Anda di halaman 1dari 13

TUGAS UNTUK MEMENUHI UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH PENGANTAR PENGKAJIAN SASTRA

Oleh :

Nahda Salsabila Fionna

2018620028

FAKULTAS SASTRA

PRODI SASTRA JEPANG

UNIVERSITAS DR. SOETOMO SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sastra adalah sastra. Begitu batasan yang paling sulit dibantah. Artinya, selain

sastra adalah bukan sastra. Namun, di lain pihak, kita juga boleh menyatakan sastra

adalah ungkapan jiwa. Sastra itu wakil jiwa lewat bahasa lewat simbol sastra itu ada.

Simbol yang mewadahi jiwa hingga sastra itu menarik.

Konteks demikian dapat diartikan bahwa sastra tak mampu melepaskan diri dari

aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra. Pendek kata, memasuki sastra

akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah awal kehadiran psikologi sastra dalm

penelitian sastra. Sastra adalah fenomena yang dapat didekati secara psikologis.

Seperti wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia

sastra,psikologi sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreatifitas

pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabadikan untuk kepentingan

estetetis. Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti

di dalamnya ternuasakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir

maupun suasana rasa (emosi). Suwardi endraswara, (2008;86)

Sastra sebagai “gejala kejiwaan”, di dalamnya terkandung fenomena-fenomena

kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokoh nya. Dengan demikian, karya sastra

dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Sastra dan psikologi

terlalu dekat hubungannya. Meskipun sastrawan jarang berpikir tentang psikologis,

namun karyanya tetap bisa bernuansa kejiwaan. Hal ini dapat di terima karena antara

sastra dan psikologi memiliki hubugan lintas yang bersifat tak langsung, dan

fungsional (Jatman, 1985:165 serta Roekhan, 1987:144). Tidak langsung, artinya


hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi, kebetulan memiliki tempat

berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia.

Menurut Siswantoro (2004:31-35), secara kategori, sastra berbeda dengan

psikologi sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia

fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasian ke dalam seni (art), sedangkan psikologi

merujuk pada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski

keduanya berbeda, tetapi memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya

berangkat dari manusia sebagai sumber penelitian. Bicara tentang manusia, psikologi

jelas terlibat erat karena psikologi menpelajari perilaku. Perilaku manusia tidak lepas

dari aspek kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Pendapat ini

memberikan pandangan luas bahwa penelitian sastra membutuhkan cara pandang

psikologi sastra. Suwardi endraswara(2014: 180)

Teori kepribadian menurut Freud pada umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu (a)Id

atau Es, (b) Ego atau Ich, dan (c) Super Ego atau Iber Ich. Isi Id adalah dorongan-

dorongan primitif yang harus dipuaskan, salah satunya adalah libido di atas. Id dengan

demikian merupakan kenyataan subjektif primer, dunia batin sebelum individu

memiliki pengalaman tentang dunia luar. Ego bertugas untuk mengontrol Id,

sedangkan Super Ego berisi kata hati. Suwardi Endraswara,(2014:199)


B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang terjadi dengan kondisi batin tokoh utama ketika melihat kejadian yang

dialami oleh temannya yang dalam keadaan bahaya ?

2. Bagaimana pengaruh kejadian yang dilihat oleh tokoh utama terhadap kondisi

batin yang dialami selanjutnya ?

3. Apakah tokoh Shiro pernah mengalami fase terburuk dan putus asa?

C. TUJUAN

1. Mendeskripsikan kondisi batin tokoh utama setelah meniggalkan temannya dalam

kondisi bahaya;

2. Mengetahui kondisi batin tokoh utama setelah dipengaruhi oleh pengelihatannya

terhadap masalah yang terjadi;

3. Mendeskripsikan penyebab tokoh utama memiliki jiwa penolong dan pemberani.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. CERITA DAN CERITA PENDEK

Foster (1970: 35) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian

yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Misalnya, (kejadian) mengantuk

kemudian tertidur, begitu melihat wanita cantik langsung jatuh cinta, marah-marah

karena disinggung perasaannya, dan sebagainya. (Nurgiyanto, 1995: 91).

Seperti halnya Forster, Abrahams (1981 : 61) juga memberikan pengertian cerita

sebagai urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu, dan Keny (1966: 12)

mengartikannya sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu

yang disajikan dalam sebuah karya fiksi. Jadi, dalam cerita, peristiwa yang satu

berlangsung sesudah terjadinya peristiwa yang lain. (Burhan, 1995: 91)

Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa

ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di

antara pengarang dan para ahli Edgar Allan Poe (Jassin, 1961: 72), yang sastrawan

kenamaan dari Amerika itu, mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang

dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu

hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. (Nurgiyantoro, 1995:

10).

B. PSIKOLOGI SASTRA

Psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya

adalah manusia karena psyche atau psicho mengandung pengertian “jiwa”. Dengan

demikian, psikologi mengandung makna “ilmu pengetahuan tentang jiwa” (Walgito,

1985:7). Dalam buku suwardi endraswara (2014:93)


Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama

berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Hanya perbedaannya,

gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari

manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil.

Namun keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh

pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia, karena terdapat

kemungkinan apayang tertangkap oleh sang pengarang tak mampu diamati oleh

psikolog, atau sebaliknya. Suwardi endraswara (2008: 87 dan 88).

Menurut Ratna(2004:346), psikologi sastra jelas tidak bermaksud untuk

membuktikan keabsahan teori psikologi, misalnya dengan menyesuaikan apa yang

dilakukan oleh teks dan apa yang dilakukan oleh pengarang atau teori Freud, Jung,

dan Lacan. Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi

dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka

akan dapat dianalisis konflikbatinyang mungkin saja bertentangan dengan teori

psikologis. Menurut Wellek dan Warren (1989:92-93), dalam sebuah karya sastra

yang berhasil, psikologi sudah menyatu dengan karya seni. Suwardi endraswara

(2014:91)

Pendekatan psikologis banyak bersandar kepada psikoanalisis yang

dikembangkan Freud setelah melakukan berbagai penelitian, bahwa manusia banyak

dikuasai oleh alam batinnya sendiri. Terdapat id, ego,dan super ego dalam diri

manusia yang menyebabkan manusia selalu berada dalam keadaan berperang dalam

dirinya, resah, gelisah, tertekan, dan lain-lain, apabila terdapat ketidakseimbangan

unsur tersebut. Namun, apabila ketiganya bekerja dengan seimbang, akan

memperlihatkan watak yang wajar. Suwardi endraswara (2014:196-197).


BAB III

ANALISIS DATA

Freud membahas pembagian psikisme manusia: Id (terletak di bagian taksadar)

yang merupakan reservoir pulsi dan menjadi seumber energi psikis. Ego (terletak di

antara alam sadar dan taksadar) yang bertugas sebagai penengah yang mendamaikan

tuntutan pulsi dan larangan superego. Superego (terletak sebagian di bagian sadar dan

sebagian lagi di bagian taksadar) bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan

sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi para

orang tua. (Minderop,2010: 20-21).

Freud mengibaratkan id sebagai raja dan ratu, ego sebagai perdana menteri dan

superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolut, harus

dihormati, manja, sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri; apa yang

diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang diibaratkan

memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas

dan tanggapan terhadap masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu

penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id

yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak(Minderop,

2010: 21

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel

yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai

pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. (Nurgiyantoro,1995: 176). Seperti

yang terdapat pada data dibawah ini :

1. Pada suatu sore di musim semi, seekor anjing bernama Shiro berjalan di
sepanjang jalan sepi sambil mengendus-endus tanah. (Akutagawa, 191)

2. Akhirnya Shiro sampai di rumah majikannya dengan nafas tersengal-


sengal. Kini ia tinggal melalui lubang anjing di bagian bawah pagar hitam
itu dan mengitari gudang perkakas untuk sampai di kebun belakang.
(Akutagawa, 192)

3. Setelah diusir oleh tuan mudanya itu, Shiro menggelandang di sekitar


Tokyo tanpa tahu harus berbuat apa. (Akutagawa, 195)

Dengan demikian, dalam cerpen karya Akutagawa Ryonasuke, tokoh utama

adalah Shiro (Si Putih) karena Shiro sering disebut dalam bagian-bagian cerita.

1. Kesedihan

Kesedihan atau dukacita (grief) berhubungan dengan kehilangan sesuatu

yang penting atau bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya

kesedihan teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan yang

mendalam bisa juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang

mengakibatkan kekecewaan atau penyesalan (Minderop, 2010: 43)

Seperti yang terdapat pada data dibawah ini :

Hampir saja Shiro berteriak dengan spontan, ‘Kuro, awas bahaya!’ tapi
pada saat itu si penangkap anjing menatap tajam Shiro dengan wajah
mengancam seolah berkata, ‘Coba saja, kalau kau peringatkan dia, maka
kau akan ku tangkap duluan!’ Shiro menjadi sangat ketakutan hingga ia
lupa untuk menggonggong. Tidak, sebenarnya tidak sepenuhnya lupa,
hanya nyalinya yang hilang dan dengan perlahan ia mulai melangkah
mundur. (Akutagawa, 192)
Adanya data di atas menunjukkan bahwa id lebih besar dari ego dan superego.

Karena ia ketakutannya mengalahkan nyali dan kesadarannya.

Data lain menunjukkan :

Pastilah pada saat itu si penangkap anjing melemparkan jaringnya ke arah


Kuro. Terdengar lolongan Kuro tanpa henti. Kendati begitu, Shiro terus
saja berlari, tidak kembali untuk menolong temannya. Ia melompati tanah
becek, melibas batu-batu kerikil, menerabs tali pembatas jalan, menabrak
tong sampah, terus berlari tanpa menoleh sedikitpun. (Akutagawa, 192)
Adanya data di atas menunjukkan bahwa ego lebih besar daripada id dan

superego. Karena ketakutan Shiro menguasai dirinya sehingga ia tak peduli

dengan temannya.

2. a. Menghukum diri sendiri

perasaan bersalah yang paling mengganggu adalah—sebagaimana terdapat

dalam sikap menghukum diri sendiri—si individu terlihat sebagai sumber dari

sikap bersalah. (Minderop, 2010: 42)

Seperti yang terdapat pada data dibawah ini :

Shiro merasa bulu kuduknya meremang ‘Hitam semua?’. Ini tak nungkin,
soalnya sejak kecil ia sudah seputih susu. Tetapi saat ia melihat kaki
depannya, ... ya ampun! Tak hanya kaki depannya, dada, perut, dan kedua
kaki belakangnya, serta ekornya yang panjang dan indah pun juga hitam
pekat seperti dasar penggorengan. Hitam legam! Hitam legam! Shiro
menggonggong sejadi-jadinya, sambil melompat dan berputar-putar
seperti sudah jadi gila. (Akutagawa, 194)

Adanya data di atas menunjukkan bahwa Id lebih besar dari ego dan superego

karena hal ini terjadi dibawah sadar tokoh Shiro.

Data lain menunjukkan :

Setelah diusir oleh kedua tuan mudanya itu, Shiro menggelandang di


sekitar Tokyo tanpa tahu harus berbuat apa. Apa pun yang dilakukannya
dan ke mana pun ia pergi, satu hal yang tak lekat di kepalanya adalah
kenyataan bahwa ia kini berwarna hitam. Ia merasa ngeri melihat cermin
tukang pangkas rambut yang mencerminkan wajah para pelanggan. Ia
takut akan genangan air di jalanan yang memantulkan langit setelah turun
hujan. Ia juga takut dengan jendela kaca yang memantulkan dedaunan
hijau dari pohon-pohon di jalanan. Ia bahkan merasa takut juga dengan
gelas-gelas berisi bir hitam di atas meja kafe... tetapi, kalau sudah begini
mau bagaimana lagi? (Akutagawa, 195)

Adanya data di atas menunjukkan bahwa ego menguasai id dan superego

karena tokoh Shiro dalam keadaan bimbang dan belum bisa menerima

kenyataan.
b. Kesedihan

Kesedihan atau dukacita (grief) berhubungan dengan kehilangan sesuatu

yang penting atau bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya

kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai . Kesedihan

yang mendalam bisa juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang

mengakibatkan kekecewaan atau penyesalan. (Minderop, 2010: 43)

Seperti yang terdapat pada data dibawah ini :

Wahai, Sang rembulan! Sang rembulan! Aku telah membiarkan temanku


Kuro mati. Aku tahu bahwa itulah penyebab diriku menjadi hitam legam.
Tetapi sejak berpisah dengan majikanku aku telah menemui berbagai
macam bahaya. Salah satunya karena setiap kulihat tubuhku, yang lebih
hitam dari jelaga, aku dihantui perasaan malu atas sikapku yang pengecut.
(Akutagawa, 201)

Adanya data di atas menunjukkan bahwa Id menguasai tokoh Shiro karena

secara tidak sadar, ia menyesal dengan perbuatannya.

Data lain menunjukkan :

Suara Shiro bergetar sedih bercampur kesal yang sulit diungkapkan. Tentu
saja kedua anak itu tak dapat memahami perasaannya. Nada bicara gadis
itu penuh kebencian. “Dia masih saja menggonggong di sana. Benar-benar
anjing liar tak tahu diri”. Dia menghentakkan kakinya ke tanah.
Sedangkan si bocah lelaki, mengambil beberapa kerikil dari jalan setapak
lalu melemparkannya ke arah Shiro dengan sekuat tenaga. (Akutagawa,
194).

Adanya data di atas menunjukkan ego lebih kuat dibanding id dan superego

karena ia berada pada posisi marah terhadap dirinya sendiri karena sikapnya

yang salah.
3. Parkes (1965) menemukan bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat

mengakibatkan depresi dan putus asa yang menjurus pada kecemasan; akibatnya

bisa menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel

dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan. (Albertine Minderop, 2010:

43)

Seperti yang terdapat pada data dibawah ini :

Angin sepoi-sepoi mengusik dedaunan pohon-pohon platanus di taman


itu. Sambil menundukkan kepala, Shiro berjalan tanpa tujuan di antara
pepohonan itu. Di tempat ini, untungnya tak ada benda yang dapat
mamantulkan bayangannya kecuali sebuah kolam. Satu-satunya suara
yang terdengar adalah dengungan kerumunan lebah di antara bunga-bunga
mawar putih. Di taman yang tenang itu, sejenak Shiro bisa melupakan
kesedihannya setelah berubah menjadi seekor anjing hitam jelek.
(Akutagawa, 196)

Adanya data di atas menunjukkan bahwa ego lebih besar dari id dan superego

karena Shiro merasakan kebingungan.

Data lain menunjukkan :

Karena aku sangat membenci tubuhku yang legam ini, maka aku
berusaha membunuh diri jadi aku lompat ke dalam api dan bahkan
berkelahi dengan seekor serigala. Anehnya, setangguh apapun musuhku
tetap saja nyawaku tak terenggut. Bahkan maut kabur entah ke mana saat
melihat wajahku. Saking menderitanya aku memutuskan untuk bunuh
diri. (Akutagawa, 201)

Data tersebut menunjukkan bahwa superego menguasai diri shiro karena ia

berniat membunuh dirinya karena tidak bisa menerima kenyataan.


BAB IV

A. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa data di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh Shiro

dalam cerpen karya Akutagawa Ryonasuke memiliki kepribadian yang

dikuasai id dan ego. Hal tersebut berarti bahwa Shiro mengandalkan naluri

ketika terperangkap pada dua pilihan yang dibatasi oleh realitas. Shiro

mempertimbangkan pengambilan keputusan apakah ia akan berbuat yang

merugikan orang lain atau tidak.

B. SINOPSIS

Cerita pendek ini menceritakan tentang anjing yang bernama Shiro yang

melihat teman sekaligus tetangganya, Kuro dalam keadaan bahaya karena

diincar oleh penangkap anjing. Shiro sangat ingin mengingatkan Kuro bahwa

ia dalam keadaan bahaya. Akan tetapi, ketakutan Shiro lebih besar sehingga ia

meninggalkan temannya dan sang penangkap anjing berhasil menangkap

Kuro. Shiro berlari ke rumah dan bertemu majikannya. Kesalahan Shiro hari

itu menyebabkan bulunya menjadi hitam sehingga tidak dikenali oleh

majikannya. Hal ini menyebabkan Shiro putus asa dan berniat bunuh diri.

Namun niat bunuh diri itu menyebabkan ia menolong orang lain. Setelah

melewati hari beratnya, Shiro kembali pulang dan ingin melihat wajah

majikannya. Keesokan hari nya, bulu Shiro menjadi putih dan dikenali

majikannya.
DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: GADJAH MADA

UNIVERSITY PRESS.

Minderop, Albertina. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai