Anda di halaman 1dari 20

DASAR TEORI

Apresiasi Prosa Fiksi Dengan Pendekatan Moral dan Psikologis

A. Pendekatan Moral
Sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang
dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.
Karya sastra amat penting bagi kehidupan rohani manusia. Oleh karena
sastra adalah karya seni yang bertulangpunggung pada cerita, maka mau
tidak mau karya sastra dapat membawa pesan atau imbauan kepada
pembaca (Djojosuroto, 2006:80).

Pesan ini dinamakan moral atau amanat. Dengan demikian, sastra


dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1984:47). Moral
sendiri diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan
yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tertentu (Semi,
1993:49). Namun kepentingan moral dalam sastra sering tidak sejalan
dengan usaha untuk menciptakan keindahan dalam karya sastra (Darma,
1984:54). Pengalaman mental yang disampaikan pengarang belum tentu
sejalan dengan kepentingan moral. Menurut Djojosuroto (2006:81), meski
moral yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya selalu
menampilkan pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang
mempunyai sikap dan tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh
antagonis, tidak berarti tingkah laku yang kita ambil harus seperti tokoh
tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa


aspek moral adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan betul
salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya
berdasarkan pandangan hidup masyarakat. Nilai-nilai moralis yang
tercantum dalam karya sastra dapat berbentuk tingkah laku yang sesuai
dengan kesusilaan, budi pekerti, dan juga akhlak.

1
Dalam hubungannya dengan pengajaran, maka dapat dikatakan
bahwa pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan
tentang sastra dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan
pengajarannya. Aspek moral disini merupakan aspek yang berkaitan
dengan sikap, akhlak, budi pekerti, yang dapat diambil dari suatu cerita
tersebut.

B. Pendekatan Psikologis

Bimo Walgito (dalam Fananie, 2000: 177) mengemukakan


psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya
adalah manusia, karena perkataan psyche atau psicho mengandung
pengertian “jiwa”. Dengan demikian, psikologi mengandung makna “ilmu
pengetahuan tentang jiwa”.

Psikologi sastra berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-


tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan
inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata
dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan
diinvestasikan.

Penelitian psikologi sastra dilakukan melalui dua cara. Pertama,


melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan
sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-
teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis (Ratna,
2004: 344).

Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi, sebab sastra


berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esay yang
diklasifikasikan ke dalam seni (art), sedangkan psikologi merujuk kepada
studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda,
keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat
dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang

2
manusia, psikologi jelas terlibat erat, karena psikologi mempelajari
perilaku. Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang
membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Psikologi sastra mempelajari
fenomena, kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya
sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkunganya.
Dengan demikian, gejala kejiwaaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh
dalam sebuah karya sastra.

Karya sastra merupakan karya seorang pengarang yang merupakan


hasil perenungan dan imajinasi secara sadar dari hal-hal yang diketauhi,
dihindari, dirasa, ditanggapi, dan difantasikan, disampaikan kepada
khalayak melalui media bahassa dengan segala perangkatnya, sehingga
menjadi sebuah karya yang indah. Itulah sebabnjya masalh-masalh yang
terdapat di dalam karya sastra mempunyai kemiripan dengan keadaan
diluar karya sastra. Sesuai pendapat yang menyatakan bahwa karya sastra
merupakan cermin dari dunia nyata. Baik cermin dari dunia nyata yang
sesungguhnya, maupun cermin dari dunia nyata yang sudah bercampur
dengan imajinasi dan perunangan pengarang (Siswanto, 1993: 19).

Pendekatan adalah salah satu prinsip dasar yang digunakan sebagai


alat untuk mengapresiasi karya sastra, salah satunya ialah ditentukan oleh
tujuan dan apa yang hendak ditentukan lewat teks sastra, pembaca dapat
menggunakan beberapa pendekatan, salah satunya adalah pendekatan
psikologis. Semi (1993:76) menyatakan pendekatan psikologi sastra
adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu
membahas tentang kehidupan manusia yang senantiasa memperlihatkan
perilaku yang beragam. Apresiasi sastra menggunakan pendekatan
psikologi sastra pada mulanya diperkenalkan di Barat oleh L.A Richard,
dan di Indonesia pertama kali dilakukan oleh M.S Hutahulung, Boen S.
Oemarjati, dan Made Mukada.

Hubungan antara karya sastra dan psikologi juga dikemukakan


oleh suwardi (2004:96) yang mengemukakah bahwa karya sastra
dipandang sebagai gejala psikologis, akan menampilkan aspek-aspek

3
kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa prosa atau drama
sedangkan jika dalam bentuk puisi akan disampaikan melalui larik-larik
dan pilihan kata khas.

Sastra sebagai “gejala kejiwaan” yang didalamnya terkandung


fenomena yang tampak melalui perilaku tokoh-tokohnya. Sedangkan
psikologi (Pasaribu dan Simanjuntak, 1984:3-4), adalah ilmu jiwa atau
studi tentang jiwa. Dengan demikian, teks sastra (karya sastra) dapat
didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Hal ini dikarenakan
sastra dan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung
dan fungsional (Darmanto yatman dan Roekhan dalam Aminudin,
1990:93).

Hubungan tak langsung yang dimaksudkan adalah baik sastra


maupun psikologi sastra kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama,
yaitu kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog adalah sama-sama
manusia biasa. Mereka menangkap kejiwaan manusia secatra mendalam,
kemudian diungkapkan dalam bentuk karya sastr. Sedangkan hubungan
fungsional antara sastra dan psikologi adalah keduanya sama-sama
berguna sebagai sarana untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain.
Perbedaannya adalah adalah dalam karya sastra gejala-gejala kejiwaan dari
manusia-masia imajiner sebagai tokoh dalam karya sastra, sedangkan
dalam psikologi adalah gejala kejiwaan manusia-manusia riil (Suwardi,
2004:97).

4
Cerpen: Perempuan Balian

Karya: Sandi Firly

Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang


hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya
pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap
melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan
terlarang.”

Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka


bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya, yang karena cerita
semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan dijauhi teman-
temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian. ”Teman-
temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku
menirukan ucapannya.

Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang dengan almarhum


ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal
sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup
memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-
kampung jauh. Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih
dulu tiada, tak tertolong saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya,
kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan
dalam hidup.

Dengan hidup hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh


menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan
bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita tentang
mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya.

***

Balai Atiran terang benderang. Orang-orang mulai berdatangan


memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga yang berdiam di

5
dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu bilik masing-
masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka itu
layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu,
menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang
malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.

Barisan-barisan tamu dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang.


Arak-arakan kecil itu sebagian datang dengan berpenerang obor, sinter,
atau hanya mengandalkan terang langit di atas jalan yang membelah hutan
pegunungan Meratus. Malam tak berbulan.

Kaki-kaki tak beralas menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum


menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan, dan
anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil kebun: kemiri,
keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara yang
bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah
dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam
sebuah kuali besar.

Para undangan sudah mulai memenuhi ruangan balai. Duduk


berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan ruang balai yang polos,
hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang menjangkau langit-
langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah balai yang
dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan
sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun
terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara
mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit
jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad.
Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan
batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-
orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin
upacara aruh.

6
Segala berpusat pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar.
Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin limbubu. Diam yang
mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata menjadi
sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang,
tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu
yang terus beringsut susut.

Tiga tubuh terus berputar-putar dalam tarian. Madah-madah


dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh gendang dan denting gelang.
Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak. Melenting tajam
menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara yang berkibar-kibar
dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak mengenal
kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan
ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-
tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.

Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan


Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung
kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.

Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan
daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering layaknya kulit
kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang terbakar di
musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya
kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup,
meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan
rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari
sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama
tari tiga balian.

Diisap buyu, penyakit menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil


tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh yang diisap buyu adalah seperti
merentangkan hidup di antara kematian. Darah, daging, dan air yang
menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa hutan

7
kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi
bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala;
manusia.

Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu.
Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah terbang menari-nari
mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan
yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si
sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh
jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah
dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam,
bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin
tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik
lantai.

Tiga balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak


gendang dan denting gelang yang tiada sepi.

Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di
sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan
tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak
jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang
dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-
mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria
di dekat lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena
ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak
semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di
lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-
waktu sang anak diambil sang ilah.

Seperti menyibak kegelapan malam, meredam guruh gemuruh


suara gelang dan mantra tiga balian, seorang perempuan muda tiba-tiba
menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal

8
mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan
diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti.
Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya
perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak,
segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan
mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus
panjang.

Aduhai,
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)

Tak ada seorang pun yang tergerak menghentikan perempuan itu.


Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang itu tersungkur ke
lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu pula, anak
lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan bergerak
seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang
semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah
mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh
tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya
terbuka, bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering, perlahan
berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan namun jelas.

Seketika saja, orang-orang menghambur ke depan, mendekati


tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung memeluk dan menciuminya.
”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari menangis dalam
kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut.

Seolah tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan perhatian


kepada sosok perempuan muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri di
lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng seperti sekumpulan laron
terperangkap dalam botol.

”Siapakah dia?”

9
”Dari mana asalnya?”

Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai.
Satu dua orang kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain,
lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke salah satu bilik balai dan
merebahkannya ke atas kasur tipis.

***

Orang sekampung tidak pernah melupakan malam itu. Seorang


perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun. Tidak
pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan menjadi
balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun laki-
laki. Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila,
menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan
mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian.

”Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi


perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat
mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua
lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan meja dengan
mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.

”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki
muda sembari mengisap rokok.

”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi
setelah meneguk kopi hitamnya.

Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak
muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan
kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena
perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya,
lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu,
”Celaka… celaka… celaka.”

10
Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung
berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu
menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”

Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi


meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan sebelum
matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian,
termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.

Selama perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran hutan


pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui cerita tentang Idang
perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang mengabarkan akan
datang bencana di kampung dan hutan mereka.

Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu,
sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah
perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.

11
PEMBAHASAN

A. Pendekatan Moral

Pembahasan terhadap cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly


melalui pendekatan moral ialah memperlihatkan sifat seseorang yang
ingin diterima dan diperhatikan, keteguhan orang tua kepada anaknya,
sifat seseorang yang tersingkir dari profesinya, dan sifat seseorang tidak
mau ikut capur terhadap permasalahan orang lain.
1. Sifat seseorang yang ingin diterima dan diperhatikan, yaitu tokoh
perempuan muda yang menceritakan hal-hal mistis, mempunyai teman
yang banyak, dan berperilaku yang membuat orang melihatnya.
Hingga akhirnya dia membuktikan apa yang dia bicarakan selama ini
betul-betul adanya dan berhasil mengobati orang, walaupun dengan
cara tiba-tiba.
“...Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap
mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang
mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering
mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup dalam mimpiku.
Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku.
Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah”.
“Seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah
upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra yang
tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi
denting gelang di kedua tangannya”
“Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang dianggap
gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari,
menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak
pernah dibaca para balian.”

2. Keteguhan orang tua kepada anaknya, yaitu keteguhan hati orang tua
yang selalu menunggu pengobatan anaknya sampai sembuh walau
badannya sudah lemas dan tak terurus.

12
“Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas
di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut
terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan
dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini
nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian
yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra. Kepala
perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya.”
3. Sifat seseorang yang tersingkir dari profesinya, yaitu tokoh Damang
Itat/orang tua yang berusaha mempengaruhi masyarakat agar
perempuan muda sebagai idang yang balian pada malam sebelumnya
dan berhasil menyembuhkan anak yang sudah sakit parah, tidak
dipakai untuk kesekian kalinya.
“Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan,
apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian.
Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di
warung kepada dua lelaki yang lebih muda.”
“Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian
anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja
nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa
bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi
balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi
meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka…
celaka.””

4. Sifat seseorang tidak mau ikut capur terhadap permasalahan orang lain,
yaitu tokoh ‘aku’ yang tidak memperdulikan perbincangan orang-
orang pergi meninggalkan kampung setelah urusannya selesai. Dia
hanya perduli akan penelitian yang baru saja dia selesaikan yaitu
mencari tempat dimana terdapat emas dan akan dilaporkan kepada
perusahaan besar.

13
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi
meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan
sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu
melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian,
sudah berakhir.”
“Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu,
sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar
oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari
perutnya.”

Dalam cerpen tersebut, pengarang berusaha menyampaikan bahwa


wanita itu tidaklah dilarang untuk bekerja, dan kegigihan seseorang dalam
mencapai suatu hal yang diinginkan pasti akan terwujud jika bekerja keras.
Janganlah kita berprasangka buruk pada seseorang sebelum kita tahu
kebenarannya. Juga, moral yang didapat setelah membaca dan memahami
cerpen ini, kita tidak boleh egois/hanya memikirkan diri sendiri tanpa
memperdulikan keadaan orang lain.

B. Pendekatan Psikologis
Pembahasan terhadap cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly melalui
psikologi sastra ialah dengan id, ego, dan superego.
1. Id
Id tergambar dari pikiran-pikiran liar seseorang yang berasal dari
alam bawah sadar atau bisa dikatakan id adalah dorangan-dorongan
yang bersifat biologis, lebih singkatnya keinginan seserorang. Dalam
cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly juga terdapat id.
a. Tokoh ‘aku’ yang ingin meninggalkan kampung tempat upacara
balian dan pada saat itu latarnya di warung.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap
pergi meninggalkan warung.”
b. Seorang perempuan muda (idang), keinginan untuk diperhatikan
dan diterima dalam masyarakat, tetapi kerena dia telah diaanggap
pembawa sial, maka masyarakat menjahuinya, sehingga dia

14
menceritakan hal-hal mistis sekedar menunjukkan bahwa dia juga
punya teman. Akan tetapi hal itu yang membuat masyarakat
beranggapan kalau dia kurang waras.
“Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular
besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi
ular yang menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku
sering bertemu Ayah.”
”Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana.
Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya,
yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia
perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku
tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain
jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan
ucapannya.
c. Damang Itat/lelaki tua, tidak terima akan kehadiran idang atau
balian perempuan yang berhasil menyembuhkan penyakit orang,
padahal dia sudah susah peyah mengobati orang tersebut. Maka dia
ingin menyingkirkan idang perempuan muda tersebut dengan
mempropokasi masyarakat.
“Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan,
apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang
balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang
lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda.”
d. Seorang ibu muda yang ingin mengobati anaknya dari penyakit
hingga dia rela menunggu lamanya pengbatan atau upacara
walaupun itu berhari-hari.
“Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk
lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal,
rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir
tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak
yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam

15
pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra.”

2. Ego
Ego menghasilkan perilaku yang didasarkan atas prinsip
kenyataan. Prinsip kenyataan adalah mencari objek yang tepat untuk
mereduksikan tegangan yang timbul dalam organisme. Ego dipandang
sebagai aspek eksekutif atau pengelolaan kepribadian. Bisa dikatakan
ego adalah suatu perbuatan yang tampak.
a. Tokoh ‘aku’ meninggalkan kampung, kerana alasannya pergi ke
kampung itu sudah terpenuhi.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap
pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai
perjalanan sebelum matahari meninggi”
“Selama perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran
hutan pegunungan Meratus itu...”
b. Seorang perempuan muda (idang), karena ingin diperhatikan
perempuan muda itu membuat ulah-ulah sehingga membuat orang
melihatnya, dan sekedar menunjukkan kalau dia punya teman di
hutan, maka dia selalu pergi ke hutan.
“Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan
tentang mimpi-mimpinya yang aneh.”
“Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya
yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon,
hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki
anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke
hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.”
c. Damang Itat/lelaki tua, karena ingin menyingkirkan idang
perempuan muda, damang Itat mempropokasi masyarakat dengan
melontarkan ancaman atau bencana yang akan diterima kampung.
“Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian
anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat

16
saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa
bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi
balian.””
d. Seorang ibu muda, karena ingin menyembuhkan anaknya yang
sedang sakit, ibu muda itu rela menunggu berhari-hari walau
badannya tidak sanggup lagi menahannya.
“Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk
lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal,
rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir
tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak
yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam
pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri
bersandar pada bahu seorang ibu yang menjaganya.”

3. Superego
Superego merupakan kesempurnaan dari kesenangan karena
superego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian.
Fungsinya menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, dan pantas
atau tidak dilakukan. Superego juga dapat dikatakan sebagai
pengontrol (nilai agama, sosial, dan lain-lain)
a. Tokoh ‘aku’, lebih memilih diam ketika terjadi pembicaraan yang
dia dengar di warung, karena dia merasa perbincangan tersebut
tidak akan mempengaruhi hasil penelitiannya.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap
pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai
perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua
minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara
balian, sudah berakhir.”
b. Seorang perempuan muda (idang), dia memilih masuk secara tiba-
tiba ke dalam acara balian sebagai idang dan berhasil mengobati
anak yang sakit parah.

17
“Seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah
upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra
yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan
diiringi denting gelang di kedua tangannya”
“Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang
dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-
nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya
tidak pernah dibaca para balian.”
c. Damang Itat/lelaki tua, dia lebih memilih pergi ketika apa yang dia
katakan tidak diubris oleh masyarakat.
“Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi
meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka…
celaka.””
d. Seorang ibu muda, dia telah siap akan apa yang akan terjadi
terhadap apa yang akan menimpa anaknya.
“Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai
memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil
sang ilahi”

18
Simpulan

Aspek moral tersirat dalam pembahasan mengutamakan tingkah laku, sikap


hidup manusia yang berinteraksi dengan lingkungan serta melaksanakan
peranannya sebagai anggota masyarakat. Dari pembahasan di atas terlihat moral
yang baik dan moral yang kurang baik ditunjukan dalam masing-masing tokoh
cerpen Perempuan Balian. Ketika melakukan perbuatan yang baik maka akan
mendapatkan hasil yang baik, dan jika menunjukkan perbuatan yang kurang baik,
maka akan mendapatkan hasil yang tidak baik.

Beberapa tokoh muncul dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly.
Namun tidak semua tokoh digambarkan aspek Psikologinya. Tokoh yang
wataknya diungkapkan ada 4 tokoh yaitu ‘Aku’, seorang perempuan muda
(idang), Damang Itat/lelaki tua, seorang ibu muda. Peristiwa ini merupakan
gambaran dari proses penyelesaian konflik, dimana karakter aku tidak mampu
untuk mengetahui maksud dari perkataan lelaki tua bahwa akan datang bencana
pada hutan, padahal dia tahu hutan tersebut akan dijadikan tambang emas.
Struktur kepribadian tokoh dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi
Firly memiliki tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego. Ketiga unsur dari struktur
kepribadian tersebut memengaruhi tingkah laku, pola pikir, dan kejiwaan para
tokoh utama dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly. Dari analisis
psikologi di atas, dapat diketahui bahwa para tokoh memiliki id yang kuat.
Mereka cenderung ingin melepaskan diri dari segala permasalahannya yang
mereka rasakan dalam hidup tanpa melihat realita yang ada. Mekanisme
pertahanan ego ditemukan dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly,
meskipun usaha mereka berhasil. Pada superego, tokoh telah memilih berdasarkan
pertimbangannya untuk melakukan suatu hal.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. Kajian Tekstual dalam Psikologi Sastra. Sekitar Masalah


Sastra. Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang:
Yayasan Asah Asih Asuh Malang.

Endraswara,Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta:


Media Pressindo.

Muhardi dan Hasannuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang
Press.

Ramdhansyah. 2011. Paham dan Terampil Berbahasa dan Bersastra Indonesia.


Bandung:Dian Aksara Press.

Suryabrata, Sumadi. 2012. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Firly, Sandi. 2012. Perempuan Balian. Kompas.


(https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/06/24/perempuan- balian/#more-
1603).diunduh pada 17 Mei 2017.

Nurgiantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh
Melane Budianta. Jakarta: PT Gramedia.

20

Anda mungkin juga menyukai