A. Pendekatan Moral
Sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang
dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.
Karya sastra amat penting bagi kehidupan rohani manusia. Oleh karena
sastra adalah karya seni yang bertulangpunggung pada cerita, maka mau
tidak mau karya sastra dapat membawa pesan atau imbauan kepada
pembaca (Djojosuroto, 2006:80).
1
Dalam hubungannya dengan pengajaran, maka dapat dikatakan
bahwa pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan
tentang sastra dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan
pengajarannya. Aspek moral disini merupakan aspek yang berkaitan
dengan sikap, akhlak, budi pekerti, yang dapat diambil dari suatu cerita
tersebut.
B. Pendekatan Psikologis
2
manusia, psikologi jelas terlibat erat, karena psikologi mempelajari
perilaku. Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang
membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Psikologi sastra mempelajari
fenomena, kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya
sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkunganya.
Dengan demikian, gejala kejiwaaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh
dalam sebuah karya sastra.
3
kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa prosa atau drama
sedangkan jika dalam bentuk puisi akan disampaikan melalui larik-larik
dan pilihan kata khas.
4
Cerpen: Perempuan Balian
***
5
dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu bilik masing-
masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka itu
layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu,
menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang
malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.
6
Segala berpusat pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar.
Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin limbubu. Diam yang
mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata menjadi
sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang,
tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu
yang terus beringsut susut.
Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan
daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering layaknya kulit
kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang terbakar di
musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya
kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup,
meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan
rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari
sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama
tari tiga balian.
7
kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi
bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala;
manusia.
Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu.
Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah terbang menari-nari
mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan
yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si
sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh
jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah
dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam,
bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin
tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik
lantai.
Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di
sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan
tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak
jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang
dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-
mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria
di dekat lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena
ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak
semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di
lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-
waktu sang anak diambil sang ilah.
8
mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan
diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti.
Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya
perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak,
segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan
mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus
panjang.
Aduhai,
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
”Siapakah dia?”
9
”Dari mana asalnya?”
Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai.
Satu dua orang kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain,
lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke salah satu bilik balai dan
merebahkannya ke atas kasur tipis.
***
”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki
muda sembari mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi
setelah meneguk kopi hitamnya.
Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak
muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan
kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena
perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya,
lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu,
”Celaka… celaka… celaka.”
10
Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung
berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu
menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”
Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu,
sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah
perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.
11
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Moral
2. Keteguhan orang tua kepada anaknya, yaitu keteguhan hati orang tua
yang selalu menunggu pengobatan anaknya sampai sembuh walau
badannya sudah lemas dan tak terurus.
12
“Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas
di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut
terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan
dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini
nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian
yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra. Kepala
perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya.”
3. Sifat seseorang yang tersingkir dari profesinya, yaitu tokoh Damang
Itat/orang tua yang berusaha mempengaruhi masyarakat agar
perempuan muda sebagai idang yang balian pada malam sebelumnya
dan berhasil menyembuhkan anak yang sudah sakit parah, tidak
dipakai untuk kesekian kalinya.
“Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan,
apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian.
Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di
warung kepada dua lelaki yang lebih muda.”
“Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian
anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja
nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa
bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi
balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi
meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka…
celaka.””
4. Sifat seseorang tidak mau ikut capur terhadap permasalahan orang lain,
yaitu tokoh ‘aku’ yang tidak memperdulikan perbincangan orang-
orang pergi meninggalkan kampung setelah urusannya selesai. Dia
hanya perduli akan penelitian yang baru saja dia selesaikan yaitu
mencari tempat dimana terdapat emas dan akan dilaporkan kepada
perusahaan besar.
13
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi
meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan
sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu
melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian,
sudah berakhir.”
“Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu,
sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar
oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari
perutnya.”
B. Pendekatan Psikologis
Pembahasan terhadap cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly melalui
psikologi sastra ialah dengan id, ego, dan superego.
1. Id
Id tergambar dari pikiran-pikiran liar seseorang yang berasal dari
alam bawah sadar atau bisa dikatakan id adalah dorangan-dorongan
yang bersifat biologis, lebih singkatnya keinginan seserorang. Dalam
cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly juga terdapat id.
a. Tokoh ‘aku’ yang ingin meninggalkan kampung tempat upacara
balian dan pada saat itu latarnya di warung.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap
pergi meninggalkan warung.”
b. Seorang perempuan muda (idang), keinginan untuk diperhatikan
dan diterima dalam masyarakat, tetapi kerena dia telah diaanggap
pembawa sial, maka masyarakat menjahuinya, sehingga dia
14
menceritakan hal-hal mistis sekedar menunjukkan bahwa dia juga
punya teman. Akan tetapi hal itu yang membuat masyarakat
beranggapan kalau dia kurang waras.
“Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular
besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi
ular yang menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku
sering bertemu Ayah.”
”Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana.
Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya,
yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia
perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku
tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain
jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan
ucapannya.
c. Damang Itat/lelaki tua, tidak terima akan kehadiran idang atau
balian perempuan yang berhasil menyembuhkan penyakit orang,
padahal dia sudah susah peyah mengobati orang tersebut. Maka dia
ingin menyingkirkan idang perempuan muda tersebut dengan
mempropokasi masyarakat.
“Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan,
apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang
balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang
lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda.”
d. Seorang ibu muda yang ingin mengobati anaknya dari penyakit
hingga dia rela menunggu lamanya pengbatan atau upacara
walaupun itu berhari-hari.
“Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk
lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal,
rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir
tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak
yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam
15
pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra.”
2. Ego
Ego menghasilkan perilaku yang didasarkan atas prinsip
kenyataan. Prinsip kenyataan adalah mencari objek yang tepat untuk
mereduksikan tegangan yang timbul dalam organisme. Ego dipandang
sebagai aspek eksekutif atau pengelolaan kepribadian. Bisa dikatakan
ego adalah suatu perbuatan yang tampak.
a. Tokoh ‘aku’ meninggalkan kampung, kerana alasannya pergi ke
kampung itu sudah terpenuhi.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap
pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai
perjalanan sebelum matahari meninggi”
“Selama perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran
hutan pegunungan Meratus itu...”
b. Seorang perempuan muda (idang), karena ingin diperhatikan
perempuan muda itu membuat ulah-ulah sehingga membuat orang
melihatnya, dan sekedar menunjukkan kalau dia punya teman di
hutan, maka dia selalu pergi ke hutan.
“Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan
tentang mimpi-mimpinya yang aneh.”
“Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya
yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon,
hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki
anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke
hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.”
c. Damang Itat/lelaki tua, karena ingin menyingkirkan idang
perempuan muda, damang Itat mempropokasi masyarakat dengan
melontarkan ancaman atau bencana yang akan diterima kampung.
“Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian
anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat
16
saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa
bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi
balian.””
d. Seorang ibu muda, karena ingin menyembuhkan anaknya yang
sedang sakit, ibu muda itu rela menunggu berhari-hari walau
badannya tidak sanggup lagi menahannya.
“Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk
lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal,
rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir
tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak
yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam
pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri
bersandar pada bahu seorang ibu yang menjaganya.”
3. Superego
Superego merupakan kesempurnaan dari kesenangan karena
superego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian.
Fungsinya menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, dan pantas
atau tidak dilakukan. Superego juga dapat dikatakan sebagai
pengontrol (nilai agama, sosial, dan lain-lain)
a. Tokoh ‘aku’, lebih memilih diam ketika terjadi pembicaraan yang
dia dengar di warung, karena dia merasa perbincangan tersebut
tidak akan mempengaruhi hasil penelitiannya.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap
pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai
perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua
minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara
balian, sudah berakhir.”
b. Seorang perempuan muda (idang), dia memilih masuk secara tiba-
tiba ke dalam acara balian sebagai idang dan berhasil mengobati
anak yang sakit parah.
17
“Seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah
upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra
yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan
diiringi denting gelang di kedua tangannya”
“Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang
dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-
nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya
tidak pernah dibaca para balian.”
c. Damang Itat/lelaki tua, dia lebih memilih pergi ketika apa yang dia
katakan tidak diubris oleh masyarakat.
“Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi
meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka…
celaka.””
d. Seorang ibu muda, dia telah siap akan apa yang akan terjadi
terhadap apa yang akan menimpa anaknya.
“Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai
memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil
sang ilahi”
18
Simpulan
Beberapa tokoh muncul dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly.
Namun tidak semua tokoh digambarkan aspek Psikologinya. Tokoh yang
wataknya diungkapkan ada 4 tokoh yaitu ‘Aku’, seorang perempuan muda
(idang), Damang Itat/lelaki tua, seorang ibu muda. Peristiwa ini merupakan
gambaran dari proses penyelesaian konflik, dimana karakter aku tidak mampu
untuk mengetahui maksud dari perkataan lelaki tua bahwa akan datang bencana
pada hutan, padahal dia tahu hutan tersebut akan dijadikan tambang emas.
Struktur kepribadian tokoh dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi
Firly memiliki tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego. Ketiga unsur dari struktur
kepribadian tersebut memengaruhi tingkah laku, pola pikir, dan kejiwaan para
tokoh utama dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly. Dari analisis
psikologi di atas, dapat diketahui bahwa para tokoh memiliki id yang kuat.
Mereka cenderung ingin melepaskan diri dari segala permasalahannya yang
mereka rasakan dalam hidup tanpa melihat realita yang ada. Mekanisme
pertahanan ego ditemukan dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly,
meskipun usaha mereka berhasil. Pada superego, tokoh telah memilih berdasarkan
pertimbangannya untuk melakukan suatu hal.
19
DAFTAR PUSTAKA
Muhardi dan Hasannuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang
Press.
University Press.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh
Melane Budianta. Jakarta: PT Gramedia.
20