pada (33a,b, dan c) adalah O (pasien)-V. Konstruksi
imperatif BM seperti pada (33a, b, c) merupakan konstruksi yang
sudah bermuatan pragmatis sehingga dapat dianggap sebagai
konstruksi bukan dasar. Dengan demikian, pola tata urut kata
V-O lebih bersifat dasar daripada O-V. Karena klausa perintah
tidak secara terang menyertakan subjeknya, dapat diduga
bahwa subjek gramatikalnya merupakan FN posverbal. Hal ini
menyiratkan bahwa pola tata urut kata klausa perintah dalam
bahasa ini adalah (S)-V-O. Untuk membuktikan dugaan ini mari
dilihat lebih jauh pengujian tipologis untuk klausa deklaratif
berikut.

(b) Klausa Deklaratif


Menurut Moussay (1981, 1998), dalam BM kata yang
dipentingkan diletakkan di awal ujaran. Dengan demikian,
ujaran/kalimat berikut berterima dalam BM.

(34a) Urang manjua jawi di pasa.


orang menjual sapi di pasar
‘Orang menjual sapi di pasar’

(34b) Manjua jawi urang di pasa.


menjual sapi orang di pasar
‘Menjual sapi orang di pasar’

79
Ketut Artawa & Jufrizal

(34c) Di pasa urang manjua jawi.


di pasar orang menjual sapi
‘Di pasar orang menjual sapi’

Keberterimaan kalimat-kalimat di atas lebih sesuai


dianalisis berdasarkan kajian topik dan fokus yang lebih bersifat
pragmatis. Contoh (34a) dan (34c) secara sintaktis berterima
karena pada (34a) subjek terletak di depan verba. Seperti pada
(34c) frasa berpreposisi dapat ditempatkan di berbagai posisi
dalam klausa BM (kecuali di antara verba dan objeknya). Untuk
menguji keberterimaan tata urut kata BM secara gramatikal
pada kalimat deklaratif, cermatilah contoh-contoh berikut.

(35a) Kami duduak.


1JM duduk
‘Kami duduk’

(35b) Basa makan nasi.


Basa makan nasi
‘Basa makan nasi’

(35c) Adiak manulih surek.


adik AKT-tulis surat
‘Adik menulis surat’

(35d) *Surek adiak manulih.


surat adik AKT-tulis
‘Surat adik menulis’

(35e) Surek adiak tulih


surat adik tulis
‘Surat adik tulis’

Klausa (35a) adalah kalimat intransitif satu argumen,


yaitu agen yang juga berfungsi sebagai subjek gramatikal.
Urutan kata pada klausa tersebut adalah S-V. Contoh (35b)
merupakan kalimat transitif dengan verba tanpa afiks. Argumen
Basa adalah agen (subjek) dan nasi adalah pasien (objek). Tatarut
kata S-V-O yang terlihat pada klausa tersebut merupakan tata
urut yang lazim dan secara gramatikal dianggap sebagai urutan
baku. Tata urut S-V-O juga terjadi pada kalimat transitif berafiks-
nasal, seperti pada contoh (35c). Apabila tata urut S-V-O diubah

80
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

menjadi O-S-V dan pemarkah morfologis verbanya tetap


berafiks-nasal, klausa itu menjadi tidak berterima, seperti pada
(35d). Tata urut O-V-S akan berterima apabila verba transitifnya
adalah bentuk dasar (tanpa afiks). Dengan demikian, tata urut
baku kalimat deklarati BM adalah S-V-O. Urutan O-V-S dengan
verba transitif tanpa afiks dan pada konstruksi penopikalan juga
berterima dalam BM. Namun tata urut terakhir ini mempunyai
muatan pragmatis sehingga kurang tepat dijadikan pola tata
urut kata dasar dalam bahasa daerah yang dipakai di Sumatera
Barat.

(c) Klausa Interogatif


Pengujian tata urut kata klausa interogatif yang disajikan
di sini adalah tata urut klausa interogatif yang menanyakan
argumen inti (subjek/agen atau objek/pasien) karena argument
inti merupakan unsur yang relatif tetap dalam satu klausa. Lebih
lanjut, mari perhatikan contoh-contoh berikut.

(36a) Apo (nan) lari?


apa yang lari
‘Apa yang lari?’

(36b) A (nan) lari?


apa yang lari
‘Apa yang lari?’

(36c) Sia (nan) duduak?


siapa yang duduk
‘Siapa yang duduk?’

Klausa (36a, b, dan c) menanyakan subjek (yang menjadi


jawaban informatifnya adalah subjek/agen kalimat intransitif).
Apo dan a, dalam BM, dipakai untuk menanyakan subjek selain
orang sedangkan sia untuk menanyakan orang (bentuk yang
sangat resminya adalah siapo). Terlihat dari konstruksi kalimat
interogatif di atas bahwa tata urut katanya adalah S/A-V.
Tidak ada tata urut lain yang berterima dalam BM selain dari
urutan tersebut untuk menanyakan S/A kalimat intransitif.
Kata penghubung nan ‘yang’ dapat ditempatkan setelah kata
tanya pada konstruksi (kalimat) interogatif. Munculnya kata

81
Ketut Artawa & Jufrizal

penghubung nan pada konstruksi interogatif mempunyai aspek


pragmatis dan stilistis. Secara gramatikal, kehadirannya tidak
bersifat wajib.
Berikut adalah contoh kalimat tanya yang menanyakan S
kalimat transitif dengan verba tanpa afiks-nasal.

(37a) Sia (nan) makan lamang?


siapa yang makan lemang
‘Siapa (yang) makan lemang?’

(37b) A (nan) makan nasi?


apa yang makan nasi
‘Apa (yang) makan nasi?’

Berdasarkan contoh di atas, tata urut kata klausa interogatif


BM dalam verba tanpa afiks adalah S/A-V-O. Penempatan kata
tanya sia atau apo atau a di akhir kalimat (dengan tata urut V-O-
S/A) juga berterima, namun aspek makna yang muncul lebih
merupakan fokus predikat kalimat. Tata urut kata S-V-O juga
ditemukan pada klausa transitif dengan verba berafiks nasal
yang menanyakan subjek, seperti diperlihatkan contoh berikut.

(38a) Sia (nan) ma- macah galeh?


siapa yang AKT-pecah gelas
‘Siapa (yang) memecah gelas?’

(38b) A (nan) ma- makan padi?


apa yang AKT-makan padi
‘Apa yang memakan padi?’

Selanjutnya, bagaimanakah tata urut kata kalimat


interogatif BM yang menanyakan objek. Perhatikanlah contoh
berikut.

(39a) Apo (nan) uda cari?


apa yang kakak-LL cari
‘Apa yang kakak cari?’

(39b) A (nan) Adi baco?


apa yang Adi baca
‘Apa yang Adi baca?’

82
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(39c) Sia (nan) waang tuduah?


siapa yang 2TG-LL tuduh
‘Siapa yang kamu tuduh?’

Contoh (39a, b, dan c) di atas adalah kalimat interogatif


yang menanyakan objek kalimat transitif dengan verba tanpa
afiks. Sama halnya dengan urutan kata kalimat transitif deklaratif
dengan verba tanpa afiks, tata urut kata kalimat interogatif di
atas adalah O-S-V. Penempatan kata penghubung nan ‘yang’,
sebagaimana contoh terdahulu, juga lazim dalam pemakaian
BM sehari-hari. Kehadirannya memberikan aspek pragmatis
dan stilistika, yang secara gramatikal kehadirannya tidak wajib.
Kata tanya apo atau a atau sia dapat ditempatkan juga setelah
verba sehingga dikenal pula bentuk-bentuk berikut:

(40a) Uda cari apo?


kakak-(ll) cari apa
‘Kakak cari apa?’

(40b) Adi baco a?


Adi baca apa
‘Adi baca apa?’

(40c) Waang tuduah sia?


2TG-(ll) tuduh siapa
‘Kamu tuduh siapa?’

Klausa interogatif (40a, b, c) di atas mempunyai tata urut


kata S-V-O. Apabila verbanya mempunyai afiks-nasal, maka
didapati bangun klausa interogatif seperti berikut.

(41a) Uda man-cari apo?


kakak-(ll) AKT-cari apa
‘Kakak mencari apa?’

(41b) Adi mam-baco a?


Adi AKT-baca apa
‘Adi membaca apa?’

(41c) Waang ma-nuduah sia?


2TG-(ll) AKT-tuduh siapa
‘Kamu menuduh siapa?’

83
Ketut Artawa & Jufrizal

Tata urut kata pada (41a, b, dan c) adalah S-V-O (A-V-P).


Klausa tersebut tidak berterima secara gramatikal apabila kata
tanya apo atau a atau sia ditempatkan di depan (mendahului
subjek) dengan urutan kata O-S-V. Kalimat berikut tidak
berterima dalam BM.

(42a) *Apo uda mancari?


(42b) *A Adi mambaco?
(42c) *Sia waang mancari?

Berdasarkan uji tipologi gramatikal di atas, tata urut kata


klausa interogatif BM yang menanyakan objek yang paling
berterima secara gramatikal adalah S-V-O. Kata tanya yang
menanyakan objek dapat langsung ditempatkan pada posisi
FN dalam kalimat deklaratifnya. Hal ini didukung oleh contoh
(39a, b, dan c) yang memungkinkan kata tanya ditempatkan
di awal kalimat. Konstruksi kalimat (klausa) dengan tata urut
O-S-V merupakan kalimat derivasi dalam BM. Tipologi tata urut
kata dasar dalam BM, setelah dicermati berdasarkan kalimat
imperatif, deklaratif, dan interogatif, adalah S – V – O. Pada
konstruksi yang melibatkan unsur-unsur pragmatis, seperti
pada konstruksi penopikalan dapat menjadi O – S – V.

4.2 Tipologi Fonologis dan Morfologis


Perkembangan kajian tipologi linguistik sejak pertengahan
abad ke-20 lebih terpusat pada tataran gramatikal, sehingga
istilah yang lazim dikenal adalah tipologi gramatikal, yang
merujuk ke tataran morfologis dan sintaksis secara bersamaan.
Namun, sebenarnya, kajian tipologi linguistik berasal-mula dari
telaah lanjut hasil-hasil kajian Linguistik Historis-Bandingan
pada masa awalnya juga berkenaan dengan tipologi fonologis
dan morfologis secara terpisah. Kajian tersebut termasuk ke
dalam kajian pengelompokan bahasa berdasarkan struktur
lahiriah bahasa yang menjadi salah satu sasaran utama dalam
kajian tipologi linguistik. Tidaklah salah jika kajian tipologi
linguistik itu dapat ditujukan untuk mengelompokkan bahasa
berdasarkan tataran fonologis dan morfologisnya. Smith (1969),
seperti dijelaskan oleh Mallinson dan Blake (1981:4 – 5) malahan
membedakan tiga dasar pengelompokan bahasa – genetis,

84
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

tipologis, dan kawasan – yang semuanya adalah bentuk kajian


kebahasaan yang berupaya untuk mengelompokkan bahasa-
bahasa manusia. Pengelompokan bahasa berdasarkan genetis
lebih dekat ke kajian Linguistik Historis-Bandingan yang
lebih dekat ke bentuk kajian rekonstruksi dan perkembangan
kekerabatan bahasa. Kajian tipologis adalah bentuk kajian
kebahasaan yang bersifat perbandingan lintas bahasa
berdasarkan ciri kesamaan/kemiripan yang diperlihatkan
oleh struktur lahiriah bahasa-bahasa. Sementara itu, kajian
pengelompokan bahasa berdasarkan kawasan berkaitan dengan
perkembangan dan penyebaran bahasa-bahasa serumpun secara
social budaya dan geografis.
Tipologi fonologis adalah bagian dari kajian tipologi
gramatikal yang menjadikan sifat-perilaku fonologis bahasa
(-bahasa) manusia sebagai sasaran kajiannya. Kajian ini
menghasilkan pengelompokan bahasa-bahasa di muka bumi
berdasarkan ciri kesamaan dan kemiripan yang dimiliki oleh
sistem fonologis bahasa-bahasa itu. Di antara hasil kajian ini
adalah adanya kelompok bahasa-bahasa dengan sistem tiga,
lima, atau lebih vokal. Dengan demikian, ada bahasa-bahasa
dengan sistem vokal dan konsonan sengau, bahasa nada, dan
sebagainya. Dalam kajian tipologi gramatikal, tipologi fonologis
kurang mendapat perhatian sungguh-sungguh.
Penipologian bahasa-bahasa secara morfologis, di sisi lain,
dilakukan dengan mencermati sifat-perilaku morfolgis bahasa-
bahasa tersebut. Secara umum, penipologian tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.

(i) Bahasa isolasi (isolative language), yaitu bahasa yang tidak


mempunyai afiks dan proses morfologis. Pada bahasa-
bahasa isolatif ini ada hubungan satu lawan satu antara
kata dan morfem. Bahasa China, Vietnam, Korea, dan
sejumlah bahasa daerah di kawasan Indonesia Timur
adalah contoh bahasa bertipologi isolatif ini.
(ii) Bahasa fusional atau bahasa infleksi (futional atau
flectional language), yaitu bahasa yang morfemnya
diwujudkan dengan afiks-afiks, tetapi perilaku
morfologisnya berdempet atau berdekatan sekali

85
Ketut Artawa & Jufrizal

dengan proses sintaktisnya, sehingga cukup sulit untuk


menentukan/memilah afiks-afiks tersebut. Pada bahasa
seperti ini proses morfosintaktis menjadi proses yang
sangat menentukan. Bahasa Arab, Latin, Sanskerta, dan
lain-lain adalah contoh bahasa fusional.
(iii) Bahasa aglutinasi atau bahasa aglutinatif (agglutinative
language), yaitu bahasa yang mempunyai proses
morfologis; kata dapat terdiri atas lebih dari satu
morfem, dan batas-batas antara morfem bebas dan
morfem terikat cukup jelas. Pada bahasa seprti ini antara
proses morfologis dan sintaktisnya dapat dibedakan,
meskipun sering berkaitan. Contoh bahasa aglutinasi/
aglutinatif ini adalah bahasa Melayu, Indonesia, Turki,
dan Hongaria.
(iv) Bahasa polisintetis atau inkorporasi (polysintetic atau
incorporative language), yaitu bahasa yang mempunyai
kemungkinan untuk mengambil sejumlah morfem
leksikal dan menggabungkannya bersama menjadi kata
tunggal, misalnya bahasa Eskimo, Inggris, dan lain-lain
(lihat Comrie, 1989; Mallinson dan Blake, 1981; Song,
2001).

Bahasa-bahasa rumpun Melayu, terutama keluarga


Melayu Barat di Nusantara, sebagian besar adalah bahasa
bertipologi aglutinatif secara morfologis. Dalam bahasa-bahasa
seperti BM, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan
yang lain, peran afiks sangat penting secara gramatikal dan
semantis. Oleh karena itu, proses morfosintaktis dalam bahasa
ini sangat menentukan penipologiannya secara gramatikal.
Tipologi morfologis merupakan telaah perbandingan dan
pengelompokan bahasa berdasarkan kiat morfologis yang
dominan berlaku dalam bahasa-bahasa manusia dalam
mengemas makna dan fungsi-fungsi komunikatif verbal. Whaley
(1997:127) menjelaskan bahwa bahasa-bahasa dapat dibedakan
dan/atau dikelompokkan berdasarkan kiat morfologis yang
dimilikinya. Bandingkan contoh bahasa Yay (China), bahasa
Oneida (Almosan-Keresiouan: USA) dan BM (bahasa daerah di
Sumatera Barat) berikut.

86
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Yay:
(43a) mi ran tua ngwa lew
tidak lihat pengelompok ular pelengkap
‘Dia tidak melihat ular itu’

Oneida:
(43b) yo- nuhs- a- tho :le
3netral-ruang-epentetis-kopula-dingin-statif
‘Ruangan itu dingin’

BM:
(43c) Ambo mang-galimang-an dadak jo tapuang-bareh.
1TG PRE- gelimang-KAU dedak dengan tepung- beras
‘Saya menggelimangkan dedak dengan tepung-beras’

Secara morfologis, perbedaan mendasar antara tiga bahasa


itu adalah bahwa setiap kata dalam bahasa Yay terdiri atas satu
morfem (monomorfemik) dan tidak ada afiks (morfem terikat)
dalam bahasa itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tidak ada proses afiksasi dalam bahasa Yay. Bahasa seperti ini
dikenal dengan bahasa isolasi. Bahasa Oneida adalah contoh
bahasa polisintestis atau bahasa fusional-rumit. Satu kata dapat
terdiri atas aneka morfem yang dapat membawa makna sintaktis.
Dalam bahasa jenis ini, proses morfologis dan sintaktisnya
menyatu secara sistematis. Dalam BM, satu kata dapat terdiri
atas satu dasar dengan afiks yang membawa makna gramatikal
dan semantis tertentu. Satu dasar pun dapat digabung menjadi
kata majemuk yang juga mungkin diberi afiks. Dalam bahasa
seperti ini proses morfologis dan sintaktisnya dengan mudah
dapat dibedakan meskipun dalam beberapa kasus dapat saling
menyatu. BM adalah salah satu contoh bahasa aglutinasi.
Pembuktian tipologis-praktis lebih jauh berkenaan dengan
tipologi morfologis dapat dicermati melalui paparan morfologi
verba bahasa Indonesia, terutama dalam keberhubungan antara
bentuk dasar dan imbuhan-imbuhan verbalnya. Telaah ini
penting artinya dalam kajian tipologi gramatikal karena sangat
erat hubungannya dengan proses gramatikal (morfosintaksis)
dalam bahasa-bahasa aglutinasi, seperti bahasa Indonesia dan
BM. Secara morfologis, verba bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi verba berafiks dan verba tanpa afiks. Verba berafiks
87
Ketut Artawa & Jufrizal

bisa dibentuk dari bentuk dasar bebas dan bentuk dasar terikat.
Bentuk dasar terikat ini bisa berupa akar kata dan bisa juga
“praktegorial”.
Proses penurunan verba bahasa Indonesia itu dapat
dilihat berdasarkan tiga proses, yaitu afiksasi, reduplikasi, dan
pemajemukan. Afiksasi adalah penambahan prefiks, infiks,
atau sufiks pada dasar kata. Reduplikasi adalah perulangan
suatu dasar kata, baik dengan penambahan afiks maupun
tidak, sedangkan pemajemukan adalah proses penggabungan
satu kata dengan kata lain yang menumbuhkan makna baru –
makna yang muncul dari penggabungan ini secara langsung
masih dapat ditelusuri dari makna masing-masing kata yang
bergabung (lihat Alwi dkk., 2000:117, 151).
Penurunan verba intransitif dalam bahasa Indonesia
melalui tiga proses, yaitu penurunan verba intransitif melalui
afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Penurunan verba
melalui afiksasi terjadi secara derivasional dan infleksional.
Afiksasi derivasional terjadi jika afiksasi mampu mengubah
kategori kata bentuk dasar, dari nonverba menjadi verba dan
afiksasi infleksional terjadi jika tidak mengubah kategori kata,
dari verba tetap menjadi verba. Sementara itu, dilihat dari
bentuk perulangan yang terjadi, penurunan verba intransitif
terjadi melalui perulangan yang terdiri atas beberapa bentuk.
Bentuk-bentuk tersebut ada yang berupa perulangan bentuk
dasar dan ada pula perulangan dengan pengimbuhan. Hal yang
sama terjadi pada pemajemukan. Penurunan verba melalui
pemajemukan juga dapat dilihat berdasarkan bentuknya, sesuai
dengan bentuk dasar, berafiks, atau bahkan bentuk berulang.
dasar selain verba, dengan kategori nomina, adjektiva,
dan numeralia, sedangkan penurunan verba secara infleksional
terjadi pada bentuk dasar dengan kategori verba. Verba intransitif
yang diturunkan dengan prefiks Penurunan verba intransitif
pada bahasa Indonesia melalui afiksasi melibatkan tujuh afiks,
yaitu meng-, ber-, ber--kan, ber--an, ter-, ke--an, dan se-. Penurunan
secara derivasional terjadi pada bentuk {meng-} kebanyakan
berasal dari kelas kata nomina dan adjektiva, sedangkan kata
yang berasal dari kelas kata numeralia jumlahnya sangat
terbatas. Perhatikan contoh-contoh berikut!

88
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(44) a. meng- + Nomina sebagai dasar


batu → membatu
rumput → merumput
rokok → merokok
laut → melaut
janda → menjanda

(44) b. meng- + Adjektiva sebagai dasar


kecil → mengecil
kuning → menguning
kering → mengering
baik → membaik
panas → memanas

(44) c. meng- + Numeralia sebagai dasar


satu → menyatu
dua → mendua

(44) d. meng- + Bentuk dasar terikat sebagai dasar


inap → menginap
baur → membaur
alir → mengalir

Verba intransitif yang diturunkan dengan prefiks ber-


berasal dari kelas kata nomina, adjektiva, dan verba, sedangkan
kata yang berasal dari kelas kata numeralia jumlahnya sangat
terbatas. Seperti halnya penurunan verba intransitif dari bentuk
dasar terikat dengan prefiks meng-, konfiks ber--an juga dapat
menurunkan bentuk dasar terikat menjadi verba intransitif.
Berikut adalah contoh-contohnya.

(45) a. ber- + Nomina sebagai dasar


sepatu → bersepatu
daun → berdaun
sepeda → bersepeda
dasi → berdasi
topi → bertopi

(45) b. ber- + Adjektiva sebagai dasar


duka → berduka
sedih → bersedih
damai → berdamai

89
Ketut Artawa & Jufrizal

bahagia → berbahagia
manja → bermanja

(45) c. ber- + Verba sebagai dasar


jalan → berjalan
kerja → bekerja
sembahyang → bersembahyang

(45) d. ber- + Numeralia sebagai dasar


satu → bersatu
dua → berdua
lima → berlima
enam → berenam

(45) e. ber- + Bentuk dasar terikat sebagai dasar


temu → bertemu
juang → berjuang
sua → bersua

Verba intransitif yang diturunkan dengan konfiks ber--kan


hanya berasal dari kelas kata nomina. Cermati contoh berikut!

(46) ber- … -kan + Nomina sebagai dasar


suami → bersuamikan
pedoman → berpedomankan
senjata → bersenjatakan
selimut → berselimutkan

Sementara itu, verba intransitif yang diturunkan dengan


konfiks ber--an berasal dari kelas kata nomina, adjektiva, dan
verba. Adapula verba intransitif yang diturunkan dari kelas
numeralia, tetapi jumlahnya sangat terbatas.

(47) a. ber--an + Nomina sebagai dasar


musuh → bermusuhan
pacar → berpacaran

(47) b. ber--an + Adjektiva sebagai dasar


mesra → bermesraan
panas → berpanas-panasan
dekat → berdekatan

(47) c. ber--an + Verba sebagai dasar


terbang → beterbangan

90
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

jatuh → berjatuhan
lari → berlarian
pergi → bepergian

(47) d. ber--an + Numeralia sebagai dasar


dua → berduaan

Verba intransitif bahasa Indonesia yang diturunkan de­ngan


prefiks ter- berasal dari kelas kata nomina, adjektiva, dan verba.
Verba ini secara semantis pada umumnya memuat makna pasif,
seperti yang dikemas oleh contoh-contoh berikut.

(48) a. ter- + Nomina sebagai dasar


sayang → tersayang
cinta → tercinta
kasih → terkasih

(49) b. ter- + Adjektiva sebagai dasar


kecil → terkecil
lambat → terlambat
buruk → terburuk
pintar → terpintar

(49) c. ter- + Verba sebagai dasar


baca → terbaca
bangun → terbangun
makan → termakan
duduk → terduduk

Verba intransitif bahasa Indonesia yang diturunkan


dengan konfiks ke--an pada umumnya berasal dari kelas kata
nomina, adjektiva, dan verba. Bandingkan contoh-contoh
berikut!

(50) a. ke--an + Nomina sebagai dasar


ibu → keibuan
banjir → kebanjiran
hujan → kehujanan

(50) b. ke--an + Adjektiva sebagai dasar


panas → kepanasan
lapar → kelaparan
kering → kekeringan

91
Ketut Artawa & Jufrizal

(50) c. ke--an + Verba sebagai dasar


tidur → ketiduran
curi → kecurian

Verba intransitif bahasa Indonesia yang diturunkan


dengan prefiks se- hanya berasal dari kelas kata nomina. Berikut
adalah contoh-contohnya.

(51) se- + Nomina sebagai dasar


kampung → sekampung
rumah → serumah
kelas → sekelas
paham → sepaham
jalan → sejalan

Berdasarkan data di atas tampak bahwa tidak semua kategori


kata (kelas kata) yang dilekati afiks-afiks membentuk verba
intransitif. Untuk mempermudah pengamatan kemungkinan
kelas kata yang dapat diubah menjadi verba intransitif, di
bawah ini disajikan tabel kategori kata dan afiks pembentuk
verba intransitif dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian,
pengecualian dapat saja ada, misalnya dalam hal prakategorial
dan adanya unsur-unsur pemakaian bahasa secara social budaya
pada kelompok masyarakat tertentu.

Tabel 2: Kategori Kata dan Afiks-afiks Pembentuk Verba


Intransitif
Kategori
Bentuk dasar
kata Nomina Adjektiva Verba Numeralia
terikat
Afiks
meng- + + - + +
ber- + + + + +
ber—kan + - - - -
ber—an + + + + -
ter- + + + - -
ke—an + + + - -
se- + - - - -

92
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Namun, perlu diketahui juga, walaupun kemungkinan


setiap afiks untuk melekat pada masing-masing kategori kata
sudah dimunculkan dalam tabel, tidak berarti semua kata yang
terdapat dalam satu kategori dapat dilekati oleh afiks tersebut.
Sebagai proses derivasi, produktivitasnya bisa terbatas dan
sangat tergantung pada bentuk dasarnya dan secara semantis
derivasi sering membawa makna leksikal dan hanya berlaku
pada kelompok dasar tertentu saja.
Lebih jauh, mari dilihat pula sifat-perilaku morfologis
penurunan verba intransitif dalam bahasa Indonesia. Penurunan
verba intransitif bahasa Indonesia juga dapat terjadi melalui
perulangan (reduplikasi). Sebagaimana diketahui, reduplikasi
adalah salah satu proses morfologis yang lazim adanya dalam
bahasa-bahasa Austronesia dan rumpun Melayu, seperti dalam
bahasa Indonesia. Dilihat dari bentuk perulangan yang terjadi,
verba intransitif yang diturunkan melalui reduplikasi ada berupa
kata ulang bentuk dasar dan ada pula kata ulang berimbuhan.
Selain itu, ada juga bentuk yang merupakan bentuk ulang salin
suara. Dilihat dari kategori kelas kata asalnya, verba intransitif
melalui reduplikasi diturunkan dari kelas kata verba juga.
Perhatikan data di bawah ini.

(52) Bentuk ulang dasar:


makan → makan-makan
duduk → duduk-duduk
mandi → mandi-mandi
minum → minum-minum

(53) Bentuk ulang berimbuhan:


(53) a. Bentuk dasar dengan prefiks
memukul → pukul-memukul
membantu → bantu-membantu
menolong → tolong-menolong
menembak → tembak-menembak

(53) b. Bentuk dasar dengan prefiks


Berjalan → berjalan-jalan
berteriak → berteriak-teriak
berlari → berlari-lari
bernyanyi → bernyanyi-nyanyi

93
Ketut Artawa & Jufrizal

(53) c. Bentuk dasar dengan konfiks


menghormati → hormat-mengormati
mencintai → cinta mencintai
menyayangi → sayang-menyayangi
menghargai → harga-menghargai

(53) d. Bentuk dasar dengan konfiks


berlarian → berlari-larian
berpelukan → berpeluk-pelukan
berjauhan → berjauh-jauhan
berpegangan → berpegang-pegangan

(53) e. Bentuk dasar dengan prefiks


termenung → termenung-menung
tertawa → tertawa-tawa
tersenyum → tersenyum-senyum

(54) Bentuk ulang salin suara
bolak-balik
mondar-mandir
gelap-gulita
terang-benderang
hiruk-pikuk

Sebagai bahasa aglutinasi, penurunan verba intransitif


bahasa Indonesia juga bisa melalui pemajemukan, baik
pemajemukan tanpa afiks maupun berafiks. Sementara itu,
dilihat dari kelas kata yang diturunkan menjadi verba intransitif,
verba majemuk yang dihasilkan ada yang berasal dari kelas kata
nomina, adjektiva, dan verba. Perhatikan data di bawah ini.

(55) Verba majemuk dasar

(55) a. Verba + nomina sebagai dasar


mabuk darat
bunuh diri

(55) b. Adjektiva + verba sebagai dasar


salah dengar
kurang ajar
berani sumpah

94
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(55) c. Verba + verba sebagai dasar


pulang pergi
hancur lebur
jatuh bangun
maju mundur

(56) Verba majemuk dengan bentuk asal berafiks


berkembang biak
berdiam diri

Bagaimana halnya dengan verba transitif dalam bahasa


Indonesia? Penurunan verba transitif dalam bahasa Indonesia
juga dapat dikaji melalui tiga proses, yaitu penurunan verba
transitif melalui afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Penu-
runan verba melalui afiksasi terjadi secara derivasional dan in-
fleksional. Sementara itu, dilihat dari bentuk perulangan yang
terjadi, penurunan verba transitif melalui perulangan terdiri
atas beberapa bentuk. Bentuk-bentuk tersebut ada yang beru-
pa perulangan bentuk dasar dan ada pula perulangan dengan
pengimbuhan. Hal yang sama terjadi pada pemajemukan. Penu-
runan verba melalui pemajemukan juga dapat dilihat berdasar-
kan bentuknya, sesuai dengan bentuk dasar, berafiks, atau bah-
kan bentuk berulang. Semua hal ini adalah bukti bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa agulitinasi secara morfologis.
Penurunan verba transitif dalam bahasa Indonesia
disajikan berdasarkan jenis afiks yang digunakan. Afiks yang
dimaksudkan di sini adalah prefiks meng-, -kan, -i, dan per-
. Penurunan secara derivasional terjadi pada bentuk dasar
dengan kategori nomina, adjektiva, dan numeralia, sedangkan
penurunan verba secara infleksional terjadi pada bentuk dasar
dengan kategori verba.
Verba transitif bahasa Indonesia yang diturunkan secara
inflesional dengan prefiks meng- hanya berasal dari kelas kata
verba. Berikut adalah contoh-contohnya.

(57) meng- + Verba sebagai dasar


beli → membeli
lihat → melihat
cari → mencari
ambil → mengambil
pakai → memakai

95
Ketut Artawa & Jufrizal

Selanjutnya, penurunan verba transitif dalam bahasa


Indonesia dengan sufiks -kan kadang kadang dibahas dengan
mengkombinasikannya dengan prefiks meng-. Penggabungan
ini bisa menimbulkan kesalahan karena proses derivasi hanya
dilakukan oleh sufiks –kan saja. Verba transitif yang diturunkan
dengan menggunakan -kan dapat berasal dari kata dengan kelas
kata nomina, adjektiva, verba, dan frasa adverbial. Sementara itu,
verba transitif dengan menggunakan afiks -kan yang diturunkan
dari kelas kata numeralia jumlahnya sangat terbatas.

(58) a. -kan + Nomina sebagai dasar


Sekolah → sekolahkan
kandang → kandangkan
buku → bukukan
gambar → gambarkan
rumah → rumahkan
penjara → penjarakan

(58) b. -kan + Adjektiva sebagai dasar


besar → besarkan
panas → panaskan
tinggi → tinggikan
kering → keringkan

(58) c. -kan + Verba sebagai dasar


kubur → kuburkan
beli → belikan
mandi → mandikan
cari → carikan

(58) d. -kan + Frasa preposional sebagai dasar


ke luar → keluarkan
ke depan → kedepankan
ke bawah → kebawahkan

(58) e -kan + Numeralia sebagai dasar


satu → satukan
dua → duakan

Penurunan verba transitif dengan sufiks -i dibahas tidak


dikombinasinya dengan prefiks meng- karena verba transitif
diturunkan dari kelas kata lain menjadi verba dengan sufiks -i
saja. Verba transitif yang diturunkan dengan menggunakan afiks

96
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

-i dapat berasal dari kata dengan kelas kata nomina, adjektiva,


dan verba. Perhatikan data berikut!

(59) a. -i + Nomina sebagai dasar


dana → danai
gula → gulai
kepala → kepalai
guru → gurui
air → airi

(59) b. -i + Adjektiva sebagai dasar


panas → panasi
adil → adili
marah → marahi

(59) c. -i + Verba sebagai dasar


datang → datangi
masuk → masuki
tulis → tulisi
tunggu → tunggui

Sementara itu, penurunan verba transitif dalam ba­


hasa Indonesia dengan prefiks per- dibahas dengan tidak
menggabungkannya dengan prefiks meng- karena verba transitif
dapat diturunkan dengan menggunakan prefix per- saja. Verba
transitif yang diturunkan dengan menggunakan afiks, per-
dapat berasal dari kata dengan kelas kata nomina dan adjektiva.
Berikut adalah contoh-contohnya.

(60) a. per- + Nomina sebagai dasar


budak → perbudak
istri → peristri
alat → peralat

(60) b. per- + Adjektiva sebagai dasar


indah → perindah
sulit → persulit
hitam → perhitam
dalam → mperdalam

Penurunan verba bahasa Indonesia dengan konfiks per--


kan akan menghasilkan transitif. Verba transitif yang diturunkan
dengan menggunakan per--kan dapat berasal dari kata dengan

97
Ketut Artawa & Jufrizal

kelas kata nomina dan verba dasar tertentu. Penurunan verba


dengan konfiks per-kan ini bisa juga dilakukan dengan dasar
numeralia. Penurunan dari numeralia menjadi verba jumlahnya
sangat terbatas.. Cermati contoh-contoh berikut!

(61) a. per--kan + Nomina sebagai dasar


istri → peristrikan
masalah → permasalahkan
soal → persoalkan

(61) b. per--kan + Verba sebagai dasar


tanya → pertanyakan
kira → perkirakan

(61) c. per--kan + Numeralia sebagai dasar


satu → persatukan

(61) d. per--kan + Bentuk dasar terikat sebagai dasar


temu → pertemukan
juang → perjuangkan

Penurunan verba transitif bahasa Indonesia dengan


konfiks per--i dibahas melalui tidak digabungkan dengan prefiks
meng-. Verba transitif yang diturunkan dengan menggunakan
afiks per--i dapat berasal dari kata dengan kelas kata nomina,
adjektiva, dan verba. Lihat contoh-contoh berikut!

(62) a. per--i + Nomina sebagai dasar


senjata → persenjatai

(62) b. per--i + Adjektiva sebagai dasar


baik → perbaiki

(62) c. per--i + Verba sebagai dasar


ingat → peringati

Dari data di atas tampak bahwa tidak semua kategori kata dapat
dilekatkan dengan afiks-afiks pembentuk verba transitif. Untuk
mempermudah pengamatan kemungkinan kelas kata yang
dapat diubah menjadi verba transitif, di bawah ini disajikan
tabel kategori kata dan afiks pembentuk verba transitif. Perlu
diingat juga bahwa penelitian ini tidak menganalisis proses

98
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

morfofonemik yang mungkin terjadi pada bentuk dasar dan


afiks yang dilekatkan padanya.

Tabel 3: Kategori Kata dan Afiks-afiks Pembentuk Verba


Transitif
Kategori N o m i - Adjektiva Verba N u - Adver Bentuk
kata na m e r a - bia dasar
Afiks lia terikat
meng- - - + - - -
-kan + + + + + -
-i + + + - - -
per- + + - - - -
per--kan + - + + - +
per--i + + + - - -

Keberadaan afiks meng-dalam tabel di atas bukanlah


bersifat derivasional, tetapi sebagai afiks infleksional yang
mengubah bentuk verba dasar menjadi verba yang mengisyartkan
bahwa argumen yang berfungsi sebagai subjek cendrung
berperan semantic agentif. Meskipun perulangan dapat
menurunkan verba transitif dalam bahasa Indonesia, namun
ciri morfologis sebagai bahasa aglutinasi tetap diperlihatkan.
Dilihat dari bentuk perulangan yang terjadi, verba transitif yang
diturunkan melalui reduplikasi ada berupa bentuk berimbuhan
dan bentuk yang merupakan perulangan dengan perubahan
vokal. Dilihat dari kategori kelas kata asalnya, verba transitif
melalui reduplikasi diturunkan dari kelas kata verba. Perhatikan
data di bawah ini.

(63) Bentuk ulang berimbuhan


mencari → mencari-cari
meminta → meminta-minta
mencuri → mencuri-curi
merobek → merobek-robek

(64) Bentuk ulang salin suara


membolak-balik
mengutak-atik
mencorat-coret

99
Ketut Artawa & Jufrizal

Penurunan verba transitif melalui pemajemukan juga tidak


terlepas dari afiksasi. Dilihat dari bentuk pemajemukan yang
terjadi, verba transitif yang diturunkan melalui pemajemukan
berupa verba majemuk berimbuhan dan tidak beribuhan. Verba
majemuk berimbuhan dapat dibentuk dari kelas kata majemuk
yang bukan berkategori verba dengan menggunakan sufiks
–kan dan –i. seperti dalam contoh (65) dan yang berberkategori
verba seperti dalam contoh (66).

(65) darma bakti → darmabaktikan
hancur lebur → hancurleburkan
bumi hangus → bumihanguskan
anak tiri → anaktirikan
garis bawah → garisbawahi
tanda tangan → tandatangani

(66) sebar luas → sebarluaskan


ikut serta → ikutsertakan
ambil alih → ambilalihkan
beri tahu → beritahukan
naik turun → naikturunkan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari
ketiga proses penurunan verba transitif dan intransitif yang
terjadi dalam bahasa Indonesia, yaitu afiksasi, reduplikasi, dan
pemajemukan, proses penurunan verba yang paling produktif
adalah afiksasi. Dalam hal ini, prefiks yang sangat produktif
dalam pembentukan verba intransitif adalah prefiks ber- yang
juga dapat dikombinasikan dengan baik dengan sufiks -an dan
-kan. Verba transitif bahasa Indonesia dapat diturunkan dari
kelas kata yang berbeda dengan menggunakan sufiks –kan dan
–i. Di samping kedua sufiks ini, konfiks per- -kan dan per-- i juga
dapat menurunkan verba transitif. Tingginya produktivitas
afiksasi dalam bahasa Indonesia mengisyaratkan bahwa bahasa
ini adalah bahasa bertipologi agulitinasi secara morfologis.

4.3 Tipologi Gramatikal: Morfosintaksis


Dalam kajian tipologi gramatikal, morfosintaksis adalah
tataran yang menjadi sasaran telaah utama. Penipologian
bahasa-bahasa manusia pada umumnya didasarkan pada

100
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

tipologi gramatikal yang berada pada tataran morfosintaksis.


Sejumlah sifat-perilaku gramatikal yang berkenaan dengan
tataran morfosintaksis menjadi pembahasan ilmuwan tipologi
linguistik di bidang ini. Di antara pokok telaah yang penting
dalam tipologi gramatikal adalah perihal struktur dasar,
mekanisme perubahan valensi verba, sistem diatesis, struktur
topik-komen, dan sistem aliansi gramatikal.
Penipologian bahasa-bahasa berdasarkan sifat-perilaku
gramatikal tersebut, untuk lebih jelasnya, disebut juga
tipologi gramatikal. Penyebutan ini dimaksudkan untuk
membedakannya dari kajian tipologi fungsional, kajian tipologi
yang mendasarkan telaahannya pada fitur-fitur dan fungsi
pragmatis atau fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Meskipun
demikian, dasar kajian tipologi linguistik tetap bertumpu pada
tipologi gramatikal (lihat Givon, 1984, 1990; Artawa, 2004;
2005; Jufrizal, 2004, 2006; 2012). Sehubungan dengan tipologi
linguistik, Croft (1993:1 – 3) menambahkan bahwa kajian tipologi
linguistik bersifat deskriptif-alamiah dan lintas bahasa.
Penipologian bahasa (-bahasa) pada tataran morfosintaksis
pada dasarnya berkenaan dengan sifat-perilaku dan sistem
aliansi gramatikal bahasa yang bersangkutan; persekutuan
gramatikal antara klausa (verbal) intransitif dengan klausa
(verbal) transitifnya. Sistem aliansi gramatikal inilah yang
memunculkan bahasa bertipologi nominatif-akusatif (bahasa
akusatif), ergatif-absolutif (bahasa ergatif), atau bahasa aktif.
Untuk menentukan sistem aliansi gramatikal tersebut, teori
tipologi linguistik menggunakan simbol-simbol relasi gramatikal
dan simbol-simbol peran semantis (sering disebut juga satuan-
satuan dasar sintaksis-semantis), seperti berikut:

S = satu-satunya argumen pada klausa intransitif (=subjek


klausa intransitif);
A = argumen agen klausa transitif (=subjek klausa
transitif);
P atau O = argumen pasien klausa transitif (=objek klausa transitif)
(lihat Comrie, 1989; Palmer, 1994; Dixon, 1994; Artawa,
2004; Jufrizal, 2004).

Peran gramatikal yang dilambangkan dengan S, A, dan P


(Dixon, 1994 menggunakan simbol O untuk P) mempunyai peran

101
Ketut Artawa & Jufrizal

penting dalam kajian tipologi linguistik, terutama pada tataran


morfosintaksis (gramatikal). Kenyataan atau kecenderungan
adanya sistem S=A, dan S=P atau sistem lainnya disebut aliansi
gramatikal (persekutuan gramatikal). Dengan kata lain, aliansi
gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan
gramatikal di dalam atau antarklausa dalam satu bahasa secara
tipologis, apakah S=A, S=P, Sa=A, atau Sp=P. Sebuah bahasa
(sekelompok bahasa) ditipologikan sebagai bahasa nominatif-
akusatif (bahasa akusatif) jika bahasa itu mempunyai sistem
aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S, dan
perlakuan yang berbeda diberikan kepada P (S=A, ≠ P). Bahasa
dengan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan S sama
dengan P, dan perlakuan yang berbeda diberikan pada A (S=P, ≠
A) disebut bahasa bertipologi ergatif-absolutif (bahasa ergatif).
Sementara itu, bahasa yang menunjukkan adanya sekelompok
S berperilaku sama dengan A, dan sekelompok lainnya sama
dengan P (Sa=A, Sp=P) disebut sebagai bahasa aktif (bahasa
dengan S-alir atau S-terpilah) (cermati Dixon, 1994; Artawa,
1995, 2005).
Perkembangan teori dan cara kerja tipologi linguistik,
khususnya tipologi gramatikal, berjalan cukup pesat sejak akhir
tahun 1970. Kajian tipologi linguistik mempunyai arti penting
untuk kajian ketata bahasaan bahasa-bahasa secara lebih rinci
dan mendalam. Telaah tipologis juga sangat berarti untuk
mengkaji kekhasan ’uniqueness and specification’ bahasa-bahasa
kecil dan untuk membuat pemetaan bahasa dalam skala besar
secara lintas-bahasa. Kajian ketata bahasaan dengan dasar
dan bentuk kajian tipologi linguistik dapat mengungkapkan
berbagai sifat-perilaku ketata bahasaan lahiriah bahasa-bahasa
manusia secara lintas bahasa. Hasil kajiannya turut memberi
data dan informasi ketata bahasaan untuk merumuskan tata
bahasa semesta dan kajian linguistik lintas-bahasa.
Sehubungan dengan kebermaknaan kajian tipologi
linguistik, Payne (2006:189) mengungkapkan bahwa pe­
nipologian bahasa membantu para ahli bahasa memahami
rentangan dan batasan variasi-variasi yang mungkin ada
dalam bahasa-bahasa manusia. Jika jenis-jenis yang mungkin
secara logika itu ditemukan menjadi sangat jarang atau tidak

102
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

mungkin adanya, itu boleh jadi menjadi masukan bagaimana


pikiran manusia bekerja. Dengan demikian, tipologi bahasa bisa
menjadi ”jendela” ke pikiran dan komunikasi. Ini berarti bahwa
hasil kajian tipologi linguistik akan memberi sejumlah informasi
dan data kebahasaan yang menggambarkan keberagaman dan
pengelompokan bahasa-bahasa manusia secara lintas-bahasa.
Secara teoretis, ini akan memudahkan pemerhati dan ahli bahasa
untuk membuat kaidah-kaidah semesta dan khusus sehubungan
dengan bahasa-bahasa alami manusia di muka bumi.
Untuk menerapkan pemahanan teoretis tentang tipologi
gramatikal yang berkenaan dengan tataran sintaksis, di bawah
ini disajikan telaah tipe-tipe kalimat bahasa Indonesia dari
sudut pandang tipologi linguistik. Uraian di bawah ini dibuat
bersifat netral terhadap pandangan teoretis yang ada dalam
kajian linguistik. Ini juga merupakan lanjutan dari uraian
tentang tipologi morfologi verba bahasa Indonesia di atas. Hal
ini sangat penting dilakukan dalam konteks ini untuk memberi
pemahaman tentang bagaimana caranya mendeskripsikan
bahasa secara tipologis tanpa bias terhadap pemahaman
berdasarkan teori tertentu. Analisis yang tidak berorientasi
kepada pendekatan dan teori ketata bahasaan, yang dirancang
oleh ilmuwan bahasa untuk menjelaskan bagaimana bahasa
bekerja merupakan bentuk kajian kebahasaan dalam tipologi
linguistik. Meskipun demikian, ”kenetralan” kajian tipologi
linguistik ini menjadikan telaah tipologi linguistik bersesuaian
dengan model kajian teori formal tersebut.

4.3.1 Struktur Dasar Kalimat Bahasa Indonesia


Secara tipologis bahasa-bahasa di dunia mempunyai
dua tipe struktur kalimat bila dilihat dari pengisi fungsi
predikatnya. Kedua struktur itu adalah kalimat verbal dan
kalimat non-verbal. Kalimat verbal adalah kalimat yang
predikatnya diisi oleh verba. Verba sering dibedakan menjadi
verba transitif dan verba intransitif, dan dalam bahasa tertentu
ada verba kopula, seperti to be dalam bahasa Inggris. Kalimat
non-verbal yang predikatnya diisi selain verba merupakan
kharakteristik bahasa tertentu. Verba intransitif mempunyai
satu argumen inti sedangkan verba transitif mempunyai dua

103
Ketut Artawa & Jufrizal

atau lebih argumen inti. Pembahasan struktur dasar tidak dapat


dipisahkan dengan pembahasan tentang fungsi argumen dan
fungsi non-argumen yang terlibat dalam pembentukan struktur
dasar itu sendiri. Oleh karena itu, pembahasan struktur dasar
klausa (kalimat) bahasa Indonesia ini dibagi menjadi dua tahap.
Tahap pertama adalah pengidentifikasian tipe-tipe struktur
dasar kalimat bahasa Indonesia berdasarkan fungsi sintaksis
yang melekat pada setiap elemen pembentuk kalimat. Tahap
kedua merupakan pembahasan tentang fungsi argumen yang
terlibat dalam pembentukan struktur dasar kalimat tersebut.
Pembahasan argumen inti ini meliputi pembahasan tentang
kategori-kategori kata atau frasa yang dapat mengisi fungsi
sintaksis pada masing-masing tipe struktur dasar kalimat
bahasa Indonesia.
Berdasarkan kategori fungsi sintaksis unsur
pembentuknya, struktur dasar klausa (kalimat tunggal) bahasa
Indonesia dapat dibagi menjadi enam tipe, seperti yang
dicontohkan berikut. Pengertian kalimat dasar di sini dipakai
sejajar dengan konsep kalimat tunggal seperti yang diuraikan
dalam banyak gramatika Bahasa Indonesia. Kalimat dasar
Bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi:

a. Kalimat berpredikat nomina:

(67) Orang itu guru saya.


(68) Lelaki itu mahasiswa Universitas Udayana.

b. Kalimat berpredikat Adjektiva:

(69) Ibunya sakit.


(70) Orang itu sangat sedih.

c. Kalimat berpredikat verba:


Kalimat yang berpredikat verba dibedakan menjadi empat tipe
sesuai dengan kharateristik verbanya.
Kalimat dengan verba intransitif (tak transitif):

(71) Anak itu menjerit.


(72) Anak itu menagis.

104
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Kalimat dengan verba ekatransitif:

(73) Dia membeli sepeda motor.


(74) Dia melihat seekor ular besar.

Kalimat dengan verba dwitansitif:

(75) Dia membawakan adiknya buku.


(76) Dia membelikan kami baju baru.
(77) Dia mengirimi atasannya surat.

Kalimat dengan verba semitransitif:

(78) Dia sedang menulis.


(79) Dia makan.

d. Kalimat dengan predikat frasa preposisional:

(80) Mereka di pasar.


(81) Anak itu di halaman rumah.

Semua contoh kalimat yang yang diberikan di atas


adalah kalimat dasar atau kalimat tunggal. Kalimat-kalimat ini
tidak mememili unsur bukan inti (non-inti). Yang dimaksud
dengan unsur bukan-inti di sini adalah unsur atau konstituen
yang kehadirannya dalam sebuah kalimat bersifat manasuka.
Perhatikan contoh-contoh berikut!

(82) Ayah tidur di rumah lama.


(83) Agus memukul anjing dengan sapu lidi.
(84) Ira pintar matematika.
(85) Anisa membeli surat kabar kemarin.

Sebagai verba intransitif, tidur dalam contoh (82) tidak me­


merlukan keterangan tempat di rumah lama sebagai argumennya.
Dengan kata lain, kehadiran keterangan tempat di rumah
bersifat manasuka. Hal yang sama ada pada kalimat (83) yang
menyertakan fungsi non-argumen dengan sapu lidi. Tanpa
kehadiran unsur ini pun kalimat Agus memukul anjing tetap
berterima. Begitu pula halnya dengan kehadiran unsur noninti
matematika pada kalimat (84). Tanpa kehadiran argumen dengan

105
Ketut Artawa & Jufrizal

fungsi pelengkap ini, kalimat Ira pintar sudah merupakan


kalimat yang berterima. Sementara itu, sebagai verba transitif,
membeli, pada (85), memerlukan kehadiran dua argumen inti
Anisa dan surat kabar sedangkan kehadiran unsur kemarin
bersifat opsional.

4.3.2 Predikat dan Fungsi-fungsi S, A, O dan E


Apa itu predikat? Secara sederhana predikat dapat
didefinisikan sebagai elemen, yang dapat berupa verba,
adjektiva, atau nomina, yang bertugas menentukan unit
sintaksis yang diperlukan dari sebuah struktur kalimat. Dengan
demikian predikat merupakan inti sebuah kalimat. Jika sebuah
kalimat terdiri atas lebih dari satu frasa nominal, pembedaan
frasa nominal yang sebagai argumen inti dan yang sebagai
argumen bukan-inti menjadi sangat penting. Pembedaan ini
selanjutnya dapat memberikan gambaran tentang element inti
kalimat dan yang bukan inti. Yang dimaksud dengan inti kalimat
adalah satuan sintaksis yang terdiri atas predikat dan argumen
inti, sedangkan argumen bukan-inti yang terdapat dalam satu
kalimat bukanlah ditentukan oleh ketransitifan verbanya tetapi
lebih merupakan unsur tambahan. Perhatikan kalimat berikut
dengan verba sebagai inti, frasa nominal sebagai argumen inti
dan frasa preposisi sebagai non-inti.

(86) Anik membaca buku di perpustakaan.


(Arg inti) (predikat) (arg inti) (arg bukan-inti)

Gabungan Anik membaca buku adalah kalimat dasar sedangkan


unsur di perpustakaan adalah unsur periferal. Setiap bahasa,
pada dasarnya, memiliki verba. Dan setiap bahasa mampu
menyatakan siapa yang melakukan apa terhadap siapa. Namun
klasifikasi verba mungkin berbeda antarbahasa yang satu
dengan bahasa yang lainnya. Misalnya, bahasa Dyirbal, salah
satu bahasa keluarga Aborigin di Australia, memiliki verba
yang terbagi menjadi dua secara ketat: yakni verva intansitif dan
verba transitif. Dalam bahasa ini tidak ada verba ambitransitif.
Sementara itu, bahasa Indonesia memiliki verba yang dapat
diklasifikasikan menjadi:

106
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

a. Verba intransitif, yang memerlukan satu argumen inti (S).


Contoh verba ini adalah: datang, pergi, dll.
b. Verba transitif, yang memerlukan daua argument inti (A
dan O). Contohnya adalah verba seperti : pukul, tusuk,
dll.
c. Verba ditransitif, yang memerlukan tiga argumen Inti
( A, O dan E) Contohnya adalah verba: membawakan,
menunjukkan, dll.
d. Verba Ambitrasitif, yang bisa memerlukan dua argumen
(A dan O) atau satu argumen (S). Contohnya adalah ,
makan, minum, dll.

Di samping pembagian di atas, ada bahasa yang mempunyai


keterpilahan untuk verb intansitif. Yang dibedakan menjadi Sa
dan So dan verba intansitif yang diperluas (S,E). Secara tipologis
sifat-perilaku itu dapat dikonfigurasi sebagai berikut (lihat
Dixon, 2010).

a. Intransitif S
b. ‘Extended” intransitif S E
c. Transitif A O
d. ‘Extended’ transitif A O E

Ketransitifan dapat dibedakan menjadi: intransitif dan


transitif, sedangkan dari sudut valensi dapat dibedakan menajadi
: valensi satu, valensi dua dan, Valensi tiga. Bila dikaitkan dengan
argumen bisa didapatkan verba dengan satu argumen, dua
argumen, dan tiga argumen. Argumen ini merupakan argumen
inti. Verba intansitif disamping merlukan S, ada sejumlah verba
intransitif yang memerlukan E sebagai argumen inti., yakni
verba ‘Extended intransitive. Seperti halnya ‘extended transitif’
di samping memerlukan A dan O juga memerlukan (E) sebagai
argument inti. Ada beberapa bahasa, yang membedakan E dan
unsur lain yang yang bukan inti. Namun banyak bahasa yang
memarkahi E dan unsur bukan-inti dengan cara yang sama.
Konsep fungsi gramatikal S, A, O dan E merupakan salah
satu cara untuk menentukan argumen inti dan non inti dalam
sebuah kalimat. Sebelum bagaimana menggambarkan kalimat
dengan konsep ini berikut akan disajikan bagaimana kalimat

107
Ketut Artawa & Jufrizal

bahasa Indonesia biasanya dipetakan. Strukktur atau pola


dasar kalimat bahasa Indonesia telah banyak diuraikan dalam
berbagai buku tata bahasa bahasa Indonesia. Pola merupakan
model, macam atau jenis yang ditetapkan berdasarkan
kriteria tertentu. Pengertian pola dasar di sini mengacu pada
konstruksi kalimat yang belum mengalami revaluasi struktur.
Pada umumnya, para tata bahasawan berpendapat bahwa pola
kalimat dasar bahasa Indonesia memiliki sekurang-kurangnya
subjek dan predikat. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa kalimat
tersebut merupakan kalimat intransitif karena memiliki satu
argumen inti, yaitu: S yang menduduki fangsi subjek gramatikal
dan predikat biasanya berupa verba. Sedangkan pada kalimat
transitif sekurang-kurangnya memiliki subjek-predikat-objek.
Ditegaskan pula bahwa kalimat intransitif dapat diturunkan
menjadi kalimat transitif dengan memanfaatkan imbuhan
tertentu, misalnya: per-, -kan dan (periksa juga Soenjono, 1983,
Fokker, 1980; Slametmuljana, 1969)
Verba yang menduduki fungsi predikat merupakan inti
kalimat. Hal ini menunjukkan bahwa valensi verba tertentu
memiliki khasiat secara semantis untuk menentukan jumlah
serta menyeleksi argumen mana yang dapat berdampingan
dengannya. Dengan demikian, berdasarkan valensinya, kalimat
dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu: kalimat intransitif
dan kalimat transitif. Dalam kajian tipologi linguistik, telaah
sifat-perilaku gramatikal klausa intransitif dan transitif dalam
bahasa-bahasa manusia secara lintas merupakan titik perhatian
yang penting untuk penipologian bahasa-bahasa yang ada.

4.3.3 Kalimat Intransitif


Kalimat intransitif memiliki satu argumen inti. Arguemn
inti ini disimbulkan dengan S dalam kajian tipologi bahasa.
Secara lintas bahasa, S ini dapat mempunyai peran semantis
sebagai agen atu pasien.

(87) Adik (S) tidur.


(88) Paman (S) datang.
(89) Mereka (S) menari.
(90) Pengusi itu (S) kelaparan.
(91) Mereka (S) berpelukan.

108
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Kalimat berpredikat ‘extended’ intransitif:

(91) Mereka (S) tinggal di Denpasar (E).


(92) Rumah itu (S) beratap genting (E).
(93) Pasukan itu (S) bersenjatakan meriam dan senapan ( E).

Berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa kalimat


intransitif memiliki satu argumen inti dengan urutan S dan
predikat. Jika dilihat berdasarkan sistem pemarkahannya, verba
intransitif dapat dipilah lagi menjadi dua bagian, yaitu: verba
intransitif tanpa markah dan verba intransitif turunan (lihat
morfologi verba). Di samping memerlukan argument inti (S),
beberapa verba intransitif juga ada yang memrlukan argument
inti lain (E) seperti pada contoh (91), (92), dan (93) di atas.
Selain itu, bahasa Indonesia juga mengizinkan adanya
predikat yang bukan verba. Perhatikan contoh-contoh berikut!

(94) a. Dia (S) guru matematika.


b. Anaknya (S) dua orang.
c. Mobilnya (S) merah.
d. Ibu (S) ke pasar pagi ini.

Fokker (1980: 21) mengatakan bahwa bahasa Indonesia memiliki


kata-kata tertentu untuk menyatakan pembatas relasi S-P secara
eksplisit, misalnya: adalah, ialah, dan menjadi sehingga kalimat
(94) a dan b dapat diperluas menjadi:

(95) a. Dia (menjadi/adalah) guru.


b. Anaknya (ada) dua orang.

Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1993:381) menyebutkan


bahwa adalah, ialah, dan merupakan digunakan jika pengisi
subjek dan/atau predikat merupakan kalimat yang panjang
sehingga dapat digunakan sebagai pemisah antara subjek
dengan predikat.

(96) a. Pemilu merupakan hak setiap warga negara Indonesia.


b. Timor Timur merupakan bagian dari kedaulatan Republik
Indonesia.

109
Ketut Artawa & Jufrizal

Di samping itu, terdapat pemarkah seperti lah yang pada


umumnya menandai predikat atau jika predikat tersebut.

(97) a. Dia (S) orangnya.


b. Dialah (S) orangnya.

Verba intransitif dapat pula berangkai dengan preposisi tertentu,


misalnya: senang akan, gembira atas, berbicara tentang, dll.

(98) a. Mereka (S) berbicara tentang keputusan rapat ( E).


b. Mereka membicarakan keputusan rapat.
c. Mereka membicarakan tentang keputusan rapat.

Kalimat (98) a dengan b membawa informasi yang sama. Akan


tetapi, dalam tautan sintaktis keduanya berbeda. Keputusan
rapat pada (98)a merupakan pelengkap ( E) sedangkan pada
(98)b merupakan O. Kalimat (98)c dinilai berlebihan karena
verba transitif dapat langsung diikuti objek. Poedjawijatna
dan Zoetmulder (1964) mengatakan bahwa akan dapat menjadi
partikel pementing ‘objek’. Letak objek biasanya di belakang
predikat dan tidak dapat disisipi bentuk lain. Akan tetapi,
pada verba tertentu, antara predikat dengan objek dapat disela
dengan kata akan, seperti pada contoh berikut.

(99) a. Saya tidak mengerti akan maksud Tuan datang kemari.


b. la menerima akan kadratya.
c. Orang itu tidak mengindahkan lagi akan dirinya.

Hal lain yang cukup menarik adalah terdapatnya verba yang


secara semantis merupakan verba transitif. Akan tetapi,
dalam tautan sintaktis, objek kalimat itu dapat dilesapkan.
Fokker (1980:27) menyebutnya sebagai objek yang dielipkan.
Motivasinya adalah karena ‘objek’ tersebut sudah disebutkan
sebelumnya atau sudah pasti karena situasinya.

(99) a. Inilah suamimu datang menjemput.


b. Hasil percobaan itu memuaskan benar.

Verba sejenis di atas, misalnya: (1) verba yang diturunkan dari


nomina seperti: menyapu, menggunting, menjahit, menyapu, me-
mepes, menyate, dan lain sebagainya; (2) verba yang bernuansa

110
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

penilaian, seperti: menyenangkan, memadai, merugikan, mengun-


tungkan, mencukupi, mengherankan, mengharukan, menjemukan,
mengecewakan, mengerikan, mengagiimkan, memusing­kan: dan (3)
verba seperti, makan dan minum.
Dalam hal tertentu, timbul penyekatan sintaktis antara
predikat dengan ‘objek’ menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan (kompositum), seperti: menarik hati, merintis jalan,
mohon diri, mencolok mata, menggantang asap, dan lain sebagainya.
Di samping itu, ditemukan pula pertauan argumen ke dalam
predikat sehingga membentuk predikat baru (Harimurti, 1988)
seperti pada (100)b dan d di bawah ini.

(100) a. Dia menyabit rumput di halaman sekolah.


b. Dia merumput di halaman sekolah.
c. Pak Maman hidup dari mencari rotan.
d. Pak Maman hidup dari merotan.

4.3.4 Kalimat Transitif


Predikat transitif bahasa Indonesia dapat dipilah menjadi
dua kelompok, yaitu: ekatransitif dan dwitransitif. Kedua
istilah ini digunakan untuk memilah kalimat yang mengikat
dua argumen inti (ekatransitif) dengan kalimat transitif yang
memiliki tiga argumen inti (dwitransitif). Kalimat dwitransitif
BI memiliki urutan : Subjek - Predikat - Objek -Pelengkap. Dalam
hal ini Sutan Takdir Alisjahbana menyamakan pengertian objek
dengan pelengkap. Sedangkan, Zoedmulder dan Poedjawijatna
menggunakan istilah objek untuk objek dan pelengkap,
sedangkan Fokker (1980) dan TBBBI (1988) membedakan antara
objek dengan predikat. Berikut adalah beberapa contoh verba
transitif. Verba transitif ini memerlukan dua argumen inti, yaitu
A dan P. Kemunculan verba ini dalam kalimat bisa dengan
prefiks-meng dan bisa juaga tidak mendapat prefiks. Yang
tidak mendapat prefiks, salahsatunya dianggap ragam tidak
formal dan yang satu lagi sering disebut sebagai kalimat pasif.
Keduanya memiliki pola urutan konstituen yang berbeda. Di
antara verba itu adalah:

tutup pukul
buka cangkul
bawa pancing

111
Ketut Artawa & Jufrizal

Misalnya:

(101) a. Pintu gerbang itu (O) mereka (A) buka bersama-sama.


b. Uangnya (O) sudah saya (A) bawa kemarin.
c. Sawah itu (O) sudah dia (A) bajak

Kalimat (101) berpredikat verba transitif dan pola urutan


konstituennya adalah [ O + A + Verb] Kalimat-kalimat tersebut
memiliki konstruksi altematif, yaitu dibangun imbuhan meng-
sehingga membentuk konstruksi ( A + meng-verba + O ]. Hal
ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini:

(101) a. Mereka (A) membuka pintu gerbang itu (O) bersama-sama.


b. Saya (A) sudah membawa uangnya (O) kemarin.
c. Dia (A) membajak sawah itu (O)

Dalam bahasa Indonesia informal prefiks meng- bisa dilesapkan


sehingga didatkan kalimat seperti (102) berikut.

(102) a. Mereka (A) buka pintu gerbang itu (O) bersama-sama.


b. Saya (A) sudah bawa uangnya (O) kemarin.
c. Dia (A) bajak sawah itu (O)

Hampir semua literatur menyatakan bahwa konstruksi


dengan prefiks meng- disebut sebagai kalimat aktif. Sedangkan
konstruksi klausa dengan verba tanpa prefiks yang mempunyai
pola urutan konstituen O-A-V dianggap sebagai sebagai
salah satu jenis kalimat pasif. Jika dicermati secara lebih jauh,
pengelompokannya sebagai salah satu jenis klausa pasif kurang
tepat karena subjek gramatikalnya bukanlah murni berperan
sebagai pasien. Jufrizal (2004, 2012) menyebut konstruksi ini
sebagai klausa penopikalan, sebagaimana juga ditemui dalam
BM. Gejala tipologi gramatikal ini akan dibahas lagi dalam
sistem diatesis aktif dan pasif.

4.4 Catatan Penutup


Beberapa pokok bahasa mendasar dalam tipologi
gramatikal sudah di sajikan pada bab ini. Namun, perlu
diketahui bahwa perihal klausa majemuk, baik majemuk

112
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

setara maupun bertingkat, dalam bahasa (-bahasa) manusia


secara lintas bahasa juga menjadi bahasan tipologi gramatikal.
Sajian pada bab ini dimaksudkan untuk memberi gambaran
awal perihal tipologi gramatikal yang mengarah ke penentuan
tipologi bahasa. Sejumlah pokok bahasan lain yang menjadi
lanjutan dari isi bab ini untuk mendapatkan pengetahuan
teoretis tipologi linguistik dan penerapannya dalam beberapa
bahasa disajikan pada bab-bab selanjutnya. Oleh karena itu,
sajian teori dan pembahasannya perlu dicermati lebih sungguh-
sungguh sebagai pegangan untuk memahami perihal tipologi
bahasa dan penelitian di bidang ini.

113
114
BAB V

SISTEM ALIANSI GRAMATIKAL

P
5.1 Dasar-dasar Teori Sistem Aliansi Gramatikal
engelompokan bahasa-bahasa atau komponen bahasa-
bahasa manusia secara lintas bahasa berdasarkan ciri-
ciri khas formal yang dimiliki bersama merupakan
tujuan utama kajian tipologi linguistik. Pengelompokan itulah
yang melahirkan tipologi bahasa. Dasar pijakan kajian ini
mengandung tiga proposisi, yang menjadi dasar penelitian
dan pengkajian data dalam tipologi linguistik. Dengan kata
lain, ilmuwan dan peneliti tipologi linguistik menjadikan tiga
proposisi tersebut sebagai pedoman dasar pengkajian data untuk
mengelompokkan bahasa(-bahasa) alami manusia. Proposisi
itu adalah: (i) kajian tipologi meliputi perbandingan lintas bahasa;
(ii) kajian tipologi mengelompokkan bahasa-bahasa atau aspek-aspek
bahasa manusia; dan (iii) kajian tipologi mencermati fitur-fitur formal
bahasa-bahasa (Whaley, 1997: 7 – 11). Seiring dengan itu, Song
(2001:4) menjelaskan bahwa ada empat tahapan telaah tipologis.
Tahapan itu adalah: (i) menentukan fenomena kebahasaan yang
akan dikaji; (ii) mengelompokkan secara tipologis fenomena
yang sedang diteliti; (iii) merumuskan simpulan umum
(generalisasi) atas pengelompokan tersebut; dan (iv) membuat
penjelasan atas simpulan umum tersebut. Proposisi dan tahapan
analisis yang menjadi landasan dasar kajian tipologi linguistik
memungkinkan diperolehnya deskripsi dan penjelasan tentang
sistem dan kaidah lahiriah bahasa-bahasa secara alami, tanpa
dipengaruhi oleh model teori tata bahasa yang dikembangkan
untuk menjelaskan bagaimana bahasa manusia bekerja secara
teoretis.
Penipologian bahasa (-bahasa) manusia yang didasarkan
pada perbandingan fitur-fitur gramatikal lahiriah dalam bahasa
tertentu dalam perkembangannya disebut lebih khusus sebagai
tipologi gramatikal (grammatical typology), istilah teknis yang
digunakan untuk membedakannya dari tipologi fungsional
115
Ketut Artawa & Jufrizal

(functional typology). Tipologi fungsional adalah pengembangan


dari kajian tipologi linguistik yang lebih mendasari penipologian
bahasa (-bahasa) pada fungsi-fungsi pragmatis dan wacana
pemakaian bahasa (lihat Artawa, 2005; Jufrizal, 2007; Jufrizal,
2012; Jufrizal, 2013; Jufrizal dkk., 2013). Secara lebih khusus,
penipologian bahasa (-bahasa) secara gramatikal dapat
didasarkan pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Dalam hal ini, tipologi bahasa secara fonologis dikaitkan dengan
sistem fonetis dan fonologis (vokal, konsonan, diftong), sistem
fonotaktik, pola kanonik dan sistem tata bunyi lainnya. Tipologi
morfologis menelaah perihal tata kata bahasa-bahasa manusia
sehingga dapat dikelompokkan sebagai bahasa isolasi, bahasa
fleksi (fusional), bahasa aglutinasi, dan bahasa polisintetis.
Selain itu, sebutan bahasa akusatif, ergatif, atau aktif adalah juga
sebutan tipologi bahasa yang dikaitkan dengan pemarkah kasus
pada tataran sintaksis dan sistem aliansi gramatikal (lihat lebih
jauh Mallinson dan Blake, 1981; Jufrizal, 2012; Jufrizal, 2013).
Tipologi gramatikal, pada buku ini, merujuk ke penipologian
bahasa (-bahasa) yang didasarkan pada sistem aliansi gramatikal
tataran morfologi-sintaksis (morfosintaksis).
Dalam tipologi linguistik (gramatikal), sistem aliansi
(persekutuan) gramatikal yang terjadi antarunsur dua jenis
klausa utama, yakni klausa intransitif dan transitif, merupakan
konsep dasar yang menentukan penipologian bahasa (-bahasa)
secara lintas bahasa. Argumen sebuah predikasi (klausa dasar)
ditetapkan berdasarkan peran sintaktis-semantis. Dalam buku
ini, satuan-satuan dasar sintaktis-semantis dan simbol yang
digunakan sebagai panduan analisis adalah sebagai berikut
(Artawa, 2005; Jufrizal, 2004; Jufrizal, 2013; Jufrizal dkk., 2013).

S = subjek klausa intransitif (satu-satunya argumen pada klausa


intransitif)
A = subjek klausa transitif (argumen agen pada klausa transitif)
P = objek klausa transitif (argumen pasien pada klausa transitif)

Pertautan atau persekutuan yang terjadi antara satuan-


satuan sintaktis-semantis tersebut setelah diperbandingkan
antara klausa intransitif dan transitif dalam satu bahasa maka
itulah yang disebut sistem aliansi gramatikal (the system of

116
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

grammatical alignment) bahasa tersebut. Secara teoretis, sebuah


bahasa dikelompokkan sebagai bahasa bertipologi ergatif-
absolutif (disingkat bahasa ergatif) apabila terjadi sistem aliansi
gramatikal yang argumen pasien (P) dari predikat transitifnya
“diperlakukan” sama dengan satu-satunya argumen predikat
intransitif (S), dan perlakuan yang berbeda diberikan untuk
argumen agen (A) dari predikat transitif (S = P, ≠ A) . Bahasa
Kaltatungu, keluarga bahasa Aborigin di Australia, adalah
contoh bahasa ergatif ini. ‘Perlakuan sama’ secara gramatikal,
dalam hal ini, dapat terjadi pada tataran morfologis, sintaksis,
atau keduanya sekaligus. Apabila perlakuan yang sama itu
diperlihatkan secara morfologis (dalam proses morfologis),
maka bahasa itu dikatakan sebagai bahasa bertipologi ergatif
secara morfologi. Jika perlakuan yang sama tersebut ditunjukkan
dalam proses-proses sintaktis, bahasa yang bersangkutan disebut
sebagai bahasa bertipologi ergatif secara sintaktis. Begitu pula
halnya apabila terjadi pada proses-proses morfosintaktis. Perlu
diingat bahwa tidak semua bahasa yang bertipologi ergatif
secara morfologis adalah juga bahasa ergatif secara sintaktis,
dan begitu juga sebaliknya (lihat Comrie, 1989; Artawa, 2000;
Artawa, 2005; Jufrizal 2012; Jufrizal dkk., 2013, 2014).
Di sisi lain, sebuah bahasa dikatakan bertipologi
nominatif-akusatif (disingkat bahasa akusatif) apabila sistem
aliansi gramatikal bahasa itu memperlakukan S sama dengan
A, dan perlakuan yang berbeda diberikan untuk P (S = A, ≠ P).
Bahasa Inggris adalah contoh bahasa akusatif secara gramatikal,
sedangkan BM (Jufrizal, 2004), misalnya, adalah bahasa yang
bertipologi akusatif secara sintaktis. Selain kedua jenis tipologi
bahasa ini, ada pula tipologi lain berdasarkan sistem aliansi
gramatikal yang disebut bahasa aktif atau bahasa-bahasa dengan
s-terpilah dan s-alir (Dixon, 1994; Djunaidi, 2000; Artawa, 2005;
Jufrizal, 2007). Penelitian ini berupaya mencermati kembali
fenomena ketatabahasaan BM secara tipologis dan membuat
penegasan kembali tentang tipologi gramatikalnya.
Berdasarkan kajian-kajian tipologi linguistik yang
sudah ada, para ahli dan peneliti di bidang ini dapat membuat
simpulan logis tentang kemungkinan sistem aliansi gramatikal
bahasa-bahasa manusia secara lintas bahasa yang menunjukkan

117
Ketut Artawa & Jufrizal

kesemestaan dan sekaligus kekhasan bahasa-bahasa tersebut.


Ada lima kemungkinan sistem aliansi gramatikal bahasa
(-bahasa) manusia secara teoretis seperti berikut (lihat Dixon,
1994; Song, 2001; Payne, 2002).

(i) sistem nominatif-akusatif: S = A , ≠ P (banyak ditemukan)


(ii) sistem ergatif-absolutif: S = P, ≠ A (banyak ditemukan)
(iii) sistem tripartit: S ≠ A ≠ P (jarang ditemukan)
(iv) sistem AP/S: A = P, ≠ S (belum ditemukan)
(v) sistem netral: S = A = P (jarang ditemukan)

Dalam kajian tipologi linguistik, argumen sebuah


predikasi (klausa dasar) ditetapkan berdasarkan peran
sintaktis-semantis. Satuan-satuan sintaktis-semantis di atas,
dengan pelambangan P boleh diganti dengan O, dijadikan
”poros” untuk penelaahan aliansi gramatikal. Oleh karena
itu, satuan-satuan dasar sintaktis-semantis untuk argumen
sebuah predikasi klausa dasar seperti berikut juga sering
digunakan.

S = subjek klausa intransitif (satu-satunya argumen pada


klausa intransitif).
A = subjek klausa transitif (argumen agen pada klausa
transitif).
P/O = objek klausa transitif (argumen pasien pada klausa
transitif).

Mirip dengan penjelasan sebelumnya, sebutan bahasa


nominatif-akusatif (sering dipendekkan menjadi bahasa
akusatif) adalah nama yang diberikan untuk bahasa-bahasa
yang sistem aliansi gramatikalnya memperlakukan A sama
dengan S dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P.
Bahasa Inggris, misalnya, termasuk bahasa akusatif. Perhatikan
contoh berikut.

(103) He (S) runs.


(104) He (A) hits her (P).

Dari contoh di atas terlihat bahwa A diperlakukan sama dengan


S. Perlakuan yang sama itu ditunjukkan dalam pemarkahan
kasus, persesuaian, dan urutan kata. Argumen S dalam klausa

118
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

intransitif dan A dalam klausa transitif muncul dengan kasus


nominatif, sedangkan P untuk klausa transitif diberi kasus
akusatif.
Bahasa ergatif memperlakukan P sama dengan S. Biasanya
keduanya sama-sama tidak bermarkah. Berikut adalah contoh
yang diambil dari salah satu keluarga bahasa Aborigin Australia,
Kaltatungu (Blake, 1988):

(105) Kalpin (S) ingka.


lelaki pergi
‘Lelaki itu pergi’

(106) Marapa-thu (A) nanya kalpin (P).


wanita-ERG melihat lelaki
‘Wanita itu melihat lelaki itu’

Dari contoh (105) dan (106) terlihat bahwa P dan S diperlakukan


sama secara morfologis, yakni sama-sama tidak bermarkah,
sedangkan A dimarkahi dengan sufiks –thu.
Selanjutnya, bahasa aktif adalah penamaan untuk
kelompok bahasa yang menunjukkan adanya sistem aliansi
gramatikal, sekelompok S yang berperilaku sama dengan P
dan sekelompok S yang berperilaku sama dengan A dalam
satu bahasa. Lihat contoh data bahasa Choctaw berikut (Blake,
1990):

(107) Chi – bashi - li – tok.


kamu menolong saya kala lampau
‘Saya telah menolong kamu’

(108) ano is – sa – kottopali – tok.


saya kamu –saya (Obj) melukai kala lampau
‘Kamu telah melukai saya’

Dalam klausa intransitif, subjeknya dapat berbentuk pronomina


yang berfungsi sebagai subjek, seperti (107), atau seperti
pronomina yang menduduki fungsi objek, seperti pada contoh
(108). Dalam beberapa buku sumber dan pendapat ahli tipologi
linguistik, bahasa aktif sering pula disebut sebagai bahasa
s-terpilah dan s-alir, bahasa aktif-netral, aktif-statif, statif-aktif,
agentif, agentif-pasien dan intransitif-terpilah, aktif /non-aktif,

119
Ketut Artawa & Jufrizal

bukan-akusatif/bukan-ergatif (lihat Dixon, 1994; Djunaidi,


2000b).
Penipologian bahasa-bahasa secara gramatikal dalam
tipologi linguistik berkaitan dengan apa yang disebut aliansi
gramatikal (grammatical alignment). Sebagaimana sudah
dikemukakan di atas, aliansi gramatikal adalah sistem
persekutuan atau kecenderungan persekutuan gramatikal di
dalam atau antarklausa dalam satu bahasa secara tipologis,
apakah S = A, S = O, Sa = A, Sp = O (lihat Dixon, 1994; Arka,
2000; Payne, 2002; Jufrizal, 2004). Dixon (1994) mengemukakan
bahwa sistem aliansi gramatikal yang menjadi titik perhatian
untuk menentukan tipologi gramatikal yang mungkin untuk
bahasa-bahasa di dunia dapat dibagi tiga, yakni sistem akusatif,
sistem ergatif, dan sistem s-terpilah (bahasa aktif).
Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu, kajian
tipologi bahasa pada dasarnya bekenaan dengan pengelompokan
bahasa-bahasa berdasarkan struktur gramatikalnya. Akan tetapi,
bukan itu saja dasar yang dipakai untuk mengelompokkan
bahasa-bahasa manusia, melainkan ada pula cara lain. Smith
(lihat Mallison dan Blake, 1981) membedakan tiga dasar
pengelompokan bahasa, yakni (i) pengelompokan berdasarkan
genetik; (ii) pengelompokan berdasarkan tipologi; dan (iii)
pengelompokan berdasarkan area (kawasan). Mallinson dan
Blake juga mengemukakan bahwa penelitian generalisasi lintas
bahasa atau kesemestaan bahasa (language universal) merupakan
pokok pikiran utama yang melatari penelitian (kajian) tipologi
skala besar. Penelitian kesemestaan bahasa menghendaki kajian
tipologis secara lintas bahasa seluas mungkin. Adanya hubungan
penelitian kesemestaan bahasa dengan penelitian tipologis
menyebabkan para ahli berpendapat bahwa kajian tipologi
linguistik dan kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan
dan mulai terlihat sejak pertengahan abad ke-20.
Kesemestaan bahasa (language universal) dan gramatika
semesta (universal grammar) adalah dua istilah linguistik
yang sering disebut dan dikaitkan dengan tipologi linguistik.
Sebelum dikemukakan apa itu kesemestaan bahasa dan apa
itu gramatika semesta (universal grammar), ada baiknya kita
cermati apa yang dikemukakan oleh van Valin, Jr. dan Lapolla

120
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(2002:2—4) tentang tujuan teori lingusitik. Menurut mereka, teori


lingusitik itu harus dapat: (i) memerikan fenomena linguistik;
(ii) menjelaskan fenomena linguistik; dan (iii) memahami
(memberikan pemahaman) dasar kognitif bahasa. Tipologi
linguistik pada awal perkembangannya berada pada dua tujuan
pertama dari tiga tujuan teori linguistik tersebut. Kajian tipologi
linguistik, apakah itu memakai pendekatan tipologi klasifikasi,
tipologi murni, atau tipologi fungsional, pada dasarnya hanya
bersifat ‘deskriptif’ atau ‘taksonomis’. Linguistik tipologi (teori
lingusitik yang berkaitan dengan tipologi) tidak mempersiapkan
cara-cara untuk pengembangan teori bahasa yang dapat
berfungsi sebagai bentuk lain teori linguistik generatif. Kajian
tipologi linguistik bersifat deskriptif-alamiah dan lintas bahasa
(lihat Croft, 1993:1—3).
Dalam perkembangan dan kelanjutan kajian yang bersifat
deskriptif-alamiah lintas bahasa tersebut, tipologi linguistik
secara tajam dan berkesinambungan akan sampai pada tujuan
yang ketiga dari teori linguistik: memahami dasar kognitif
bahasa. Dengan kata lain, kajian tipologi linguistik yang cermat
dan mendalam dipercayai akan sampai pada tahap memahami
dasar-dasar kognitif bahasa. Hipotesis ini didasarkan atas
pangkajian tipologi bahasa yang beriringan dengan kajian
kesemestaan bahasa. Sebagaimana diketahui, kajian kesemestaan
bahasa mengarah ke perumusan dan penemuan gramatika
bahasa semesta (lihat Jufrizal, 2012).
Apa itu gramatika semesta dan kesemestaan bahasa?
Kesemestaan bahasa (juga dapat dikatakan sama dengan
kesemestaan linguistik) adalah sifat-perilaku kebahasaan yang
(lebih kurang) dimiliki oleh semua bahasa atau pernyataan-
pernyataan kebahasaan yang dimiliki oleh (hampir) semua
bahasa. Kesemestaan dalam hal ini dapat bersifat mutlak,
relatif, atau statistis. Kesemestaan bahasa ini dirumuskan secara
linguistis demikian rupa sebagai gramatika semesta; setiap
sistem gramatika atau seperangkat pernyataan gramatikal yang
dihipotesiskan dimiliki oleh semua bahasa (lihat Foley dan
van Valin, Jr., 1984; Matthews, 1997). Song (2001) menyebutkan
bahwa kesemestaan bahasa adalah sifat-perilaku yang dimiliki
oleh bahasa-bahasa manusia, atau sekurang-kurangnya dimiliki

121
Ketut Artawa & Jufrizal

oleh sebagian besar bahasa di muka bumi ini. Di sisi lain, tipologi
linguistik berkenaan dengan pengelompokan bahasa-bahasa ke
dalam jenis struktur yang berbeda.
Cara kerja kajian tipologi linguistik dan kesemestaan
bahasa secara sepintas seolah-olah bertentangan. Pendapat
ini ada benarnya karena pada permukaannya bentuk dan
arah pengkajiannya berbeda. Penelitian kesemestaan bahasa
berusaha menemukan: (i) perilaku dan sifat-sifat yang umum
dimiliki oleh semua bahasa manusia; (ii) mencari/menemukan
kemiripan yang ada secara lintas bahasa; dan (iii) berusaha
menetapkan batas-batas variasi bahasa manusia. Di sisi lain,
penelitian tipologi berusaha: (i) mengelompokkan bahasa-
bahasa; menetapkan bahasa-bahasa ke dalam kelompok
tertentu; (ii) mengkaji dan meneliti perbedaan antara bahasa-
bahasa; dan (iii) mempelajari variasi-variasi bahasa manusia.
Apakah implikasi timbal baliknya? Untuk menetapkan tipologi
bahasa perlu ditetapkan parameter-parameter tertentu untuk
mengelompokkan bahasa di dunia. Untuk menetapkan tipologi
bahasa diperlukan pembuatan asumsi kesemestaan bahasa. Hal
ini berarti bahwa penipologian bahasa memerlukan asumsi-
asumsi dasar tentang kesemestaan bahasa, sementara untuk
mendapatkan kesemestaan bahasa atau gramatika semesta
diperlukan pengkajian mendalam tentang tipologi bahasa-
bahasa di dunia. Berdasarkan keterkaitan ini penelitian
kesemestaan bahasa dan penelitian tipologi sebenarnya bukan
bertentangan, melainkan saling memperkuat dan berjalan
beriringan (lihat lebih jauh Comrie, 1983;1989; Jufrizal, 2012).
Perlu ditegaskan bahwa para ahli tipologi linguistik ber-
upaya mempelajari variasi-variasi lintas bahasa untuk mema-
hami hakitat bahasa manusia. Interaksi model kajian kesemes-
taan bahasa dan kajian tipologi linguistik dapat menjadi pokok
utama untuk merumuskan sifat-perilaku kesemestaan bahasa
dengan dasar klasifikasi tipologis (Song, 2001:9 – 10). Tujuan
utama kajian tipologi linguistik memang berada pada tahap pe-
merian (description) dan penjelasan (explanation) secermat mung­
kin sifat-perilaku gramatikal bahasa-bahasa di dunia. Namun,
kajian lanjutan yang lebih cermat dan dalam skala besar terus
mengarah ke penemuan gramatika semesta. Tujuan lanjut dan

122
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

mendalam ini dapat dikaitkan dan ditafsirkan sebagai tujuan


untuk memahami prihal kognitif tentang bahasa. Jika demikian
halnya, penipologian bahasa-bahasa manusia secara gramatikal
akan turut “mengusung” dan “memenuhi” tuntutan tujuan
ideal linguistik ketiga seperti yang disebut di atas. Dengan de-
mikian, kajian tipologi linguistik yang akan melahirkan peni-
pologian bahasa memberikan sumbangan teoretis dan praktis
pada kajian linguistik secara umum, khususnya untuk pengka-
jian gramatika bahasa tertentu dan gramatika semesta.
Dalam kaitannya dengan sistem aliansi gramatikal,
penelitian ketata bahasaan di Indonesia perlu didasari dengan
teori dan kajian tipologi linguistik. Meskipun demikian, kajian
tipologis masih belum banyak dilakukan di bumi Nusantara
yang “subur” dengan bahasa-bahasa. Malahan kajian tipologi
sintaktis terhadap bahasa-bahasa di Indonesia masih sangat
langka. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional
belum dikaji dari sudut tipologi sintaktis secara mendalam.
Namun, bila dilihat dari jumlah kajian yang ada tentang bahasa
Indonesia, memang sangat besar dan tidak dapat dipungkiri
bahwa sejak diikrarkan sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 bahasa Indonesia telah mengalami
perkembangan yang pesat dan telah pula menarik perhatian
ahli bahasa asing ataupun nasional dan juga sudah dipelajari di
beberapa negara.
Bila dilihat dari tradisi, bahasa Indonesia dianalisis
sebagai bahasa yang bertipe akusatif. Berdasarkan pemahaman
penulis membaca uraian bahasa Indonesia, baik yang ditulis
oleh orang asing maupun orang Indonesia, analisis tipologis
‚keakusatifan“‘ atau ‚keergatifan‘ bahasa Indonesia belum
memadai bila dilihat dari sudut dikotomi akusatif-ergatif. Untuk
memberikan gambaran singkat tentang bagaimana seharusnya
struktur kalimat bahasa Indonesia ditelaah, perhatikan contoh-
contoh berikut!

(109) Saya datang terlambat.


(110) Majalah itu sudah saya baca.
(111) Majalah itu sudah dibaca oleh anak itu.
(112) Saya sudah membaca majalah itu.
(113) Anak itu sudah membaca majalah itu.

123
Ketut Artawa & Jufrizal

Contoh (109) dan (111) disebut konstruksi pasif, dan (112) dan
(113) disebut konstruksi aktif. Di samping contoh-contoh di
atas bahasa Indonesia memiliki sejumlah struktur yang pada
dasarnya mempunyai satu argumen inti seperti contoh (110).
Secara tipologis bahasa yang mempunyai alternatif struktur
dapat digolongkan sebagai bahasa yang menganut pemarkahan
sintaktis (prototipe).
Chung (1976) mengusulkan bahwa bahasa Indonesia
mempunyai dua tipe konstruksi pasif: pasif kanonik dan
pasif yang mempunyai wujud struktur yang mirip dengan
penopikalan objek. Perhatikan contoh-contoh berikut yang
dikutip dari Chung (1976).

(114) Ali rnembaca buku itu. (aktif)


(115) Orang itu memukul Ali. (aktif)
(116) Buku itu dibaca (oleh) Ali. (pasif)
(117) Ali dipukul (oleh) orang itu. (pasif)

Chung mencatat bahwa objek langsung diubah menjadi


subjek dalam konstruksi pasif. Prefiks di- dianggap sebagai
pemarkah pasif, sedangkan meng- sebagai pemarkah aktif.
Konstruksi pasif jenis ini disebut sebagai ‘pasif kanonik’.’
Contoh berikut juga disebut konstruksi pasif yang mempunyai
wujud seperti ‘pengedepanan objek’

(118) Buku itu saya baca.


(119) Ali saya pukul.

Setelah dilakukan berbagai tes sintaktis, Chung berkesimpulan


bahwa (118) dan (119) adalah konstruksi pasif, bukan
pengedepanan objek, karena argumen buku itu dan Ali pada
contoh di atas sudah dibuktikan tidak berperilaku sebagai
pengedepanan objek, tetapi berperilaku sebagai subjek.
Kana (1986) mengusulkan konsep lain, yaitu kedua tipe
pasif yang diusulkan oleh Chung harus dianggap sebagai
varian dari satu jenis konstruksi pasif. Argumen yang diajukan
oleh Kana adalah agen kedua pasif itu bersifat wajib, yaitu bisa
dinyatakan dengan pronomina bebas dan terikat. Agen tersebut
bisa berupa pronomina pertama, kedua, dan ketiga. Dalam hal
ini, morfem di- dianggap sebagai proklitik yang merujuk silang

124
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

pada agen orang ketiga. Identitas agen ini dapat dinyatakan


secara eksplisit dalam wujud frasa berpreposisi.
Kana mempergunakan Relational Grammar, yang
dikembangkan oleh Postal dan Perlmutter sekitar tahun 1970-an,
sebagai acuan untuk menganalisis bahasa Indonesia. Analisis
Kana ini juga perlu dipertanyakan karena definisi pasif dari
Relational Grammar menghendakai bahwa “initial subject”
(subjek kalimat aktif) akan didemosikan ke relasi “chomeur”
dan “initial object” akan menjadi subjek. Pasif dalam pengertian
ini menyatakan bahwa agen bisa dilesapkan. Akan tetapi,
apabila proklitik yang berfungsi sebagai agen dalam pasif, yang
dinyatakan oleh Kana dalam bahasa Indonesia bersifat wajib,
mengisyaratkan bahwa yang disebut pasif bukanlah pasif
berdasarkan definisi pasif menurut teori yang diterapkan oleh
Kana. Usulan Kana ini sangat menarik untuk dibahas dalam
kajian tipologis bahasa Indonesia.
Kekurangjelasan analisis tipologis bahasa Indonesia
disebabkan oleh dua hal pokok, yakni kurang diperhatikannya
proses morfologis dan perpaduannya dengan fenomena
sintaktis dan konsep aktif dan pasif yang dipergunakan tidak
pernah dicennati dengan saksama sehingga konsep aktif dan
pasif tersebut dipaksakan untuk rnenamai struktur tertentu
dalam bahasa Indonesia. Berikut adalah kutipan salah satu
contoh kekurangjelasan pernyataan yang dibuat tentang proses
morfologis verba yang pada akhirnya menimbulkan analisis
yang arahnya tidak jelas pada tataran sintaksis.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, ada prefiks yang
secara wajib memang diperlukan untuk menurunkan verba.
Jika hal itu terjadi, maka tentu saja prefiks itu patut mendapat
urutan atau prioritas yang pertama. Dasar bebas seperti darat
dan layar masing-masing perlu mendapat prefiks meng- dan
ber-untuk mengubah statusnya sebagai nomina menjadi verba.
Demikian pula adjektiva kuning perlu dibubuhi prefiks meng-
untuk menjadi verba. Ketiga contoh di atas dapat dijejerkan
sebagai berikut.

darat (nomina) - mendarat (verba)


layar (nomina) - berlayar (verba)
kuning (adjektiva) - menguning (verba)

125
Ketut Artawa & Jufrizal

Namun, adanya sufiks pada verba seperti itu dapat


mengubah status hierarki prefiks. Jika verba seperti mendarat
dihadapkan dengan verba lain, misalnya yang bersufiks -kan
seperti ini mendarat: mendaratkan maka prefiks meng-, yang
semula wajib dan menduduki hierarki tinggi, tidak lagi memiliki
satus semacam itu. Dari ketiga unsur meng-, dasar kata, dan -kan,
dasar dan sufikslah yang memegang peranan penting. Prefiks
meng- tidak lagi menjadi dominan karena: (1) dalam gaya yang
tidak formal prefiks itu ditinggalkan, (2) dalam kalimat tertentu
seperti dalam kalimat: Pesawat terbangnya sudah dia daratkan,
prefiks itu harus ditinggalkan, dan (3) dalam kalimat tertentu
yang lain prefiks itu diganti dengan prefiks lain, misalnya di-.
Sebaliknya, dalam keadaan apa pun sufiks -kan (dan - i) tidak
pemah mengalami perlakuan seperti meng- (TBBBI 1988:82-83)“
Kehadiran prefix meng- dan ber- seperti dalam kata
mendarat, menguning, berlayar berfungsi sebagai pembentuk
verba intransitif, tetapi kehadiran meng- pada kata mendaratkan
tidak lagi sebagai pembentuk verba karena yang mengubah
status nomina darat menjadi verba adalah sufiks -kan, bukan
prefiks meng-. Berdasarkan fenomena lingual ini, persoalan yang
perlu dikaji adalah kehadiran meng- pada verba mendaratkan.
Kehadirannya bukan sebagai pembentuk verba, lalu fungsinya
sebagai apa? Atau, apa fungsi morfosintaktisnya. Keputusan
yang diambil oleh peneliti terdahulu adalah prefiks meng-
dianggap sebagai permarkah verba aktif transitif. Di samping
sebagai pembentuk verba intransitif, prefiks meng- oleh
beberapa peneliti misalnya Keraf (1984:98, mencatat juga meng-
sebagai pembentuk verba transitif, seperti dalam verba menyabit,
memarang, menyapu, mengapak.
Berdasarkan uraian yang sangat ringkas di atas, bahasa
Indonesia dikategorikan seolah-olah sebagai bahasa yang
bertipe akusatif, misalnya dengan penerapan konsep aktif dan
pasif. Namun, ada juga peneliti yang menyatakan bahwa ada
ciri keergatifan dalam bahasa Indonesia. Namun, analisis yang
diberikan belum rnendukung untuk mengatakan bahwa bahasa
Indonesia secara tipologi sintaktis adalah bahasa yang bertipe
akusatif ataupun ergatif. Hal inilah yang perlu ditelaah lebih
jauh secara tipologi gramatikal, di antaranya untuk mencermati

126
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

sistem aliansi gramatikal bahasa Indonesia dari sudut tipologi


sintaktis.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional telah
mengalami perkembangan yang sangat cepat. Bahasa ini telah
menarik perhatian, baik linguis nasional maupun internasional,
sehingga penelitian tentang bahasa Indonesia tersedia dalam
jumlah yang sangat besar. Bila dilihat dari tradisi, bahasa
Indonesia dianalisis sebagai bahasa yang bertipe akusatif,
misalnya Chung (1976) menyatakan bahwa bahasa Indonesia
mempunyai dua tipe pasif. Menurut pengamatan penulis, tulisan
Chung inilah yang banyak dirujuk oleh penulis lain (terutama
peneliti asing) dalam usahanya untuk mendeskripsikan ‚voice
system‘ bahasa Indonesia. Terlepas dari apakah data atau uraian
Chung dianggap akurat atau tidak, ternyata tulisan ini mampu
‚menyebarkan isu‘ diatesis pasif bahasa Indonesia. Peneliti
seperti Bambang Kawanti Purwo, dalam tulisan-tulisannya
tentang oposisi aktif-pasif bahasa Indonesia selalu berhati-hati,
dengan meletakkan istilah pasif dalam tanda petik. Ada juga
sejumlah tulisan yang mengisyaratkan bahwa bahasa Indonesia
memunyai properti keergatifan (lihat, misalnya Verhaar,
1988). Chung (1976) mengusulkan bahwa bahasa Indonesia
mempunyai dua tipe konstruksi pasif: ‚canonical passive‘ dan
‚passive which has the surface form of an object topicalization.
Chung mencatat bahwa objek langung diubah menjadi subjek
dalam konstruksi pasif. Prefiks di- dianggap sebagai pemarkah
pasif, sedangkan meng-sebagai pemarkah aktif.
Cartier (1979) membahas dengan panjang lebar masalah
struktur DV (de-voiced transitive verb) bahasa Indonesia. Untuk
kepentingan analisisnya dia membedakan konstruksi: active,
RV (root verb construction), passive, dan DV. Hasil pengetesan
kesubjekan terhadap agen keempat konstruksi ini sangat
menarik. Dia menunjukkan bahwa agen dari konstruksi aktif dan
konstruksi VR mempunyai ciri kesubjekan yang sama, yaitu tes
kesubjekan terhadap agen konstruksi aktif juga berlaku bagi agen
konstruksi RV. Semua tes kesubjekan yang diterapkan berlaku
untuk agen konstruksi aktif dan RV. Cartier juga menunjukkan
bahwa agen konstruksi pasif masih mempunyai ciri kesubjekan.
Hal ini sebenarnya yang aneh bagi konstruksi pasif. DV atau

127
Ketut Artawa & Jufrizal

‚pengedepan objek‘ versi Chung agennya masih menunjukkan


ciri kesubjekan, maka Cartier menganggap konstruksi DV
sebagai konstruksi ergatif. Hal penting yang dicatat oleh Cartier
adalah agen dalam DV tidak bisa “dipertanyakan” berbeda
degan agen konstruksi aktif dan RV.
Verhaar (1988) memberikan uraian yang rumit mengenai
“kepasifan” dan “keergatifan” suatu konstruksi dalam bahasa
Indonesia kontemporer. Bahasa Indonesia menurut Verhaar
menunjukkan “split-ergative” secara sosiolinguistis. Oleh
karena itu, perlu mempertimbangkan konteks wacananya. Yang
tampak jelas dari uraian singkat ini adalah ada persetujuan
bahwa bahasa Indonesia mempunyai kontruksi pasif dan ergatif.
Verhaar juga mengusulkan bahwa di samping konstruksi aktif,
bahasa Indonesia juga memunyai antipasif. Akan tetapi secara
morfologis yang disebut pasif dan ergatif tidaklah berbeda,
demikian juga yang disebut aktif dan antipasif. Karena bahasa
Indonesia adalah bahasa yang ‘kaya‘ dengan variasi dan
bukanlah bahasa ibu bagi hampir seluruh penduduk Indonesia;
maka hal ini sangatlah menyulitkan untuk menentukan data
yang “benar-benar” bahasa Indonesia. Deskripsi yang lebih rinci
ihwal pelesapan subjek dalam bahasa Indonesia bisa dijumpai
dalam tulisan Dendy Sugono (1995). Akan tetapi, sistem
pelesapan yang dikemukakan tidak dibahas secara ekspisit
dalam kaitannya dengan tipologi sintaktis bahasa Indonesia.
Namun, inilah satu-satunya tulisan yang menguraikan dengan
mendalam masalah pelesapan subjek bahasa Indonesia, yang
penulis ketahui.
Berdasarkan data disajikan terdahulu, bahasa Indonesia
sebenarnya mempunyai pivot P/S. Konstruksi dengan verba
yang berafiks nasal diperlukan apabila P tidak sama dengan S,
atau A sama dengan S atau P. Apakah bahasa Indonesia dapat
dikategorikan sebagai bahasa ergatif sintaktis? Untuk menjawab
pertanyaan ini haruslah dibuktikan bahwa kalimat yang
disebut sebagai kalimat aktif transitif sebagai kalimat antipasif,
yakni sebagai kalimat intransitif turunan dari klausa transitif.
Yang disebut kalimat pasif, yakni sebagai kalimat intransitif,
adalah kalimat ergatif. Kalimat ergatif adalah kalimat transitif.
Permasalahan yang timbul dalam bahasa Indonesia bila dilihat

128
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

dari sudut tipologi akusatif dan ergatif adalah sebagai berikut.

Analisis akusatif:
(120) Saya membaca buku. (aktif)
(121) Buku itu saya baca. (pasif)

Analisis ergatif:
(122) Buku itu saya baca. (ergatif)
(123) Saya membaca buku itu. (antipasif)

Bahasa Indonesia sudah dicatat mempunyai verba


intransitif asal, yaitu tanpa pemarkah meng- atau ber- dan verba
intransitif yang dimarkahi dengan meng-, yang merupakan verba
intransitif yang diturunkan dari dasar tertentu. Persoalannya
sekarang adalah apabila prefiks ini ditempelkan pada verba
transitif harus juga dianalisis sebagai proses morfologis yang
mengintransitifkan, bukan mentransitifkan. Hal ini bertentahgan
dengan analisis yang diberikan dalam berbagai deskripsi bahasa
Indonesia.
Di samping bukti morfologis, apa bukti sintaktisnya?
Berbagai buku tata bahasa Indonesia membahas tata urut
konstituen sebagai salah satu fenomena sintaktis dalam
pembahasan tata kalimat bahasa Indonesia. Beberapa pola dasar
kalimat dalam bahasa Indonesia pun didaftar dan kemungkinan
perpindahan letak konstituen juga diberikan. Hal ang relevan
di sini adalah kalimat yang mempunyai pola urutan konstituen
sebagai berikut.

(124) Anak itu(subjek) membeli baj (objek).


a. Membeli baju anak itu.
b. *Anak itu baju membeli.
c. *Baju anak itu membeli.
d. *Anak itu membeli kemarin baju.

Sudaryanto (1978) menunjukkan dengan meyakinkan


bahwa bahasa Indonesia mempunyai pola urutan predikatif (P-0)
yang konsisten. Oleh karena itu, kalimat (124 b-d) di atas tidak
dapat diterima sebagai kalimat gramatikal. Ketidakberterimaan
ketiga kalimat tersebut disebabkan oleh tidak terpenuhinya
kondisi sintaktis yang menuntut bahwa hubungan predikat
dan objek tidak bisa disisipi oleh unsur sintaktis yang lain. Dari

129
Ketut Artawa & Jufrizal

perilaku sintaktis itu dapat diinterpretasikan bahwa yang disebut


objek dalam bahasa Indonesia bukanlah objek gramatikal yang
sebenarya. Kalau dia objek, seharusnya secara sintaktis objek
itu bisa dipermutasikan menjadi pengedepanan objek seperti
contoh (124c).
Bila dilihat dari unit intonasi, pola urutan P-0 merupakan
satu unit fonologis sehingga kadar keobjekan sudah mengalami
pemudaran. Intonasi yang dimaksudkan di sini adalah
pola intonasi yang normal, yaitu apabila kita membaca atau
mengucapkan kalimat itu bukan dengan tujuan mengontraskan
aktivitas yang dilakukan oleh si subjek kalimat. Jika ada
maksud untuk memberi pengontrasan pada aktivitas subjek
diperkenankan memilah intonasi untuk P-0 menjadi dua unit
intonasi, yaitu setelah predikat. Hal ini akan berarti bahwa untuk
menekankan aktivitas yang dilakukan oleh si subjek, yaitu si
subjek membeli, bukan misalnya mencuri baju. Fenomena ini
bisa disebut sebagai proses inkorporasi. Jadi, istilah objek yang
dijadikan subjek kalimat pasif tidak mempunyai tempat dalam
analisis ini. Karena yang disebut verba aktif-transitif dan pasif
dalam bahasa Indonesia tidak memenuhi kreteria pemarkahan
formal, yaitu bertentangan dengan konsep “markedness”,
yaitu verba yang lebih kompleks (marked) secara morfologis
dianggap lebih sederhana (unmarked), dan yang lebih sederhana
diperlakukan sebagai verba kompleks. Perilaku argumen
dalam kalimat koordinatif dan subordinatif bahasa Indonesia
menunjukkan bahwa apabila P sama dengan S pelesapan
bisa dilakukan, apabila A sama dengan S, maka klausa yang
mengandung A verbanya harus diberi prefiks nasal untuk
mengizinkan pelesapan argumen yang berkoreferensi.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah yang disebut
pasif kanonis oleh Chung (1976), yaitu yang verbanya bermarkah
di-, apakah memang pasif kanonis atau pasif yang satu tipe
sebagaimana diusulkan oleh Kana (1986)? Paling tidak ada dua
argumen yang bisa diajukan tentang kehadiran di- tersebut.
Pertama, di- bukanlah sebagai pemarkah pasif, tetapi proklitik
untuk pronomina ketiga. Hal ini berarti bahwa konstruksi ini
tidak boleh diikuiti oleh agen orang pertama (saya) ataupun
kedua (kamu). Kalimat, Majalah itu sudah dibaca oleh saya/kamu,

130
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

tidak berterima. Kedua, kalau berterima, itu berarti di- sudah


mengalami proses gramatikalisasi sebagai pemarkah pasif.
Berdasarkan perilaku S relatif terhadap A dan P dalam
bahasa Indonesia ada dua generalisasi yang dapat ditarik.
Pertama S dan A diperlakukan sama apabila A merupakan
argumen “agen” dari kluasa transitif yang berafiks meng-.
Kedua, S dan P berperilaku sama jika P terdapat pada klausa
yang verbanya tidak dimarkahi oleh meng, (atau yang secara
tradisi disebut kalimat pasif). Hal ini berarti bahwa A dan P bisa
berperilaku sama dengan S, sehingga kita tidak mendapatkan
tipe ergatif ataupun tipe akusatif. Bila dilihat dari sudut
pemarkahan formal, maka yang harus dibandingkan dengan S
adalah klausa transitif yang verbanya tidak dimarkahi dengan
meng-, karena secara formal verba dengan meng-, bentuknya
lebih kompleks secara morfologis. Jika keputusan ini diambil
berarti bahasa Indonesia termasuk bahasa yang bertipe ergatif
sintaktis. Masalah yang muncul adalah konstruksi transitif
dengan verba berafiks meng- tidak memenuhi kriteria sintaktis
sebagai kontruksi antipasif.
Berdasarkan fakta bahasa yang ada dalam bahasa
Indonesia diperlukan modifikasi terhadap istilah klausa
intransitif yang dibentuk oleh verba intransitif. Bahasa Indonesia
di samping mempunyai klausa yang predikatnya diisi oleh verba
intransitif, juga mempunyai klausa yang predikatnya diisi oleh
nonverba, seperti oleh nomina atau adjektiva. Oleh karena itu,
istilah verba intransitif akan diganti dengan predikat intransitif
dan verba transitif akan diganti dengan predikat transitif.
Predikat intransitif mengikat satu argumen inti dan predikat
transitif mempunyai dua atau tiga argumen. Simbol S. A, dan
P yang dipergunakan untuk menyimbolkan fungsi gramatikal
didasarkan atas pendapat yang dikemukakan oleh Bernard
Comrie (1978). Ahli lain, seperti Dixon, mempergunakan simbol
0 untuk menggantikan P. Ketiga simbol di atas dipergunakan
sebagai berikut. S dipergunakan untuk menyimbolkan argumen
inti predikat intransitif, sedangkan argumen “agen” dari predikat
transitif disimbolkan dengan A dan P/O dipergunakan untuk
menyimbolkan argumen “pasien” predikat transitif. Untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penggunaan

131
Ketut Artawa & Jufrizal

simbol fungsi gramatikal tersebut perhatikan contoh klausa


bahasa Inggris berikut!

(125) The boy came here yesterday. (klausa intansitif)


S

(126) The man killed the dog. (klausa transitif)


A P/O

Fenomena keergatifan sintaktis tersebut merupakan


tantangan bagi teori sintaksis. Jika dibandingkan dengan teori
sintaksis, teori yang paling dekat dengan konsep S, A, dan P
adalah teori “macroroles” yang dikembangkan oleh Foley dan
van Valin (1984) dan dengan teori sintaksis yang mempergunakan
konsep tradisional tentang relasi gramatikal seperti Tata Bahasa
Relational (Relational Grammar) (Postal dan Perlmutter, 1970-an).
Meskipun Tata Bahasa Relasional mengenal relasi gramatikal
seperti subjek, objek langsung, objek tak langung, dan relasi
oblik, yang pada strata awal ditentukan secara semantik
(berdasarkan konsep “universal alignment hypothesis”), teori
ini juga mengenal “defined term relations” seperti “absolutive”
dan “ergative”’ yang diharapkan akan dapat menangani relasi
gramatikal dalam bahasa yang “deep ergative” (ergatif secara
sintaktis) (lihat Blake, 1990).

5.2 Peran Semantis dan Relasi Gramatikal


Teori linguistik tradisional membagi klausa atas subjek
(apa yang dibicarakan) dan predikat (apa yang terjadi tentang
sesuatu). Pendapat yang lebih mutakhir mengatakan bahwa
kalimat terdiri atas predikator dengan satu argumen atau
lebih; konstruksi ini juga disebut predikasi. Dalam pengertian
ini, kalimat dapat dirumuskan sebagai “argumen – predikator –
argumen”. Dalam kajian tipologi linguistik, ada dua asumsi dasar
tentang kalimat, yakni (i) bahwa konsep struktur predikator
dapat diperlakukan untuk semua bahasa; dan (ii) bahwa kedua
argumen itu berbeda dalam hal hubungan semantisnya dengan
predikator, dan keduanya juga berbeda satu sama lain melalui
pemarkah gramatikal. Struktur klausa yang mempunyai dua
argumen, salah satunya diidentifikasi sebagai agen (pelaku)

132
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

dan yang lainnya adalah pasien (penderita). Agen dan pasien


yang dimarkahi oleh fitur-fitur gramatikal dalam suatu bahasa
merupakan apa yang disebut peran gramatikal, yang sekaligus
adalah juga peran semantis. Sementara itu, konsep relasi
gramatikal meliputi subjek, objek, dan sebagainya. Agen dan pasien
merupakan dua peran gramatikal yang paling penting dalam
kajian tipologi. Tiga peran gramatikal lain yang mengikuti agen
dan pasien adalah benefisiari, instrumental, dan lokatif (Palmer,
1994: 2-3, 6-20; lihat juga Jufrizal).
Pengertian relasi gramatikal juga dikemukakan oleh
Comrie (1983:59) dan Blake (1990:1). Relasi-relasi gramatikal
memegang peranan penting dalam sintaksis bahasa alamiah.
Relasi gramatikal itu adalah subjek (S), objek langsung (OL),
dan objek tak langsung (OTL). Dalam Tata Bahasa Relasional,
relasi gramatikal itu adalah S, OL, OTL, dan relasi oblik (OBL).
Relasi gramatikal S, OL, dan OTL merupakan relasi gramatikal
sintaksis murni, sedangkan relasi OBL adalah relasi yang
bersifat semantis (relasi semantis pada tataran sintaksis). Relasi
oblik yang bersifat semantis tersebut adalah lokatif, benefaktif,
dan instrumental.
Beberapa rujukan lain menyebut relasi gramatikal bisa
disamakan dengan istilah fungsi gramatikal. Sama dengan yang
dikemukakan di atas, relasi gramatikal ini meliputi relasi subjek,
objek langung, objek tak langsung, dan relasi oblik. Seetiap
bahasa mempunyai sistem pemarkahan untuk menyatakan
relasi gramatikal dan mungkin memarkahi relasi-relasi ini
secara berbeda. Ada bahasa yang memiliki sistem pemarkahan
morfologis dan ada juga bahasa yang mempunyai pemarkahan
sintaktis. Ada juga bahasa yang memanfaatkaan kedua sistem
pemarkahan ini. Bahasa bahasa Austronesia barat sering
ditunjukkan memiliki sistem relasi gramatikal yang berbeda,
misalnya jika dibandingkan dengan bahasa Inggris. Hal yang
paling menonjol dari bahasa Austronesia ini dilihat dari sistem
pemarkahan relasi gramatikalnya adalah masalah “kesubjekan”.

5.2.1 Telaah Peran Gramatikal BM


Untuk mendapatkan pemahaman aplikatif tentang peran
gramatikal dalam kajian tipologi linguistik, pada bagian ini

133
Ketut Artawa & Jufrizal

disajiakan telaah tipologis peran gramatikal BM. Pembahasan


tentang peran gramatikal yang menyangkut agen dan pasien
(menurut istilah Palmer, 1994) pada buku ini dilandasi oleh
pengertian bahwa peran tersebut merupakan peran semantis.
Oleh karena itu, prinsip dan pendapat tentang peran makro
semantis (semantic macrorole) seperti dikemukakan oleh van
Valin Jr. dan LaPolla (2002: 141-143) mendasari penelaahan
ini di samping teori lain tentang peran gramatikal. Untuk
memudahkan pemahaman, bagian ini lebih dahulu membahas
peran gramatikal utama, yaitu agen dan pasien.
Peran gramatikal agen (A) dan pasien (P), seperti
dikemukakan di atas, merupakan peran semantis dalam sebuah
klausa dan disebut peran makro semantis (semantic macrorole).
Peran-peran itu disebut “makro” karena masing-masing
mengemas jenis-jenis argumen khusus (relasi tematis). Dalam
teori peran makro semantis, peran agen diistilahkan aktor
dan peran pasien disebut undergoer (tempat jatuh perbuatan/
penderita). Argumen tunggal klausa intransitif dapat berperan
sebagai aktor dan juga undergoer. Tidak ada kesetaraan semantis
dari subjek intransitif; secara sintaktis bisa saja ada yang
dikatakan subjek intransitif, subjek transitif, dan objek transitif,
tetapi secara semantis hanya ada aktor dan undergoer (lihat van
Valin Jr. dan LaPolla, 2002:141-143; Jufrizal, 2012).
Teori peran makro semantis muncul sebagai satu kajian
dalam gramatika yang bertitik tolak dari interaksi dan pertautan
antara tataran sintaksis dan semantik. Sistem penghubung
antara tataran sintaksis dan semantis yang terkemas dalam
wujud leksikon, struktur argumen, dan isi wujud leksikal untuk
verba dalam leksikon tersebut merupakan gagasan pikiran dari
peran makro semantis. Peran makro merupakan generalisasi
lintas jenis argumen yang ditemukan pada verba tertentu yang
mempunyai muatan gramatikal penting (van Valin Jr. dan
LaPolla, 2002:139). Dalam pembahasannya, peran gramatikal
tidak bisa dilepaskan mutlak dari verba (predikat) klausa
karena bagaimanapun juga penetapan dan pemahaman akan
adanya aktor dan undergoer pada umumnya diisyaratkan oleh
verba (predikat). Berikut adalah beberapa contoh klausa BM
yang memperlihatkan adanya peran aktor (agen) dan undergoer

134
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(pasien) ( dikutip dari Jufrizal, 2012).

(127a) Nuraida lari.


Nuraida lari
‘Nuraida lari’

(127b) Nuraida ba- sorak.


Nuraida PRE-sorak
‘Nuraida bersorak’

(127c) Tamin jatuah.


Tamin jatuh
‘Tamin jatuh’

(128a) Urang tu mam-baka ubi.


Orang itu PRE-bakar ubi
‘Orang itu membakar ubi’

(128b) Amak Asan mang-gado ayam.


Ibu Hasan PRE- lempar ayam
‘Ibu Hasan melempar ayam’

(128c) Uni ma- nanak nasi.


kakak (pr) PRE-masak nasi
‘Kakak memasak nasi’

(128d) Kareta api mang-giliang kambiang.


kereta api PRE- giling kambing
‘Kereta api menggiling kambing’

Klausa (127a, b, dan c) sesuai dengan bahasan sebelumnya


adalah klausa verbal intransitif. Pada (127a) dan (127b) subjek
gramatikal (Nuraida) adalah aktor (agen). Pada (127c) subjek
gramatikal (Tamin) tidak mempunyai peran semantis yang
sama dengan Nuraida, seperti pada (127a) dan (127b). Peran
gramatikal Tamin ditentukan oleh verba (predikat) jatuah.
Pada klausa tersebut, subjek gramatikal bukan aktor tetapi
merupakan pasien (undergoer). Pekerjaan/tindakan jatuah ‘jatuh’
tidak dilakukan oleh subjek gramatikal, melainkan Tamin
(subjek gramatikal) dikenai/tempat jatuhnya perbuatan. Dalam
hal ini, satu-satunya argumen (subjek gramatikal) pada klausa
verbal intransitif tidak selalu aktor. Dalam kasus tertentu, subjek
gramatikal (satu-satunya argumen) pada klausa intransitif
135
Ketut Artawa & Jufrizal

dapat berperan sebagai pasien (undergoer). Keadaan seperti ini


dikondisikan oleh jenis verba yang menduduki posisi predikat.
Pada klausa (128a, b, c, dan d), yang merupakan klausa
verbal transitif, ada dua argumen, yakni argumen yang
dikategorikan subjek dan objek gramatikal. Peran makro
semantis yang ada pada klausa tersebut menunjukkan bahwa
subjek gramatikal pada masing-masing klausa adalah aktor
(agen) dan objeknya merupakan pasien (undergoer). Jika
demikian halnya, pada klausa transitif BM yang mempunyai
dua argumen, salah satunya akan berupa aktor (agen) dan yang
lainnya adalah pasien. Selanjutnya, cermatilah klausa (129) dan
(130) di bawah ini.

(129) Urang kampuang man-dapek kijang.


orang kampung PRE-dapat kijang
‘Orang kampung mendapat kijang’

(130) Adiak mam-bali lado.


adik PRE- mbeli cabe
‘Adik membeli cabai’

Apakah subjek gramatikal urang kampuang dan adiak


merupakan aktor (agen) dan objek kijang dan lado adalah
pasien (undergoer)? Sesuai dengan pengertian aktor, yaitu
pelaku perbuatan, dan pasien (undergoer) dinyatakan sebagai
penderita, tempat jatuhnya perbuatan, atau dikenai perbuatan
yang diisyaratkan oleh predikat secara semantis, maka subjek
pada klausa tesebut adalah aktor dan objek adalah pasien.
Meskipun demikian, penentuan apakah argumen kedua
(objek) klausa transitif BM adalah betul-betul pasien (penderita)
dalam arti mengalami akibat perbuatan atau kejadian, atau
sekadar menunjukkan tempat jatuh perbuatan, atau dikenai
perbuatan, pada dasarnya tergantung pada jenis verba yang
menempati posisi predikat klausa. Menurut Vendler (1957,
1967), ada empat jenis kelompok verba yang didasarkan atas
aktionsort (bahasa Jerman yang berarti ‘bentuk tindakan’), yakni
verba keadaan (state), pencapaian (achievement), penyelesaian
(accomplishment), dan kegiatan (activity). Van Valin Jr. dan LaPolla
(2002) membedakan jenis verba berdasarkan jenis keadaan
pekerjaan. Menurut mereka, jenis verba itu adalah verba keadaan

136
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(situation), peristiwa (event), proses (process), dan tindakan


(action). Terdapat persesuaian pembagian/pengelompokan
verba berdasarkan jenis aktionsort (Vendler) dan jenis keadaan
pekerjaan (van Valin Jr. dan LaPolla). Bandingkan:

Keadaan pekerjaan aktionsort


(van Valin Jr. dan LaPolla) (Vendler)
keadaan (situation) keadaan (state)
peristiwa (event) pencapaian (achievement)
proses (process) penyelesaian (accomplishment)
tindakan (action) kegiatan (activity)
(Lihat van Valin Jr. dan LaPolla, 1999; 2002:91-92).

Persesuaian pembagian verba berdasarkan jenis keadaan


pekerjaan dengan jenis aktionsort menyiratkan bahwa jenis-
jenis verba suatu bahasa dapat dirumuskan ke salah satu
pengelompokan tersebut. Dalam tulisan ini, penyebutan istilah
verba keadaan (situation) sama dengan (state), peristiwa (event)
sama dengan pencapaian (achievement), proses (process) sama
dengan penyelesaian (accomplishment), dan tindakan (action)
sama dengan kegiatan (activity). Van Valin Jr. dan LaPolla
(2002:92-93) menjelaskan bahwa pengelompokan verba dapat
ditentukan berdasarkan fitur [+ statis], [+ telis], dan [+ tepat
waktu]. Penentuan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

a. Verba keadaan [+ statis], [- telis], [- tepat waktu]


b. Verba kegiatan [- statis], [- telis], [- tepat waktu]
c. Verba penyelesaian [- statis], [+ telis], [ - tepat waktu]
d. Verba pencapaian [- statis], [+ telis], [+ tepat waktu]

Verba seperti cinta, tahu, percaya, mempunyai, dan


predikat bukan verba lainnya termasuk verba keadaan. Verba
seperti meledak, runtuh, jatuh (verba intransitif) dikelompokkan
sebagai verba pencapaian atau peristiwa. Verba seperti kering,
beku (intransitif), mempelajari, dan menyembuhkan (transitif)
merupakan verba penyelesaian atau proses, dan verba seperti
berjalan, berguling (transitif), membaca, makan, dan sebagainya
adalah contoh verba tindakan.
Dalam BM, peran gramatikal aktor (agen) atau
pasien (undergoer) tidak dapat ditentukan begitu saja tanpa
memperhatikan predikat (dan jenis verba) klausa yang
137
Ketut Artawa & Jufrizal

bersangkutan. Pada klausa intransitif BM, peran gramatikal


aktor (agen) merupakan argumen satu-satunya (dalam struktur
inti). Jika verba yang menempati posisi predikat klausa
intransitif itu adalah verba keadaan (atau predikat bukan verba),
subjek gramatikal dapat berperilaku sebagai pasien (undergoer).
Sementara itu, pada klausa transitif, subjek gramatikalnya pada
umumnya adalah aktor (agen) sedangkan objek gramatikalnya
merupakan pasien (undergoer).

5.2.2 Relasi Gramatikal dalam Beberapa Bahasa


Dalam buku ini, pengertian dan konsep dasar relasi
gramatikal didasarkan pada pendapat seperti yang dikemukakan
oleh Comrie (1983:59), Blake (1981:1), Palmer (1994), Djunaidi
(2000), dan Artawa (2004). Relasi gramatikal itu adalah bagian-
bagian (unsur) klausa/kalimat yang dikategorikan sebagai S,
OL, dan OTL. Tiga macam relasi gramatikal ini adalah relasi-
relasi yang murni bersifat sintaktis. Di samping relasi gramatikal
yang bersifat sintaktis tersebut, ada relasi gramatikal lain yang
bersifat semantis, yaitu lokatif, benefaktif, dan instrumental
(alat) yang secara kolektif disebut relasi oblik (OBL). Dengan
demikian, relasi gramatikal meliputi S, OL, OTL, dan OBL.
Jika dikaitkan dengan teori tata bahasa formal lain, seperti
Tata Bahasa Leksikal Fungsional (TLF), relasi gramatikal S, OL,
dan OTL yang merupakan relasi gramatikal lahir ini disebut
dengan struktur fungsional atau fungsi gramatikal (f-structure).
Dalam Tata Bahasa Relasional, relasi gramatikal lahir tersebut
merupakan relasi gramatikal akhir.
Berkenaan dengan relasi gramatikal yang bersifat sintaksis
(S, OL, OTL) dan yang bersifat semantis (OBL), maka masing-
masing relasi tersebut perlu ditelaah satu per satu. Bagian
yang berkaitan dengan relasi gramatikal itu membahas perihal
kesubjekan dan relasi oblik dengan mengambil contoh beberapa
bahasa. Telaah ini dimaksudkan untuk memahami hakikat dan
sifat-perilaku relasi gramatikal tersebut secara tipologis dan
lintas bahasa melalui contoh-contoh praktis. Dengan cara ini
diharapkan pembelajar dapat melakukan telaah dan penelitian
tipologis dalam kaitannya dengan relasi gramatikal dalam
bahasa lain.

138
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

5.2.2.1 Kesubjekan dan Subjek: telaah lintas bahasa


Dalam beberapa rujukan tipologi linguistik, sebagaimana
yang dikemukakan pada bagian terdahulu, fungsi S, A dan P
dapat diperlakukan sebagai fungsi gramatikal. Istilah fungsi
gramatikal dipergunakan khusus untuk mengacu pada frasa
nominal yang ada dalam struktur kalimat yang belum diuji
(dites) secara gramatikal mengenai relasi yang disandangnya.
Misalnya, fungsi gramatikal P/O, dalam hal ini, bukan harus
merupakan relasi objek gramatikal, demikian juga A tidak harus
merupakan relasi subjek gramatikal. Penentuan relasi ini sangat
terkait dengan perilakunya setelah dilakukan pengetesan secara
gramatikal. Pengetesan gramatikal ini menjadi penting artinya
karena masalah relasi gramatikal, seperti subjek adalah masalah
gramatikal dan sebaiknya karakteristiknya harus dijelaskan
secara gramatikal.
Dalam banyak rujukan, sering pula didapatkan gagasan
bahwa subjek didefinisikan sebagai aktor/pelaku dan sering
juga dikatakan bahwa subjek adalah topik. Subjek adalah relasi
garamatikal maka keberadaannya harus ditentukan secara
gramatikal, yaitu melakukan pengetesan secara mofosintaktis,
bukan semantis ataupun pragmatis. Interaksi subjek, aktor, dan
topik ini memang ada dan harus dibahas dalam konteks yang
berbeda, yakni dalam pembahasan struktur informasi.
Berikut ada beberapa kriteria mendasar secara tipologis
yang bisa diterapkan untuk pengetesan perilaku S, A dan P yang
bisa diterapkan dalam bahasa tertentu.
a. Pemarkahan kasus
b. Persesuaian
c. Pola urutan
d. Pelesapan
e. Pengikatan
f. Perelatifan
g. Kewajibhadiran

1. Subjek dalam Bahasa Bahasa Inggris


Pengetesan kesubjekan perlu dilakukan karena subjek
adalah relasi gramatikal yang dianggap prominan (utama) secara
lintas bahasa. Pengetesan kesubjekan didasarkan pada asumsi
bahwa setiap bahasa mempunyai subjek dan setiap bahasa
memiliki verba yang berfungsi sebagai predikat. Setiap bahasa
139
Ketut Artawa & Jufrizal

mampu mengungkapkan secara semantis siapa (apa) yang


melakukan apa terhadap siapa (apa). Masalah ketransitifan juga
terkait dengan kemampuan yang dimiliki sebuah bahasa untuk
mengungkapkan sesuatu. Bahasa memiliki verba intransitif dan
transitif. Secara struktur argumen verba intransitif memerlukan
satu argumen (S), dan yang transitif memerlukan dua argumen,
yaitu A dan P. Juga diasumsikan bahwa jika harus ada subjek
dalam satu kalimat, pastilah dapat ditentukan apabila hanya
ada satu argumen. Argumen itulah subjek. Hal yang perlu
diperhatikan kemudian adalah fungsi yang mana diperlakukan
dengan cara yang sama dengan S itu. Ada dua kemungkinan
utama, yaitu A diperlakukan sama dengan S atau P diperlakukan
sama dengan S. Kemungkinan yang lebih kecil adalah adanya
S yang terpilah sehingga ada bahasa yang memperlakukan
sekompok S sama dengan A dan sebagian lagi memperlakukan
P sama dengan S. Berikut akan diuraikan struktur kalimat
bahasa Inggris dimulai dari pemarkahan kasus.
(a) Pemarkahan kasus
Bahasa Inggris memiliki sistem pemarkahan kasus seperti
dalam tabel berikut. Perlu dicatat bahwa bahasa Inggris memiliki
pemarkahan kasus hanya pada pronomina, tidak memiliki
pemarkahan untuk nomina.

Tabel 4: Pronomina bahasa Inggris


Subjek Nominatif Objek Akusatif
Singular : first person I Me
second person You You
third person he/ she / it him/her/it
Plural : first person We Us
second person You You
third person They Them

Yang relevan dengan relasi gramatikal adalah kasus nomina­


tif dan akusatif. Argumen yang menduduki fungsi S dan A
dimarkahi dengan kasus nominatif dan O dimarkahi dengan
kasus akusatif.
Perhatikan kalimat berikut.

140
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(131) a. I (S) cried.


b. He (S) cried.
c. He(A) saw me (P).
d. I (A) saw him (P).

Kalimat (131a) dan (131b) di atas adalah kalimat intransitif


yang predikatnya adalah cried. Kalimat resebut menunjukkan
bahwa hanya ada satu argumen (S). Argumen ini berkasus
nominatif. Kalimat (131c) dan (131d) adalah kalimat transitif,
ada dua argumen dalam kalimat tersebut, yakni A yang diisi
oleh he dalam kalimat (131c) dan A yang diisi oleh I dalam
kalimat (131d). Kasus kedua A ini adalah nominatif. Argumen
P yang diisi oleh me dalam kalimat (131c) dan P yang diisi oleh
him dalam kalimat (131d) berkasus akusatif. Dari segi ini bahasa
Inggris memperlakukan A sama dengan S, yaitu sama-sama
mempergunakan kasus nominatif. P berbeda dengan S karena
P berkasus akusatif.

(b) Persesuaian
Berikut adalah contoh yang menunjukkan adanya
persesuaian S dengan predikatnya dan A dengan predikatnya
dalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris menunjukkan persesuaian
ini terbatas pada pronomina dan nomina yang mengacu pada
orang ketiga tunggal yang berkala “simple present”. Perhatikan
contoh berikut.

(132) a. She (S) cries every day.


b. The baby (S)cries every day.
c. They (S) cry every day.
d. The babies (S) cry every day.

Untuk predikat yang diisi oleh verba leksikal saja seperti contoh
(132a) dan (132b) menunjukkan bahwa apabila argumen S
dalam bentuk tunggal maka kata kerja mendapat tambahan
sufiks –s. Jika S dalam bentuk jamak, prefiks –s tidak boleh hadir
seperti dalam contoh (132c) dan (132d). Fenomena yang sama
juga terjadi pada klausa transitif. Kehadiran argumen A juga
menunjukkan persesuaian, sama seperti yang ditunjukkan oleh
persesuaian S. Perhatikan contoh berikut!

141
Ketut Artawa & Jufrizal

e. She (A) likes you (P).


f. They (A) like you (P).

(c) Pola urutan


Secara tipologis bahasa Inggris memiliki pola urutan
subjet-verb-object (SVO). Pembahasan karakterisktik pola urutan
SVO akan dibahas lagi dalam topik pola urutan konstituen.
Dalam bagian ini akan dicontohkan pola urutan S dan A relatif
terhadap posisi P.

a. She (S) went to the market.


b. She (A) saw than man (P) in the market.

Contoh di atas menunjukkan bahwa S dan A menduduki posisi


yang sama. Kedua argumen tersebut sama-sama menduduki
posisi di depan verba, sedangkan P berada di belakang verba.
Hal ni berarti bahwa A diperlakukan sama dengan S pada pola
urutan.

(d) Pelesapan
Pelesapan dalam klausa bahasa Inggris menunjukkan
fenomena seperti contoh berikut.

(133) They (S) come and [ ] go every day.


(134) He (A) bought a bought (P) and [ ]gave it (P)to his sister.

Kalimat (133) terdiri atas dua klauasa intransitif yang digabung-


kan secara koordinatif. Konstuituen yang dilesapakan pada
klausa kedua hanya dapat ditafsirkan berkoreferensi dengan
S pada klausa pertama. Kalimat (134) terdiri atas dua klausa
transitif dan unsur yang dilesapakan pada klausa kedua ada-
lah unsur yang berkoreferensi dengan A pada klausa pertama.
Fenomena pelesapan konstituen yang berkorefenrensi menun-
jukkan bahwa A diperlakukan sama dengan S, yakni sama-sama
bisa lesap pada klausa kedua.

(e) Pengikatan
Konsep pengikatan mensyaratkan ada dua unsur yang
terlibat yang mengikat dan yang diikat. Karena klausa intransitif
hanya memiliki satu argumen inti (S) sehingga tidak mungkin

142
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

menunjukkan fenomena pengikatannya dalam satu klausa.


Fenomena pengikatan yang melibatka S hanya bisa ditunjukkan
dalam kalimat kompleks dengan klausa ekuatif. Perhatikan
contoh berikut.

(135) He (A) wants to be himself.


(136) He (A) washed himself (P).

Kalimat (135) adalah kalimat kompleks, klausa keduanya adalah


kluasa infinitif yang argumennya harus dipahami berkoreferensi
dengan A pada klausa pertama (klausa matriknya). Klausa
kedua ini adalah klausa equatif, yang bukan intransitif yang
sebenarnya, sebagai klausa ekuatif memerlukan S dan bukan A.
Jadi, dalam hal in, S yang tidak muncul bisa mengikat bentuk
refleksif (himself). Kalimat (136) adalah kalimat transitif yang
memiliki argumen A dan P. Argumen A berkorefensi dengan P
dalam kalimat ini. Hal ini ditunjukkan oleh benuk refleksif yang
digunakan untuk merealisasikan P. Dalam konteks ini S dan A
sama-sama mempunyai kemampuan untuk mengikat argumen
yang berkoreferensi dengannya.

(f) Perelatifan
Perelatifan dalam bahasa Inggris dimarkahi oleh
kehadiran pemarkah perelatifan seperti who/that. Perhatikan
contoh berikut.

(137) The woman (S) who came yesterday is an English teacher.


(138) The man (A) who helped you yesterday is my cousin.

Kedua kalimat di atas dibentuk dari kalimat dasar: the woman (S)
came yesterday and the man (A) helped you (P) yesterday. Contoh (137)
dan (138) menunjukkan bahwa A dalam bahasa Inggris diper-
lakuan sama dengan S secara gramatikal, yakni sama-sama bisa
direlatifkan, seperti ditunjukkan oleh contoh di atas.

(g) Inversi
Dalam pembentukan kalimat interogatif, bahasa Inggris
menunjukkan fenomena pembalikan (inversi), yakni verba
bantu (auxiliary) ditempatkan di depan subjek. Fenomena inversi
ini bisa dilihat dalam contoh berikut.

143
Ketut Artawa & Jufrizal

(139) She (S) will go to Canberra.


(140) Will she (S) go to Canberra?
(141) That boy (A) is eating chocolates (P).
(142) Is that boy (A) eating chocolates (P)?

Kalimat (139) dan (141) adalah kalimat deklaratif yang mimiliki


verba bantu. Kalimat (140) dan (142) adalah kalimat interogatif.
Kalimat interogatif ini menunjukkan bahwa baik A maupun
S bisa mengalami pergeresan posisi, sama-sma didahuli oleh
verba bantu. Fenomena ini menunjukkan bahwa A diperlakukan
sama dengan S dalam hal inversi.

2. Subjek dalam Bahasa Bali


Bahasa Bali, seperti bahasa-bahasa Austronesia lain­nya,
memiliki dua jenis struktur untuk mengungkapkan proposisi
transitif. Salah satu ditandai dengan pemakaian verba transitif
yang secara morfologis tidak bermarkah, sedangkan struktur
lainnya menggunakan verba bermarkah nasal. Struktur pertama
yang menggunakan verba dasar dinamakan konstruksi zero
(PVA), sedangkan yang kedua dinamakan konstruksi nasal (AVP).
Bagian ini menekankan pada tinjauan pengertian (notion) subjek
dalam bahasa Bali. Untuk telaah kesubjekan dan kepentingan
pencarian ciri subjek, maka dilakukan perbandingan argumen
tunggal predikat intransitif, baik dengan argumen pasien PVA
maupun agen dari AVP.
Subjek merupakan relasi gramatikal, oleh karenanya
pengidentifikasiannya mestilah didasarkan atas ciri gramatikal.
Pendeskripsian berikut terutama diarahkan pada penentuan
nomina yang menunjukkan ciri subjek gramatikal dalam klausa
yang mempunyai dua argumen yang mempunyai pola urutan
PVA (yang dianggap salah satu tipe kalimat pasif bahasa Bali) dan
klausa transitif AVP (yang sering disebut sebagai kalimat aktif).
Perilaku nomina praverbal PVA tersebut akan dibandingkan
dengan argumen tunggal verba intransitif di samping dengan
nomina praverbal AVP.
Pengertian subjek akan ditinjau dengan pengujian yang
terdapat dalam proses pengeatasan (penaikan), penjangka
kambang, kontrol, perelatifan, dan perefleksifan.

144
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(1) Pengeatasan (Penaikan)


Kalimat (143a) dapat dianalisis sebagai kalimat yang
mengandung predikat berupa adjektiva (keweh) yang disertai
argumen berupa klausa (ia pules). Kandungan proposisional
klausa tersebut dapat dinyatakan sebagai klausa tunggal seperti
(143b). Kalimat tersebut dapat dikaitkan dengan (143a) melalui
proses penaikan. Dapat dikatakan bahwa ia dinaikkan dari
posisi klausa komplemen ia pules menjadi subjek predikat keweh.
Keterkaitan yang sama dapat pula ditemukan antara (144a)
dengan (144b).

(143) a. Keweh ia pules.


sulit 3 tidur
`Sulit dia tidur`

b. Ia keweh pules.
3 sulit tidur
`Dia menderita susah tidur`

(144) a. Pelih ia teka mai.


salah 3 datang kemari
`Adalah salah dia datang ke mari`

b. Ia pelih teka mai.


3 salah datang kemari
`Dia bersalah karena datang kemari`

Klausa transitif berikut digunakan untuk menunjukkan


bahwa hanya argumen praverbal yang dapat dinaikkan. Apabila
yang dinaikan menjadi subjek predikat adjektival adalah argumen
posverbal, akan diperoleh kalimat yang tidak gramatikal seperti
contoh (145c) dan (146c). Kalimat (146) memngandung verba
nasal, sedangkan (145) menggunakan verba dasar. Dengan
demikian, tanpa memandang bentuk verba yang digunakan
dalam masing-masing kalimat, dapat ditegaskan bahwa hanya
argumen praverbal yang dapat mengalami penaikan. Dengan
pembuktian tersebut, dapat dikatakan bahwa argumen praverbal
merupakan subjek gramatikal.

145
Ketut Artawa & Jufrizal

(145) a. Aluh montor-e benahin tiang.


mudah mobil-def perbaiki 1
‘Mudah bagi saya memperbaiki mobil itu`

b. Montor-e aluh benahin tiang.


`Mobil itu mudah saya perbaiki`

c. *Tiang aluh montor-e benahin.

(146) a. Enggal tiang ngadep umah. [N-adep]


cepat 1 N-jual rumah
`Adalah cepat bagi saya menjual rumah`

b. Tiang enggal ngadep umah.


`Saya cepat menjual rumah`

c. *Umah enggal tiang ngadep

(2) Penjangka Kambang


Umumnya suatu penjangka muncul bersama nomina
yang dimodifikasikannya. Di samping itu, penjangka juga
dapat mengambang dan menempati posisi lain dalam klausa.
Penjangka -penjangka berikut dalam bahasa Bali dapat
mengalami pengambangan.

(a) (k)onya `semua`


(b) makejang `semua`
(c) sami `semua`

Bentuk onya pada (a) dan makejang pada (b) digunakan


pada ragam rendah, sedangkan sami (c) digunakan pada ragam
tinggi. Tanpa mempertimbangkan posisi penjangka dalam
kalimat, maka penjangka tersebut akan selalu terkait dengan
argumen praverbal. Hal itu dapat diilustrasikan pada contoh-
contoh berikut.

(147) Cerik-cerik-e onya ngeling.


anak. jmk.-def semua N-tangis
`Anak-anak itu semuanya menangis`
(148) a. Cerik-cerik-e onya tepukin beli.
anak-jmk-def semua jumpai kakak
`Anak-anak itu semua kakak jumpai`

146
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

b. Onya cerik-cerik-e tepukin beli.


c. Cerik-cerik-e tepukin beli onya.

Contoh (147) merupakan contoh kalimat intransitif; pada


kalimat tersebut tidak ada ambiguitas terhadap pemakaian
penjangka onya. Penjangka onya pada (148) hanya dapat
ditafsirkan sebagai penjangka yang menguantifikasikan
argumen pasien, yaitu argumen praverbal tempat penjangka
tersebut muncul. Pada contoh (149) berikut dikemukakan
contoh konstruksi nasal.

(149) a. Cerik-cerik-e onya meli jaja. [N-beli]


anak-jmk-def semua N-beli kue
`Anak-anak itu semuanya membeli kue`

b. Onya cerik-cerik-e meli jaja.


c. Cerik-cerike meli jaja onya.

Situasi yang sama dengan di atas dapat pula dijumpai


pada kalimat (149). Posisi penjangka pada kalimat tersebut
tidak begitu penting karena hanya ditafsirkan sebagai agen
klausa. Oleh karena itu, maka pasien pada (148), agen pada
(149) dan argumen tunggal verba intransitif pada (148) terbukti
diperlakukan dengan cara yang sama. Penjangka -penjangka
pada kalimat-kalimat tersebut hanya dapat ditafsirkan sebagai
kuantifikasi argumen-argumen praverbal. Mengingat kenyataan
bahwa argumen tunggal klausa intransitif berfungsi sebagai
subjek kalimat (karena tidak ada pilihan lainnya), dan agen (148)
serta pasien (149) memiliki kesamaan perlakuan yang sama
dengan S intransitif, maka dalam kaitannya dengan penjangka
kambang dapat ditegaskan bahwa baik pasien (148) maupun
agen (149) merupakan subjek gramatikal.

(3) Kontrol
Pada bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Indo-Erofa
lainnya, umumnya dapat dilakukan pembedaan antara verba
finit dan tak finit.Verba finit menuntut kehadiran subjek, baik
dinyatakan melalui bentuk persesuaian pada verba berupa
acuan silang aspek persona dan jumlah, dengan frasa nominal,
maupun persuaian dengan frasa nominal. Verba tak finit

147
Ketut Artawa & Jufrizal

umumnya tidak disertai oleh kehadiran subjek secara teraga,


baik secara morfologis maupun sintaktis. Dalam bahasa Bali
tidak terdapat persesuaian persona/jumlah, tetapi pembedaan
secara sintaktis antara verba finit dan yang tak finit masih dapat
ditemukan.
Teori Penguasaan dan Pengikatan (TPP) yang dikemuka-
kan oleh Chomsky (Haegman, 1991) menyatakan bahwa sub-
jek klausa tak finit dinyatakan sebagai frasa nominal (FN) yang
tidak teraga. Nomina yang tidak teraga tersebut dalam TPP
diacu sebagai PRO. PRO yang secara permukaan tidak teraga
tersebut dikatakan berkoreferensi dengan subjek klausa atasan
seperti dalam (150) dan (151). Dalam bahasa Inggris, agen verba
transitif seperti examine berfungsi sebagai subjek. Untuk mem-
fungsikan pasien sebagai subjek gramatikal diperlukan pemasi-
fan seperti contoh (152). PRO hanya dapat muncul pada posisi
subjek. Oleh karena itu, tidak dapat dijumpai kalimat seperti I
want the doctor to examine PRO dengan penafsiran I want the doc-
tor to examine me.

(150) I want [PRO to come]


(151) I want [PRO to examine a doctor]
(152) I want [PRO to be examined by the doctor]

Apabila kalimat-kalimat bahasa Inggris di atas


dipadankan dalam bahasa Bali dan nomina yang tak teraga
tersebut direpresentasikan sebagai PRO, maka diperoleh pola
seperti di bawah ini. Pasien bahasa Bali, dalam fungsinya
sebagai subjek verba transitif seperti periksa tidak menuntut
agar verba bermarkah. Hal ini dapat diamati pada (153). Akan
tetapi, apabila agen difungsikan sebagai subjek, maka verba
dimarkahi dengan prefiks nasal (154).

(153) Tiang edot [PRO teka].


1 ingin [PRO datang]
`Saya ingin datang`

(154) Tiang edot [PRO meriksa dokter] [N-periksa]


1 ingin [PRO N-periksa dokter]
`Saya ingin memeriksa dokter `

148
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(155) Tiang edot [PRO periksa dokter]


`Saya ingin diperiksa dokter`

PRO hanya dapat muncul pada posisi praverbal. Dengan kata


lain, dapat dikatakan bahwa posisi nomina praverbal sama
dengan posisi subjek dalam bahasa Inggris. Posisi tersebut
dapat ditempati oleh PRO. Perbandingan perangkat kalimat
bahasa Inggris dan bahasa Bali menunjukkan bahwa untuk
verba transitif examine, yang berfungsi sebagai subjek klausa
yang predikatnya tidak bermarkah adalah agen, sedangkan
untuk verba periksa adalah pasien.

(4) Perelatifan
Berkaitan dengan strategi perelatifan – bila diban­dingkan
dengan bahasa-bahasa yang hanya dapat merelatifkan subjek –
bahasa Inggris tercatat sebagai bahasa yang dapat merelatifkan
semua relasi gramatikal (Keenan dan Comrie, 1977). Bahasa Bali
tergolong dalam kategori bahasa yang hanya dapat merelatifkan
subjek. Klausa relatif dalam bahasa Bali dimarkahi dengan
pemakaian partikel ane/sane. Perhatikanlah contoh kalimat
berikut.

(156) a. Anak-e cenik ento gugut cicing.


orang-def kecil itu gigit anjing
`Anak kecil itu digigit anjing`

b. Anak-e cenik ento [ane gugut cicing] gelem.
anak-def kecil itu [yang gigit anjing] sakit
`Anak kecil yang digigit anjing itu sakit`

c. *Cicing [ane anak-e cenik ento gugut] mokoh.


anjing [yang anak-def kecil itu gigit ] gemuk

Verba pada contoh (156a) merupakan verba dasar. Dengan


konstruksi verba dasar hanya argumen (FN) praverbal (pasien)
yang dapat dikenai perelatifan seperti contoh (156b), sedangkan
nomina posverbal tidak dapat dikenai proses perelatifan
seperti contoh (156c). Berikut adalah contoh konstruksi yang
menggunakan verba nasal (157a).

149
Ketut Artawa & Jufrizal

(157) a. I Warta maca koran.


Art nama N-baca koran
`Si Warta membaca koran`

b. I Warta [ane maca koran] timpal-ne.


Art nama [yang N-baca koran] teman-3-Poss
`Si Warta yang membaca koran itu adalah temannya`

c. *Koran [ane I Warta maca] koran tiang-e.

Pada contoh (157a) nomina I Warta merupakan nomina


praverbal (agen) dan nomina posverbal koran adalah pasien.
Pada contoh (157b) yang direlatifkan adalah agen, sedangkan
pada (157c) adalah pasien. Akan tetapi, perelatifan tersebut
bersifat tidak gramatikal mengingat posisinya adalah posisi
posverbal.
Proses perelatifan dalam contoh di atas menunjukkan,
baik agen maupun pasien, dapat direlatifkan tergantung pada
bentuk morfologis verba. Apabila kalimat menggunakan verba
dasar, yang dapat direlatifkan adalah pasien, sedangkan apabila
kalimat menggunakan verba nasal, maka yang direlatifkan
adalah agen. Dengan demikian, agen konstruksi verba nasal
dapat dikatakan berperilaku sebagai subjek, sedangkan pada
konstruksi dengan verba zero (dasar) yang berperilaku sebagai
subjek adalah pasien. Perilaku keduanya (agen dan pasien)
adalah sama dengan perilaku argumen tunggal (S) klausa
intransitif dalam kaitannya dengan peroses prelatifan. Untuk
lebih tegasnya, berikut dikemukakan contoh perelatifan
argunem tunggal klausa intransitif.

(158) a. Anak-e ento ngeling.


anak-def itu N-tangis
`Anak itu menangis`

b. Anak-e ento [ane ngeling ] pisagan cai-ne.


anak-def itu [yang N-tangis] tetangga 2- POSS
`Anak yang menangis itu adalah tetanggamu`

150
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(5) Perefleksifan
Pada banyak bahasa yang menjadi pengendali pe­refleksifan
adalah agen. Dalam bahasa Inggris misalnya, agen yang ber-
fungsi sebagai subjek tidak bermarkah, sedangkan dalam bahasa
Bali diberi markah pada verba. Akan tetapi, perefleksifan dalam
bahasa Bali dikendalikan oleh agen verba transitif tanpa menghi-
raukan bentuk verba. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
argumen agen konstruksi zero bahasa Bali berperilaku seperti
subjek. Agen berfungsi mengendalikan perefleksifan.
Secara universal agen dalam suatu klausa selalu dapat
berfungsi menjadi pengendali bentuk refleksif dalam klausa
yang sama. Bentuk refleksif bahasa Bali dinyatakan dengan
awak/raga yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
menjadi -self. Perhatikanlah contoh berikut.

(159) Cai nebek awak. [N-tebek]


2 N-tusuk diri
`Kamu menusuk dirimu`

(160) Ia ngantung awak. [N-gantung]


3 N-gantung diri
`Dia menggantung dirinya`

Selain dengan menggunakan bentuk refleksif seperti


contoh di atas, bahasa Bali juga memiliki bentuk refleksif yang
dimarkahi dengan pemarkah posesif, seperti contoh berikut.

(161) Tiang melih-ang awak tiang-e. [N-pelihang]


1 N-salah-kan diri 1-POSS
`Saya menyalahkan diri saya sendiri`

(162) Ia nebek awak-ne [N-tebek]


3 N-tusuk diri-3POSS
`Dia menepuk dirinya sendiri`

Pemarkah posesif persona ketiga pada (162) adalah


-ne, sedangkan persona pertama dan kedua menggunakan -e.
Morfem -e memiliki alomorf -ne apabila dilekatkan pada kata
yang berakhir dengan vokal. Bentuk refleksif yang digunakan
pada (159-160) dapat dianggap sebagai bentuk refleksif
sederhana, sedangkan yang digunakan pada (161-162) sebagai

151
Ketut Artawa & Jufrizal

bentuk refleksif kompleks.


Contoh berikut memperlihatkan pemakaian bentuk
refleksif kompleks pada posisi praverbal. Refleksif tersebut
dikendalikan oleh agen posverbal.

(163) Awak cai-ne pelihang cai.


diri 2-POSS salah-kan 2
`Dirimu kamu salahkan`

(164) Awak-ne pelihang-e.


Diri-3 POSS alah-kan-3
`Dirinya dia salahkan`

(165) *Awak pelihang cai.


diri salah-kan 2
`Diri kamu salahkan`

Kalimat (165) tidak dapat diterima walaupun verbanya


menggunakan verba yang sama dengan verba pada (163) dan
(164). Perbedaan antara (165) dan (163-164) terletak pada `sifat`
refleksif yang bersangkutan. Pada (163) dan (164), refleksif
ditandai dengan pemarkah posesif (oleh karenanya bersifat
spesifik), sedangkan pada (165) refleksif bersifat nonspesifik.
Fakta tersebut mengilustrasikan dua hal penting. Pertama, FN
praverbal tidak menunjukkan semua ciri yang dimiliki oleh
subjek karena agen (baik merupakan subjek maupun tidak)
dapat mengendalikan refleksif. Kedua, refleksif kemungkinan
dapat berfungsi sebagai subjek, maka haruslah bersifat spesifik.
Subjek umumnya bersifat spesifik dan dalam beberapa bahasa
tertentu, ciri tersebut harus terpenuhi. Bahasa Bali termasuk
salah satu bahasa yang mengharuskan subjek bersifat spesifik.

(6) Urutan Konstituen


Berikut disajikan beberapa contoh kalimat untuk melihat
pola tata urut S, A dan P dalam bahasa Bali. Kalimat (166)
merupakan kalimat intransitif, sedangkan (167) adalah kalimat
transitif.

(166) a. Ia (S) malaib ka jalan-e.


3 berlari ke jalan-def
b. Malaib ke jalane ia.

152
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Argumen S pada (166a) mendahului verba, sedangkan


pada (24b) S menempati posisi akkhir kalimat. Posisi S pada
(166b) adalah setelah frasa preposisional (ke jalan-e ). Berikut
adalah contoh kalimat dengan subjeknya ditempatkan pada
posisi akhir kalimat.

(167) a. Siape uber cicing ke jalan-e. [P-V-A]


ayam kejar anjing ke jalan-def
Ayam itu dikejar kucing ke jalan`
b. Uber cicing ke jalan-e siape. [V-A-P]
c. *Uber siape cicing ke jalan-e. [V-P-A]
d. *Siape uber ke jalane cicing.

Variasi urutan seperti (167b) dapat diterima, sedangkan


(167c-d) tidak berterima secara gramatikal. Hal itu membuktikan
bahwa urutan antara verba dan agen bersifat sangat ketat. Secara
sintaktis urutan verba dan agen dalam konstruksi zero tersebut
bersifat terikat karena tidak dimungkinkan adanya penyisipan
unsur lain di antara keduanya. Keketatan urutan seperti
itu dapat pula dilihat pada (167d) yang merupakan kalimat
tidak berterima. Contoh (167b) menunjukkan bahwa P bisa
menduduki posisi akhir kalimat; hal ini sama dengan S.
Untuk selanjutnya, dikaji keketatan urutan pada kon­
struksi nasal dalam bahasa Bali.

(168) a. Tiang ngae umah. [A-V-P]


1 N-bangun rumah
`Saya membangun rumah.`
b. Ngae umah tiang. [V-P-A]
c. Ngae // tiang umah. [V-A-P]

Kalimat (168) memperlihatkan adanya tiga alternatif da-


lam urutan konstituen untuk konstruksi nasal. Pada (168c) tan-
da // digunakan untuk menunjukkan adanya kelompok intonasi
bermarkah bagi konstruksi nasal. Kalimat (168c) dapat diterima
apabila diintonasikan dengan jeda panjang setelah verba. Ka-
limat ini menyiratkan kontras maknawi, yaitu pembicara yang
mengutarakan kalimat ini ingin menegaskan bahwa agen kali-
mat benar-benar membangun rumah, bukan (misalnya) mem-
beli rumah. Contoh ini menunjukkan bahwa dalam hal pola
urutan A dan O menunjukkan pola yang sama terhadap S.
153
Ketut Artawa & Jufrizal

2. Subjek dalam Bahasa Indonesia


Secara tipologis bahasa-bahasa di dunia mempunyai
dua tipe struktur kalimat bila dilihat dari pengisi fungsi
predikatnya. Kedua tipe itu adalah kalimat verbal dan kalimat
nonverbal. Kalimat verbal adalah kalimat yang predikatnya
diisi oleh verba. Verba sering dibedakan menjadi verba transitif
dan verba intransitif, dan dalam bahasa tertentu ada verba
kopula. Kalimat nonverbal yang predikatnya diisi selain verba
merupakan karakteristik bahasa tertentu. Verba intransitif
mempunyai satu argumen inti, sedangkan verba transitif
mempunyai dua argumen inti.
Kesubjekan dan subjek dalam bahasa Indonesia diuji
dengan memperbandingkan perilaku S, A dan P dalam kaitan-
nya dengan pengetesan kesubjekan dalam bahasa Indonesia.
Pengetesan ini juga dilakakukan dengan tes sintakstis seperti,
pengeatasan, penjangka kambang, pelesapan, perelatifan, pere-
fleksifan, pola urutan, dan pembentukan kalimat interogatif,
seperti juga dilakukan terhadap bahasa Bali di atas.

(1) Pengeatasan (Penaikan)


Kalimat (169a) dapat dianalisis sebagai kalimat yang men-
gandung predikat berupa adjektiva sulit yang disertai argumen
berupa klausa dia hidup sendiri. Proposisi klausa tersebut dapat
dinyatakan sebagai klausa tunggal seperti (169). Kalimat terse-
but dapat dikaitkan dengan (169c) melalui proses pengeatasan
(penaikan). Dapat dikatakan bahwa dia sebagai argumen S dinai-
kkan dari posisi klausa komplemen dia hidup sendiri menjadi S
predikat keweh dalam bahasa Bali. Keterkaitan yang sama dapat
pula ditemukan pada contoh yang lain.

(169) a. Sulit (S) dia hidup sendiri.


b. Dia sulit hidup sendiri.
c. Berani dia pergi ke tempat yang angker itu.
d. Dia berani pergi ke tempat yang angker itu.

(2) Penjangka Kambang


Penjangka kambang yang dipergunakan dalam hal
ini adalah kata semua. Hal yang perlu mendapat perhatian
adalah posisi penjangka kambang ini bisa berubah namun

154
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

secara semantis terkait dengan salah satu argumen klausanya.


Perhatikan contoh berikut.

(169) a. Anak-anak itu (S) semua(-nya) menangis.


b. Anak-anak itu (S) menangis semua(-nya).

(170) a. Anak-anak itu (P) semua(-nya) saya (A) jumpai.


b. Anak-anak itu saya jumpai semua(-nya).

Contoh (169) merupakan contoh kalimat intransitif; pada kalimat


tersebut tidak ada ambiguitas terhadap pemakaian penjangka
semua. Penjangka semua pada (170) hanya dapat ditafsirkan
sebagai penjangka yang menguantifikasikan argumen pasien
(P). Pada contoh (171) berikut dikemukakan contoh konstruksi
nasal.

(171) a. Anak-anak itu semua(-nya) membeli kue.


b. Semua (-nya) anak-anak itu membeli kue.
c. Anak-anak itu membeli kue semua(-nya).

Situasi yang sama dengan di atas dapat pula dijumpai


pada kalimat (171). Posisi penjangka pada kalimat tersebut
tidak begitu penting karena hanya ditafsirkan sebagai agen
klausa. Oleh karena itu, pasien pada (170), agen pada (171),
dan argumen tunggal verba intransitif pada (170) terbukti
diperlakukan dengan cara yang sama. Penjangka pada kalimat-
kalimat tersebut hanya dapat ditafsirkan sebagai kuantifikasi
argumen-argumen pada posisi awal. Mengingat kenyataan
bahwa argumen tunggal klausa intransitif berfungsi sebagai
subjek kalimat (karena tidak ada pilihan lainnya), dan agen
(171) serta pasien (170) memiliki perlakuan yang sama dengan S
intransitif, maka dalam kaitannya dengan penjangka kambang
dapat ditegaskan, baik pasien (170) maupun agen (171),
merupakan subjek gramatikal.

(3) Kontrol
Struktur kontrol ini dipergunakan untuk mengetahui
perilaku A dan P terhadap S dalam bahasa Indonesia. Perhatikan
contoh-contoh kalimat berikut.

155
Ketut Artawa & Jufrizal

(172) Gadis itu (S) ingin [ ] pergi dari sini.


(173) Gadis itu (S) ingin [ ] saya (A) temui kemarin.
(174) Gadis itu (S) ingin [ ] menemui saya kemarin.

Klausa (172) adalah kalimat kompleks, yang terdiri atas dua


klausa intransitif. Klausa pertama adalah ambi-intransitif (karena
kata kerja ingin bisa diikuti oleh frasa nominal dalam struktur
yang berbeda). Konstituen yang lesap [ ] pada klausa kedua
berkoreferensi dengan S pada klausa pertama dan pelesapan ini
dikendalikan oleh fungsi S ini. Hal ini berarti bahwa apabila S
sama dengan S pelesapan selalu diizinkan tanpa memerlukan
evaluasi struktur. Pada kalimat (173) S menduduki fungsi P
pada klausa kedua, dan P ini lesap. Pelesapannya dikendalikan
oleh S. Fenomena pelesapan ini menunujukkan bahwa P yang
berujuk-silang dengan S dapat dilesapkan tanpa adanya revaluasi
struktur. Hal ini menunjukkan bahwa P diperlakukan sama
dengan S. Klausa (174) menunjukkan fenomena yang berbeda,
dalam kalimat ini S menjadi A pada klausa kedua dan A ini bisa
dilesapkan. Perbedaannya dengan kalimat (173) adalah klausa
kedua ini verbanya lebih bermarkah dari (172). Kebermarkahan
adalah satu kriteria adanya derivasi struktur. Pelesapan ini juga
dikontrol oleh S. Pelesapanannya mensyaratkan revaluasi.

(4) Perelatifan
Perelatifan bisa juga dipergunakan untuk membandingkan
perilaku A dan P terhadap S. Perelatifan bahasa Indonesia
dimarkahi oleh bentuk lingual yang. Untuk jelasnya perhatikan
contoh berikut.

(175) Gadis itu (S) menari.


(176) Gadis (yang menari itu) sangat cantik.
(177) Gadis itu (P) kami (A) kagumi.
(178) Gadis (yang kami kagumi itu) sangat cantik.
(179) Kami (A) mengagumi gadis itu (P).
(180) Kami (yang mengagumi gadis itu) merasa kecewa.

Fenomena perlatifan ini menunjukkan bahwa A dan P di­


perlakukan sama dengan S, yakni sama-sama bisa direlatifkan.
Hal ini berarti bahwa A dan P adalah subjek gramatikal.

156
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(5) Pola Urutan


Pola urutan A dan P terhadap S bisa digambarkan sebgai
berikut (pola urutan yang lebih detail lihat seksi pola urutan
konstituen).

(181) Gadis itu (S) menari tadi malam.


(182) Menari gadis (S) itu tadi malam.
(183) Gadis itu (P) sudah kami (A) temui.
(184) Sudah kami (A) temui gadis itu (P).
(185) Kami (A) sudah menemui gadis itu (P).
(186) Sudah menemui gadis itu(P) kami(A).

Kalimat-kalimat di atas menunjukkan bahwa A dan P


berperilaku sama dengan S. Dalam hal ini keduanya sama sama
bisa diletakkan pada posisi akhir. Perbedaannya, klausa dua
argumen ditunjukkan oleh kalimat (184) dan (186). Kalimat
(184) verbanya tidak bermarkah, sedangkan dalam kalimat
(186) verbanya hadir dengan prefiks. Bila kebermarkahan ini
dipakai sebagai dasar penentuan, maka kalimat (184) adalah
kalimat yang tak bermarkah. Hal ini juga menunujukkan bahwa
P pada kalimat yang tak bermarkah dan A pada yang bermarkah
berperilaku sama dengan S bila dilihat dari pola urutan kata
(konstituen).

(6) Pembentukan kalimat interogatif


Pembentukan kalimat interogatif dipergunakan untuk
melihat pereilaku A dan P terhadap S. Perhatikan contoh kalimat
berikut.

(187) Ista (S) datang sendiri.


(188) Siapa yang datang sendiri?
(189) Ista (P) kami (A) lihat berbelanja kemarin.
(190) Siapa yang kami lihat bebrbelanja kemarin?
(191) Kami (A) melihat Ista (P) berbelanja kemarin.

Pembentukan kalimat interrogatif ini menunjukkan bahwa


konstituen didepan veba dalam kalimat deklaratif dapat
dipertanyakan. Dalam hal ini, A dan P berperilaku sama dengan
S. Hal ini berarti P pada konstruksi yang tidak bermarkah adalah
subjek dan A pada kalimat yang bermarkah adalah subjek.

157
Ketut Artawa & Jufrizal

4. Kesubjekan dan Subjek dalam BM


Sebagaimana sudah dikemukakan pada bagian
terdahulu, hakikat relasi gramatikal subjek cukup rumit, namun
penting adanya dalam tipologi linguistik. Fenomena ini pada
dasarnya disebabkan oleh perilaku gramatikal dan semantis
bahasa-bahasa yang beragam dan tipologi bahasa(-bahasa) yang
berbeda. Menurut Comrie (1983:101), prototipe (hakikat asali)
subjek itu adalah adanya saling keterkaitan antara agen dan
topik. Dengan kata lain, secara lintas bahasa, subjek itu adalah
agen dan juga topik. Pernyataan bahwa subjek itu adalah agen
dan juga topik berlaku pada bahasa-bahasa bertipologi akusatif.
Pada kelompok bahasa bertipologi ergatif, ketentuan ini tidak
berlaku. Pada bahasa ergatif, subjek gramatikal klausa dasarnya
adalah pasien dan topik.
Sementara itu, agen (aktor) sebenarnya adalah istilah yang
lebih terkait dengan peran semantis, sementara topik berkaitan
dengan fungsi-fungsi pragmatis. Di sisi lain, subjek merupakan
relasi gramatikal yang bersifat fungsi gramatikal lahir. Menurut
Keenan (dalam Li, 1976),sifat-perilaku khas subjek dasar secara
lintas bahasa mempunyai ciri-ciri dan sifat-perilaku khas yang
dapat dikelompokkan menjadi empat: (a) sifat-perilaku otonomi;
(b) sifat-perilaku pemarkah kasus, (c) peran semantis; dan (d)
dominasi langsung (immediate dominance). Sifat-perilaku otonomi
subjek meliputi: (i) keberadaannya bebas (independent existence);
(ii) ketidaktergusuran /sangat diperlukan (indispensability); (iii)
rujukan sendiri (autonomous reference). Sifat-perilaku pemarkah
kasus meliputi: (i) subjek kalimat intransitif umumnya tidak
dimarkahi jika setiap frasa nominal (FN) dalam bahasa tersebut
tidak bermarkah; (ii) FN yang mengubah penanda kasusnya
pada pengausatifan termasuk subjek; (iii) FN yang mengubah
penanda kasus nominalisasi tindakan termasuk subjek. Peran
semantis (agen, pemengalam, dan sebagainya) dari subjek
dapat diramalkan dari bentuk verba utama. Berdasarkan peran
semantis ini, kesubjekan dapat diungkapkan: (i) subjek biasanya
mengungkapkan agen (dari tindakan), jika hanya ada satu; (ii)
subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressee phrase)
bentuk imperatif; (iii) subjek biasanya memperlihatkan posisi,
pemarkah kasus, dan persesuaian verba yang sama dengan

158
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

FN penyebab dalam jenis kalimat kausatif yang paling dasar.


Sementara itu, dominasi langsung berarti bahwa subjek itu
secara langsung didominasi oleh simpul dasar S (sentence).
Dapat dikemukakan bahwa sifat-perilaku khas subjek
yang dilihat secara lintas bahasa di atas (seperti juga diakui
oleh Keenan (1976) (dalam Li, ed, 1976) bukanlah nilai mutlak.
Mungkin saja ada sebagian sifat-perilaku tersebut yang
tidak benar-benar cocok untuk perilaku bahasa tertentu. Jika
diperhatikan konsep prototipe subjek (Comrie, 1983) dan sifat-
perilaku khas subjek (Keenan dalam Li, ed., 1976), dapat dilihat
bahwa uraian Keenan itu tidak terlepas dari prototipe subjek
sebagai keterkaitan antara agen dan topik. Pengujian sifat-
perilaku subjek yang didasari oleh sifat-perilaku gramatikal
telah dilakukan oleh Artawa (1998:11-17), untuk menguji
kesubjekan bahasa Bali. Menurut Artawa (1998:11 – 17) karena
subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan
subjek dalam suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat-
perilaku gramatikal. Berkaitan hal dengan ini, hakikat subjek
(kesubjekan) dilihat berdasarkan pengertian dan pengujian: (i)
penaikan (raising); (ii) pengambangan penjangka (quantifier float);
(iii) pronomina tak teraga (PRO); (iv) perelatifan (relativisation);
dan (v) perefleksifan (reflexivisation).
Berikut penelaahan kesubjekan dan subjek bahasa
Minangkabau yang dicermati berdasar pengujian gramatikal
terhadap subjek bahasa Inggris, bahasa Bali, dan bahasa
Indonesia di atas.

(1) Penaikan
Untuk memperoleh gambaran tentang kaidah penaikan
(lihat Postal, 1974; Artawa 1998:12) dalam BM, yaitu sebuah
kategori gramatikal (sintaksis) yang sebelumnya bukan subjek
dapat dinaikkan ke posisi subjek, lebih dahulu perhatikan
klausa intransitif berikut (lihat Jufrizal, 2012).

(192a) Payah inyo duduak.


payah 3TG duduk
‘Payah dia (untuk) duduk’

159
Ketut Artawa & Jufrizal

(192b) Inyo payah duduak.


3TG payah duduk
‘Dia payah (untuk) duduk’

Kalimat (192a) dapat dianalisis sebagai kalimat yang terdi-


ri atas sebuah adjektiva (payah) dengan satu klausa (inyo duduak)
sebagai argumennya. Isi atau maksud pernyataan (192a) tersebut
dapat diungkapkan sebagai satu klausa tunggal seperti diwujud-
kan dengan klausa (192b). Inyo (192a) bukan merupakan subjek
kalimat secara keseluruhan. Melalui kaidah penaikan, inyo dinai-
kkan dari klausa pemerlengkap menjadi subjek dari predikat ad-
jektiva payah. Dengan demikian, FN yang berada sebelum verba
intransitif merupakan subjek gramatikal dalam BM.
Berikut adalah contoh-contoh kalimat transitif dengan
verba tanpa afiks (dikutip dari Jufrizal, 2012).

(193a) Barek baban-tu ambo pikua.


berat beban-ART 1TG pikul
‘Berat beban itu saya pikul’

(193b) Baban-tu barek ambo pikua.


beban-ART berat 1TG pikul
‘Beban itu berat saya pikul’

(193c) *Ambo barek baban-tu pikua.


1TG berat beban-ART pikul
‘Saya berat beban itu pikul’

Kalimat verbal transitif, dengan konstruksi verba tanpa


afiks, mempunyai dua FN yang keduanya terletak sebelum ver-
ba (FN praverbal). Pada contoh (193a) dua FN baban-tu dan ambo
merupakan FN praverbal. Apabila FN urutan pertama (baban-tu)
dinaikkan untuk menempati posisi subjek (193b), kalimat itu ber-
terima. Namun, apabila FN urutan kedua (ambo) dinaikkan un-
tuk menempati posisi subjek (193c), kalimat itu tidak berterima
(ditandai *). Dengan demikian, FN urutan pertama (yang berada
tidak langsung sebelum verba) merupakan subjek gramatikal
dalam kalimat transitif BM apabila verbanya tanpa afiks.
Bagaimana halnya apabila verba transitifnya berafiks?
Untuk memperoleh jawabannya, terlebih dahulu cermatilah
contoh-contoh berikut (data dari Jufrizal, 2012):

160
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(194a) Susah kito ma- maham-i urusan-tu.


susah 1JM PRE-maham-SUF urusan-ART
‘Susah kita memahami urusan itu’

(194b) Kito susah ma- maham-i urusan-tu.


1JM susah PRE- maham-SUF urusan-ART
‘Kita susah memahami urusan itu’

(194c) *Urusan-tu susah kito ma-maham-i.


urusan-ART susah 1JM memahami
‘Urusan itu kita susah memahami’

Berbeda dengan konstruksi kalimat yang verbanya


tanpa afiks (verba konstruksi zero), konstruksi kalimat yang
menggunakan verba transitif berafiks nasal mempunyai FN
sebelum dan sesudah verba. Pada (194a), misalnya, kito adalah
FN sebelum verba (FN praverbal) dan urusan-tu merupakan FN
sesudah verba (FN posverbal). FN praverbal apabila dinaikkan
ke posisi subjek (melalui kaidah penaikan) (lihat (194b)), kalimat
tersebut berterima secara gramatikal. Akan tetapi, bila FN
posverbal dinaikkan ke posisi subjek (lihat (194c)) maka secara
gramatikal kalimat itu tidak berterima. Kalimat bertanda asteris
(*) adalah kalimat yang tidak berterima secara gramatikal.
Dengan demikian, pada bangun kalimat yang memakai verba
transitif berprefiks-nasal, FN praverbal adalah subjek gramatikal
dalam BM (lihat juga Jufrizal, 2012).

(2) Pengambangan penjangka


Penjangka atau kata bantu bilangan (quantifier) tak takrif
merupakan penentu penunjuk jumlah. Penjangka tak takrif
dalam BM dapat menunjukkan (i) jumlah tidak pasti (saketek
‘sedikit’, babagai ‘berbagai’, ganok ‘banyak’, banyak ‘banyak’,
bamacam ‘bermacam-macam’, bajinih ‘berjenis-jenis’); (ii) jumlah
distributif (tiok ‘tiap’, satiok ‘setiap’, tiok-tiok ‘tiap-tiap’); dan (iii)
jumlah kolektif (abih ‘semua’, sado ‘semua’, sagalo ‘segala’, saganok
‘segenap’, sabanyak ‘sebanyak’, sakalian ‘sekalian’, sacukuiknyo
‘secukupnya’, salangkoknyo ‘selengkapnya’). Penjangka yang
menunjukkan jumlah tak pasti atau distributif ditempatkan di
depan FN. Penjangka yang mununjukkan jumlah kolektif, ada

161
Ketut Artawa & Jufrizal

yang diletakkan di depan dan ada pula yang di belakang FN,


dan ada pula yang mungkin di kedua posisi itu (mengambang)
(lihat Moussay, 1998:162; Jufrizal, 2012).
Penjangka yang mungkin (dapat) ditempatkan pada lebih
dari satu posisi (mengambang) dalam BM adalah abih ‘semua’
dan sado(nyo) ‘semua’. Abih hanya mempunyai satu bentuk,
sementara sado ada kalanya perlu ditambah klitika –nyo. Bentuk
sadonyo ‘semuanya’ dapat ditempatkan di depan atau di belakang
FN atau di posisi lain. Akan tetapi, bentuk sado hanya dapat
diletakkan di depan FN yang dijelaskannya. Untuk mengetahui
kesubjekan BM sehubungan dengan pengambangan penjangka
(quantifier float), cermati klausa intransitif berikut terlebih dahulu
(data dikutip dari Jufrizal, 2012).

(195a) Abih anak-anak manangih.


semua anak-anak menangis
‘Semua anak-anak mengangis’

(195b) Anak-anak abih manangih.


anak-anak semua menangis
‘Semua anak-anak menangis’

(195c) Abih kudo lari.


semua kuda lari
‘Semua kuda lari’

(195d) Kudo abih lari.


kuda semua lari
‘Semua kuda lari’

(195e) Kudo lari abih.


kuda lari semua
‘Semua kuda lari’

(196a) Sado anak-anak mandi.


semua anak-anak mandi
‘Semua anak-anak mandi’

(196b) Sadonyo anak-anak pulang.


semua anak-anak pulang
‘Semua anak-anak pulang’

162
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(196c) Anak-anak sadonyo mandi.


anak-anak semua mandi
‘Semua anak-anak mandi’

(196d) Anak-anak mandi sadonyo.


anak-anak mandi semuanya
‘Anak-anak mandi semuanya’

Dalam klausa intransitif BM, di mana pun posisi


penjangka abih atau sado(nyo), penjelasan yang diberikan (yakni
menunjukkan suatu jumlah/penjangka) adalah ke FN praverbal,
yang juga merupakan satu-satunya argumen. Dengan demikian,
FN praverbal dalam klausa jenis ini adalah subjek gramatikal
dalam BM.
Bagaimana halnya pengambangan penjangka pada klausa
transitif BM? Berikut diberikan contoh klausa dengan verba
transitif tanpa afiks. Penjangka yang dipakai adalah abih dan
sadonyo karena bentuk ini mempunyai posisi mengambang.

(197a) Abih buku abak baco.


semua buku ayah baca
‘Semua buku ayah baca’

(197b) Buku abih abak baco.


buku semua ayah baca
‘Semua buku ayah baca’

(197c) Buku abak baco abih.


buku ayah baca semua
‘Semua buku ayah baca’

(198a) Sadonyo urang maliang polisi tangkok.


semua orang maling polisi tangkap
‘Semua pencuri polisi tangkap’

(198b) Urang maliang sadonyo polisi tangkok.


orang maling semuanya polisi tangkap
‘Semua pencuri polisi tangkap’

(198c) Urang maliang polisi tangkok sadonyo.


orang maling polisi tangkap semuanya
‘Semua pencuri polisi tangkap’

163
Ketut Artawa & Jufrizal

Klausa transitif BM dengan verba tanpa afiks (verba


dasar), penjangka abih atau sado(nyo) menentukan jumlah
(menjelaskan) FN urutan pertama (dari dua FN) praverbal. FN
ini adalah pasien dalam klausa tersebut. Berkenaan dengan hal
ini, pada klausa transitif yang mempunyai verba berkonstrusksi
zero (tanpa afiks), pasien adalah subjek gramatikal.
Posisi penjangka yang mengambang pada klausa transitif
dengan verba berafiks-nasal, perilakunya dapat dicermati
melalui contoh-contoh berikut.

(199a) Abih anak sakola mam-buek gambar.


semua siswa AKT-buat gambar
‘Semua siswa membuat gambar’

(199b) Anak sakola abih mam-buek gambar.


siswa semua AKT-buat gambar
‘Semua siswa membuat gambar’

(199c) Anak sakola mam-buek gambar abih.


siswa AKT-buat gambar semua
‘Semua siswa membuat gambar’

(200a) Sado kambiang ma-makan rumpuik.


semua kambing AKT-makan rumput
‘Semua kambing memakan rumput’

(200b) Kambiang sadonyo ma-makan rumpuik.


kambing semua AKT-makan rumput
‘Semua kambing memakan rumput’

(200c) Kambiang ma-makan rumpuik sadonyo.


kambing AKT-makan rumput semua
‘Semua kambing memakan rumput’

FN praverbal pada klausa di atas merupakan agen.


Meskipun posisi penjangka abih dan sado(nyo) diubah-ubah,
penafsiran penunjuk jumlah tetap diberikan kepada agen klausa
yang bersangkutan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
argumen agen (FN praverbal) klausa transitif berprefiks-nasal
adalah subjek gramatikal dalam BM.
Contoh-contoh dan penjelasan di atas menujukkan bahwa
subjek gramatikal BM dapat berupa satu-satunya argumen

164
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(FN praverbal) dalam klausa intransitif, pasien (FN praverbal


yang pertama muncul) dalam klausa transitif yang mempunyai
verba konstrusksi zero, dan agen (FN praverbal) dalam klausa
transitif dengan verba berafiks-nasal. Dengan demikian,
subjek gramatikal dalam BM dapat berupa: (i) FN praverbal;
(ii) FN praverbal pasien; (iii) FN praverbal agen. Kenyataan
ini menyiratkan bahwa subjek gramatikal BM dapat berupa
agen atau pasien (pada klausa intransitif turunan = konstruksi
pasif).

(3) Frasa nomina tak teraga (PRO)


Berdasarkan ketentuan kalimat dengan FN tak teraga
(PRO), pola-pola kalimat BM berikut akan muncul.

(201a) Ambo ingin [PRO datang].


1TG ingin [PRO datang]
‘Saya ingin datang’

(201b) Ambo ingin [PRO pai].


1TG ingin [PRO pergi]
‘Saya ingin pergi’

(202a) Ambo ingin [PRO ma-mareso dokter].


1TG ingin [PRO AKT-periksa dokter]
‘Saya ingin memeriksa dokter’

(202b) Kami ingin [PRO ma-nanyo mamak].


1JM ingin [PRO AKT-tanya paman]
‘Kami ingin menanyai paman’

(203a) Ambo ingin [PRO di-pareso dokter].


1TG ingin [PRO PAS-periksa dokter]
‘Saya ingin ditanya (oleh) dokter’

(203b) Kami ingin [PRO di-tanyo mamak].


1JM ingin [PRO PAS-tanya paman]
‘Kami ingin ditanya (oleh) paman’

(204a) Ambo ingin [PRO dokter pareso].


1TG ingin [PRO dokter periksa]
‘Saya ingin dokter periksa’

165
Ketut Artawa & Jufrizal

(204b) Kami ingin [PRO mamak tanyo].


1JM ingin [PRO paman tanya]
‘Kami ingin paman tanya’

Dalam BM, subjek tak teraga (PRO) pada klausa


intransitif dapat dirujuksilangkan ke subjek yang berperan
sebagai agen ambo, seperti terlihat pada (201a) dan (201b). PRO
yang berperan sebgai agen pada klausa transitif dengan verba
seperti pareso, tanyo, mesti bermarkah ma- (verba berafiks-nasal)
untuk relasi gramatikal subjek (seperti pada (202a) dan (202b)).
Dalam konstruksi ini, PRO praverbal berkoreferensi dengan
subjek-agen klausa yang lebih tinggi. Andaikan pasien yang
disubjekkan, maka verba pada klausa yang lebih rendah (subjek
PRO) mesti dipasifkan, atau verba tersebut diwujudkan dalam
bentuk tak bermarkah. Dengan demikian, bila pasien yang
mempunyai relasi subjek PRO, maka ada dua konstruksi yang
diizinkan dalam BM; dipasifkan atau verbanya diwujudkan
dalam bentuk tidak bermarkah.
PRO terjadi pada posisi praverbal dan hanya bisa terjadi
pada posisi ini. Dengan kata lain, posisi FN praverbal pada
konstruksi kalimat seperti disajikan di atas sama-sama memiliki
sifat-perilaku subjek dalam bahasa Inggris. Dalam hal ini, FN
praverbal tersebut diisi oleh PRO. Kenyataan ini juga ditemukan
dalam BM; PRO berujuk silang dengan subjek. Apabila PRO
berperan sebagai agen maka ini terjadi pada klausa intransitif
dan/atau pada klausa transitif dengn verba bermarkah nasal-
aktif. Bila PRO diperankan sebagai pasien maka verba transitif
klausa lebih rendah dipasifkan atau dalam konstruksi tak-
bermarkah. Keadaan ini menunjukkan bahwa subjek dalam BM
pada klausa dasar adalah agen.

(4) Perelatifan
Untuk mengetahui kiat (strategi) perelatifan sehubungan
dengan kesubjekan dalam BM, mari cermati contoh-contoh
dan uraian berikut. Klausa relatif BM dimarkahi oleh kata
hubung (penanda relatif) nan ‘yang’. Telaah ini dimulai dengan
menyajikan contoh-contoh kalimat transitif dengan verba tak-
bermarkah (data dikutip dari Jufrizal, 2012).

166
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(205a) Kuciang makan nasi kunik.


kucing makan nasi kunyit
‘Kucing makan nasi kunyit’

(205b) Kuciang [nan makan nasi kunik] gapuak.


kucing [REL makan nasi kunik] gemuk
‘Kucing yang makan nasi kunyit gemuk’

(205c) Nasi kunik [nan kuciang makan] lamak.


nasi kunyit [REL kucing makan] enak
‘Nasi kunyit yang kucing makan enak’

Berdasarkan contoh (205a,b,c), BM dapat merelatifkan


FN praverbal (subjek) dan FN posverbal (objek). Pada kalimat
(205a), FN praverbal kuciang dan FN posverbal nasi kunik sama-
sama dapat direlatifkan, seperti dapat dilihat pada (205b,c).
Verba makan merupakan verba transitif yang boleh muncul
tanpa prefiks nasal dalam BM (ada sejumlah kecil verba dalam
BM seperti ini). Seluruh verba transitif yang berperilaku seperti
ini dapat pula mengambil pemarkah prefiks nasal, sehingga
bentuk Kuciang ma-makan nasi kunik (dengan verba ma-makan)
dapat dikatakan sebagai bentuk yang lebih berterima sebagai
klausa dasar BM. Berkenaan dengan hal ini, bentuk klausa relatif
* Nasi kunik nan kuciang ma-makan lamak tidak berterima secara
gramatikal. Hal ni berarti bahwa BM tidak dapat merelatifkan
objek secara langsung (merelatifkan objek tanpa penurunan
diatesis; pemasifan atau penopikalan).
Untuk mengetahui lebih jauh keberterimaan perelatifan
secara gramatikal dalam BM pada klausa transitif dengan verba
berafiks (nasal), perhatikan contoh-contoh berikut.

(206a) Pudin mam-bao lapiak.


Pudin AKT-bawa tikar
‘Pudin membawa tikar’

(206b) Pudin [nan mam-bao lapiak] dunsanak kami.


Pudin [REL AKT-bawa tikar] keluarga POS1JM
‘Pudin yang membawa tikar keluarga kami’

(206c)*Lapiak [nan Pudin mam-bao] rancak.


tikar [REL Pudin AKT-bawa] bagus
‘Tikar yang Pudin membawa bagus’

167
Ketut Artawa & Jufrizal

(207a) Adiak man-cari anak itiak.


adik AKT-cari anak itik
‘Adik mencari anak itik’

(207b) Adiak [nan man-cari anak itiak] cadiak.


adik [REL AKT-cari anak itik] cerdik
‘Adik yang mencari anak itik cerdik’

(207c) *Anak itiak [nan adiak man-cari] putiah.


anak itik [REL adik AKT-cari ] putih
‘Anak itik yang adik mencari putih’

Serangkaian contoh di atas menunjukkan bahwa klausa


transitif BM dengan verba berafiks-nasal dapat merelatifkan
FN praverbal (subjek) . Akan tetapi, apabila prefiks-nasal pada
verba dipertahankan, perelatifan FN posverbal, seperti (206c
dan 207c) tidak berterima secara gramatikal. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa BM termasuk bahasa yang tidak dapat
merelatifkan objek secara langsung.
Perelatifan dalam BM memperlihatkan bahwa baik
agen maupun pasien dapat direlatifkan. Keberterimaan
perelatifan tersebut tergantung pada bentuk verba klausa
yang bersangkutan. Pada kalimat transitif dengan verba tanpa
afiks, baik agen maupun pasien dapat direlatifkan. Konstruksi
seperti ini mirip dengan konstruksi yang ada dalam bahasa
Inggris (bahasa akusatif). Pada kalimat BM seperti ini, agen
berperilaku (mempunyai ciri) sebagai subjek gramatikal. Hal
yang sama terjadi pada kalimat intransitif; agen merupakan
subjek gramatikal.
Kasus yang ditemukan pada kalimat transitif dengan
verba berafiks-nasal (maN-) memunculkan gejala keberterimaan
perelatifan yang berbeda. Pada kalimat ini, hanya agen saja
yang dapat direlatifkan. Perelatifan pasien dengan tetap
mempertahankan prefiks-nasal verbanya menyebabkan
kalimat itu tidak berterima secara gramatikal. Kenyataan ini
memberikan isyarat bahwa agen merupakan subjek gramatikal
dalam BM. Deangan demikian dapat dikatakan bahwa uji
perelatifan menunjukkan bahwa kesubjekan BM dikondisikan
secara morfologis dan sintaktis dengan isyarat gramatikal
bahwa subjek dalam bahasa ini adalah agen secara semantis.

168
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(5) Perefleksifan
Dalam BM, bentuk refleksif diungkapkan dengan bentuk
diri (dan untuk mempertegas dapat ditambah dengan kata
sandiri ‘sendiri’ atau surang ‘seorang’). Lengkapnya, bentuk
refleksif (FN refleksif) itu adalah diri sandiri atau diri surang.
Cermati contoh berikut sebagai penjajakan telaah perefleksifan
BM.

(208a) Waang ma- rusak diri (sandiri).


2TG-LL AKT-rusak diri (sendiri)
‘Kamu merusak diri (sendiri)’

(208b) Kau ma- aniayo diri (surang).


2TG-PR AKT-aniaya diri (seorang)
‘Kamu menganiaya diri (sendiri)’

Dalam BM, agen merupakan bentuk tak bermarkah untuk


subjek (pemarkah bukan pada FN, melainkan pada verbanya).
Pada contoh di atas agen waang ‘kamu (laki-laki)’ dan kau ‘kamu
(perempuan)’ masing-masing merupakan subjek gramatikal
klausa yang bersangkutan. Bentuk refleksif yang diungkapkan
dengan diri sandiri atau diri surang dikontrol oleh agen. Dengan
demikian, agen mengontrol perefleksifan (pada klausa transitif
dengan verba berprefiks-nasal), seperti contoh di atas.
Selain bentuk refleksif yang digunakan seperti contoh-
contoh di atas, dalam BM juga ada bentuk refleksif yang
dimarkahi oleh pemarkah posesif (sesuai dengan agen yang
mengontrol releksif tersebut). Berikut adalah beberapa contoh
perefleksifan yang memakai pemarkah posesif.

(209a) Waang ma- nyasali diri-ang (sandiri).


2TG-LL AKT-sesali diri-POS 2TG-LL (sendiri)
‘Kamu menyesali dirimu (sendiri)’

(209b) Inyo ma- ngakang diri-nyo (surang).


3TG AKT-kekang diri-POS 3TG (seorang)
‘Dia mengekang dirinya (sendiri)’

(209c) Usin ma- nyumpahi diri-nyo (sandiri).


Husin AKT-sumpahi diri-POS 3TG (sendiri)
‘Husin menyumpahi dirinya (sendiri)’

169
Ketut Artawa & Jufrizal

(209d) Kau man-cacek diri-kau (surang)


2TG-Pr AKT-caci diri-POS 2TG-PR (seorang)
‘Kamu mencaci dirimu (sendiri)’

(209e) Ambo ma- aja diri-ambo (surang).


1TG AKT-ajar diri-POS 1TG (seorang)
‘Saya mengajar diri saya (sendiri)’

Sebagaimana kalimat refleksif yang tidak dimarkahi


oleh pemarkah posesif, perefleksifan yang memakai pemarkah
posesif juga menunjukkan bahwa FN praverbal (agen dan
juga subjek) mengontrol bentuk refleksif. Dalam hal ini, agen
mempunyai sifat-perilaku subjek dalam BM.
Contoh dan penjelasan perefleksifan dalam BM
tersebut memberikan gambaran dan petunjuk bahwa: (i) agen
mengontrol bentuk refleksif (FN refleksif); (ii) agen mempunyai
sifat-perilaku relasi gramatikal subjek karena alasan seperti (i);
(iii) bentuk refleksif yang mendahului FN praverbal langsung
mesti bermarkah posesif (khusus), namun bentuk refleksif
tersebut tetap dikontrol oleh FN yang berada langsung sebelum
verba. Simpulan terakhir ini menunjukkan bahwa bentuk
refleksif (meskipun bermarkah khusus) tidak mempunyai sifat-
perilaku subjek. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa subjek
BM termasuk bentuk yang tidak bermarkah.
Sifat-perilaku gramatikal lain yang perlu juga diketahui
dalam kajian tipologi linguistik adalah perihal subjek, ergativitas,
dan kebermarkahan dalam kaitannya dengan keakusatifan dan
keergativan. Istilah ergativitas digunakan untuk memerikan pola
gramatikal, dalam hal ini argumen pasien (P) klausa transitif
diperlakukan dengan cara yang sama dengan argumen tunggal
(S) klausa intransitif dan berbeda dengan argumen agen (A)
klausa transitif. Ergativitas berdistribusi komplementer dengan
akusativitas, yang berpola gramatikal lebih umum. Pada sistem
akusatif, agen (A) verba transitif diperlakukan dengan cara yang
sama dengan argumen tunggal verba intransitif (S) dan berbeda
dengan perlakuan atas pasien (P) transitif. Bahasa Inggris dapat
digolongkan sebagai bahasa akusatif karena dalam bahasa
tersebut A diperlakukan dengan cara yang sama dengan S
dalam hal kasus, persesuaian subjek-verba dan juga dalam hal

170
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

posisi struktural.

(210) a. He(S) swims every week.


3 berenang-3 setiap minggu
`Dia berenang setiap minggu`

b. He (A) hits the dog (P) every day.


3 pukul-3 art. anjing itu setiap hari
`Dia memukul anjing itu setiap hari`

Di samping klausa transitif (210b), bahasa Inggris juga memiliki


konstruksi pasif, yang dapat dianggap sebagai cara lain dalam
mengungkapkan kandungan semantis klausa transitif. Akan
tetapi, klausa pasif dianggap sebagai konstruksi intransitif
turunan karena agen klausa tersebut diungkapkan sebagai frasa
ajung (contoh 211).

(211) The dog is hit (by him) every day.

Berbeda dengan sistem akusatif, dalam sistem ergatif, P


diperlakukan dengan cara yang sama dengan S. Pada sistem
pemarkahan ergatif, P dan S umumnya tidak mendapat
pemarkahan. Sistem pemarkahan tersebut dapat diilustrasikan
dengan bahasa Kalkattungu, sebuah bahasa Aborigin Australia
(Blake, 1988).

(212) a. Kalpin ingka.


man go
`Pria itu pergi`

b. Marapai-thu nanya kalpin.


woman-Erg see man
`Wanita itu melihat pria itu`

Pada kalimat (212) di atas P dan S tidak diberikan markah,


sedangkan A bermarkah Erg -thu. Secara morfologis pada contoh
tersebut P dengan S diperlakukan dengan cara yang sama.
Pengertian ergatif dan akusatif sesungguhnya merupakan
konsep sederhana, tetapi konsep tersebut menjadi rumit apabila
diterapkan pada bahasa-bahasa Austronesia Barat. Studi yang
dilakukan pada bahasa-bahasa di Filipina, misalnya, telah

171
Ketut Artawa & Jufrizal

melahirkan paling tidak dua isu teoretis bagi para tipolog dan
ahli sintaksis. Salah satu dari isu tersebut berkaitan dengan
pengertian `subjek`- bagaimana mengenali kesubjekan pada
bahasa-bahasa tersebut. Isu yang lainnya adalah menyangkut
analisis terhadap apa yang lazimnya dikenal sebagai sistem
“diátesis” dan “fokus”. Salah satu contoh bahasa-bahasa di
Filipina yang dikenal luas adalah bahasa Tagalog. Berkaitan
dengan perspektif tipologis, bahasa Tagalog paling tidak telah
dianalisis dengan tiga cara yang berbeda:

(a) sebagai bahasa akusatif;


(b) sebagai bahasa ergatif; dan
(c) bukan sebagai bahasa ergatif ataupun akusatif.

(a) Bahasa Tagalog telah diperikan sebagai bahasa yang


mengenal sistem `fokus`. Sistem fokus tersebut dinyatakan
melalui pemarkahan nominal dan afiksasi pada unsur verbal.
Bahasa Tagalog mempergunakan perangkat preposisi berikut
untuk membedakan relasi gramatikal yang disandang oleh
suatu unsur terikat: ng digunakan menandai aktor dan pasien; sa
untuk menandai lokatif, dan para sa menandai relasi benefaktif.
Nomina suatu klausa tertentu akan dipilih sebagai fokus dan
`semestinya` akan digantikan oleh preposisi markah fokus
ang, sedangkan peran semantik yang relevan dari argumen
yang difokuskan dikodekan pada verba dengan menggunakan
afiks. Berikut adalah contoh dari bahasa Tagalog, yang meliputi
klausa intransitif (4), konstruksi fokus-pasien (5) dan konstruksi
fokus aktor (6). Perlu diperhatikan bahwa verba tidak dimarkahi
apabila yang dikenai fokus adalah pasien, sedangkan aktor
fokus menyebabkan verba dimarkahi dengan afiks -um- pada
verba. Hal tersebut setidaknya berlaku pada aspek perfektif dan
imperfektif (lihat Foley dan Van Valin, 1984a:63-64).

(213) Interesante ang libro.


intresting book
`Buku itu menarik`

(214) Binasa ang profesor ang libro.


perf:FP:read profesor book
`Profesor itu membaca buku`

172
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(215) Bumasa ng libro ang profesor.


perf:FA:read buku profesor
`Profesor itu membaca sebuah buku`

Para ahli yang menganalisis bahasa Tagalog sebagai


bahasa yang mengenal pembedaan diatesis aktif-pasif akan
memperlakukan konstruksi fokus-aktor seperti (215) sebagai
konstruksi aktif, sedangkan konstruksi fokus-pasien sebagai
konstruksi pasif. Analisis seperti itu tercermin, baik dalam karya
Bloomfield (1917), Blake (1925), Wolfenden (1961), maupun
Llamzon (1968).

(b) Analisis bahasa Tagalog sebagai bahasa ergatif berarti


bahwa konstruksi fokus-pasien diperlakukan sebagai konstruksi
transitif yang lazim, sedangkan fokus-aktor sebagai konstruksi
intransitif turunan. Payne (1982), misalnya, menyatakan bahwa
bahasa Tagalog merupakan bahasa ergatif dalam pengertian
tradisional`. Karakterisasi tersebut didasarkan pada pemarkahan
argumen tunggal predikat intransitif dengan pemarkahan pasien
(tak bermarkah) konstruksi fokus-pasien. Dalam hal ini, S dan A
dalam bahasa Tagalog dimarkahi dengan cara yang sama, yaitu
dengan preposisi ang. Dengan mengamati kalimat (213) dan
(214) dapat diketahui bahwa preposisi ang digunakan untuk
memarkahi pasien dalam (214) dan argumen tunggal klausa
intransitif, sedangkan aktor dimarkahi dengan ng. Interpretasi
bahasa Tagalog secara ergatif juga ditemukan dalam karya
Cena (1979), de Guzman (1983,1988), Coreman et. al. (1984),
Starosta (1986, 1987), dan Blake (1988). Starosta menggunakan
kerangka kerja Lexicase dan menemukan bahwa bahasa Tagalog
merupakan bahasa yang murni ergatif. Gibson dan Starosta
juga menegaskan bahwa analisis ergatif merupakan analisis
yang terbaik bagi bahasa-bahasa Filipina lainnya selain bahasa
Tagalog.
Akar kata verba pada (214) dan (215) adalah basa dan
yang dapat diketahui melalui perbandingan binasa (214) dan
bumasa (215). Berdasarkan hal itu diketahui bahwa fokus aktor
dimarkahi pada verba dengan afiks -in-. Akan tetapi, ternyata
afiks -in- tersebut juga digunakan untuk fokus, lokatif, dan
benefaktif sehingga markah tersebut tidak dapat dinyatakan

173
Ketut Artawa & Jufrizal

sebagai markah fokus-pasien. Dapat juga ditambahkan bahwa


pemakaian istilah “fokus” bahasa Filipina bersifat idiosinkratis.
Dalam konteks ini, pemarkah ang dalam bahasa Tagalog dapat
dianggap sebagai markah subjek gramatikal.

(c) Analisis selanjutnya terhadap bahasa Tagalog juga


dilakukan oleh Shibatani (1988). Shibatani (1988) menegaskan
bahwa konstruksi fokus-pasien tidak dapat dianggap sebagai
konstruksi pasif dan konstruksi ergatif, konstruksi fokus-aktor
tidak dapat disamakan dengan konstruksi antipasif. Menurut
Shibatani, konstruksi fokus-pasien merupakan konstruksi yang
lebih lazim dan kelaziman subjek-pasien tersebut merupakan
akibat peninggalan bahasa tipe ergatif. Menurutnya, perbedaan
utama bahasa-bahasa Filipina dengan bahasa akusatif terletak
pada kenyataan bahwa dalam bahasa-bahasa Filipina, pasien-
subjek dalam konstruksi fokus-pasien merupakan subjek yang
lebih berterima dan pada konstruksi yang sama argumen agen
masih menunjukkan ciri-ciri sebagai subjek, sedangkan dalam
bahasa akusatif, agen merupakan subjek yang lazim. Akan
tetapi, dalam konstruksi pasif, yaitu pasien dipilih menjadi
subjek, nomina-agen kehilangan ciri kesubjekan. Lebih jauh
lagi, kalau dalam konstruksi aktif bahasa akusatif merupakan
tipe konstruksi utama yang menyatakan kandungan semantis
transitif, maka dalam bahasa Filipina tugas tersebut dilimpahkan
di antara konstruksi fokus-aktor dan pasien.
Menurut Shibatani, bahasa-bahasa Filipina tidak dapat
digolongkan, baik sebagai akusatif maupun ergatif. Pandangan
seperti ini dapat ditemukan pada karya sebelumnya mengenai
deskripsi bahasa Tagalog oleh Schachter (1976,1977). Schachter
menunjukkan bahwa ciri subjek dalam bahasa akusatif terpilah
menjadi dua perangkat ketika diterapkan dalam bahasa Tagalog.
Perangkat pertama, yang diistilahkannya dengan ciri terkait “ac-
uan”, berlaku bagi kategori nominal yang menonjol secara refer-
ensial, yaitu frasa nominal yang bermarkah ang. Perangkat lain-
nya, yang disebut ciri terkait “peran”, berlaku bagi agen nosional
predikat intransitif dan transitif. Agen tersebut dapat berfungsi
menjadi pengendali refleksif dan mitra wicara dalam imperatif.

174
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Foley (1991) juga mengemukakan bahwa bahasa Tagalog


tidak dapat dikategorikan sebagai bahasa akusatif ataupun
ergatif. Alasan penolakan bahwa bahasa Tagalog sebagai
akusatif adalah kenyataan bahwa analisis akusatif menuntut
agar konstruksi fokus-aktor diperlakukan sebagai fokus tak
bermarkah, sedangkan fokus pasien diperlakukan sebagai
konstruksi pasif. Analisis seperti ini sulit untuk dipertahankan
karena terbukti bahwa agen dalam fokus-pasien memiliki status
sebagai argumen, mengingat agen dalam konstruksi tersebut
dapat mengendalikan refleksif dan juga masih dapat dikenali
sebagai mitra wicara dalam kalimat imperatif. Foley juga
menyangkal analisis ergatif terhadap bahasa Tagalog dengan
argumentasi yang analog dengan argumentasi di atas. Analisis
ergatif melibatkan perlakuan atas konstruksi fokus-pasien sebagai
konstruksi ergatif dan fokus-agen sebagai antipassif.
Istilah “antipasif” diperkenalkan pertamakali oleh
Silverstein (1976) untuk mengacu pada konstruksi intransitif
turunan yang terdapat pada bahasa-bahasa ergatif. Istilah
ini beranalogi dengan pasif dalam bahasa akusatif. Tata
Bahasa Relasional juga mengadopsi istilah antipasif. Menurut
Blake (1994), istilah antipasif dalam Tata Bahasa Relasional
dipergunakan tidak hanya terbatas pada bahasa ergatif, dan
secara lebih jauh membuat pembedaan dua jenis detransitivasi
(pemudaran transitivitas) menurut nasib pasien yang terkena
proses pengucilan (demotion). Pengucilan pasien ke posisi objek
tak langsung disebut sebagai pemunduran objek langsung ke
objek tak-langsung (direct-to-indirect object retreat), sedangkan
pengucilan pasien ke posisi yang bukan merupakan posisi
objek tak langsung-penggusuran pasien ke luar dari struktur
argumen, yaitu sebagai penganggur (chomeur). Konstruksi yang
pasiennya berubah status menjadi penganggur tersebut dalam
Tata Bahasa Relasional dinamakan sebagai antipasif.
Blake (1993) menegaskan pentingnya mengenali kemung-
kinan adanya konstruksi intransitif turunan, dalam hal ini pasien
tetap memegang status komplemen, terlepas dari apakah kom-
plemen itu disebut sebagai objek tak langsung atau tidak. Postal
(1977) lebih jauh menegaskan bahwa istilah antipasif mesti di-
gunakan untuk mencakupi contoh bahasa Indonesia berikut.

175
Ketut Artawa & Jufrizal

(216) a. Dia menanam padi itu. [meN- tanam]


b. Dia bertanam padi.
c. *Dia bertanam.

Kalimat (216a) dapat dianggap sebagai kalimat transitif


yang memiliki subjek, verba bermarkah nasal dan objek
langsung. Apabila pasien bersifat non-spesifik maka digunakan
konstruksi seperti (216b). Konstruksi tersebut oleh Postal
diperlakukan sebagai konstruksi intransitif turunan karena
pasien telah berubah status menjadi objek langsung yang
menganggur, yaitu nomina yang kehilangan ciri sebagai objek
(ciri keobjekan). Akan tetapi, walaupun verba konstruksi (216b)
tampak seperti verba intransitif (yaitu dari pemakaian ber- yang
terbatas pemakaiannya untuk verba intransitif), pasien dalam
(216b) tetap berfungsi sebagai argumen. Padi dalam kalimat
tersebut merupakan komplemen yang tidak dapat dilesapkan
(dibuktikan dari ketidakberterimaan 216c).
Menurut Foley (1991), pembuktian status agen sebagai
argumen dalam konstruksi fokus-pasien mudah dibuktikan,
tetapi tidak mudah bagi pasien konstruksi fokus-aktor. Foley juga
mencoba menunjukkan kesulitan untuk membuktikan bahwa
pasien tidak lagi memegang status argumen dalam konstruksi
fokus-agen. Usahanya itu diperkuat dengan data bahasa Sama
yang memiliki konstruksi fokus-pasien yang tidak bermarkah
dan konstruksi fokus-agen yang bermarkah seperti yang terdapat
dalam bahasa Bali. Verba konstruksi fokus-aktor bahasa Sama
bermarkah nasal.

(217) Bi`ili ku taumpa ma si Andi


FP:buy 1tg shoe(s) OBL Andi
`Sepatu saya beli untuk si Andi`

(218) M-b`ili aku taumpa ma si Andy


FA-buy 1tg shoe(s) OBL Andy
`Saya membeli sepatu untuk si Andy`

Bahasa-bahasa Austronesia umumnya memiliki derivasi


verba yang memungkinkan pelibatan peran (argumen non-
inti) tertentu sebagai argumen inti. Peran benefisiari yang
dinyatakan sebagai oblik dalam (217) dan dinyatakan sebagai

176
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

pasien pada (219). Dalam tradisi analisis Tata Bahasa Relasional


proses serupa diperikan sebagai pengedepanan (advancement)
ke posisi objek langsung. Pengedepanan tersebut dimarkahi
pada verba dengan sufiks -an.

(219) B`ili-an ku si Andy taumpa


FP:buy-ADV I Andy sepatu
`Si Andy saya belikan sepatu`

Alasan mengapa Foley menilik bahasa Sama karena tidak


seperti bahasa Tagalog, bahasa tersebut memungkinkan verba
dengan argumen benefaktif (sic) muncul pada konstruksi fokus-
agen.

(220) M-b`ili-an aku si Andy taumpa


FA:buy-ADV I Andy shoe(s)
`Saya membelikan si Andy sepatu`

Foley menyatakan bahwa (220) tidak dapat dijelaskan


dengan analisis ergatif, karena konstruksi tersebut tentunya akan
diperlakukan sebagai antipasif. Dengan antipasif berarti bahwa
peran benefisiari terbuang dari struktur argumen mengingat
dalam kalimat tersebut terdapat proses pengedepanan oblik
yang jelas (1991:15). Dengan kata lain, proses derivasi yang
menggusur argumen tambahan tidak dapat diterima akal.
Berbeda dengan Foley, Blake (1993) menunjukkan adanya
kemungkinan terdapat proses pemudaran transitivitas tanpa
menggusur argumen dari struktur valensi verba. Dalam
bahasa Kalkatungu, menurut Blake, detransitivasi klausa yang
melibatkan pengedepanan merupakan peristiwa yang lumrah.
Secara berturut-turut contoh-contoh berikut mengilustrasikan
predikat intransitif (221a), konstruksi transitif turunan di sini
-nti memarkahi penambahan argumen dalam valensi (221b),
dan jenis klausa transitif yang mengalami detransitivasi (221c).

(221) a. Pirla-pirla wani


child play
`Anak bermain`

b. Pirla-pirla-thu thuku wani-nti


child-erg dog play-ADV
`Anak itu sedang mempermainkan anjing`

177
Ketut Artawa & Jufrizal

c. Pirla-pirla thuku wani-nyi-yi


child dog-DAT play-ADV-AP
`Anak itu bermain-main dengan anjing`

Kembali pada masalah dalam bahasa Tagalog. Silang


pendapat yang muncul mengenai tipologi bahasa Tagalog
umumnya terpusat sekitar penafsiran sistem diatesis yang
terdapat dalam bahasa tersebut. Seperti dikemukakan pada
keterangan sebelumnya, beberapa linguis mengemukakan
bahwa bahasa Tagalog secara tipologis tergolong sebagai
bahasa akusatif. Analisis sebagai akusatif menyiratkan bahwa
konstruksi fokus-aktor merupakan konstruksi aktif sedangkan
fokus-pasien sebagai pasif. Linguis lainnya berpendapat bahwa
bahasa Tagalog merupakan bahasa ergatif, yang berarti bahwa
konstruksi fokus-pasien diperlakukan sebagai konstruksi pasif,
sedangkan fokus-agen diperlakukan sebagai antipasif. Perlakuan
konstruksi fokus-pasien sebagai konstruksi tak bermarkah
merupakan pendapat yang banyak mendapat dukungan. Kroeger
(1993:56), misalnya, berpendapat bahwa pasien merupakan
pilihan subjek yang tidak bermarkah dalam konstruksi transitif
bahasa Tagalog. Fokus pasien umumnya digunakan untuk
konstruksi yang pasiennya bersifat spesifik. Hal ini berarti
bahwa untuk menentukan tipe yang sesungguhnya dari bahasa
ini diperlukan pembandingan perlakuan atas pasien konstruksi
fokus pasien dengan argumen tunggal konstruksi intransitif.
Para ahli yang berpendapat bahwa bahasa Tagalog
bukan merupakan bahasa ergatif atau akusatif menganggap
bahwa agen dalam konstruksi fokus-pasien tetap memiliki status
komplemen dan pasien pada konstruksi fokus-agen juga tetap
memiliki status komplemen. Hal ini berarti bahwa dalam bahasa
Tagalog terdapat lebih dari satu konstruksi transitif.
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah ada
kemungkinan menyatakan suatu bahasa bertipe ergatif atau
akusatif apabila dalam bahasa yang bersangkutan terdapat
lebih dari satu jenis konstruksi transitif masing-masing dengan
argumen yang berbeda-beda diperlakukan dengan cara
yang sama dengan S klausa intransitif. Pada dasarnya, kita
sesungguhnya dapat menyatakan bahwa suatu bahasa dapat

178
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

ditetapkan sebagai ergatif atau akusatif walauppun bahasa


yang bersangkutan memiliki lebih dari satu konstruksi transitif
dengan sebelumnya menetapkan satu di antara yang bersifat
lebih dasar dari yang lain. Konstruksi transitif (yang lebih) dasar
tersebut dapat dibandingkan dengan klausa intransitif sebagai
dasar penetapan tipe bahasa yang bersangkutan.

5.2.2.2 Relasi Gramatikal Objek dan Oblik: Data BM


Teori Tata Bahasa Relasional memperkenalkan tiga jenis
relasi gramatikal yang murni bersifat sintaksis, yaitu S, OL,
dan OTL. Bagian ini membicarakan perihal relasi objek dengan
mengambil data BM sebagai lanjutan pembahasan subjek di
atas. Relasi oblik (OBL), seperti lokatif, benefaktif, instrumental,
yang merupakan relasi semantis juga disinggung secara ringkas.
Kalimat transitif mempunyai dua argumen atau lebih yang
secara gramatikal dikategorikan menjadi S dan O. Objek adalah
relasi gramatikal yang merujuk ke setiap argumen inti yang
bukan subjek. Sebuah predikat (transitif) dapat menghendaki
satu atau lebih O, sehingga O dapat dikategorikan sebagai O
utama (OL) dan O kedua (OTL) (lihat Donohue, 1999:48).
Alsina (1996:149--160), dengan menyajikan bukti/kasus
bahasa Romawi, mengemukakan bahwa argumen-argumen
internal pada dasarnya disebut objek. Karena sebuah struktur
argumen dapat terdiri atas lebih dari satu argumen internal, hal
ini menggambarkan bahwa sebuah klausa dapat mempunyai
lebih dari satu O. Jumlah O tersebut ditentukan oleh jenis verba
klausa yang bersangkutan. Verba dwitransitif menghendaki
dua O yang secara tradisional dikenal dengan OL dan OTL.
Berdasarkan data bahasa Romawi yang dikemukakannya,
Alsina (1996) mengatakan bahwa OTL mirip dengan OBL yang
ditandai oleh adanya preposisi, dan OTL cenderung mengikuti
OL. Selain itu, berbeda dengan OL, OTL tidak berkorespondensi
dengan S. Masih menurut Alsina (1996), ada delapan bukti yang
menunjukkan bahwa OTL termasuk ke kelompok fungsi-fungsi
langsung (seperti S dan OL) yang berbeda secara sistematis
dengan OBL, yaitu (i) penggandaan pronomina personal
bebas dalam morfologi verbal; (ii) ungkapan persona dan
perbedaan jumlah dalam pronomina yang tergabung secara

179
Ketut Artawa & Jufrizal

morfologis; (iii) kemampuan diikat pada struktur argumen; (iv)


kemampuan untuk mengajukan pengambangan penjangka; (v)
tidak menggabungkan referensi pronomina; (vi) kemampuan
mengikat penjangka; (vii) kemampuan berfungsi sebagai
pronomina resumtif (pembuka) dan variabel terikat; dan (viii)
kemampuan menjadi sasaran predikasi kedua (sekunder).
Objek adalah argumen yang mengalami tindakan yang
dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami
tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki
posisi kedua pada hierarki fungsi gramatikal (sesudah subjek)
(Verhaar 1999; Alsina 1999; Nazara 2001:77). OL dan OTL harus
muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif.
Secara lintas bahasa tidak banyak verba yang menuntut tiga
argumen secara serentak. Verba give dalam bahasa Inggris, beri
dalam bahasa Indonesia, dan beberapa verba lain yang setara
dengan itu adalah contoh verba dwitransitif.
Sebagaimana halnya subjek, penentuan sifat-perilaku O
secara lintas bahasa cukup rumit. Kisseberth dan Abasheikh
(dalam Cole, ed., 1977:183 - 184) mengemukakan bahwa O verba
dalam bahasa-bahasa Bantu kebanyakan ditentukan dengan tiga
perilaku dasar: (i) O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang
dapat muncul pada verba; (ii) O adalah FN (sekurang-kurangnya
dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba;
dan (iii) O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui
proses pemasifan. BM tidak mengenal prefiks O (object prefix)
atau prefiks subjek (subject prefix) untuk tataran sintaksis.
Berkenaan dengan hal ini, sifat-perilaku (ii) dan (iii) yang ada
dalam bahasa-bahasa Bantu dapat dipakai untuk menetapkan
O dalam BM.
Pengujian keobjekan dan penetapan O dalam BM dapat
dilakukan dengan seperangkat cara pengujian secara gramatikal
yang sesuai dengan sifat-perilaku morfosintaktis BM. Untuk
mengetahui hal itu, perhatikan contoh-contoh dan penjelasan
berikut!

(222a) Urang-tu mam-balah karambia patang.


orang-ART AKT-belah kelapa kemarin
‘Orang itu membelah kelapa kemarin’

180
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(222b) Anak ketek ma-racak kareta di laman.


anak kecil AKT-kendarai sepeda di halaman
‘Anak kecil mengendarai sepeda di halaman’

(222c) *Urang-tu mam-balah patang karambia.


orang-ART AKT-belah kemaren kelapa
‘Orang itu membelah kemaren kelapa’

(222d) *Anak ketek ma-racak di laman kareta.


anak kecil AKT-kendarai di halaman sepeda
‘Anak kecil mengendarai di halaman sepeda’

Contoh (222a,b) adalah kalimat (dalam konteks netral)


yang berterima dalam BM. FN karambia dan kareta yang
langsung mengikuti (berada dalam lingkungan terdekat) verba
adalah objek kalimat tersebut. Contoh (222c,d) adalah kalimat
yang tidak berterima secara gramatikal. Hal ini disebabkan
oleh adanya penyisipan adverbia di antara verba dan objeknya.
Berdasarkan contoh di atas, ada dua simpulan yang dapat
dikemukakan, yaitu (i) Objek BM adalah FN yang langsung
berada setelah/mengikuti verba; dan (ii) Objek BM adalah FN
yang tidak bisa disisipi oleh adverbia dengan verbanya.
Berikut adalah pengujian sifat-perilaku objek dalam BM
yang didasarkan pada kalimat refleksif.

(223a) Paja-tu ma-muji diri-nyo surang.


anak-ART AKT-puji diri-POS3TG seorang
‘Anak itu memuji dirinya sendiri’

(223b) *Diri-nyo surang ma-muji paja-tu.


diri-POS3TG seorang AKT-puji anak-ART
‘Dirinya sendiri memuji anak itu’

(224a) Kito alah ma-lawan diri kito sandiri.


2JM telah AKT-lawan diri POS2JM sendiri
‘Kita telah melawan diri kita sendiri’

(224b) *Diri kito sandiri alah ma-lawan kito.


diri POS2JM sendiri telah AKT-lawan 2JM
‘Diri kita sendiri telah melawan kita’

181
Ketut Artawa & Jufrizal

Pasangan contoh-contoh di atas memperlihatkan


bahwa ada kalimat refleksif yang berterima secara gramatikal
((223a) (224a)) dan ada bentuk yang tidak berterima ((223b)
dan (224b)). FN refleksif dirinyo surang yang merupakan objek
gramatikal pada (223a) mengacu ke FN paja tu (S gramatikal).
Bangun kalimat seperti ini, dalam BM, berterima karena FN
refleksif menduduki posisi objek. Sementara itu, (223b) tidak
berterima karena FN refleksif dijadikan subjek kalimat. Hal ini
menunjukkan bahwa objek dalam BM adalah fungsi gramatikal
(FN) yang dapat digantikan oleh FN refleksif.
Selanjutnya, sifat-perilaku objek BM dilihat berdasarkan
kaidah pemasifan. Seperti disinggung pada bagian terdahulu,
dalam kaidah pemasifan, yang umum diketahui adalah objek
kalimat aktif dapat dinaikkan untuk menduduki posisi subjek
kalimat pasifnya; sementara subjek kalimat aktif itu sendiri
menjadi relasi oblik. Untuk mengetahui apakah kejadian
ini berlaku dalam BM, mari perhatikan contoh-contoh dan
penjelasan berikut.

(225a) Urang kampuang mam-buru ciliang.


orang kampung AKT-buru babi
‘Orang kampung memburu babi’

(225b) Ciliang di-buru dek urang kampuang.


babi PAS-buru oleh orang kampung
‘Babi diburu oleh orang kampung’

(226a) Amak mam-baka sarok.


Ibu AKT-bakar sampah
‘Ibu membakar sampah’

(226b) Sarok ba- baka dek amak.


sampah PAS-bakar oleh Ibu
‘Sampah dibakar oleh Ibu’

(227a) Ambo ma-nampa anak-nyo.


saya AKT-tampar anak- POS3TG
‘Saya menampar anaknya’

(227b) Anak-nyo ta- tampa dek ambo.


anak-POS3TG PAS-tampar oleh saya
‘Anaknya tertampar oleh saya’

182
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Tiga pasang contoh kalimat di atas adalah pasangan


kalimat berdiatesis aktif-pasif. FN yang bergaris bawah pada
contoh-contoh bertanda (a) menduduki posisi objek dalam
kalimat aktif. Melalui kaidah pemasifan, ternyata masing-
masing objek kalimat aktif dapat menduduki posisi subjek
kalimat pasif; sementara subjek kalimat aktif turun ke relasi
oblik (ditandai oleh preposisi dek ‘oleh’). Dapat dikemukakan
di sini bahwa pemasifan dengan menaikkan objek ke posisi
subjek, dalam BM, secara morfologis ditandai oleh tiga macam
prefiks pasif (di-, ba-, dan ta-). Dengan demikian, objek dalam
BM dapat diuji melalui kaidah pemasifan; objek dalam BM
adalah FN yang menduduki posisi objek kalimat aktif yang
dapat dinaikkan menjadi subjek kalimat pasifnya. Ciri seperti ini
merupakan salah satu ciri tipologis yang dimiliki oleh bahasa-
bahasa akusatif (misalnya bahasa Inggris).
Seperti disinggung pada bagian terdahulu, subjek BM
dapat direlatifkan, namun objek BM tidak dapat direlatifkan
secara langsung. Penentuan keobjekan BM berikut didasarkan
atas pelesapan dalam kalimat koordinatif. Cermati contoh-
contoh berikut.

(228a) Alim manulih surek lalu inyo mangirinnyo.


Halim menulis surat lalu dia mengirimnya
‘Halim menulis surat lalu dia mengirimnya’ (nya=surat)

(228b) Alim manulih surek lalu ----- mengirinnyo.


Halim menulis surat lalu mengirmnya
‘Halim menulis surat lalu ----- mengirimnya’ (nya=surat)

(229a) Alim manulih surek tapi adiak mancabiaknyo.


Halim menulis surat tetapi adik merobeknya
‘Halim menulis surat tapi adik merobeknya’ (nya=surat)

(229b)*Alim manulih surek tapi adiak mancabiak-----.


Halim menulis surat tetapi adik merobek---
‘Halim menulis surat tapi adiak merobek-----‘

Pada kalimat (228a), inyo merujuk ke Alim yang


merupakan subjek klausa pertama, Alim manulih surek. Inyo

183
Ketut Artawa & Jufrizal

adalah subjek pada klausa Inyo mengirimnyo. Meskipun kalimat


tersebut berterima dalam BM, kehadiran inyo dapat ditiadakan.
Hadirnya inyo pada klausa kedua malahan mubazir. Pelesapan
inyo pada klausa kedua seperti pada (228b) lebih berterima. Pada
(229a) -nyo merujuk ke surek yang ada pada klausa pertama.
Dilihat dari ketepatgunaan, kehadiran –nyo dapat dianggap
berlebihan. Akan tetapi, apabila –nyo yang merupakan objek
klausa kedua (merujuk ke surek yang merupakan objek klausa
pertama) dilesapkan maka akan melahirkan kalimat koordinatif
tak-gramatikal (lihat contoh (229b) yang tidak berterima).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa FN yang menduduki posisi
objek pada salah satu klausa kalimat koordinatif BM tidak bisa
dilesapkan. Jadi, objek BM adalah unsur kalimat (FN) yang
tidak bisa dilesapkan pada kalimat koordinatif.
Kalimat transitif BM dengan verba dwitransitif mem­
punyai tiga argumen: S, OL dan OTL. Sifat-perilaku OL dan OTL
dalam BM dapat diuji melalui posisi dan pemasifan. Contoh-
contoh berikut memperlihat sifat-perilaku OL dan OTL kalimat
dengan verba dwitransitif BM.

(230a) Uda ma-agiah Asan baju. (AKT)


kakak AKT-beri Hasan baju
‘Kakak memberi Hasan baju’

(230b) Asan di-agiah baju dek uda. (PAS)


Hasan PAS-beri baju oleh kakak
‘Hasan diberi baju oleh kakak’

(230c) Asan di-agiah (dek) uda baju. (PAS)


Hasan PAS-beri (oleh) kakak baju
‘Hasan diberi (oleh) kakak baju’

(230d) *Baju di-agiah Asan dek uda.


baju PAS-beri Hasan oleh kakak
‘Baju diberi Hasan oleh kakak’

(230e) Baju di-agiahan ka Asan dek uda.


baju PAS-berikan kepada Hasan oleh kakak
‘Baju diberikan kepada Hasan oleh kakak’

184
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(230f) Baju di-agiahan (dek) uda ka Asan.


baju PAS-berikan (oleh) kakak kepada Hasan
‘Baju diberikan oleh kakak kepada Hasan’

Pada contoh (230a), Asan dan baju adalah dua buah objek
verba dwitransitif agiah ‘beri’. Secara semantis, baju merupakan
OL dari verba agiah. Asan adalah OTL dalam kalimat itu. Dengan
demikian, dalam kalimat transitif dengan verba dwitransitif
BM, FN yang langsung berada setelah verba adalah OTL dan
setelahnya diikuti OL. Berdasarkan pemasifan, OTL Asan
dapat menjadi subjek kalimat pasif tanpa adanya penambahan
pemarkah pada verba (kecuali pemarkah morfologis prefiks pasif
di-). Sementara itu, subjek kalimat aktif uda menjadi relasi oblik.
Apabila subjek yang telah menduduki relasi oblik ditempatkan
setelah OL baju, maka mesti didahului oleh preposisi dek ‘oleh’
(lihat (230b)). Di sisi lain, bila subjek yang telah menduduki
relasi oblik ditempatkan sebelum OL baju maka pemakaian
preposisi dek ‘oleh’ bersifat manasuka (lihat (230c)). Apabila OL
baju dijadikan subjek kalimat pasif maka perlu penambahan
pemarkah pada verba, yaitu penambahan sufiks –an selain
pemarkah pasif prefiks di-. Contoh (230d) tidak berterima secara
gramatikal karena baju (OL) ditempatkan pada posisi subjek
kalimat pasif namun pemarkah verba, selain dari prefiks pasif,
tidak dibubuhkan. Ketidakberterimaan contoh (230d) juga
disebabkan oleh tidak adanya preposisi ka ‘kepada’ di depan
OTL Asan. Apabila OL baju dijadikan subjek kalimat pasif maka
pemarkah verba, selain prefiks pasif di-, harus ditambahkan,
yaitu sufiks –an dan sebelum OTL Asan mesti didahului oleh
preposisi ka ‘kepada’ (contoh (230e)). Pada contoh (230e) tersebut,
kehadiran preposisi dek sebelum uda (yang telah berelasi oblik)
adalah wajib sebab pelaku berpreposisi (FN berpreposisi) dek
uda terletak setelah OTL Asan (di akhir kalimat). Di sisi lain,
kehadiran preposisi dek pada (230f) bersifat manasuka karena
pelaku berpreposisi dek uda terletak setelah verba (sebelum OTL
Asan).
Dengan demikian, OTL dalam BM adalah FN yang
langsung bertempat setelah verba, sedangkan OL mengikutinya.
Baik OL maupun OTL, keduanya dapat menjadi subjek kalimat
pasif (melalui kaidah pemasifan). Apabila OTL yang menjadi

185
Ketut Artawa & Jufrizal

subjek kalimat pasifnya, maka tidak ada perubahan morfologis


pada verbanya, kecuali prefiks pasif itu sendiri. Sementara itu
apabila OL yang dijadikan subjek kalimat pasif maka perlu
ditambahkan pemarkah-sufiks –an pada verbanya bersamaan
dengan prefiks pasif. Selain itu, penempatan preposisi ka di
depan OTL Asan bersifat wajib. Bangun kalimat seperti ini
merupakan bangun kalimat benefaktif. Pelaku berpreposisi
dek uda (subjek kalimat aktif yang telah berelasi oblik) dapat
ditempatkan langsung setelah verbanya (preposisi dek tidak
wajib), atau setelah OTL Asan (preposisi dek bersifat wajib).
Relasi gramatikal yang bersifat semantis secara kolektif
disebut sebagai relasi oblik OBL. Oblik merupakan kelompok
argumen yang sulit didefinisikan. Umumnya oblik itu
adalah argumen bukan subjek dan juga merupakan bentuk
morfosintaktis yang tidak sesuai/layak sebagai objek. OBL tidak
mengalami proses sintaktis yang memengaruhi objek (seperti
pemasifan). OBL umumnya berupa frasa preposisional (Butt
dkk.,1999:50).
Relasi oblik dalam BM dapat dijajaki dengan mem­
perhatikan contoh-contoh di bawah ini.

(231a) Ali ma- agiah-an buku ka guru.


Ali AKT-beri- APL buku kepada guru
‘Ali memberikan buku kepada guru’

(231b) Buku di- agiah-an (dek) Ali ka guru.


buku PAS-beri- APL (oleh) Ali kepada guru
‘Buku diberikan (oleh) Ali kepada guru’

(231c) Buku di- agiah-an ka guru dek Ali.


buku PAS-beri- APL kepada guru oleh Ali
‘Buku diberikan kepada guru oleh Ali’

(231d) Ka guru di- agiah-an buku dek Ali.


kepada guru PAS-beri- APL buku oleh Ali
‘Kepada guru diberikan buku oleh Ali’

(231e) Ka guru buku di- agiah-an dek Ali.


kepada guru buku PAS-beri- APL oleh Ali
‘Kepada guru buku diberikan oleh Ali’

186
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(231f) *Guru di- agiah-an ka buku dek Ali.


guru PAS-beri- APL kepada buku oleh Ali
‘Guru diberikan kepada buku oleh Ali’

Berdasarkan contoh-contoh di atas, sifat-perilaku/


ciri OBL dalam BM dapat dijelaskan sebagai berikut. OBL
BM adalah argumen (FN) yang berpreposisi (FNPrep)
(misalnya berpreposisi ka, untuak). FNPrep ini merupakan
OBL karena tidak bisa dijadikan subjek kalimat pasif melalui
kaidah pemasifan. Hal ini diujikan pada konstruksi verbal
datif (purposif) dan benefaktif BM seperti diperlihatkan oleh
contoh-contoh (231a,b,c,d,e,f). Ternyata hanya objek yang tidak
berpreposisi saja yang dapat dinaikkan ke posisi subjek kalimat
pasif. Meskipun (231d,e) juga berterima secara semantis, secara
gramatikal objek berpreposisi ka guru dan untuak adiak bukan
objek klausa/kalimat pasif tersebut: ka guru tetap merupakan
OBL datif (purposif) dan untuak adiak adalah OBL benefaktif.

5.3 Sistem Aliansi Gramatikal dan Tipologi Bahasa


Pada bagian terdahulu sudah dikemukakan pe­ngertian
aliansi (persekutuan) gramatikal yang dikenal dalam kajian
tipologi lingusitik. Penipologian bahasa-bahasa manusia secara
gramatikal dilakukan dengan melakukan uji gramatikal-semantis
terhadap fitur-fitur gramatikal lahiriah yang ada dalam bahasa
yang bersangkutan. Untuk menentukan tipologi gramatikal
bahasa, dalam hal ini, perlu dilakukan pengujian secara
semantis dan sintaktis. Hal ini dasarkan pada kenyataan bahwa
semua bahasa mempunyai verba intransitif dan transitif. Untuk
membentuk kalimat, verba intransitif umumnya membutuhkan
satu argumen, sedangkan verba transitif menghendaki dua
argumen atau lebih. Sebagaimana dijelaskan pada bagian
terdahulu, dengan memakai simbol-simbol semantis-sintaktis
seperti dikemukakan oleh Comrie (1981, 1989) didapat simbol
dan pengertian sebagai berikut.

S = satu-satunya argumen kalimat intransitif


A = argumen agen kalimat transitif
P = argumen pasien kalimat transitif

187
Ketut Artawa & Jufrizal

Perilaku sintaktis A dan P dipergunakan sebagai patokan


untuk menentukan tipe suatu bahasa. Argumen satu-satunya
pada kalimat intransitif, oleh ahli tipologi bahasa, dianggap
sebagai subjek gramatikal. Kalau ada argumen lain, biasanya
argumen tersebut ditandai oleh preposisi atau pemarkah kasus
tertentu, yang mengisyaratkan bahwa argumen itu adalah
argumen OBL. Argumen OBL tidak mempunyai ciri-ciri
kesubjekan. Kalimat yang mempunyai dua argumen (sekurang-
kurangnya), yaitu A dan P, maka argumen yang berperilaku
sintaktis yang sama dengan S (argumen satu-satunya kalimat
intransitif) dipilih sebagai subjek (gramatikal). Karena S sebagai
patokan, penentuan tipologi bahasa dapat dilakukan secara
morfologis dan sintaktis; apakah A atau P yang diperlakukan
dengan cara yang sama dengan S (lihat Artawa, 1995:60-61).
Lebih lanjut, Artawa (1995:61) menjelaskan: (a) apabila
satu bahasa memperlakukan A dan S dengan cara yang sama,
maka bahasa tersebut digolongkan sebagai bertipe akusatif;
(b) apabila P dan S diperlakukan dengan cara yang sama maka
bahasa tersebut disebut sebagai bahasa ergatif. Pengertian
‘perlakuan yang sama’ dalam kajian tipologi bahasa bisa dalam
tataran morfologi dan tataran sintaksis. Pembedaan perlakuan
yang sama secara morfologis dan sintaktis sangat penting dalam
tipologi bahasa. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
ada bahasa pada tataran morfologi bertipe ergatif, tetapi pada
tataran sintaksis berperilaku sebagai bahasa akusatif (Anderson
dalam Artawa, 1995:61). Kedua tipe bahasa tersebut dapat
digambarkan sebagai bagan berikut.

Bagan 2: Sistem Aliansi Gramatikal bahasa bertipologi akusatif


dan ergatif
S S

A P A P

Akusatif Ergatif

Menurut Palmer (1994:14), dalam kajian tipologis,


kenyataan bahwa S diperlakukan sama dengan A dalam sistem

188
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

akusatif, dan perlakuan S sama dengan P dalam sistem ergatif,


penting diketahui untuk menjelaskan perbedaan antara “peran
gramatikal” dan “relasi gramatikal”. Penentuan S=A dan S=P
merupakan konsep yang berbeda dari peran S, A, dan P. Dalam
hal ini, S, A, dan P adalah peran gramatikal , sementara S=A
dan S=P merupakan relasi gramatikal. Peran gramatikal S, A,
dan P (menurut Dixon 1994 S, A, O) bila dikaitkan dengan
kecenderungan sistem tipologi bahasa maka ditemukan apa yang
disebut bahasa bersistem S=A dan S=P, atau yang lainnya. Sistem
pengelompokan peran S, A, dan P melahirkan sistem gramatikal
suatu bahasa secara tipologis. Sistem S=A atau S=P (dan yang
lainnya) disebut juga dengan aliansi gramatikal (persekutuan
gramatikal) (lihat Dixon, 1994; Arka, 2000:424). Payne (2002:133
- 139) menyebutnya sebagai sistem pengelompokan S, A, dan
P.
Dengan demikian, aliansi gramatikal dalam buku ini
maksudnya adalah sistem atau kecenderungan persekutuan
gramatikal yang ada dalam suatu bahasa secara tipologis;
apakah berupa S=A, S=P, Sa=A, Sp=P, atau yang lain. Payne
(2002:165 - 166) merangkum proses-proses sintaktis yang peka
terhadap sistem ergatif/absolutif, sistem nominatif/akusatif,
atau sistem lain seperti dalam tabel berikut.

Tabel 5: Proses Sintaktis dan Sistem Tipologi Bahasa


Proses Sintaktis NOM/AKU ERG/ABS Lainnya
Pelesapan pelengkap-argumen X
Perefleksifan X X
Perelatifan X X
Pengurangan konjungsi X X X

Berdasarkan kajian-kajian tipologi linguistik yang sudah


ada, sebagaimana sudah disinggung pada bagian terdahulu, para
ilmuwan dan peneliti tipologi linguistik membuat rangkuman
umum tentang kemungkinan sistem aliansi gramatikal bahasa-
bahasa manusia secara lintas bahasa yang menunjukkan
kesemestaan dan sekaligus kekhasan bahasa-bahasa tersebut.
Ada lima kemungkinan sistem aliansi gramatikal bahasa

189
Ketut Artawa & Jufrizal

(-bahasa) manusia secara teoretis seperti di bawah ini (lihat


Dixon, 1994; Song, 2001; Payne, 2002). Sistem aliansi gramatikal
ini boleh dikatakan sebagai kemungkinan “logis” tentang
pertautan fitur-fitur gramatikal antarjenis klausa yang ada
dalam bahasa manusia.

(a) sistem nominatif-akusatif: S = A , ≠ P (banyak ditemukan)


(b) sistem ergatif-absolutif: S = P, ≠ A (banyak ditemukan)
(c) sistem tripartit: S ≠ A ≠ P (jarang ditemukan)
(d) sistem AP/S: A = P, ≠ S (belum ditemukan)
(e) sistem netral: S = A = P (jarang ditemukan)

5.4 Catatan Penutup


Bab ini membahas secara teoretis dan aplikatif
sistem perlakuan gramatikal dengan mengambil data dari
beberapa bahasa untuk menjelaskan pengertian sistem aliansi
gramatikal. Dalam kajian tipologi linguistik, terutama tipologi
gramatikal, penipoligian bahasa (-bahasa) manusia berdasarkan
pencermatan sistem aliansi gramatikal mempunyai arti penting
dan menentukan. Harus juga diakui bahwa pembahasan dan
pemahaman sistem aliansi gramatikal ini cukup rumit dan
memusingkan. Namun, jika pemahaman dan penerapannya
dilakukan secara bertahap, mulai dari yang lebih mudah dan
sederhana, pemahaman teori dan aplikasi praktisnya dapat
dimiliki. Buku ini telah berupaya menyajikan perihal yang lebih
sederhana ke yang lebih sulit, mulai dari bab awal sampai bab
ini. Pemahaman isi bab ini akan menjadi bagian penting untuk
memahami secara baik bab selanjutnya.

190
BAB VI

STRUKTUR INFORMASI
DAN TIPOLOGI BAHASA

S
6.1 Sekilas Tentang Struktur Informasi
udah sama-sama dimaklumi bahwa bahasa adalah sarana-
cerdas paling lentur dan paling berdaya guna yang dimiliki
dan ditumbuhkembangkan oleh manusia sepanjang
sejarah perkembangannya. Di antara fungsi bahasa yang paling
mendasar adalah kemampuannya untuk menggambarkan
“perihal” dunia, termasuk menggambarkan dirinya sendiri (lihat
Duranti, 1997:7). Kelenturan dan keberdayaan bahasa sebagai
alat komunikasi telah dan terus memungkinkan manusia untuk
berkembang secara sosial budaya dan mencapai kesejahteraan
hidup mereka secara berkelanjutan. Boleh dikatakan bahwa
bahasa menjadi wahana utama untuk menjadikan manusia
dapat mewariskan nilai-nilai sosial budaya antargenerasi dan
melakukan berbagai bentuk “perubahan” sosial budaya sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan zaman.
Jika dicermati secara ilmiah, bahasa sebenarnya adalah
sistem tanda yang begitu rumit, terikat kaidah, dan dipakai oleh
masyarakat penuturnya sebagai alat komunikasi. Berkenaan
dengan hal ini, Foley (1997:27) menyatakan bahwa bahasa
adalah sistem tanda beserta kaidah-kaidah penggabungannya.
Dia menambahkan bahwa semua tanda-tanda linguistik,
pelambang-pelambang, indeks, dan/atau simbol-simbolnya,
mempunyai struktur ganda, yaitu struktur bentuk dan struktur
makna. Selain itu, bahasa mempunyai lapisan/struktur lain,
yakni struktur fungsi dan nilai. Dengan demikian, bahasa boleh
dikatakan sebagai wujud psikologi, sosial budaya, dan nilai-
rasa manusia.
Keberhubungan antara dua lapis struktur bahasa, struktur
bentuk dan struktur makna, begitu tertata dan mengikuti
kelaziman, meskipun derajat kepastian hubungan keduanya

191
Ketut Artawa & Jufrizal

bukan bersifat “mutlak”. Yang jelas adalah bahwa struktur


bahasa bukan bersifat semena-mena dan dapat diadakan atau
dihilangkan semau-mau penuturnya. Menurut Foley (1997:29),
aturan-aturan penggabungan unsur-unsur bahasa yang menjadi
kaidah-kaidah tanda tersebut tertata sedemikian rupa untuk
membentuk tata bahasa bahasa yang bersangkutan. Secara lebih
khusus, tata bahasa dirujuk sebagai tata kata dan tata kalimat,
yakni tataran morfosintaksis. Kebanyakan bahasa, terutama
bahasa-bahasa aglutinatif dan polisintetis, menggunakan
morfologi dan sintaksis secara bersamaan, walaupun derajat
kepentingan salah satu atau keduanya dapat beragam dan
berbeda secara lintas bahasa.
Menurut Leavitt (dalam Jourdan dan Tuite, ed., 2006:47
– 48), hampir setiap bahasa menunjukkan adanya perbedaan
pada tiap tataran: bunyi, leksikon, urutan kata, kategori
gramatikal, pola wacana, dan budaya berbahasa. Bahasa sebagai
ciri kecerdasan manusia mewujudkan dirinya dalam bentuk,
dan hanya dalam bentuk sistem khusus yang berbeda antar
bahasa. Lalu bagaimana bahasa dipahami oleh manusia? Ariel
(2008:111) mengemukakan bahwa pemahaman terhadap bahasa,
pada dasarnya, berdasarkan atas dua jenis penafsiran, yaitu
penafsiran kode-kode linguistik dan penafsiran berbagai jenis
interferensi pragmatik. Dengan demikian, bahasa mengemas
hal-hal yang hanya dapat ditafsirkan melalui tataran makna,
fungsi, dan nilai bahasa.
Van Valin Jr. dan LaPolla (2002:199) memberi gambaran
yang cukup menarik tentang kalimat sebagai pembawa makna
lengkap. Menurut mereka, apabila sebuah kalimat diujarkan
atau ditulis, kalimat tersebut melakukan fungsi komunikatif
dalam konteks tertentu. Si pendengar atau mitra wicara harus
“mampu dan berusaha” menafsirkan dengan benar apa yang
dikomunikasikan oleh kalimat itu yang diujarkan penutur.
Apabila hal itu tidak terjadi maka akan terjadi kegagalan
komunikasi. Untuk menghindari kesalahpahaman, penutur
mesti mencipta dan merangkai kalimat secara gramatikal agar
dapat ditafsirkan oleh pendengar sesuai dengan yang dimaksud
oleh penutur. Aspek yang paling penting dalam merangkai
bentuk-bentuk bahasa tersebut adalah penyebaran (distribusi)

192
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

informasi dalam kalimat itu. Distribusi informasi dalam kalimat


itulah yang secara umum disebut struktur informasi (information
structure).
Berdasarkan kajian gramatikal dan semantis, kalimat
merupakan konstruksi dasar pembawa makna utama dalam
bahasa. Kemasan satuan makna gramatikal yang dibawa oleh
kalimat merupakan kemasan ujaran bermakna lengkap yang
ditandai oleh satuan utuh intonasi argumen inti. Menurut
Gundel (1988:13), prinsip dasar tata bahasa sejak zaman Plato
dan Aristoteles adalah bahwa kalimat dibagi menjadi dua bagian
utama,yakni subjek dan predikat. Meskipun secara leksikal kata
juga membawa makna, namun kemasan makna komunikasi
yang dibawa oleh kalimat merupakan makna satuan kebahasaan
yang mendasari pengembangan makna yang lebih luas. Dengan
demikian, struktur informasi secara gramatikal ada pada
konstruksi bahasa yang disebut kalimat. Lambrecht (1996:5)
menjelaskan bahwa struktur informasi adalah komponen tata
bahasa kalimat yang di dalamnya proposisi sebagai perwujudan
konseptual dari keadaan dipasangkan dengan struktur
leksikogramatikal dalam kaitannya dengan keadaan mental
pelibat wicara yang menggunakan dan menafsirkan struktur-
struktur tersebut sebagai unit informasi dalam konsteks wacana
tertentu.
Apabila dikaitkan dengan kalimat, struktur informasi
kalimat adalah ungkapan formal (ungkapan yang berbentuk)
dan penstrukturan pragmatis suatu proposisi dalam
sebuah wacana (Lambrecht, 1996:6). Lebih jauh, Lambrecht
menjelaskan bahwa proposisi yang mempunyai penstrukturan
pragmatis pemengalam akan disebut proposisi terstruktur
secara pragmatis. Kategori struktur informasi yang paling
penting adalah: (i) praanggapan dan penegasan (assertion), yang
berkenaan dengan penstrukturan proposisi ke dalam bagian-
bagian yang dalam bagian tersebut seorang penutur menduga
orang yang diajak bicara telah mengetahui atau tidak mengetahui
lagi; (ii) keteridentifikasian dan penggiatan yang berkenaan
dengan dugaan penutur tentang keadaan perwujudan mental
rujukan wacana dalam pikiran mitra wicara pada saat terjadi
ujaran; dan (iii) topik dan fokus, yang berkenaan dengan nilai

193
Ketut Artawa & Jufrizal

perkiraan dari keterperkiraan atau ketidakperkiraan relatif dari


hubungan antara proposisi dan unsur-unsurnya dalam situasi
wacana tertentu. Dari tiga pengelompokan struktur informasi
ini terlihat bahwa ada keberkaitan antara aspek psikologis,
pragmatis, dan gramatikal bahasa. Aspek gramatikal berkaitan
dengan bentuk dan struktur bahasa yang lazim adanya (lihat
juga Jufrizal, 2012).
Lebih jauh, Lambrecht (1996:6) menyebutkan bahwa
struktur informasi secara formal-struktural diwujudkan dalam
aspek prosodi, pemarkah gramatikal khusus, bentuk-bentuk
unsur sintaksis, posisi dan urutan konstituen dalam kalimat,
bentuk konstruksi gramatikal kompleks, dalam pilihan kata
tertentu di antara butir-butir leksikal yang berhubungan.
Berdasarkan penjelasan ini, struktur informasi ada pada semua
tataran pembawa makna dari sistem gramatikal. Analisis struktur
informasi terpusat pada perbandingan pasangan-pasangan
kalimat yang setara, tetapi secara formal dan pragmatis berbeda,
seperti kalimat aktif – pasif, kalimat kanonis – penopikalan,
kalimat kanonis - terbelah atau pelepasan, kalimat penekanan
subjek – penekanan predikat, dan sebagainya. Pasangan-
pasangan kalimat yang demikian (memakai istilah Dane, 1966)
disebut pasangan kalimat setara (allosentences). Perbedaan
struktur informasi kalimat-kalimat tersebut selalu dipahami
dalam pengertian perbedan antara kalimat-kalimat tersebut,
misalnya terhadap latar belakang keberadaan, tetapi pilihan
gramatikalnya tidak terpakai untuk mengungkapkan proposisi
tertentu.
Menurut van Valin Jr., dan Lapolla (2002:199), kajian
struktur informasi sebenarnya kembali pada kerja ahli bahasa
Mathesius pada tahun 1920-an. Pada masa linguistik modern,
kajian struktur informasi yang terkenal dilakukan oleh Kuno
(1972, 1975), Sgall, Hajicova, dan Panevova (1986), Firbas (1964,
1966, 1992), Halliday (1967, 1985), Prince (1981), Chafe (1976,
1987), Dryer (1996), Lambrecht (1986, 1987, 1994), dan yang
lain. Apa itu informasi? Lambrecht (lihat van Valin, Jr., dan
Lapolla, 2002) mengemukakan bahwa ada perbedaan antara:
(i) keadaan-keadaan pragmatis dasar dari masing-masing
unsur kalimat dalam pikiran pelibat ujaran; dan (ii) hubungan-

194
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

hubungan pragmatis yang terjalin antara rujukan-rujukan dan


proposisi yang di dalamnya mereka memainkan peran predikat
dan argumen. Pertautan relasi-relasi pragmatis itulah yang
membuat informasi itu ada.
Lambrecht, seperti dipaparkan lagi oleh van Valin Jr. dan
Lapolla (2002:200) mencontohkan, apabila seseorang berkata It
was John that left early ‘ John lah yang berangkat dahulu’, rujukan
John mesti telah diketahui oleh pendengar; inilah yang telah ada
pada pikiran pendengar. Proposisi ‘seseorang telah berangkat
dahulu’ juga mesti telah diketahui oleh pendengar. Dengan
demikian, informasi baru yang dibawa oleh ujaran ini yaitu
‘John adalah seseorang yang telah berangkat dahulu’. Relasi-relasi
pragmatis antara informasi tak lengkap (yakni proposisi terbuka)
bahwa ‘seseorang telah berangkat dahulu’ (apa yang disebut
praanggapan) dan rujukan John (apa yang disebut fokus) itulah
yang menjadi pokok penting struktur informasi. Relasi-relasi
pragmatis ini dapat diwujudkan dengan cara yang berbeda
dalam struktur informasi sebuah kalimat.
Apabila sebuah rujukan diperkenalkan pertama kali ke
dalam wacana, rujukan tersebut adalah baru, dan dalam banyak
bahasa ditandai sebagai frasa nominal (FN) tak terbatas. Rujukan
baru tersebut dapat juga dikperkenalkan sebagai “terpaut” ke
beberapa rujukan tak tertentu lainnya, sebagaimana dalam a
guy I know from school. Dalam bahasa ini (Inggris), kasus seperti
ini mengarah ke pemakaian sebagai topik. Kedua jenis rujukan
baru tersebut (FN tak terbatas dan topik) dibedakan juga dengan
istilah rujukan takterpaut ‘sangat baru’ dan rujukan terpaut.
Apabila rujukan dapat diidentifikasikan ke mitra wicara, maka
rujukan tersebut akan berupa salah satu dari tiga keadaan
pengaktifan, yaitu (i) aktif (active), apabila rujukan itu adalah
fokus terakhir kesengajaan; (ii) dapat dicapai (accessible), jika
rujukan tersebut dapat dicapai secara tekstual, situasional,
dan inferensial melalui keadaannya dalam konsteks fisik atau
hubungannya ke sesuatu dalam konsteks fisik atau linguistik,
tetapi belum sebagai fokus terakhir kesengajaan; atau (iii)
tak aktif (inactive), apabila rujukan tersebut dalam memori
jangka panjang pendengar, belum lagi dalam memori jangka-
pendeknya.

195
Ketut Artawa & Jufrizal

Predikatif FN a lawyer pada John is a lawyer, bukan


referensial, sebab bukan merujuk ke satu wujud tetapi lebih
sebagai mencirikan rujukan yang telah diketahui. Rujukan
umum, seperti grapes pada Grapes are good for you, adalah
sesuatu yang bukan khusus karena bukan wujud individu.
Rujukan umum ditetapkan sebagai rujukan tertentu yang
diambil oleh perwujudan rujukan dalam wacana tertentu yang
ditentukan oleh berbagai faktor yang tercakup dalam konteks
keseluruhan, termasuk satus pengaktifan, struktur informasi,
dan faktor khusus bahasa tertentu seperti strategi kesantunan
dan kecenderungan pemakaian elipsis (lihat bagan berikut).

Bagan 3: Keadaan Kognitif Rujukan dalam Wacana


(lihat van Valin Jr. dan Lapolla, 2002:201)

Referensial

dapat diidentifikasi tak dapat diidentifikasi

aktif dapat dicapai takaktif terpaut tak-terpaut

tekstual situasional inferensial

Ilmuwan dan peneliti bahasa tidak memperdebatkan lagi


bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi.
Tataran bentuk dan kaidah-kaidah gramatikal bahasa bukan
berdiri begitu saja tanpa ada hubungannya dengan fungsi
komunikatif bahasa. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikatif
bahasa ada pada setiap tataran bentuk bahasa dengan berbagai
kadarnya. Oleh karena itu, kajian ketata bahasaan memerlukan
juga telaah fungsi-fungsi pragmatis sebagai bagian yang
menjembatani antara bentuk dengan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Telaah seperti ini menjadi bagian penting dari kaum
fungsionalis dan tata bahasa fungsional secara keseluruhan.

196
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Akan tetapi, kajian tipologi gramatikal turut membahas


beberapa bagian dari fungsi-fungsi pragmatis yang ada pada
tataran kalimat, seperti struktur informasi (lihat Jufrizal, 2012;
Artawa, 2004).
Bahasa adalah alat komunikasi. Pernyataan ini sudah
sangat dikenal dalam linguistik dan menjadi salah satu gagasan
utama tentang bahasa. Menurut Payne (2006:1 – 2), istilah alat
berkaitan dengan semua jenis terapan. Setiap alat mempunyai
dua unsur, yaitu fungsi dan bentuk. Fungsi adalah tugas alat
itu sendiri, dan bentuk adalah struktur nyata yang mengerjakan
tugas itu. Bahasa, sebenarnya, juga terdiri atas fungsi dan
bentuk. Fungsi bahasa adalah untuk membantu manusia
berkomunikasi. Sementara itu, bentuk bahasa itu terdiri atas
bunyi, isyarat, atau variasi lahiriah yang digunakan untuk
berbahasa. Kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana, termasuk
percakapan, seruan, pidato, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk
bahasa. Bentuk dan fungsi bahasa bertaut demikian rupa secara
fungsional dan sosial budaya. Itulah yang digunakan oleh
manusia untuk berkomunikasi dan mengungkapkan apa yang
ada dalam pikirannya.

6.2 Struktur Informasi dalam Tipologi Linguistik: Beberapa


Contoh Analisis
Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu, hakikat
(asali) subjek klausa adalah “pertautan” antara agen dan topik.
Agen merupakan peran gramatikal yang didasarkan pada
peran semantis, sedangkan topik adalah istilah yang didasarkan
pada fungsi pragmatis. Subjek (dan kesubjekan) telah dibahas
pada bagian terdahulu, terutama secara gramatikal. Sementara
itu, topik, yang merupakan peran pragmatis, didefinisikan
tidaklah sebaku peran semantis. Pada buku ini, topik (dalam
hal ini adalah topik kalimat) dibatasi berdasarkan batasan
yang dikemukakan oleh Comrie (1989:64). Menurutnya, topik
kalimat adalah tentang apa kalimat itu, atau apa yang menjadi
pembicaraan kalimat itu (lihat juga Artawa, 1998:65). Blake
(1994) memberikan batasan topik sebagai ‘apa yang dibicarakan’
sebagai lawan dari sebutan/komen, yaitu apa yang dikatakan
tentang topik. Lebih jauh dikatakan oleh Blake bahwa topik itu

197
Ketut Artawa & Jufrizal

biasanya ‘informasi latar’ (given information) dan secara khusus


diungkapkan sebagai subjek. Topik dapat juga berada di luar
klausa sebenarnya, ditandai oleh perubahan intonasi.
Andrews (dalam Shopen, ed., 2007:148 – 149) menyebutkan
bahwa fungsi-fungsi pragmatis meliputi banyak hal yang
memerlukan pencermatan karena dia berada pada tatanan
bentuk, khususnya klausa atau kalimat. Topik umumnya
dipahami sebagai entitas (wujud) yang telah terlebih dahulu
diketahui oleh pendengar. Topik adalah fungsi dari kalimat
untuk menyediakan informasi lebih jauh tentang apa yang
diperkenalkan dalam wacana dan akhirnya menjadi topik.
Kalimat yang mempunyai satu atau lebih entitas topik disebut
sebagai artikulasi topik-komen. Fungsi-fungsi pragmatis
bersesuaian dengan fungsi-fungsi gramatikal karena ada banyak
kaidah atau kecenderungan yang berkenaan dengan keduanya.
Subjek, misalnya, sering memperlihatkan kecenderungan kuat
atau bahkan ketentuan pasti untuk berfungsi sebagai topik.
Bagian ini menyajikan pembahasan struktur infromasi
dalam klausa/kalimat yang dikaitkan dengan pola urutan kata/
konstituen dalam klausa dan masalah informasi lama dan
baru. Terkait dengan pola urutan kata secara lintas bahasa,
dikenal adanya dua tipe struktur: struktur yang tak bermarkah
(unmarked structure) dan struktur bermarkah (marked structure).
Perbedaan bentuk, secara linguistis, mengisyatkan adanya
perbedan makna, baik secara semantis maupun pragmatis.
Mari dilihat struktur informasi dalam kaitannya dengan
pola urutan kata (urutan konstituen) dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia digolongkan ke dalam bahasa dengan pola
tataurutan kata SVO (subjek-verba-objek). Argumen A dalam
bahasa Indonesia merupakan subjek gramatikal, sedangkan
O adalah objek gramatikal. Pola urutan konstituen bahasa
Indonesia ini dideskripsikan berdasarkan pola urutan konstituen
yang diusulkan oleh Lehmann (1973), sebagai berikut:
Pola urutan VO:
a. Preposition + noun
b. Noun + genetive
c. Noun + relative clause
d. Sentence-intial question word

198
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

e. Prefixes
f. Auxiliary verb + main verb
g.Comparative adjective + standard
h. Verb + adverb
i. Negative + verb
j. Subordinator + clause

Berikut adalah uraian masing-masing butir di atas secara


ringkas.

a. Preposition + noun
Bahasa Indonesia memiliki sejumlah preposisi, baik
yang menyatakan tempat, tujuan maupun alat. Bila preposisi
ini digabungkan dengan nomina maka terbentuklah frasa
preposisional, seperti di rumah, ke kantor, dengan sapu, dan
sebagainya. Dalam ketiga contoh di atas nomina mengikuti
preposisi. Pada frasa preposisional berturut-turut preposisinya
adalah preposisi lokatif di, preposisisi ke, yang menyatakan
tujuan, dan preposisisi dengan, yang menyatakan alat.

b. Noun + genitive
Struktur frasa nominal yang menyatakan kepemilikan
dalam bahasa Indonesia memiliki pola urutan seperti dalam
contoh berikut.

(232) a. kucing saya


b. adik kamu
c. anak mereka

Contoh (232 a,b,c) menunjukkan bahwa konstruksi posesif,


dengan unsur yang termiliki mendahului yang memiliki.
c. Noun + adjective
Frasa yang dibentuk oleh nomina dan adjektiva adalah
salah satu bentuk frasa nominal. Bahasa Indonesia juga
menunjukkan pola urutan seperti ini.

(233) a. rumah besar


b. wanita cantik
c. anjing galak

199
Ketut Artawa & Jufrizal

Frasa nominal ini mempunyai pola urutan nomina adjektiva.


Adjektiva yang berfungsi sebagai penjelas hadir di sebelah
kanan nomina intinya.

d. Noun + relative clause


Kombinasi nomina dan klausa relatif membentuk frasa
nominal kompleks. Klausa relatif bahasa Indonesia dimarkahi
oleh kata yang. Perhatikanlah contoh berikut.

(234) a. rumah yang dijual itu


b. orang yang suka menolong itu
c. anak yang sedang berlari itu

e. Sentence-intial question word


Ada beberapa kata tanya dalam bahasa Indonesia, seperti
siapa, apa, mengapa, bagaimana yang mendahului kalimat. Dalam
kalimat interogatif kata-kata ini menduduki posisi awal kalimat.
Contoh-contoh berikut menunjukkan posisi kata tanya ini.

(235) a. Siapa yang memenangkan pertandingan itu?


b. Apa yang anda beli?
c. Mengapa anda datang terlambat?

f. Prefixes
Di samping prefiks, bahasa Indonesia juga memiliki
sufiks. Jumlah prefiks lebih banyak dari sufiks. Berikut adalah
contoh kata-kata bahasa Indonesia yang mengandung prefiks.

(236) a. ber-dasi
b. meng-hukum
c. di-hukum
d. per-tinggi

g. Auxilaiary + main verb


Bahasa Indonesia memiliki beberapa partikel yang
bisa dinggap sebagai kata bantu. Partikel-partikel itu, bila
digunakan dalam kalimat, kehadirannya selalu mendahului
verba. Perhatikan contoh berikut.

(237) a. Mereka sudah pergi ke Surabaya.


b. Dia sedang memasak.
c. Mereka bisa mengerjakan tugas itu.

200
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Frasa yang dicetak miring dalam ketiga contoh di atas adalah kombi-
nasi partikel dengan verba leksikal. Kehadiran partikel ini bisa disejajar-
kan dengan auxiliary, misalnya, dalam bahasa Inggris.

h. Comparative adjective + standard


Ajektiva komparatif bahasa Indonesia dibentuk dengan
menggabungkan kata lebih atau paling dengan adjektiva. Di
samping kedua kata ini, adjektiva komparatif yang superlatif
bisa dinyatakan dengan prefiks ter-. Posisinya mendahului
stanar yang dipakai menentukan perbandingan.

(238) a. lebih tinggi dari……


b. paling pandai dari …..
c. ter-mahal dari…..

i. Verb + Adverb.
Jika verba itu intrasitif biasanya adverbia bisa langsung
berada di belakangya, tetapi apabila verbanya transitif, adverbia
biasanya diletakan di belakang objeknya.

(239) a. Dia pergi cepat-cepat


b. Dia menarik tali itu dengan kuat
c. Dia datang setiap hari

j. Negative + verb
Bentuk negatif mendahului verba dalam bahasa Indonesia.
Kalimat berikut berisi bentuk negatif, tidak, yang posisinya
berada di depan verba.

(240) a. Mereka tidak datang hari ini


b. Kami tidak diberitahu hal itu
c. Dia tidak bekerja lagi di sini

k. Subordinator + klausa
Kalimat kompleks berikut memunyai komplemen
klausa subordinatif, yang subordinatornya mendahului klausa.
Subordinatornya adah bahwa, agar, dan untuk.

(241) a. Dia sadar bahwa dia bersalah


b. Kami bekerja keras agar kami bisa hidup layak
c. Dia datang untuk membahas masalah itu.

201
Ketut Artawa & Jufrizal

Ketiga klausa komplemen adalah: bahwa dia bersalah, agar kami bisa
hidup layak, dan untuk membahas masalah itu. Jika diperhatikan,
masing-masing subordinator hadir mendahului klausanya.
Selanjutnya, mari dicermati struktur informasi yang
berkenaan dengan struktur tak-bermarkah dan struktur
bermarkah dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Secara
umum struktur tak bermarkah bisa didefinisikan sebagai
struktur dasar, yakni struktur yang belum mengalami derivasi
atau revaluasi. Sementara itu struktur bermarkah adalah struktur
yang sudah mengalami revaluasi struktur. Penataan informasi
dalam kalimat terkait erat dengan sistem kebermarkahan yang
dimiliki oleh bahasa tertentu.
Bahasa Inggris, menurut Huddleston dan Pullum
(2008:263-261), memiliki sejumlah struktur yang digolongkan
menjadi struktur kalimat yang bermarkah. Struktur bermarkah
ini meliputi:

a. passive voice ‘diatesis pasif’
b. extraposition ‘ekstraposisi’
c. existential construction ‘konstruksi eksistensial’
d. it-clefting construction ‘konstruksi pembelahan’
e. dislocation ‘dislokasi’
f. preposing and postposing ‘penempatan depan dan penempatan
belakang’
g. reduction ‘reduksi’

Berikut adalah uraian ringkas masing-masing konstruksi


tersebut. Struktur bermarkah bahasa Inggris ini dibandingkan
secara ringkas dengan bahasa Indonesia untuk melihat
perbedaan dan persamaannya secara tipologis.

a. Passive voice (Diatesis Pasif)


Kalimat pasif dalam bahasa Inggris lebih bermarkah
dari kalimat aktif berdasarkan kriteria morfosintaktis. Bahasa
inggris, sebagai bahasa bertipologi akusatif memiliki pemetaan
utama yang mengizinkan agen pada klausa transitif yang
melakukan aktivitas secara sengaja akan dipetakan menjadi
subjek, sendangkan yang tidak melakukan dan tidak mengontrol
aktivitas, namun dipengaruhi akan dipetakan menjadi objek.
Secara tipologis, kesubjekan S dan A adalah pilihan yang tak

202
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

bermarkah dalam bahssa Inggris. Berikut adalah contoh kalimat


aktif dan pasif bahasa Inggris

(242) a. The police arrested his son (aktif/tak bermarkah)


b. His son was arrested by the police (pasif/bermarkah)

Dari sudut penataan informasi (information packaging), menurut


Hudlleston dan Pullum (2008:242), adanya pengaruh status
frasa nominal yang terlibat, yang dipertentangkan menjadi
informasi lama dan informasi baru. Mereka berpendapat bahwa
ada kecenderungan dalam bahasa Inggris bahwa informasi
lama akan direalisasikan oleh subjek kalimat. Ini adalah
kecenderungan, bukan berarti bahwa semua subjek membawa
informasi lama, seperti dalam kalimat aktif subjek bisa juga
membawa informasi baru. Yang unik dalam bahasa Inggris
adalah adanya pemarkah kedefinitan yang terlibat, misalnya
penafsiran penggunaan artikel a/an dan the, yang bisa memarkahi
status sebuah frasa nomina. Kalimat berikut dianggap berterima
dalam bahsa Inggris, namun mereka menyatakan kalimat pasif
adalah kalimat yang lebih disukai.

(243) a. A dog attacked me in the park (aktif)


b. I was attacked by a dog in the park (pasif)
(dikutip dari Huddleston dan Pullum, 2008: 238)

Kalimat (243a) adalah kalimat aktif, dan subjeknya membawa


informasi baru, kalimat (243b) adalah kalimat pasif, dan
subjeknya membawa informasi lama. Penggunaan I /me dan
you dalam interaksi merupakan hal yang definit dalam wacana
sehingga penggunaan I dan you secara deiktis selalu membawa
informasi lama.

b. Extraposition (Ekstraposisi)
Berikut adalah pasangan kalimat dasar dan kalimat
yang sudah mengalami ekstraposisi dalam bahasa Inggris.

(244) a. That he was aquiited disturbs her (tak bermarkah)


b. It disturbs her that he was acquitted. (bermarkah)
(Huddleston dan Pullum, 2008:247)

203
Ketut Artawa & Jufrizal

Kalimat (244b) adalah klausa subordinat dan disebut sebagai


yang sudah mengalami ekstraposisi subjek, tetapi ini sebenarnya
bukanlah sejenis subjek, tetapi hanya merupakan elemen yang
diekstraposisikan keluar dari frasa verba yang berkorepondensi
dengan subjek kalimat (244a). Kalimat (244b) muncul dengan
apa yang disebut dengan dummy subject (‘subjek dungu’ atau
subjek kosong’) dalam bahasa Inggis. Dari sudut penataan
informasi klaimat (244b) lebih mudah dipahami sehingga
ada kecenderungan secara lintas bahasa bahwa tipologi VO
cenderung meletakan informasi yang “berat” ke sebelah kanan.

c. Existential construction (Konstruksi eksistensial)


Bahasa Inggris, secara gramatikal, memiliki kalimat yang
digolongkan sebagai konstruksi eksistensial. Dalam proses
sintaktis, konstruksi ini selalu melibatkan unsur there sebagai
‘subjek kosong’. Bandingkan contoh berikut.

(245) a. Some keys were near the safe (tak bermarkah)


b. There were some keys near the safe (bermarkah)

Subjek kalimat (245a) harus ditafsirkan, berdasarkan fungsi


pragmatis-komunikatif, bahwa yang menggunakan kalimat ini,
yaitu pelibat tahu tentang hal yang terkait dengan (informasi)
kunci atau diasumsikan tahu tentang (informasi) kunci yang
dibicarakan tersebut. Oleh karena itu, subjek ini membawa
informasi lama. Sementara itu, kalimat (245b) digunakan untuk
menyatakan bahwa (informasi) kunci yang disebutkan oleh
pembicara adalah hal yang belum diketahui oleh mitra wicara.
Oleh karena itu, dalam struktur eksistensial frasa nominalnya
selalu membawa informasi baru. Dengan demikian, kalimat
(246b) berikut tidak gramatikal (secara pragmatis-komunikatif)
dalam bahasa Inggris.

(246) a. Your mother is here.


b. * There is your mother here.
(Huddleston dan Pullum, 2008: 251)

d. It-clefting construction (konstruksi pembelahan)


Struktur pembelahan ‘clefting’ digunakan untuk mena-
mai sejumlah struktur bermarkah yang sangat tergantung pada
204
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

‘penekanan informasi’ terhadap salah satu konstituen yang ada


dalam kalimat. Hal ini menyatakan semacam fokus yang kon-
trastif. Berikut adalah contoh-contohnya.

(247) a. She introduced Jim to Pat (tak bermarkah)


b. It was Sue who introduced Jim to Pat.
c. It was Jim who Sue introdued to Pat.
d. It was Pat who introduced Jim to.
(lihat lebih jauh Huddleston dan Pullum, 2008:251)

Informasi yang mendapat penekanan informasi pragmatis-


komunikatif pada contoh di atas adalah informasi awal yang
digarisbawahi pada (247 b,c,d).

e. Disclocation (Dislokasi)
Ciri khusus dari konstruksi dislokasi adalah adanya satu
frasa nomina yang diletakkan pada posisi awal kalimat, dan frasa
ini diacu dengan pronomina dalam klausa yang mengikutinya.
Lihat contoh berikut!

(248) a. One of my cousins has triplets (bukan-dislokasi)


b. One of my cousins, she has triplets (dislokasi)
(lihat Huddleston dan Pullum, 2008: 255)

f. Preposing dan postposing (Penempatan depan dan


penempatan belakang)
Struktur yang mengalami proses penempatan depan
dan penempatan belakang tidak melibatkan penambahan
elemen, tetapi pola urutan elemennya mengalami perubahan;
bisa diletakkan pada posisi awal kalimat (preposing) atau pada
akhir kalimat (postposing). Berikut adalah contoh dalam bahasa
Inggris mengenai proses gramatikal ini yang berkenaan dengan
struktur informasi.

(249). a. They made costume jewellery (tak bermarkah)


b. Costume jewellery, they made (bermarkah)

(250). a. They brought an extraordinarily lavish lunch with them (tak


bermarkah)
b. They brought with them an extraordinarily lavish lunch
(postposing)
(Huddleston dan Pullum, 2008:257-257)

205
Ketut Artawa & Jufrizal

Selanjutnya, mari cermati sifat-perilaku gramatikal


klausa bahasa Indoneaia yang juga memiliki beberapa struktur
kalimat yang bisa diperlakukan sebagai pola urutan dasar atau
urutan yang tak bermarkah dan yang bermarkah. Uraian dan
penjelasan perbandingan ini sengaja disajikan terpisah untuk
dapat memahaminya dalam satu bahasa terlebih dahulu, lalu
memperbandingkannya secara lintas bahasa. Lebih jauh, sajian
seperti ini dimaksudkan untuk membantu pembelajar dan
peneliti pemula agar dapat mencermati hal serupa dalam satu
bahasa sebelum melakukan perbandingan lintas bahasa. Bagi
pembelajar dan peneliti tingkat lanjut, sajian ini boleh dijadikan
bahan pembelajaran di kelas atau di pelatihan tentang penelitian
tipologi linguistik yang berkenaan dengan struktur informasi.

a. Kalimat pasif
Bahasa Indonesia juga memiliki beberapa tipe kalimat
pasif, yang jika dilihat dari struktur informasi, juga menunjukkan
penataan struktur informasi yang berbeda dari kalimat aktif.

(251) a. Anak itu mem-beli sepatu (aktif)


b. Sepatu di-beli oleh anak itu (pasif)

Kalau kalimat pasif dalam bahasa Inggris lebih bermarkah


secara morfosintaktis, bahasa Indonesia, secara gramatikal, juga
menunjukkan sistem pemarkahan. Kalimat aktif dimarkahi oleh
prefiks meng- pada verbanya dan kalimat pasif dimarkahi oleh
prefiks di-. Bila pasif pronomina dibandingkan dengan kalimat
aktifnya, maka kalimat aktifnya secra morfologis lebih bermarkah
dari kalimat pasifnya. Frasa nominal posisi awal dalam kalimat
aktif dan pasif adalah subjek kalimat. Hal yang relevan terkait
dengan struktur baru atau lama yang dikandung oleh subjek ini
akan dibahas dalam poin topik dan fokus.

b. Kalimat eksistensial
Kalimat eksistensial dalam bahasa Indonesia ditandai oleh
penggunaan verba ada. Perhatikan contoh kalimat berikut.

(252) a. Buku ada di atas meja.


b. Ada buku di atas meja.

206
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(253) a. Anak kecil memetik bunga.


b. Ada anak kecil memetik bunga.

c. Kalimat “topik-komen”
Sneddon (1996: 278-284) mencatat bahwa bahasa
Indonesia memiliki struktur kalimat yang disebutnya sebagai
struktur topik-komen, yaitu struktur yang sudah mengalami
derivasi. Contoh-contoh berikut yang dikutip dari Sneddon
(1996) memperlihatkan struktur demikian.

(254) a. Nama sopir itu Pak Ali.


b. Sopir itu namanya Pak Ali (topik-komen)

(255) a. Adik mereka dipanggil polisi.


b. Mereka adiknya dipanggil polisi (topik-komen)

(256) a. Mereka belum menerima surat itu.


b. Surat itu meraka belum menerimanya (topik-komen)

(257) a. Orang itu mencuri dompet saya.


b. Orang itu yang mencuri dompet saya (topik-komen)

Penataan informasi dalam kalimat derivatif topik-komen sudah


jelas, yakni posisi konstituen pada posisi awal adalah topik.
Namun, dalam struktur kalimat dasar masih perlu dibuktikan
apakah konstituen yang merupakan argumen ini adalah topik
seperti dalam struktur topik-komen atau tidak. Penjelasan untuk
ini memerlukan telaah lebih jauh secara tipologis, semantis, dan
juga pragmatis.
Telaah struktur informasi pada bagian ini merupakan
telaah pengantar yang lebih dikaitkan dengan struktur klausa
dan pemarkahan. Uraian perbandingan dan penjelasan ringkas
di atas menunjukkan bahwa bahasa-bahasa manusia mempunyai
beragam kiat gramatikal dan pemarkahan morfologis dalam
mengemas dan menata struktur informasi. Oleh karena itu,
penelitian tipologi linguistik sehubungan dengan fungsi-fungsi
pragmatis membuka peluang untuk mengaitkan bentuk-bentuk
bahasa secara gramatikal dengan makna, fungsi, dan nilai
bahasa yang berkenaan dengan tataran semantik, pragmatik,
dan budaya berbahasa. Boleh dinyatakan bahwa bentuk bahasa
bukanlah ada begitu saja secara manasuka, melainkan semuanya

207
Ketut Artawa & Jufrizal

mempunyai keberhubungan dengan makna dan fungsi bahasa


secara pragmatis dan budaya berbahasa (lihat Artawa, 2005  ;
Jufrizal, 2012  ; dan Jufrizal dkk., 2013/2014). Uraian dan
penjelasan lebih jauh tentang fungsi pragmatis dalam tataran
kalimat yang berkaitan dengan struktur informasi dapat
dicermati pada bagian berikut.

6.3 Pendekatan terhadap Struktur Topik - Komen


Pengertian topik tampaknya merupakan masalah yang
jauh dari memadai dalam isu linguistik, termasuk dalam kajian
tipologi linguistik. Definisi topik yang umumnya dianut dalam
buku ini, terutama didasarkan pada “kemengenaian” atau
“ketentangan” (aboutness), yaitu bahwa topik kalimat adalah
mengenai (tentang) apa kalimat tersebut. Blake (1994:206),
misalnya, mendefinisikan “topik” sebagai apa yang dibicarakan
dan dipertentangkan dengan pengertian “komen”, yaitu
sebagai apa dikatakan mengenai topik. Selanjutnya, Blake
mencatat bahwa topik umumnya merupakan “informasi lama”
dan khususnya menyatakan subjek. Ciri topik lainnya adalah
dia berada di luar klausa, sebagai unsur yang terpisah secara
intonasional dengan bagian klausa. Pada bagian ini, ditelaah
secara sekilas literatur yang berkaitan dengan studi struktur
topik-komen secara lintas bahasa. Studi semacam itu secara jelas
tercermin dalam karya Li dan Thompson (1976) dan Gundel
(1988).
Li dan Thompson (1976) memperkenalkan tipologi
bahasa berdasarkan “kadar penampil” atau “kadar penonjol”
yang diperlihatkan oleh relasi subjek atau topik dalam suatu
gramatika. Sebuah bahasa dikatakan sebagai “penampil subjek”
atau “berpenonjol subjek” apabila kalimat dasarnya diperikan
secara memuaskan sebagai struktur yang memiliki struktur
“subjek dan predikat”. Sementara itu, sebuah bahasa dikatakan
sebagai bahasa “penampil topik” apabila struktur topik-
komen berfungsi sebagai struktur kalimat dasar (hal ini tidak
mengingkari bahwa bahasa penampil subjek juga memiliki topik,
dan bahasa penampil topik juga memiliki subjek). Berdasarkan
hal ini, Li dan Thompson (1976) mengusulkan empat klompok
bahasa secara lintas bahasa:

208
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(a) penampil subjek (misalnya bahasa Inggris, Jerman);


(b) penampil topik (misalnya bahasa Cina, Lahu);
(c) penampil subjek sekaligus penampil topik (misalnya bahasa
Jepang, Korea); dan
(d) bukan penampil subjek dan topik (misalnya bahasa Tagalog,
Illokano).

Pandangan tipologis mereka dalam kaitannya dengan klasifikasi


tersebut adalah bahwa beberapa bahasa dapat secara mendalam
diperikan dengan mengambil konsep topik sebagai dasar.
Akan tetapi, yang lain dapat diperikan secara saksama dengan
mengambil pengertian subjek menjadi dasar (1976:460).
Perlu ditegaskan di sini bahwa topik dan subjek merupakan
relasi yang terkait. Subjek pada prinsipnya merupakan topik
yang digramatikalisasi yang diintegrasikan ke dalam kerangka
kasus verba (bdk Givon, 1976,1979). Inilah sebabnya mengapa
banyak ciri topik dalam sejumlah bahasa dimiliki pula oleh
subjek; misalnya, beberapa dari bahasa penampil subjek
tidak mengizinkan subjek yang tak takrif (indefinite) (LI dan
Thompson, 1976:484).
Li dan Thompson (1976) mendaftar ciri-ciri bahasa
penampil topik. Topik dalam bahasa penampil topik mengodekan
topik pada struktur permukaan yang pada umumnya ditandai
oleh ciri berupa kemampuan mengendalikan koreferensialitas,
kelangkaan kaidah penciptaan subjek, dan fungsi konstruksi
subjek-ganda yang berorientasikan topik sebagai struktur
kalimat dasar. Tampaknya, yang disebut sebagai konstruksi
bersubjek ganda memiliki status istimewa dalam bahasa
penampil topik. Tata tertib konstruksi tersebut mensyaratkan
bahwa dalam satu kalimat terdapat dua FN yang berdekatan
yang ditempatkan di sebelah kiri predikat. Satu di antara FN
tersebut memegang fungsi topik, yang lainnya sebagai subjek
sehingga menampakkan diri seperti konstruksi bersubjek ganda
(double “subject” construction). Perhatikan contoh berikut yang
diadaptasi dari Li dan Thompson (1976:468).

(258) a. Neiki shu yezi da [Chinese]


that pohon daun besar
`Pohon(topik), daun-daunnya besar`

209
Ketut Artawa & Jufrizal


b. Sakana wa tai ga oisii [Japannese]
ikan top buncis merah Subj enak
`Ikan (topik), buncis merah enak`

Pada contoh di atas, baik topik maupun subjek, muncul


pada struktur permukaan. Li dan Thompson menyatakan
bahwa FN (neike shu) pada (258a) adalah topik, sedangkan FN
(yezi) berfungsi sebagai subjek kalimat. Topik dapat dipisahkan
dari kalimat dengan jeda. Pada (258b) topik dimarkahi dengan
partikel wa dan subjek dengan ga. Topik pada contoh tersebut
berada pada posisi awal kalimat. Dalam hal ini, konstruksi topik-
komen pada bahasa penampil topik merupakan konstruksi
tak bermarkah, sementara dalam bahasa penampil subjek
merupakan konstruksi bermarkah.
Gundel (1988) berpendapat bahwa ketidaksetujuan
terhadap pengertian topik berpusat pada ciri pragmatis dan
sintaktis. Secara pragmatis, pengertian topik berkorelasi
dengan ciri seperti “pengetahuan berbagi” dan “informasi
yang diketahui”. Sebagai akibat korelasi tersebut, maka
pengertian topik disamakan dengan istilah seperti informasi
“lama” (old atau given). Ciri sintaktis meliputi apakah topik
selalu menempati posisi awal kalimat ataukah muncul bersama
markah (morfologis) atau tidak.
Pembedaan antara informasi lama-baru (given-new)
tersebut telah digunakan paling tidak dengan dua cara yang
berbeda dalam kaitannya dengan topik, yaitu (a) dalam makna
relasional, dan (b) dalam dua makna (sense) referensial. Dalam
makna relasional, topik diperlakukan sebagai informasi lama
(given) dalam kaitannya dengan komen (comment), sedangkan
komen diperlakukan sebagai informasi baru dalam kaitannya
dengan topik. Pada makna referensial yang pertama, ditegaskan
bahwa acuan suatu ekspresi diperlakukan sebagai informasi
lama apabila mitra wicara memiliki pengetahuan atau mengenal
apa yang diacu. Makna referensial kedua memerikan suatu
maujud (entity) yang tidak dikenal, baik oleh pembicara maupun
mitra wicara, tetapi keduanya berusaha memikirkannya pada
saat tuturan berlangsung, misalnya sesuatu yang merupakan
perhatian pembicara-mitra wicara telah difokuskan. Ke-lama-

210
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

an (givennese) informasi tersebut dapat dibandingkan dengan


istilah `given` yang dikemukakan oleh Chafe (1976). Menurut
Chafe (1976:28), informasi lama merupakan `pengetahuan
yang diasumsikan oleh pembicara bahwa hal itu berada dalam
kesadaran mitra wicara pada saat tuturan.
Mengingat bahwa fungsi utama topik adalah untuk
mengaitkan kalimat dengan konteks wacana tempat dia
berada, maka prasyarat pengetahuan yang berbagi merupakan
hal penting untuk mencapai ketopikan (topichood) yang tepat.
Hal ini dinyatakan sebagai syarat kenal-topik oleh Gundel
(1988:212). Syarat kenal-topik: sebuah maujud, M, dapat
berfungsi dengan baik sebagai topik, T, jika dan hanya jika, baik
pembicara, maupun mitra wicara memiliki pengetahuan atau
kenal sebelumnya dengan M tersebut.
Di samping itu, dikemukakan pula bahwa topik berkorelasi
dengan pernyataan (expression) yang takrif. Sejumlah peneliti
(misalnya Gundel, 1985, Li dan Thompson, 1976; Schachter,
1976) telah mencatat bahwa dalam berbagai bahasa, pernyataan
mengacu pada topik bersifat takrif. Oleh karena itu, maka
menurut Gundel (1988:214) adalah layak untuk mengasumsikan
bahwa mitra wicara tidak akan dapat secara memadai untuk
mengikuti dan menyimpan informasi yang terkait dengan
topik jika dia tidak mampu mengidentifikasikannya secara
khas. Gundel (1988:214) menyatakan bahwa korelasi yang
diasumsikan ada antara topik dan kateridentifikasian sebagai
syarat keteridentifikasian topik. Syarat keteridentifikasian topik:
suatu pernyataan, P, dapat mengacu secara tepat terhadap
topik, T jika dan hanya jika P merupakan suatu bentuk yang
memungkinkan mitra wicara mengidentikasikannya (T) secara
unik.
Gundel (1988) menunjukkan bahwa ketakrifan suatu
pernyataan yang mengacu pada topik secara alamiah (dengan
sendirinya) mengiringi syarat keteridentifikasian-topik karena
apa yang membedakan FN takrif dengan yang tidak adalah
adanya keteridentifikasian yang terasumsikan mengenai acuan.
Selanjutnya, karena adanya pengenalan yang terasumsikan,
yaitu ke-lama-an referensial, merupakan dasar yang umum
untuk mencapai keteridentifikasian, maka FN yang acuannya

211
Ketut Artawa & Jufrizal

telah diketahui akan dimarkahi sebagai takrif. Gundel meyakini


adanya motivasi yang baik untuk dua syarat ciri pragmatis
topik dalam bahasa alamiah untuk dipertahankan - syarat
kenal- topik, yang menetapkan adanya korelasi antara topik
dan keteridentifikasian.
Sekarang mari dilihat permasalahan ciri struktural
struktur topik dan komen. Gundel menekankan pentingnya
suatu perangkat umum untuk dapat mengodekan relasi topik-
komen yang meliputi: markah morfologis, struktur kalimat, dan
intonasi. Berkaitan dengan markah morfologis, Gundel (1988)
mencatat bahwa beberapa bahasa memilliki markah topik
(seperti bahasa Korea, bahasa Jepang) dan sedikit yang memiliki
markah fokus (Quechua, Marathi). Markah topik selalu bersifat
posposisional dan umumnya mengikuti konstituen awal kalimat
(lihat contoh bahasa Jepang (258b)). Markah tersebut berada
pada batas antara topik dan komen. Bahasa yang memiliki
markah topik semuanya memiliki ciri struktural lainnya, yang
dinyatakan oleh Li dan Thompson sebagai ciri utama bahasa
penampil topik. Ciri tersebut adalah: tidak memiliki subjek
maya (dummy subject), konstruksi pasif dalam bahasa tersebut
bersifat marginal, anafora zero tidak dibatasi secara sintaktis,
dan struktur kalimat dasar ditentukan oleh relasi topik-komen
alih-alih relasi gramatikal seperti subjek dan objek.
Berdasarkan pernyataan pada sampel 30 bahasa, Gundel
(1988) menyatakan bahwa pada masing-masing bahasa yang
dikajinya terdapat konstruksi topik-komen dan komen - topik
. Di samping itu, dia juga menunjukkan bahwa konstruksi
yang mengalami pelepasan (konstituen) ke kiri atau ke kanan
tampaknya merupakan hal universal, paling tidak hal itu muncul
pada semua bahasa yang menjadi sampelnya. Konstruksi
penciptaan subjek (seperti konstruksi pasif dan penaikan subjek)
bersifat umum terdapat pada bahasa yang dalam tipologi Li
dan Thompson disebut sebagai bahasa penampil subjek, tetapi
sangat sedikit pada bahasa penampil topik. Bahasa Inggris dapat
dikategorikan sebagai bahasa penampil subjek karena: (i) pada
bahasa tersebut struktur topik-komen tidak menentukan struktur
sintaktis, dan (ii) pada bahasa tersebut terdapat kecenderungan
bagi pernyataan (ekspresi) yang mengacu pada topik untuk

212
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

muncul pada posisi awal kalimat ditegaskan semata-mata oleh


kedekatan hubungan antara topik dan subjek.
Secara tipologis, konstruksi topik sintaktis yang meliputi
konstruksi “subjek ganda” merupakan tipe kalimat dasar dalam
ragam baku bahasa penampil topik, seperti bahasa Korea,
Lisu, Mandarin, dan Jepang. Akan tetapi, konstruksi tersebut
hanya muncul sebagai pilihatan bermarkah pada bahasa
penampil subjek, seperti bahasa Inggris dan bahasa Prancis
(Gundel, 1988:228). Bahasa-bahasa lain mempunyai sifat-
perilaku gramatikal yang berbeda (atau mungkin sama) dengan
kelompok bahasa tertentu. Oleh karena itu, kajian tipologi
linguistik yang berkenaan dengan struktur topik-komen juga
menuju ke pengelompokan bahasa-bahasa berdasar ciri khas
tata kata dan tata kalimat lahiriah yang dimilikinya.
Studi yang dilakukan oleh Gundel merupakan dukungan
yang kuat terhadap model tipologi yang diajukan oleh Li dan
Thompson. Berdasarkan tipologi Li dan Thompson, bahasa
Indonesia diklasifikasikan sebagai bahasa penampil subjek.
Akan tetapi, bahasa Tagalog, yang merupakan salah satu bahasa
yang termasuk dalam kerabat bahasa-bahasa Austronesia,
diklasifikasikan sebagai bukan bahasa penampil subjek dan
bukan pula penampil topik (lihat juga Artawa, 2004; Jufrizal,
2012).

6.4 Pelepasan ke Kiri dan Penopikan


Secara tradisional, subjek kalimat dideskripsikan sebagai
konstituen yang menspesifikkan “apa itu suatu kalimat”.
Apabila pandangan seperti ini diterima maka dapat dikatakan
bahwa kalimat pasif semestinya secara umum dipahami
sebagai pembicaraan yang menekankan pasien alih-alih agen.
Hal ini disebabkan oleh pemasifan yang merupakan proses
sintaktis yang berfungsi mengubah pasien menjadi subjek dan
memfungsikan agen sebagai ajung (adjunct). Pada bahasa-bahasa
seperti bahasa Inggris, subjek umumnya merupakan argumen
yang menempati posisi awal. Akan tetapi, ditemukan dalam
bahasa ini konstruksi yang argumen awalnya bukan merupakan
subjek kalimat. Konstruksi yang dimaksudkan adalah konstruksi
pelepasan ke kiri (left-dislocation) dan penopikan (topicalization).

213
Ketut Artawa & Jufrizal

(259) a. Mary, she came yesterday.


b. Mary I know.

Kalimat (259a) merupakan kalimat yang mengalami


pelepasan ke kiri, sedangkan kalimat (259b) adalah contoh
penopikan. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa pada
kalimat pelepasan – ke kiri, bukan pada penopikan, terdapat
pronomina (she pada 259a) pada klausa sesungguhnya (clause
proper) yang mengacu pada FN (misalnya Mary pada 259a) yang
berada pada awal kalimat. She pada (259a) bersifat anaforis,
mengacu pada Mary. Setelah melihat fenomena pelepasan ke
kiri bahasa Inggris, mari ditinjau permasalahan sifat-perilaku
yang sama dalam bahasa Indonesia. Lihat lebih dahulu contoh
berikut!

(260) a. Andi, dia ada di dapur.


b. Anak itu, dia sudah saya berikan hadiah.

Contoh tersebut menunjukkan bahwa FN yang terlepas ke


kiri (left dislocated NP) bersifat definit dan diikuti oleh kalimat
lengkap, yaitu subjek kalimat tersebut mengacu pada frasa
nominal yang terlepas ke kiri dengan menggunakan bentuk
pronomina.

(261) a. Rumah itu, pintunya kokoh.


b. Pintunya kokoh rumah itu.

Tanda koma pada (30a) digunakan untuk menunjukkan


bahwa jeda bersifat wajib, ketidakhadiran jeda mengakibatkan
kalimat tak berterima. Jeda tersebut dapat digantikan dengan
menggunakan intonasi naik (raising intonation). Contoh tersebut
menunjukkan bahwa frasa pintunya (30b) dimiliki secara
takterasingkan (inalienably possessed) oleh acuan frasa rumah itu.
Karena frasa nominal tersebut dapat mendahului atau mengikuti
klausa, maka frasa rumah itu dapat dinyatakan sebagai
konstituen terlepas ke kiri. Dalam bahasa Indonesia, kepemilikan
tak terasingkan dan yang terasingkan (alienablity) dimarkahi
dengan cara yang sama. Contoh berikut mengilustrasikan frasa
nominal termilik (possessed NP) yang termiliki secara terasingkan
oleh acuan dari FN pemilik.
214
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(262) a. Murid-murid itu, guru-nya (mereka) sangat ramah.


b. Gurunya ramah, murid-murid itu.

Contoh konstruksi pemilik-termilik yang mengalami pelepasan


ke kiri seperti telah disajikan di atas merupakan konstruksi
nonverbal yang predikatnya adalah adjektiva. Berikut adalah
contoh yang menggunakan predikat verbal.

(263) Sari, anaknya menangis.


(264) Orang itu, temannya di-tangkap polisi.
(265) Anak itu, bapaknya sedang mendirikan rumah besar.

Kalimat (263) merupakan kalimat intransitif, pada kalimat (264)


digunakan konstruksi transitif pasif dan pada kalimat (265)
konstruksi aktif.
Penopikalan (topicalization) sering kali dipahami sebagai
proses sintaktis-pragmatis yang mengubah konstituen nontopik
menjadi topik. Hal ini ditunjukkan oleh contoh (266b). Konstituen
yang ditopikkan merupakan argumen inti, bukan relasi oblik,
yaitu frasa yang menyatakan lokatif dan instrumental. Apabila
frasa tersebut ditempatkan pada awal kalimat, frasa tersebut
tidak dianggap sebagai topik menurut istilah yang digunakan
dalam buku ini, melainkan diacu sebagai proses pemajuan/
pengedepanan (fronting). Berikut adalah contoh-contohnya.

(266) a. Fred sliced the chicken with a very sharp knife.


b. With a very sharp knife Fred sliced the chicken.

(267) a. John bought some fruit in the market.


b. In the market John bought some fruit.

Oblik pada kalimat (266a) dan (267a) merupakan relasi instrumen


(with a knife) dan lokatif (in the market). Pada kalimat (266b),
oblik tersebut dikedepankan (fronted) sehingga muncul pada
posisi awal kalimat. Pada kalimat (266b) yang dikedepankan
adalah oblik instrumental, sedangkan pada (267b) adalah oblik
lokatif.
Argumen inti (core argument) dalam bahasa Indonesia
tidak mendapatkan markah, sedangkan oblik dimarkahi dengan
preposisi. Contoh:

215
Ketut Artawa & Jufrizal

(268) a. Anjing itu kamu pukul dengan tongkat.`


b. Dengan tongkat ajing itu kamu pukul.

(269) a. Dia saya temukan di pasar.


b. Di pasar dia saya temukan.

(270) a. Saya membawa buku itu.


b. Buku itu, saya membawanya kemari.

Konstituen instrumental (dengan tongkat) pada contoh


(268a) dan lokatif (di pasar) pada (269a) dikedepankan
(fronted) seperti terliahat pada (268b) dan (269b). Peristiwa
tersebut merupakan proses pengedepanan. Hal itu berbeda
dengan preoses yang terjadi pada contoh (270). Argumen yang
mengalami pengedepanan bukan merupakan oblik, melainkan
argumen inti. Proses yang terjadi pada (270b) tersebutlah yang
dimaksudkan sebagai penopikan, yang dalam hal ini merupakan
penopikan komplemen pasien. Dengan demikian, dalam bahasa
Indonesia, struktur yang melibatkan proses pelepasan ke kiri
dan pengedepanan konstituen merupakan struktur bermarkah.

6.5 Istilah Fokus


Di samping istilah topik, terdapat juga istilah pragmatik
lainnya yang juga menjadi perhatian ilmuwan tipologi linguistik,
yaitu fokus. Fokus digunakan untuk mengacu ke bagian yang
mendasar (esensial) dari informasi baru yang dibawa oleh sebuah
kalimat (Comrie, 1981b). Blake (1993) juga menggunakan istilah
fokus untuk mengacu ke bagian yang paling penting dari komen,
yaitu bagian esensial yang menolak elipsis. Pengilustrasian
fokus dan topik dapat dilakukan dengan menggunakan urutan
pertanyaan-jawaban. Contoh kalimat bahasa Inggris berikut
dipergunakan untuk menunjukkan konsep fokus.

(271) John phoned Mary.


FOKUS

Apabila kalimat (271) digunakan sebagai jawaban


pertanyaan Who phoned Mary? `Siapakah yang menelepon
Maria?` maka subjek John merupakan maujud (entity) yang
dijadikan fokus. Akan tetapi apabila dijadikan sebagai jawaban,

216
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Who did John phone? `Siapa yang John telepon?` maka yang
menjadi fokus adalah objek Mary. Informasi fokus umumnya
dapat diidentifikasi sebagai unsur yang menonjol dalam
kalimat. misalnya unsur yang ditandai oleh titi nada meninggi
(high pitch), pengujaran yang lebih besar, atau tekanan yang
lebih diberatkan daripada unsur lain. Sebaliknya dengan topik,
sebagai informasi yang bersifat lama (given information), topik
suatu kalimat tidak memiliki keutamaan dalam hal intonasi,
dan umumnya secara intonasional bersifat datar (lihat Chafe
1976).
Fokus adalah konsep pokok lainnya di dalam kajian
struktur informasi. Lambercht (1994) menyatakan bahwa fokus
adalah bagian dari sebuah kalimat yang fungsi dan makna
pragmatisnya berbeda dengan topik. Menurut Lambercht
(1994) fokus dari sebuah kalimat biasanya dilihat sebagai bagian
dari suatu informasi yang bukan hanya dikemukakan (seperti
halnya sebuah topik), melainkan juga ditambahkan pada suatu
praanggapan (presupposition) (Lambrecht, 1994:206). Terkait
dengan hubungan fokus dan praanggapan, Jackendoff (1972:
230) mendefinisikan fokus sebagai pelengkap dari sebuah
praanggapan di dalam sebuah kalimat. Menurut Jackendoff
(1972: 240), unsur prosodi (tekanan) dari sebuah fokus menandai
bahwa bagian kalimat tersebut mengandung suatu informasi
yang baru yang berbeda dengan bagian yang dinyatakan oleh
praanggapan.
Tidak berbeda jauh dari definisi yang diajukan oleh
Jackendoff (1972) di atas adalah definisi yang ditawarkan oleh
Selkirk (1984). Menurut Selkirk (1984: 206t) fokus adalah sebuah
bagian kalimat yang memperoleh tekanan yang berisikan
sebuah informasi baru dalam suatu wacana, sementara yang
bukan fokus dilihat sebagai pengungkap informasi lama (dalam
Lambercht, 1994: 209). Penekanan yang sama juga dinyatakan
oleh Comrie (1981) dan Kroeger (2004). Comrie (dalam Kroeger,
2004: 136) membatasi fokus sebagai suatu (sepotong) informasi
baru yang dibawa oleh sebuah kalimat.
Menurut Kroeger (2004), setiap bahasa mempunyai stra-
tegi tersendiri di dalam menonjolkan informasi lama atau baru
pada struktur kalimat-kalimatnya. Perbedaan di antara infor-

217
Ketut Artawa & Jufrizal

masi lama dan baru tersebut sangat tergantung konteks. Oleh


karena itu, objek maupun analisis terhadapnya lebih tepat dise-
but sebagai bagian dari pragmatik kalimat (bukan semantik).
Kroeger (2004) menyebutkan dua fungsi pragmatik yang
bisa dijumpai sebagai unsur sebuah kalimat, yaitu fokus dan
topik. Fokus didefinisikan sebagai ‘informasi baru’, sedangkan
topik adalah ‘tentang apa’ kalimat tersebut, dan juga mungkin
saja sebagai informasi lama. (Kroeger, 2004: 136). Dinyatakannya
pula bahwa untuk pengidentifikasian fungsi-fungsi pragmatik
ini di dalam sebuah konstruksi kalimat, tidaklah selalu mudah.
Untuk pengidentifikasiannya diperlukan pencermatan terhadap
konteks penggunaan konstruksi kalimat tempat diasumsikannya
terdapat topik atau fokus tersebut. Penjelasan selengkapnya
dapat dilihat seperti kutipan berikut.

“In order to identify the pragmatic function of a particular construction,


we need to examine the context in which it is appropriate to use that
construction. Our basic assumption is that a single element cannot
function as both topic and focus at the same time, since the same piece of
information cannot be simultaneously old and new in a single context”
(Kroeger, 2004: 161—162).

Kroeger (2004) menilai bahwa sebuah unsur kalimat tidak akan


dapat sekaligus berfungsi sebagai topik dan juga fokus pada
saat yang bersamaan karena tidak mungkin sebuah informasi
secara bersamaan bernilai baru dan juga lama di dalam sebuah
konteks.
Bresnan dan Machombo (1987) juga mengajukan
pengertian peran pragmatis yang tergramatikalisasikan
(grammaticalised pragmatic roles). Mereka menggunakan istilah
topik dan fokus untuk menandai fungsi pragmatis yang
tergramatikalisasikan dalam pengertian kekinian (synchronic).
Topik dan fokus mengodekan tipe informasi yang berbeda-
beda sehingga merupakan kategori yang berlainan, mengingat
bahwa informasi yang sama tidaklah mungkin bersifat baru dan
lama pada waktu yang bersamaan dalam suatu wacana. Hal ini
berarti bahwa topik dan fokus tidak dapat berfungsi sekaligus
dalam klausa yang sama (Kroeger, 1993:61).
Kroeger (1993:61), dalam analisisnya mengenai bahasa
Tagalog, berpendapat bahwa apabila suatu subjek merupakan
218
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

topik yang tergramatikalisasikan (dalam pengertian kekinian)


dalam bahasa tertentu maka dia tidak dapat mengandung fokus
pragmatik. Kroeger menegaskan bahwa salah satu cara menguji
hipotesis topik yang tergramatikalisasikan adalah dengan
mengkaji apakah argumen yang dinyatakan sebagai topik
(bersifat) berbeda dengan fokus pragmatik. Untuk itu, Kroeger
mengusulkan dua macam tes, yaitu:

(i) pertanyaan informatif (menggunakan kata tanya seperti apa/siapa);


(ii) kontras selektif.

Jawaban atas pertanyaan informatif, yaitu berupa frasa yang


berkorespondensi dengan kata tanya apa/siapa (Wh-word)
menyajikan informasi baru yang menentukan sehingga
membawa kandungan fokus pragmatik.
Kontras selektif kalimat yang berbentuk “I want X, not Y
(saya menghendaki X bukan Y) melibatkan pengingkaran atas
presuposisi (misalnya bahwa pembicara menghendaki Y) dan
proposisi kontrastif minimum yang ditekankan sebagai hal
yang sesungguhnya (“I want X”). Dalam hal ini, X merupakan
informasi baru yang menentukan (crucial), misalnya unsur yang
mengandung fokus pragmatik.

6.6 Argumen Posisi Awal


Bahasa Melayu adalah nama yang diberikan pada
kelompok bahasa yang digunakan di negara-negara Asia
Tenggara yang meliputi Malaysia, Brunei, Singapura, dan
Indonesia. Walaupun memiliki nama yang berbeda, bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia sesungguhnya berkembang
dari bahasa yang sama, tetapi digunakan pada wilayah yang
berbeda sehingga menghasilkan perbedaan, terutama pada
segi kosakata. Alsagoff (1992) memusatkan kajiannya pada
konstruksi verba bahasa Melayu, seperti (i) konstruksi meng-,
(ii) konstruksi di-, dan (iii) konstruksi zero. Contoh berikut
diadaptasi dari Alsagoff (1992).

(272) Mariam men- cubit dokter itu.


Mariam AKT-cubit dokter itu
`Mariam mencubit dokter itu`

219
Ketut Artawa & Jufrizal

(273) Dokter itu di- cubit oleh Mariam.


dokter itu PAS-cubit oleh Mariam
`Dokter itu dicubit oleh Mariam`

(274) Dokter itu Mariam cubit.


dokter itu Mariam cubit
`Dokter itu Mariam cubit`

Kalimat (272) dianggap kalimat aktif yang berkorespondensi


dengan konstruksi pasif (273). Pada konstruksi pasif tersebut,
objek (dokter itu) kalimat aktif berubah menjadi subjek,
sedangkan subjek aktif (Mariam) dinyatakan sebagai ajung,
yang dapat dilesapkan. Pasif dimarkahi dengan prefiks di- yang
dilekatkan pada verba. Kalimat (274) yang menggunakan verba
tidak bermarkah yang oleh Alsagoff disebut sebagai konstruksi
zero.
Alsagoff (1992) menegaskan bahwa argumen yang
menempati posisi awal (argumen awal) dalam ketiga konstruksi
di atas diperlakukan sebagai topik. Karena merupakan topik,
maka argumen tersebut tidak dapat berfungsi sebagai jawaban
atas pertanyaan. Pernyataan tersebut cukup membingungkan
karena pada pasangan tanya-jawab, umumnya dalam bahasa
Melayu/Indonesia ditemukan jawaban berupa kata tunggal.
Oleh karena itu, pernyataan Alsagoff segera memunculkan
pertanyaan bagaimana kita mengetahui bahwa jawaban
pertanyaan tidak dapat dilakukan dengan argumen awal.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut (diadaptasi dari
Alsagoff (1992)).

(275) a. Siapa yang mencubit dokter itu?


Siapa Rel meN-cubit dokter itu
`Siapa yang mencubit dokter itu?`
b. *Mariam mencubit dokter itu
TOPIK
c. Dokter itu Mariam cubit
NON TOPIK
d. Dokter itu dicubit oleh Mariam
NON TOPIK

Alsagoff (1992:95) menegaskan bahwa respons atas


jawaban kalimat (275a) hanya akan berterima apabila respons

220
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

tersebut tidak terletak pada posisi awal kalimat, baik yang


terdapat pada konstruksi meng-, di- maupun zero. Oleh karena itu,
kalimat (275b) tidak berterima karena jawaban yang diharapkan
terletak pada posisi awal (konstruksi meng-), mengingat posisi
tersebut merupakan posisi topik, tetapi bukan fokus. Berbeda
halnya dengan kalimat (275c) dan (275d), kalimat itu berterima
sebagai jawaban pertanyaan kalimat (275a) karena pada kedua
kalimat tersebut, jawabannya muncul pada posisi non-topik.
Permasalahan akan segera muncul apabila yang menjadi
jawaban adalah bukan berupa kalimat lengkap. Seumpama
yang menjadi respon pertanyaan (275a) adalah Mariam (respon
berupa kata tunggal), maka bagaimana caranya mengenali
bahwa Mariam merupakan suatu unsur kalimat (275c) atau
pun (275d) ataukah merupakan argumen awal atau tidak dari
kalimat (275a).? Contoh berikut mengilustrasikan masalah yang
sama, tetapi bentuk verba yang digunakan pada (275a) adalah
bentuk di-, sedangkan (275a) adalah bentuk meng-.

(276) a. Siapa yang dicubit oleh Mariam


Siapa rel PAScubit oleh Mariam
`Siapa yang dicubit oleh Mariam?`

b. *Dokter itu dicubit oleh Mariam


TOPIK
c. Mariam mencubit dokter itu
NON TOPIK
d. Dokter itu Mariam cubit
TOPIK

Kalimat (276b) menurut Alsagoff bukan merupakan res-


pon dari (45a) karena jawaban tersebut terletak pada posisi to-
pik klausa di-. Demikian pula dengan (459d), kalimat ini tidak
dapat diterima sebagai jawaban (276a) karena jawaban perta-
nyaan terletak pada posisi topik, yaitu dalam hal ini merupakan
konstruksi zero. Kalimat (276c) merupakan kalimat yang berte-
rima karena jawaban pertanyaan terletak pada posisi nontopik.
Tes yang melibatkan pasangan pertanyaan-jawaban untuk
konstruksi meng- dan di- menunjukkan bahwa pertanyaan dalam
bahasa Melayu tidak dapat dijawab dengan argumen awal pada
kedua konstruksi (275 dan 276). Hal itu menunjukkan bahwa

221
Ketut Artawa & Jufrizal

argumen awal tersebut merupakan topik. Sebaliknya, pada


bahasa Inggris, baik argumen awal konstruksi pasif maupun
aktif dapat dijadikan jawaban pertanyaan. Hal itu ditunjukkan
dengan keberterimaan jawaban kalimat-kalimat berikut
(diadaptasi dari Alsagoff, 1992:97).

(277) a. Who pinched the doctor.


b. Mariam pinched the doctor.
FOKUS

(278) a. Who was pinched by the doctor.


b. The doctor was pinched by Mariam.
FOKUS

Menurut Alsagoff, argumen awal klausa bahasa Melayu


pasti merupakan topik. Oleh karena itu, pengertian topik
terkait dengan morfologi verba. Argumen awal (subjek logis)
konstruksi meng-, argumen awal konstruksi di,- dan konstruksi
zero merupakan topik yang tergramatikalisasikan. Topik
tersebut disubkategorikan oleh verba. Ketiganya berbeda (tidak
kompatibel) dengan informasi baru, yaitu informasi fokus.
Dalam hal ini, analisis Alsagoff tidak dapat dikembangkan
dalam bahasa Indonesia (hal ini dipaparkan di bawah). Salah satu
aspek penting yang membedakan bahasa Melayu/Indoneesia
dengan bahasa Inggris adalah dalam hal pembentukan
“pertanyaan informatif”. Di dalam bahasa Melayu/Indonesia,
pertanyaan mesti berupa konstruksi ekuasional (equational)
seperti dalam kalimat (280) di bawah. Pertanyaan yang non-
ekuasional tidak berterima dalam bahasa Indonesia baku.
Subjek kalimat (280) adalah siapa dan predikatnya yang membeli
mobil itu, suatu klausa relatif tak berinti (headless) yang berfungsi
sebagai predikat nominal. Konstruksi non ekuasional dalam
ragam tidak baku dapat berterima seperti pada contoh (281).

(279) Who bought this car.


(280) Siapa yang membeli mobil ini?
(281) Siapa membeli mobil ini?

Keberterimaan kalimat (281) dalam ragam tidak baku


didukung oleh keberterimaan pasangan pertanyaan-jawaban,

222
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

yang diambil dari Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. (Moeliono


dan Dardjowidjojo, 1988:292).

(282) a. Siapa yang memenangkan pertandingan itu?


b. Icuk memenangkan pertandingan itu.

Sebagai jawaban yang tepat atas pertanyaan (282a), kalimat


(282b), maka simpulan yang ditarik oleh Alsagoff untuk bahasa
Melayu (yakni argumen awal konstruksi meng- tidak dapat
digunakan sebagai respon, jelas tidak dapat dikembangkan
untuk bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pengertian topik yang
tersubkategorikan secara leksikal tidak memadai untuk bahasa
Indonesia walaupun hal itu mungkin untuk bahasa Melayu (?).
Telaah lanjut atas hal ini memerlukan pendekatan semantis-
pragmatis karena “kebakuan” bahasa Melayu yang dipakai di
Asia Tenggara, bahkan di Indonesia (sebagai bahasa Indonesia),
memerlukan telaah lebih mendalam. Hal ini disebabkan adanya
pengaruh faktor sosial budaya kelompok masyarakat penutur
yang cukup beragam terhadap makna dan nilai bahasa tersebut.
Dengan demikian, teori dan pendekatan tipologi fungsional
boleh dijadikan dasar telaah lebih lanjut terhadap fenomena
yang sarat dengan muatan nilai sosial budaya ini.

6.7 Struktur Informasi Topik-Komen Bahasa Minangkabau:


Telaah Singkat
Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu, hakikat
(asali) subjek klausa adalah “pertautan” antara sifat-perilaku
agen dan topik. Agen merupakan peran gramatikal yang
didasarkan pada peran semantis, sedangkan topik adalah istilah
yang didasarkan pada fungsi pragmatis. Pembahasan tentang
fungsi-fungsi pragmatis ini dimaksudkan untuk mengetahui
apakah bahasa Minangkabau (BM) termasuk kelompok bahasa
yang menonjolkan subjek (subject prominent language) atau
bahasa yang menonjolkan topik (topic prominent language).
Penelaahan didasarkan pada kerangka teori tipologi bahasa
tentang perbedaan antara bahasa yang menonjolkan subjek dan
bahasa yang menonjolkan topik, seperti dikemukakan oleh Li
dan Thompson (1976) (lihat Li ed., 1976:457 - 489).
Subjek (dan kesubjekan) telah dibahas pada bagian

223
Ketut Artawa & Jufrizal

terdahulu, terutama secara gramatikal. Sementara itu, topik,


yang merupakan peran pragmatis, didefinisikan tidaklah sebaku
peran semantis. Pada buku ini, topik (dalam hal ini adalah topik
kalimat) dibatasi berdasarkan batasan yang dikemukakan oleh
Comrie (1989:64). Menurutnya, topik kalimat adalah tentang
apa kalimat itu, atau apa yang menjadi pembicaraan kalimat
itu (lihat juga Artawa, 1998:65). Blake (1994) memberikan
batasan topik sebagai ‘apa yang dibicarakan’ sebagai lawan dari
sebutan/komen, yaitu apa yang dikatakan tentang topik. Lebih
jauh dikatakan oleh Blake bahwa topik itu biasanya ‘informasi
latar’ (given information) dan secara khusus diungkapkan sebagai
subjek. Topik dapat juga berada di luar klausa sebenarnya,
ditandai oleh perubahan intonasi.
Andrews (dalam Shopen, ed., 2007:148 – 149) menyebutkan
bahwa fungsi-fungsi pragmatis meliputi banyak hal yang
memerlukan pencermatan karena dia berada pada tatanan
bentuk, khususnya klausa atau kalimat. Topik umumnya
dipahami sebagai entitas (wujud) yang telah terlebih dahulu
diketahui oleh pendengar. Topik adalah fungsi dari kalimat
untuk menyediakan informasi lebih jauh tentang apa yang
diperkenalkan dalam wacana dan akhirnya menjadi topik.
Kalimat yang mempunyai satu atau lebih entitas topik disebut
sebagai artikulasi topik-komen. Fungsi-fungsi pragmatis
bersesuaian dengan fungsi-fungsi gramatikal karena ada banyak
kaidah atau kecenderungan yang berkenaan dengan keduanya.
Subjek, misalnya, sering memperlihatkan kecenderungan kuat
atau bahkan ketentuan pasti untuk berfungsi sebagai topik.
Mari awali pembahasan tentang struktur topik-komen
BM tersebut dengan mencermati konstruksi pengedepanan,
pelepasan ke kiri, dan penopikalan. Menurut Artawa (1998:68),
secara tradisional subjek sebuah kalimat dimaklumi sebagai
unsur yang mengkhususkan tentang apa kalimat itu. Jika
pandangan ini disetujui, dapat dikatakan bahwa kalimat
pasif seharusnya dipahami sebagai hal-ihwal tentang ‘pasien’
(bukan ‘agen’) karena pemasifan merupakan proses sintaktis
yang memindahkan pasien menjadi subjek dan agen menjadi
keterangan (adjunct). Dalam bahasa seperti bahasa Inggris, subjek
lazimnya merupakan argumen awal (depan). Namun demikian,

224
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

bukanlah berarti bahwa semua argumen awal adalah subjek.


Ada konstruksi lain yang argumen awalnya tidak merupakan
subjek kalimat. Konstruksi seperti ini dikenal sebagai pelepasan
ke kiri (left-dislocation) dan penopikalan (topicalisation).
Perihal pelepasan ke kiri (left-dislocation), penopikalan
(topicalisation), dan pengedepanan (fronting) dalam BM dibahas
berdasarkan pendapat dan kerangka kerja yang dikemukakan
oleh Artawa (1998) yang didasarkan juga dari ilmuwan tipologis
lainnya. Mari perhatikan contoh-contoh berikut (data dikutip
dari Jufrizal, 2004 dan Jufrizal, 2012)!

(283) a. Sutan Sati, baliau di surau.


Sutan Sati, beliau di mushala
‘Mengenai Sutan Sati, beliau di mushala’

b. Si Surti, inyo manjapuik aia.


Art-Surti 3TG AKT-jemput air
‘Mengenai Surti, dia menjemput air’

c. Kuciang tu, inyo iyo manjo.


kucing-ART 3TG benar manja
‘Mengenai kucing itu, dia memang manja’

Frasa nominal (FN) yang dilepaskan ke kiri pada (283a,b,c)


merupakan FN definit (dalam BM nama orang atau sapaan
kehormatan, gelar, nomina umum keterbatasannya dapat tidak
dimarkahi/kosong (contoh 283a), atau dimarkahi kata sandang/
artikel si (contoh 283b), atau dengan artikel tu ‘itu’ (contoh 283c)).
FN tersebut diikuti kalimat utuh yang subjeknya merujuk ke FN
yang dilepaskan ke kiri, dalam bentuk pronomina (baliau, inyo).
FN umum yang bukan orang dan tidak definit biasanya tidak
diganti dengan pronomina orang ketiga tunggal. Perhatikanlah
(283a,b) berikut:

(284) a. Baruak, baruak iyo ranyang.


monyet monyet benar usil
‘Mengenai monyet, monyet memang usil’

b. Parewa, parewa tantu kurang aja.


begal begal tentu kurang ajar
‘Mengenai begal, begal tentu kurang ajar’

225
Ketut Artawa & Jufrizal

Konstruksi pelepasan ke kiri yang menunjukkan hubungan


pemilik-termilik juga lazim adanya dalam BM. Maksudnya,
konstruksi tersebut menunjukkan hubungan pemilik-termilik
antara FN yang dilepaskan ke kiri dengan subjek klausa yang
mengikutinya. Berikut adalah contohnya:

(285) a. Batang aia tu, aia-nyo janiah.


Sungai -ART air- POS3TG jernih
‘Mengenai sungai itu, airnya jernih’

b. Kurisi tu, kaki-nyo patah.


Kursi-ART kaki- POS3TG patah
‘Mengenai kursi itu, kakinya patah’

FN yang dilepaskan ke kiri dengan subjek klausa yang


mengikutinya pada contoh (285a,b) menunjukkan hubungan
pemilik-termilik (possessor-possessee). Klausa sesungguhnya
dari contoh-contoh di atas mempunyai predikat yang bukan
verba. Konstruksi yang menunjukkan hubungan pemilik-
termilik seperti ini juga dapat terjadi antara FN yang dilepaskan
ke kiri dan klausa berpredikat verba. Berikut adalah contoh-
contohnya.

(286) a. Tek Siti, anak bunsunyo sadang mandi.


Bi Siti anak bungsu-POS3TG sedang mandi
‘Mengenai Bi Siti, anak bungsunya sedang mandi’

b. Urang tu, adiaknyo alah mam-bali oto.


orang itu adik-POS3TG telah AKT-beli mobil
‘Mengenai orang itu, adiknya telah membeli mobil’

c. Pak Karim, nasia- tnyo kami danga.


Pak Karim nasehat-POS3TG 1JM dengar
‘Mengenai Pak Karim, nasehatnya kami dengar’

Klausa sesungguhnya (kalimat) pada contoh (286a) adalah


kalusa intransitif, klausa (286b) adalah klausa transitif dengan
konstruksi nasal, sedangkan (286c) merupakan klausa dengan
verba konstruksi tanpa afiks (zero).
Argumen inti (S, OL, OTL) BM adalah unsur yang tidak
bermarkah. Oblik, di sisi lain, dimarkahi oleh preposisi. Relasi
oblik dapat dilepaskan ke kiri melalui proses pengedepanan.
226
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Karena yang dilepaskan ke kiri bukan argumen inti, maka


prosesnya tidak dapat disebut sebagai penopikalan. Berikut
adalah contoh-contohnya:

(287) a. Amak gaek malatakan cangkia di ateh meja.


ibu tua meletakkan cangkir di atas meja
‘Nenek meletakkan cangkir di atas meja’

b. Di ateh meja amak gaek malatakan cangkia.


di atas meja ibu tua meletakkan cangkir
‘Di atas meja nenek meletakkan cangkir’

Frasa nominal berpreposisi di ateh meja merupakan oblik pada


kalimat (287a). Relasi oblik tersebut dapat dilepaskan ke depan
seperti (287b).
Contoh-contoh berikut memperlihatkan adanya argumen
inti yang dilepaskan ke kiri. Kejadian ini memperlihatkan
pelengkap penderita yang ditopikkan. Oleh karena itu, kalimat-
kalimat berikut menggambarkan penopikalan dalam BM.

(288) a. Udin mamacah batu gadang.


Udin memecah batu besar
‘Udin memecah batu besar’

b. Batu gadang Udin pacah.


batu besar Udin pecah
‘Batu besar Udin pecah’

(289) a. Anak-anak manggua tabuah.


anak-anak memukul beduk.
‘Anak-anak memukul beduk’

b. Tabuah anak-anak gua.


beduk anak-anak pukul
‘Beduk anak-anak pukul’

Pada (288a) FN batu gadang adalah agumen inti (objek/pasien)


dan begitu juga halnya dengan FN tabuah pada (289a). Kedua
argumen inti tersebut menjadi unsur awal pada masing-masing
klausa (288b) dan (289b). Dengan demikian, objek/pasien dalam
BM dapat ditopikkan. Penopikalan objek/pasien menyebabkan
hilangnya pemarkah nasal pada verbanya.

227
Ketut Artawa & Jufrizal

Apakah BM merupakan bahasa yang menonjolkan subjek


(dengan struktur dasar subjek – predikat) atau merupakan
bahasa yang menonjolkan topik (dengan struktur dasar topik –
komen)? Sebelum dicermati sejumlah data BM untuk menjawab
pertanyaan di atas, mari perhatikan apa yang dikemukakan
oleh Gundel (1988). Menurutnya, kaidah penciptaan subjek
merupakan hal yang paling umum adanya dalam bahasa-
bahasa yang menonjolkan subjek, seperti yang ditemukan
dalam bahasa Inggris. Dalam jenis bahasa seperti itu, struktur
topik-komen tidak menentukan struktur sintaktis secara khas.
Kecenderungan untuk ungkapan yang merujuk ke topik yang
terjadi di posisi awal kalimat terjadi terutama sekali oleh adanya
hubungan yang dekat antara subjek dan topik. Namun, kaidah
penciptaan subjek dianggap lebih terbatas, jika terjadi juga,
dalam bahasa-bahasa yang kuat menonjolkan topik, seperti
bahasa Lisu dan Mandarin.
Salah satu sifat-perilaku subjek gramatikal dalam BM
adalah bahwa subjek merupakan FN pra-verbal. Namun
demikian, tidak berarti setiap FN pra-verbal merupakan subjek
dalam bahasa ini. Contoh-contoh berikut (dikutip dari Jufrizal,
2012) memperlihatkan sifat-perilaku subjek gramatikal dalam
bahasa daerah yang dipakai di Sumatera Barat ini.

(290) a. Mangkuto singgah di kadai kopi.


Mangkuto singgah di kedai kopi
‘Mangkuto singgah di kedai kopi’

b. Kadai kopi Mangkuto singgah-i


Kedai kopi Mangkuto singgah-APL
‘Kedai kopi Mangkuto singgahi’

(291) a. Anak-anak manulih pantun dalam buku.


anak-anak AKT-tulis pantun dalam buku
‘Anak-anak menulis pantun dalam buku’

b. Buku anak-anak tulih-i pantun.


buku anak-anak tulis-APL pantun
‘Buku anak-anak tulisi pantun’

c. Anak-anak manulihi buku pantun.


anak-anak AKT-tulis-APL buku pantun
‘Anak-anak menulisi buku pantun’

228
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Kalimat (290a) dan (291a) merupakan kalimat asal; pada kalimat


ini di kadai kopi dan dalam buku merupakan unsur kalimat
berelasi oblik. Pengaplikatifan struktur dasar dengan sufiks –i
(290b) menaikkan relasi oblik di kadai kopi menjadi objek. Kaidah
penciptaan objek juga diperlihatkan oleh (6291b) dan (291c).
Selain itu, konstruksi aplikatif-instrumental dalam BM
juga termasuk kaidah penciptaan objek. Berikut adalah contoh-
contoh yang memperlihatkan hal itu.

(292) a. Kami manutuik jandela jo tirai.


1JM AKT-tutup jendela dengan tirai
‘Kami menutup jendela dengan tirai’

b. Tirai kami tutuik-an ka jandela.


tirai 1JM tutup-APL ke jendela
‘Tirai kami tutupkan ke jendela’

c. Kami manutuik-an tirai ka jandela.


1JM AKT-tutup-APL tirai ke jendela
‘Kami menutupkan tirai ke jendela’

Pada (61a) FN berpreposisi jo tirai adalah oblik. Relasi oblik


tersebut menduduki posisis objek pada (61b) dan (61c) melalui
pengaplikatifan dengan sufiks –an.
Konstruksi aplikatif-benefaktif dalam BM juga termasuk
kaidah penciptaan objek; dalam hal ini argumen benefaktif hadir
sebagai OTL, bukan sebagai argumen oblik. Contoh-contoh
berikut memperlihatkan proses gramatikal tersebut.

(293) a. Ali ambo buek-an rumah.


Ali 1TG buat-APL rumah
‘Ali saya buatkan rumah’

b. Ambo buek-an Ali rumah.


1TG buat-APL Ali rumah
‘Saya buatkan Ali rumah’

c. Ambo buek-an Ali rumah.


1TG buat-APL Ali rumah
‘Saya buatkan Ali rumah’

229
Ketut Artawa & Jufrizal

d. Ambo mambuek-an Ali rumah.


1TG Akt-buat-APL Ali rumah
‘Saya membuatkan Ali rumah’

Konstruksi aplikatif-sumber, di sisi lain, tidak selamanya


merupakan kaidah penciptaan objek. Contoh berikut adalah
contoh konstruksi aplikatif-sumber yang merupakan kaidah
penciptaan subjek.

(294) a. Pitih ambo salang ka Udin.


uang 1TG pinjam kepada Udin
‘Uang saya pinjam kepada Udin’

b. Udin salang-i ambo pitih.


Udin pinjam-APL 1TG uang
‘Udin pinjami saya uang’

c. Udin pa-salang-i ambo pitih.


Udin pinjam-APL 1TG uang
‘Udin meminjami saya uang’

Argumen oblik-sumber ka Udin pada (294a) menjadi subjek


pada konstruksi aplikatif pada (294b) dan (294c).
Berikut adalah contoh konstruksi aplikatif-sumber BM
yang memperlihatkan bahwa argumen oblik sumber dapat
menjadi OTL juga termasuk kaidah penciptaan oblik.

(295)a. Gadih Ranti ma-mintak salendang ka uninyo.


gadis Ranti AKT-minta selendang kepada kakak-POS3TG
‘Gadis Ranti meminta selendang kepada kakaknya’

b. Gadih Ranti ma-mintak-i uninyo salendang.


gadis Ranti AKT-minta-APL kakak-POS3TG selendang
‘Gadis Ranti memintai kakaknya selendang’

Berdasarkan data di atas, konstruksi aplikatif-sumber dalam


BM ada yang merupakan penciptan subjek dan ada juga yang
merupakan kaidah penciptaan OTL. Seperti yang telah dibahas
pada bagian yang membicarakan konstruksi aplikatif-penerima,
pengaplikatifan tersebut merupakan kaidah penetapan objek.
Yang dimaksud penetapan objek di sini adalah tidak terjadi

230
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

perubahan relasi gramatikal objek dalam pengaplikatifan.


Berdasarkan uraian di atas, konstruksi aplikatif BM
termasuk yang cenderung menuruti kaidah penciptaan objek.
Kaidah penciptaan objek lebih lazim muncul daripada kaidah
penciptaan subjek yang hanya terjadi pada sebagian kecil
pengaplikatifan. Merujuk ke pendapat Gundel (dalam Artawa,
1998) bahwa bila suatu bahasa (lebih) produktif dalam kaidah
penciptaan subjek dan pelepasan ke kiri merupakan struktur
kalimat tertanda dalam bahasa tersebut maka digolongkan
pada bahasa yang menonjolkan subjek. Bahasa Inggris dan
BB (lihat Artawa, 1998) termasuk kelompok bahasa ini. Dalam
BM, penopikalan pasien/oblik merupakan struktur yang lazim,
namun struktur kalimat seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai
struktur kalimat dasar (asal). Konstruksi kalimat seperti (294b)
dan (295b) merupakan kalimat turunan.
Jika demikian kenyataannya, BM dapat dikatakan sebagai
bahasa yang menonjolkan subjek. Ada enam alasan gramatikal
utama yang dapat digunakan untuk mendukung simpulan
ini. Pertama, yang memenuhi persyaratan secara gramatikal
sebagai struktur dasar klausa BM adalah konstruksi subjek-
predikat. Kedua, adanya konstruksi aktif-pasif dalam BM
yang keproduktifannya tinggi. Ketiga, meskipun BM dapat
mentopikkan pasien/objek, akan tetapi konstruksi tersebut
bukan konstruksi dasar, melainkan konstruksi kalimat turunan.
Keempat, kaidah penciptaan objek dalam BM bukan merupakan
penopikalan karena unsur kalimat yang dijadikan objek
tersebut adalah unsur yang berelasi oblik. Meskipun ada dalam
pengaplikatifan BM kaidah penciptaan subjek yang dapat diduga
sebagai penopikalan, namun unsur yang disubjekkan itu adalah
unsur berelasi oblik juga. Alasan kelima yang mendukung BM
termasuk bahasa yang menonjolkan subjek adalah bahwa
struktur orientasi topik ‘subjek ganda’ bukanlah struktur kalimat
dasar bahasa ini. Alasan keenam yang juga patut dikemukakan
untuk mendukung BM termasuk bahasa yang menonjolkan
subjek adalah tidak adanya pemarkah morfosintaksis untuk
unsur yang dikatakan topik. Penopikalan termasuk struktur
kalimat tertanda dalam BM, sama halnya dengan pelepasan ke
kiri, sedangkan konstruksi subjek-predikat merupakan struktur

231
Ketut Artawa & Jufrizal

kalimat tak tertanda.


Berdasarkan kenyataan dan sifat-perilaku gramatikal
konstruksi klausa yang ditemukan dalam BM, dan
pengelompokan bahasa-bahasa secara tipologis sehubungan
dengan fungsi-fungsi pragmatis (lihat Li dan Thompson
dalam Li, ed. 1976), BM dapat dinyatakan sebagai bahasa yang
menonjolkan subjek (subject prominent language). BM mempunyai
struktur dasar klausa sebagai konstruksi subjek-predikat.
Dengan demikian, berdasarkan fungsi-fungsi pragmatis,secara
tipologis BM berperilaku sama dengan bahasa-bahasa Indo-
Eropa, bahasa Niger-Congo, bahasa Finno-Ugric, bahasa Semitic,
bahasa Dyirbal (Australia), bahasa Indonesia, bahasa Malagasi,
bahasa Bali (lihat juga Artawa 1998).
Penopikalan dalam BM merupakan konstruksi alternatif
dan turunan. Kenyataan gramatikal ini menyiratkan bahwa
penelaahan morfosintaksis BM secara tipologis tidak (kurang)
tepat jika didasarkan atas telaah konstruksi topik-komen.
Konstruksi subjek-predikat lebih cocok dijadikan dasar analisis.
Hal ini berarti bahwa klausa dasar BM secara gramatikal
adalah konstruksi subjek-predikat, dan kalaupun ada yang
memungkinkan untuk diungkapkan dengan struktur topik-
komen, hal itu boleh disebut sebagai (konstruksi) klausa
turunan. Sebenarnya, klausa bahasa-bahasa rumpun Melayu
tidak begitu mudah ditetapkan sebagai bahasa berpenonjol
subjek atau berpenonjol topik. Hal ini disebabkan karena sifat-
perilaku gramatikal bahasa-bahasa rumpun Melayu tersebut,
termasuk BM, yang mempunyai kaitan erat dengan fungsi-
fungsi pragmatis. Telaah lebih lanjut dengan teori tipologi
fungsional diperkirakan dapat menjelaskannya lebih rinci.

6.8 Catatan Penutup


Penelaahan struktur informasi yang merupakan
pertautan fungsi-fungsi pragmatis pada tataran sintaksis
merupakan bentuk kajian yang menarik, menantang, dan
sekaligus sulit dan rumit. Kesulitan dan kerumitan itu lebih
terasa jika dihadapkan dengan data dan bukti-bukti gramatikal
bahasa-bahasa Nusantara. Tidak hanya itu, telaah struktur
informasi dan fungsi-fungsi pragmatis dalam bahasa Indonesia

232
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

sebagai bahasa nasional Indonesia pun memerlukan data dan


penelaahan cermat karena tidak cukup untuk menentukan
kebakuan beberapa jenis klausa yang ada. Hal ini disebabkan
oleh pengaruh makna, fungsi, dan nilai-nilai budaya berbahasa
yang beragam antarpenutur bahasa Indonesia dari berbagai
pelosok tanah air, Nusantara.
Selain itu, bahasa-bahasa rumpun Melayu dan
sejumlah bahasa yang berdekatan dengan keluarga bahasa
ini memperlihatkan pertautan “sangat erat” antara struktur
gramatikal dan fungsi-fungsi pragmatis yang menyertainya.
Akibatnya, sejumlah telaah gramatikal tidak dapat menghindar
dari pengaruh pragmatis-komunikatif yang kadang-kadang
tidak terkaidahkan secara formal. Ini adalah tantangan “ilmiah”
bagi ilmuwan bahasa, khususnya ilmuwan dan pemerhati
tipologi linguistik. Dipercayai bahwa telaah tipologi fungsional
akan dapat lebih membuka tabir kebahasaan secara tipologis
bahasa-bahasa Nusantara tersebut. Meskipun demikian, tidak
berarti bahwa telaah tipologi fungsional harus dijadikan dasar
penelaahan. Telaah tipologi gramatikal tetap menjadi pilihan
awal untuk sampai pada telaah fungsional.

233
234
BAB VII

TIPOLOGI LINGUISTIK
DAN TELAAH KEBAHASAAN

P
7.1 Tipologi Linguistik dan Kealamiahan Bahasa
ada bagian-bagian awal buku ini sudah dikemukakan
bahwa tujuan mendasar dari kajian tipologi linguistik,
khususnya tipologi gramatikal ialah mengelompokkan
bahasa (-bahasa) manusia berdasarkan sifat-perilaku lahiriah
gramatikalnya yang ditunjukkan oleh tata kata dan tata kalimat
yang dimiliki oleh bahasa (-bahasa) yang ada (lihat di antaranya
Comrie, 1989; Croft, 1993; Song, 2001; Artawa, 2005; Jufrizal,
2012). Berdasarkan pendapat dan gagasan yang dikemukakan
oleh para ilmuwan tipologi linguistik, yang berkembang pesat
sejak tahun 1970-an, kajian Tipologi Linguistik adalah bentuk
kajian kebahasaan yang menempatkan “dirinya” pada posisi
“netral”; bentuk kajian kebahasaan yang berusaha mencermati
sifat-perilaku gramatikal bahasa-bahasa manusia berdasarkan
atas kealamiahan konstruksi (struktur) lahiriahnya. Whaley
(1997) menegaskan bahwa tipologi linguistik bukanlah teori
ketata bahasaan yang dirancang oleh para ilmuwan bahasa
untuk menggambarkan bagaimana bahasa itu bekerja secara
teoretis. Kajian tipologi linguistik lebih mengutamakan dasar
kajian atas bagaimana bahasa itu apa adanya.
Sifat dan bentuk kajian tipologi linguistik yang “netral”
dan tidak berorientasi pada salah satu teori ketata bahasaan
formal memungkinkan kajian dan hasilnya mengutamakan
kealamiahan bahasa sebagaimana apa adanya. Secara
teoretis dan praktis, telaah kebahasaan yang mengutamakan
dan “memenangkan” data bahasa alami tersebut sangat
memungkinkan diperolehnya deskripsi bahasa yang alami pula.
Sebagai fenomena alam yang bersifat sosial budaya, bahasa
bukanlah sesuatu yang kaku dan perlu diperlakukan secara
ketat. Meskipun demikian, bahasa bukanlah sesuatu yang dapat

235
Ketut Artawa & Jufrizal

dibuat semena-mena sesuai keinginan perorangan. Sesederhana


apa pun bahasa manusia, pada dasarnya, ia mempunyai sistem
dan aturan. Adanya aturan ketata bahasaan itulah sebenarnya
yang menjadikan bahasa dapat dipelajari, diajarkan, diwariskan,
dan dikembangkan sebagai salah satu hasil budi-daya manusia
yang sangat cemerlang sepanjang peradaban makhluk di muka
bumi ini.
Tugas utama ilmuwan dan peneliti bahasa ialah untuk
mengungkapkan hakikat bahasa manusia yang meliputi
empat tataran, yakni bentuk, makna, fungsi, dan nilai. Tataran
bentuk bahasa ditelaah melalui kajian mikrolinguistik yang
boleh ditelaah berdasarkan fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Tataran makna adalah bagian yang menjadi sasaran kajian
semantik. Tataran fungsi komunikatif dan nilai sosial budaya
bahasa menjadi bidang kajian ilmuwan makrolinguistik, seperti
kajian Pragmatik, Kajian Wacana, Sosiolinguistik, Linguistik
Kebudayaan, Psikolinguistik, dan bidang makrolinguistik
lainnya. Seberagam apa pun bentuk dan dasar telaah kebahasaan
itu, hasil kajian yang “mendekati” kealamiahan bahasa sangat
bernilai dalam linguistik. Hasil kajian kebahasaan yang
menjauh dari hakikat bahasa alami dan sangat dipengaruhi
oleh pandangan-pandangan subjektif dan tafsiran sepihak
akan sangat merusak kealamiahan bahasa itu. Oleh karena itu,
hasil kajian Tipologi Linguistik termasuk salah satu deskripsi
kebahasaan yang bernilai tinggi.
Bahwa bahasa (-bahasa) manusia mempunyai ciri
kesemestaan adalah suatu keniscayaan. Semua bahasa manusia
mempunyai ciri bersama sehingga ciri-ciri tersebut menjadi dasar
mengapa itu dikatakan bahasa. Penemuan dan pengelompokan
ciri bersama yang dimiliki oleh bahasa manusia itu menjadi
sasaran kajian kesemestaan bahasa. Di sisi lain, bahasa (-bahasa)
manusia itu mempunyai ciri pembeda yang menyebabkan
bahasa manusia yang tersebar di muka bumi ini tidak sama.
Penemuan dan pengelompokan ciri pembeda yang ada dalam
bahasa manusia secara lintas-bahasa, dan mengelompokkan
bahasa-bahasa itu berdasarkan kesamaan dan/atau kemiripan
struktur lahiriahnya adalah sasaran kajian Tipologi Linguistik.
Bentuk dan tujuan kajian kebahasaan seperti ini membutuhkan

236
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

beragam data kebahasaan yang alami dari berbagai keluarga


dan kelompok bahasa secara luas. Hal ini berarti bahwa kajian
Tipologi Linguistik memerlukan dan memperlakukan bahasa
secara apa adanya; kealamiahan bahasa sangat dijunjung tinggi
dalam hal ini.
Sepanjang sejarah perkembangan linguistik, berbagai
teori kebahasaan muncul dan datang silih berganti dengan
berbagai dasar filofis dan arah kajiannya. Namun sebagian teori
dan pendekatan kajian (penelitian) kebahasaan ada yang kurang
“mengenakkan” atau kurang sesuai. Purwa (2000) misalnya
menyatakan bahwa sebagian cara pikir, teori dan bentuk
kajian/penelitian kebahasaan cenderung mengikuti apa yang
dikembangkan di Barat. Kebanyakan data dan hasil kajian yang
lahir, tentu saja, didasarkan pada bahasa-bahasa Indo-Eropa
seperti bahasa Inggris, German, Perancis, Romawi, dan bahasa-
bahasa lain. Jika dicermati lebih mendalam, sifat-perilaku
kebahasaan yang ada dalam bahasa-bahasa tersebut boleh jadi
tidak sama dengan apa yang ada dalam bahasa-bahasa keluarga
bahasa lain, seperti dalam bahasa Melayu, Minangkabau, Bali,
Jawa, Sasak, dan yang lainnya. “Pemaksaan” cara pikir dan model
telaah kebahasaan bahasa-bahasa Barat terhadap bahasa-bahasa
Timur besar kemungkinan dapat “mencederai” kealamiahan
bahasa yang ada. Oleh karena itu, penelitian dan model kajian
kebahasaan yang “memenangkan data” seperti yang dianut
oleh kajian Tipologi Linguistik mempunyai arti penting untuk
menjaga kealamiahan bahasa (-bahasa) manusia.
Pemertahanan kealamiahan (data) bahasa oleh ilmuwan
dan peneliti bahasa termasuk tugas penting yang harus
dijalankan agar keberadaan bahasa manusia sebagai kekayaan
sosial budaya bernilai tinggi dapat dipertahankan. Pemertahanan
kealamiahan bahasa dan “memenangkan” data bahasa yang
ada dalam setiap kajian dan penelitian linguistik akan turut
melestarikan keberagaman peradaban manusia di muka bumi
dan membangkitkan kebhinnekaan dalam dunia linguistik dan
pendidikan kebahasaan (lihat Purwo, 2000). Pencampuradukan
penelaahan dan penafsiran data kebahasaan tanpa memedulikan
kealamiahan bahasa yang ada akan menyebabkan teori linguistik
menjadi kabur dan penuh dengan rekayasa ilmiah yang tidak

237
Ketut Artawa & Jufrizal

beralasan. Hal ini jelas bukan merupakan harapan kaum peneliti


dan pemerhati bahasa yang ada di seluruh dunia.
Adakah andil teori dan bentuk kajian kebahasaan
terhadap kerusakan dan kematian bahasa? Pertanyaan ini
tidak menghendaki jawaban yang bersifat praktis karena
hubungan langsung antara pertanyaan dan jawabannya
sulit dimaklumi oleh orang awam. Namun, secara teoretis,
ilmuwan dan peneliti bahasa mempunyai pendapat yang sama
bahwa teori, pendekatan, model kajian, dan hasil kajian yang
tidak memedulikan kealamiahan bahasa akan menimbulkan
kerusakan dan bahkan kematian bahasa. Bagaimana hal itu
bisa terjadi? Perlakuan ilmiah apa pun terhadap gejala alam
yang tidak memperhatikan kealamiahannya adalah sesuatu
yang salah, termasuk dalam hal bahasa. Paparan dan pemerian
tentang bahasa yang disebut sebagai hasil penelitian dan kajian
ilmiah akan mempunyai kekuatan tersendiri untuk diacu dan
dijadikan pijakan kajian selanjutnya. Orang awam dan pembaca
tulisan itu akan mempercayainya dengan kadar tertentu
terhadap hasil kajian itu. Apalagi, dengan berbagai alasan
ilmuwan lain mengutip dan menyatakan bahwa apa yang
disajikan (sesuatu yang salah) itu adalah benar. Boleh jadi hal
ini akan menyebabkan kerusakan terhadap kealamiahan bahasa
yang bersangkutan dan pada gilirannya akan menyebabkan
bahasa itu mati yang disebabkan oleh deskripsinya yang salah.
Dalam banyak hal, kajian tipologi linguistik berusaha
menempatkan data kebahasaan yang dikumpulkan dan ditelaah
sebagaimana apa adanya. Hal ini akan memungkinkan lahirnya
deskripsi bentuk dan makna bahasa yang “memenangkan” data.
Berbagai telaah bentuk dan makna gramatikal dapat diarahkan
terhadap data yang ada, namun peneliti dan penelaah data tidak
diizinkan untuk melakukan tafsiran subjektif; tafsiran tanpa
alasan linguistik yang memadai. Data bahasa yang dikumpulkan
pun bukan sesuatu yang dicipta dan hanya bersifat intuitif yang
keberterimaannya tidak mendapat dukungan dari penutur asli
bahasa itu. Dengan demikian, penelitian tipologi linguistik
membutuhkan data yang keberterimaan dan kealamiahannya
dapat dipertanggungjawabkan.

238
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Untuk mendapatkan data yang andal dengan kadar


keberterimaan tinggi diperlukan pemahaman terhadap sifat-
perilaku dan sumber data kebahasaan yang akan dikumpulkan.
Secara umum, sumber data penelitian linguistik, khususnya
penelitian tipologi linguistik, dapat berasal dari tiga sumber
(Mallinson dan Blake, 1981:12 – 18). Sumber data pertama
adalah buku-buku atau informasi tertulis yang telah ada
tentang bahasa yang diteliti. Sumber data kedua adalah data
yang berasal dari contoh-contoh yang digunakan oleh penulis
lain yang diakui kebenarannya. Yang ketiga adalah data dari
narasumber (informan) yang berasal dari penutur asli. Ketiga
jenis sumber data ini dapat digunakan sebaik mungkin oleh
peneliti dengan selalu memperhatikan keberterimaannya. Oleh
karena itu, sumber data yang langsung dari penutur asli, baik
melalui penelitian lapangan maupun intuisi kebahasaan peneliti
sebagai penutur asli. Namun perlu diingat bahwa peneliti dan
ilmuwan bahasa harus menjaga diri sebagai ilmuwan dan
sebagai sumber data; jangan berperan sebagai pencipta data
tanpa didukung oleh penutur asli yang lain.

7.2 Tipologi Linguistik dan Komunikasi Lintas Budaya


Sebagai bagian dan unsur penting kebudayaan, bahasa
tidak dapat dipisahkan dari budaya dan kiat berkomunikasi
penuturnya. Seperti sudah dikemukakan pada bagian terdahulu,
bahasa adalah kemampuan manusia untuk berkomunikasi
dengan menggunakan jenis tanda tertentu (seperti bunyi, isyarat,
dan sebagainya) yang disusun dalam unit dan sistematika
tertentu pula. Selain itu, bahasa merupakan “panduan” untuk
kehidupan sosial karena bahasa dapat “menyuruh” atau
“menghentikan” kita dari bentindak dengan cara tertentu
(misalnya membuka pintu dengan mendorongnya). Dengan
kata lain, bahasa memberi dan melaksanakan cara-cara lain
yang berhubungan dengan objek dan orang (Duranti, 1997:43).
Para perintis antropologi modern seperti Boas, Malinowski,
dan yang lainya, sejak awal sudah tahu bahwa bahasalah yang
memungkinkan terjadinya penafsiran terhadap peristiwa-
peristiwa yang dipantau oleh peneliti etnografi.

239
Ketut Artawa & Jufrizal

Pada kenyataannya, tanpa bahasa tidak akan ada peristi­


wa-peristiwa yang dilaporkan (Duranti, 1997:7). Kenyataan
ini mengisyaratkan adanya pertautan dan keberhubungan
antara bahasa, masyarakat (penuturnya), dan kebudayaan
(penuturnya). Kenyataan ini pulalah, yang secara teoretis-ilmiah
dan empiris, memunculkan bidang kajian bahasa yang disebut
sosiolinguistik dan linguistik kebudayaan (atau linguistik
antropologi). Kedua bidang makrolinguistik ini berhubungan
erat dan dekat sekali ranah sasaran kajiannya. Foley (1997)
menjelaskan bahwa linguistik kebudayaan adalah subbidang
linguistik yang berkenaan dengan tempat bahasa dalam konteks
sosial budaya yang lebih luas, peran bahasa dalam penempaan
dan pelestarian praktek-praktek budaya dan struktur sosial.
Sementara itu, sosiolinguistik memandang dan mengkaji bahasa
sebagai lembaga (bagian) sosial.
Foley (1997:3) berpendapat bahwa linguistik kebudayaan
memandang bahasa melalui prisma konsep, budaya antropologi
inti, seperti mencari makna yang tersembunyi di balik pemakaian,
salah pakai, atau bahasa tak terpakai, bentuk-bentuknya yang
berbeda, register, dan gaya. Linguistik kebudayaan merupakan
bidang kajian bahasa yang berupaya menemukan pengertian
(pemahaman) budaya. Sementara itu, salah satu bentuk
unsur sosial yang dipelajari dalam sosiolinguistik, di sisi lain,
adalah interaksi sosial. Sosiolinguistik berupaya menemukan
bagaimana pola tingkah laku linguistik yang bersentuhan
dengan pengelompokkan sosial dan berkaitan pula dengan
penghormatan strata dan nilai sosial pada kelompok tersebut,
seperti umur, jenis kelamin, kelas, ras, dan sebagainya. Adanya
keberhubungan antara bahasa, masyarakat, dan kebudayaan
telah menjadi pendapat bersama di kalangan para ahli linguistik
dan ilmu terkait.
Lebih jauh Foley (1997:14) mengemukakan bahwa budaya
adalah ranah praktis antar generasi yang dengannya makhluk
manusia dalam satu sistem sosial berkomunikasi satu sama lain.
Praktek-praktek budaya dapat verbal atau bukan-verbal yang
mesti komunikatif dalam pengertian bahwa praktek-praktek
kebudayaan itu terjadi sebagai bagian sejarah berkelanjutan
dari struktur sosial.

240
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Apabila dilihat lebih rinci dengan memperhatikan alam


bahasa sebagai sistem dan keberhubungannya dengan budaya,
pendapat Foley (1997:27 – 29) tentang bahasa perlu dijadikan
rujukan. Menurutnya, bahasa adalah sistem tanda dengan
kaidah-kaidah penggabungannya. Semua tanda linguistik
dalam bentuk ikon, indeks, atau simbol mempunyai struktur
ganda, kutub bentuk (form) dan kutub makna (meaning). Prinsip-
prinsip atau kaidah-kaidah penggabungan tanda-tanda untuk
membentuk kalimat itulah yang disebut tata bahasa bahasa
yang bersangkutan. Tata bahasa terbentuk secara alami sejalan
dengan budaya dan pola hidup masyarakat penuturnya. Hal ini
berarti bahwa bahasa tidak terlepas dari kebudayaan masyarakat
penuturnya, baik dalam arti luas maupun dalam arti khusus.
Selanjutnya, Kramcsch (2001:3, 6) berpendapat bahwa
bahasa adalah wahana mendasar bagi manusia untuk
melakukan kehidupan sosial. Sewaktu digunakan dalam konteks
komunikasi, bahasa terikat dengan budaya secara berlapis dan
rumit. Bahasa mengungkapkan kenyataan budaya; bahasa
mewujudkan kenyataan budaya; dan bahasa melambangkan
kenyataan budaya. Kunci bahwa bahasa dan budaya terjadi
secara alamiah terlihat pada bentuk sosialisasi atau penyesuaian
diri manusia yang beragam. Kramsch (2001:11) secara lebih
praktis mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara
yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda.
Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa
mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di
sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula.
Pendapat Kramsch seperti itu didasarkan dan diturunkan
dari teori relativitas linguistik. Pandangan relativitas linguistik
ini dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf dalam kajian mereka
tentang bahasa-bahasa Indian Amerika. Pandangan Whorf
tentang saling ketergantungan antara bahasa dengan pikiran
dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis ini lebih tegas
menyatakan bahwa struktur bahasa, suatu yang digunakan
secara terus menerus, mempengaruhi cara seseorang berpikir
dan berperilaku. Bahasa dapat pula dikatakan sebagai bagian
integral dari manusia; bahasa menyerap setiap pikiran dan
cara memandang dunia penuturnya (lihat lebih jauh Kramsch,

241
Ketut Artawa & Jufrizal

2001:77).
Teori relativitas linguistik tidak menyatakan bahwa
struktur linguistik mengatur secara ketat apa yang dipikirkan
atau dirasakan orang, melainkan struktur bahasa tersebut
cenderung memengaruhi apa yang sesungguhnya mereka
pikirkan terus-menerus. Menurut padangan ini, apa yang
dilakukan oleh Sapir dan Whorf mengarah ke dua gagasan
penting, yaitu:

(i) Ada satu pendapat akhir-akhir ini bahwa bahasa, sebagai kode,
mencerminkan kebiasaan dan ikatan budaya sebagai cara orang
berpikir;

(ii) Lebih dari pendapat Whorf, kita mengenal alangkah pentingnya


konteks dalam melengkapi makna yang terkemas dalam bahasa.

Gagasan pertama berhubungan dan budaya sebagai kemasan


makna dalam bahasa itu sendiri. Gagasan kedua berkenaan
dengan budaya sebagaimana diungkapkan melalui pemahaman
nyata bahasa (Kramsch, 2001:35).
Keberhubungan antara bahasa dengan budaya, sejauh ini,
tercermin dalam teori relativitas linguistik dan hipotesis Sapir-
Whorf. Oleh karena itu, kajian fenomena hubungan bahasa dan
budaya, pada umumnya, dikaitkan dengan teori dan hipotesis
itu. Menurut Wardhaugh (1988:22), pendapat yang ada tentang
keberhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang cukup
lama bertahan adalah:

(i) Struktur bahasa menentukan cara-cara penutur bahasa tersebut


memandang dunianya;

(ii) Budaya masyarakat tercermin dalam bahasa yang mereka pakai,


karena mereka menilai segala sesuatu dan melakukannya dengan
cara tertentu yang mencerminkan apa yang mereka nilai dan apa
yang mereka lakukan. Dalam pandangan ini, perangkat-perangkat
budaya tidak menentukan struktur bahasa tetapi perangkat-
perangkat tersebut jelas mempengaruhi bagaimana bahasa
digunakan dan mungkin menentukan mengapa butiran-butiran
budaya tersebut merupakan cara berbahasa;

(iii) Ada sedikit atau tidak ada hubungan antara bahasa dan budaya.

242
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Pernyataan bahwa struktur bahasa memengaruhi


bagaimana penuturnya memandang dunia, sebenarnya
telah diperkenalkan oleh Humbolt pada abad ke-19. Namun
sekarang, pernyataan itu dirujuk sebagai hipotesis Sapir-Whorf
atau hipotesis Whorfian (Wardhaugh, 1988:212). Pada beberapa
kesempatan, Fishman memberi komen tentang hipotesis Sapir-
Whorf tersebut. Di antara komennya yang penting adalah:

(i) jika penutur satu bahasa mempunyai kata-kata untuk


menggambarkan sesuatu dan penutur bahasa yang lain tidak
mempunyai kata untuk itu, maka penutur bahasa pertama akan
lebih mudah membicarakan hal-hal tersebut;

(ii) jika satu bahasa membuat perbedaan-perbedaan, sementara bahasa


lain tidak membedakannya, maka orang yang menggunakan bahasa
pertama akan lebih siap memikirkan perbedaan dalam lingkungan
yang memperhatikan perbedaan tersebut;

(iii) kategori gramatikal yang ada dalam satu bahasa tidak hanya
membantu pemakaiannya untuk memikirkan dunia dengan cara
tertentu tetapi juga membatasi pandangan tersebut.

Komen Fishman tersebut (lihat Wardhaugh, 1988:214) dapat


dikelompokkan menjadi komen netral (komen (i); komen lebih
kuat (komen (ii); dan komen terkuat (komen (iii).
Keberhubungan antara bahasa dengan kebudayaan tidak
hanya sekedar ada, melainkan keduanya saling-berhubungan
dengan kadar yang beragam secara timbal-balik (Jufrizal
dkk., 2009; Jufrizal dkk., 2014). Selain itu, bahasa adalah juga
alat komunikasi yang paling andal dalam berbagai rangkaian
peristiwa dan jalan hidup manusia. Duranti (1997:332)
mengatakan bahwa memiliki kebudayaan berarti memiliki
komunikasi, dan memiliki komunikasi berarti memiliki akses
terhadap bahasa. Dalam berbagai diskusi ilmiah, adanya
keberhubungan antara bahasa, kebudayaan, dan komunikasi
sudah tidak dipertanyakan lagi oleh ilmuwan bahasa dan
komunikasi.

243
Ketut Artawa & Jufrizal

Artawa (2005:35) menyatakan bahwa bentuk bahasa


yang diatur oleh kaidah ketata bahasaan membawa makna
tertentu sehingga pilihan bentuk bahasa menentukan makna
atau pesan yang akan dikomunikasikan. Di sisi lain, makna
atau pesan yang ingin disampaikan menentukan pilihan
bentuk bahasa yang akan digunakan. Dalam hal ini, bentuk dan
sistem kaidah tata bahasa mengemas dan membawa makna
bahasa yang ingin dikomunikasikan. Secara lintas bahasa dan
lintas budaya, komunikasi verbal yang terjadi dalam berbagai
peristiwa bahasa memperlihatkan bahwa manusia memiliki
dan menumbuhkembangkan budaya berbahasa yang berbeda.
Kenyataan ini juga berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai
alat komunkasi. Hal ini jelas merupakan bukti bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai tingkat kecerdasan tinggi
sehingga mampu “meragamkan” kiat berbahasa sesuai dengan
perkembangan tatanan sosial budayanya.
Artawa (2005:36 – 37) menambahkan bahwa hasil kajian
yang dilakukan oleh ahli tipologi linguistik mengarah ke upaya
penipologian bahasa-bahasa secara lintas bahasa dengan skala
luas. Salah satu bentuk kajian kebahasaan adalah berpijak pada
bentuk dan kaidah gramatikal bahasa yang bersangkutan dan
kemudian mengaitkannya dengan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Duranti (1997:162) dalam hal ini menyatakan
bahwa struktur dan pilihan gramatikal dipandang mempunyai
hubungan dengan sejumlah parameter, termasuk hakikat
tindakan dan keadaan yang melatarbelakangi informasi.
Ini berarti bahwa struktur dan pilihan gramatikal yang
digunakan oleh penutur bukanlah hal yang “lepas” dari fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi. Struktur gramatikal bahasa
menggambarkan perilaku berbahasa penuturnya dan budaya
berbahasa secara umum (lihat juga Jufrizal dkk., 2014).
Seiring dengan perilaku tipologi gramatikal sebagai
pembawa makna bahasa, makna yang dikomunikasikan
ditentukan pula oleh fungsi dan faktor semantis-pragmatis.
Kaidah dan sistem ketata bahasaan yang dapat disebut sebagai
tipologi gramatikal tersebut lebih-kurang “selalu dipatuhi”
oleh masyarakat penutur satu bahasa dalam berkomunikasi.
Mengabaikan tata bahasa dan tipologi gramatikal satu bahasa

244
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

jelas akan merusak keutamaan bahasa sebagai alat komunikasi


itu sendiri. Berkenaan dengan itu, komunikasi verbal yang baik
adalah komunikasi dengan bahasa sesuai dengan kealamiahan
dan keterpakaian bahasa itu. Lebih jauh, perihal tipologi
bahasa dapat dikaitkan dengan komunikasi lintas budaya (lihat
Artawa, 2005).Ini berarti bahwa komunikasi verbal yang tidak
memperhatikan tipologi gramatikal bahasa yang digunakan
adalah komunikasi yang tidak bermutu secara linguistik
karena boleh jadi memunculkan berbagai tafsiran makna yang
mengarah ke pembenaran sipihak, bukan kebenaran bersama.
Keadaan seperti ini jelas akan membuat komunikasi menjadi
terhalang.
Komunikasi lintas budaya adalah bagian peradaban
manusia modern karena zaman mutakhir ini sudah hampir
tidak ada lagi manusia yang hidup menyendiri. Komunikasi
lintas budaya menjadi ciri kehidupan modern dalam arti bahwa
pada umumnya manusia yang hidup pada abad ini adalah
dwibahasawan atau bahkan anekabahasawan. Berkomunikasi
dalam bahasa kedua atau bahasa asing sangat membutuhkan
informasi ketata bahasaan yang ada dalam bahasa yang
(sedang) digunakan. Berkomunikasi dalam satu bahasa tanpa
memedulikan fitur dan sistem ketata bahasaannya akan
melahirkan bentuk komunikasi dalam pidgin atau kreol. Tentu
saja hal ini bukan harapan dari pembelajaran bahasa kedua atau
bahasa asing (lihat lebih jauh Artawa, 2005; Jufrizal, 2012).
Perlu juga dikemukakan bahwa mengetahui budaya
sama dengan mengetahui bahasa. Baik bahasa maupun budaya
merupakan wujud hal yang bersifat kejiwaan. Kesantunan
berbahasa adalah sebagian wujud kejiwaan (baik pribadi
maupun kelompok) yang dilahirkan bersamaan dengan
pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi. Ini juga berarti
bahwa kebudayaan adalah komunikasi. Mengatakan kebudayaan
adalah komunikasi berarti melihat dan memahami kebudayaan
itu sebagai sistem tanda. Mempercayai bahwa bahasa adalah
komunikasi juga berarti bahwa teori seseorang (atau kelompok
orang) tentang dunia mesti dikomunikasikan agar bisa hidup
(lihat Duranti, 1997:27, 33). Dengan demikian, kajian tipologi
linguistik mempunyai kebermaknaan dan sumbangan informasi

245
Ketut Artawa & Jufrizal

penting dalam peristiwa komunikasi lintas-budaya.

7.3 Tipologi Linguistik, Perubahan Bahasa, dan Budaya


Berbahasa
Alam jagat raya dan semua isinya selalu mengalami
proses evolusi; bergeser dan berubah secara pelan-alami. Tidak
terkecuali, proses evolusi juga terjadi pada bahasa pada setiap
tatarannya. Evolusi bahasa bermula dari pergeseran kecil dan
dalam waktu tertentu sampai pada perubahan. Pemicu evolusi
bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar,
yaitu faktor linguistik dan faktor sosial budaya manusia sebagai
penutur bahasa itu. Pergeseran dan perubahan bahasa yang
terjadi pada setiap lapis bahasa mempunyai tingkat kecepatan
yang berbeda-beda. Artinya, ada lapis atau tataran bahasa yang
lebih cepat bergeser dan berubah sehingga memerlukan waktu
yang tidak terlalu lama. Sementara itu, ada tataran lain dalam
bahasa yang membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk dapat
diamati. Pergeseran/perubahan bahasa pada tataran bunyi dan
kata (atau frasa), misalnya, dapat terjadi dalam rentang lebih
singkat jika dibandingkan dengan perubahan leksikal dan
perubahan makna. Sementara itu perubahan gramatikal adalah
perubahan yang terjadi pada bahasa dalam rentang masa yang
jauh lebih lama lagi. Itulah sebabnya perubahan gramatikal
sering tidak disadari adanya kecuali melalui pengamatan
saksama dengan memperbandingkan data bahasa dalam dua
masa yang agak panjang (diakronis) (lihat McMahon, 1999;
Croft, 2000; Schendle, 2001; Campbell, 2004; Jufrizal, 2013;
Jufrizal dkk., 2013).
Pergeseran dan perubahan bahasa secara makrolinguistik
dapat dipahami sebagai fenomena sejarah dan evolusi biologis
meskipun kaitannya dengan evolusi ilmu biologi ini masih
diperdebatkan. Akan tetapi, tidak dapat diingkari bahwa teori
evolusi bahasa dan geolinguistik sudah menjadi pokok-pokok
kajian dalam linguistik yang turut memperkaya khasanah
linguistik mutakhir (Croft, 2000; Schendle, 2001). Berbagai
alasan dan faktor penyebab mengapa bahasa bergeser dan
berubah telah dan terus dibahas oleh para ahli dari berbagai sisi
dan dengan pendekatan teori yang berbeda-beda. Berdasarkan

246
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

berbagai pendapat dan hasil penelitian linguistik terkait, Schendl


(2001:67 – 80) mengemukakan bahwa perubahan bahasa itu
dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui tiga pendekatan,
yaitu (i) pendekatan fungsional; (ii) pendekatan psikolinguistik;
dan (iii) pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan fungsional
yaitu penjelasan tentang ihwal fenomena bahasa yang
dipusatkan pada bahasa sebagai sistem abstrak sebab daya-
dalam dari sistem bahasa itu sendirilah yang menyebabkan
terjadikan perubahan bahasa. Pendekatan psikolinguistik
adalah penjelasan tentang perubahan bahasa yang dikaitkan
dengan proses kognitif, mentalistis, dan psikologis yang terjadi
dalam otak dan pikiran penutur. Sementara itu, pendekatan
sosiolinguistik adalah penjelasan yang melihat secara saksama
alasan dan faktor perubahan bahasa berdasarkan peran penutur
sebagai makhluk sosial budaya (lihat juga Jufrizal, 2013; Jufrizal
dkk., 2013/2014).
Pendapat di atas menyiratkan bahwa pergeseran dan
perubahan bahasa dipicu oleh berbagai faktor linguistik,
faktor kejiwaan-pikiran, dan faktor sosial budaya penutur dan
masyarakat penuturnya. Secara sosiolinguistik, pergeseran
dan perubahan bahasa sering dikaitkan dengan fenomena
kebertahanan, pemertahanan, kelahiran, dan kematian bahasa.
Faktor sosial budaya mempunyai peran penting dalam
pergeseran dan perubahan bahasa adalah status ekonomi,
status sosial, status sosio-historis, status bahasa itu sendiri,
dan status demografis penuturnya (lihat Appel dan Muysken,
1988). Pergeseran dan perubahan bahasa tidak bergantung
pada satu faktor saja, melainkan terkait dengan berbagai faktor
kebahasaan dan bukan-kebahasaan, baik secara bersamaan
maupun sebagian. Dengan demikian, pergeseran dan perubahan
fitur-fitur kebahasaan dalam satu bahasa adalah hal yang lazim
dan alami. Kelaziman itu dapat pula terjadi dengan pergeseran
tipologi gramatikal suatu bahasa, termasuk tipologi gramatikal
BM (Jufrizal, 2013 dan Jufrizal dkk., 2013/2014).
Meskipun perubahan gramatikal, termasuk perubahan
tipologi gramatikal, adalah pergeseran dan perubahan bahasa
yang membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat dicermati
dan disadari, namun perubahan dan evolusi bahasa tetap terjadi

247
Ketut Artawa & Jufrizal

pada tataran itu (Schendl, 2001; Jufrizal, 2013/2014). Dalam


kaitannya dengan perubahan (tipologi) gramatikal, Dixon (1994)
menjelaskan bahwa kemungkinan itu dapat terjadi. Dalam hal ini,
bahasa aglutinasi dapat berubah menjadi bahasa infleksi, bahasa
isolasi dapat mengarah ke bahasa aglutinasi, atau sebaliknya.
Jika ditinjau dari kemungkinan pergeseran pada sistem aliansi
gramatikal, dapat pula dinyatakan bahwa, bahasa bertipologi
ergatif dapat mengarah menjadi bahasa akusatif, atau menjadi
bahasa aktif, dan/atau sebaliknya. Di antara pemicu luar bahasa
yang mempercepat pergeseran dan perubahan bahasa pada
zaman mutakhir ini adalah persentuhan budaya dan bahasa
yang semakin cepat dan sering, internasionalisasi informasi dan
pendidikan, dan kebutuhan akan informasi.
Manusia, makhluk cerdas dan berbudaya, selalu berpikir
dan berkomunikasi dengan berbagai cara. Cara berkomunikasi
manusia yang paling cerdas dan menakjubkan adalah komunikasi
verbal yang menggunakan bahasa. Tidak dapat dimungkiri
bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mencipta dan
mengembangkan bahasa sepanjang sejarah peradabannya
sebagai bagian dari kebudayaan. Keberadaan bahasa sebagai
alat komunikasi telah memungkinkan manusia menata dan
mengembangkan taraf hidup sepanjang waktu dengan bantuan
unsur-unsur kebudayaan lain. Berkomunikasi dengan bahasa
merupakan “keistimewaan” manusia yang menjadikan mereka
bisa hidup bermasyarakat dan mengembangkan budi daya yang
dimiliki. Oleh karena itu, bahasa merupakan bagian penting
dari kebudayaan dan sekaligus adalah wahana penyebar dan
pemertahanan butir-butir kebudayaan yang ada (Duranti, 1997;
Foley, 1999).
Pinker (2007:3), dalam pandangan filosofisnya, me­
ngatakan bahwa hubungan bahasa dengan manusia sungguh
sangat dekat sehingga boleh dikatakan manusia selalu
“berbahasa”. Jika dia tidak berbicara (berbahasa) dengan orang
lain, dia berkemungkinan besar berbicara dengan dirinya
sendiri, dengan hewan piaraannya, atau bahkan dengan benda
mati di lingkungannya. Bahkan orang yang menderita afasia
pun akan selalu berbahasa dengan kemampuannya. Ini berarti
bahwa sesederhana apa pun budaya dan pola kehidupan

248
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

manusia, mereka pasti menggunakan bahasa. Jelas akan sangat


aneh jika ada manusia dan/atau kelompok manusia yang hidup
tanpa bahasa; boleh jadi itu bukan manusia.
Kedekatan dan keberhubungan berlapis antara bahasa
dan kebudayaan masyarakat penuturnya sudah tidak menjadi
perdebatan lagi di kalangan ilmuwan bahasa, terutama
ilmuwan sosiolinguistik dan linguistik kebudayaan. Tidak dapat
diingkari bahwa apa yang terjadi pada kebudayaan akan turut
memengaruhi bahasa. Sebagai gejala alam, kebudayaan manusia
selalu berubah, baik dalam tataran evolusi (perubahan lambat-
alami) maupun revolusi (perubahan cepat). Tidak terkecuali
ini semua terjadi pula pada bahasa; bahasa dengan kadar
tertentu selalu bergeser dan berubah seiring dengan pergeseran
dan perubahan bahasa (lihat Schendl, 2001; McMahon, 1999).
Kejadian ini adalah keniscayaan yang berlaku untuk semua
wujud di alam jagad raya ini.
Pergeseran tipologis dan budaya berbahasa beserta
perangkatnya tidak dapat dihindari atau ditahan secara mutlak.
Jufrizal dkk. (2014), misalnya, menyatakan bahwa berdasarkan
sifat-perilaku gramatikal yang dikaji secara tipologis diperkirakan
bahwa BM saat ini sedang dalam proses perubahan dari bahasa
bertipologi ergatif menuju ke bahasa akusatif. Ada tiga asumsi
dasar yang mendukung adanya pergeseran tipologi gramatikal
dalam bahasa daerah ni. Pertama, tipologi gramatikal BM yang
cenderung berada di antara dua dikotomi: “akusatif – ergatif”
atau bahasa netral sehingga konstruksi gramatikal klausanya
memperlihatkan adanya struktur akusatif dan ergatif, meskipun
untuk bahasa ragam tulis-baku kecenderungannya lebih sebagai
bahasa akusatif. Kedua, data bahasa ragam adat-sastra, naskah-
naskah lama, dan sebagian ragam sehari-hari yang digunakan
oleh penutur usia tua, dan untuk tujuan-tujuan berbahasa santun,
struktur klausa ergatif lebih banyak digunakan. Hal ini berarti
bahwa BM lama yang masih dapat dicermati melalui ragam
adat-sastra, bahasa pasambahan, dan naskah-naskah kuno
cenderung bertipologi ergatif. Ketiga, BM ragam biasa, bahasa
tulis-baku, dan ragam bahasa generasi muda memperlihatkan
kecenderungan sebagai bahasa akusatif.
Secara teoretis, asumsi bahwa tipologi gramatikal BM

249
Ketut Artawa & Jufrizal

bergeser dari bahasa ergatif menuju ke bahasa akusatif (lihat hasil


penelitian Jufrizal dkk., 2014) cukup berterima karena bahasa
manusia berkembang dan berubah seiring dengan perubahan
dan perkembangan budaya masyarakat penuturnya. Bahasa
manusia turut berevolusi akibat berbagai faktor linguistik dan
bukan linguistik sebagai bagian dari wujud jagat-raya. Evolusi
bahasa dapat bermula dari pergeseran kecil dan dalam waktu
yang cukup panjang sampai pada perubahan, kematian, atau
kemunculan bahasa baru. Pergeseran dan perubahan bahasa
dapat terjadi pada setiap lapis bahasa dengan tingkat kecepatan
yang berbeda-beda. Artinya, ada lapis atau tataran bahasa yang
lebih cepat bergeser dan berubah dan tataran lainnya butuh
waktu yang relatif lebih lama. Pergeseran/perubahan bahasa
pada tataran bunyi, kata, dan frasa dapat terjadi dalam rentang
lebih singkat jika dibandingkan dengan perubahan leksikal dan
perubahan makna. Sementara itu perubahan gramatikal adalah
perubahan yang terjadi pada bahasa dalam kurun masa yang
lebih panjang lagi. Itulah sebabnya perubahan gramatikal sering
tidak disadari adanya kecuali melalui pengamatan seksama
dengan memperbandingkan data bahasa dalam dua masa yang
agak panjang (diakronis) (lihat McMahon, 1999; Croft, 2000;
Schendle, 2001; Campbell, 2004).
Perihal evolusi bahasa dan geolinguistik sudah menjadi
pokok-pokok kajian dalam linguistik yang turut memperkaya
khasanah linguistik mutakhir (Croft, 2000; Schendle, 2001).
Alasan dan faktor penyebab mengapa bahasa bergeser dan
berubah sudah dibahas oleh para ahli dari berbagai sisi dan
dengan pendekatan teori yang berbeda-beda. Pergeseran dan
perubahan bahasa, pada semua lapisannya, boleh jadi dipicu
oleh faktor linguistik, faktor kejiwaan, dan faktor sosial budaya
(masyarakat) penuturnya. Ini berarti bahwa pergeseran dan
perubahan bahasa tidak bergantung pada satu faktor melainkan
terkait dengan berbagai faktor kebahasaan dan bukan-
kebahasaan. Dalam kaitannya dengan ini, adanya pergeseran
dan perubahan fitur-fitur kebahasaan dalam satu bahasa adalah
hal yang lazim, demikian juga halnya dengan pergeseran
tipologi gramatikal dalam bahasa-bahasa manusia.
Hasil penelitian Jufrizal dkk. (2013, 2014) yang berkenaan

250
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

dengan tipologi bahasa dan perubahan budaya berbahasa da-


lam BM menunjukkan bahwa kebanyakan konstruksi klausa BM
ragam adat adalah klausa ergatif dalam bentuk konstruksi pe-
nopikalan atau pasif berpemarkah ba-, seperti contoh berikut.

(296) Bantuan bareh miskin lah kami tarimo.


bantuan beras miskin-TOP telah kami terima
‘Bantuan beras miskin telah kami terima’

(297) Pituah ayah ka ambo pacik arek.


petuah ayah-TOP akan saya pegang erat
‘Petuah ayah akan saya pegang teguh’

(298) Aia lai ba- minum, siriah lai pulo ba- kunyah.
air ada ERG-minum, sirih ada pula ERG-kunyah
‘Air diminum, sirih telah dikunyah pula’

(299) Masalah nagari ba- tarang-an elok-elok di tangah sidang.


masalah negeri ERG-terang-KAU baik-baik di tengah sidang
‘Masalah negeri dijelaskan baik-baik di tengah sidang’

Konstruksi BM ragam adat adalah bentuk ujaran (ragam bahasa)


yang dianggap mempunyai nilai kesantunan berbahasa tinggi oleh
penuturnya. Diperkirakan bahwa besar kemungkinan konstruksi
dasar klausa BM tempo dulu itu mirip dengan apa yang dapat
diamati melalui BM ragam adat itu.
Klausa dasar BM ragam tulis-formal dan konstruksi klausa
yang lazim dijumpai di kalangan penutur muda usia dan penutur
terpelajar, di sisi lain, memperlihatkan kecederungan konstruksi
klausa akusatif (S = A, ≠ P). Berikut adalah konstruksi klausa yang
lazim digunakan untuk berkomunikasi masa kini dan juga dijumpai
dalam bahasa tulis-formal.

(300) Kami alun juo ma- narimo bantuan gampo lai.


kami belum juga AKT-terima bantuan gempa lagi
‘Kami belum juga menerima bantuan gempa sampai saat
ini’

(301) Mulai ari ko, pangulu nagari mam-buek aturan baru di balai
adat.
mulai hari ini, penghulu negeri AKT-buat aturan baru di
balai adat

251
Ketut Artawa & Jufrizal

‘Mulai hari ini, penghulu negeri membuat aturan baru di


balai adat’

(302) Mahasiswa kami lah ma- mintak pandapek wakia dari jurusan
lain.
mahasiswa kami sudah AKT-minta pendapat wakil dari
jurusan lain
‘Mahasiswa kami sudah meminta pendapat wakil dari
jurusan lain’

(303) Masalah ko di- bao dulu ka musawarah umum.


masalah ini PAS-bawa dulu ke musyawarah umum
‘Masalah ini dibawa dulu ke musyawarah umum’

Dalam perkembangan budaya dan BM dewasa ini, penutur


usia muda dan generasi yang berpendidikan formal lebih banyak
menggunakan BM ragam biasa dengan konstruksi aktif – pasif
yang lazim ditemukan dalam bahasa akusatif. Keterpakaian
BM ragam adat sudah makin berkurang, kecuali hanya untuk
ranah-ranah tertentu. Bagi kalangan usia tua, konstruksi aktif
dan pasif dengan pemarkah di- jarang dipakai untuk berbahasa
santun. Akan tetapi di kalangan generasi muda pilihan
konstruksi aktif dan pasif di- sudah mulai lazim dipakai untuk
tujuan berbahasa santun. Dalam hal ini, para penutur BM hanya
menggunakan fitur-fitur suprasegmental untuk menekankan
nilai kesantunannya. Sudah mulai terlihat pemakaian konstruksi
aktif, yang berpenonjol pelaku perbuatan dan subjek gramatikal
klausa, banyak menggantikan keterpakaian konstruksi pasif ba-
atau penopikalan dalam berbagai peristiwa bahasa sehari-hari.
Ini berarti bahwa budaya menyembunyikan peran agen atau
metaforis dalam budaya berbahasa orang Minangkabau tempo
dulu sudah bergeser menjadi budaya yang mulai menonjolkan
agen atau subjek gramatikal dalam konstruksi akusatif (lihat
Jufrizal dkk., 2014).
Berdasarkan sajian data dan penelaahan atas BM, dapat
dikemukakan bahwa kajian tipologi linguistik juga mempunyai
peran dalam mencermati dan menelaah perubahan bahasa
dan budaya. Dalam hal ini, tipologi linguistik dapat dibawa ke
dalam ranah linguistik diakronis. Jika dikaitkan dengan tataran
makrolinguistik, hasil kajian tipologi linguistik boleh juga

252
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

dijadikan dasar pijakan untuk menafsirkan perubahan bahasa


masa datang. Ada kemungkinan bahwa untuk masa yang akan
datang, akibat persentuhannya dengan bahasa dan budaya lain,
tipologi gramatikal suatu bahasa dapat bergeser dan berubah.
Pergeseran dan perubahan tipologi gramatikal suatu bahasa
terjadi secara alami atau dipercepat oleh faktor sosial budaya
lainnya yang menyertai perubahan dan perkembangan hidup
manusia sebagai penutur bahasa tertentu (lihat Dixon, 1994;
Croft, 2000; Kramsch, 2001).
Bergesernya tipologi gramatikal satu bahasa, bergesernya
nilai kesantunan berbahasa dalam bahasa tersebut disebabkan
oleh bergesernya budaya masyarakat secara keseluruhan.
Masyarakat penutur bahasa tersebut sudah mulai meninggalkan
budaya berbahasa masa lalu dan menyesuaikannya dengan
keadaan sekarang. Sebagaimana diketahui, jika suatu kebiasaan
sudah berlaku umum dan diikuti oleh kelompok masyarakat
yang makin luas, hal itu akan menjadi hal yang tidak aneh lagi;
itu sudah menjadi budaya dengan sendirinya.
Sehubungan dengan itu, dipercayai bahwa konstruksi
gramatikal yang berbeda dalam setiap bahasa manusia
mempunyai keberhubungan dengan makna, nilai, dan budaya
masyarakat penuturnya. Oleh karena itu, pemilihan dan
pemakaian berbagai ragam konstruksi gramatikal klausa yang
ada pada setiap bahasa manusia oleh penuturnya berkenaan
dengan tujuan komunikasi, nilai pesan, dan budaya masyarakat
penuturnya. Artinya, bahwa nilai kesantunan berbahasa
yang berbeda diungkapkan melalui konstruksi gramatikal
(klausa) berbeda. Apa yang dinyatakan oleh Kramsch (2001:11)
bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena
mereka berpikir dengan cara yang berbeda cukup berterima.
Secara teoretis ini disebabkan oleh mereka berpikir dengan
cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara
mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara
yang berbeda pula. Pendapat seperti ini adalah dasar pemikiran
teori relativitas linguistik.
Kenyataan bahwa konstruksi gramatikal yang berbeda
memuat nilai kesantunan berbahasa yang berbeda juga berarti
bahwa kebudayaan ada dalam komunikasi verbal. Kesantunan

253
Ketut Artawa & Jufrizal

berbahasa, misalnya, merupakan sebagian kiat berbahasa yang


mendukung keberhasilan penyampaian pesan (berkomunikasi).
Kesantunan berbahasa merupakan fenomena semesta. Namun,
secara khusus setiap bahasa mempunyai pilihan konstruksi
gramatikal yang berbeda secara lintas bahasa untuk mengemas
nilai kesantunan berbeda-beda karena budaya berbahasa
antarkelompok masyarakat penutur juga berbeda. Hasil-hasil
kajian tipologi linguistik turut memberi “sumbangan” terhadap
kajian perubahan bahasa dan budaya.
7.4 Kajian Tipologi Linguistik untuk Pembelajaran Bahasa
Mempelajari fenomena kebahasaan boleh jadi menarik,
menantang, dan sering pula memusingkan dan menjemukan.
Bagi ahli dan pemerhati bahasa, semua itu adalah faktor
pendorong untuk lebih tekun dan sungguh-sungguh menelaah
hal-ihwal kebahasaan bahasa manusia. Dalam kaitannya dengan
ini, para pengajar dan pembelajar bahasa, apakah itu bahasa
ibu (bahasa pertama), bahasa kedua, atau bahasa asing, perlu
memperhatikan deskripsi dan penjelasan tentang bahasa dan
selanjutnya mengemas semua itu sedemikian rupa agar dapat
menjadikannya sebagai bahan pembelajaran yang menarik,
sesuai tujuan, dan tidak menyalahi kealamiahan bahasa yang
dipelajari itu (lihat Jufrizal, 2013a).
Adalah sesuatu yang cukup aneh apabila ada pengajaran
dan pembelajaran bahasa yang tidak memedulikan kealamiahan,
fitur-fitur tata bahasa, dan pemakaian komunikatif bahasa yang
bersangkutan. Bahasa itu mungkin dan bisa diajarkan dan
dipelajari hanya karena bahasa itu mempunyai sistem yang lebih-
kurang dapat dikaidahkan. Deskripsi dan hasil-hasil penelitian
linguistik adalah penyumbang bahan teoretis kebahasaan bagi
materi pengajaran-pembelajaran bahasa yang bersifat praktis
dan pedagogis. Menurut Stern (1994:166), pendapat yang
mengemukakan bahwa teori pengajaran bahasa menyiratkan
perlunya teori bahasa dan bahwa linguistik mempunyai
sumbangan langsung bagi pendidikan bahasa telah makin
berterima di kalangan ahli dan praktisi. Meskipun pendapat ini
masih dikritisi oleh beberapa ahli, namun sumbangan utama
teori dan deskripsi linguistik terhadap pengajaran-pembelajaran
bahasa tidak dapat ditolak. Di antara sumbangan itu adalah:

254
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

(i) deskripsi bahasa berperan sebagai dasar penting untuk


merumuskan kurikulum dan materi pembelajaran bahasa; (ii)
memberi penekanan dan latihan pada bentuk dan fitur-fitur
bahasa yang dianggap penting dan sulit untuk dipahami oleh
pembelajar; (iii) analisis kontrastif dapat dijadikan salah satu
prinsip pengambangan kurikulum bahasa; (iv) pengutamaan
pada ujaran memerlukan deskripsi bahasa; dan (v) pola-pola
linguistik dapat menjadi unit-unit pembelajaran dan pengujian
bahasa.
Para ahli, peneliti, dan pemerhati bahasa telah dan terus
berupaya untuk mengungkapkan kesemestaan dan hakikat
bahasa manusia dengan berbagai cara, pendekatan, dan dasar
pengkajian. Menurut Comrie (1989:1 – 5), ada dua pendekatan
metodologis utama yang digunakan oleh para ahli untuk
mengungkapkan kesemestaan bahasa (language universals)
sebagai upaya untuk mengungkapkan dan menjelaskan hakikat
bahasa manusia secara mendasar. Di satu sisi, sebagian linguis
berpendapat bahwa untuk melakukan penelitian kesemestaan
bahasa diperlukan data yang banyak dari berbagai jenis dan
kelompok bahasa manusia di muka bumi. Berdasarkan data
yang beragam dan “rimbun” secara lintas bahasa itu akan
dapat dirumuskan kemiripan, perbedaan, atau “pertalian”
genetis bahasa-bahasa yang ada untuk dapat dikelompokkan
sedemikian rupa secara gramatikal dan struktural. Di sisi lain,
ada sekelompok linguis lainnya berpendapat bahwa untuk
sampai ke tata bahasa semesta dan penjelasan logis tentang
hakikat bahasa manusia dapat dilakukan dengan mengkaji
secara mendalam dan tuntas beberapa bahasa lalu membuat
generalisasi untuk bahasa-bahasa yang lain.
Para ahli dan peneliti bahasa yang masuk ke kelompok
pertama berupaya untuk mencermati sifat-perilaku gramatikal
bahasa (-bahasa) secara lintas bahasa lalu membuat perbandingan
dan pengelompokan bentuk dan pola gramatikal bahasa
(-bahasa) berdasarkan kemiripan dan perbedaan-perbedaan
yang ada. Pendekatan metodologis seperti ini lah yang menjadi
pijakan penelitian tipologi linguistik yang melahirkan tipologi
bahasa. Ahli dan peneliti bahasa yang mendasari kajiannya

255
Ketut Artawa & Jufrizal

pada kelompok kedua, di antaranya, diwakili oleh aliran tata


bahasa transformasi generatif yang dipelopori oleh Chomsky
dan dikembangkan lebih jauh oleh ahli aliran tata bahasa
mentalistik-formal lainnya. Kedua jenis pendekatan metodologis
ini berkembang dengan arah dan bentuk kajiannya masing-
masing sebagai bagian dari bentuk kajian linguistik. Arah dan
bentuk kajian kebahasaan yang berkembang dalam linguistik
dapat pula dikelompokkan sebagai kajian mikrolinguistik dan
makrolinguistik, atau linguistik teoretis dan linguistik terapan.
Pengajaran dan pembelajaran bahasa, pada dasarnya,
adalah perpaduan antara linguistik dan ilmu pendidikan
(pedagogi) dan dikemas secara teoretis-praktis sebagai bagian
dari linguistik terapan. Pengajaran-pembelajaran bahasa
memanfaatkan butir-butir terkait dari semua bentuk kajian
linguistik dan tata bahasa disertai kemasan pedagogis-filosofis
yang dikembangkan melalui pendekatan dan metodologi
yang bersesuaian dengan tujuan dan tingkat pembelajaran.
Seiring dengan bahasa yang terdiri atas lapisan bentuk, makna,
fungsi, dan nilai, maka pengajaran-pembelajaran bahasa mesti
memperhatikan keberhubungan antara ke empat lapisan itu.
Adalah sesuatu yang aneh jika pengajaran-pembelajaran bahasa
lebih mementingkan salah satunya secara berlebihan.
Berdasarkan pendapat dan hasil penelitian ilmuwan bahasa
dan pembelajaran bahasa, Jufrizal (2013a) menyatakan bahwa
pengajaran-pembelajaran bahasa yang lebih mengutamakan
bentuk bahasa akan menyebabkan pembelajar berbahasa seperti
robot; berbahasa secara kaku, tidak alami, dan penuh keraguan.
Apabila pengajaran-pembelajaran bahasa lebih bertumpu pada
makna akan menjadikan pembelajar kehilangan seni berbahasa
dan kehilangan bentuk-bentuk bahasa lazim. Lalu, jika
pengajaran-pembelajaran bahasa yang hanya mementingkan
fungsi bahasa saja (sebagai alat komunikasi), maka pembelajar
akan berbahasa secara “serampangan” tanpa memedulikan tata
bahasa dan bentuk alami bahasa yang dipelajarinya. Sementara
itu, pengajaran-pembelajaran bahasa yang mengutamakan nilai
(sosial budaya) bahasa, maka semuanya akan sangat rumit
bagi pembelajar tingkat pemula dan menengah. Seyogianya,
pengajaran-pembelajaran bahasa boleh mengutamakan salah

256
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

satu dari yang empat itu, tetapi tetap mengaitkannya dengan


tiga lapisan lain.
Teori dan pendekatan kajian linguistik, di sisi lain, juga
telah dan terus berkembang sesuai dengan dasar filosofis,
cara pandang, dan tujuan pengkajiannya. Sejarah linguistik
sejak zaman kuno, tradisional, struktural, transformasi-
generatif, fungsional, dan beberapa bentuk kajian yang
merupakan pengembangan dari teori-teori tersebut menandai
perkembangan linguistik dari zaman ke zaman. Semuanya,
terlepas dari kekuatan dan kelemahan masing-masing, bertujuan
untuk mengungkapkan hakikat bahasa secara lebih rinci,
mendalam, dan komprehensif. Salah satu teori dan pendekatan
kajian kebahasaan yang mengutamakan kealamiahan struktur
dan pola-pola gramatikal bahasa (-bahasa) manusia adalah
tipologi linguistik. Tujuan kajian tipologi linguistik itu, secara
sederhana, adalah untuk menipologikan (mengelompokkan)
bahasa (-bahasa) berdasarkan kesamaan, kemiripan, atau
perbedaan pola-pola gramatikal lahir yang bersifat alami secara
lintas bahasa (Artawa, 2004; Jufrizal, 2013a).
Berdasarkan kajian tipologi gramatikal yang bersifat lintas
bahasa tersebut, ternyata bahasa-bahasa manusia di muka bumi
ini mempunyai persamaan dan perbedaan sistem dan pola-
struktur gramatikal lahir yang dapat diperbandingkan. Dengan
demikian, kealamiahan dan pentipologian bahasa (-bahasa)
manusia, secara mendasar, dapat dicermati berdasarkan sistem
dan pola-pola lazim sruktur-gramatikal lahirnya. Kemiripan dan
perbedaan sistem gramatikal lahiriah bahasa merupakan ciri
khas dari bahasa tersebut yang secara alami biasanya diturunkan
dari satu keluarga atau kelompok bahasa secara genetis. Apabila
pengajaran-pembelajaran bahasa tidak memedulikan ciri khas
sistem dan pola gramatikal bahasa (yang dipelajari) maka itu
akan “merusak” kealamiahan bahasa tersebut. Akibatnya,
bahasa yang dipelajari itu akan diterima dan dipahami oleh
pembelajar bukan sebagai bahasa, melainkan hanya sebagai
kode yang dimaknai dan digunakan sebagai alat komunikasi
saja; katakanlah sebagai pidgin, creole, atau bahasa simbolis
yang muncul sebagai “media darurat” dalam berkomunikasi
(Mallinson dan Blake, 1981; Jufrizal, 2013a).

257
Ketut Artawa & Jufrizal

Jufrizal (2013a) lebih jauh mengungkapkan bahwa


pengajaran-pembelajaran bahasa yang baik, tentu tidak hanya
sekadar untuk memperkenalkan bahasa tersebut pada tataran
pemakaian komunikasi praktis-sederhana. Lebih-lebih bagi
pembelajar tingkat lanjut-dewasa, pengenalan dan penjelasan
tentang hakikat bahasa manusia perlu menyertai pengajaran-
pembelajaran bahasa, baik bahasa pertama, kedua, maupun
bahasa asing. Hakikat bahasa telah dan terus dipelajari oleh
pemerhati dan ahli bahasa dari berbagai segi. Namun, ini bukan
berarti bahwa pengajaran-pembelajaran bahasa mesti mengikuti
semua bentuk dan hasil kajian linguistik yang sebagiannya hanya
diperlukan untuk kajian teoretis-filosofis kebahasaan. Di antara
bentuk dan hasil kajian linguistik yang dapat dimanfaatkan
untuk mendukung keberhasilan pengajaran-pembelajaran
bahasa di tingkat perguruan tinggi dan bagi pembelajar tingkat
lanjut-dewasa adalah telaah dan hasil kajian Tipologi Linguistik
(Linguistic Typology).
Tipologi linguistik berupaya mencermati kesamaan,
kemiripan, atau perbedaan struktural yang ada di antara
bahasa-bahasa secara lintas bahasa. Hasil kajiannya melahirkan
deskripsi lahiriah bahasa (-bahasa) manusia berdasarkan fitur-
fitur strukturalnya yang dapat dikelompokkan sedemikian
rupa; inilah, yang secara sederhana, disebut tipologi bahasa.
Seperti dikemukakan di atas, kajian tipologi linguistik bersifat
perbandingan lintas bahasa, alamiah-lahiriah, dan bebas teori
formal. Tipologi linguistik adalah teori dan kerangka kerja
pengkajian untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan
ciri-ciri dan sifat perilaku gramatikal lahirnya. Sebutan bahasa
(-bahasa) sebagai bahasa akusatif, ergatif, aktif, dan lain-lain
adalah sebutan untuk kelompok bahasa (tipologi bahasa) yang
mempunyai ciri khas gramatikal-lahiriah yang kurang lebih
adalah sama (Croft, 1993; Artawa, 2005; Jufrizal, 2007; Jufrizal,
2012).
Sebagai bagian dari unsur kebudayaan manusia, bahasa
tumbuh dan berkembang sesuai dengan dasar, bentuk, dan
arah perkembangan kebudayaan manusia di muka bumi ini.
“Kehebatan” manusia dibandingkan makhluk lain di antaranya
ditunjukkan oleh adanya ribuan bahasa beserta dialek-

258
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

dialeknya. Meskipun ada lebih dari 6000 bahasa manusia, para


ahli berkeyakinan bahwa bahasa-bahasa itu mempunyai ciri
umum yang dimiliki bersama di samping perbedaan-perbedaan
yang sudah pasti ada; bahasa mempunyai ciri kesemestaan dan
kekhasan. “Lautan” kesemestaan dan kekhasan bahasa-bahasa
manusia inilah yang “diselami” dan “dijelajah” oleh ahli dan
peneliti tipologi linguistik untuk membuat tipologi bahasa secara
gramatikal. Ahli tipologi bahasa berupaya untuk mencermati
data kebahasaan yang beragam secara lintas bahasa secara apa
adanya dengan tujuan menemukan persamaan, kemiripan, dan
perbedaan-perbedaan di antara bahasa-bahasa itu. Para ahli dan
peneliti tipologi linguistik lebih “mendahulukan” data bahasa
dari pada logika bahasa dalam membuat simpulan tentang
tipologi bahasa. Cara kerja seperti ini akan lebih memungkinkan
lahirnya deskripsi dan penjelasan tentang bahasa manusia
secara “apa adanya” tanpa banyak dipengaruhi oleh logika dan
pemodelan formal-kognitif teori tata bahasa.
Hasil kajian tipologi linguistik secara lintas bahasa itu,
yang didasari atas prinsip kesemestaan bahasa dan perbandingan
fitur-fitur gramatikal bahasa-bahasa, melahirkan kelompok-
kelompok bahasa yang kurang lebih mempunyai sifat-perilaku
gramatikal yang sama. Bahasa (-bahasa) dengan sifat-perilaku
gramatikal yang “lebih-kurang” sama dikelompokkan dalam
satu kelompok dan yang lain akan dikelompokkan ke dalam
kelompok lainnya. Kelompok-kelompok itulah, dalam tipologi
linguistik, disebut tipologi bahasa. Pentipologian bahasa
(-bahasa) manusia yang didasarkan pada perbandingan fitur-
fitur gramatikal yang lazim adanya dalam bahasa tertentu
disebut tipologi gramatikal (grammatical typology), istilah
teknis yang digunakan untuk membedakannya dari tipologi
fungsional (functional typology). Tipologi fungsional adalah
pengembangan dari kajian tipologi linguistik yang lebih
mendasari pentipologian bahasa (-bahasa) pada fungsi-fungsi
pragmatis dan wacana pemakaian bahasa (lihat Artawa, 2005;
Jufrizal, 2007; Jufrizal, 2012; Jufrizal, 2013a).
Yang paling penting untuk dipahami bersama adalah
bahwa teori dan hasil kajian tipologi linguistik melahirkan
tipologi bahasa yang merupakan deskripsi-alamiah sistem tata

259
Ketut Artawa & Jufrizal

bahasa lahiriah bahasa-bahasa manusia secara lintas bahasa.


Bentuk kajian seperti ini, seperti telah disinggung pada bagian
terdahulu, dapat memberikan sumbangan data dan simpulan
ketatabahaasaan yang bersifat “apa adanya” yang dapat
dimanfaatkan untuk keberhasilan pengajaran-pembelajaran
bahasa. Pengajaran-pembelajaran bahasa untuk tingkat lanjut
(perguruan tinggi) dan bagi pembelajar dewasa, terutama
pengajaran-pembelajaran bahasa asing, memerlukan informasi
dan data ketata bahasaan alami yang tidak “merusak” ciri khas
bahasa yang dipelajari. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan
pembelajaran yang sudah mengharuskan pembelajar (dewasa)
untuk memiliki kompetensi linguistik dan komunikatif secara
terpadu dan mendalam.
Sebenarnya sebutan pengajaran-pembelajaran bahasa
asing tidak mesti hanya tertuju pada pengajaran-pembelajaran
bahasa Inggris. Istilah bahasa asing dapat dirujuk ke semua
bahasa yang dipelajari dan dikuasasi oleh seseorang (kelompok
orang) setelah dia (mereka) menguasai bahasa pertama dan/atau
bahasa kedua (lihat, misalnya, Stern, 1994). Pembelajar bahasa
Inggris di Indonesia, misalnya, diharapkan menjadi pembelajar
bahasa asing yang mempunyai kompetensi linguistik dan
komunikatif handal yang ditandai dengan kemampuan dan
keterampilan berbahasa yang baik. Kompetensi linguistik dan
komunikatif dalam bahasa asing bukanlah sesuatu yang datang
tiba-tiba; semuanya memerlukan proses, waktu, dan motivasi
kuat. Harapan “ideal” ini telah dimulai sejak mereka pertama
kali belajar bahasa Inggris pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah.
Adalah suatu kaharusan bagi pembelajar bahasa Inggris,
terutama pada tingkat lanjut-dewasa, untuk mengetahui dan
memahami kesemestaan tata bahasa bahasa (-bahasa) manusia
dan juga kekhasan tata bahasa bahasa yang dipelajarinya. Hal
ini berarti bahwa salah satu aspek kebahasaan yang penting
diajarkan dan dipelajari untuk membangun kompetensi
linguistik dan komunikatif dalam bahasa asing adalah tata
bahasa (grammar)nya. Pengajaran-pembelajaran bahasa, apalagi
bahasa asing, yang tidak memedulikan aspek tata bahasa
akan sangat merusak kealamiahan bahasa yang dipelajari itu.

260
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Kesalahan berbahasa pada tataran ujaran dan kata, misalnya,


mungkin tidak terlalu berbahaya secara komunikatif karena ada
kemungkinan untuk “menebak” maksudnya secara kontekstual.
Akan tetapi, kesalahan berbahasa yang sering muncul pada
tataran gramatikal akan sangat menyulitkan proses komunikasi,
apalagi komunikasi tulis dan ilmiah (Jufrizal, 2013a).
Para ahli tata bahasa dan pemerhati pemakaian bahasa
Inggris di Inggris Raya, misalnya, sering mengingatkan bahwa
salah satu tugas penting bagi pengajar bahasa Inggris sebagai
bahasa pertama adalah mengajarkan dan menggunakan
tata bahasa bahasa Inggris dengan baik dan benar. Di antara
semboyan yang mereka gunakan sebagai bentuk kekhawatiran
mereka akan “rusaknya” bahasa Inggris adalah “Grammar is
back” (Tonkyn dalam Bygate dkk., (eds.), 1994:1). Tata bahasa,
yang secara sederhana, dapat dikatakan sebagai kaidah logis
yang mengatur sistem bahasa sebagai alat komunikasi verbal
manusia adalah bagian dari konvensional sosial budaya
masyarakat penutur (pemakai) suatu bahasa. Meskipun kaidah-
kaidah tata bahasa itu bukan kaku dan bukan bernilai “ya –
tidak” namun tidak berarti kaidah-kaidah tersebut boleh dibuat
semena-mena. Harus pula diingat bahwa bahasa manusia itu
mungkin diajarkan dan dipelajari adalah karena bahasa itu
berkaidah; bahasa mempunyai tata bahasa. Bahasa itu bersistem
dan beraturan pada tiap tatarannya yang memungkinkan
manusia mengemas makna dan mengungkapkan gagasannya.
Adalah suatu yang sangat aneh apabila ada program pengajaran-
pembelajaran bahasa yang tidak memedulikan aspek tata
bahasa, apalagi pada tingkat lanjut-dewasa di perguruan tinggi
(lihat juga Jufrizal, 2010; Jufrizal, 2011; Jufrizal, 2013a).
Pembelajar bahasa asing tingkat lanjut-dewasa perlu
dibekali dengan penjelasan aspek ketata bahasaan yang menjadi
ciri khas bahasa itu. Mereka memerlukan penjelasan dan contoh-
contoh pemakaian praktis fitur-fitur ketata bahasaan bahasa
Inggris secara teoretis-linguistis untuk membentuk kompetensi
linguistik mereka dan selanjutnya diharapkan mampu
menggunakannya dalam bentuk beterampilan berbahasa.
Di antara fitur-fitur ketata bahasaan bahasa Inggris yang
sering menjadi masalah bagi pembelajar di Indonesia adalah

261
Ketut Artawa & Jufrizal

perihal kala (tense) dan aspek (aspect). Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa bahasa Indonesia dan hampir keseluruhan
bahasa-bahasa lokal di Indonesia adalah bahasa tak-berkala
(tenseless language), sementara bahasa Inggris adalah bahasa
berkala (tenseness language). Perbedaan tipologis fitur tata
bahasa seperti ini, secara alami dan psikologis, menimbulkan
masalah pembelajaran dan pengajaran secara akademis bagi
kebanyakan pembelajar di Indonesia (Jufrizal dkk., 2009;
Jufrizal, 2010; Jufrizal, 2011).
Kenyataan yang tidak sulit ditemukan di lapangan adalah
banyaknya kesalahan dan kekeliruan pemakaian dan pemilihan
konstruksi klausa dan kalimat yang dibuat oleh mahasiswa
Jurusan/Program Studi Bahasa Inggris jenjang program S1 dan
S2 dalam menulis dan berbicara. Data kesalahan tata bahasa
berikut hanyalah sebagian kecil dari apa yang pernah ada dan
ditulis oleh mahasiswa yang menulis dan berbicara dalam
bahasa Inggris (lihat lebih jauh Mukhaiyar dan Jufrizal, 2012;
Jufrizal, 2013a).

(1) In this research proposal, the data is scores and words …


(2) This research was a descriptive research, and it would conducted in…
(3) The problem of this research formulated as follows …
(4) It described in this chapter the result and discussion which found …
(5) Jones had conducted the research in 1999 about …
(6) It concluded that the series pictures had given better effects on students’

(7) This research will be conducted at …, and it was used cycle models …
(8) After collected data, the collaborators would discuss the results with

(9) The researcher would described the result through the table …
(10) It is happed in the classroom that the students are study seriously…

Sekilas, pilihan dan konstruksi klausa/kalimat bahasa


Inggris di atas apabila hanya dimaksudkan untuk “sekadar” dan
“asal” pesan bisa dimengerti oleh pembaca, ya boleh-boleh saja,
bagi pembelajar pemula? Namun apabila itu ditemukan dalam
(calon) tulisan ilmiah dan ditulis oleh mahasiswa, maka kita
perlu “merenung” sejenak; apakah kita sudah mengajarkan atau

262
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

mempelajari bahasa Inggris, atau kita baru mengajarkan dan


mempelajari pidgin atau creole (bahasa Inggris) saja? Kesalahan tata
bahasa (bahasa Inggris) seperti disajikan di atas tidak hanya akan
menyebabkan “kekacauan” pesan dan komunikasi, tetapi juga
“merusak” kealamiahan bahasa Inggris yang secara tipologis adalah
bahasa nominatif-akusatif dan tenseness language (bahasa ber-kala).
Pembiaran kesalahan mendasar seperti itu akan memunculkan
“kegalauan dan kekacauan” berbahasa dalam bahasa Inggris,
terutama dalam bahasa tulis-ilmiah.
Sebagian mahasiswa S1 dan S2 Jurusan/Program Studi
Bahasa Inggris di Universitas Negeri Padang sering pula membuat
kesalahan “mendasar” ketika berbicara (berbahasa lisan). Berikut
adalah sekelumit cuplikan bahasa lisan mahasiswa yang sengaja
dicatat ketika diskusi kelas dan kelompok dalam proses belajar-
mengajar (data dikutip dari Jufrizal, 2013a).

A. Student A : Yes, … but I am not agree with you.. It is occurred also


in …
Teacher : Once again, can you repeat you stement please!
Student A : I am sorry. I mean I do not agree with my friend’s
ideas…
Student B : Yes, socio-cultural things in sociolinguistics …
Student C : It is not like that. We study sociolinguistics in society …
and
Student A : Can understand, yes we agree now…

B. Student D : Good afternoon class! We are from group 2 is presentation



Teacher : Present, not presentation …
Student D : Yes, sir. We present… we will present the topic …
Student E : Ok, my presentation is about language planning …
Student F : Excuse me, I would ask question to you now…
Student D : Yes, ok, are you satisfies … oh I mean, do you satisfy?

C. Student G : Let’s pays attentions to topics of discussions today …


Student H : What topic is ? … in page number … ?
Student G : Page number 186 till 213… ok…
Student I : I am ask question to you group. I am question is …
Student G : What means? What do you mean? You mean?
Student H : When will be standardization happened?

263
Ketut Artawa & Jufrizal

Mirip seperti data tulis sebelumnya, sekiranya tujuan


berbahasa lisan seperti itu hanya untuk memenuhi kebutuhan
komunikasi “mendesak”, bentuk dan pemakaian konstruksi
bahasa yang “cacat” gramatika itu mungkin dibolehkan. Penutur
dan pembelajar bahasa Inggris yang baik mungkin sama-sama
bersepakat bahwa contoh ujaran-ujaran di atas tidak memenuhi
kaidah lazim tata bahasa bahasa Inggris. Kebolehan yang
dimaksud di sini bukan untuk menunjukkan kepada pembelajar
bahwa ini adalah bahasa Inggris yang baik dan benar. Pembiaran
berkepanjangan dari kebolehan itu malahan akan menimbulkan
sikap berbahasa yang mengarah ke kemunculan pidgin baru.
Kenyataan dan permasalahan ketata bahasaan yang
dicontohkan menyiratkan bahwa sebagian pembelajar bahasa
Inggris di Indonesia belum mempunyai kompetensi linguistik
dan komunikatif yang memadai. Kompetensi linguistik dan
komunikatif dalam bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris)
bagi pembelajar dewasa tingkat lanjut (mahasiswa) tidak cukup
hanya bersifat praktis-pedagogis saja. Mereka memerlukan
masukan dan informasi ketata bahasaan tingkat lanjut,
bersifat teoretis-konseptual, dan tipologis-universal. Semua
ini diperlukan karena mereka sudah harus membangun dan
mempunyai kompetensi linguistik internal yang melibatkan
faktor-faktor psikologis dan neurologis. Dalam hal ini,
pengajaran dan pembelajaran fitur-fitur ketata bahasaan
sudah harus menjangkau faktor-faktor psikologis-neurologis
pembelajar, di samping faktor-faktor pedagogis-praktis.
Disadari atau tidak, pengajaran dan pengajaran bahasa,
apalagi bahasa kedua dan bahasa asing, akan terus menghadapi
tantangan dan persoalan. Sebagai insan pendidik, kita juga harus
memahami bahwa masalah, kesulitan, hambatan, dan tantangan
profesi bukan untuk dihindari, dibuang begitu saja, atau dijadikan
“pembunuh” daya-cipta. Semua halangan harus dicermati dan
dicarikan jalan keluarnya. Jalan keluar dari permasalahan dapat
lebih dari satu. Oleh sebab itu, kemungkinan-kemungkinan
pemecahan masalah dapat dikemas dan diracik dari berbagai
bidang ilmu dan keahlian sehingga dapat disesuaikan dengan
keadaan dan suasana di lapangan.

264
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Para ahli metodologi pengajaran-pembelajaran bahasa


(asing) telah dan terus berupaya agar peserta didik di semua
tingkat berhasil dalam program pembelajarannya. Mereka
mengemukakan dan melahirkan berbagai pendekatan, metode,
dan teknik mengajar-belajar yang didasarkan pada berbagai
landasan keilmuan dan tujuan yang hendak dicapai. Adalah
tugas kita bersama untuk terus belajar, mencermati, menggagas,
meracik, mengembangkan, dan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan agar tugas professional kita dapat mencapai hasil
yang baik. Pada kesempatan ini perlu dikemukan “secercah”
gagasan dan “percikan” pikiran bagaimana agar pengajaran-
pembelajaran bahasa Inggris, sebagai bahasa asing di Indonesia,
dapat mencapai hasil yang baik. Dalam hal ini perlu dicatat
bahwa Kajian Tipologi Linguistik, teori dan dan hasil kerjanya
seperti yang telah dikemukakan di atas, dapat dimanfaatkan
untuk mendukung keberhasilan pengajaran bahasa Inggris,
khususnya pada aspek tata bahasanya pada tingkat perguruan
tinggi.
Lalu, bagaimana (hasil) kajian Tipologi Linguistik dapat
bermanfaat bagi pengajaran bahasa? Seperti dikemukakan
pada bagian terdahulu, kajian tipologi linguistik dimulai
dengan mencermati sifat-perilaku ketata bahasaan bahasa
(-bahasa) manusia secara lintas bahasa; mengumpulkan
data sebanyak-banyaknya dari berbagai kelompok dan
keluarga bahasa, mengelompokkan data-data ketata bahasaan
yang sama atau mirip, dan membuat simpulan-simpulan
tipologis secara alami untuk pentipologian bahasa- (bahasa)
manusia. Secara operasional, kerja tipologi linguistik (tipologi
gramatikal) berupaya secermat mungkin memperlakukan
sifat-perilaku ketata bahasaan bahasa-bahasa sealamiah
mungkin; telaahaannya bersifat deskriptif-alamiah yang lebih
mendahulukan bentuk dan pemakaian bahasa apa adanya,
daripada bersifat mentalistik-kognitif dan teoretis.
Deskripsi tata bahasa yang lahir melalui kajian tipologi
linguistik bukanlah bersifat pragmatis-praktis, model tata
bahasa yang disederhanakan untuk dapat digunakan oleh
pembelajar tingkat awal dan usia muda. Deskripsi tata bahasa

265
Ketut Artawa & Jufrizal

yang lahir dari kajian tipologi linguistik mempertahankan fitur


dan sisi ketatabahasaan yang terpakai dalam pemakaian bahasa
alami, bukan deskripsi tata bahasa kognitif-mentalistis atau
preskriptif. Sejauh ini, tata bahasa deskriptif murni dipahami
deskripsi tata bahasa apa adanya dan cenderung diarahkan
untuk membangun teori tata bahasa bahasa-bahasa manusia.
Sementara itu, tata bahasa preskriptif adalah tata bahasa
yang bersifat normatif dan bagaimana seharusnya. Di antara
dua kutub model pendeskripsian tata bahasa itu, ada tata
bahasa pedagogis, deskripsi tata bahasa yang dirancang untuk
kebutuhan pembelajaran tata bahasa bahasa, terutama untuk
pembelajaran tata bahasa bahasa kedua dan/atau bahasa asing
(lihat Chalker dalam Bygate dkk, ed., 1994; Westney dalam
Odlin, ed., 1994).
Dalam hal ini, tata bahasa pedagogis adalah deskripsi
tata bahasa yang diperlukan oleh pembelajar bahasa asing
(Inggris) di Indonesia. Bagi pembelajar dewasa dan mahasiswa
pada tingkat perguruan tinggi, tata bahasa pedagogis yang
diperlukan tentu saja yang bukan lagi bersifat praktis-pragmatis,
melainkan yang sudah memuat fitur-fitur ketata bahasaan yang
lebih rinci dan alami untuk membentuk kompetensi tata bahasa
dan kompetensi komunikatif (lihat Jufrizal dkk., 2009). Untuk
mendapatkan hal ini, deskripsi tata bahasa yang dihasilkan dari
kajian tipologi linguistik sangat diperlukan; tipologi gramatikal
dari bahasa yang dipelajari. Dengan demikian, tata bahasa
pedagogis yang dikembangkan sesuai dengan tipologi bahasa
yang dipelajari, terutama dari hasil kajian tipologi gramatikal,
sangat membantu pembelajar dalam belajar, memahami, dan
menggunakan tata bahasa bahasa (bahasa yang dipelajari)
secara baik dan benar (komunikatif).
Berkenaan dengan hal itu semua, hasil kajian tipologi
linguistik dan tipologi bahasa mempunyai arti penting untuk
“memperbaiki” pengajaran tata bahasa suatu bahasa, terutama
bahasa asing bagi pembelajar dewasa dan tingkat lanjut
(misalnya untuk mahasiswa di perguruan tinggi). Dengan
mengetahui tipologi dan fitur-fitur khas tata bahasa yang
dipelajari dan diikuti dengan seperangkat model latihan yang
sesuai, kompetensi linguistik dan komunikatif para pembelajar

266
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

tingkat lanjut (dewasa dan mahasiswa) akan terbentuk secara


psikologis dan akademis. Kompetensi linguistik (gramatikal)
dan komunikatif memerlukan penjelasan dan keterangan fitur-
fitur khas tata bahasa dan tipologi bahasa yang dipelajari secara
jelas, rinci, dan tertata.
Kajian tipologi linguistik dan hasil kajiannya berupa
tipologi bahasa dapat bermanfaat untuk keberhasilan pengajaran-
pembelajaran bahasa (asing) yang besar kemungkinan fitur
ketatabahasaannya tidak sama dengan yang ada dalam bahasa
ibu si pembelajar. Diharapkan para ahli dan peneliti pengajaran-
pembelajaran bahasa dapat meracik dan menemukan “kiat”
bagaimana sebaiknya pengajaran tata bahasa itu. Sejalan dengan
pendapat Stern (1994), Tipologi Linguistik memberi sumbangan
data dan informasi kebahasaan yang dapat dimanfaatkan sebaik
dan secermat mungkin oleh ilmuwan pembelajaran bahasa, baik
bahasa ibu, bahasa kedua, apalagi bahasa asing.

7.5 Catatan Penutup


Kajian tipologi linguistik, pada dasarnya, adalah kajian
kebahasaan yang berada dalam ranah mikrolinguistik dan bersifat
struktural. Oleh karena itu, data dan telaah tipologi linguistik
lebih erat dengan perihal ketata bahasaan yang ada dalam
satu bahasa. Kadang-kadang, bentuk dan cara kerja penelitian
tipologi linguistik ini terkesan sulit dan membosankan karena
berkutat dengan data dan fitur-fitur kebahasaan yang mesti
dicermati secara mikro. Keadaan ini telah menjadikan peminat
kajian ini tidak banyak; banyak pembelajar dan peneliti bahasa
kurang sabar melakukan telaah mikro yang membutuhkan
kesungguhan dan kesabaran ini. Juga tidak jarang ditemukan
bahwa olah data dan pemerian yang bersifat perbandingan
lintas bahasa cukup menjadi alasan bagi sebagian pembelajar
pemula untuk menghindar dari kajian tipologi linguistik.
Sesungguhnya, kajian tipologi linguistik itu tidaklah
“semenakutkan” seperti itu. Jika perhatian dan dorongan
untuk mendalami ilmu kebahasaan sudah ada, kesungguhan
dan ketelitian sedikit saja sudah dapat menghantarkan kita
untuk melewati “bandul” yang menakutkan itu. Malahan, jika
kita sudah sampai pada ranahnya, kajian dan telaah data yang

267
Ketut Artawa & Jufrizal

dilakukan terasa cukup menarik dan menantang. Malahan, jika


dikembangkan lebih jauh, tipologi linguistik dapat merambah ke
ranah ilmu pragmatik dan kajian wacana dan makrolinguistik,
seperti linguistik kebudayaan, ilmu komunikasi, pembelajaran
bahasa, perubahan bahasa, dan psikologi bahasa. Perkembangan
ini adalah lahan subur bagi ilmuwan dan peneliti bahasa untuk
menekuni dan “mencintai” linguistik, ilmu yang mempelajari
hakikat bahasa.

268
GLOSARIUM

Adjung: fungsi gramatikal dalam kalimat yang tidak menduduki


fungsi argumen.

Aliasi gramatikal: sistem aliansi gramatikal atau pengelompokan


satuan-satuan dasar semantis-gramatikal (S, A, dan
P) bekenaan dengan persekutuan satuan-satuan
tersebut pada klausa intransitif dengan klausa
transitif.

Antipasif: detransitivisasi verba dalam bahasa ergatif.

Bahasa aglutinasi: kelompok bahasa yang mempunyai proses


morfologis yang dapat dengan mudah dipilah
dengan memperhatikan jenis morfemnya. Pada
bahasa dengan tipologi seperti ini, batas-batas
antara morfem bebas dan morfem terikat cukup
jelas dan proses morfologis afiksasi menjadi sangat
menonjol.

Bahasa aktif: sistem gramatikal bahasa yang menunjukkan


bahwa ada sekelompok S dalam satu bahasa
diperlakukan sama dengan A dan sekelompok lagi
diperlakukan dengan cara yang sama dengan O/P.

Bahasa akusatif: sistem gramatikal bahasa yang memperlakukan


A sama dengan S tetapi O/P diperlakukan dengan
cara yang berbeda dengan S.

Bahasa ergatif, sistem bahasa yang perilaku gramatikalnya


menunjukkan bahwa O/P diperlakukan sama
dengan S dan A diperlakukan dengan cara
berbedadengan S.

Bahasa fusional atau bahasa infleksi, bahasa yang morfemnya


diwujudkan dengan afiks-afiks, tetapi sifat-perilaku
morfologisnya berdempet atau berdekatan sekali

269
Ketut Artawa & Jufrizal

dengan proses sintaktisnya sehingga cukup sulit


untuk memilah afiks-afiks tersebut.

Bahasa isolasi: bahasa dengan sistem morfologis di mana satu


kata terbentuk dari satu morfem. Pada bahasa jenis
ini tidak ada proses afiksasi; ada hubungan satu
lawan satu antara kata dan morfemnya.

Bahasa polisintetis atau inkorporasi: kelompok bahasa yang


mempunyai kemungkinan untuk mengambil
sejumlah morfem leksikal dan menggabungkannya
bersama untuk menjadi kata tunggal

Kasus: sistem pemarkahan nomina dependen dalam kalimat.

Kesemestaan bahasa: kajian bahasa yang mengarah dan berusaha


menuju perumusan dan penemuan gramatika
bahasa yang bersifat lintas bahasa

Komplemen: fungsi gramatikal dalam kalimat yang merupakan


funsgsi argumen.

Linguistik deskriptif: kajian linguistik yang menitikberatkan


bahan kajiannya berdasarkan data dan informasi
kebahasaan apa adanya; kajian linguistik apa
adanya. Peneliti dan ahli bahasa menelaah data dan
informasi pemakaian bahasa sebagaimana adanya,
secara objektif.

Linguistik preskriptif: kajian menyandarkan kajian kebahasaan


atas dasar normatif dan bagaimana seharusnya. Oleh
karena itu, linguistik preskriptif berusaha menelaah
data kebahasaan untuk dapat disejalankan dengan
logika dan pola pikir penelitinya sehingga lebih
bersifat subjektif

Makrolinguistik: kajian linguistik yang menitikberatkan


kajiannya dalam kaitannya dengan bidang ilmu
lain atau kajian linguistik secara multidisiplin.

Mikrolinguistik: kajian balinguistik yang menitikberatkan


kajiannya pada aspek internal bahasa.

270
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Objek langsung: relasi gramatikal yang meliputi P dan tidak


mencakup S atau bagian dari S

Pasif: detransitivisasi verba dalam bahasa akusatif.

Peran semantis: pelabelan terhadap argumen kalimat dengan


istilah agen dan pasien merupakan peran semantic
yang penting dalam kajian tipologi linguistik. Agen
dan pasien membentuk dasar perbedaan antara
kalimat transitif dan intransitif. .

Predikat: adalah istilah relasional yang menunjukkan properti


entitas (argumen) atau hubungan antar entitas.

Relasi gramatikal: adalah fungsi gramatikal dari nomina dalam


klausa Relasi-relasi gramatikal dimarkahi dengan
cara yang berbeda-beda dari satu bahasa ke bahasa
lain; masing-masing bahasa mempunyai cara-cara
tertentu untuk memarkahi relasi-relasi gramatikal

Subjek: dalam tipologi linguistik, subjek adalah relasi gramatikal


yang mencakup fungsi S dan A.

Tipologi linguistik : kajian linguistik berupaya mempelajari


variasi-variasi lintas bahasa untuk memahami
hakitat bahasa manusia. Interaksi model kajian
kesemestaan bahasa dan kajian tipologi linguistik
dapat menjadi pokok utama untuk merumuskan
sifat-perilaku kesemestaan bahasa dengan dasar
klasifikasi tipologis.

Topik: adalah tentang apa yang dibicarakan sebagai lawan dari


komen. Komen adalah apa yang dikatakan tentang
topik tersebut. Topik biasanya informasi lma dan
biasanya dinyatakan sebagai subjek

valensi: spesifikasi argumen dan bentuknya dari sebuah


predikat. Spesifikasi akan mencakup sejumlah
pelengkap/komplemen, peran semantis, serta
hubungan gramatikalnya.

271
Ketut Artawa & Jufrizal

Verba dwitransitif: verba yang memerlukan tiga argumen inti


(A, O/P, E).

Verba intransitif: verba yang memerlukan satu argumen inti


(S).

Verba transitif: verba yang memerlukan dua argumen inti (A


dan O/P)

272
DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, F., Webelhuth, G. 1998. A Theory of Predicates. Stanford,


California: CSLI Publications.
Alsagoff, L. 1992. ‘Topic in Malay: The Other Subject’ (Ph.D.
disertasi). Stanford University.
Alsina, A., Joshi, S. 1991. ‘Parameters in Causative Constructions’.
Chicago Linguistics Society 27. Hal.: 2—16.
Alsina, A. 1992. ‘On the Argument Structure of Causative’. Linguistic
Inquiry 23. Hal.: 517—555.
Alsina, A., Bresnan, J., Sells, P. (editor). 1997. Complex Predicates.
Stanford, California: CSLI Publishers.
Alsina, A. 1996. The Role of Argument Structure in Grammar: Evidence
from Romance. Stanford, California: CSLI Publishers.
Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., Moeliono, A. M. 2000.
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Arka, I Wy. 1993. “Morpholexical Aspects of the –kan Causative in
Indonesia” (tesis). Sydney: University of Sydney.
Arka, I Wy. 2000. ‘Beberapa Aspek Intransitif Terpilah pada Bahasa-
Bahasa Nusantara: Sebuah Analisis Leksikal-Fungsional’
dalam Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa
Bahasa (editor: Purwo, B. K.). Jakarta: Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya dan PT. BPK Gunung Mulia.
Arka, I Wy. 2002. “Tata bahasa Leksikal-Fungsional: Beberapa
Prinsip Dasar dan Tantangannya dalam Penerapannya
pada Bahasa-bahasa Nusantara” (Makalah disajikan pada
PELLBA ke-16, 22-23 Juli 2002). Jakarta: Pusat Kajian Bahasa
dan Budaya Unika Atmajaya.
Artawa, I Kt. 1994. “Ergativity and Balinese Syntax” (Ph.D. thesis).
Melbourne: La Trobe University.
Artawa, I Kt. 1995 a. ‘Tagalog and Bahasa Indonesia’ dalam
Linguistika. Tahun II edisi 3. Denpasar: Program Magister
(S2) Linguistik Universitas Udayana.
Artawa, I Kt. 1995 b. ‘Teori Sintaksis dan Tipologi Bahasa’ dalam
Linguistika. Tahun II edisi 3. Denpasar: Program Magister

273
Ketut Artawa & Jufrizal

(S2) Linguistik Universitas Udayana.


Artawa, I Kt. 1997. ‘Keergatifan Sintaksis dalam Bahasa: Bahasa
Bali, Sasak, dan Indonesia’ dalam PELLBA 10 (Penyunting:
Purwo, B. K.). Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya.
Artawa, I Kt. 1998. “Ergativity and Balinese Syntax” Part I, II, III,
dalam NUSA. Volume 42, 43, 44. Jakarta: Badan Penyelenggara
Seri Nusa Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Artawa, I Kt. 2000. ‘Alternasi Diatesis pada Beberapa Bahasa
Nusantara’ dalam Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono
Pereksa Bahasa (editor: Purwo, B. K.). Jakarta: Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya dan PT. BPK Gunung Mulia.
Artawa, I Kt. 2002. ‘Ergativity and Grammatical Relations’ dalam
Linguistika. Vol. 9, No. 16. Denpasar: Program Studi Magister
(S2) Linguistik dan Doktor (S3) Universitas Udayana.
Artawa, I Kt. 2004. Balinese Language: a typological description.
Denpasar: C.V. Bali Media Adhikarsa.
Artawa, I Kt. 2005. “Tipologi Bahasa dan Komunikasi Lintas
Budaya” (Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar bidang
Linguistik). Denpasar: Universitas Udayana.
Austin, P. 1993. “Transitivity Alternations in Australian Aboriginal
Languages”. Ms. La Trobe University.
Bauer, L. 2007. The Linguistics Student’s Handbook. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Blake, B. J. 1988. ‘Tagalog and Manila – Mt. Isa axis’. La Trobe
Working Papers dalam Linguistics 1, Hal.: 77—90.
Blake, B. J. 1990. Relational Grammar. London: Routledge.
Blake, B. J. 1994. Case. Cambridge: Cambridge University Press.
Bloomfield, L. (Sutikno, I: penerjemah) (1995). Bahasa. Jakarta:
Penerbit PT. Gramedia Utama.
Bonvilain, N. 1997. Language, Culture, and Communication: The
Meanings of Messages. New Jersey: Prentice Hall, Upper
Saddle River.
Bresnan, J., dan Mchombo, S. A. 1987. ‘Locative Inversion in
Chichewa: a Case Study of Factorization in Grammar’.
Linguistic Inquiry 20: 1 – 50.
Brown, P., dan Levinson, S. C. 1987. Politeness: Some Universals in
Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

274
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Butt, M., King, T. H., Nino, M. E., Segond, F. 1999. A Grammar


Writers’ Cookbook. Stanford, California: CSLI Publishers.
Bygate, M., Tonkyn, A., dan William, E. (editor). Grammar and the
Language Teacher. New York: Prentice Hall.
Campbell, L. 2004. Historical Linguistics: An Introduction. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Cartier, A. 1979. ‘De-Voiced Transitivity Verb Sentences in Formal
Indonesian’ dalam F. Plank (editor). Ergativity: Toward a
Theory of Grammatical Relations. Hal.: 162—183. New York:
Academic Press.
Cena, R. M. 1979. ‘Patient primacy in Tagalog’ (paper read at LSA
Winter Meeting).
Chafe, W. L. 1975. Meaning and The Structure of Language. Chicago:
The University of Chicago Press.
Cherry, C. 1959. On Human Communication: A Review, A Survey, and
A Criticism. Massachusetts: The Massachusetts Institute of
Technology.
Chung, S. 1975. ‘On the Subject of Two Passives in Indonesian’
dalam.. Subject and Topic. Charles N. Li (editor). New York:
Academic Press, Inc.
Chapman, S. 2000. Philosophy for Linguists: An Introduction. London:
Routledge.
Cole, P. (editor). 1977. Syntax and Semantics: Grammatical Relations 8.
New York: Academic Press.
Cole, P. (editor). 1978. Syntax and Semantics: Pragmatics. New York:
Academic Press, Inc.
Comrie, B. 1983, 1989. Language Universals and Linguistic Typology.
Oxford: Basil Blackwell Publisher Limited.
Comrie, B. 1985. ‘Causative Verb Formation and other Verb-Deriving
Morphology’ dalam T. Shopen (ed.). Language Typology and
Syntactic Description. Vol. 33 Hal.: 309—348. Cambridge:
Cambridge University Press.
Comrie, B. 1988. ‘Linguistic Typology’ dalam Newmeyer, F. J.
(editor). Linguistics: The Cambridge Survey. Vol. I. Hal.:
447—467. Cambridge: Cambridge University Press.
Croft, W. 1993. Typology and Universals. Cambridge: Cambridge
University Press.

275
Ketut Artawa & Jufrizal

Culicover, P. W. 1997. Principles and Parameters: An Introduction to


Syntactic Theory. Oxford: Oxford University Press.
Dixon, R. M. W. 1979. ‘Ergativity’. Language 55. Hal.: 59—138.
Dixon, R. M. W. 1987. ‘Studies in Ergativity: Introduction’. Lingua
71. Hal.: 1—15.
Dixon, R. M. W. 1989. “Subject and Object in Universal Grammar”
dalam Arnold, D., Atkinson, M., Durand, J., Grover, C.,
Sadler, L. (editor). Essay on Grammatical Theory and Universal
Grammar. (Hal.: 91—118). Oxford: Claredon Press.
Dixon, R. M. W. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University
Press.
Dixon, R. M. W. 2010. Basic Linguistic Theory (Vol. 1: Methodology).
Oxford: Oxford University Press.
Dixon, R. M. W. 2010. Basic Linguistic Theory (Vol. 2: Grammatical
Topics). Oxford: Oxford University Press.
Dixon, R. M. W. 2012. Basic Linguistic Theory (Vol. 3: Further
Grammatical Topics). Oxford: Oxford University Press.
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Foley, W. A., van Valin-Jr., R. D. 1984. Functional Syntax and Universal
Grammar. Cambridge: Cambridge University Press.
Foley, W. A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction.
Malden: Blackwell Publishers Ltd.
Gee, J. P. 1993. An Introduction to Human Language: Fundamental
Concepts in Linguistics. Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Givon, T. 1984. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Volume
I. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Givon, T. 1990. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Volume
II. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Goddard, C. 1998. Semantic Analysis: A Practical Introduction. Oxford:
Oxford University Press.
Greenberg, J. H. 1963. ‘Some Universals of Grammar with Particular
Reference to the Order of Meaningful Elements’ dalam
Greenberg, J.H. (ed.). Universals of Language. Cambridge:
MIT Press.

276
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Gundel, J. K. 1988. ‘Universals of Topic-Comment Structure’ dalam


Hammond, M. E., Wirth, J. (editor). Studies in Syntactic
Typology. Hal.: 209—239. Amsterdam: John Benjamins.
Haegeman, L. 1991. Intrduction to Government and Binding Theory.
Oxford: Basil Blackwell.
Hinrichs, E. (editor). 1998. Syntax and Semantics: Complex Predicates
in Nonderivational Syntax. San Diego, California: Academic
Press.
Hopper, P. J., Thompson, S. A. (editor). 1982. Syntax and Semantics:
Studies in Transitivity (Volume 15). New York: Academic
Press, Inc.
Huddleston, R. 1984. An Introduction to the Grammar of of English.
Cambridge: Cambridge University Press.
Jourdan, C., dan Tuite, K (ed.). 2006. Language, Culture, and Society.
Cambridge: Cambridge University Press.
Jufrizal. 1996. “Morfofonemik Bahasa Minangkabau Dialek Padang
Area” (tesis). Denpasar: Program Magister (S2) Linguistik
Universitas Udayana.
Jufrizal. 2002. ‘Pengkausatifan dengan –an dan –kan: Tinjauan
Tipologi Morfologis Bahasa Minangkabau dan Kaitannya
dengan Bahasa Melayu’ (Makalah disajikan pada Seminar
Internasional Menelusuri Jejak Melayu – Minangkabau: 27
dan 28 Maret 2002). Padang: Fakultas Sastra Universitas
Andalas.
Jufrizal. 2004. “Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa
Minangkabau” (disertasi doktor belum terbit). Denpasar:
Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta.
Jufrizal. 2005. ‘Konstruksi Zero Klausa Bahasa Minangkabau: Pasif,
Penopikalan, atau Ergatif?’ (makalah disajkan pada Seminar
Nasional Pertemuan Linguistik Utara, di Universitas
Sumatera Utara, 13 – 14 September 2005). Medan: Masyarakat
Linguistik Utara.
Jufrizal., Zul Amri., dan Refnaldi. 2006. “Penopikalan dalam Bahasa
Minangkabau dan Kaitannya dengan Upaya Pembinaan
Sosial budaya Masyarakat Minangkabau” (Laporan Penelitian
Fundamental DP2M Dikti Depdiknas Jakarta belum terbit).
Padang: Fakultas Bahasa Sastra dan Seni, Jurusan Bahasa
dan Sastra Inggris.
Jufrizal. 2006a. ‘Tipologi Gramatikal Bahasa Minangkabau: Bahasa

277
Ketut Artawa & Jufrizal

Akusatif, Ergatif, atau Campur?’ (makalah disajikan pada


Seminar Internasional KOLITA-4, di Unika Atmajaya, 15 –
16 Februari 2006). Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
Unika Atmajaya.
Jufrizal. 2006b. ‘Penopikalan dalam Bahasa Minangkabau dan
Kesantunan Berbahasa’ (makalah disajikan pada Seminar
Nasional Pertemuan Linguistik Utara, di Universitas
Sumatera Utara, 4 – 5 Desember 2006). Medan: Masyarakat
Linguistik Utara.
Jufrizal. 2007. Tipologi Gramatikal Bahasa Minangkabau: Tataran
Morfosintaksis. Padang: Universitas Negeri Padang Press.
Jufrizal. 2008. ‘Prefiks ba- sebagai Pemarkah Konstruksi Pasif dan
Resultatif Bahasa Minangkabau’ (makalah disajikan pada
Seminar Internasional KOLITA-6, di Unika Atmajaya , 12 –
13 Mei 2008). Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika
Atmajaya.
Jufrizal. 2011a. ‘Keunikan Prefiks ba- dalam Bahasa Minangkabau:
Kajian Tipologi Gramatikal atas Klausa Verbal’ (makalah
disajikan pada Seminar Nasional Bahasa Ibu IV, di Universitas
Udayana, 25 – 26 Februari 2011). Denpasar: Program Studi
Magister dan Doktor Linguistik PPs Universitas Udayana.
Jufrizal. 2011b. ‘Verbal Construction Marked by Prefix ba- in
Minangkabaunese: Passive or Ergative?’ (makalah disajikan
pada Seminar Internasional KOLITA-9, di Unika Atmajaya,
29 – 30 April 2011). Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
Unika Atmajaya.
Jufrizal. 2012. Tata bahasa Bahasa Minangkabau: Deskripsi dan Telaah
Tipologi Linguistik. Padang: Universitas Negeri Padang
Press.
Jufrizal. 2013a. ‘Tipologi Bahasa dan Pengajaran Bahasa: Ke Arah
Pemanfaatan Telaah Tipologi Linguistik untuk Pengajaran
Bahasa’ (Orasi Ilmiah). Padang: Jurusan Bahasa dan Sastra
Inggris FBS Universitas Negeri Padang.
Jufrizal. 2013b. ‘Athropological Linguistics: An Introduction for
Beginners’ (buku belum terbit). Padang: Fakultas Bahasa dan
Seni Universitas Negeri Padang.
Jufrizal., Zaim, M., dan Ardi, H. 2013. ‘Bahasa dan Budaya
Minangkabau: Dari Tipologi Gramatikal ke Budaya Berbahasa
Penuturnya’ (Laporan Penelitian). Padang: Fakultas Bahasa
dan Seni Universitas Negeri Padang.

278
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Katamba, F. 1993. Morphology. London: Macmillan Press, Ltd.


Keenan, E. L., Comrie, B. 1977. ‘Noun Phrase Accessibility and
Universal Grammars’. Linguistic Inquiry 8. Hal.: 63—99.
Klamer, M. 1998. A Grammar of Kambera. Berlin: Mouton de
Gruyer.
Kramsch, C. 2001. Language and Culture. Oxford: Oxford University
Press.
Kridalaksana, H. 1995. ‘Ergativitas dalam Bahasa Melayu’. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Kroeger, P. 1993. Phrase Structure and Grammatical Relation in Tagalog.
Stanford, California: CSLI Publications.
Kuiper, K., Allan, W. S. 1996. An Introduction to English Language.
London: Macmillan Press Ltd.
Lambrecht, K. 1996. Information Structure and Sentence Form: Topic,
Focus, and the Mental Representations of Discourse Referents.
Cambridge: Cambridge University Press.
Kulikov, L. dan Vater, H. (editor). 1988. Typology of Verbal Categories.
Tubingen: Max Niemeyer Verlag.
Levine, D. R., dan Adelman, M. B. 1993. Beyond Language: Cross-
Cultural Communication. New York: Prentice-Hall, Inc.
Li, C. N (editor). 1976. Subject and Topic. New York: Academic Press,
Inc.
Lyons, J. 1987. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Mallinson, G., Blake, B. J. 1981. Language Typology: Cross-Linguistic
Studies in Syntax. Amsterdam: North-Holland Publishing
Company.
Manning, C. D. 1996. Ergativity: Argument Structure and Grammatical
Relations. Stanford, California: CSLI Publications.
Masinambow, E. K. M., dan Haenen, P (penyunting). 2002.
Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
McMahon, M. S. 1999. Understanding Language Change. Cambridge:
Cambridge University Press.
Moussay, G. 1981. La Langue Minangkabau. Paris: Association
Archipel.

279
Ketut Artawa & Jufrizal

Moussay, G. (Hidayat, R. S. : penerjemah). 1998. Tata Bahasa


Minangkabau. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Mukhamdanah. 2010. ‘Satu Bahasa Ibu di Indonesia telah Punah
(Lagi): Kasus Bahasa Tandia di Teluk Wondama’ (makalah
disajikan pada Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu, 2010).
Bandung: Panitia Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu,
Balai Bahasa Bandung, dan Alqa Print.
Nazara, W. 2001. “Subjek dan Objek Bahasa Nias” (Tesis Magister
belum terbit). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Nedjalkov, V. P. (editor). 1988. Typology of Resultative Constructions.
Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Odlin, T. (editor). Pespectives on Pedagogical Grammar. Cambridge:
Cambridge University Press.
Oatey, H. S. (ed.). 2000. Culturally Speaking: Managing Rapport
through Talk Across Cultures. London: Continum.
Palmer, F. R. 1994. Grammatical Roles and Relations. Cambridge:
Cambridge University Press.
Parera, J. D. 1991. Kajian Linguistik Umum, Historis Komparatif, dan
Tipologi Struktural. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Payne, T. E. 2002. Describing Morphosyntax: A Guide for Field Linguists.
Cambridge: Cambridge University Press.
Payne, T. E. 2006. Exploring Language Structure: A Student’s Guide.
Cambridge: Cambridge University Press.
Pinker, S. 2007. Language Instinct. New York: Harper Collins
Publishers
Postal, P. 1974. Raising. Cambridge: MIT Press.
Purwo, B. K. (editor). 1989. Serpih-serpih Telaah Pasif Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Purwo, B. K. 2000. ‘Bangkitnya Kebhinnekaan Dunia Linguistik
dan Pendidikan’ (Orasi Ilmiah). Jakarta: Mega Media Abadi.
Robin, R. H. 1990. A Short History of Linguistics. New York: Longman,
Inc.
Schendl, H. 2001. Historical Linguistics. Oxford: Oxford University
Press.
Shibatani, M. (editor). 1976. Syntax and Semantics: The Grammar of

280
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

Causative Construction. New York: Academic Press, Inc.


Shibatani, M. (editor) 1988. Passive and Voice. Amsterdam: John
Benjamins Publishing Company.
Shibatani, M. dan Theodora Bynon (editor). 1999. Approaches to
Language Typology. Oxford: Oxford University Press.
Shibatani, M., Thompson, S. A. (editor). 1996. Grammatical
Constructions: Their Form and Meaning. Oxford: Clarendon
Press.
Shibatani, M.. 1998. ‘Voice Parameters’ dalam Kulikov, L., Vater,
H. (editor). Typology of Verbal Categories. Tubingen: Max
Niemeyer Verlag.
Shopen, T. (editor). 1987. Language Typology and Syntactic Description
(Vol. III). Cambridge: Cambridge University Press.
Shopen, T. (editor). 2007. Language Typology and Syntactic Description
(Vol.I) 2nd ed.. Cambridge: Cambridge University Press.
Shopen, T. (editor). 2007. Language Typology and Syntactic Description
(Vol. II) 2nd ed.. Cambridge: Cambridge University Press.
Shopen, T. (editor). 2007. Language Typology and Syntactic Description
(Vol. III) 2nd ed.. Cambridge: Cambridge University Press.
Silverstein, M. 1986. ‘Hierarchy of Features and Ergativity’ dalam
Dixon, R. M. W. (ed.). Grammatical Categories in Australian
Languages. Hal.: 122—171. Canberra: Humanities Press.
Sobur, A. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Penerbit PT. Remaja
Rosdakarya.
Song, J. J. 2001. Linguistic Typology: Morphology and Syntax. Harlow,
England: Pearson Education Limited.
Sudaryanto. 1985. Linguistik: Esai tentang Bahasa dan Pengantar ke
dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Tallerman, M. 1990. ‘Relativization Strategies: NP Accessibility in
Welsh.’ dalam Journal of Linguistics. 26: Hal.: 291—314.
Tallerman, M. 1998. Understanding Syntax. London and New York:
Arnold.
Trask, R. L. 1993. A Dictionary of Grammatical Terms in Linguistics.
London: Routledge.
Van den Berg, R. 2014. ‘Juara Satu dan Dua: Membandingkan Situasi

281
Ketut Artawa & Jufrizal

Kebahasaan Indnesia dan Papua Nugini’ (Makalah disajikan


pada Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia
(KIMLI); pada 19 – 22 Februari 2014, di Bandar Lampung).
Bandar Lampung: Masyarakat Linguistik Indonesia dan
Universitas Lampung.
Van Valin Jr., R. D., La Polla, R. J. 1999, 2002. Syntax: Structure,
Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge University
Press.
Verhaar, J. W. M. 1988. ‘Syntactic Ergativity in Contemporary
Indonesian’ dalam MacGinn, R. (ed.). Studies in Austronesian
Linguistics. Hal.: 347—384. Athens: Ohio University.
Verhaar, J. W. M. 1989. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Verhaar, J. W. M. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Whaley, L. J. 1997. Introduction to Typology. London: SAGE
Publications.
White, L., dan Dillingham, B. 1973. The Concept of Culture. USA:
Burgess Publishing Company.

282
INDEKS

A 74, 103, 132, 133, 140, 141,


142, 143, 147, 148, 149, 151,
absolutif xiv, 65, 66, 69, 101, 102, 159, 166, 168, 171, 180, 183,
117, 118, 189, 190 201, 202, 203, 204, 205, 206,
Adelman 5, 279 209, 213, 214, 216, 222, 224,
aglutinasi 29, 31, 32, 86, 87, 94, 99, 228, 237, 260, 261, 262, 263,
116, 247, 269 264, 265
Akusatif 51, 52, 140, 188, 278 bahasa Jepang 209, 212
Aliansi Gramatikal vi, xi, xii, xiii, bahasa Korea 212, 213
62, 67, 115, 187, 188, 277 bahasa Melayu 49, 69, 86, 219, 220,
Alisjahbana 111 221, 222, 223, 237
Alsagoff 219, 220, 221, 222, 223, 273 bahasa Minangkabau xiv, 159, 223
Alsina 179, 180, 273 bahasa Prancis 213
Alwi 88, 273 Bali ii
aplikatif xiv, 133, 190, 229, 230, 231 Blake 26, 27, 29, 31, 33, 34, 41, 43,
Appel 247 57, 77, 84, 86, 116, 119, 120,
Arka 33, 120, 189, 273 132, 133, 138, 171, 173, 175,
Artawa i, ii, iv, v, vi, 2, 3, 7, 8, 10, 177, 197, 208, 216, 224, 239,
11, 27, 30, 33, 56, 58, 59, 63, 257, 274, 279, 286
64, 65, 66, 68, 101, 116, 102, Bloomfield 9, 15, 173, 274
117, 138, 159, 188, 197, 208, Boas 239, 241
213, 224, 225, 231, 232, 235, Butt 186, 275
243, 244, 245, 257, 258, 259, Bygate 261, 266, 275
273, 274, 286
Austronesia v, vi, 59, 93, 133, 144, C
171, 176, 213
Campbell 45, 246, 250, 275
B Chapman 7, 275
Cherry 5, 275
bahasa akusatif 63, 66, 67, 68, 101, Chomsky 10, 47, 148, 255
102, 116, 117, 118, 168, 170, Chung 124, 127, 128, 130, 275
172, 174, 175, 178, 183, 188, Cina 18, 209
248, 249, 252, 258, 271 Cole 180, 275
bahasa Bali xiv, 59, 69, 86, 144, 146, Comrie 11, 27, 28, 31, 33, 34, 36, 37,
148, 149, 151, 152, 153, 154, 56, 57, 59, 64, 65, 74, 86, 101,
159, 176, 232 117, 122, 131, 133, 138, 149,
bahasa ergatif 63, 64, 65, 69, 101, 158, 159, 187, 197, 216, 217,
102, 117, 128, 158, 172, 173, 224, 235, 255, 275, 276, 279
175, 178, 188, 249, 269 Croft 11, 35, 37, 44, 101, 121, 235,
bahasa Hausa 50 246, 250, 252, 258, 276
Bahasa Indonesia 69, 103, 104, 109,
123, 127, 128, 129, 131, 154, D
198, 199, 200, 206, 223, 273,
280, 281 Dardjowidjojo 223, 273
bahasa Inggris xiii, 32, 34, 43, 44, Dick 34
48, 50, 51, 57, 58, 65, 66, 68, Dixon vi, 15, 16, 17, 27, 33, 50, 52,

283
Ketut Artawa & Jufrizal

63, 64, 65, 66, 101, 102, 107, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
117, 118, 120, 131, 189, 190, 103, 104, 106, 108, 109, 111,
247, 252, 276, 281 112, 123, 124, 125, 126, 127,
Djunaidi 117, 120, 138 128, 129, 130, 131, 154, 155,
Donohue 33, 179 156, 159, 175, 180, 198, 199,
Duranti 2, 4, 7, 191, 239, 243, 244, 200, 201, 202, 206, 207, 213,
245, 248, 276 214, 215, 216, 219, 220, 222,
Dyirbal 65, 66, 106, 232 223, 232, 233, 260, 261, 264,
265, 266, 273, 274, 279, 280,
E 281, 282, 286
ekstraposisi 202, 203, 204 isolasi 28, 31, 85, 87, 116, 247, 270
Elson 53, 55 J
ergatif vi, xiii, xiv, 54, 63, 64, 65,
66, 67, 69, 101, 102, 116, 117, Jackendoff 217
118, 119, 120, 123, 126, 128, Jesperson 48
129, 131, 132, 158, 171, 172, Johnson 34
173, 174, 175, 177, 178, 179, Jufrizal i, ii, iv, v, vi, 2, 3, 4, 8, 27,
188, 189, 190, 248, 249, 250, 29, 30, 31, 53, 56, 57, 58, 59,
258, 269 60, 63, 65, 68, 77, 101, 112,
116, 117, 120, 121, 122, 133,
F 134, 135, 159, 160, 161, 162,
Finegan 48, 55 194, 166, 197, 208, 213, 225,
Foley 2, 3, 4, 36, 65, 121, 132, 172, 228, 235, 243, 244, 245, 246,
175, 176, 177, 191, 192, 240, 247, 249, 250, 252, 254, 256,
241, 248, 276 257, 258, 259, 260, 261, 262,
Freeman 12 263, 266, 277, 278, 279, 286
Friedrich von Schiegel 30 K
G kalimat imperatif 77, 78, 84, 175
geolinguistik 246, 250 kalimat pasif 111, 112, 128, 130, 131,
Givon 33, 101, 209, 276 144, 183, 185, 186, 187, 203,
gramatika semesta 35, 36, 37, 38, 206, 213, 224
120, 121, 122, 123 kalimat transitif 54, 60, 80, 82, 83,
Greenberg 26, 27, 32, 43, 44, 71, 77, 108, 111, 128, 141, 143, 152,
277 160, 166, 168, 176, 185, 187,
Grimes 8 271
Gundel 193, 208, 210, 211, 212, 213, Kalkatungu 177
228, 231, 277 kausatif xv, 55, 159
Keraf iv, 126
H kesemestaan bahasa 11, 34, 35, 36,
37, 38, 41, 50, 71, 120, 121,
Health 65 122, 236, 255, 259, 271
Hixkaryana 76 kesemestaan implikasional 43, 44
Howell 5 klausa deklaratif 79
I Klausa Interogatif 81
Klausa relatif 59, 60, 149, 166, 200
Indonesia iv, v, vi, vii, viii, xiv, 17, komplemen xv, 77, 145, 154, 175,
18, 20, 31, 32, 48, 49, 50, 54, 176, 178, 201, 202, 216, 271
59, 69, 85, 86, 87, 88, 91, 92, konstruksi aplikatif 229, 230, 231

284
Tipologi Linguistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya

konstruksi eksistensial 202, 204 183


konstruksi pembelahan 202, 204 pembelajaran bahasa 14, 25, 40, 245,
Kramcsch 241 254, 256, 257, 258, 259, 260,
Kridalaksana 10, 47, 279 261, 264, 265, 266, 267
Kroeger 178, 217, 218, 219, 279 penjangka kambang 145, 147, 154,
155
L peran gramatikal 54, 57, 133, 134,
Lambrecht 193, 194, 195, 217, 279 137, 138, 189, 197, 223
Lapolla 35, 53, 120, 194, 195, 196 Pinker 248, 280
Levine 5, 279 pivot 63, 65, 66, 128
Li 158, 159, 208, 209, 210, 211, 212, polisintetis 31, 32, 86, 116, 192, 270
213, 223, 232, 275, 279 Postal 34, 125, 132, 159, 175, 176,
Lyons 9, 24, 25, 47, 73, 279 281
Pullum 77, 202, 203, 204, 205
M
R
Malagasy 76
Malinowski 239 relasi gramatikal 54, 55, 56, 57, 58,
Mallinson 26, 27, 29, 31, 33, 34, 41, 59, 62, 67, 101, 132, 133, 138,
43, 77, 84, 86, 116, 120, 239, 139, 140, 144, 149, 158, 159,
257, 279 166, 170, 172, 179, 189, 212,
McMahon 246, 249, 250, 280 231, 271
Moeliono 223, 273, 274 Rene van den Berg 17, 18
Moussay 77, 79, 162, 280 Robins 9
Mukhaiyar 262 S
Muysken 247
Schendle 246, 250
N Selkirk 217
Nadeb 76 Shibatani 33, 174, 281
Nazara 180, 280 Shopen 77, 198, 224, 275, 281
Silverstein 175, 281
O sistem ergatif 54, 118, 120, 171, 189,
190
Oatey 7, 280 sistem nominatif-akusatif 68, 118,
objek gramatikal 54, 130, 136, 139, 190
182, 198 Smith 34, 84, 120
objek langsung xv, 52, 56, 57, 124, Sneddon 207
132, 133, 175, 176, 177 Sobur 5, 282
objek tak langsung xv, 56, 57, 133, Song vi, 28, 36, 37, 38, 41, 43, 73, 74,
175 76, 86, 115, 118, 121, 122, 190,
Oneida 86, 87 235, 282
P Stern 14, 254, 260, 267
struktur bermarkah 198, 202, 204,
Palmer 54, 57, 65, 101, 133, 134, 138, 216
188, 280 struktur informasi vi, 139, 193, 194,
Panare 76 195, 196, 197, 198, 202, 205,
Payne vi, 6, 66, 67, 68, 69, 72, 74, 206, 207, 208, 217, 232
102, 118, 120, 173, 189, 190, struktur topik-komen 101, 207, 208,
197, 280 212, 213, 224, 228, 232
pelesapan 128, 130, 142, 154, 156, subjek gramatikal xvi, 53, 54, 64,

285
Ketut Artawa & Jufrizal

65, 80, 108, 135, 136, 138, 139, U


144, 145, 147, 148, 155, 156,
158, 160, 161, 163, 164, 165, Urubu 76
168, 169, 174, 188, 198, 228, V
252
Sudaryanto 129, 282 valensi xvi, 101, 107, 108, 177, 271
Sugono 128 Van Valin 136, 137, 172, 192, 282
Vendler 136, 137
T Verba dwitransitif 179, 272
Tagalog 172, 173, 174, 175, 177, 178, verba intransitif xvi, 64, 88, 89, 90,
209, 213, 218, 273, 274, 275, 92, 93, 94, 100, 103, 104, 105,
279 107, 109, 126, 129, 131, 137,
Thai 49 140, 144, 147, 154, 155, 160,
Thompson 208, 209, 210, 211, 212, 170, 176, 187
213, 223, 232, 277, 281 verba transitif xvi, 60, 81, 95, 96, 97,
Tigre 45, 46 98, 99, 100, 103, 106, 110, 111,
tipologi bahasa v, vi, 27, 28, 31, 34, 112, 126, 129, 131, 144, 148,
35, 37, 38, 39, 40, 69, 71, 103, 149, 151, 154, 161, 163, 166,
108, 113, 115, 116, 117, 120, 167, 170, 180, 187
121, 122, 158, 178, 188, 189, Verhaar iv, 127, 128, 180, 282
208, 223, 244, 250, 255, 258, Vetter 5
259, 266 W
tipologi fungsional 10, 30, 33, 35,
101, 115, 121, 223, 232, 233, Wardhaugh 242, 243
259 Weber 51, 68
tipologi gramatikal v, 10, 29, 30, 31, Wels 76
32, 33, 40, 52, 53, 55, 56, 58, Whaley 29, 30, 31, 33, 41, 42, 43, 44,
62, 70, 71, 72, 74, 84, 85, 87, 45, 47, 49, 50, 51, 52, 55, 56,
100, 101, 102, 103, 112, 113, 59, 62, 71, 74, 75, 76, 86, 115,
115, 120, 126, 187, 190, 197, 235, 282
233, 235, 244, 247, 249, 250, Whorf 241, 242, 243
252, 253, 257, 259, 265, 266 Wilhelm von Humboldt 30, 72
Tonkyn 261, 275
Toulmin 15 Y
Trager 9 Yay 86, 87
Tuite 192, 277

286
TENTANG PENULIS

Prof. Drs. I Ketut Artawa, M.A., Ph.D., lahir di Tabanan, Provinsi


Bali, pada 24 Oktober 1956, menyelesaikan Sekolah Dasar di
Panatahan (1969), Sekolah Menengah Pertama di Penebel (1972),
Sekolah Menengah Atas di Singaraja (1975). Pendidikan Sarjana
Muda (B.A.) dan tingkat Sarjana (Drs.) diselesaikan di Fakultas
Sastra Universitas Udayana, Denpasar, pada Jurusan Sastra
Inggris. Selanjutnya, dia menyelesaikan Pendidikan Program
S2 (1992) dan S3 (1995) di La Trobe University, Australia. Sejak
2005, dia memangku jabatan akademis Guru Besar bidang Ilmu
Linguistik di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dia menjadi
dosen di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana, Denpasar sejak 1983. Minat kajian dan penelitiannya
adalah bidang Tipologi Linguistik, Komunikasi Lintas Budaya,
Linguistic Landscapes, dan Telaah Tipologis bahasa-bahasa lokal/
daerah. Karya karya banyak digunakan sebagai acuan di antaranya
adalah Ergativity and Balinese Syntax yang diterbitkan oleh NUSA,
Linguistic Studies of Indonesian and other Languages in Indonesia
Volume 42, 43, 44,1988. Patient Primacy in Balinese dimuat dalam
journal internasional Studies in Language, volume 21, 1977 ditulis
bersama Prof. Barry J Blake. Balinese Valency Classes ditulis bersama
Prof. Masayoshi Shibatati dari Rice University dimuat dalam buku
Valency Classes in the World’s Languages yang dieditori oleh Adrej
Malchukov dan Bernard Comie yang diterbitkan oleh De Gruyter
Mouton, 2015. Sebagai visiting professor atas undangan dari
Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo
University of Foreign Studies, Japan (2011-2012)

Prof. Dr. Jufrizal, M. Hum., lahir di Padang, Sumatera Barat, pada 22


Juli 1967, menyelesaikan pendidikan dasar, menengah, dan tingkat
Sarjana (S1) di kota kelahirannya, Padang. Setelah menyelesaikan
Program Sarjana (S1) di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS
IKIP Padang (sekarang FBS Universitas Negeri Padang) (tahun 1991),
dia melanjutkan Pendidikan Program S2 (1994 – 1996 dan S3 (2000

287
– 2004) pada Program Studi Linguistik di Program Pascasarjana,
Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Sejak 1 September 2009, dia
memangku jabatan akademis Guru Besar bidang Ilmu Linguistik
di Universitas Negeri Padang. Dia menjadi dosen di Jurusan
Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Padang sejak 1 Maret
1992. Minat kajian dan penelitiannya adalah Tipologi Linguistik,
Linguistik Kebudayaan, dan Pengajaran-Pembelajaran Tata bahasa
bahasa asing.

288
L inguistik, ilmu yang mempelajari bahasa, lahir dan
berkembang beriringan dengan keawasan dan
kepedulian manusia terhadap bahasa yang sangat
berperan dalam kehidupan manusia. Telaah tata bahasa
(grammar) merupakan salah satu inti kajian kebahasaan
sejak kemunculan linguistik sampai masa mutakhir ini.
Sejumlah buku yang mendeskripsikan tata bahasa, baik
yang bersifat umum maupun khusus telah banyak ditulis
oleh para ilmuwan dan peneliti bahasa. Namun deskripsi
dan telaah ketatabahasaan yang didasarkan pada teori
Tipologi Linguistik belum banyak dan kurang mendapat
perhatian di Indonesia. Buku yang berjudul “Tipologi
Linguistik: Teori Dasar dan Aplikasinya” ini memuat teori-
teori dasar tentang tipologi linguistik dan contoh
penerapannya dalam beberapa bahasa. Sejumlah data
bahasa secara lintas bahasa juga turut disajikan dalam buku
ini sebagai bagian dari peletakan dan pemahaman dasar
atas teori-teori Tipologi Linguistik. Buku yang diracik dan
dikembangkan berdasarkan serangkaian hasil penelitian ini
memuat deskripsi dan telaah tentang: pengantar teori
tipologi linguistik, struktur dasar, relasi dan peran
gramatikal, struktur informasi, dan kaitan tipologi linguistik
dengan beberapa bentuk kajian kebahasaan yang bersifat
makrolinguistik. Buku ini bermanfaat bagi pembelajar
linguistik pada tingkat sarjana (S1), pascasarjana (S2) dan
(S3), pemerhati dan peneliti tata bahasa, khususnya bagi
yang tertarik pada kajian Tipologi Linguistik. Selamat
mempelajari dan mencermati buku ini dan semoga
bermanfaat!

Anda mungkin juga menyukai