Anda di halaman 1dari 112

PERKEMBANGAN PERS DI KOTA SEMARANG

PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN TAHUN


1959-1965

Skripsi

untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sejarah


Universitas Negeri Semarang

oleh :
Fery Puji Lestari
3150403040
Ilmu Sejarah

FAKULTAS ILMU SOSIAL


JURUSAN SEJARAH
2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul “Perkembangan Pers di Semarang Pada Masa

Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1965”, telah disetujui oleh pembimbing

untuk diajukan kesidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas

Negeri Semarang pada:

Hari :

Tanggal :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. AT. Sugito, SH.,MM. Drs. Subagyo, M.Pd


NIP. 130345757 NIP. 130818771

Mengetahui,
Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman, M.Hum


NIP. 131 764 053

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi yang berjudul “Perkembangan Pers di Kota Semarang Pada

Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1965”, telah dipertahankan di

depan sidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri

Semarang pada:

Hari :

Tanggal :

Penguji Skripsi

Dra. RR. Sri Wahyu Sarjanawati, M. Hum


NIP. 132010313

Anggota I Anggota II

Prof. Dr. AT. Sugito, SH.,MM. Drs. Subagyo, M.Pd


NIP. 130345757 NIP. 130818771

Mengetahui
Dekan

Drs. Sunardi, M.M


NIP.130 367 998

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil
karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain baik sebagian
maupun seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi
ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 2007

Fery Puji Lestari


NIM. 3150403040

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO:

1. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Soekarno)

2. Pertama-tama katakan pada dirimu apa yang akan kau raih, lalu katakan apa

yang perlu kau lakukan.

3. Kau memperoleh kekuatan, keberanian dan rasa percaya diri dari setiap

pengalaman yang membuatmu berhenti sejenak untuk menghadapi rasa

takutmu. Kau dapat berkata pada dirimu sendiri "Aku telah tabah menghadapi

kengerian ini. Aku pasti mampu menghadapi hal berikutnya."

PERSEMBAHAN:

Tidak mengurangi rasa syukur kepada Allah SWT yang telah mengabulkan dan

mengijinkan stas terselesainya skripsi ini, untuk itu penulis persembahan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta

2. Kakak dan Adikku tersayang

3. Sahabat sejatiku Mas Adjie

4. Teman-teman Ilmu Sejarah khususnya angkatan 2003

5. Almamaterku

v
PRAKATA

Segala puji bagi Allah syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Sosial pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Semarang.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan

hati penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmojo, M. Si, Rektor Universitas Negeri

Semarang yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menimba

ilmu dengan segala kebijakannya.

2. Drs. H. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Semarang yang dengan kebijaksanaannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dan studi dengan baik.

3. Drs. Jayusman, M. Hum, Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang yang telah mendorong dan mengarahkan penulis

selama menempuh studi.

4. Prof. Dr. AT, Sugito, SH.,MM, Dosen Pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan, pengarahan serta petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.

5. Drs. Subagyo, M.Pd, Dosen Pembimbing II atas bimbingan, arahan dan

waktunya dalam membantu penyusunan skripsi ini.

vi
6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu yang tidak dapat ternilai

harganya selama penulis belajar di Jurusan Sejarah.

7. Para narasumber yang telah memberikan informasi yang penulis butuhkan

selama menyusun skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu serta kakak dan adikku yang selalu memberi dorongan dan

semangat serta doa.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan

selanjutnya. Akhir kata penulis sangat berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca.

Semarang,

Penulis

vii
SARI

Fery Puji Lestari. 2007. Perkembangan Pers di Semarang pada Masa


Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1965. Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang. 110 Hlm.

Kata kunci : Pers, Dekrit Presiden, Demokrasi Terpimpin


Berlakunya sistem politik Demokrasi Terpimpin di Indonesia, menandai
suatu masa dimana seluruh aspek kehidupan bangsa, termasuk pers nasional,
diarahkan untuk mensukseskan pelaksanaan Manipol-USDEK dan menyelesaikan
revolusi Indonesia. Dari latar belakang tersebut muncul beberapa permasalahan,
yaitu (1) bagaimana kondisi pers Semarang menjelang dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, (2) bagaimana tanggapan pers Semarang terhadap Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, dan (3) bagaimana perkembangan pers di Semarang pada
masa Demokrasi Terpimpin.
Tujuan penulisan skipsi ini adalah (1) memperoleh gambaran yang jelas
tentang kondisi pers di Semarang menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959, (2)
memperoleh informasi mengenai tanggapan pers Semarang terhadap Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dan (3) untuk mengetahui perkembangan pers di Semarang
pada masa Demokrasi Terpimpin.
Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah dengan menempuh empat
langkah kegiatan, yaitu heuristik, kritik sumber, intepretasi, dan historiografi.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan sumber tertulis
berupa buku, surat kabar, dan arsip yang berkaitan dengan penelitian ini.
Sedangkan wawancara dilakukan untuk memperoleh keterangan dari para
informan yang mendukung penelitian ini.
Hasil penelitian dan kesimpulan dapat dijelaskan bahwa (1) kondisi umum
pers di Semarang hingga menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959, masih
merupakan sebuah organ partai. Dengan latar belakang kondisi politik yang labil
sebagai akibat sistem Demokrasi Liberal dan kondisi keamanan yang tidak stabil,
maka penindakan keras yang makin meningkat terhadap pers dengan sendirinya
tidak dapat dihindari, tekanan-tekanan terhadap pers, yang meliputi penahanan,
pemeriksaan, peringatan, gugatan dan lain sebagainya cenderung meningkat. (2)
tanggapan pers Semarang terhadap Dekrit Presiden, pada umumnya mendukung
dan mengingatkan pada besarnya tanggung jawab yang ditimbulkan oleh tindakan
kembali ke UUD 1945, yakni keharusan mematuhi dan melaksanakan segala yang
menjadi ketentuan dalam UUD 1945. (3) perkembangan pers di Semarang pada
masa Demokrasi Terpimpin sesungguhnya tidak terlepas dari situasi pers nasional
secara keseluruhan di tanah air. Pers pada masa ini diatur secara ketat dan harus
berfungsi sebagai alat revolusi pemerintah. Hanya pers yang pro Nasakom yang
dapat bertahan hidup, sedangkan pers yang menentangnya dibubarkan.
.

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................. ii

PENGESAHAN KELULUSAN .......................................................................... iii

PERNYATAAN................................................................................................... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... v

PRAKATA........................................................................................................... vi

SARI..................................................................................................................... viii

DAFTAR ISI........................................................................................................ ix

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Permasalahan .................................................................................. 4

C. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 5

D. Tujuan Penelitian............................................................................ 6

E. Manfaat Penelitian.......................................................................... 6

F. Metode Penelitian........................................................................... 6

G. Kajian Pustaka ................................................................................ 12

H. Sistematika Skripsi......................................................................... 16

BAB II PERS SEMARANG MENJELANG DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959


A. Sejarah Singkat Pers Semarang ...................................................... 18

B. Pembentukan PWI Sebagai Wadah

Para Wartawan Indonesia ............................................................... 34

ix
BAB III DEMOKRASI TERPIMPIN DI SEMARANG

A. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ............................................................ 41

B. Demokrasi Terpimpin dan Dominasi PKI ...................................... 47

C. Tanggapan Pers Semarang Terhadap

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ............................................................ 62

BAB IV PERKEMBANGAN PERS DI SEMARANG PADA MASA


DEMOKRASI TERPIMPIN
A. Kedudukan Pers dalam Sistem Demokrasi Terpimpin................... 68

B. Perkembangan Pers di Semarang

Masa Demokrasi Terpimpin ........................................................... 75

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 93

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 96

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Gedung Pers
Semarang...................................................................................................... 99
2. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Perpustakaan
dan Arsip Suara Merdeka.............................................................................100
3. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Perpustakaan
Museum Pers Solo ........................................................................................101
4. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Kantor Berita
Antara Semarang..........................................................................................102
5. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Badan Arsip
Daerah Semarang .........................................................................................103
6. Surat kabar Suara Merdeka tanggal 11 Desember 1964 ..............................104
7. Surat kabar Sinar Indonesia tanggal 29 September 1964.............................105
8. Surat kabar Gema Massa tanggal 12 Desember 1964..................................106
9. Contoh tulisan Belajar Memahami Soekarnoisme yang dimuat
dalam surat kabar Suara Merdeka tanggal 11 Desember 1964 ....................107
10. Surat kabar Angkatan Bersendjata tanggal 11 Oktober 1965 .....................108
11. Instrumen Wawancara.................................................................................109
12. Daftar Informan...........................................................................................110

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia, pernah berlaku suatu

sistem demokrasi yang hanya mengenal satu pimpinan nasional, yakni sistem

Demokrasi Terpimpin. Momentum yang dijadikan sebagai tonggak sejarah

berlakunya Demokrasi Terpimpin adalah diumumkannya sebuah Dekrit

Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Latar belakang dikeluarkannya Dekrit

Presiden ini adalah pertimbangan ketentraman dan keselamatan bangsa dan

negara yang disebabkan oleh makin parahnya gejolak politik yang tengah

terjadi (Widjaja, 1989:29).

Gejolak politik ini terjadi akibat faham Demokrasi Liberal yang telah

dipraktekkan di Indonesia. Golongan-golongan politik yang berbeda ideologi

senantiasa bersaing dan berkonflik, yang kadang-kadang melibatkan laskar-

laskar rakyat, menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan pembangunan.

Isi pokok dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu :

1. Pembubaran Konstituante

2. Berlakunya kembali UUD 1945

3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Dalam masa Demokrasi Terpimpin ini, kekuatan politik ada ditangan

Presiden Sukarno dengan militer (TNI-AD) dan PKI (Partai Komunis

Indonesia) di sampingnya. Presiden Sukarno berhasil menempatkan dirinya

1
2

sebagai “Balancing of Power” atau penyeimbang diantara dua kekuatan politik

lainnya, yaitu militer dan PKI. Presiden Sukarno menganggap aliansi dengan

PKI akan menguntungkan bagi konsolidasi politiknya, sehingga PKI

ditempatkan paling depan di dalam Demokrasi Terpimpin yang berlandaskan

Manipol- USDEK (Manifesto Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia,

Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia).

Beliau mengatakan bahwa kaum komunis Indonesia dalam melaksanakan

pogram manipol, seharusnya berdiri di barisan depan dan sungguh-sungguh

bertekad untuk menjadi teladan (Poesponegoo & Notosusanto, 1993:318).

Di puncak kekuasaannya itu, Sukarno memperlihatkan kecenderungan

tingkah laku politik yang sewenang-wenang. Tindakannya yang membubarkan

Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1955, dan menggantikannya

dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang

anggotanya ditunjuk sendiri oleh Presiden Sukarno telah mencerminkan hal

tersebut diatas (Ricklefs, 2005:529).

Di samping itu, Sukarno juga menjadi amat sensitif terhadap kritik-

kritik atau pandangan yang berbeda dengan pandangannya. Dengan kata lain,

ia tidak menerima adanya perbedaan faham atau adanya konflik, dan oleh

karena itu, musyawarah mufakat yang dijalankannya mengandung ciri terlalu

dipaksakan, sehingga konsensus yang dicapai bermakna semu (Alfian,

1992:64).
3

Kedekatan Presiden Sukarno dengan kaum komunis Indonesia telah

memberi angin segar bagi organisasi seperti PKI. Partai ini menerapkan

strategi unik yaitu “menempel” pada Presiden Sukarno dengan mendukung

ajaran-ajaran Sukarno yang menguntungkan. D. N. Aidit sering mengatakan

bahwa melaksanakan Manipol secara konsekuen adalah sama halnya dengan

melaksanakan progam PKI. Kaum Manipolis munafik dan kaum reaksionerlah

yang berusaha menghambat dan mensabotase Manipol (Poesponegoro &

Notosusanto, 1993:317).

Situasi politik yang demikian itu menyebabkan tidak sehatnya

kehidupan politik dan sosial. Perlindungan yang diberikan oleh Presiden

Sukarno kepada PKI membuat partai ini semakin berani dan leluasa untuk

melaksanakan ambisi politiknya, yaitu menyingkirkan lawan-lawan politiknya

dan pada akhirnya adalah mencapai puncak kekuasaan. Segala cara dilakukan

oleh PKI untuk merealisasikan maksudnya itu. Fitnah-fitnah, agitasi atau aksi

teror yang menggunakan kedok Manipol dan revolusi senantiasa dilancarkan

di setiap tempat dan waktu. PKI juga memaksimalkan media massanya untuk

memasyarakatkan fahamnya atau untuk meneror pihak yang dianggap menjadi

penghalangnya. Selain menggunakan organ-organ politik, PKI juga

memanfaatkan pengaruh Presiden Sukarno untuk menjatuhkan lawan-

lawannya. Sebagai akibat dari aksi PKI itu, tidak sedikit surat kabar yang

menentang PKI terkena pembreidelan dan wartawan yang dipecat dari

keanggotaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pers di daerah seperti

halnya di Semarang juga terkena imbas dari persaingan politik yang tidak
4

sehat. Hal ini menyebabkan pers di Semarang kehilangan ruang gerak untuk

tetap menjadi media penerangan yang independen bagi masyarakat.

Setelah diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, suasana kehidupan

pers dalam beberapa segi mengalami perubahan. Surat kabar yang terbit di

Semarang pada masa itu, adalah : Sinar Indonesia, Gema Massa, Pos Minggu

dan Suara Merdeka. PKI dengan surat kabarnya, Gema Massa melancarkan

teror mental terhadap surat kabar atau wartawan yang tidak mau sejalan

dengan arah politiknya. Oleh karena itu, surat kabar sepeti Sinar Indonesia dan

Pos Minggu harus menanggung akibatnya. Harian itu diberangus karena

aktivitas mereka yang anti PKI, sementara harian Suara Medeka, meskipun

juga anti PKI, masih mampu bertahan dari tekanan yang dilakukan PKI

(Marza, 1995:52).

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Penulis tertarik untuk mengkaji

lebih jauh. Oleh karena itu, penulis mengajukan judul skripsi, yaitu :

PERKEMBANGAN PERS DI KOTA SEMARANG PADA MASA

DEMOKRASI TERPIMPIN TAHUN 1959-1965.

B. Permasalahan

Adapun masalah-masalah yang penulis angkat dan kembangkan di

dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kondisi pers Semarang menjelang dikeluarkannya Dekrit

Presiden 5 Juli 1959?

2. Bagaimanakah tanggapan pers Semarang terhadap Dekrit Presiden 5 Juli

1959?
5

3. Bagaimanakah perkembangan pers di Semarang pada masa Demokrasi

Terpimpin?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk membatasi agar pembahasan masalah tidak terlalu panjang

lebar, sehingga dapat diperoleh suatu tujuan yang diinginkan, maka perlu

adanya pembatasan dari ruang lingkup yang meliputi tempat (spasial) dan

waktu (temporal).

Ruang lingkup tempat (spasial) dalam penelitian ini dipilih Kota

Semarang sebagai obyek penelitian, sebab Semarang merupakan ibukota Jawa

Tengah dan merupakan kota yang penting dalam sejarah perkembangan pers di

Jawa Tengah. Selain itu, pengaruh politik Demokrasi Terpimpin dapat

langsung dirasakan dalam kehidupan pers di kota ini. Sedangkan ruang lingkup

waktu (temporal) berkaitan dengan pembatasan waktu dimana peneliti

mengambil tahun 1959-1965. Tahun 1959 sebagai batas awal penelitian sebab

Demokrasi Terpimpin ditandai dengan diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli

1959. Sedangkan tahun 1965 batas akhir penulis melakukan penelitian, karena

pada akhir tahun ini terjadi krisis politik sebagai akibat dari Kudeta Gerakan 30

September/PKI dan semakin parahnya krisis ekonomi yang mengakibatkan

banyaknya penerbitan pers di Semarang yang tidak mampu bertahan.


6

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah

untuk :

1. Memperoleh gambaran yang jelas tentang kondisi pers di Semarang

menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

2. Memperoleh informasi yang jelas mengenai tanggapan pers Semarang

terhadap Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

3. Memperoleh informasi yang jelas mengenai perkembangan pers di

Semarang pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penulisan skipsi ini adalah :

1. Dapat menambah wawasan bagi para pembaca mengenai perkembangan

pers di Semarang pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965.

2. Sebagai bahan tambahan materi sejarah Nasional, khususnya yang

membahas tentang sejarah pers di Semarang.

3. Dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan Ilmu Sosial pada

umumnya dan Ilmu Sejarah pada khususnya tentang perkembangan pers

pada masa Demokrasi Terpimpin.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah

(Historical Methode), yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis

rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1975:32).


7

1. Heuristik

Heuristik adalah usaha untuk mencari, menghimpun,

mengumpulkan data/fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian. Adapun

sumber yang digunakan adalah :

a. Sumber Primer

Sumber primer dapat diartikan sebagai suatu kesaksian dari seseorang

dengan melihat secara langsung, yakni orang atau alat yang hadir pada

peristiwa yang diceritakannya atau lebih dikenal dengan saksi

pandangan mata, dan bisa juga artefak, tulisan atau lisan yang hidup

pada masa suatu peristiwa yang terjadi (Nazir,1988:58). Sumber

primer yang dipakai, antara lain wawancara dengan wartawan pada

masa Demokrasi Terpimpin dan surat kabar di Semarang yang pernah

terbit pada masa Demokrasi Terpimpin yang diperoleh dari Gedung

Deposit, arsip Suara Merdeka, dan Monumen Pers.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan

merupakan saksi mata yakni dari seseorang yang tidak hadir pada

peristiwa yang dikisahkannya (Gottschalk, 1975:35). Dengan

perkataan lain sumber yang berasal dari orang yang bukan saksi hidup

atau tidak sejaman dengan peristiwa itu. Sumber sekunder ini

diperoleh penulis melalui buku-buku yang berkaitan dengan masalah

yang penulis kaji.


8

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa langkah

yaitu :

a. Observasi (field work)

Observasi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan jalan

mengadakan pengamatan secara langsung dengan harapan dapat

mendapatkan gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti. Dalam

hal ini penulis melakukan kunjungan lapangan ke Museum Pers

Nasional di Solo, Kantor harian Suara Merdeka, Museum Mandala

Bhakti Semarang, serta tempat-tempat bersejarah lainnya yang ada

hubungannya dengan penelitian ini.

b. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan yaitu menghimpun data-data sejarah dari

buku-buku sejarah atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan

penelitian ini. Beberapa usaha untuk memperkaya data dari pustaka

dilakukan dengan mengunjungi beberapa perpustakaan, seperti :

perpustakaan Universitas Negeri Semarang, perpustakaan Museum

Mandala Bhakti Semarang, perpustakaan Wilayah Jawa Tengah,

perpustakaan Museum Ronggowasito Semarang, perpustakaan Harian

Suara Merdeka Semarang, perpustakaan Museum Pers Solo, dan

perpustakaan Gedung Deposit Semarang.


9

c. Wawancara (interview)

Merupakan suatu proses tanya jawab lisan antara dua orang

atau lebih yang berhadapan secara tatap muka. Wawancara dalam

suatu penelitian bertujuan mengumpulkan keterangan tentang

kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian

mereka. Dalam penelitian ini berusaha mewawancarai beberapa orang

yang terlibat langsung atau mengalami sendiri kehidupan pers pada

masa Demokrasi Terpimpin. Informan dalam penelitian ini merupakan

para wartawan dan karyawan penerbitan, karena para tokoh pers ini

dipandang lebih tahu kondisi kisah pers Semarang selama berlakunya

Demokrasi Terpimpin. Informasi mengenai para informan didapat dari

Organisasi Kewartawanan (PWI) di Semarang. Wawancara dilakukan

dengan para wartawan pada masa itu, seperti Bapak Mohammad

Soebandrijo, Bapak Muhammad Zuhdi dan Bapak Kusatya Soejoto,

yang semuanya berdomisili di Semarang.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber yaitu tahap penilaian atau pengujian terhadap

sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan, dilihat dari sudut

pandang nilai kebenarannya. Kritik sumber ini dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Kritik Eksternal (External Critic)

Kitik eksternal yaitu kritik yang menilai apakah sumber yang didapat

benar-benar merupakan sumber yang dikehendaki. Dilihat dari

bentuknya apakah sumber itu asli atau turunan. Kritik luar bertujuan
10

untuk menetapkan outentik tidaknya atau asli tidaknya sumber yang

dipakai. Kritik extern berusaha menjawab petanyaan tentang

keoutentikan dan keaslian sumber yang digunakan. Dalam menentukan

kritik luar ini, penulis memeriksa secara kritis sumber-sumber yang

didapat untuk mengetahui kapan sumber itu dibuat, dimana sumber itu

dibuat dan ditemukan (lokasi), siapa yang membuat (kepengarangan),

dari bahan apa sumber itu dibuat (analisis) dan sebagainya. Misalnya

untuk menentukan otentisitas suatu surat kabar, penulis harus melihat

tanggal dan tahun terbit, kondisi kertasnya, dan dari percetakan mana

surat kabar itu diterbitkan.

b. Kritik Internal (Internal Critic)

Kritik intern bertujuan untuk mencapai nilai pembuktian yang

sebenarnya dari isi sumber sejarah. Kritik intern dilakukan terutama

untuk menentukan apakah sumber itu memberikan informasi yang

dapat dipercaya atau tidak. Lebih tegasnya kritik intern digunakan

untuk menetapkan kesahihan (validity) dan dapat dipercaya (redibility)

isi sumber itu sendiri. Untuk menentukan kritik internal, penulis

melihat dan menyelidiki isi, bahasa yang digunakan, tata bahasa,

situasi disaat penulisan dan sebagainya dari sumber-sumber yang

didapat, baik itu buku, surat kabar maupun dokumen. Apakah

pernyataan yang dibuat benar-benar merupakan fakta historis dan

apakah isinya cocok dengan sejarah. Verifikasi kredibilitas juga

digunakan penulis untuk menilai kesahihan informasi dalam sumber


11

lisan. Ada empat aspek dalam menilai apakah seorang saksi

memberikan informasi yang akurat yaitu : kemampuan menyatakan

kebenaran, keakuratan pelaporan dan adanya dukungan secara bebas

atau external corroboration mengenai isi laporan yang disampaikan.

3. Intepretasi

Intepretasi merupakan proses menyusun dan merangkai antara satu

fakta dengan fakta sejarah yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang

dapat dimengerti dan bermakna. Tujuannya agar data yang ada mampu

untuk mengungkapkan pemasalahan yang ada, sehingga diperoleh

pemecahannya. Dalam proses intepretasi, tidak semua fakta dapat

dimasukkan, tetapi harus dipilih mana yang relevan dengan gambaran

cerita yang akan disusun.

4. Historiografi

Historiografi adalah penyajian berupa sebuah cerita sejarah. Dalam

hal ini penulis akan menyajikan hasil penelitian dalam bentuk cerita

sejarah yang tersusun secara sistematis dan kronologis berupa deskriptif

analitis. Historiografi atau penulisan sejarah meupakan tahap akhir dari

metodologi sejarah hasil penafsiran atau intepretasi atas fakta-fakta sejarah

yang telah dilakukan kemudian dituliskan menjadi suatu kisah yang

selaras.
12

G. Kajian Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini dipergunakan beberapa pustaka sebagai

acuan untuk mengetahui seberapa jauh persoalan penelitian Perkembangan

Pers di Semarang Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1965.

Dalam buku berjudul “Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia”

dijelaskan tentang sejarah dan perkembangan Serikat Penerbit Surat Kabar

(SPS) dan perkembangan pers Indonesia. Buku ini menjelaskan secara

kronologis bagaimana untuk pertama kalinya bangsa Indonesia memiliki

korannya sendiri, yang dimodali oleh bangsa Indonesia dan disediakan untuk

bangsa Indonesia sendiri. Pers Indonesia dengan gerakan kebangsaan juga

dijelaskan dalam bab ini. Bukanlah suatu rahasia lagi, bahwa pers Indonesia

dalam sejarahnya senantiasa berdampingan dengan gerakan kebangkitan

nasional atau bahkan merupakan sebagian dari gerakan kebangsaan itu sendiri.

Pada masa pergerakan untuk mempertahankan kemerdekaan, banyak

bermunculan surat kabar dan majalah. Ibaratkan tumbuhnya jamur di musim

hujan, ada yang kuat tahan lama, tetapi tidak sedikit pula yang harus gulung

tikar karena tidak kuasa menghadapi kesulitan yang beraneka ragam corak dan

warnanya, misalnya di bidang teknis. Pada saat itu pers Indonesia dengan

sama sekali tidak berpretensi sebagai pahlawan, menunaikan tugas dan

kewajibannya dengan segala keikhlasan dan dengan penuh semangat

pengabdian mempertahankan serta mengisi kemerdekaan yang sudah

diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.


13

Dalam periode 1950-1959, pers Indonesia bukan lagi sebagai salah

satu lembaga demokasi, tetapi sebagai alat penguasa untuk membenarkan

tindakan-tindakan penguasa,dan pers Indonesia memasuki periode hitam. Pada

masa Demokrasi Terpimpin, kedudukan dan fungsi pers Indonesia kemudian

diarahkan kepada tujuan dan jalan politik tersebut. Suara-suara yang berani

melawan terhadap gagasan ini harus dibungkam dan begitulah sejumlah koran

yang dalam masyarakat mempunyai kalangan pembacanya yang tersendiri

dalam jumlah yang cukup banyak, ditutup dengan paksa atas perintah

penguasa. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, penguasa berturut-turut

mengeluarkan peraturan-peraturan yang bertujuan untuk lebih mengetatkan

pengawasan dan mempererat pengendalian terhadap pers. Dalam buku ini pula

dijelaskan tentang pers Indonesia pada masa Orde Baru, kode-kode etik pers,

yang meliputi kode etik peusahaan pers, periklanan dan jurnalistik. Buku ini

juga memberikan data penebitan pers se-Indonesia dan statistik penerbitan

pers se-Indonesia, termasuk didalamnya pers di Semarang.

Dalam buku “Beberapa Segi Pekembangan Sejarah Pers di Indonesia”

menjelaskan sejarah umum pers di Indonesia berdasarkan suatu kerangka

konsep historiogafi atau penulisan sejarah berdasarkan pendekatan ilmiah

tehadap dokumen-dokumen sejarah.

Awal sejarah pers di Indonesia mempunyai ciri-ciri khusus,

berhubungan dengan keadaan masyarakat, kebudayaan dan politik. Buku ini

menguraikan tiga bentuk pers di Indonesia, yaitu pers Belanda, pers Melayu-

Tionghoa dan pers Indonesia. Mengenai perkembangan pers Belanda


14

diuraikan usaha-usaha pertama mendirikan percetakan dan penerbitan pers

serta perkembangannya sampai akhir Hindia Belanda. Pada bagian yang

menguraikan pers Belanda, tampak sekali tempat terbit dan penyebarannya

terbatas pada kota-kota besar, yang penting bagi administrasi maupun sebagai

pusat perdagangan perusahaan-perusahaan Belanda. Isi dari pers Belanda

sendiri, sudah tentu berorientasi ke Eropa dan kepentingan Eropalah yang

dibelanya.

Sebaliknya, pers Melayu-Tionghoa mempunyai masalah sendiri

sebagai usaha dan suara golongan usahawan Tionghoa, yang lebih suka

pasang iklan di surat kabar mereka. Bagian yang membicarakan pers

Indonesia dimulai dengan uraian pers daerah dan bahasa Melayu.

Perkembangan pers Indonesia, sebagian dipengaruhi oleh adanya usaha

percetakan dan penerbitan Belanda dan Tionghoa dan sebagian lagi karena

munculnya elite Indonesia yang memerlukan media komunikasi. Pers

Indonesia sudah tentu memusatkan perhatiannya tehadap masalah-masalah

yang timbul dalam masyarakat kolonial dan nadanya jelas membela

kepentingan tujuan pergerakan nasional. Bagian terakhir buku ini menitik

beratkan kepada uraian sekitar masalah kebebasan pers dan tindakan-tindakan

pemerintah tehadap kebebasan pers.

Tribuana Said, dalam bukunya “Sejarah Pers Nasional dan

Pembangunan Pers Pancasila” menjelaskan bahwa pers nasional adalah pers

yang dimiliki sepenuhnya oleh bangsa Indonesia dan mencerminkan aspirasi

perjuangan kemerdekaan. Dalam sistem penjajahan, pers mengalami


15

pengendalian ketat. Dalam masa kemerdekaan, pers menyatu dengan ciri-ciri

kehidupan sosial politik yang berkembang atau yang ditumbuhkan.

Buku ini memberi gambaran bahwa perkembangan pers di masa

penjajahan sejak pertengahan abad ke-19 ternyata telah dapat menggugah

cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan

media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran

bangsa. Wartawan menjadi tokoh pergerakan atau sebaliknya tokoh

pergerakan menerbitkan pers yang betujuan menyatukan aspirasi perjuangan.

Dalam masa pendudukan Jepang, pers nasional ditutup. Jepang

menerbitkan sejumlah surat kabar dan majalah dibeberapa kota besar dengan

kewajiban menyajikan propaganda tertentu untuk kepentingannya. Antara

awal kemerdekaan dan sepanjang masa Demokrasi terpimpin hingga

menjelang lahirnya Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia

kepartaian sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pada

masa Demokrasi Terpimpin, PWI tetap berpegang teguh pada dasar negara

Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lahirnya gerakan

kembali ke UUD 1945.

Edward Cecil Smith dalam bukunya “Sejarah Pembreidelan Pers di

Indonesia” menjelaskan tentang perkembangan pers pada masa setelah

pengakuan kedaulatan yakni antara tahun 1949-1965, kaena ini merupakan

puncak kegiatan dalam sejarah pers di Indonesia.

Buku ini berisi tentang ikhtisar sejarah pers Indonesia masa lampau

dan sekarang, dimulai dengan perspektif untuk melihat Indonesia yang


16

sekarang, kemudian kembali menyusuri sejarah kekuasaan raja-raja dan

perkembangan kebudayaannya tempat asal Indonesia modern memperoleh

warisannya dan menguraikan kondisi sosiologis dan keadaan Indonesia

dewasa ini. Buku ini juga menguraikan pertumbuhan pers Belanda, Cina dan

pers Indonesia bersama-sama dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia,

sejarah tekanan terhadap pers selama pendudukan Jepang serta menunjukkan

kaitan antara ketegangan-ketegangan politik, agitasi pers dan tekanan terhadap

pers selama masa pemerintahan Sukarno, setelah kemerdekaan.

H. Sistematika Skripsi

Untuk mengetahui gambaran umum mengenai keseluruhan isi

penelitian ini, perlu dikemukakan garis pembahasan melalui sistematika

skripsi berikut ini :

BAB I merupakan pendahuluan, yang memuat latar belakang

pemilihan judul, permasalahan, ruang lingkup, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kajian pustaka dan sistematika skripsi.

BAB II merupakan hasil penelitian tentang pers Semarang menjelang

Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memuat sejarah singkat pers Semarang dan

pembentukan PWI sebagai wadah para wartawan Indonesia.

BAB III merupakan hasil penelitian tentang Demokrasi Terpimpin di

Semarang, yang menjelaskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Demokrasi

Terpimpin dan dominasi PKI serta tanggapan pers Semarang terhadap Dekrit

Presiden 5 Juli 1959.


17

BAB IV merupakan hasil penelitian tentang perkembangan pers di

Semarang pada masa Demokrasi Terpimpin yang menjelaskan kedudukan pers

dalam sistem Demokrasi Terpimpin dan perkembangan pers Semarang pada

masa itu.

BAB V merupakan penutup yang berisi kesimpulan.


BAB II
PERS SEMARANG
MENJELANG DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

A. Sejarah Singkat Pers Semarang

Sebagai bagian dari umat manusia di dunia, bangsa Indonesia dengan

sendirinya tidak luput dari pengaruh perkembangan peradaban dunia. Salah

satu peradaban dari benua Eropa yang masuk ke Nusatara pada pertengahan

abad ke-18 adalah penyebaran informasi melalui media cetak yang disebut

pers. Perkembangan pers di Indonesia telah menggugah cendikiawan

Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak

sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa (Said,

1988:237).

Pada mulanya terdapat tiga golongan dalam penerbitan pers di

Indonesia, yaitu golongan pers kolonial, pers Cina dan pers pribumi. Tiap

penerbitan mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Golongan terbesar adalah

pers kolonial yang bertujuan untuk membantu pemerintah kolonial.Pers

Kolonial terbit untuk kepentingan dan sumber keterangan tentang jalan trem

dan kereta api, kegiatan ekspor dan impor, perdagangan, pendidikan, industri,

pertanian, profesi kedokteran, olahraga, dan sebagainya. Dengan demikian,

semua penerbitan Kolonial itu merupakan usaha-usaha awal suatu masyarakat

Kolonial dalam proses penyesuaian dengan perkembangan dunia modern

(Surjomihardjo, 2002:29).

18
19

Pers Cina merupakan pers yang diterbitkan oleh orang Cina dengan

menggunakan tiga bahasa yaitu bahasa Cina, Melayu, dan bahasa Belanda.

Pada umumnya memuat tentang periklanan, perdagangan, dan berita keadaan

serta perkembangan Negara Cina. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan orang

Cina yang menyatakan bahwa dimanapun mereka berada tidak boleh

melupakan tanah leluhur. Pers Cina juga dikenal sebagai pers Melayu-

Tionghoa. Pers peranakan Tionghoa ini dipenuhi dengan advertensi dan roman

terjemahan, sedangkan berita kurang sekali. Satu hal lagi, pers Cina banyak

memuat iklan, terutama tentang obat-obatan dan sinshe. Begitu banyak

memuat reklame obat-obatan dari jamu ajaib sampai kepada peoder (bedak)

zebra. Dari sini dapat diketahui sedikit, bagaimana sebenarnya kedudukan

ekonomi peranakan Tionghoa dalam zaman silam (Surjomihardjo, 2002:73).

Pers pribumi adalah pers yang diupayakan oleh orang-orang Indonesia

(orang pergerakan, partai atau wartawan), bertujuan untuk memperjuangkan

hak-hak bangsa Indonesia, merebut dan mencapai kemerdekaan. Pada

umumnya pers pribumi berisikan naskah atau artikel yang mengandung

sindiran, kritikan serta propaganda untuk mengobarkan semangat perjuangan

melawan penjajah.

Di Semarang, surat kabar pertama sudah ada sejak tahun 1852 dengan

nama Semarangsche Nieuws en Advertentieblad yang dipimpin oleh E.

Herman de Groot.. Pada tahun 1863 berganti nama menjadi de Locomotief,

yang diilhami oleh pembangunan jalan kereta api pertama oleh Gubernur

Jenderal Mr. Baron Slot van de Beek pada 6 Juli 1864, yang jalurnya melalui
20

kota Semarang. de Locomotief awal terbitnya merupakan mingguan, dalam

waktu singkat dapat terbit dua kali seminggu dan kemudian menjadi harian

pada tahun 1891. De Locomotief merupakan surat kabar yang besar

pengaruhnya bagi pembaruan politik kolonial (Smith, 1983:68).

Semarang merupakan kota yang penting bagi kelahiran pers kolonial.

Pada awal abad ke-20, kehidupan orang-orang Belanda terpusat pada masalah

bagaimana membangun kota Semarang. Namun, lebih dari itu orang Belanda

di kota ini lebih peka terhadap kemiskinan penduduk Jawa Tengah, yang

terutama disebabkan oleh hubungan sewa-menyewa tanah dalam sistem feodal

dan upah yang sangat rendah yang diterima para pekerja. De Locomotief

adalah pembawa suara “politik etika”, yang terutama didukung oleh gabungan

perusahaan perdagangan impor.

Memasuki awal abad ke-20, penerbitan surat kabar dan majalah di

Semarang semakin bertambah, meskipun penerbitannya silih berganti. Tahun

1903, terbit sebuah surat kabar peranakan Tionghoa yang bernama Warna

Warta. Surat kabar tersebut mula-mula diselenggarakan oleh NV Hap Sing

Kongsie dan merupakan organ resmi dari Hoa Kiauw Toan The Hwe

(perkumpulan perantau Tionghoa) Semarang. Pemimpin redaksi Warna Warta

bernama Th. H. Phao. Warna Warta kemudian berganti tangan dan namanya

diganti menjadi Djiet Po. Tahun 1909, di Semarang terbit pula sebuah surat

kabar peranakan Tionghoa yang bernama Djawa Tengah, dicetak di NV Java

Ien Boe Kongsie, dan setelah tahun 1930, NV tersebut diganti menjadi suatu

NV baru, yaitu Handel Maatschappij een Drukkerij Djawa Tengah. Djawa


21

Tengah berpendirian sedikit konservatif dan mencoba ambil jalan tengah

dalam perselisihan antara Chung Hua Hui dan pers peranakan Tionghoa.

Bulanan Djawa Tengah yaitu Djawa Tengah Review, sering

memperbincangkan persoalan Tionghoa di Indonesia yang menimbulkan

polemik (Surjomihardjo, 2002:54).

Pada 1 Agustus 1934, di Semarang terbit sebuah surat kabar bernama

Mata Hari di bawah pimpinan Kwee Hing Tjiat, bekas redaktur SinPo yag

pernah diusir oleh pemerintah Hindia Belanda. Surat kabar Mata Hari yang

semula hendak diberi nama Mardika, mendapat tunjangan dari Oei Tiong Ham

Concern, yang mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Tahun 1937

redaksi dipercayakan kepada Baswedan Abdurrahman (Surjomihardjo,

2002:54).

Surat kabar berbahasa melayu yang terbit di Semarang pada awal abad

ke-20 adalah Bintang Pagi (1907) dan Sinar Djawa (1899) yang masing-

masing dipimpin oleh The Mo Hoat dan Sie Hiang Ling. Selain itu, Semarang

juga memiliki surat kabar Slompret Melayoe (1860-1911) dipimpin oleh A.

Appel dan Taman Pengajar (1905) yang dipimpin oleh seorang guru, Mas

Boediardjo (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:292).

Penerbitan surat kabar pada masa pemerintahan Hindia Belanda

menghadapi banyak rintangan. Pada tanggal 7 September 1931, pemerintah

Hindia Belanda melahirkan Persbreidel Ordonnantie, yang memberi

wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk melarang terbit setiap penerbitan

yang dinilainya mengganggu ketertiban umum. Pada masa ini, pers juga
22

dilarang memberitakan Haat Zaai Artikelen karena mengancam hukuman

terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian serta

penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda dan terhadap

sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda melalui tulisan

atau gambar (Harahap, 2000:117-119).

Persuratkabaran pada masa pergerakan lebih banyak ditertibkan oleh

partai-partai, seperti partai SI cabang Semarang, PNI cabang Semarang,

Parindra dan Partindo di Semarang. Harian Sinar Djawa milik partai Sarekat

Islam cabang Semarang banyak merebut simpati pembaca. Isinya sebagian

besar berupa naskah tentang agama Islam. Selanjutnya Sinar Djawa berubah

namanya menjadi Sinar Hindia pada tahun 1921 di bawah pimpinan Marco

dan Semaun (Serikat Penerbit Surat kabar, 1971:83).

Pada masa itu, pergerakan nasional dan surat kabar biasanya berada di

satu tangan, pemimpin pergerakan sekaligus menjadi pemimpin surat kabar.

Hal ini mudah dimengerti, mengingat pada waktu itu selain jumlah, sangat

sedikit pula wartawan yang berpendidikan serta berpengetahuan politik.

Kehidupan keluar masuk penjara, mengalami pembuangan, kehilangan

pekerjaan, atau dibreidel surat kabarnya adalah hal yang wajar bagi kalangan

pers. Kota Semarang menjadi salah satu tempat atau pusat penjara dan

pengadilan (Raad van Justitie) bagi mereka (Harahap, 2000:115).

Surat kabar pribumi sering tidak bertahan lama yang disebabkan oleh

bermacam faktor, antara lain kurangnya modal, uang langganan yang banyak

nunggak, pemasukan dari iklan minim, juga aturan-aturan pemerintah yang


23

merugikan. Bila naskah yang dimuat menyinggung perasaan pemerintah,

maka penulis mendapat hukuman denda, kurungan, bahkan pembreidelan

surat kabar. Hal itu sudah biasa dialami oleh wartawan atau penulis dari kota

Semarang, misalnya S. K. Trimurti, Mashoed Hardjokoesoemo, Sajuti Melik,

serta Sjamsuddin Sutan Makmoer. Penyebab lainnya adalah administrasi yang

belum teratur dan sistematik serta pemberitaan yang tidak selengkap

penerbitan asing. Rubrik luar negeri tidak dipelihara dengan baik, sementara

rubrik-rubrik lain seperti kesenian, perdagangan, pertanian, rubrik wanita,

ilmu pengetahuan, dan teknik rata-rata tidak ada. Ditinjau dari peralatannya

sendiri sangat memprihatinkan, menggunakan peralatan sangat sederhana

yang pada umumnya bekas dari penerbitan pemerintah kolonial (Soebagjo,

1981:18-20).

Waktu itu untuk mendirikan perusahaan surat kabar mudah sekali,

karena tidak memerlukan Surat Ijin Terbit (SIT), tetapi harus ditopang dengan

surat tanda kelakuan baik dari polisi dan rekomendasi dari suatu perkumpulan

wartawan. Meskipun demikian, di setiap edisi penerbitannya perusahaan harus

mengirimkan satu ekslemplar korannya kepada polisi atau pembesar setempat

dalam waktu 24 jam setelah dicetak. Apabila isi dianggap tidak sesuai, maka

pimpinan redaksi diwajibkan untuk bertanggungjawab (Soebagjo, 1981: 20).

Pada tahun 1937 terbit majalah Pesat yang didirikan oleh S. K.

Trimurti, seorang wartawati dan anggota pergerakan yang sangat gigih. Tidak

lama setelah itu, Trimurti harus berhadapan dengan pengadilan di Semarang

dan dijebloskan ke penjara. Penyebabnya adalah dalam suatu edisi majalahnya


24

menerbitkan artikel yang terang-terangan mengkritik dan menghina

pemerintah kolonial. Selanjutnya pada tahun 1938 pimpinan redaksi Pesat

dipercayakan kepada Sajuti Melik. Majalah ini kemudian menjadi harian Sinar

Baroe di masa pendudukan Jepang. Bersamaan dengan majalah Pesat, berdiri

pula harian Daja Oepaja yang dipimpin oleh Sjamsuddin Sutan Makmur.,

meskipun tidak bertahan lama. Kemudian terbit harian Sinar Selatan dengan

redaktur Mashoed Hardjokoesoemo. Perusahaan yang menerbitkan harian ini

dipimpin oleh Tuan Itami Hiraki dan dengan modal milik orang Jepang yaitu

Tuan Ogawa, seorang pedagang obat-obatan terkenal (Soebagjo, 1981:245).

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, penerbitan surat kabar

dan stasiun radio dihentikan kegiatannya, sebab sudah menjadi kebijaksanaan

pemerintah militer Jepang bahwa semua alat komunikasi massa harus

diarahkan guna kepentingan perang. Komunikasi massa ini bukan saja koran

dan radio, tetapi juga urusan persandiwaraan dan perfilman, semua harus

dikuasai dan ada di tangan pihak penguasa. Pers Belanda dan Cina juga

diambil alih Jepang (Smith, 1983:84). Di Semarang, pihak Jepang melarang

penerbitan surat kabar, baik yang berupa harian, mingguan maupun tengah

bulanan.

Pada masa pendudukan Jepang, dunia pers di Indonesia dikendalikan

berdasarkan undang-undang penguasa (Osamu Seiri) No. 16 tentang

pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan. Pasal 3 undang-

undang tersebut berbunyi :“Terlarang mendirikan barang cetakan yang

berhubungan dengan pengumuman atau penerangan baik yang berupa


25

penerbitan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan maupun penerbitan dengan

tidak tertentu waktunya, kecuali oleh badan-badan yang sudah mendapat ijin”

(Said, 1988:48).

Berdasarkan ketentuan penguasa Jepang tersebut, semua surat kabar

Belanda dan Cina dilarang terbit. Panglima militer Jepang kemudian

menerbitkan sejumlah surat kabar dengan cara mengubah nama-nama surat

kabar pribumi sesuai keinginannya. Sensor dilakukan atas segala cetakan,

bahkan berita-berita dan karangan-karangan disaring dahulu oleh petugas

sensor. Sebelum suatu surat kabar dicetak, petugas sensor resmi melakukan

sensor pertama, selanjutnya petugas dari Domei mengadakan pemeriksaan

kedua dan membubuhi paraf (Said, 1983:48-49).

Mengenai penerbitan surat kabar, hanya diperbolehkan ada satu

penerbitan surat kabar di tiap kota besar di Jawa. Hal ini dimaksudkan agar

lebih mudah mengawasi dan melakukan sensor kepada media bersangkutan,

dengan satu pertimbangan yakni berusaha menekan pemikiran rakyat serta

menghalangi kemajuan bangsa Indonesia. Pihak Jepang menempatkan orang-

orangnya di perusahaan penerbitan untuk mengawasi setiap hari dengan

melakukan sensor yang ketat (Surjomihardjo, 2002:101).

Di Semarang surat kabar seperti de Locomotief, Matahari, Soeara

Semarang, Daja Oepaja dihentikan penerbitannya. Pemerintah Jepang

menunjuk bekas harian Pesat menjadi harian Sinar Baroe di bawah pimpinan

Parada Harahap. Anggota staf redaksinya berasal dari bekas redaksi harian
26

Pesat, ditambah beberapa staf redaksi de Locomotief, karena percetakannya

adalah bekas milik de Locomotief (Said, 1988:49).

Tanggal 2 Februari 1943, pemerintah militer Jepang mendirikan

himpunan surat kabar di Jawa yaitu Djawa Shinbunkai. Pengurusnya terdiri

dari kepala redaksi seluruh surat kabar yang terbit di Jawa, termasuk Jawa

Shinbun dan semua surat kabar yang dulunya berdiri sendiri berada dalam

pengaturan dan pengawasannya, baik isi, bentuk, jumlah maupun daerah

peredarannya (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:56). Jepang tahu bahwa

pengaruh dan daya kekuatan tulisan yang dicetak di surat kabar dapat

menggerakkan hati dan tenaga massa untuk mengadakan perlawanan terhadap

penguasa. Peraturan-peraturan pada penerbitan yang dikeluarkan pemerintah

Jepang sangat membatasi gerak pers Indonesia, tidak hanya redaksi dan

wartawan tetapi juga perusahaannya.

Di Jawa, jumlah cetak (oplaag) seluruh surat kabar tidak boleh lebih

dari 80.000 ekslemplar tiap harinya, sedangkan yang berbahasa daerah

masing-masing Syuu (Karesidenan) tidak boleh lebih dari 5.000 ekslemplar.

Jika pada masa penjajahan Belanda, oplaag surat kabar tidak berarti, maka

pada masa pendudukan Jepang oplaag harian yang terbit rata-rata mencapai

antara 20.000-30.000 ekslemplar tiap hari (Poesponegoro dan Notosusanto,

1993:175).

Kondisi itu tidak berlangsung lama, dikarenakan keadaan

perekonomian dan keuangan makin parah. Inflasi tiap hari kian menjadi-jadi,

yang berakibat melambungnya harga-harga kebutuhan hidup. Adapun


27

pengaruhnya terhadap persuratkabaran Semarang adalah ukuran koran

diperkecil dari ukuran semula, karena persediaan kertas makin terbatas hingga

segala sesuatunya harus dihemat dan disesuaikan dengan keperluan Jepang

yang semakin terdesak dalam peperangan melawan sekutu. Isi surat kabar

pada masa ini biasanya memuji-muji pemerintahan pendudukan Jepang,

menanamkan semangat anti Barat dan mengobarkan rasa nasionalisme sebagai

bangsa Asia (Surjomihardjo, 2002:102).

Walaupun kondisi komunikasi massa pada masa pendudukan Jepang di

Semarang sangat memprihatinkan, namun masih ada celah-celah

keuntungannya. Bagi karyawan pers dapat menggunakan fasilitas-fasilitas

yang lebih baik, sperti kantor berita Domei Semarang. Pegawai Domei boleh

menggunakan peralatan modern yang pada jaman penjajahan Belanda tidak

boleh dipakai (Soebagjo, 1981:82).

Demikianlah beberapa langkah penguasa militer Jepang di bidang pers

yang bertujuan menjadikannya alat propaganda untuk memperoleh dukungan

rakyat Indonesia dalam peperangan melawan tentara sekutu. Wartawan-

wartawan Indonesia yang dituduh melakukan gerakan di bawah tanah

langsung ditangkap tentara Jepang atau dibunuh. Di Semarang, wartawan yang

sempat disekap penguasa militer Jepang adalah Sajuti Melik dan S. K.

Trimurti (Said, 1988:50).

Surat kabar yang terbit di Semarang setelah proklamasi kemerdekaan

adalah Warta Indonesia pada tanggal 29 September 1945, yang semula

bernama Sinar Baroe. Harian ini menyiarkan pengumuman-pengumuman


28

Republik Indonesia (Said, 1988:62). Sejak masuknya pasukan pendudukan

sekutu dengan membawa satuan-satuan serdadu Belanda, surat kabar dan para

wartawannya senantiasa menghadapi tindakan kekerasan dari tentara musuh,

tidak lain karena berita dan tulisan yang terus mendukung proklamasi

kemerdekaan dan kepentingan Republik Indonesia pada umumnya.

Pada masa revolusi fisik, Belanda menerbitkan surat kabar di

Semarang dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia.

Surat kabar yang Berbahasa Belanda adalah Het Midden, yang pada bulan

Januari 1947 berganti nama menjadi de Locomotief. Sementara koran Belanda

yang Berbahasa Indonesia adalah Soeloeh Rakjat. Harian ini, setelah

pengakuan kedaulatan diambil alih oleh Hetemi dan diubah namanya menjadi

Suara Merdeka. Penguasa-penguasa pers golongan Cina juga kembali

menerbitkan surat kabarnya. Di Semarang terbit harian Sin Min, yang

menganut aliran komunis (Said, 1988:75-76).

Sistem pers di Indonesia pada zaman Liberal, yaitu antara tahun 1950-

1959, ditandai dengan liberalisasi dalam hal penulisan berita, tajuk rencana

dan pojok, sedangkan pengusahaannya tersisih. Tiap orang, asal mempunyai

uang, tidak memandang dari golongan apa, menganut aliran dan ideologi

politik mana dan merasa mampu, boleh mendirikan perusahaan surat kabar.

Hal ini dipermudah lagi dengan tidak adanya kewajiban untuk meminta surat

ijin penerbitan (Soebagjo, 1977:92). Perlombaan dalam membangun

perusahaan persuratkabaran tidak dapat dihindari walaupun tanpa

mempedulikan manajemen atau pengelolaan yang profesional maupun


29

kendala-kendala yang akan dihadapi. Akibatnya, tidak sedikit surat kabar yang

tumbuh kemudian mati, timbul untuk selanjutnya tenggelam dan hanya

beberapa yang mampu tetap bertahan.

Pada masa ini, struktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa

sebelumnya, yakni terdiri dari pers nasional, surat kabar Belanda dan Cina.

Kebanyakan pers nasional berada dalam keadaan yang lemah di bidang

pengusahaannya dibandingkan dengan surat kabar Belanda yang dicetak

dipercetakan mutakhir saat itu, dan surat kabar Cina yang didukung oleh

modal yang kuat. Menurut Tribuana Said, di antara sejumlah kecil pers

nasional yang mampu membangun peralatan grafika yang memadai tercatat

Harian Merdeka, Indonesia Raya, serta Pedoman yang terbit di Jakarta. Di luar

ketiga harian tersebut, terutama yang berada di luar Jakarta keadaan pers

nasional sangat memprihatinkan.

Surat kabar yang berbahasa asing, dalam hal ini Belanda dan Cina,

masih diperbolehkan terbit di Indonesia atau dengan kata lain surat kabar itu

memiliki privilige (hak istimewa) yang sama dengan surat kabar Indonesia.

Sesuai dengan suasana liberal, mereka pun diberi keleluasaan dalam

menuliskan beritanya.

Harian Suara Merdeka terbit untuk pertama kali tanggal 11 Februari

1950, yang didirikan oleh Hetami, dengan tujuan untuk menperdengarkan

suara rakyat Indonesia yang baru saja merdeka penuh. Pada saat pertama kali

dirintis, surat kabar ini dijiwai oleh semangat untuk memberi penerangan dan

informasi seluas-luasnya kepada masyarakat sehingga dapat digunakan


30

sebagai sarana aspirasi dan suara hati nurani rakyat. Surat kabar yang dikelola

oleh para pejuang pers ini, pada mulanya mencetak korannya pada percetakan

milik harian de Locomotief, karena keterbatasan modal dan belum memiliki

percetakan yang memadai (Marza, 1995:52). Harian ini merupakan satu-

satunya surat kabar di Semarang yang mampu tetap terbit hingga sekarang,

bahkan menjadi koran terbesar di Jawa Tengah.

Pada tanggal 3 Desember 1957, sebagai akibat kegagalan PBB untuk

menyelesaikan sengketa Irian Barat, organisasi-organisasi buruh PNI, PKI,

dan lain-lain dengan didukung oleh pemerintah melancarkan aksi-aksi

pengambilalihan perusahaan-perusahaan asing (khususnya milik Belanda) di

Indonesia, termasuk surat kabar de Locomotief di Semarang. Setelah

dinasionalisasikan, maka lahirlah harian Tempo yang dalam perkembangannya

kemudian menjadi Suluh Marhaen edisi Jawa Tengah, dan paling akhir

berganti nama menjadi Harian Republik (Soebagjo, 1977:97).

Dengan adanya larangan dari pemerintah untuk koran-koran yang

berbahasa Cina pada bulan April 1958, maka harian Sin Min, dengan

Hoofdredacteur (pimpinan redaksi) bernama Goh Tji ng Hok, berganti nama

menjadi Gema Massa. Koran Cina lainnya adalah harian Kuang Po yang

merupakan koran nasionalis dengan pendiri seorang warga keturunan bernama

Tjoa Tji Liang. Harian ini juga terkena peraturan pemerintah tentang larangan

bagi koran-koran berbahasa Cina, sehingga melakukan pergantian nama

menjadi harian Sinar Indonesia. Pemimpin redaksi Sinar Indonesia adalah R.

Burhan (Said, 1988:409-110).


31

Surat kabar lainnya yang pernah hidup di Semarang pada masa liberal

adalah Daulat Rakjat, Utusan Nasional, Tanah Air, dan Duta Masyarakat.

Tetapi tidak berusia lama sebagai akibat dari berbagai permasalahan yang

dihadapinya, terutama admnistrasi yang tidak teratur (Said, 1988:95).

Menjelang pemilihan umum pada tahun 1955, partai-partai politik giat

mengadakan propaganda melalui organ-organ partainya, terutama media

massa. Selain itu mereka juga melakukan pendekatan terhadap koran-koran

yang non partai. Partai Nasional Indonesia (PNI) kala itu memiliki harian

Suluh Marhaen, Nahdlatul Ulama (NU) dengan Duta Masyarakat, dan PKI

memiliki harian Gemma Massa. Sementara Masyumi yang merupakan salah

satu dari empat partai besar tidak memiliki surat kabar di Semarang, tapi

mendapat sokongan dari harian Abadi yang terbit di Jakarta (Serikat Penerbit

Surat Kabar, 1971:124).

Polarisasi masyarakat politik sangat jelas tercermin dalam pers

nasional yang pada umumnya telah menjadi organ partai tertentu. Selain itu,

sistem pemerintahan parlementer yang berlaku waktu itu menampakkan

kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan oleh pihak pemerintah sendiri.

Terjadi praktek-praktek, dalam mana pemerintah memberikan bantuan kepada

pers yang menyokongnya di satu pihak serta menghambat mereka yang

menentangnya. Surat kabar yang mendukung suatu kabinet akan memperoleh

pesanan besar dari kantor-kantor pemerintah dan mendapat kredit untuk

membeli perangkat keras atau sarana-prasarana penerbitan. Sementara koran-


32

koran lawannya seringkali akan mendapat larangan terbit untuk beberapa hari,

yang tentunya sangat merugikan (Said, 1988:98-99).

Berbeda dengan tahun 1945-1949, pers Indonesia sejak pengakuan

kedaulatan mulai menghadapi penuntutan hukum karena kasus-kasus delik

pers. Perkara-perkara tersebut terbagi dalam lima jenis, yakni delik terhadap

kepala negara/wakil kepala negara, delik terhadap pemerintah, delik terhadap

alat negara, delik terhadap pegawai negeri dalam melakukan tugas, dan delik

terhadap kepala negara dan wakil kepala negara sahabat. Dasar hukum

pemrosesan kasus-kasus delik tersebut di pengadilan adalah undang-undang

dan peraturan-peraturan peninggalan kolonial Belanda, seperti dalam pasal-

pasal dalam KUHP mengenai tindak pidana pers, persbreidel Ordonantie

tahun 1931, serta pasal-pasal dalam Reglement Staat van Oorlog en Beleg

(SOB) atau undang-undang darurat perang. Adanya SOB, dengan sendirinya

memberi peluang kepada aparatur keamanan pemerintah untuk mengambil

tindakan terhadap pers bila dipandang perlu. Sebagai contoh adalah, pada

bulan Desember 1950, redaktur harian Suara Merdeka Semarang sempat

ditahan aparat keamanan karena memberitakan kasus desersi

(pembangkangan) sekelompok tentara di Kudus (Said, 1988:100-102).

Pada tanggal 14 September 1956, pihak Angkatan Darat

mengumumkan keadaan darurat, dan khusus untuk pers mengeluarkan

ketentuan sebagai berikut :

“Dilarang mencetak, menerbitkan, menyajikan, mengedarkan,


menempelkan, membacakan atau memiliki tulisan, gambar-gambar
atau foto-foto yang berisi atau mengimplikasikan atau bermaksud
mengecam, menuduh atau menghina presiden, wakil presiden, suatu
33

persidangan pengadilan, pejabat pemerintah yang masih berfungsi atau


sebagai akibat dari pembebasan tugasnya, atau apa saja yang
mengandung pernyataan-pernyataan yang bersifat permusuhan,
kebencian ataupun penghinaan yang ditujukan kepada pemerintah atau
golongan-golongan orang tertentu, ataupun apa saja yang mengandung
berita atau pengumuman yang dapat menimbulkan kekacauan di
kalangan rakyat.”
(Said, 1988:107)

Dengan latar belakang kondisi politik yang labil yaitu seringnya terjadi

pergantian pemerintahan sebagai akibat sistem Demokrasi Liberal dan kondisi

keamanan yang tidak stabil, yang ditandai dengan berbagai gejolak di daerah-

daerah serta berdasarkan ketentuan SOB (Staat van Oorlog en Beleg), maka

penindakan keras yang makin meningkat terhadap pers dengan sendirinya

tidak dapat dihindari. Tekanan-tekanan terhadap pers, yang meliputi

penahanan, pemeriksaan, peringatan, gugatan, dan sebagainya cenderung

meningkat di penghujung jaman liberal ini.

Demikianlah gambaran umum tetang persuratkabaran di Semarang

hingga menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang masih merupakan sebuah

organ partai. Sedikit sekali surat kabar yang terbit benar-benar independen

atau non partai. Kondisi pers Semarang pada masa ini menghadapi dua

masalah utama sekaligus yaitu masalah yang menyangkut produksi dan

distribusi, dikarenakan oleh kelangkaan pasokan kertas, kurang memadainya

alat-alat percetakan, kurang lancarnya sarana transportasi serta komunikasi,

dan lain sebagainya. Sementara masalah utama lainnya yang dihadapi pers

adalah tekanan-tekanan dari pemerintah, yang secara langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dari pers itu sendiri.


34

Daftar Surat Kabar yang Pernah Terbit di Semarang


Tahun 1852 – 1963

Tahun Terbit Nama Surat Kabar


1852 Semarangsche Nieuws En Advertentied
1860-1911 Slompret Melayoe
1863 De Locomotief
1899 Sinar Djawa
1903 Warna Warta
1905 Taman Pengajar
1907 Bintang Pagi
1909 Djawa Tengah
1921 Sinar Hindia
1934 Mata Hari
1937 Pesat
1938 Daja Oepaja
Sinar Selatan
1943 Sinar Baroe
1945 Warta Indonesia
1947 Het Midden
Soeloeh Rakjat
Sin Min
1950 Suara Merdeka
1957 Tempo
Suluh Marhaen
Republik
1958 Gema Massa
Sinar Indonesia
Daulat Rakjat
Utusan Nasional
Tanah Air
Duta Masyarakat
1963 Pos Minggu

B. Pembentukan PWI Sebagai Wadah Para Wartawan Indonesia

Persatuan wartawan sudah ada sejak masa pergerakan nasional, tetapi

masih bersifat lokal dan kedaerahan. Pada tahun 1906, di Jakarta telah berdiri

Perhimpunan Soerat Kabar Melajoe di Hindia Belanda (Maleische

Journalisten Bond) yang diketuai seorang Belanda. Organisasi lainnya yang


35

pernah dibentuk adalah Perserikatan Journalisten Asia (1928) dengan ketua R.

Sujudi, Perkoempoelan Kaoem Journalist (1931) dengan ketua Saerun,

Inlandsche-Chineesche Journalisten Bond (1919) dan Indische Journalisten

Bond (1919) yang dipimpin dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar

Dewantara. Pada tahun 1918, di Semarang didirikan organisasi kewartawanan

yang diberi nama Perkoempoelan Kaoem Journalist (PKJ). Organisasi ini

mendapat dukungan dari wartawan-wartawan di Bandung dan Jakarta. PKJ

bersendikan keadilan dan kebenaran yang menurut dr. Sutomo, merupakan

pula asas pergerakan nasional. tokoh-tokoh PKJ diantaranya Wignjadisastera,

Parada Harahap, Bakrie Suraatmadja, Kusumosudirdjo, Sujitno, dan

Mohammad Yunus (Said, 1988:44).

Adapun organisasi wartawan yang tergolong kuat di Indonesia adalah

Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi), yang diikuti oleh wartawan-wartawan

dari Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Tasikmalaya, Jakarta, dan Surakarta.

Ditinjau dari bobot surat kabar yang diwakili dalam Perdi, terutama

organisasi-organisasi penerbitnya, tidak dapat disangkal bahwa Perdi

merupakan wadah dari pergerakan nasional. dikaji dari asasnya, secara tegas

organisasi tersebut menempatkan kedudukan dan peranan pers nasional

sebagai alat perjuangan, menegakkan persatuan dan kesejahteraan bangsa

Indonesia (Said, 1988:44-46).

Pada masa pendudukan Jepang, organisasi Perdi tidak berfungsi tetapi

juga tidak ada pernyataan pembubaran secara resmi. Penguasa militer Jepang

membentuk badan bernama Nippon Shimbun Kai yang menghimpun semua


36

surat kabar yang diijinkan terbit. Di pulau Jawa dibentuk perserikatan surat

kabar bernama Djawa Shimbun Kai yang diwakili oleh para direktur

penerbitan. Para tokoh Perdi seperti Sjamsuddin Sutan Makmur, Parada

Harahap, Sumanang, Adam Malik, M. Tabrani, dan lain-lain yang ada di

Jakarta tidak segera bertindak untuk memulihkan organisasi Perdi tersebut.

Hal ini dikarenakan para tokoh tersebut mempunyai kesibukan sendiri, atau

terlibat dalam organisasi pemerintahan, memusatkan diri pada kegiatan politik

atau terpaku dalam urusan menerbitkan kembali surat kabar masing-masing.

Langkah ke arah pembentukan sebuah organisasi wartawan nasional

diambil beberapa hari setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia pindah

ke Yogyakarta. Pada tanggal 25 Januari 1946, sejumlah wartawan dari Jakarta,

Surakarta, dan Yogyakarta berkumpul di Yogyakarta dan berhasil menyusun

panitia persiapan dan panitia pelaksana pertemuan besar itu.

Pada tanggal 9 Februari 1946, sewaktu pasukan Inggris dan Belanda

meningkatkan operasi pendaratan dan pendudukan di berbagai daerah

Republik, wartawan-wartawan Republik mengadakan pertemuan di gedung

Sono Suko (kini gedung Monumen Pers) Surakarta dan dengan bulat

menetapkan berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Terpilih sebagai

ketua adalah Sumanang, dibantu anggota-anggota yang terdiri dari Sjamsuddin

Sutan Makmur (pemimpin redaksi harian Rakjat, Jakarta), B. M. Diah

(pemimpin redaksi harian Merdeka, Jakarta), Sumantoro (pemimpin redaksi

harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta), Ronggo Danukusumo (pemimpin

redaksi harian Soeara Rakjat, Mojokerto), Djawoto (redaktur Antara Pusat,


37

Yogyakarta), Harsono Cokroaminoto (pemimpin redaksi Al-Jihad,

Yogyakarta), serta Sudaryo Cokrosisworo (Said, 1988:80-81).

Pada waktu itu yang menjadi harapan dengan terbentuknya PWI adalah

peran aktif para wartawan dalam meyakinkan masyarakat dan tentara bahwa

tujuan yang hendak dicapai adalah kemerdekaan seratus persen. Disamping

itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers

nasional dalam upaya menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda,

mengobarkan api revolusi dengan mengobori semangat perlawanan rakyat

terhadap penjajah, menempu persatuan nasional, untuk keabadian

kemerdekaan bangsa dan menegakkan kedaulatan negara.

Dengan berbekal dedikasi dan semangat nasionalisme yang sedemikian

itu, pers Republik Indonesia menjadi lawan yang sangat tangguh dan tidak

mudah menyerah terhadap pendudukan militer Inggris dan Belanda. Sejak

sebagian wartawan dan surat kabar mulai mengadakan afiliasi dengan

organisasi-organisasi politik menurut aliran ideologi masing-masing, sejak itu

pula sesungguhnya telah tumbuh polarisasi (perpecahan) dalam tubuh pers

nasional. salah satu contoh nyata, ketika terjadi pemberontakan PKI pada

bulan September 1948, pers nasional terpolarisasi karena ada yang

mendukung dan sebagian yang lain menentangnya (Said, 1988:84).

Pengalaman dan perjuangan para pejuang pers dalam wadah PWI,

sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai pengakuan kedaulatan Indonesia, telah

meneguhkan pendirian mereka untuk menentang setiap pelanggaran terhadap

prinsip-prinsip nasional dan dasar negara Pancasila. Penyimpangan-


38

penyimpangan belum dapat dicegah sepenuhnya karena sistem parlementer

masih berlaku pada tahun-tahun berikutnya.

Memasuki tahun 1950, yang juga menandai mulai berlakunya sistem

Demokrasi Liberal, PWI sebagai wadah bagi para wartawan telah mengambil

beberapa keputusan yang menyangkut penerbitan baik tentang keanggotaan

maupun soal-soal pendidikan, jaminan kerja, dan kebersamaan di antara para

wartawan. Sementara untuk mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik,

PWI telah pula membentuk Dewan Kehormatan dengan susunan Ketua H.

Agus Salim, Wakil Ketua Mohammad Natsir, dan anggota-anggota terdiri dari

Ruslan Abdulgani, Dr. Supomo, dan Djawoto.

Perhatian terhadap kode etik ini tercermin dari konferensi nasional

PWI di Jakarta pad tanggal 1-2 Mei 1954, yang diikuti oleh pemimpin-

pemimpin redaksi dan wakil cabang-cabang PWI di seluruh Indonesia.

Beberapa pokok hasil konferensi itu adalah sebagai berikut :

- Dalam pemberitaan perlu diperhatikan kejujuran dan objektivitas yang

penting sekali bagi jurnalistik yang sehat dan bertanggungjawab.

- Dalam permberitahuan harus dapat dipisahkan antara “factual reporting”

dan “opinion”.

- Harus pula diperhatikan cara-cara melayani orang yang diserang dan hak

membela bagi orang yang diserang.

- Para wartawan harus menjunjung tinggi berita-berita “off the record”.

- Para wartawan harus memperhatikan bahwa head line berita mesti sesuai

dengan isi beritanya.


39

- Cara-cara pojok perlu ditinjau kembali, hingga maksud pojok dapat

dikembalikan pada bentuknya semula, yaitu membahas soal-soal dengan

cara-cara ringan dan humoristik sehingga pojok tidak akan digunakan

untuk maksud yang keliru (Said, 1988:113).

Ketika pemilihan umum tahun 1955 semakin mendekat wartawan pun

menjadi rebutan untuk dipengaruhi oleh golongan-golongan politik yang

bersaing. Hal ini berkaitan dengan tugasnya untuk menyebarkan informasi

kepada masyarakat. Perekrutan wartawan ini terutama dilakukan oleh

pemimpin-pemimpin partai yang tidak mempunyai media massa sendiri.

Upaya-upaya perekrutan inilah yang tidak jarang memunculkan praktek-

praktik yang menyimpang dari kode etik jurnalistik. Pada zaman Liberal ini

juga ada gejala-gejala yang menunjukkan bahwa pers banyak dimanfaatkan

untuk membuat fitnah, mencaci maki, menjatuhkan martabat seseorang atau

keluarga, tanpa memikirkan ukuran-ukuran sopan santun dan tata krama

(Soebagjo, 1977:102).

Para wartawan pada masa itu tidak dapat dipisahkan dengan

perusahaan suarat kabar di mana ia bekerja baik yang menyangkut

kelangsungan hidup (kesejahteraannya) maupun ideologi politik yang

dianutnya. Profesi ini memang tidak menjanjikan bila dilihat dari sudut

materiil, karena sangat tergantung pada besar kecilnya surat kabar tempat ia

bekerja. Menjadi seorang wartawan bagi kebanyakan masyarakat bukanlah

merupakan dambaan. Meskipun demikian, profesi wartawan sangat terhormat

dalam masyarakat waktu itu, karena dianggap sebagai suatu kelompok elit
40

yang sangat terdidik. Wartawan memang harus satu langkah ke depan dari

masyarakatnya dalam hal pengetahuan. Ia harus lebih cepat, lebih banyak, dan

lebih menguasai suatu masalah, sehingga ia menajdi sumber pengetahuan bagi

masyarakatnya.

Meskipun PWI telah terbentuk hanya beberapa bulan setelah

Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, namun di daerah-daerah baru

terbentuk beberapa tahun kemudian. Hal itu sejalan dengan pertumbuhan pers

di daerah-daerah yang lamban dan kelangkaan wartawan. Di Semarang,

sebagai ibukota Jawa tengah, PWI baru terbentuk pada tahun 1950 dengan

nama PWI Kring (cabang) Semarang. Perkembangan organisasi PWI di

Semarang sejak berdiri sampai tahun 1970-an tidak terdokumentasi dengan

baik. Sulit ditemukan data otentik yang lengkap tentang wartawan yang aktif,

organisasi dan aktivitasnya serta periode-periode kepengurusan. Keadaan

tersebut tampaknya dipengaruhi oleh situasi pada waktu itu. PWI lebih

merupakan perkumpulan kekeluargaan daripada organisasi profesi. Apalagi

belum ada kepentingan politik yang berpengaruh langsung, meskipun tugas

kewartawanan dari hari ke hari sangat kental dengan masalah-masalah politik.

Masalah yang diurus lebih banyak menyangkut kesejahteraan daripada

pengembangan profesi dan mutu jurnalistik.


BAB III
DEMOKRASI TERPIMPIN DI SEMARANG

A. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Pada masa berlakunya Undang-undang Dasar Sementara (UUDS)

1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem Demokrasi

Liberal. Dalam sistem Demokrasi Liberal, kedaulatan rakyat disalurkan

melalui partai-partai. Ketika itu terdapat banyak partai di Indonesia. Antara

lain terdapat empat partai besar yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai-

partai itulah yang mengirimkan wakil-wakil rakyat dalam DPR (parlemen),

sehingga biasa disebut dengan sistem Kabinet Parlementer. Sistem Demokrasi

Liberal dan Kabinet Parlementer berakibat : (1) pemerintahan tidak stabil atau

sering terjadi pergantian pemerintahan; (2) pemerintah tidak sempat

melaksanakan program kerjanya, sebab setiap kabinet hanya mempunyai masa

kerja pendek; dan (3) kedudukan pemerintah tidak kuat karena sewaktu-waktu

dapat dibubarkan apabila tidak mendapat persetujuan DPR (Poesponegoro dan

Notosusanto, 1993:210).

Dari tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat empat kabinet yang

memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun terdapat pergantian kabinet.

Kabinet-kabinet tersebut secara berturut-turut ialah kabinet Natsir (September

1950 – Maret 1951), kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952), kabinet

Wilopo (April 1952 – 1953), dan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953 –

1955). Dalam waktu rata-rata satu tahun itu, tidak ada kabinet yang

melaksanakan programnya. Untuk mengatasi seringnya pergantian kabinet,

41
42

pemerintah mengadakan pemilihan umum yang pertama kalinya di Indonesia

pada bulan September 1955. walaupun sudah diadakan pemilihan umum,

namun pemerintahan yang stabil tetap tidak tercapai. Pergantian kabinet masih

terjadi, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956),

kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956 – Maret 1957), dan kabinet

Djuanda (Maret 1957 – Juli 1959). Dengan demikian kiranya terbukti bahwa

Demokrasi Liberal memang tidak sesuai bagi kondisi di Indonesia.

Pada tahun-tahun pertama setelah pemilihan umum terjadi krisis

nasional di segala bidang. Krisis politik terjadi karena labilnya pemerintahan

yang pada umumnya dibentuk oleh koalisi beberapa partai, sehingga prioritas-

prioritas pembangunan menjadi terabaikan. Rasa permusuhan di antara partai-

partai terlalu berat bagi mereka untuk bekerjasama dalam mempertahankan

sistem parlementer. Di bidang keamanan terjadi pula instabilitas, karena di

beberapa daerah ada pernyataan-pernyataan ketidakpuasan terhadap

pemerintah pusat. Di tengah-tengah krisis itulah, tepatnya pada tanggal 21

Februari 1957, Presiden Soekarno mengusulkan bahwa Demokrasi Terpimpin

merupakan suatu bentuk pemerintahan yang lebih cocok dengan kepribadian

Indonesia (Ricklefs, 2005:508). Presiden Soekarno untuk pertama kalinya

mengajukan konsepsi yang berisi pembentukan kabinet Gotong Royong dan

Dewan Nasional.

Kabinet Gotong Royong terdiri dari wakil-wakil semua partai

ditambah dengan golongan fungsional. Sedangkan kelompok-kelompok yang


43

terwakili dalam Dewan Nasional adalah buruh, tani, pemuda, wartawan,

wanita, generasi ’45, ulama, keturunan asing, dengan masing-masing dua

orang. Kelompok bekas pejuang, pengusaha, seniman, pendeta Protestan,

pendeta Hindu, masing-masing satu orang. Sisanya diwakili oleh kelompok

ABRI lima orang, dan wakil daerah sebanyak empatbelas orang, kemudian

ditambah beberapa anggota ex officio. Mereka dianggap sebagai alat strategis

untuk menembus langkah penataan sistem kepartaian (Sjamsuddin, 1988:186).

Para politisi, baik sipil maupun militer, kini mulai memikirkan

bagaimana caranya menyelesaikan peralihan ke Demokrasi Terpimpin. Pada

bulan Juli 1958, Jenderal Nasution mengusulkan suatu cara penyelesaian,

yaitu dengan kembalinya ke Undang-undang Dasar 1945, bukan dengan

menyusun suatu undang-undang dasar baru. Beliau kemudian makin

memperjelas, bahwa untuk memecah keutuhan politik pada tingkat nasional

perlu diberlakukannya kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden.

Tuntutan-tuntutan serta dukungan umtuk kembali ke UUD 1945

semakin meluas saat memasuki awal tahun 1959. PNI dengan PKI sepakat,

bahwa inilah satu-satunya jalan untuk dapat menerobos kekerasan pendirian

partai-partai Islam dalam Majelis Konstituante yang menginginkan isi dari

Piagam Djakarta dimasukkan dalam undang-undang dasar yang baru. Di

Semarang sendiri, dukungan untuk kembali ke UUD 1945 diwujudkan dengan

kegiatan pawai akbar yang diikuti oleh 171 organisasi, serta mengeluarkan

pernyataan menyambut seruan Presiden dan kabinet untuk menyarankan

kepada konstituante guna kembali ke UUD 1945 (Notosoetardjo, 1964:633).


44

Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno mengusulkan kepada

sidang pleno istimewa konstituante agar kembali kepada Undang-undang

Dasar 1945. Majelis kemudian mengadakan pemungutan suara (voting).

Selain itu dibentuk pula suatu panitia pelaksana UUD 1945 yang didukung

oleh 26 organisasi massa dan partai politik, diantaranya Murba, Parkindo,

PSII, IPKI, Gerakan Pemuda Indonesia, Serikat Pengusaha Nasional, dan lain-

lain pada tanggal 15 Mei 1959.

Pemungutan suara diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut yaitu

pada tanggal 30 Mei, 1 dan 2 Juni 1959. Hasil pemungutan suara yang

dilakukan memperlihatkan bahwa anjuran Presiden dan pemerintah tidak

memperoleh dukungan suara yang diperlukan, yaitu sekurang-kurangnya dua

pertiga dari jumlah anggota yang hadir dalam rapat pleno tersebut. Hasil

pemungutan suara selama tiga hari itu menandakan bahwa konstituante tidak

mungkin lagi menyelesaikan tugas yang diamanatkan rakyat kepadanya.

Begitu pula dengan kenyataan adanya pernyataan sebagian terbesar dari

anggota untuk tidak bersedia menghadiri sidang-sidang.

Kalau kita perhatikan, misalnya dari jumlah anggota konstituante 542

yang menghadiri pada sidang pertama 478 anggota, sidang kedua 469 anggota,

sedangkan sidang ketiga 469 anggota, tampaknya banyak anggota yang tidak

menghadiri sidang-sidang tersebut.

Dalam tabel berikut kita dapat melihat hasil pemungutan suara yang

diselenggarakan dalam sidang pleno konstituante.


45

Hasil Pemungutan Suara Menanggapi Anjuran Presiden


dan Pemerintah Untuk Kembali ke UUD 1945

No. Tanggal Sidang pleno Anggota hadir Setuju Menolak


1. 30 Mei 1959 Pertama 478 269 199
2. 1 Juni 1959 Kedua 469 264 204
3. 2 Juni 1959 Ketiga 469 263 203
(Widjaja, 1989:44)

Tanggal 4 Juli 1959, Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan

untuk mencari jalan keluar dari situasi dalam rangka pelaksanaan gagasan

kembali ke UUD 1945, dengan Perdana Menteri Djuanda, Wakil Ketua

Dewan Nasional Roslan Abdoelgani, KASAD Letjend. A. H. Nasution,

Menteri Negara Moh. Yamin, Ketua Mahkamah Agung Mr. Wiryono, dan

Direktur Kabinet Presiden Mr. Tamzil. Pertemuan ini menghasilkan keputusan

bahwa dekrit yang menetapkan berlakunya UUD 1945 akan diumumkan

keesokan harinya.

Hari minggu tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00, dalam suatu upacara resmi

di Istana Merdeka, Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan

Perang, Soekarno, mengeluarkan Dekrit Presiden, yang berisi pembubaran

konstituante, berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi

Undang-undang Dasar Sementara 1950. Dalam Dekrit Presiden itu dikatakan

pula tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Sementara dan

pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, yang akan

diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya (Poesponegoro dan

Notosusanto, 1993:283).
46

Upacara pengumuman Dekrit Presiden itu dihadiri oleh Perdana

Menteri Djuanda dan menteri-menteri Kabinet Karya lainnya., anggota Korps

Diplomatik, Ketua Parlemen Mr. Sartono, Ketua Konstituante Mr. Wilopo,

Ketua Mahkamah Agung Mr. Wiryono Prodjodikoro, anggota-anggota Dewan

Nasional, ketiga Kepala Staf Angkatan Perang, Kepala Polisi Negara serta

banyak pejabat sipil dan militer yang hadir. Sementara di jalanan di depan

Istana Merdeka dan sekitarnya, berpuluh-puluh ribu massa rakyat berkumpul

memberikan sambutan hangat ketika Presiden membacakan dekrit itu.

Isi lengkap dari Dekrit Presiden ini termuat dalam buku “Sejarah

Nasional Indonesia jilid VI" oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan

Nugroho Notosusanto, tahun 1993 halaman 654, sebagai berikut :

DEKRIT KEMBALI KEPADA UUD 1945


KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA /
PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Dengan ini menjatakan dengan chidmat :


Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali
kepada Undang-undang Dasar 1945, jang disampaikan kepada segenap
rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959,
tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana
ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara.
Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian terbesar
anggota-anggota sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak
menghadiri sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan
tugas jang dipetjajakan oleh rakjat kepadanya.
Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan
ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara
Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk
mentjapai masjarakat jang adil dan makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan
didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa, menempuh satu-
satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi;
Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal
22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
47

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,


Kami Presiden Republik Indonesia / Panglima Tertinggi
Angkatan Perang
Menetapkan pembubaran konstituante;
Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunja
lagi undang-undang Dasar Sementara.
Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara,
jang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta
pembentukan Dewan pertimbangan Agung Sementara, akan
diselenggarakan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja.

Ditetapkan di : Djakarta
Pada tanggal : 5 Djuli 1959

Atas nama Rakjat Indonesia,


Presiden Republik Indonesia /
Panglima Tertinggi Angkatan Perang,

Soekarno

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan tonggak sejarah Indonesia,

yang telah berhasil menyelamatkan bangsa dan negara, menyelamatkan

Pancasila dan UUD 1945 dari segala macam gangguan di berbagai bidang,

ideologi dan politik, konstitusi dan hukum, ekonomi, sosial dan budaya,

moral, agama, dan lain-lain.

B. Demokrasi Terpimpin dan Dominasi PKI

Istilah Demokrasi Terpimpin, pertama kali diperkenalkan secara resmi

oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956, ketika membuka

sidang Badan Konstituante. Dalam pidatonya disebutkan bahwa Demokrasi

Terpimpin merupakan corak demokrasi yang mengenal satu pemimpin menuju

tujuan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial (Widjaja, 1989:27).


48

Sementara itu dalam bukunya “Pedoman untuk Melaksanakan Amanat

Penderitaan Rakyat”. Moch. Said yang mengutip konsepsi Presiden Soekarno,

mengungkapkan bahwa isi dan arti Demokrasi Terpimpin pada pokoknya

adalah :

a. Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi, atau menurut UUD 1945,

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusayawaratan perwakilan”.

b. Demokrasi Terpimpin bukan diktatur dan berbeda pula dengan Demokrasi

Liberal.

c. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian

dan dasar hidup bangsa Indonesia.

d. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala bidang kenegaraan dan

kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan,

sosial.

e. Demokrasi Terpimpin adalah alat, bukan tujuan.

f. Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai suatu

masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan

materiil dan spirituil, sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

g. Sebagai alat, maka Demokrasi Terpimpin mengenal juga kebebasan

berpikir dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas

kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan, batas keselamatan negara,

batas kepribadian bangsa, dan batas pertanggungjawaban kepada Tuhan.


49

h. Mayarakat adil dan makmur tidak lain merupakan suatu masyarakat teratur

dan terpimpin, yang terikat pada batas-batas tuntutan keadilan dan

kemakmuran, dan yang mengenal ekonomi terpimpin.

i. Untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur diperlukan suatu

pola, dan untuk menyelenggarakan pola tersebut harus dipergunakan

Demokrasi Terpimpin, sehingga dengan demikian Demokrasi Terpimpin

pada hakekatnya adalah demokrasi penyelenggaraan atau demokrasi karya.

Pada awalnya Demokrasi Terpimpin lebih merupakan alat untuk

mengatasi pertikaian politik yang berkepanjangan dan tidak dapat diatasi lagi

oleh sistem politik yang berlaku sebelumnya, yaitu Demokrasi Liberal. Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 yang menandai berlakunya Demokrasi Terpimpin,

memang telah mampu mengakhiri pertikaian politik yang ada. Di lain pihak,

Soekarno dengan berlandaskan pada dekrit itu mendapat peluang untuk

memusatkan kekuatan pada dirinya sendiri (Sjamsuddin, 1988:203).

Pada tanggal 9 Juli 1959 diumumkan suatu kabinet baru bernama

Kabinet Kerja. Lembaga-lembaga Demokrasi Terpimpin lainnya segera

diumumkan, seperti Dewan Pertimbangan Agung, Badan Perancang Nasional,

Badan Pengawas Penerbitan Aparatur Negara, Majelis Permusyawaratan

Rakyat, dan Front Nasional.

Pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang

berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" yang beberapa bulan kemudian

dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia. Pada awal tahun 1960,

mendapat tambahan singkatan USDEK, yang berarti Undang-undang Dasar


50

1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan

Kepribadian Indonesia (Ricklefs, 2005:527). Melalui Tap MPRS No.

1/MPRS/1960, Manipol-USDEK ditetapkan menjadi Garis-garis Besar Haluan

Negara (GBHN). Dalam ketetapan ini diputuskan pula, bahwa pidato Presiden

tanggal 30 September 1960 dengan judul "Jalannya Revolusi Kita" dan pidato

tanggal 17 Agustus 1960 di muka sidang umum PBB yang berjudul "To Build

the World New" (Membangun Dunia Kembali) merupakan pedoman-pedoman

pelaksanaan Manipol-USDEK (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:314).

Kekuatan politik pada masa ini terpusat ditangan Presiden Soekarno

dengan TNI-AD dan PKI disampingnya. Oleh sebagian pengamat pada waktu

itu, Soekarno dianggap sebagai orang ahli manipulator rakyat dan lambang-

lambangnya. Beliau mampu berpidato kepada khalayak ramai atau membuat

terpesona lawan-lawan yang potensial dengan sama mudahnya. Tokoh ini juga

mampu menawarkan sesuatu untuk diyakini kepada bangsa Indonesia, sesuatu

yang diharapkan banyak orang akan memberi mereka dan negara mereka,

martabat atau kebanggaan. Kemampuan itu menyebabkan kekuatan-kekuatan

besar lainnya berpaling kepadanya untuk mendapakan bimbingan, legitimasi

atau perlindungan yang akhirnya makin memperkuat posisi sentralnya

(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:317).

Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif bersama-

sama dengan DPR, telah menggunakan kekuasaan itu dengan tidak

semestinya. Presiden mengeluarkan produk-produk legislatif yang mestinya

berbentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, tetapi ternyata dalam


51

bentuk Penetapan Presiden (penpres) tanpa persetujuan DPR. Pada tahun

1960, Presiden Soekarno mengambil keputusan yang sangat mengejutkan,

yaitu membubarkan satu-satunya lembaga parlemen hasil pemilu tahun 1955,

yang disebabkan oleh penolakan DPR terhadap Anggaran Belanja Negara

yang diajukan oleh pemerintah. Tindakan itu disusul dengan usaha

pembentukan DPR baru, dan pada tanggal 24 Juni 1960, Presiden Sokearno

membentuk Dewan Perwakilan Rakyat gotong Royong (DPR-GR)

(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:312). Tugas dari DPR-GR adalah

melaksanakan Manipol, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, dan

melaksanakan Demokrasi Terpimpin.

Ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) ciptaan Presiden

Soekarno sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai unsur

yang sah dalam Pergerakan Nasional dan dalam konstelasi politik Indonesia.

Presiden Soekarno menganggap bahwa aliansi dengan PKI menguntungkan

bagi konsolidasi politiknya, sehingga PKI ditempatkan paling depan di dalam

Demokrasi Terpimpin yang berlandaskan Manipol.

Keinginan Soekarno yang sedemikian besar guna mewujudkan

persatuan bangsa sesuai dengan konsepsinya, tentunya dengan

mengikutsertakan PKI dalam pemerintah, ditentang oleh partai-partai lain.

Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi dalam beberapa hal didukung

oleh NU, partai Katholik, dan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan

Indonesia), membentuk Liga Demokrasi. Tujuan Liga Demokrasi adalah

membangun kehidupan demokrasi di Indonesia dalam bidang politik,


52

ekonomi, dan sosialisme, dengan menentang seluruh fasisme, totalisme,

imperialisme, feodalisme, dan birokrasi, yang kesemuanya merendahkan

derajat manusia, dan membuatnya semata-mata hanya menjadi alat mereka

yang berkuasa.

Presiden Soekarno menyerang Liga Demokrasi sebagai penghianat,

komunistofobi, kontra-revolusioner, dan tidak sesuai dengan Manipol-

USDEK. Dia membela PKI sebagai partai yang terhormat dan patriotik, serta

dapat memberikan sumbangan banyak kepada revolusi, sehingga adalah wajar

apabila diberi kesempatan untuk ikut serta dalam membentuk suatu

kesepakatan nasional. Akhirnya Liga Demokrasi dilarang pada tanggal 27

Februari 1961. sementara PSI dan Masyumi sendiri telah dibubarkan pada

bulan Agustus 1960, akibat permusuhan para pemimpin mereka terhadap

Soekarno selama bertahun-tahun, oposisi mereka terhadap Demokrasi

Terpimpin, dan keterlibatan mereka dalam PRRI (Ricklefs, 2005:529).

Presiden Soekarno memberi angin kepada PKI dengan memberikan

mereka kedudukan dalam DPR-GR dan DPA serta dalam Pengurus Besar

Front Nasional dan Pengurus Front Nasional Daerah. Kegiatan Presiden

Soekarno yang mendukung PKI dalam segala hal itu semakin meningkat

sehingga PKI pun semakin bergairah meningkatkan apa yang kemudian

disebutnya "ofensif revolusioner" seperti fobi, mendengung-dengungkan

bahwa "anti-Nasakom adalah anti-Pancasila dan kontra revolusioner", bahwa

"PKI adalah yang paling progresif revolusioner ", dan lain sebagainya.
53

Tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sokearno mengumumkan Tri

Komando Rakyat di Yogyakarta dalam upaya pembebasan Irian Barat. PKI

memanfaatkan kampanye pembebasan Irian Barat ini untuk meningkatkan

pengaruh dan memperbanyak jumlah anggotanya sendiri. Suasana revolusi

yang radikal yang berkembang saat itu sangat mendukung usaha PKI, karena

partai ini memang terlihat paling semangat dalam mendukung ide-ide

Soekarno ynag masih berpengaruh sangat luas di masyarakat Indonesia. M.C.

Ricklefs dalam "Sejarah Indonesia Modern" mencatat bahwa anggota PKI

pada akhir tahun 1962 mencapai lebih dari dua juta orang. Sementara jumlah

anggota organisasi-organisasi massa yang merupakan underbouw (di bawah

pengaruh) PKI adalah sebagai berikut : anggota front kaum tani PKI (BTI)

mencapai 5,7 juta orang, jumlah anggota Serikat Organisasi Buruh Seluruh

Indonesia (SOBSI) mencapai hampir 3,3 juta orang, anggota Pemuda Rakyat

dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) masing-masing mencapai 1,5 juta

orang.

Dengan Amerika Serikat sebagai penengah, akhirnya pada tanggal 15

Agustus 1962 tercapailah suatu penyelesaian sengketa antara Indonesia

dengan Belanda atas Irian Barat. Pihak Belanda sepakat menyerahkan wilayah

itu pada 1 Oktober 1962 kepada United Nation Temporary Executive

Authority (UNTEA), sebuah pemerintahan sementara PBB di Irian Barat,

yang selanjutnya akan menyerahkannya kepada pihak Indonesia pada tanggal

1 Mei 1963.
54

Kemenangan di bidang politik ini tidak diikuti oleh perbaikan di

bidang ekonomi, sehingga rakyat semakin menderita. Memasuki masa

berlakunya Demokrasi Terpimpin, keadaan perekonomian Indonesia sudah

sedemikian parah, sehingga pemerintah memandang perlu untuk

mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru. Menurut Soekarno, demokrasi

ekonomi adalah "kerakyatan ekonomi atau kesama-rasa dan kesama-rataan

ekonomi" dan bila demokrasi politik telah tercapai, maka dengan sendirinya

demokrasi ekonomi akan tercapai pula (Sjamsuddin, 1988:229).

Dalam suatu pidatonya yang berjudul "Res Publica! Sekali lagi Res

Publica!" di depan sidang pleno konstituate tanggal 22 April 1959, Presiden

Soekarno menyatakan bahwa dalam rangka herordening (penataan kembali)

ekonomi, maka kehidupan ekonomi bangsa sudah akan dipimpin, ekonomi

negara akan dijadikan ekonomi terpimpin. Selanjutnya, Presiden Soekarno

menyatakan sebagai berikut "semua alat-alat vital produksi dan alat-alat vital

distribusi harus dikuasai, atau sedikitnya diawasi oleh negara. Perekonomian

Indonesia tidak mengijinkan Indonesia menjadi padang penggaruk harta bagi

siapapun, asing atau bukan asing, yang menggaruk kekayaan, pengacau

perekonomian Indonesia, biladitangkap bahkan dijatuhi hukuman

mati."(Sjamsuddin, 1988:232).

Sementara itu Drs. Moh. Hatta menegaskan, bahwa pada dasarnya

ekonomi terpimpin merupakan makna dari isi pasal 33 UUD 1945. selanjutnya

ia menambahkan, bahwa "tujuan ekonomi terpimpin adalah mencapai

kemakmuran yang sebesar mungkin bagi rakyat dengan tenaga produktif yang
55

ada dalam masyarakat. Swasta diikutkan untuk melakukan produksi dimana

modal dan tenaga kerja yang tidak bekerja dapat dimanfaatkan untuk tujuan

kemakmuran. Untuk itu pemerintah harus dapat memberikan pimpinan dan

pelayanannya kepada masyarakat" (Sjamsuddin, 1988:233)

Langkah pertama yang dilakukan pemerintah dalam usaha

menanggulangi buruknya perekonomian negara adalah dengan mendevaluasi

nilai nominal mata uang kertas Rp. 500,00 dan Rp. 1000,00 menjadi

sepersepuluhnya, sehingga hanya bernilai Rp. 50,00 dan Rp. 100,00 saja.

Selain itu deposito-deposito di bank yang besar jumlahnya harus dibekukan.

Langkah-langkah pemerintah itu secara langsung mempengaruhi dunia usaha

sehingga mengurangi secara drastis ekspor dan berdampak memperbesar

defisit anggaran belanja negara (Ricklefs,2005:527).

Sementara itu Badan Perancang Nasional yang diketuai oleh Moh.

Yamin, mengumumkan adanya Rencana Pembangunan Semesta Delapan

Tahun, yang akan dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 1960. Tujuan utama

rencana pembangunan ini adalah pengadaan pangan dan sandang yang cukup,

kemudian juga penanaman modal bagi industri.

Dalam pelaksanaannya banyak menemui kendala, terutama kasus-

kasus korupsi yang semakin merajalela. Rencana Pembangunan Semesta

Delapan Tahun ini turut memberikan andil dalam menghancurkan

perekonomian Indonesia, antara lain dengan munculnya praktek-praktek pasar

gelap, kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat spekulatif, dan alokasi


56

anggaran pertahanan yang sangat besar sehubungan dengan perjuangan

merebut Irian Barat serta konfrontasi dengan Malaysia.

Konsep lain yang diperkenalkan oleh pemerintah adalah "Deklarasi

Ekonomi" atau Dekon, pada tanggal 23 Maret 1963. Tujuannya adalah

menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-

sisa imperialisme, untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia, dengan

cara terpimpin (Poeponegoro dan Notosusanto, 1993:335). Konsep Dekon ini

juga mengalami kegagalan dan telah menyebabkan perekonomian Indonesia

mengalami stagnasi (kemacetan) yang sangat parah.

Kegagalan konsep-konsep pembangunan ekonomi yang diajukan oleh

pemerintah lebih disebabkan dalam melaksanakan ekonomi terpimpin ini,

lebih ditonjolkan aspek "terpimpin"-nya daripada asas-asas ekonominya.

Kelembagaan ekonomi terjerumus ke dalam kebiasaan yang unsur

terpimpinnya lebih dominan daripada unsur efisiensi ekonomi, sehingga

struktur ekonomi Indonesia mengarah kepada etatisme dimana segala-galanya

dipegang atau diatur oleh negara atau bersifat ekonomi anarchi. Pengeluaran

negara cenderung meningkat pesat dan sukar dikendalikan karena

mengabaikan prinsip-prinsip ekonomi.

Dapat dibayangkan bagaimana kondisi ekonomi Indonesia pada saat

itu. Barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari menjadi sangat mahal

harganya, sehingga sulit terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Situasi yang sulit di bidang ekonomi ini juga mempengaruhi perkembangan


57

pers nasional, karena biaya untuk tetap menerbitkan surat kabar menjadi

sangat mahal.

Keberhasilan Indonesia dalam merebut Irian Barat mengawali suatu

masa yang mendorong bangsa Indonesia ke arah kekcauan karena upaya

pemulihan stabilitas tampaknya kurang menarik. Pihak militer takut bahwa

undang-undang darurat perang (SOB) akan dicabut, sehingga akan

mengurangi peran militer dalam kancah politik kekuasaan, dan pengurangan

anggaran belanja militer secara drastis. PKI khawatir bahwa politik yang

kurang radikal akan merintangi perkembangan partainya, sedangkan Soekarno

takut bahwa semangat rakyat yang berkobar-kobar selama kampanye

pembebasan Irian Barat berlangsung akan padam, sehingga menghambat

usahanya untuk tetap mempertahankan semangat revolusioner yang sangat ia

andalkan dalam mempertahankan kedudukan sentralnya di pemerintahan.

Menyadari kurang imbangnya kekuatan antara PKI dengan militer

(TNI-AD), terutama dalam hal kekuatan senjata, maka PKI melancarkan

Tuduhan-tuduhan seperti antek Nekolin (neo-kolonialisme dan imperialisme),

kapitalis birokrat (Kabir), setan kota, setan desa, bahkan sampai kepada

tuduhan anti revolusi dan anti Nasakom kepada lawan-lawan politiknya. Pada

masa Demokrasi Terpimpin, tuduhan sebagai anti Nasakom merupakan yang

membahayakan.

Selain itu PKI berusaha pula melakukan penyusupan-penyusupan

kepada golongan-golongan lain yang kiranya dapat dijadikan kawan.

Kekuatan sosial politik yang pertama kali mereka susupi adalah Partindo,
58

partai yang pada mulanya berasaskan Marhaenisme ajaran Soekarno, tetapi

kemudian setelah terkena pengaruh PKI, mengganti Marhaenisme menjadi

Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Presiden Soekarno sendiri rupanya

menyetujui dengan perubahan itu serta menegaskan bahwa orang yang

menamakan dirinya Marhaenis, tetapi tidak menjalankan Marxisme di

Indonesia adalah Marhaenis gadungan. Partai lain yang juga berasaskan

Marhaenisme, yakni PNI, telah pula disusupi oleh PKI dengan menempatkan

kadernya yaitu Ir. Surachman sebagai Sekjen dari PNI (Notosusanto, 1985:7).

PKI juga mengadakan penyusupan ke dalam tubuh angkatan bersenjata

dengan cara membina para perwira yang mudah untuk dipengaruhi. Dengan

menggunakan Manipol-USDEK dan Nasakom sebagai materi indoktrinasi,

PKI berusaha memasuki struktur organisasi ABRI, yang mendapat tentangan

keras dari pimpinan Angkatan Darat, terutama Letjen. Ahmad Yani.

Penyusupan itu berhasil membina kader-kader PKI di semua angkatan

bersenjata dan kepolisian.

Aksi penyusupan ini juga berhasil di beberapa organisasi pers seperti

Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara serta Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI).

Pada tanggal 25 September 1963, Presiden Soekarno mengumumkan

bahwa ia akan "mengganyang" Malaysia. Pembentukan sebuah negara

Malaysia ternyata dianggap sebagai penghinaan besar bagi Indonesia, karena

sebelum federasi itu terbentuk telah terjadi kesepakatan antara Malaya,

Filiphina, dan Indonesia dalam Maphilindo, bahwa pada bulan Agustus 1963,
59

Malaya akan mengadakan penyelidikan terhadap pendapat umum di Sarawak

dan Sabah sebelum dibentuknya federasi.

Dengan adanya suasana ganyang Malaysia ini maka pihak militer bisa

berharap tidak adanya pemotongan anggaran belanja mereka, Soekarno dapat

melihat kembali tumbuhnya semangat revolusioner rakyatnya, sedangkan PKI

memiliki kesempatan untuk menghasut rakyat demi keuntungan sendiri.

Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan kampanye aksi sepihak guna

memberlakukan undang-undang Landreform dari tahun 1959-1960 yang

pelaksanaannya hampir belum pernah terwujud. Ketika para penduduk

anggota BTI/PKI mulai merampas tanah, terutama di Jawa Tengah, Jawa

Timur, Bali, Jawa Barat serta di Sumatera Utara, mereka terlibat pertentangan

dengan para tuan tanah, kaum birokrat, tentara, dan khususnya di Jawa Timur

dengan santri pendukung NU, yaitu Anshor. Aksi sepihak ini merupakan

sebagian dari program PKI yang berjudul "Resume Program dan Kegiatan PKI

Dewasa Ini (1963)" (Ricklefs, 2005:541).

Program ini berupa program jangka pendek yang berisi penilaian

situasi dan rencana aksi yang menjadi tujuan akhir PKI. Menurut penilaian

PKI, revolusi Agustus 1945 telah gagal dan belum selesai. Dikatakan gagal,

karena revolusi itu tidak dipimpin oleh orang-orang komunis. Revolusi hanya

dapat dikatakan selesai apabila di Indonesia sudah terwujud suatu Demokrasi

Rakyat, masyarakat sosialis dan masyarakat komunis. Hal ini menyebabkan

terjadinya ketegangan antar partai. Pada tanggal 12 Desember 1964, sepuluh

partai politik menandatangani sebuah deklarasi yang disebut Deklarasi Bogor,


60

dalam upaya untuk meredakan persengketaan antar partai atas prakarsa

Presiden Soekarno (Notosusanto, 1985:11).

Lima hari sesudah Deklarasi Bogor ditandatangani, Presiden Soekarno

membubarkan Badan Pendukung Soekarnoisme(BPS). Badan Pendukung

Soekarnoisme ini dibentuk oleh kelompok-kelompok yang anti PKI dan secara

gigih menentang aksi-aksi serta dominasi PKI, yang mendapat ilham dari

tulisan-tulisan Sayuti Melik yang berjudul "Belajar Memahami

Soekarnoisme". Tulisan Sayuti Melik itu mendapat respon sangat luas di

kalangan penentang PKI, yang sepakat membentuk sebuah wadah untuk

menyelematkan ajaran Soekarno yang telah diselewengkan oleh PKI untuk

kepentingannya sendiri. Badan ini terbentuk pada tanggal 1 September 1964

dengan Adam Malik, B. M. Diah, dan Sumantoro sebagai pimpinan tertinggi.

Oleh karena itu, PKI menganggap BPS sebagai musuhnya dan berusaha untuk

menghancurkannya. PKI kemudian memutarbalikkan fakta dan membuat

fitnahan bahwa BPS sengaja dibentuk untuk menyelewengkan ajaran

Soekarno dan berusaha membunuh Soekarno. Fitnahan itu rupanya dipercaya

oleh Presiden Soekarno dan karena itu BPS dibubarkan (Said, 1987:140).

Memasuki tahun 1965, PKI kian meningkakan ofensif

revolusionernya. Apalagi setelah Indonesia menyatakan diri keluar dari PBB

pada tanggal 7 Januari 1965, setelah Malaysia diberi kedudukan sebagai

angota tidak tetap di Dewan Keamanan PBB. Pengucilan diplomatik Indonesia

dari negara-negara Asia-Afrika lainnya, dan negara-negara Barat,

memperlancar pembentukan poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Pyong Yang-


61

Peking, yang mendekatkan Indonesia kepada blok komunis (Ricklefs,

2005:548).

Kedudukan PKI makin kuat setelah partai Murba yang merupakan

salah satu musuh politiknya dibekukan kegiatannya oleh Presiden Soekarno

pada bulan Januari 1965. Hal ini membuat PKI menjadi bertambah berani

dalam melakukan manuver-manuver politiknya. D. N. Aidit mengusulkan

kepada Presiden Soekarno bagi pembentukan "Angkatan Kelima", yang terdiri

dari kaum buruh dan tani yang dipersenjatai, serta diangkatnya para penasihat

Nasakom pada satuan-satuan kekuatan bersenjata itu. Usulan ini ditentang

oleh militer, khususnya Angakatan Darat (Poesponegoro dan Notosusanto,

1993:374).

Pada pidato kenegaraan tangal 17 Agustus 1965, Presiden Soekarno

menyatakan "Saya dituduh mendatangkan keuntungan pada satu kelompok

saja di antara keluarga besar nasional kita. Jawaban saya adalah ya. Ya, saya

memberikan keuntungan kepada satu kelompok saja yakni kelompok agama

yang revolusioner! Saya kawan dari kelompok agama, tapi kelompok agama

yang revolusioner! Saya kawan dari komunis, karena komunis adalah rakyat

yang revolusioner!" (Marta, dkk., 1984:273).

Pernyataan Presiden Soekarno di atas menunjukkan bahwa persaingan

antar kelompok dalam percaturan politik Indonesia masih berlangsung

"panas", karena Presiden Soekarno hendak memastikan bahwa kaum-kaum

revolusioner tetap mendapat kesempatan yang sama, termasuk PKI.


62

C. Tanggapan Pers Semarang Terhadap Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Pada hari minggu, tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00 WIB di Istana

Merdeka, Presiden Soekarno telah mengumumkan sebuah dekrit untuk

mengakhiri masa Demokrasi Liberal yang penuh dengan pertentangan antar

partai. Setelah dekrit itu diumumkan, bermunculanlah berbagai tangggapan

seputar peristiwa itu.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak saja mendapatkan sambutan baik dari

masyarakat yang selama hampir 10 tahun dalam kegoyahan jaman liberal telah

mendambakan stabilitas politik, pihak angkatan bersenjata juga menyatakan

dukungannya kepada dekrit Presiden itu, yang pada dasarnya sudah merasa

jemu dengan pertentangan-pertentangan tanpa akhir yang terjadi pada masa

Demokrasi Liberal, yang dapat membahayakan keutuhan bangsa Indonesia

secara keseluruhan. Dukungan itu ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya

perintah harian KSAD pada hari itu juga yang pada intinya memerintahkan

kepada tiap prajurit Tamtama, Bintara, dan Perwira serta semua pegawai TNI,

untuk tetap meneguhkan disiplin serta menjamin keamanan dan ketentraman

masyarakat, keselamatan bangsa dan negara (Poesponegoro dan Notosusanto,

1993:311).

Dukungan juga datang dari ketua umum PNI, Suwirjo, yang mengajak

seluruh rakyat terutama seluruh anggota Front Marhaenis, agar menaati dan

membantu pelaksanaan Dekrit Presiden tersebut. Sementara itu presidium

SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh indonesia) mengirim berita kawat

kepada Presiden Soekarno, yang pada pokoknya menyambut gembira Dekrit


63

Presiden yang diucapkan pada hari minggu sore (Notosoetardjo, 1964:667).

Sementara bekas ketua konstituante, Wilopo, berpendapat bahwa lebih baik

Demokrasi Terpimpin daripada demokrasi liar, tetapi dengan syarat bahwa apa

yang tersurat baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945

benar-benar ditaati (Martha, dkk, 1984:259).

Di lain pihak, media massa khususnya surat kabar yang merupakan

barisan paling depan dalam penyebaran informasi memberikan tanggapan

yang bermacam-macam meskipun pada intinya mendukung pernyataan Dekrit

Presiden itu. Komentar-komentar pers atau surat kabar yang akan

dikemukakan berikut ini bukan hanya surat kabar-surat kabar yang terbit di

Semarang, tetapi juga koran-koran yang terbit di luar daerah namun memiliki

persebaran di kota Semarang.

Harian Suluh Indonesia, yang merupakan surat kabar milik PNI

mengibaratkan keluarnya Dekrit Presiden itu dengan kembalinya bangsa

Indonesia ke rumahnya yang asli. Selengkapnya harian ini menulis sebagai

berikut :

"Bahwa, dengan diumumkannya dekrit itu maka kita kembali ke rumah


jang asli. Rumah jang kita susun pada tahun 1945. Rumah jang
memiliki fundasi asli, fundasi revolusioner 1945. Kensekwensi
daripada perumahan jang asli itu mengharuskan segenap penghuninja
kembali berbakti sesuai dengan kewajiban-kewajiban jang ditentukan
oleh peraturan rumah tangga jang ada.
Dan perumahan asli Negara Republik Indonesia itu tidak akan
memberi pahala manfaat bagi penghuninja, selama penghuni itu sendiri
tidak dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan jang ada di
dalam perumahan jang berkonstitusi 1945." (Notosoetardjo, 1964:280)

Sementara surat kabar milik PKI, Harian Rakyat, menulis bahwa

langkah-langkah Presiden itu ditandai oleh keteguhan sikap. Kemudian harian


64

ini mengharap agar pembentukan MPRS dan DPAS juga harus berdasarkan

kehendak rakyat terbanyak. Terhadap soal-soal kebudayaan, militer dan

terutama soal-soal ekonomi, maka harian ini berseru : "Mari kita tjantjut

taliwondo" yang artinya mari kita singsingkan lengan baju (Notosoetardjo,

1964:280).

Harian Pedoman yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia

(PSI) menyoroti tentang beratnya tanggung jawab yang dipikul Presiden

Soekarno dan kemampuan dari kabinet kerja yang baru saja dibentuk. Secara

lengkap pernyataan harian ini adalah sebagai berikut :

"Sesungguhnya besarlah tanggung djawab jang telah diletakkan


oleh Presiden di atas pundaknja dan beratlah bebannja, maka karena itu
harian mengutjapkan kepada Presiden keberuntungan dan kekuatan
pun sukses.
Chalayak ramai kini menunggu personalia kabinet baru, jakni
orang-orang jang akan dipilih oleh Presiden jang akan membantu
beliau mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara. Sebab, untuk
memetjahkan masalah-masalah bangsa dan negara tidak sedikit
tergantung dari watak dan ketjakapan menteri-menteri jang dipilih oleh
Presiden sebagai pembantu-pembantunja. Pihak luar negeri pun
menaruh perhatian pada personalia kabinet baru itu.
Bagi rakjat, soalnja adalah bersahadja jaitu soalnja dilihatnja
dan dirasakan, dapatkah kabinet baru membawa penurunan harga
barang-barang, apakah kabinet baru mendatangkan ketentraman hidup,
perdamaian nasional dan lain-lain." (Notosoetardjo, 1964:281)

Di lain pihak Harian Republik, antara lain menulis :

"Tiap putra Indonesia jang hendak melihat penggalangan


kasatuan nasional jang lebih bulat dengan didekritkannja UUD 1945,
tentu sadja mengakui, bahwa ketegaran dalam dekrit ini mestinja sudah
melenjapkan alasan, jang tadinja menjebabkan konstituante mendjadi
lumpuh.
Dapat dipertjaja, bahwa usaha Presiden/Panglima Tertinggi itu
mentjapai hasil jang hendak ditjapai, terutama di kalangan mereka jang
tadinja ngotot hendak memaksakan masuknja Piagam Djakarta di
dalam tubuh UUD 1945, tentunja diperoleh pengertian jang
65

menguntungkan usaha penggalangan persatuan nasional jang lebih


bulat dan kompak.
Dengan tindakan mendekritkan UUD 1945, Presiden Soekarno
selama minggu-minggu jang akan datang ini djadi menghadapi tugas
jang tidak ringan. Apalagi kalau kita perhatikan bahwa pembentukan
kabnet pertama ini tentunja diusahakan bebas dari praktek-praktek
'dagang sapi' jang sangat tertjela dan menimbulkan berbagai matjam
exces jang merugikan rakjat.
Di samping memikirkan pembentukan kabinet pertama,
Presidenperlu djuga memikirkan tambahan DPR sekarang ini dengan
wakil-wakil daerah dan golongan-golongan untuk dapat merupakan
MPR pun susunan Dewan Pertimbangan Agung memerlukan banjak
waktu.
Sekalipun usaha membentuk kabinet pertama menjusun MPR
dan DPA sementara adalah usaha-usaha jang tidak gampang, tetapi
dipertjepat pembangunan masjarakat adil dengan bergeloranja
semangat rakjat untuk makmur. Banjak kesulitan dalam pembentukan
tiga lembaga negara ini akan dapat diatasi dengan mudah berdasarkan
ketentuan, bahwa mulai sekarang kepentingan rakjat terbanjak harus
didahulukan." (Notosoetardjo, 1964:281)

Sebuah surat kabar yang terbit di Yogyakarta, yaitu Kedaulatan Rakyat

yang mengingatkan adanya tanggung jawab moral terhadap pelaksanaan

kembali UUD 1945. Lebih jauh harian ini menulis :

"Diumumkannja Dekrit Presiden pada tanggal 5 Djuli djam 5


sore dan tidak diumumkannja pada hari senin di sidang DPR, maka
keharuan, kita djadi lebih spontan lagi, lebih murni; spontan kita
teringat kepada suasana ketika tidak ada seorang manusia jang
memperhitungkan resiko keselamatan diri pribadi karena seluruh djiwa
raganja dipertaruhkan untuk perdjuangan.
Sedjarah menundjukkan, pada saat-saat genting manusia-
manusia jang njata-njata hidup mewah di atas kesengsaraan rakjat
banjak pasti djadi korban amarah rakjat banjak, pasti djadi korban
rakjat melarat jang bergolak dan itu tidak pandang bulu, berdjuis
nasional tentu sadari ini.
Pelaksanaan UUD 1945 tidak akan kita mulai dengan
perbuatan-perbuatan jang sesungguhnja perbuatan kriminil dan imortil!
Kita dukung UUD 1945, kita djungdjung tinggi djiwanja demi
keselamatan kita sendiri satu demi satu serta anak tjutju kita masing-
masing." (Notosoetardjo, 1964:282)
66

Sementara Harian Suara Merdeka memberikan komentar yang cukup

pendek mengenai Dekrit Presiden ini, yakni "Bahwa dengan kembali ke UUD

1945, kita telah kembali kepada asal dari perdjuangan membela negara adil

dan makmur". Kemudian harian ini menegaskan bahwa UUD 1945 merupakan

pangkal dari perjuangan itu, tidak dapat kita kembali lebih jauh lagi. Akhirnya

harian ini mengharap bahwa "Kita harus betul-betul mendjaga agar ini tidak

lagi nanti akan menimbulkan keketjewaan. Kali ini kita tidak dapat lagi main

tjoba-tjoba dan main tjari-tjari." (Suara Merdeka, 10 Juli 1959:3).

Harian Sinar indonesia menitikberatkan bahwa dengan Dekrit Presiden

itu, bangsa Indonesia telah memiliki pangkal pijak yang teguh kuat, guna

mencapai apa yang dicita-citakan. Secara lengkap harian ini menulis sebagai

berikut :

"Apa jang telah dinanti-nantikan dan diharap-harapkan oleh


bagian terbesar rakjat sudah tiba, jaitu adanja tindakan tegas dari
Presiden/Panglima Tertinggi untuk menmbus djalan buntu jang telah
berlarut-larut di sekitar kembali ke UUD 1945.
Dengan dekrit Presiden/Panglima Tertinggi jang diutjapkan pda
hari minggu 5 Djuli 1959 itu, maka berarti kita sekarang sudah
kembali lagi ke UUD 1945 dan UUD 1945 kini mendjadi lagi sendi
negara Indonesia.
Dengan ini kita sudah mendapat pula pangkal berpidjak jang
teguh kuat. Marilah kita dukung sepenuhnja Dekrit Presiden tersebut
dan marilah pula kita kita mempersatukan seluruh tenaga nasional di
atas sendi negara jang berdjiwa persatuan bulat itu untuk pembangunan
bangsa dan negara di masa jang datang." (Sinar Indonesia, 10 Juli
1959:1)

Akhirnya Harian Gema Massa, sebuah surat kabar yang berideologi

komunis mengingatkan konsekuensi besar yang dituntut dengan

diumumkannya Dekrit Presiden. Tanggapan harian ini adalah sebagai berikut :


67

"Dekrit Presiden ini makin mendapat landasan kuat lagi karena


bersamaan dengan itu djuga, KSAD Nasution mengeluarkan Perintah
hariannja. Perintah Harian jang tegas tanpa reserve lagi, bahwa Dekrit
Presiden tiada lain adalah Perintah Panglima Angkatan Perang.
Banjak sekali jang harus kita fikirkan karena kembali ke UUD
1945 membawa konsekwensi kenegaraan, politik dan ideologis jang
maha besar. Sudah terang, bahwa UUD 1945 ini menghendaki
konsekwensi perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan. Misalnja
bentuk kabinet, bentuk perwakilan rakjat dan banjak lainnja lagi.
Konsekwensi politis dan ideologis, bahwa dengan UUD 1945
kita harus berani menghadapi perubahan-perubahan besar. Sekarang
sudah sampai pada batasnja, bahwa siapa jang ragu-ragu, ia akan
djatuh karena hari depan hanja disediakan bagi mereka jang mau
madju." (Notosoetardjo, 1964:685)

Demikianlah tanggapan beberapa surat kabar di Semarang terhadap

diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada umumnya surat kabar-surat

kabar itu mengingatkan pada besarnya tanggung jawab yang ditimbulkan oleh

tindakan kembali ke UUD 1945, yakni keharusan mematuhi dan

melaksanakan segala yang menjadi ketentuan dalam UUD 1945.


BAB IV
PERKEMBANGAN PERS DI SEMARANG PADA MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN

A. Kedudukan Pers dalam Sistem Demokrasi Terpimpin

Media massa pada umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku

dimana sistem pers yang berlaku itu hidup. Sementara sistem pers itu sendiri

tunduk pada sistem politik yang ada. Jadi, sistem pers merupakan sub-sistem

dari sistem politik yang ada, sehingga setiap pemberitaan akan tetap

memperhatikan keterikatan itu (Suwardi, 1993:17).

Dalam konteks hubungan pers dengan politik, ada dua konsekuensi

yang perlu diperhatikan, yaitu pertama, pers hanya dilihat sebagai mediasi dari

berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang berinteraksi. Dalam hal

ini pers lebih merupakan refleksi dari dinamika hubungan antara negara

dengan kekuatan-kekuatan politik masyarakat. Kedua, pers dapat juga dilihat

sebagai bagian dari kekuatan sosial politik dari berbagai kekuatan sosial,

politik dan ekonomi yang berinteraksi dalam suatu sistem politik tertentu. Pers

selalu menempatkan dirinya sebagai salah satu dari kekuatan sosial politik

masyarakat (non negara) yang berhadapan dengan kekuatan politik negara.

Hal ini lebih merupakan konsekuensi sosiologis, politis, ideologis, dan historis

dari eksistensi pers itu sendiri. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan

adanya fenomena, dimana pes justru menjadi bagian dari kekuatan negara

(Abar, 1995:37).

68
69

Bila kita menempatkan pers sebagai mediasi dalam konteks dinamika

hubungan negara dan masyarakat, atau politik, maka ada dua proposisi utama

dalam melihat isi dan orientasi pers. Pertama, yaitu apabila negara menempati

posisi dominasi berarti masyarakat menempati posisi sub-ordinasi, maka pers

cenderung lebih berorientasi ke negara. Kedua, yaitu apabila masyarakat

menempati posisi dominasi dan negara berada pada posisi sub-ordinasi, maka

pers lebih cenderung berorientasi ke masyarakat.

Sementara apabila kita menempatkan pers ke dalam kedudukannya

sebagai pelaku dan kekuatan sosial politik masyarakat yang berhadapan

dengan kekuatan politik negara, maka konsekuensi analisisnya dapat dilihat

dari posisi politiknya. Artinya, pers mempunyai posisi politik yang kuat atau

lemah ketika berhadapan dengan kekuasaan negara. Ukuran yang dipakai

untuk menilai kuat atau lemahnya posisi pers, adalah sejauh manakah pers

mempunyai peran atau pengaruh dalam pembentukan kebijaksanaan politik.

Jika kedudukan politik negara dominan, maka pers menjadi sub-ordinan atau

lemah dalam posisi politik. Sebaliknya, jika kedudukan politik masyarakat,

termasuk pers, dominan dalam pembentukan kebijaksanaan politik tertentu,

maka negara menjadi sub-ordinan, artinya posisi politik pers adalah kuat

(Abar, 1995:38-39).

Dengan menggunakan ulasan di atas sebagai dasar acuan, maka dapat

dianalisa kedudukan pers dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Seperti yang

kita ketahui, bahwa pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno

menempati posisi sentral dalam kehidupan politik nasional. Beliau


70

memanfaatkan kharisma yang ia miliki, pertentangan politik dan kepentingan

di dalam negeri, serta kemampuan berpidato yang memukau, untuk

memperkokoh kedudukannya (Ricklefs, 2005:508).

Terhadap media massa, pemerintah memberikan perhatian yang sangat

besar, dalam artian diupayakan untuk mendukung keberadaan pemerintah

serta kebijakan-kebijakannya. Hal ini berkaitan dengan misi yang dijalankan

oleh pers itu sendiri, yaitu menjadi saluran informasi bagi pemerintah dan

masyarakat. Pers juga dipandang sebagai sarana pembentuk opini publik yang

luas.

Pada masa Demokrasi Terpimpin ini, pers diatur secara ketat dan

harus berfungsi sebagai alat revolusi pemerintah. Berbagai peraturan

perundang-undangan dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin

tercapainya maksud di atas. Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 Lampiran

A, tentang Penerangan Massa, menjadi landasan bagi pelaksanaan

Manipolisasi Pers Nasional dalam sistem Demokrasi Terpimpin (Said,

1988:122).

Ketetapan tersebut menggariskan, bahwa media massa harus

diarahkan untuk mendorong aksi massa revolusioner di seluruh Indonesia.

Rakyat harus didorong untuk memiliki keyakinan yang teguh tentang

sosialisme, agar dukungan bagi kelangsungan revolusi dan peranannya dalam

pembangunan nasional dapat terwujud. Menurut ketetapan tersebut lebih

lanjut, semua media komunikasi massa seperti surat kabar, radio dan film

harus digerakkan sebagai satu kesatuan terpadu secara terpimpin berencana,


71

dan terus menerus ke arah kesadaran mengenai sosialisme Indonesia dan

Pancasila.

Langkah-langkah lain yang perlu dilaksanakan untuk menciptakan

pers Manipol menuju tercapainya pers sosialis adalah :

1. Mendirikan kantor berita nasional yang kuat dan lengkap


2. Membantu organisasi penerbitan pers menyelenggarakan seminar-seminar
pers
3. Mengadakan pendidikan dan latihan bagi para pelaksana pers
4. Mengadakan pendidikan wartawan
5. Mendirikan gedung pusat pers
6. Membantu penyediaan kertas koran
7. Menyelenggarakan kunjungan kerja oleh wartawan ke proyek-proyek
pembangunan
8. Menyiapkan undang-undang pers yang mencakup antara lain penjabaran
fungsi-fungsi pers dalam rangka melaksanakan Manipol demi
kelangsungan revolusi dan pembangunan semesta berencana; penjabaran
hak-hak dan kewajiban-kewajiban pers; serta penjabaran kebebasan pers
sesuai dengan pasal 28 UUD 1945
9. Mendorong penerbitan pers, terutama peredarannya di kalangan rakyat
pekerja
10. Membangun pabrik-pabrik kertas agar impor kertas tidak diperlukan lagi
11. Meningkatkan kesejahteraan pekerja-pekerja pers
(Said, 1988:122)

Pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Penguasa

Perang Tertinggi (Peperti) No. 3/1960, mengenai larangan menerbitkan surat

kabar dan majalah yang tidak berhuruf latin, Arab atau daerah. Hal ini berarti

melarang penerbitan pers yang menggunakan aksara Cina, namun untuk

kepentingan penerangan revolusi, pemerintah mengijinkan beberapa

penerbitan pers Cina yang telah disesuaikan. Di Semarang, misalnya Harian

Kuang Po menjadi Sinar Indonesia dan Harian Sin Min berganti nama

menjadi Gema Massa.


72

Peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah sehubungan

dengan kehidupan pers, adalah : pada tanggal 12 Oktober 1960, keluar Peperti

No. 10/1960 tentang keharusan bagi penerbit pers untuk memperoleh ijin

terbit; Peperti No. 2/1961 mengenai pengawasan dan pembinaan terhadap

percetakan-percetakan swasta; Keputusan Presiden Republik Indonesia No.

307/1962 mengenai pembentukan Lembaga Kantor Berita Antara; Penetapan

Presiden Republik Indonesia No. 6/1963 mengenai ketentuan-ketentuan

tentang pembinaan pers. Isi dari masing-masing peraturan tersebut diuraikan

dibawah ini.

a. Peraturan Peperti No. 10/1960

Berdasarkan peraturan ini, sejumlah persyaratan harus dipenuhi

sebelum ijin terbit dikeluarkan. Diantaranya :

1. Mendukung dan membela Manipol dan program pemerintah.


2. Menjadi alat penyebarluasan Manipol dengan tujuan menghapus
imperialisme dan kolonialisme, liberalisme, federalisme dan
separatisme.
3. Membela politik luar negeri bebas aktif serta mendukung
pelaksanaannya, tidak mendukung perang dingin antara kedua blok
asing serta tidak menjadi alat perang tersebut.
4. Memperkuat keyakinan rakyat Indonesia terhadap prinsip-prinsip
dasar, orientasi, program dan kepemimpinan revolusi.
5. Menyokong setiap langkah untuk menciptakan ketertiban umum,
keamanan maupun ketenangan situasi politik.
6. meningkatkan kesadaran terhadap kepribadian Indonesia, seperti
mencegah tulisan-tulisan, gambar-gambar dan lukisan-lukisan yang
bersifat sensasi dan bertentangan dengan persasaan susila.
7. Memberikan kritk-kritik yang konstuktif terhadap keadaan dan
pelaksanaan kebijakan pemerintah dengan selalu berpedoman pada
Manipol.
73

Di samping ketentuan-ketentuan di atas, para penerbit dan

pimpinan redaksi surat kabar dan majalah juga diwajibkan untuk

menandatangani pernyataan berisi 19 pasal. Ke-19 pasal tersebut adalah :

1. Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah/dan/atau akan


dikeluarkan/diberikan oleh Penguasa Perang Tertinggi dan lain-lain
instansi pemerintah yang berwenang mengenai penerbitan.
2. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Manifesto
Politik RI secara keseluruhan.
3. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela program
pemerintah.
4. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
5. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela UUD 1945.
6. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Pancasila.
7. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela sosialisme
Indonesia.
8. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Demokrasi
Terpimpin.
9. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Ekonomi
Terpimpin
10. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela kepribadian
nasional Indonesia.
11. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela martabat
negara Republik Indonesia.
12. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memberantas, imperialisme
dan kolonialisme, liberalisme, federalisme/separatisme.
13. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung/pembela dan alat pelaksana
dari politik bebas dan aktif negara RI serta tidak menajdi
pembela/pendukung dan alat dari perang dingin antara blok negara
asing.
14. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan
rakyat Indonesia terhadap Pancasila.
15. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan
rakyat Indonesia terhadap Manifesto Politik RI.
16. Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban
dan keamanan umum serta ketenangan politik.
17. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan
atau gambar-gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak.
18. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan
atau gambar-gambar yang mengandung penghinaan terhadap kepala
negara atau kepala pemerintahan dari negara asing yang bersahabat
dengan Republik Indonesia.
74

19. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan


atau gambar-gambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi
yang dibubarkan atau dilarang berdasarkan Penetapan Presiden No. 13
tahun 1960.
(Said, 1988:125-126)

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, penerbitan pers yang

tidak memenuhi persyaratan maupun tidak bersedia menandatangani

kesanggupan 19 pasal itu dengan sendirinya tidak akan memperoleh ijin

terbit. Bagi surat kabar dan majalah yang diterbitkan tanpa ijin akan

ditindak berdasarkan hukum yang berlaku, disita serta dimusnahkan

(Harahap, 2000:128).

b. Peraturan Peperti No. 2/1961

Ketentuan ini khusus mengenai pengawasan dan pembinaan atas

perusahaan-perusahaan percetakan swasta. Prinsip dasar yang melandasi

peraturan tersebut adalah bahwa percetakan harus menjadi alat untuk

menyebarluaskan Manipol dan untuk memberantas imperialisme,

kolonialisme, liberalisme serta federalisme dan separatisme. Seperti

halnya terhadap penerbitan, percetakan yang tidak mematuhi ketentuan

tersebut akan dicabut ijin atau ditutup.

c. Keputusan Presiden No. 307/1962

Keputusan ini dikeluarkan karena telah terjadi pertentangan di

Kantor Berita Antara, antara kelompok yang anti PKI (dipimpin Zein

Effendi, SH.), melawan kelompok Djawoto mengenai kebijakan

pemberitaan. Konflik ini menyebabkan presiden memutuskan penguasaan

Kantor Berita Antara oleh Peperti, yang kemudian disatukan dengan


75

Yayasan Persbiro Indonesia, yang kemudian menjadi Lembaga Kantor

Berita Nasional Antara.

d. Penetapan Presiden No. 6/1963

Penetapan ini meletakkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan

bentuk-bentuk, tujuan dan pelaksana pembinaan pers guna melaksanakan

Pancasila dan Manipol dalam kerangka Demokrasi Terpimpin. Pelaksana

dan pengawas pembinaan pers adalah Menteri Penerangan, dengan

dibantu kepala staf ketiga angkatan, kepala kepolisian negara dan Jaksa

Agung (Said, 1988:129).

Banyaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah

sehubungan dengan kehidupan pers nasional menunjukkan posisi pemerintah

yang dominan, sehingga kedudukan pers dalam sistem Demokrasi Terpimpin

menjadi lemah dan dalam tekanan pemerintah. Hubungan pers dengan

pemerintah yang sangat paternalistik, menyebabkan beberapa surat kabar

bertindak terlalu hati-hati di dalam mengutarakan berita yang kontroversial,

sehingga hal itu sangat mempengaruhi kualitas laporan jurnalistiknya.

B. Perkembangan Pers di Semarang Masa Demokrasi Terpimpin

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikumandangkan, segala

sesuatunya ditujukan dan diarahkan kepada suksesnya pelaksanaan Demokrasi

Terpimpin, termasuk pula penggunaan media massa. Media penerangan ini

digunakan secara meluas, merata, cepat, terus menerus dan terpimpin.


76

Media penerangan, dalam hal ini pers, yang tidak bersedia ikut

"menari" dalam irama Demokrasi Terpimpin, harus menyingkir atau

disingkirkan. Tiap surat kabar wajib menjadi alat untuk kepentingan revolusi.

Misalnya, turut secara aktif memasyarakatkan Manipol-USDEK, beserta

bahan-bahan penafsirannya, yang meliputi berbagai pidato Presiden Soekarno,

kursus-kursus dan kuliah-kuliah politik Presiden Soekarno, dan ketetapan-

ketetapan MPRS.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa untuk menjamin

terlaksananya Demokrasi Terpimpin sesuai dengan yang diharapkan,

pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk kalangan pers. Salah

satunya adalah keharusan bagi para penerbit untuk mengajukan permohonan

ijin terbit seperti yang tercantum dalam peraturan Peperti No. 10/1960. Pada

bagian bawah formulir permohonan ijin terbit itu tercantum 19 pasal

pernyataan yang mengandung janji para penanggungjawab surat kabar

tersebut, bahwa andaikata ia diberi Surat Ijin Terbit (SIT), ia akan mendukung

Manipol-USDEK dan akan mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan

dikeluarkan oleh pemerintah (Soebagjo, 1977:120).

Syarat pengajuan SIT ini telah dimanfaatkan oleh pemerintah

(penguasa) untuk menindak surat kabar yang kritis terhadap pelaksanaan

Demokrasi Terpimpin. Surat kabar yng gigih melawan paham komunisme,

dicabut SIT-nya. Dengan diberangusnya koran-koran tersebut, PKI dan koran-

koran yang bernaung dibawahnya merasa mendapat angin, karena lawan-

lawan mereka telah tersingkirkan PKI dan simpatisannya makin berani


77

menghantam lawan-lawan politiknya. Pada masa Demokrasi Terpimpin,

politik memang menjadi semacam "panglima", karena segala sesuatu dengan

kepentingan-kepentingan politik tertentu. Demikian pula halnya dengan

kondisi pers ketika itu, dimana aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah

semakin lama semakin mengikat kebebasan pers.

Mengontrol penyiaran melalui radio tidaklah sulit, karena RRI

merupakan milik pemerintah. Lebih sukar pengontrolannya adalah media

massa yang berupa surat kabar dan majalah, sehingga pada masa Demokrasi

Terpimpin penentuan jatah kertas koran merupakan alat kontrol yang efektif

sekali. Di samping itu ada juga keharusan penerbitan harian atau majalah

dimiliki oleh suatu badan hukum (yayasan), dan bukan milik perorangan

memudahkan pula pengawasannya. Oleh karena itu, PKI berusaha sekuat

tenaga untuk dapat menguasai organisasi PWI dan SPS sekaligus, dua badan

hukum yang memang merupakan kunci dari keluar atau tidaknya rekomendasi

untuk mendapatkan SIT (Soebagjo, 1977:127).

Dalam upaya untuk mencapai tujuannya, PKI memiliki taktik khusus

yaitu teknik slowdown strike atau mogok secara halus. Buruh-buruh

percetakan yang umumnya anggota Serikat Buruh Percetakan Indonesia

(SBPI) yang berafiliasi dengan PKI, melakukan berbagai kesalahan cetak

dengan alasan yang dicari-cari. Misalnya, dengan mengatakan mesinnya rusak

(padahal tidak), timahnya belum panas, dan sebagainya, sehingga hasil

kerjanya jauh dari yang ditargetkan perusahaan. Tentu saja perusahaan surat

kabar yang disabotase mengalami kerugian yang tidak kecil, apalagi waktu itu
78

hampir semua surat kabar pribumi memiliki modal yang minim sekali

(Soebagjo, 1977:128).

Masalah percetakan merupakan salah satu hambatan terbesar dalam

perkembangan pers pada masa Demokrasi Terpimpin. Hal ini tidak lepas dari

kondisi pers pada masa sebelumnya, dimana pers pribumi mewarisi bekas-

bekas percetakan milik asing yang sudah dalam keadaan kurang terawat.

Tidak jarang di satu percetakan digunakan untuk mencetak lebih dari satu

surat kabar. Misalnya, Harian Suara Merdeka sempat mencetak terbitannya di

percetakan milik Harian de Locomotief. Ketika pada tahun 1961 terjadi

pemogokan buruh di percetakan de Locomotief, harian ini tidak begitu

terpengaruh karena modal yang dimilikinya cukup kuat, lain halnya dengan

Harian Suara Merdeka yang menumpang percetakan, terpaksa harus dicetak di

Yogyakarta selama satu bulan lebih (Marza, 1995:56).

Kebijakan pemerintah pada tahun 1960 yang cukup memukul usaha

penerbitan surat kabar adalah dengan dikeluarkannya peraturan tentang

pemotongan nilai mata uang rupiah menjadi sepersepuluhnya. Kebijakan ini

dikenal dengan istilah "Gunting Syafruddin" oleh kalangan pers. Akibatnya

bagi perusahaan surat kabar di Semarang adalah bertambah beratnya beban

produksi, karena biaya untuk pengadaan kertas, proses cetak, serta distribusi

menjadi membengkak (wawancara dengan Bp. M. Subandrio, 25 Mei 2007).

Sementara itu seiring dengan perkembangan politik nasional, PWI

mengadakan perubahan peraturan dasarnya pada tahun 1963. Titik tolak

perubahan peraturan dasar PWI adalah ketetapan MPRS No. I dan II tahun
79

1960, yang menetapkan Manipol sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara.

Dalam mukadimah peraturan dasar PWI rumusan tahun 1961, dicantumkan

dasar negara Pancasila berikut perincian kelima silanya. Juga pernyataan

tentang Manipol, tugas pers Indonesia yang mencakup segala bidang

kehidupan nasional, serta pasal 28 UUD 1945 tentang adanya kemerdekaan

mengemukakan pikiran dengan tulisan maupun lisan, yang ditetapkan dengan

undang-undang.

Bagian tepenting mukadimah peraturan dasar PWI yang telah diubah

pada tahun 1963 tersebut adalah :

"Bahwa sesungguhnja adalah mendjadi kenjataan sedjarah,


perdjuangan wartawan Indonesia sedjak djaman pendjadjahan Belanda
hingga sekarang, tak dapat dipisahkan dengan perdjuangan rakjat
Indonesia jang besar untuk mentjapai satu negara Republik Indonesia
jang merdeka penuh dan berbentuk kesatuan, dimana rakjatnja
mendapat kesempatan untuk hidup dalam masjarakat jang adil dan
makmur.
Bahwa dengan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 jang melahirkan negara Republik
Indonesia jang berdasarkan Pantjasila, perdjuangan rakjat Indonesia
pada hakekatnya telah berhasil mentjapai babak baru mentjerminkan
masa depan jang gemilang.
Bahwa negara Republik Indonesia itu adalah sendjata jang
perkasa ditangan rakjat untuk mewujudkan satu masjarakat jang adil
dan makmur materiil dan spirituil dalam satu Dunia Baru jang bersih
dari imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk menudju
perdamaian dunia jang sempurna.
Bahwa dalam perdjuangan menghantarkan rakjat indonesia
mentjapai tjita-tjita tersebut, wartawan Indonesia berdiri teguh di atas
falsafah negara Pantjasila dan berpedoman kepada menifesto politik
Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara beserta
pedoman-pedoman pelaksanaannja.
Dengan menjadari fungsinja sebagai alat revolusi, maka
wartawan Indonesia berketetapan hati dan bertekad untuk terus
melandjutkan tradisi revolusioner dan patriotiknja ...." (Said,
1988:136)
80

Lebih dari setahun sebelumnya, pada tanggal 17 Januari 1962, PWI

telah mendaftarkan diri sebagai anggota Front Nasional. Meskipun bukan

suatu organisasi massa, keanggotan PWI diloloskan juga dengan

pertimbangan bahwa PWI mempunyai kedudukan khas dan berpengaruh besar

dalam menggerakkan massa "yang revolusioner". Untuk itu, PWI melakukan

perubahan peraturan dasarnya agar sesuai dengan Front Nasional yang

berporoskan Nasakom.

Di samping PWI, Serikat Perusahaan Surat Kabar (SPS) sebagai

organisasi penerbit pers (surat kabar), tidak luput dari kewajiban mengadakan

perombakan. Dalam kengresnya yang ke-II di Malang tahun 1961, peraturan

dasar dan peraturan rumah tangganya di Manipol-kan, dalam rangka ikut

memperjuangkan sosialisme Indonesia melalui penerbitan pers. Apalagi sejak

tahun 1960, kedua organisasi ini telah mulai dimasuki tokoh-tokoh dari

kelompok PKI. Dengan perombakan-perombakan tersebut, lengkaplah

Manipolisasi dan Nasakomisasi kedua organisasi pers nasional (Said,

1988:137).

Di antara partai-partai politik di Indonesia pada masa Demokrasi

Terpimpin, PKI-lah yang paling menonjol perhatiannya kepada pers. Bagi

PKI, pers dan alat-alat komunikasi lainnya merupakan senjata yang ampuh

guna mencapai tujuan-tujuannya. Sebab itulah, PKI bersedia berbuat apa saja

untuk membela pers simpatisannya, apabila diperlukan. Secara garis besar

PKI menempuh dua taktik dasar, yaitu : pertama, kampanye untuk

memperbesar peristiwa-peristiwa yang dianggap menguntungkan mereka.


81

Kedua, kampanye untuk menghancurleburkan peristiwa-peristiwa yang

merugikan atau dianggap akan dapat merugikan perjuangan mereka

(Soebagjo, 1977:127).

Dukungan PKI terhadap politik dalam negeri dan luar negeri Soekarno

yang radikal membuatnya semakin dekat dengan Presiden Soekarno.

Kampanye menentang penjajahan Belanda di Irian Barat, konfrontasi terhadap

Malaysia, yang disertai dengan ketegangan terhadap Amerika Serikat dan

sekutu-sekutunya, telah dimanfaatkan PKI untuk mematangkan suasana

revolusioner.

Pertentangan dalam jajaran pers Indonesia meluaskan sorotan dan

kesadaran masyarakat terhadap ofensif PKI di berbagai bidang, termasuk pers.

Penyusupan PKI dan penyokongnya di organisasi-organisasi pers seperti PWI,

SPS, dan Antara, menimbulkan kecemasan di kalangan luas. Ofensif

revolusioner yang dilakukan oleh PKI, bukannya tidak mendapat perlawanan

dari pihak-pihak yang anti PKI. Salah satunya adalah perlawanan yang

dilakukan oleh Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), sebuah organisasi di

lingkungan pers yang bercirikan non-PKI. Koran-koran yang menjadi anggota

BPS menjadikan tulisan Sajuti Melik yang berjudul "Belajar Memahami

Soekarnoisme", sebagai tanda pengenal di antara mereka. Dalam tulisannya

itu, Sajuti Melik menguraikan tentang Marhaenisme sejati dan Marhaenisme

yang telah diselewengkan oleh PKI menjadi "Marxisme yang diterapkan di

Indonesia" untuk keuntungannya sendiri. Menurut Sajuti Melik,

perkembangan Marhaenisme menjadi Pancasila tidak menuju ke Nasakom,


82

melainkan ke Nasasos (Nasionalisasi, Agama, dan Sosialisme) dan Pancasila

itupun Nasasos bukan Nasakom (Katoppo, 1990:91).

BPS didirikan pada 1 September 1964 di Jakarta dengan Adam Malik

dan B. M. Diah sebagai pimpinan tertinggi bersama Soemantoro. Dalam

waktu singkat, BPS memiliki banyak simpatisan di berbagai kota besar di

Indonesia. Di Semarang, surat kabar yang menjadi simpatisan BPS adalah

Suara Merdeka, Sinar Indonesia, dan Pos Minggu. Adapun lawan dari pers

BPS di Semarang adalah surat kabar Gema Massa, yang beralamat di Jalan

Taman Srigunting 8 Semarang (wawancara dengan Bp. M. Subandrio, 25 Mei

2007).

PKI beserta ormas-ormasnya sangat menentang terbentuknya BPS.

Dengan menggunakan pengaruhnya di PWI, PKI mencoba mendiskreditkan

BPS dengan menyatakan bahwa BPS merupakan tandingan dari PWI. Usaha

ini gagal, sehingga PKI mencari jalan lain, yakni mempengaruhi PNI yang

berasaskan Marhaenisme. Pimpinan PNI, yakni Ali Sastroamidjojo dan

Surachman kemudian mempersalahkan persepsi BPS (Sajuti Melik) itu, dan

menegaskan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di

Indonesia.

Upaya lain yang ditempuh oleh PKI adalah dengan melancarkan

tuduhan, bahwa BPS diorganisir dan dibiayai oleh CIA (sebuah badan

Intelejen Amerika Serikat), dan bahwa BPS hendak menyelewengkan ajaran-

ajaran Bung Karno, hendak membunuh ajaran Soekarno, dan hendak

membunuh Soekarno sendiri. Koran-koran PKI, seperti : Harian Rakjat,


83

Bintangt Timur, Gema Massa dan yang lainnya dimanfaatkan untuk

melontarkan tuduhan-tuduhan itu, sehingga masyarakat percaya bahwa BPS

adalah kontra Revolusioner (Said, 1988:146).

Surat kabar Gema Massa setiap harinya selalu memuat tulisan yang

memojokkan BPS dan terus mendesak presiden Soekarno agar membubarkan

BPS. Dalam tajuk rencananya 12 Desember 1964, harian Gema Massa

menyatakan :

"Reaksi terhadap apa jang dinamakan BPS (Badan Pendukung


Soekarnoisme) makin lama makin santer. Jang terakhir, PNI telah
mengeluarkan statement jang mendesak kepada Presiden Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno agar membubarkan BPS serta melarang
angota-anggotanja ikut serta dalam gerakan tersebut. Sebelum itu,
seperti kita ketahui, secara berantai telah timbul reaksi-reaksi dari
massa dengan sikap jang sama seperti sikap PNI itu.
Hingga saat ini, PWI memang belum mengambil sikap jang
konkrit. Namun, dari perkataan-perkataan djang beberapa kali telah
dikemukakan oleh ketua umumnja, Karim DP, kita tidak sukar
menjimpulkan, bahwa PWI pada dasarnja lebih menjukai kalau apa
jang dinamakan BPS itu tidak ada saja. Karim DP, umpamanja, pernah
menjatakan bahwa tokoh-tokoh BPS itu adalah orang-orang jang anti
partai. Demikian pula pernah dikatakan, bahwa BPS mengambil
kegiatannja dibidang djurnalistik, jang nota bene, sebenarnja adalah
bidang jang menjadi tanggung djawab PWI.
Tetapi lebih tegas lagi adalah sikap PNI jang sudah
memberikan kwalifikasinja, bahwa ada tendensi BPS melakukan
kegiatan-kegiatan jang djustru akan mengaburkan ajaran Bung Karno.
Dan djuga, gerakan itu sendiri sekarang telah menimbulkan
perpetjahan dalam masjarakat.
PNI adalah partai besar, jang dengan sendirinja sikapnja
sangat berpengaruh terhadap anggota-anggotanja dan juga terhadap
masjarakat dan pemerintah. Berkenaan dengan itu, maka sekarang
sangatlah kita nantikan sikap Presiden Pemimpin Besar Revolusi Bung
Karno mengenai persoalan BPS itu. Sikap atau keputusan Presiden
Soekarno memang penting sekali, bukan hanja karena Presiden
Soekarno adalah Pemimpin Besar Revolusi, tetapi juga karena BPS
adalah kegiatan jang langsung menjangkut adjaran-adjaran Bung
Karno sendiri.
Kita sendiri tidak sependapat, bahwa surat kabar-surat kabar
jang memuat tulisan-tulisan Sajuti Melik, jang mengupas
84

Soekarnoisme, mesti berarti mendukung BPS. Bahkan dimuatnja


tulisan-tulisan Sajuti Melik di sementara surat kabar-surat kabar ada
baiknja, karena dengan demikian kita dapat membandingkan antara
adjaran-adjaran Bung Karno jang sebenarnja dengan Soekarnoisme
menurut kacamata atau subjektivisme Sajuti Melik.
Djika kita mempeladjari tulisan-tulisan serta pidato-pidato
Bung Karno djelaslah, bahwa beliau sejak dulu adalah seorang
Marxis, jang dengan sendirinja menindjau segala persoalan djuga
secara dialektis. Sedjak dulu pula Bung Karno adalah pengandjur
Persatuan Nasional Revolusiner, seperti tulisannja pada tahun 1926
jang dimuat dalam buku "Di bawah Bendera Revolusi", jang sekarang
menjadi Persatuan Revolusioner Poros Nasakom. Mengenai tahap-
tahap Revolusi, Bung Karno pun berbicara setjara djelas, seperti jang
telah digariskan dalam Manipol, bahwa Revolusi kita melalui dua
tahap, ialah tahap nasional demokratis dan tahap sosials. Itulah baru
beberapa tjontoh sadja jang dapat didjadikan bahan bandingan, apakah
dasar-dasar itu terdapat djuga dalam intepretasi Sajuti Melik.
Kita harapkan, mudah-mudahan persoalan BPS itu segera
selesai, terutama dengan turun tangannja Presiden Soekarno sendiri
dalam persoalan ini (Gema Massa, 12 Desember 1964:1)."

Sementara itu surat kabar Suara Merdeka, Sinar Indonesia dan Pos

Minggu selalu memuat tulisan Sajuti Melik "Belajar Memahami

Soekarnoisme" di setiap terbitannya. Hal ini dikarenakan seri tulisan tersebut

merupakan bentuk persatuan dalam BPS. Pada gilirannya, pemuatan seri

tulisan tersebut menjadi semacam tanda pengenal antara pers BPS yang

menyiarkannya dan pers PKI yang menentangnya.

Dalam rangka menghentikan polemik pers kedua golongan yang

berlawanan itu, pemerintah mencoba membentuk tim-tim tingkat menteri

untuk pendekatan-pendekatan. Menurut pemerintah, polemik tersebut

menampilkan "tuduh-menuduh secara murah, membingungkan rakyat

pembaca dan membahayakan persatuan nasional (Said, 1988:144).

Menteri penerangan Achmadi dan Jaksa Agung Soetardiho,

menganjurkan agar pers hendaknya digunakan semaksimalnya untuk arahkan


85

pembentukan pendapat umum pada terwujudnya persatuan nasional

revolusioner. Pers harus menghindari penyebaran masalah yang bersifat

polemik, karena dapat memperuncing pertentangan pendapat dan dapat

membahayakan persatuan nasional. Anjuran bersama itu dikeluarkan dengan

pertimbangan sebagai berikut : (1) bahwa surat kabar, majalah, barang cetak

dan tulisan/lukisan merupakan media yang besar peranannya dalam

pembentukan pendapat umum; (2) polemik dalam surat kabar harus bersifat

konstruktif dan dijalankan demi pelaksanaan Manipol serta pedoman-

pedoman pelaksanaannya; (3) bahwa untuk mensukseskan tri program

pemerintah dan khususnya dwikora, pembentukan pendapat umum harus

diarahkan kepada terwujudnya persatuan nasional revolusioner,

pengintegrasian massa dengan Pemimpin Besar Revolusi serta pembantu-

pembantunya dan penegasan garis Komando Perjuangan; (4) bahwa

konfrontasi terhadap negara boneka "Malaysia" telah memuncak, dan pers

diharapkan untuk mendukung misi "ganyang Malaysia" (Sinar Indonesia, 29

September 1964:1).

Pada tanggal 16 Desember 1964, presiden Soekarno mengeluarkan

keputusan No. 72/KOTI/1964 tentang pembubaran dan pelarangan BPS di

seluruh Indonesia. Dua hari kemudian, presiden kembali mengeluarkan

keputusan yaitu No. 73/KOTI/1964 penugasan Komando Tertinggi Rituling

Aparatur Revolusi (KOTRAR), untuk mewajibkan seluruh penerbitan pers

memuat seri tulisan-tulisan lama Bung karno, seperti yang dihimpun dalam

buku "Di Bawah Bendera Revolusi" (Said, 1988:147).


86

Keputusan presiden Soekarno tentang pembubaran serta larangan bagi

BPS beserta koran-koran pendukungnya, membawa akibat yang sangat

kompleks. PKI memandang keputusan itu sebagai sesuatu yang melegakan,

karena tersingkirnya musuh yang paling kuat dalam bidang media massa.

Sedangkan bagi orang-orang BPS, keputusan itu berakibat sangat fatal, karena

tidak dibenarkannya lagi koran-koran pendukung BPS untuk terbit. Hal ini

membawa akibat yang lebih mendasar lagi, yaitu para wartawan, redaktur,

pegawai tata usaha, karyawan-karyawan lainnya beserta anggota keluarga

mereka menjadi kehilangan sumber nafkahnya.

Surat kabar Gema Massa menyambut gembira keputusan presiden

Soekarno yang membubarkan BPS. Hal ini terlihat jelas dalam tajuk

rencananya tanggal 18 Desember 1964, yang berisi :

"Sesuai dengan harapan rakjat, Presiden/Panglima Tertinggi


Soekarno akhirnya mengambil keputusannja untuk membubarkan apa
jang dinamakan Badan Pendukung Soekarnoisme serta melarang
kegiatannja.
Demikianlah, vonnis presiden Soekarno terhadap BPS itu
sekarang sudah menjdjadi kenjataan, karena selama ini kita
menganggap bahwa BPS merupakan penumpang gelap dalam
revolusi.
Bagi kekuatan-kekuatan progresif revolusioner, sebenarnja
untuk mengambil sikap melawan BPS bukan sikap jang mesti
dipersoalkan lagi. Itulah sebabnja, maka begitu apa jang dinamakan
BPS itu berdiri, begitu pula kekuatan-kekuatan revolusioner sudah
bangkit menentangnja. Mula-mula hanja mengutuk sadja. Tetapi
kemudian, seperti jang telah dinjatakan oleh PNI dan PKI, mendjadi
sikap jang tak mengenal kompromi lagi dalam mengganjang BPS itu
serta mendesak kepada presiden untuk membubarkannja.
Karena itu, djika mungkin vonnis presiden Soekarno itu bagi
sementara pihak jang ragu-ragu, dan apalagi jang hati ketjilnja tertarik
kepada BPS, merupakan lontjeng kematian jang mengedjutkan. Maka
bagi kekuatan-kekuatan revolusioner hal itu merupakan kepastian jang
tidak diragukan lagi. Bung Karno sebagai Pemimpin Besar
87

Revolusi/Penjambung Lidah Rakjat memang tidak pernah ingkar


terhadap kehendak rakjat.
Sekarang, dengan telah djatuhnja vonnis presiden itu, lalu
apakah jang mesti kita perbuat?
Keputusan presiden itusekaligus merupakan pula komando
bagi kita sekalian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baikja, jaitu
komando untuk mengganjang habis BPS. Dan kita pertjaja sikap ini
adalah djuga sikap PWI jang dalam konferensinja nanti pasti tidak
akan absent. Lebih-lebih, karena soalkematian BPS sudah bukan soal
jang perlu dipertentangkan lagi (Gema Massa, 18 Desember 1964:1)."

Pada tanggal 23 Februari 1965 dan 23 Maret 1965, presiden

memerintahkan pembreidelan puluhan koran-koran anggota BPS di seluruh

Indonesia. Di Semarang, koran yang terkena pembreidelan adalah koran Pos

Minggu, dengan penangungjawab Mursito Darsosaputro (Said, 1988:149).

Harian Sinar Indonesia memilih menghentikan penerbitannya, empat

bulan menjelang G 30 S/PKI. Tindakan ini diambil karena aksi yang

dilakukan oleh buruh penerbitan dan percetakannya, serta adanya indikasi

bahwa PKI telah menyusup ke dalam perusahaan (wawancara dengan Bp. K.

Soejoto, 31 Mei 2007). Sementara Harian Suara Merdeka tidak mengalami

pemberangusan, kemungkinan karena dilindungi oleh pihak militer di

Semarang. Suara Merdeka, sejak tahun pertama terbitnya mendapat

kehormatan dan kepercayaan sebagai satu-satunya surat kabar di Jawa Tengah

yang diambil langganan secara kolektif oleh Bagian Kesejateraan TERR-IV

(KODAM IV/Dipenogoro) sebanyak 1.000 eksemplar setiap harinya (Marza,

1995:52).

Pada tanggal 26 Maret 1965, Departemen Penerangan mengeluarkan

peraturan baru, yaitu Keputusan Menteri Penerangan No. 29/SK/M/65,

mengenai "Norma-norma Pokok Pengusahaan Pers dalam Rangka Pembinaan


88

Pers Indonesia". Berdasarkan ketentuan tersebut, semua surat kabar

diwajibkan mempunyai "gandulan" atau berafiliasi pada partai politik atau

organisasi massa yang diakui oleh pemerintah. Jadi sifatnya menutup peluang

bagi anggota masyarakat non partai untuk menrbitkan surat kabar atau

majalah umum. Tiap penerbitan pers harus mendapat pernyataan dukungan

resmi dari partai politik, atau organisasi massa atau Panca Tunggal (lima

pejabat tertinggi daerah). Di samping itu, susunan dewan redaksi penerbitan

bersangkutan pun harus mendapat pernyataan dukungan resmi dari "gandulan"

tersebut. Dalam kaitan pelaksanaan tanggung jawab atas penerbitan pers

tersebut, organisasi atau pihak yang mengeluarkan pernyataan dukungan

resmi tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas isi koran

bersangkutan. Untuk menyesuaikan diri dengan peraturan baru itu, pihak

penerbit diberi waktu tiga bulan sejak tanggal penetapan berlakunya (Said,

1988:150).

Sesudah diumumkannya Keputusan Menteri Penerangan tersebut,

Suara Merdeka mencari partai politik sebagai tempat berafiliasi. Karena

keadaan itu, pada tanggal 10 Agustus 1965, Suara Merdeka berafiliasi degan

Panca Tunggal Jawa Tengah. Hal ini dilakukan berdasarkan rekomendasi

Pangdam VII/Diponegoro Suryosupeno dan diperkuat rekomendasi Gubernur

Jawa Tengah (pada waktu itu Bapak Mochtar). Pada tanggal 14 Februari

1966, Suara Merdeka telah menjadi Harian Berita Yudha edisi Jawa Tengah.

Akhirnya setelah berlakunya Orde Baru, pada tanggal 11 Juni 1966, Suara

Merdeka menjadi harian independent kembali (Marza, 1995:57).


89

Di dalam mematangkan suasana kudeta gerakan 30 September nya,

PKI memanfaatkan pers dalam kampanye merebut simapti massa sebanyak

mungkin. Pers menampung ucapan-ucapan "psy-war" atau perang psikologis

yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh PKI, dan juga menampung isu-isu,

meskipun tidak jelas sumbernya tapi dianggap menguntungkan, untuk

disebarluaskan ke seluruh pelosok daerah. Tema-tema yang biasanya ditulis

oleh koran PKI, antara lain : bahwa golongan PKI adalah golongan yang

terbesar dan terkuat di Indonesia, bahwa situasi revolusioner sudah matang

dan sudah sampai ke puncaknya, bahwa untuk sampai pada tujuan yang

terakhir masih harus dipotong "kanker masyarakat", bahwa pada suatu ketika

nanti perjuangan akan berkobar membakar kemewahan hidup kaum koruptor,

pencoleng, kaum setan kota, kaum kabir, dan lain-lain (Soebagjo, 1977:127).

Pers komunis ini dalam melaksanakan ofensif revolusioner tidak

menemui rintangan yang berarti, karena pers dari ideologi lain sudah

"dijinakkan" dengan pelarangan BPS dan koran-koran pendukungnya

sedemikian rupa sehingga seolah-olah tidak memiliki suara perlawanan.

Hanya surat kabar militer saja, dalam hal ini Harian Berita Yudha dan

Angkatan Bersenjata, yang menjadi ujung tombak dan berhadapan langsung

dengan pers PKI.

Soebagjo I. N. mengemukakan, bahwa ada beberapa faktor yang

menyebabkan berhasilnya perjuangan pers PKI, yaitu :


90

1. Karyawan dan wartawan dari penerbitan pers PKI memiliki disiplin kerja

yang tinggi. Mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadinya untuk

memberi tempat kepada instruksi atasannya.

2. Wartawan dan karyawan dari penerbitan pers PKI pada umumnya

mendapat jaminan sosial dalam penghidupannya, di samping nafkah resmi

dari perusahaan masing-masing.

3. Hubungan dengan fungsionaris atau tokoh partai berlangsung sangat baik,

sehingga kemungkinan dapat dipercaya sebagai kader partai.

4. Dalam pekerjaannya, wartawan dan karyawan dari penerbitan pers PKI

diberi rencana kerja, sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk melakukan

sesuatu.

5. Faktor kekuasaan cukup kuat untuk menjadi daya dorong kerja serta

kesetiaan mereka yang sudah diatur oleh mereka yang duduk di

pemerintahan.

Perjuangan pers yang non-PKI bukan tanpa pengorbanan, besar atau

kecil, bagi Republik maupun bagi pers khususnya. Penyimpangan-

penyimpangan politik selama periode Demokrasi Terpimpin, yang dirangsang

oleh aksi-aksi radikal PKI, mengakibatkan kemunduran umum di dalam

negeri. Campur tangan luar negeri, seperti dukungan mendorong orang-orang

PKI ke posisi yang lebih sesat. Puncak dari penyimpangan itu adalah

pemberontakan yang gagal oleh G 30 S/PKI.


91

Pada tanggal 1 Oktober 1965 sore, Mayor Jenderal Umar

Wirahadikusumah, selaku Panglima Daerah Militer Jakarta Raya,

mengeluarkan surat perintah No. 10/Drt/10/1965 melarang semua penerbitan

pers tanpa ijin khusus, kecuali harian Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata,

dua surat kabar yang ditrbitkan oleh ABRI/TNI-AD untuk menandingi pers

PKI sejak ditutupnya koran-koran BPS oleh pemerintah. Dengan keluarnya

perintah tersebut, maka berarti sejak awal Oktober 1965, koran-koran PKI dan

pendukungnya di semua daerah di Indonesia tdak terbit lagi. Di Semarang,

surat kabar yang dilarang terbit sejak 1 Oktober 1965 adalah Gema Massa

(Said, 1988:163).

Menusul pelarangan terbit surat kabar PKI, berbagai pengurus cabang

PWI melakukan tindakan pemecatan terhadap anggota-anggota yang dinilai

terlibat G 30 S/PKI atau di masa Orde Lama berada satu kelompok dengan

pihak komunis. Di Semarang, sembilan wartawan Gema Massa dipecat dari

kepengurusan PWI pada tanggal 20 Oktober 1965 (Said, 1988:168).

Demikianlah perkembangan pers Semarang pada masa Demokrasi

Terpimpin yang sesungguhnya tidak terlepas dari situasi pers nasional secara

keseluruhan di tanah air. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah

bahwa di Semarang juga terjadi persaingan antara surat kabar yang pro PKI

dengan surat kabar yang anti PKI, tetapi persaingan itu lebih berwujud perang

kata-kata atau tulisan-tulisan di masing-masing surat kabar, tanpa diikuti

tindakan-tindakan yang mengarah ke pemukulan, penculikan, teror maupun

kekerasan yang lainnya.


92

Pada masa Demokrasi Terpimpin, wartawan Indonesia umumnya,

PWI khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila, tidak

terlepas dari latar belakang dan lahirnya gerakan kembali ke UUD 1945.

Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin

menciptakan UUD berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi,

karena kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol,

terurtama akibat agitasi propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar

pengaruhnya dalam rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila

semakin terdesak oleh konsep-konsep revolusi. Nasakomisasi ternyata justru

mengancam dasar negara Pancasila, UUD 1945, persatuan dan kesatuan

nasional serta keutuhan Republik Indonesia.


BAB V
PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan.

Pertama, pers di Semarang masa liberal hingga menjelang Dekrit Presiden 5 Juli

1959, pada umumnya telah menjadi organ partai tertentu. Suasana liberal yang

memberi kebebasan kepada siapapun untuk menulis dalam surat kabar,

menyebabkan kurang diindahkannya kode etik jurnalistik, apalagi ditambah

dengan persaingan antar partai, yang pada umumnya memiliki surat kabar sendiri,

sehingga persaingan antar surat kabar menjadi kurang sehat. Tekanan-tekanan

terhadap pers, yang meliputi penahanan, pemeriksaan, gugatan dan sebagainya

cenderung meningkat di penghujung jaman liberal ini. Pada masa Demokrasi

Liberal, di Semarang tercatat beberapa surat kabar yang terbit, yaitu : Harian Sin

Min, Kuang Po, Daulat Rakjat, Utusan Nasional, Tanah Air, Duta Masyarakat,

dan Suara Merdeka.

Kedua, ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikumandangkan oleh presiden

Soekarno, segera mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Surat kabar sebagai

barisan paling depan dalam penyebaran informasi memberikan tanggapan yang

bermacam-macam, meskipun pada intinya mendukung pernyataan dekrit presiden

itu. Pada umumnya surat kabar di Semarang mengingatkan pada besarnya

tanggung jawab yang ditimbulkan oleh tindakan kembali ke UUD 1945, yakni

keharusan mematuhi dan melaksanakan segala yang menjadi ketentuan dalam

UUD 1945.

93
94

Ketiga, pada masa Demokrasi Terpimpin, pers diatur secara ketat dan

harus berfungsi sebagai alat revolusi pemerintah. Berbagai peraturan perundang-

undangan dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin tercapainya maksud

tersebut. Surat kabar yang terbit di Semarang pada masa ini adalah Sinar

Indonesia, Gema Massa, Pos Minggu, dan Suara Merdeka. Tiap penerbitan

diwajibkan untuk menandatangani 19 pasal pernyataan, yang pada intinya

mengharuskan mereka untuk tunduk kepada pemerintah.

Upaya-upaya penguasaan opini publik dilakukan dengan mempengaruhi

bahkan menguasai organisasi-organisasi seperti PWI, LKBN Antara dan SPS,

dengan menempatkan kader-kadernya di masing-masing organisasi tersebut.

Selama periode Demokrasi Terpimpin ini pula berlangsung pertentangan yang

sengit antara pers PKI (Gema Massa) dengan pers yang anti PKI (Suara Merdeka,

Sinar Indonesia, dan Pos Minggu). Masing-masing pihak menyerang lawannya

melalui tulisan-tulisan di koran yang mereka miliki. Pertentangan lewat tulisan-

tulisan di koran ini seringkali sangat menarik bagi para pembaca.

Puncak dari pertentangan itu adalah pada tahun 1964, ketika PKI dengan

sangat aktif menggelorakan ofensif revolusionernya. Koran-koran yang anti PKI

membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) pada tanggal 1 September

1964. Simpatisan BPS di Semarang yaitu Suara Merdeka, Sinar Indonesia, dan

Pos Minggu. BPS dibubarkan oleh presiden Soekarno pada bulan Desember 1964

yang dilanjutkan dengan pembreidelan sejumlah surat kabar pendukung BPS pada

bulan Februari 1965. Di Semarang, koran yang terkena breidel adalah Pos

Minggu, sedangkan Sinar Indonesia memilih menghentikan penerbitannya ketika


95

menyadari adanya intervensi yang dilakukan oleh PKI ke dalam perusahaannya.

Sementara Suara Merdeka tidak mengalami pemberangusan, kemungkinan karena

dilindungi oleh pihak militer di Semarang.


DAFTAR PUSTAKA

Abar, Akhmad Zaini. 1995. Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Yogyakarta : LKiS.
Abdulgani, Roeslan. 1959. Kemerdekaan Pers Dalam Alam Demokrasi
Terpimpin. Jakarta : ANRI.
Alfian. 1985. Beberapa Masalah Pembaharuan Politik di Indonesia. Jakarta :
Rajawali.
Budiardjo, Miriam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Balai Pustaka.
Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Ekopriyono, Adi. 2005. 55 Tahun Mengabdi Untuk Jawa Tengah. Semarang :
Masscom Graphy.
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.
Harahap, Krisna. 2000. Kebebasan Pers di Indonesia dari Masa ke Masa.
Bandung : Grafitri.
Harahap, Parada. 1952. Serba Sedikit Tentang Ilmu Pers. Jakarta : Akademi
Wartawan Indonesia.
Joe, Liem Thian. 2004. Riwayat Semarang. Jakarta : Hasta Wahana.
Katoppo, Aristided. 1990. 80 Tahun Bung Karno. Jakarta : Sinar Harapan.
Koentjaraningrat. 1991. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
Martha, Ahmaddani dan Christianto W. 1984. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi
Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta : Sinar Bahagia.
Marza, Nila Fitri. 1995. Surat Kabar dan Surat Pembaca. Surakarta : Universitas
Sebelas Maret Press.
Muhammad, Djawahir. Semarang Sepanjang Jalan Kenangan. Semarang : Pemda
Dati II Semarang.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Notosoetardjo, H. A. 1964. Proses Kembali Kepada Djiwa Proklamasi 1945.
Jakarta : Lembaga Penggali dan Penghimpun Sejarah Revolusi Indonesia.
Notosusanto, Nugroho. 1985. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969.
Jakarta : Balai Pustaka.
Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid V dan VI. Jakarta : Balai Pustaka.
Oemar, Moechamad, dkk. 1994. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta :
Depdikbud.
Oetama, Jacob. 2001. Pers Indonesia. Jakarta : Gramedia.
Poerwadarminta. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

96
97

Raharjo, Imam T. K. dan Herdianto W. K. 2001. Bung Karno Wacana Konstitusi


dan Demokrasi. Jakarta : PT. Grasindo.
Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Sadono, Bambang. 1992. Semarang Kota Tercinta. Semarang : CV Padma
Grafika.
Said, Moch. 1963. Pedoman Untuk Amanat Penderitaan Rakyat. Surabaya :
Permata.
Said, Tribuana. 1988. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila.
Jakarta : PT. Saksama.
Said, Tribuana dan Moeljanto D. S. 1983. Perlawanan Pers Indonesia BPS
Terhadap Gerakan PKI. Jakarta : Sinar Harapan.
Serikat Penerbit Surat Kabar. 1971. Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia.
Jakarta : Serikat Penerbit Surat Kabar.
Shadily, Hasan. 1984. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru.
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1988. Soekarno, Pemikiran Politik dan Kenyataan
Praktek. Jakarta : Rajawali Press.
Smith, Edward C. 1983. Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia. Jakarta :
Grafitri Press.
Soebagjo, I. N. 1977. Sejarah Pers Indonesia. Jakarta : Dewan Pres.
----------. 1981. Jagat Wartawan Indonesia. Jakarta : Gunung Agung.
Sumanang. 1952. Beberapa Soal Tentang Pers dan Djurnalistik. Jakarta : Balai
Pustaka.
Surjomihardjo. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia.
Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.
Suwardi, Harsono. 1993. Peranan Pers dalam Politik di Indonesia. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Tedjo, Sasongko, dkk. 2003. Memahami dan Memaknai Kebebasan Pers (Buku
Putih PWI Jateng). Semarang : Masscom Graphy.
Widjaja, A. W. 1989. Dekrit Presiden 5 Juli 1959. dan UUD Negara Indonesia
dalam Lintasan Sejarah Dua Dasawarsa 1945-1965. Jakarta : Fajar
Agung.
Yayasan Karyawan Suara Merdeka. 1985. Hetami, Kewartawanan, Pers, dan
Suara Merdeka. Semarang : Yayasan Karyawan Suara Merdeka.
98

Surat Kabar :
Gema Massa, 1964. Di dalam Sukarnoisme Ada Penumpang Gelap. 280. 12
Desember. Hal 1.
Sinar Indonesia, 1964. Andjuran Menpen dan Djaksa Agung Pada Pers. 219. 29
September. Hal 1.
Suara Merdeka, 1959. Kembalinya UUD 1945. 191. 10 Juli. Hal 1.
---------, 1959. Dekrit Presiden dan Lahirnya Kabinet Kerja Suatu Kemenangan.
197. 16 Juli. Hal 1.
---------, 1964. Sebarluaskan Adjaran-adjaran Bung Karno. 236. 16 November.
Hal 2.
---------, 1964. BPS Bukan Organisasi Gelap. 237. 17 November. Hal 1.
---------, 1964. Belajar Memahami Sukarnoisme. 238. 23 November. Hal 3.
---------, 1964. DPP PNI Desak Presiden Bubarkan BPS. 248. 11 Desember. Hal
1.
---------, 1964. BPS Dilarang. 255. 18 Desember. Hal 1.
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Gedung Pers
Semarang..............................................................................................
2. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Perpustakaan
dan Arsip Suara Merdeka....................................................................
3. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Perpustakaan
Museum Pers Solo...............................................................................
4. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Kantor Berita
Antara Semarang................................................................................
5. Surat Ijin Penelitian dari UNNES untuk Kepala Badan Arsip
Daerah Semarang................................................................................
6. Surat kabar Suara Merdeka tanggal 11 Desember 1964.....................
7. Surat kabar Sinar Indonesia tanggal 29 September 1964...................
8. Surat kabar Gema Massa tanggal 12 Desember 1964........................
9. Contoh tulisan Belajar Memahami Soekarnoisme yang dimuat
dalam surat kabar Suara Merdeka tanggal 11 Desember 1964...........
10. Surat kabar Angkatan Bersendjata tanggal 11 Oktober 1965............
11. Instrumen Wawancara.......................................................................
12. Daftar Informan..................................................................................

‫ك‬
110

DATA INFORMAN

1. Nama : Muhammad Soebandrijo


Tempat/Tanggal Lahir : Solo, 15 Agustus 1942
Alamat : Jl. Sawonggaling Timur 48 Banyumanik, Semarang
Pengalaman : - Tahun 1962-1965 di Surat Kabar Pos Minggu Semarang
- Tahun 1965-1992 di Harian Kartika Semarang
- Tahun 1992-1996 di Mingguan Bahari Semarang
- Tahun 1996-sekarang di Surat Kabar Inspirasi Semarang

2. Nama : Muhammad Zuhdi


Tempat/Tanggal Lahir : Kudus, 28 September 1932
Alamat : Jl. Lamongan III/52 Semarang
Pengalaman : - Tahun 1962-1965 di Surat Kabar Pos Minggu Semarang
- Tahun 1969-1987 di Mingguan Koran Minggu
- Tahun 1987-1992 di Mingguan Surabaya Minggu
- Tahun 1992-1998 di Mingguan Bahari Semarang

3. Nama : Kusatya Soejoto


Tempat/Tanggal Lahir : Purwodadi, 25 Juli 1937
Alamat : Jl. Tegalsari Sendang I No. 73 Semarang
Pengalaman : - Tahun 1963-1965 di Harian Sinar Indonesia
- Tahun 1965-1979 di Harian Angkatan Bersenjata
- Tahun 1979-1998 di Mingguan Bina Semarang

4. Nama : Sutrisna
Tempat/Tanggal Lahir : Banyumas, 21 Oktober 1943
Alamat : Jl. Kendeng Barat III No. 24 Semarang
Pengalaman : Aktif di Suara Merdeka sejak tahun 1963
109

DAFTAR PERTANYAAN

1. Koran apa sajakah yang pernah terbit di Semarang pada masa Demokrasi
Terpimpin tahun 1959-1965? Dimanakah alamat dari masing-masing koran
tersebut?
2. Bagaimanakah kondisi umum perusahaan-perusahaan surat kabar di Semarang
antara tahun 1959-1965?
3. Bagaimanakah suasana persaingan antar koran pada masa Demokrasi
terpimpin?
4. Apakah yang menjadi kendala bagi koran-koran pada waktu itu?
5. Bagaimanakah kondisi umum para wartawan waktu itu? Apakah ada syarat
khusus untuk menjadi seorang wartawan?
6. Bagaimanakah sikap koran-koran dan wartawan sehubungan dengan adanya
Manipolisasi pers?
7. Kekuatan-kekuatan politik (partai politik) apa sajakah yang berpengaruh di
Semarang? Bagaimanakah aktivitas koran-koran partai?
8. Bagaimanakah sikap PWI Semarang dalam menghadapi situasi politik yang
tengah berlangsung, khususnya yang menyangkut kehidupan pers (wartawan)
di Semarang?
9. Dari manakah koran-koran di Semarang memperoleh berita?
10. Adakah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat mendirikan percetakan
surat kabar dan menerbitkan koran?

Anda mungkin juga menyukai