Anda di halaman 1dari 12

LEGENDA DAYANG KUMUNAH

AIkisah di sebuah dusun di daerah Riau, hiduplah seorang laki-laki tua bernama Awang
Gading. Ia hidup sebatang kara karena istrinya sudah meninggal tanpa meninggalkan seorang
anak.
Sehari-hari, pekerjaan Awang Gading adalah menangkap ikan di sungai. Jika
beruntung, ia akan mendapatkan banyak ikan yang bisa ditukar dengan beras di pasar.
Meskipun hidup sederhana, Awang Gading tak pernah mengeluh. Ia bahagia dan selalu
bersyukur dengan keadaannya itu.
Pagi itu, seperti biasanya Awang Gading pergi ke sungai. Sambil berdendang, ia
menanti ikan memakan umpannya. Tapi, sepertinya hari itu bukanlah hari keberuntungannya.
Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, tapi ikan itu lepas saat Awang Gading menarik
pancingnya.
"Hmm... mungkin nasibku hari ini kurang balk. Lebih baik aku pulang saja, aku akan
kembali besok. Siapa tahu aku Iebih mujur," katanya sambil mengemasi peralatan
pancingnya.
"Oweekkk... owekkk...," tiba-tiba terdengar suara bayi menangis. Langkah kaki Awang
Gading terhenti. "'Suara tangis bayi siapa itu?"
Ia mencari-cari sumber suara itu. Oh, ternyata suara bayi merah yang tergeletak di
semak-semak. Awang Gading menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun di sana,
lalu bayi siapa itu? Awang Gading bingung, tapi akhirnya memutuskan untuk membawa dan
merawat bayi itu. Ia menamainya Dayang Kumunah.
Seluruh penduduk dusun menyambut kehadiran Dayang Kumunah dengan sukacita.
Kepala dusun pun mengunjungi rumah Awang Gading, "Bayi ini adalah titipan dari raja
penghuni sungai. Rawatlah dengan balk," kata kepala dusun. Awang Gading sangat bahagia.
Apalagi Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang cantik clan berbudi luhur. Tingkah
lakunya sopan, ia pun ramah pada semua orang. Hanya satu kekurangannya, Dayang
Kumunah tak pernah tertawa.
Kecantikan Dayang Kumunah terdengar sampai ke telinga Awangku Usop, seorang
pemuda kaya dari luar dusun. Penasaran, Awangku Usop pun datang berkunjung. Benar saja,
ia Iangsung jatuh cinta pada pandangan pertama. "Dayang, maukah kau menikah denganku?
Aku berjanji akan membahagiakanmu," pinta Awangku Usop.
"Sebelum menikahiku, Kanda perlu tahu, aku adalah penghuni sungai. Dunia kita
berbeda, tapi jika Kanda mau menerimaku apa adanya, aku bersedia menjadi istri Kanda,"
jawab Dayang Kumunah. "Satu lagi, jangan pernah memintaku untuk tertawa. Aku tak bisa
dan tak boleh melakukannya."
Awangku Usop menyetujui semua permintaan Dayang Kumunah. Pesta pernikahan pun
digelar dengan meriah. Semua tamu bersenang-senang. Menurut mereka, Dayang Kumunah
dan Awangku Usop adalah pasangan yang serasi.
Bertahun-tahun kemudian, rumah tangga Dayang Kumunah dan Awangku Usop dihiasi
oleh tawa riang lima orang anak. Dayang Kumunah benar-benar melaksanakan tugasnya
sebagai istri dan ibu yang baik. Awangku Usop tak pernah meragukannya. Namun suatu hari
kebahagiaan mereka terusik. Awang Gading meninggal. Dayang Kumunah sangat sedih
sepeninggal ayah angkatnya itu. Setiap hari mukanya murung. Biasanya, meskipun tak
pernah tertawa, Dayang Kumunah masih tersenyum.
Namun sekarang senyumnya tak pernah tampak lagi. Awangku Usop tak ingin istrinya
bersedih terus. Ia berusaha de ganse gala cara agar Dayang Kumunah kembali tersenyum.
Usahanya tak sia-sia. Perlahan-lahan, Dayang Kumunah mulai merelakan kepergian
ayah angkatnya dan menjalani kehidupannya seperti biasa.
Tapi, Awangku Usop tak puas. Ia penasaran sekali, mengapa Dayang Kumunah tak
pernah tertawa. Ia ingin agar sesekali istrinya tertawa, menunjukkan kebahagiaan hidup
bersamanya dan anak-anak.
Anak bungsu mereka mulai bisa berjalan. Cara berjalannya lucu sekali. Dengan kakinya
yang montok, ia tertatih-tatih berusaha berjalan lurus. Awangku Usop dan kakak-kakak si
Bungsu tertawa menggoda si bungsu. Si bungsu pun tertawa terkekeh-kekeh dan berusaha
mendekati ayahnya.
"Lihat istriku, anak kita mulai berjalan. Mengapa kau tak ikut bergembira bersama
kami? Tertawalah, apakah kau tak bahagia melihat kelucuan si bungsu?" tanya Awangku
Usop pada Dayang Kumunah.
Dayang Kumunah terdiam. Sebenarnya ia ingin tertawa, tapi tak boleh. Suaminya terus
memaksa, akhirnya Dayang Kumunah tertawa juga. Ia tertawa terbahak-bahak, karena
memang tingkah polah si bungsu sangat menggemaskan.
Saat Dayang Kumunah tertawa, Awangku Usop dan anak-anaknya tertegun. Mereka
melihat insang ikan dalam mulut Dayang Kumunah. Hal itu menandakan bahwa ia keturunan
ikan.
Dayang Kumunah tersentak, ia menyadari kesalahannya serta berlari meninggalkan
suami dan anak-anaknya.
"Dayang... tunggu... kau mau ke mana?" Awangku Usop berlari mengejarnya. Kelima
anaknya mengikuti dari belakang. Si bungsu digendong oleh kakaknya.
Dayang Kumunah terus berlari menuju sungai. Sesampainya di sungai, ia segera
menceburkan diri. Aneh, tak lama kemudian tubuhnya berubah menjadi ikan. Ikan itu
berenang meninggalkan Awangku Usop dan anak-anaknya.
Awangku Usop sadar telah berbuat salah dan menangis menyesali perbuatannya,
"Mengapa aku memaksanya tertawa? Maafkan aku istriku, kembalilah, kami semua
membutuhkanmu," ratapnya.
Kelima anaknya juga menangis. Tapi semuanya sudah terlambat. Meskipun telah
menjadi ikan, Dayang Kumunah tetap cantik. Ikan jelmaan Dayang Kumunah itu berkulit
mengkilat tanpa sisik, wajahnya cantik, dan ekornya bagaikan sepasang kaki wanita yang
bersilang.
Masyarakat menyebutnya ikan patin. Karena itulah banyak masyarakat Riau yang tidak
mau menyantap ikan patin. Mereka beranggapan ikan patin adalah jelmaan Dayang Kumunah
yang masih merupakan kerabat mereka.
PUTRI KACA MAYANG

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang
bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang
gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima
Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.

Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah
masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak
seorang raja pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri,
karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.

Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia
pun mengutus dua orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada
Raja Gasib. Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian
menyampaikan maksud kedatangan mereka. Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja
Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami, lapor
seorang utusan. Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang
bernama Putri Kaca Mayang, tambah utusan yang satunya.

Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf
kami kepada raja kalian, jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu,
kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.

Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib.
Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan
berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.

Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk
menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang
angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar
Sungai Siak.

Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui
seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu
berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk
masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.

Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh
kepada seorang penduduk Gasib. Benar, Tuan! jawab pemuda itu singkat. Jika begitu,
tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib! desak pengawal itu. Karena
mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib,
pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin
menghianati negerinya. Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,
jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu
hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu
terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.

Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa
sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki
negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama
dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan
kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja
Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak
sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit
Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat
berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai
oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.

Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia
bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan
bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas
kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana.

Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk menunaikan
sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh.
Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah
menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang
istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah
besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan
itu ke istana untuk diserahkan kepada Raja Aceh.

Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima
Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja
Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk
dibawa kembali ke istana Gasib.

Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang sedang sakit
itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu
kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri
Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak. Panglima! Aku
sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku
kepada keluargaku di istina Gasib, ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat
Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke
istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam
melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja
Gasib.

Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah


sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan
penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca
Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih
dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan
bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan
istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.

Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima


Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk meninggalkan
kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati
kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik
orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya.

Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib


dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama
itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara,
makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota.
LEGENDA PUTRI TUJUH

Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri
Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini
memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari
ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri
Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra,
wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai
semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri
juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.

Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik
berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata
yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para
pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut
dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan
salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang
Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai….cantik di Umai. Ya,
ya…..d‘umai…d‘umai….” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala.
Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat
untuk meminangnya.

Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu
yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih
sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di
Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik
Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol
paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol
lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri
tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.

Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada


sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan.
Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk
memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam
karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku
di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi.
Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang
Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat
Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.

Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh
putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang
beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali
ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke
kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3
bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah
memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya.
Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat
negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang
bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.

Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai.
Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa
yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh
dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam,
pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang
Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.

Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas
menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud
kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan
Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah
merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang
datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan
niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik
Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang
Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung
memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.

Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh
putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah
dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima
lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara
Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.

Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka
Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini,
pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:

Umbut mari mayang diumbut


Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari
kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan
Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah
berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT
Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan
untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi
nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin.
Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan
Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.
Suak Air Mengubuk

Zaman dahulu kala, di negeri Rantau Baru, Pelalawan, Riau hiduplah sepasang suami istri
nelayan yang miskin. Mereka mengantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan. Ketika tiba
masa-masa sulit mendapatkan ikan, mereka tidak bisa makan.

Pada suatu malam. Pak nelayan bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. Kakek itu
memberikan seutas tali. Ia juga berpesan agar bersampan ke sebuah suak atau mata air yang
berada di sekitar Sungai Sepunjung.

Esoknya, Si Nelayan mengayuh sampan ke arah Sungai Sepunjung dan berharap bernasib
baik. Sesampainya di suak, ia pun berhenti dan menunggu.

Tiba-tiba, muncul seutas tali dari dalam suak. Ditariknya tali itu. Ia sangat terkejut ketika
menyadari tali yang berkilau diterpa sinar matahari itu adalah rantai emas tiga keluk
(lengkung).

Dengan penuh semangat, ia menarik tali itu. Tiba-tiba, terdengar suara burung murai
berkicau. "Cepat potong rantai itu. Bagianmu hanyalah tiga keluk itu!"

Namun, si Nelayan telah dipenuhi nafsu serakah dan tidak mendengarkan kicau burung murai
tersebut. Ia terus menarik tali itu dengan harapan mendapat emas yang lebih banyak lagi.
Namun, tali yang ditariknya tersebut lama - kelamaan menjadi berat.

Tiba-tiba saja, dari dalam suak, muncullah gelembung-gelembung air dan gelombang, disusul
suara gemuruh dari dalam air. Gelombang tersebut menjadi sangat besar dan menghempaskan
sampan Si Nelayan terlempar dari sampan.

Si Nelayan berusaha berenang menuju tepi sungai menghadang arus dan gelombang yang
semakin besar. Sampannya telah tenggelam. Saat berhasil sampai ke tepi sungai tiba-tiba saja
air sungai menjadi tenang. Si Nelayan pulang ke gubuknya dengan tangan hampa. Malamnya,
ia bermimpi bertemu lagi dengan kakek itu lagi. Si Kakek memperingatinya.

"Kalau bersyukur dengan mengambil tiga keluk rantai emas itu saja, itu akan sangat
bermanfaat untuk memperbaiki hidupmu! Aku telah mengingatkanmu lewat kicauan burung
murai itu, bukan?"

"Maafkan aku, Kek..... Berikanlah aku kesempatan sekali lagi," kata si Nelayan tersebut
penuh harap.

"Semua sudah terlambat, anakku. Ketamakan mencelakakanmu," kata si Kakek, lalu


menghilang lagi. Keesokan paginya, si Nelayan kembali ke tempat ia menemukan tali rantai
emas.
Ia menunggu hingga malam. Namun, benda itu tidak muncul - muncul. Ia sangat menyesali
keserakahannya, tetapi semuanya sudah tidak berguna.
DEDAP DURHAKA

Dedap atau dipanggil juga Panggang adalah seorang remaja dari keluarga kurang
mampu. Bapaknya bernama Si Ujang dan ibunya bernama Si Topang. Mereka tinggal di
sebuah desa terpencil. Si Dedap dan kawan-kawannya bekerja mencari rotan dan berburu di
hutan membatu orang tuanya. Si Dedap mempunyai tambatan hati Si Lindung Bulan yang
lebih akrab dipanggil Bulan.
Bulan adalah putri Batin Tenggaro Panjang Padang. Kadang-kadang kegiatan Bulan
adalah membuat atap rumbia bersama kawan-kawannya. Hati Si Dedap selalu berbunga-
bunga karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria.
Perjalanan cinta Dedap dengan Si Bulan tidaklah berjalan dengan mulus. Jelutung, pemuda
Tanjung Padang tidak senang melihat hubungan Dedap dengan Bulan karena dia juga
menaruh hati pada Si Bulan. Pada suatu hari, Jelutung dan kawan-kawannya menghajar
Dedap sampai babak belur karena iri hati melihat Dedap berhasil mengambil hati si Bulan.
Selanjutnya Si Jelutung mengancam akan menyiksanya sampai mati apabila masih
berhubungan dengan Si Bulan. Dedap sangat sedih tidak bisa bertemu lagi dengan Bulan,
akhirnya dia memutuskan untuk merantau. Dedap minta izin pada kedua orangtuanya untuk
merantau, ingin melihat negeri orang dan hendak merobah nasib. Dibalik itu semua terselip
rasa dendam kepada Jelutung dan kawan-kawannya yang telah menghina dan
memisahkannya dengan Si Bulan. Pada awalnya kedua orang tua Dedap tidak mengizinkan
permintaan anaknya, tetapi karena Dedap tetap pada keinginannya maka akhirnya dengan
berat hati mereka merestui kepergian Si Dedap untuk merantau.
Sebelum berangkat, kedua orang tuanya menasehati Dedap dengan beberapa nasehat
dan petua agar selamat dalam perjalanan dan berhasil diperantauan. Pada waktu yang tepat,
Dedap diantar oleh kedua orang tuanya dan kawan-kawanya ke pelabuhan karena akan
berlayar dengan kapal. Selain dibekali dengan nasehat dan petua, Dedap juga dibekali dengan
makanan kesukaannya berupa Panggang Kukah dan Pais Keluang. Akhirnya Dedap
berangkat naik tongkang menuju Malaka. Dalam perjalanan, Dedap berkenalan dengan
saudagar Cina yang kaya dan dia ditawarkan untuk bekerja dengannya di Singapura.
Tawaran tersebut diterima Dedap. Dedap bekerja dengan rajin, sesuai dengan nasehat
dan petua yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sehingga Dedap menjadi orang yang
sukses dan dipercaya oleh tauke Cina. Akhirnya Dedap buka usaha sendiri dan berhasil
menjadi saudagar muda yang kaya raya. Kemudian dia menikah dengan Putri Linggi anak
saudagar kaya juga. Selesai acara pernikahan, kedua pengantin baru tersebut berlayar ke
negeri mitra dagangnya sambil berbulan madu. Dalam perjalanan tersebut, Dedap bertemu
dengan seorang perempuan cantik dan mereka menikah. Istri pertamanya tak punya pilihan
lain kecuali menerima dimadu. Perjalanan ini membawanya sampai ke kampung halamannya.
Di dalam hatinya Dedap terlintas keinginan menjenguk kedua orang tuanya (tetapi tidak
dinyataka kepada orang banyak). Selain dari itu, ia ingin menunjukkan keberhasilannya
terhadap orang-orang kampungnya ( menampakkan keangkuhan dan kesombongan).
Kapal berlabuh di Pulau Padang (dekat dengan kampung Si Dedap). Kedatangan Dedap
yang sekarang sudah kaya raya dengan cepat tersiar di kampung tersebut. Kabar tersebut juga
sampai kepada kedua orang tuanya. Maka orang tuanya pun bergegas ke pelabuhan ingin
bertemu dengan anaknya yang sudah lama berpisah dengan membawa makanan kesukaannya
Dedap sudah memperkirakan orang tuanya akan datang, tetapi ia tetap dalam kesombongan
dan ingin membalaskan dendamnya terutama kepada teman-temannya di kampung yang telah
menghinanya karena kemiskinannya. Kedatangan kedua orang tuanya tidak dihiraukannya
bahkan dia tidak mau mengakuinya karena mereka sudah tua renta dan miskin.
Ibu dan ayahnya telah berusaha meyakinkan Si Dedap bahwa mereka adalah orang
tunya, namun Dedap tetap tidak mengakuinya walaupun ia sudah diingatkan oleh isterinya.
Dedap menendang ibunya yang sudah susah payah menemuinya dengan membawa makanan
kesukaannya. Akhirnya ayah dan ibunya pulang ke rumahnya dan dalam perjalanan pulang,
ibunya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar Tuhan menimpakan malapetaka yang
dahsyat kepada anaknya Dedap Durhaka.
Dengan seketika, selesai ibunya berdoa, angin bertiup kencang sehingga kapal Si
Dedap dengan seluruh isinya tenggelam. Sebelum tenggelam Si Dedap sempat memanggil
ibunya sambil minta maaf, tetapi sudah terlambat dia tenggelam dengan seluruh isi kapalnya.
Beberapa tahun kemudian, timbul pulau ditempat Si Dedap tenggelam menyerupai tongkang.
Orang menyebutnya Pulau Dedap. Demikian cerita tentang Dedap Durhaka.

Anda mungkin juga menyukai