Anda di halaman 1dari 7

Nama : Elsa Dhiya Tintaningrum

Kelas : PBSI 4B
NIM :1801040076

A Tokoh: Figur Jutaan Rasa

Tokoh adalah figur yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan


psikologis. Dia adalah ”eksekutor” dalam sastra. Jutaan rasa akan hadir lewat
tokoh. Titik rasa itu bahkan ada yang dipengaruhi oleh kramadangsa (keakuan).
Karena itu mempelajari tokoh, memang akan mampu menelusuri jejak
psikologisnya. Tokoh kadang-kadang juga representasi psikis pengarangnya.
Meskipun hal ini masih perlu diperdebatkan, paling tidak belajar dari tokoh,
pembaca dapat memahami alur psikis pengarang. Penelitian tokoh memang
bagian dari aspek instriksik (struktur) sastra. Namun, penelitian tokoh yang
bernuansa psikis akan berpijak pada psikologi Sastra. Gabungan psikologi sastra
dan struktur pun juga sah dalam Studi sastra.

Sastra dalam pandangan psikologi sastra adalah cermin sikap dan perilaku
manusia. Sikap dan perilaku hakikatnya adalah pantulan jiwa. Jiwa yang khayal,
akan dapat dimonitor lewat sikap dan perilaku. Oleh karena itu, membaca sikap
dan perilaku dalam sastra, peneliti akan mampu memahami gejolak jiwa manusia.
Peristiwa kejiwaan ketika menggerutu, meratap, melamun, menangis,
menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan, berteriak histeris, membanting
pintu dan menutup diri seharian di dalam kamar, mencabik. cabik baju, meremas
kertas, duduk berkhayal dan membunuh diri serta melukai orang lain, dan lain-
lain, merupakan wujud perilaku eksternal yang tak dapat dirubah karena sudah
terlanjur terungkap dan merupakan fakta empiris.

Data empiris itu hidup dalam jiwa pengarang. Pengarang senang


mengotak-atik data empiris itu menjadi data imajiner. Pada tataran fakta empiris
inilah diletakkan studi psikologi sebelum sampai pada tataran mental state, atau
keadaan jiwa penanggung gejala jiwa tertentu. Pada tataran tersebut, apa yang
dialami manusia, dirasakan, diinternalisasi, dan dihayati sepenuh hati merupakan
peta jiwa. Tugas peneliti psikologi sastra adalah menemukan metafisik di balik
data empiris tersebut. Inilah yang disebut pencarian titik temu sastra dan
psikologi.

Menurut Siswantoro (2004:31-35), secara kategori, sastra berbeda dengan


psikologi sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia
fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni (art), sedangkan
psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses
mental. Meski keduanya berbeda, tetapi memiliki titik temu atau kesamaan, yakni
keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber penelitia. Bicara
tentang manusia, psikologi jelas terlibat erat karena psikologi mempelajari
perilaku. Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang
membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Pendapat ini memberikan
pemahaman luas bahwa penelitian sastra membutuhkan cara pandang psikologi
sastra. Menurut dia, novel atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra merupakan
jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa perilaku yang dialami dan
diperbuat manusia (tokoh). Realita sosial, realita psikologis, realita religius
merupakan tema-tema yang sering kita dengar ketika seseorang menyoal novel
sebagai realita kehidupan. Secara spesifik, realita psikologi sebagai misal adalah
kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika
merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Hanya saja yang perlu
dipahami, pemahaman psikologi tokoh sebaiknya memang tidak hanya terfokus
pada tokoh utama.

Gagasan demikian cukup nalar karena dalam sastra tokoh tidak mungkin
lepas dari aspek lingkungan sekitar. Hidup tidak serba asing. Hidup seorang tokoh
dalam sastra selalu berkaitan dengan aspek lain. Maka, Jefferson dan Robey
(19919) juga .menegaskan bahwa aset lingkungan dalam studi psikologi sastra tak
bisa dilepaskan. Dengan bersandar gagasan Taine.
Akhimya, dapat diketengahkan bahwa karya sastra, tampak~ nya telah mampu
merekam gejala kejiwaan yang terungkap lewat perilaku tokoh. Perilaku ini
menjadi data atau fakta empiris yang harus dimunculkan oleh analis atau
pembaca, ataupun peneliti sastra dengan syarat bahwa mereka memiliki teori-teori
psikologi yang memadai di dalam usaha bedah investigasi. Tanpa pengetahuan
psikologi yang memadai, kegiatan analisis hanya akan berhenti sebatas kerangka
atau bingkai general semata, yakni analisis psikologi tanpa mampu menjelaskan
secara tajam partikular gejala psikologi, seperti apa yang diidap tokoh.

Contoh : Dalam sebuah novel yang berjudul “Daun Kamboja Luruh Satu-Satu”
terdapat seorang tokoh utama yang memiliki karakter yang baik. Penulis
menggambarkan kehidupan tokoh utama itu dengan cerita bahwa dia memiliki
keluarga yang tidak harmonis, hidupnya dirundung dengan pilu, serba kesepian
dll. Dari penggambaran tokoh tersebut pembaca dapat merasakan kesedihan yang
dialami oleh tokoh tersebut meskipun hanya melalui penggambaran dari penulis
cerita.

B. Tokoh dan Cermin Kejiwaan

Tokoh biasa terdapat pada karya prosa dan drama. Adapun puisi hanya
sebagian yang memiliki tokoh. Puisi klasik memang ada pula yang mempunyai
tokoh. Karya sastra babad, misalnya, meskipun berupa puisi, tetapi ada tokohnya.
Tokoh-tokoh yang muncul dibangun untuk melakukan sebuah objek. Tokoh
termaksud yang secara psikologis menjadi wakil sastrawan. Sastrawan kadang-
kadang menyelinapkan pesan lewat tokoh. Kemarahan sastrawan sering kali juga
dimunculkan dalam tokoh.

Tokoh yang menjadi tumpuan penelitian psikologi sastra, berarti perlu


diidentifikasi. Dalam analisis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh
utama, sedangkan tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya, kadang mendapat
penekanan. Pemahaman tokoh semacam ini terasa berat sebelah karena tokoh
bawahan (periperial) pun memiliki watak dan sering kali juga dijadikan cermin
diri. Untuk memahami tokoh dalam sastra, tentu saja diperlukan teori psikologi
khusus. Hal ini, seperti pernyataan Wrigth (19989) bahwa untuk mengungkap
unsur-unsur psikologis dalam karya sastra, diperlukan bantuan teori-teori
psikologi. Teori ini disesuaikan dengan hal yang akan digali dari tokoh.
Perwatakan dominan biasanya yang menjadi tumpuan dalam tokoh.

Untuk penulis naratif, biasanya yang disorot secara psikologis adalah


penciptaan tokoh dan cerita. Sejak periode romantik, ada dua kriteria, yakni kedua
unsur naratif itu bisa dianggap ”asli” dalam arti merupakan tiruan dari orang-
orang yang hidup (pandangan ini juga diterapkan untuk sastra lama), atau
”jiplakan”. Jadi, pembicaraan tokoh bisa dianggap campuran dari 'tokoh tipe yang
sudah ada dalam tradisi sastra. Tokoh menjadi cermin diri gastrawan.
Penggarapan tokoh yang matang akan menukik dalam Potret diri. Tokoh yang
digarap kental, dengan perwatakan yang memukau, akan menjadi daya tarik
khusus. Tokoh tersebut tergolong orang-orang yang diamati oleh pengarang, dan
pengarang sendiri akan masuk secara alamiah dalam karyanya. Kadar
percampuran karakter tokoh dan diri sastrawan bervariasi. Penulis realis boleh
dikatakan membuat pengamatan terhadap perilaku masyarakat dan menyajikan
rasa empati, sedangkan penulis romantik membuat proyeksi perasaannya.

Contoh : Seorang penulis sedang mengalami patah hati atu mengalami kesedihsn
akibat suatu hal, maka dalam penulisan karyanya biasanya secara alami akan
terdapat bagian yang menceritakan tentang kisah patah hati tersebut. Baik itu
tersdapat dalam cerita tokoh utama maupun tokoh pendamping lainnya.

c. Penelitian Psikologis Penokohan

Penerapan konsep Wellek dan Warren (1989) telah dicoba oleh beberapa
peneliti. Meskipun hasil penelitiannya masih terbatas pada novel dan belum
mampu mengungkap seluruh aspek psikologis penelitian mereka telah
membukakan jalan menuju psikologi sastra. Penelitian terhadap Novel IDeviasi
IKarya Mira W. akan dibahas disini. Berdasarkan pengamatan diketahui
bagaimana sifat-sifat tokoh utama “Rivai”. Misalnya seperti

‘ Di saat lain, di depan Taufan (suami Arneta yang baru), Rivai juga memperkosa
Tiah (pembantu Arneta) lagi. Tidak segan-segan Rivai memukuli korbannya
sebelum dia memuaskan nafsunya. Taufan yang menghalang-halangi Rivai untuk
menemui Arneta juga tidak lepas dari siksaan atau hukumannya. Hal ini dilakukan
sesuai dengan prinsip hidup yang telah ditanamkan oleh kakakmya (Rana
Maringka) bahwa siapa yang bersalah harus dihukum. Sifat Rivai semacam ini
telah tampak sejak lama, bahkan sejak usianya baru tujuh tahun. Hal ini teradi
akibat kebencian pada sang Ayah yang selalu memperlakukannya secara keras.
Misalnya, ketika tahu ayahnya berada dj gudang, dia sengaja membakar gudang
dan ayahnya hidup hidup. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut.

”Duduk tanpa bergerak di kursinya. Tangannya mencengkeram ' Pegangan kursi


erat-erat. Begitu kuatnya sampai kuku-kuku jarinya memutih.” (hal. 130) '

”Beberapa meter dari sana, seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun tak
berkedip menatap ke arah gudang yang terbakar. Tatapannya kosong. Mukanya
beku. Dalam kobaran api yang merah membara itu, seperti dapat menyaksikan
kembali adegan sore tadi. Ayah memukulinya dengan ganas. ” (hal. 5)

Itulah beberapa contoh peristiwa yang menggambarkan bahwaa Sakhana perilaku


deviasif tokoh Rivai.

Berdasarkan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa Rivai dapat


digolongkan sebagai penderita psikopat (Sujanto, 1997), dan lebih jauh lagi
psikopat yang antisosial. Dikatakan demikian karena ia tidak mempedulikan
norma-norma sosial, seolah tidak mempunyai ”hati nurani”, berbuat semaunya
sendiri tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Seorang psikopat dari jenis
ini dimungkinkan dapat menjadj pencuri, pembunuh, penjahat seksual, tanpa
merasa bersalah atau berdosa. Penderita psikopat ini tidak merasakan sendiri
penyakitnya. Ia tidak merasa ada kelainan dalam dirinya, dan kelainan itu sulit
dihilangkan seumur hidupnya.

Contoh :Sorang tokoh memiliki watak yang baik bahkan sangat baik senang
membantu dan selalu ramah terhadap orang lain, namun terkadang tanpa sebab
yang jelas dia tiba-tiba berubah menjafi prubadi yang berbeda terkadang marah-
marah, bahkan tidak segan dia memukuli orang di sekitarnya. Dari penjelasan
tersebut dapat dianalisis psikologis tokoh tersebut memiliki kepribadian ganda.

D. Konsep Pengaruh dalam Tokoh

Diyakini bahwa pribadi manusia itu pada dasarnya dapat berubah.


Perubahan itu terjadi akibat dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya,
pertama, faktor dari dalam yang dibawa sejak lahir (berwujud benih, bibit,
keturunan, atau kemampuan-kemampuan dasar), dan kedua, faktor dari luar atau
pengaruh lingkungan. Dikatakan oleh kaum Nativisme, yang didukung oleh aliran
Naturalisme, bahwa faktor pembawaan lebih kuat daripada faktor yang datang
dari luar. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh aliran Empirisme. John Locke,
seorang tokoh aliran Empirisme, dengan teori Tabula Rasa yang dikemukakannya,
mengatakan bahwa faktor luar lebih kuat daripada faktor dalam. Sebab, manusia
lahir ibarat kertas putih bersih yang belum ditulisi. Dari dua pendapat tersebut,
akhimya dapat dikatakan bahwa kedua kekuatan itu sebenarnya saling
berpengaruh. Artinya, seseorang mengalami perubahan akibat adanya dua faktor,
yaitu faktor dalam (keturunan) dan faktor luar (1ingkungan).

Tokoh dapat berubah-ubah kepribadiannya, tergantung situasi yang


melingkupinya. Tokoh merupakan figur yang panting, yang menjadi wahana
novelis mengantarkan jiwanya. Dari peristiwa ambivalensi maupun kepribadian
tunggal, merupakan bentuk kompleksitas psikologi manusia. Oleh sebab itu,
peneliti akan mendeteksi perubahan pribadi dan fungsinya sebagai pembangun
cerita.
Contoh : Seorang anak hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk, seperti
sering terjadi kekrasan dalam rumah tangga, sering minum-minuman keras, dan
berada di lingkungan yang kurang pendidikan. Maka anak tersebut akan mendapat
pengaruh bruknya juga. Karena wattak seseorang itu dapat dipengaruhi oleh
beberapa factor baik dari dalam maupun dari luar.

Anda mungkin juga menyukai