Anda di halaman 1dari 95

OERIP SOEMOHARDJO, PERANANNYA DALAM

PEMBENTUKAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)


TAHUN 1945-1948

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah


pada Universitas Negeri Semarang

Oleh
Tito Akhbarriyanto
3114000042

FAKULTAS ILMU SOSIAL


JURUSAN SEJARAH
2005
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang

Panitia Ujian Skripsi pada :

Hari :

Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. A. J. Sumarmo Dra. Santi Muji Utami, M.Hum


NIP. 130340222 NIP. 131876210

Mengetahui,

Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman, M. Hum


NIP. 131764053

2
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan sidang Panitia Ujian Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Penguji

Drs. Ba’in, M.Hum.


NIP.131876207

Anggota I Anggota II

Drs. A. J. Sumarmo Dra. Santi Muji Utami M.Hum


NIP. 130340222 NIP. 131876210

Mengetahui,
Dekan

Drs. Sunardi, M.M.


NIP. 130367998

3
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau tulisan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Oktober 2005

Tito Akhbarriyanto
NIM. 3114000042

4
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

¾ Seorang pemimpin yang tidak mengemukakan apa yang terkandung di dalam

hati rakyat, sama dengan seorang Jenderal tanpa tentara di padang pasir.

¾ Murni dan Berani (Jenderal Oerip Soemohardjo)

¾ Kemewahan adalah permulaan keruntuhan. Kesenangan melupakan tujuan.

Iri hati merusak persatuan. Keangkaramurkaan menghilangkan kejujuran.

(Jenderal Sudirman)

Persembahan:

Atas Rakhmat Allah SWT

Karya ini kupersempahkan kepada

¾ Kedua orangtuaku, terima kasih

doanya

¾ Adik-adikku Dian, Dina, Meri; terima

kasih atas semangatnya

¾ Galuh Citrasari terima kasih atas

semangat dorongan dan cintanya

¾ Almamaterku

5
PRAKATA

Tuhan Yang Maha Kuasa dengan keluasan ilmunya yang tiada tara telah

menyajikan berbagai misteri kehidupan yang harus kita kuak. Semoga apa yang

telah penulis kaji ini adalah salah satu jawaban atas berbagai misteri yang

disajikannya. Puji syukur atas Taufik dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga

skripsi ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tersusunnya

skripsi ini bukan hanya atas kemampuan dan usaha penulis semata namun juga

berkat bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:

1. Dr. H. A. T. Soegito, S.H, M.M, Rektor UNNES yang telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di jurusan Sejarah.

2. Drs. Sunardi, M.M. Dekan FIS atas bantuannya dalam memberikan ijin untuk

melakukan penelitian.

3. Drs. Jayusman, M.Hum, Ketua Jurusan Sejarah yang telah memberikan

bantuan dalam proses penyusunan ijin penelitian.

4. Drs. A.J. Sumarmo, Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran telah

memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi ini.

5. Dra. Santi Muji Utami, M.Hum, Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran

telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam

penyusunan skripsi ini.

6
6. Drs, Ba’in, M.Hum, Dosen Penguji yang telah membantu dalam

penyempurnaan skripsi ini sehingga menjadi karya ilmiah yang bermanfaat.

7. Kepada Bapak/ Ibu dosen di lingkungan jurusan Sejarah FIS UNNES yang

telah memberikan segenap ilmunya kepada penulis selama penulis kuliah di

UNNES.

8. Bapak, Ibu, Mas dan Mbak karyawan dan karyawati FIS dan pada khususnya

Jurusan Sejarah.

9. Kepala Musium Pusat TNI AD Dharma Wiratama Yogyakarta dan Kepala

Musium Mandala Bakti Semarang yang telah mengijinkan untuk mencari

referensi yang penulis butuhkan.

10. Angkatan 2000, thanks atas suport kalian. Persahabatan kita memang yang

paling indah.

11. Anak-anak Star comp dan warung SKAK. Terima kasih banyak.

12. Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu

Semoga amal baik saudara mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Amien..

Semarang, Oktober 2005

Penulis

7
SARI

Tito Akhbarriyanto. 2005. Oerip Soemohardjo, Peranannya Dalam


Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Tahun 1945-1948. Jurusan
Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. 89 halaman.

Kata Kunci: Oerip Soemohardjo, Pembentukan, Tentara Nasional Indonesia


Negara merdeka tidak mungkin tanpa adanya tentara. Sebab tanpa adanya
tentara, keamanan, ketertiban, dan stabilitas dalam negera tidaklah dapat terjamin.
Indonesia baru saja memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka terlepas
dai penjajahan, maka harus segera membentuk dan mempunyai tentara untuk
mempertahankan kemerdekaan tersebut dan menjamin keselamatan ketentraman
umum. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, Presiden mengeluarkan
maklumat yang isinya bahwa Indonesia akan segera membentuk Tentara
Kemanan Rakyat dan Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo diberi
tugas untuk menyusun TKR hingga akhirnya menjadi TNI.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah latar belakang
kemiliteran Oerip Soemohardjo? Langkah-langkah Oerip Soemohardjo dalam
pembentukan TNI? Serta bagaimana hasil yang dicapai dalam pembentukan TNI.
Dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan penunjukan mayor
Oerip Soemohardjo untuk menyusun Tentara, selain itu juga untuk mengetahui
langkah-langkah yang dilakukannya dalam membentuk Tentara, serta untuk
mengetahui hasil dari pembentukan tentara dari TKR sampai TNI.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan pendekatan kualitatif.
Metode sejarah dilakukan dengan tahapan-tahapan, yaitu: Heuristik (mencari dan
mengumpulkan jejak-jejak peristiwa sejarah). Kritik sumber yaitu dengan kritik
ekstern dan kritik intern. Interpretasi (menghubungkan satu fakta dengan fakta
lain). Historiografi (penulisan cerita sejarah). Sedangkan yang menjadi sumber
dalam penelitian ini adalah sumber kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa TNI lahir dari bawah,
yakni dari rakyat yang menginginkan kemerdekaan yang telah diraih dapat
dipertahankan. Rakyat membentuk laskar-laskar perjuangan yang kemudian oleh
pemerintah dilebur dalam Badan keamanan Rakyat (BKR). Seiring dengan
kebutuhan adanya tentara dalam suatu ngara maka tanggal 5 Oktober 1945,
Presiden mengesahkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Mayor Oerip
Soemohardjo dipercaya untuk menyusun organisasi tentara tersebut dan susunan
tersebut berpola sama dengan susunan Departemen Perang Hindia-Belanda yang
terdiri atas Komandemen dan Divisi. Melalui pertimbangan yang matang, maka
Markas Tertinggi TKR (MTTKR) membentuk 3 Komandemen di Jawa dengan 10
Divisi dan 1 Komademen di Sumatera dengan 6 Divisi. Tanggal 7 Januari 1946,
dalam rangka penyempurnaan tentara, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah
menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), namun tidak berapa lama nama
tersebut berganti lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada masa TRI
ini Oerip Soemohardjo kembali merubah susunan organisasinya. Hal ini dilakukan
untuk mengefisiensi kerja. Komandemen sudah tidak ada lagi dan jumlah divisi
dikurangi. Di hanya ada 7 Divisi sedangkan di Sumatera masih tetap 6 Divisi.

8
Untuk semakin menyempurnakan organisasi tentara dan untuk menggabungkan
laskar-laskar perjuangan yang tidak mau meleburkan diri dalam tubuh TRI, maka
pemerintah membentuk panitia Reorganisasi Tentara yang diketuai langsung oleh
Presiden. Tanggal 3 Juni 1947 ditetapkan hasilnya yakni bahwa seluruh Angkatan
Perang Indonesia baik TRI maupun laskar-laskar perjuangan dimasukan serentak
kedalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah TNI terbentuk maka di
Indonesia sudah tidak ada lagi dualisme kekuatan bersenjata. Sekarang hanya ada
satu pasukan bersenjata di Indonesia yang siap menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yakni Tentara Nasional Indonesia. Dan
terbentuknya TNI tidak bisa dilepaskan pada peran aktifnya Letnan Jenderal Oerip
Soemohardjo, seorang Purnawirawan KNIL yang mengabdikan dirinya untuk
tanah airnya tercinta.

9
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................... iii

PERNYATAAN............................................................................................. iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................ v

PRAKATA ..................................................................................................... vi

SARI ............................................................................................................... viii

DAFTAR ISI.................................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .......................................................................... 7

C. Tujuan Penulisan............................................................................... 8

D. Manfaat Penulisan............................................................................. 8

E. Ruang Lingkup Kajian ...................................................................... 8

F. Metode Penelitian ............................................................................. 10

G. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 13

H. Sistematika Penulisan Skripsi ........................................................... 16

BAB II KEHIDUPAN KEMILITERAN OERIP SOEMOHARDJO ...... 18

A. Masa Sekolah ................................................................................... 19

B. Perwira KNIL................................................................................... 22

10
1. Masa Bertugas........................................................................... 23

2. Perwira KNIL, Jiwa Inlander.................................................... 26

C. Menjelang Proklamasi...................................................................... 28

BAB III UPAYA OERIP SOEMOHARDJO DALAM PEMBENTUKAN

TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)................................... 31

A. Proses Terbentuknya TNI ............................................................... 32

B. Langkah-langkah Oerip Soemohardjo dalam Penataan TNI .......... 39

1. Langkah Penyusunan Organisasi .............................................. 40

2. Langkah Pemajuan Personil...................................................... 51

C. Konsolidasi dan Pemantapan TNI................................................... 54

BAB IV PROSES PENATAAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)

A. Faktor Pendorong dan Penghambat dalam Pembentukan Tentara

Nasional Indonesia (TNI)................................................................ 58

1. Pendorong Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ... 58

2. Penghambat Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). 60

B. Hasil Penataan Tentara Nasional Indonesia (TNI).......................... 63

C. Kekecewaan-kekecewaan di Masa Akhir ....................................... 67

BAB V PENUTUP

Simpulan ............................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

11
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Biografi Jenderal Oerip Soemohardjo ....................................... 78

Lampiran 2. Struktur Organisasi BKR tahun 1945......................................... 81

Lampiran 3. Struktur Organisasi TKR tahun 1945 ......................................... 82

Lampiran 4. Struktur Organisasi TRI tahun 1946........................................... 83

Lampiran 5. Struktur Organisasi TRI tahun 1947........................................... 84

12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanggal 6 Agustus 1945 bom Atom pertama Amerika Serikat

dijatuhkan di kota Hiroshima, dan disusul jatuhnya bom Atom kedua di kota

Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Melihat hal itu, Panglima Angkatan

Perang Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Saigon, Jendral

Terauchi, yakin Jepang sudah mendekati kekalahan. Oleh sebab itu ia

mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia akan merdeka sebagai anggota

Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Untuk itu ia memanggil Bung

Karno, Moh . Hatta, dan Dr. Radjiman Widyoningrat datang ke Saigon untuk

menerima petunjuk tentang kemerdekaan (Sumarmo, 1991:73). Dengan

menyadari keadaan yang sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan

pertempuran, Jepang pada tanggal 15 Agustus 1845 menyerah tanpa syarat

kepada Sekutu.

Atas kekalahan Jepang tersebut dan sementara tentara Sekutu belum

datang maka mata rantai penjajahan di Indonesia terputus. Hal ini tidak disia-

siakan oleh para pejuang Indonesia untuk memproklamasikan diri sebagai

bangsa dan negara yang merdeka terbebas dari segala bentuk imperialisme dan

kolonialisme. Pada tanggal 16 Agustus 1945 di rumah Laksmana Muda

Maeda, di jalan Imam Bonjol No 1 Jakarta diadakan pertemuan yang dihadiri

anggota PPKI yang berjumlah 21 orang yang terdiri 12 orang atas wakil dari

Jawa yaitu Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Dr. Rajiman, Otto Iskandardinata, Wachid

113
Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Suryomiharja, sutarjo Karthodikusumo, RP.

Suroso, Prof. Supomo, Abdulkadir, dan Purboyo. Tiga orang wakil dari

Sumatera yakni Dr. Amir, Teuku Moh. Hasan, dan Abdul Abas. Kemudian

dua orang utusan Sulawesi dan masing-masing satu orang wakil golongan

Cina, wakil Kalimantan, Maluku, dan Sumba kecil. Sedangkan enam orang

anggota yang ditunjuk tanpa sepengetahuan Jepang yaitu Wiranatakusumah,

Ki Hajar Dewantara, Kasman Singadimeja, Sayuti Melik, Iwa

Kusumasumantri, dan Ahmad Subarjo. (Moh Yamin dalam Sumarmo, 1991 :

77). Pertemuan ini menghasilkan suatu keputusan yang penting bagi

kehidupan bangsa Indonesia, yakni rumusan teks Proklamasi yang dibacakan

esok paginya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tepat pada pukul 10.00 di rumah

Ir. Soekarno, jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta teks yang telah

dirumuskan tersebut dibacakan oleh Ir. Soekarno didampingi Moh. Hatta

Proklamasi sebagai titik kulminasi yang menandai Indonesia telah

merdeka. Namun Jepang yang masih berada di Indonesia juga masih berkuasa

atas nama Sekutu untuk menjaga keadaan dan ketertiban bangsa Indonesia

sampai Sekutu datang di Indonesia. Bagi Indonesia, Proklamasi kemerdekaan

pada hakekatnya merupakan komando revolusi untuk merebut kekuasaan dari

tangan Jepang, baik kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan atas alat-alat

perlengkapan negara. Untuk keperluan itu proklamasi kemerdekaan telah

memberikan petunjuk secara jelas, seperti yang tercantum pada kalimat kedua

teks proklamasi yang berbunyi : “Hal-hal yang mengenai pemindahan

kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam

tempo yang sesingkat-singkatnya.” Kalimat itu mengandung makna bahwa

14
perebutan kekuasaan dan lain-lainnya dari tangan Jepang hendaknya

dilakukan dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Hal itu dilakukan dengan

tujuan agar dapat berhasil dengan baik dan sedapat mungkin menghindarkan

terjadinya pertumpahan darah. (Sumarmo, 1991: 82-83)

Proklamasi itu sendiri mempunyai makna :

1. Lahirnya negara dan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat

2. Dimulailah babakan baru revolusi Indonesia, karena dengan Proklamasi ini

terjadi perubahan besar-besaran yang sangat mendasar, ialah pemindahan

kekuasaan dari penjajah kepada negara yang merdeka, yang dilaksanakan

dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

3. Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 ini, maka terlepaslah semua ikatan

janji kemerdekaan pemerintahan Jepang seperti yang semula

direncanakan. Jepang ternyata hanyalah merupakan salah satu mata rantai

dari jalan yang harus dilalui untuk lahirnya sebuah negara baru Indonesia,

yang merdeka dan berdaulat. (Tjokropanolo,1993: 40)

Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jepang

membubarkan Peta dan Heiho, dan senjata yang berada ditangan Peta dan

Heiho wajib dikembalikan kepada pihak Jepang. (Sulistyo, 1985 : 9). Tetapi

Peta di Karesidenan Banyumas menolak untuk menyerahkan senjatanya

kepada Jepang. Pada tanggal 9 September 1945, dengan melalui jalan

perundingan yang dipimpin oleh Daidancho Soedirman, pihak Jepang bersedia

menyerahkan seluruh senjata yang berada di karesidenan Banyumas kepada

PETA. Tindakan tersebut kemudian diikuti oleh berbagai daerah di Jawa

Tengah.

15
Situasi yang semakin genting mendorong pemerintah pada tanggal 22

Agustus 1945 membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Dan pada tanggal

5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang pembentukan

Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berbunyi sebagai berikut:

MAKLUMAT PEMERINTAH

Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu


Tentara Keamanan Rakyat

Jakarta, 5 Oktober 1945


Presiden Republik Indonesia

Soekarno
(Tjokropanolo, 1993: 59)

Sebagai upaya untuk menghindarkan jangan sampai pemerintah

Indonesia berhadapan langsung dengan pasukan-pasukan Inggris, maka

tanggal 5 Oktober 1945 barulah Tentara Keamanan Rakyat dibentuk.

Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo dipanggil pemerintah untuk

menerima tugas penting perihal pembentukan TKR. Dan ketika pembentukan

TKR diumumkan maka ia telah diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai

Kepala Staf Umum yang bertugas menyusun organisasi TKR dan membentuk

Markas Tinggi TKR (MTTKR). Melalui Komite Nasional Indonesia Pusat,

dikeluarkanlah sebuah keputusan agar bekas prajurit Peta, Heiho, Barisan

Pemuda, prajurit Hindia-Belanda dan lain-lainnya segera mendaftarkan diri

menjadi anggota TKR.

Ribuan pemuda mendaftarkan diri menjadi anggota tentara sebagai

penegak kemerdekaan. Dan tidak ketinggalan para anggota eks-Peta, Heiho,

(Koninklijk Nederlands Indische Leger) KNIL, pelajar tergugah mendaftarkan

16
diri menjadi TKR yang bertujuan ingin membaktikan diri karena menganggap

setelah menjadi anggota BKR maka secara otomatis menjadi anggota TKR.

Hanya satu tujuan mereka yakni membaktikan dirinya bagi usaha

mempertahankan kemerdekaan dan menentang penjajahan kembali Indonesia.

(Tjokropanolo, 1993: 59-60)

Ketika keadaan Indonesia semakin genting karena berbagai insiden-

insiden baik pertempuran melawan Jepang ataupun Sekutu. Ditambah lagi

Belanda yang datang ke Indonesia dengan cara membonceng Sekutu mulai

berani melakukan aksi teror disekitar Jakarta, maka pemerintah menunjuk

Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo untuk menjadi Kepala Staff

Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Bersama dengan rekannya

Letnan Kolonel Purbonegoro, Kapten Samijo, Kapten Sudibyo, Letnan Didi

Kartasasmita, Letnan Suryosularso, Letnan Suryadarma, dan lain-lain, ia

mulai melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Sejak saat itulah ia

berada ditengah-tengah mereka yang telah mempersatukan segala tekad dan

mempertaruhkan jiwa raganya untuk tanah pusaka, tanah air tercinta.

Tugas berat telah menanti Oerip Soemohardjo karena ia harus mulai

dari nol untuk dapat membentuk suatu organisasi ketentaraan yang

professional dan sesuai dengan standar internasional. Ditambah pada tanggal

1 November 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat yang menyebutkan

bahwa untuk mempertahankan keamanan dan kemerdekaan bukan monopoli

tentara saja. (Tjokropanolo, 1993: 62). Dari maklumat tersebut, maka semakin

suburlah pasukan-pasukan bersenjata sehingga banyak partai politik dalam

memperkuat kedudukannya mempunyai organisasi kesatuan bersenjata

17
sebagai “onderbouw”nya. Jumlahnyapun semakin menjamur dan semakin

lama semakin sering menimbulkan masalah-masalah yang mengarah pada

perpecahan. Hal ini disebabkan oleh karena latar belakang sosial, golongan,

idiologi, agama yang beda daripada organisasi bersenjata yang ada dibawah

partai-partai politik itu. Selain itu, salah satu pemicu konflik yang mengarah

pada perpecahan tersebut disebabkan kurangnya komunikasi sehingga Belanda

dan Sekutu dapat melakukan perang urat saraf dengan cara adu domba untuk

meruntuhkan wibawa TKR.

Maka Markas Tertinggi TKR pada tanggal 6 Desember 1945,

mengeluarkan maklumat mengenai pendirian TKR, ketetapan laskar

perjuangan, dan organisasi perjuangan lainnya. Maklumat ini mengintruksikan

agar masing-masing tidak boleh bertindak sendiri-sendiri, tidak ada rasa saling

mencurigai dan saling fitnah. Selain itu setiap organisasi perjuangan agar

melakukan koordinasi dengan Markas Tertinggi TKR dan melaporkan

mengenai rencana organisasi, asas dan tujuan, jumlah anggota dan

persenjataan, dan lain-lainnya yang dianggap penting. (Disjarahad, 1985: 20).

Berbagai persoalan terus muncul pada saat pembentukan tentara

nasional yang mana perlu perhatian serius agar upaya pencapaian keamanan

dan ketertiban masyarakat terwujud, serta mempertahankan kemerdekaan

yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 tersebut.

Untuk itulah diperlukan seorang yang mampu untuk membentuk dan

menyatukan oraganisasi tentara yang dalam hal ini adalah TKR. Dan disinilah

tugas berat Letnan Jendral Oerip Soemohardjo dan Jendral Sudirman yang

lebih dikenal sebagai Dwi-Tunggalnya TNI yang telah diberi kepercayaan

18
oleh pemerintah untuk membentuk dan menyusun tentara nasional yang

profesional

Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan mengadakan pengkajian

yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi dengan judul “Oerip

Soemohardjo, Peranannya dalam Pembentukan Tentara Nasional

Indonesia (TNI) Tahun 1945-1948”

B. Permasalahan

Dari uraian yang telah dituliskan diatas, maka dapat dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana latar belakang kehidupan kemiliteran Oerip Soemohardjo?

2. Bagaimana langkah-langkah yang dilakukan Oerip Soemohardjo dalam

pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)?

3. Bagaimana hasil yang dicapai oleh Oerip Soemohardjo dalam

pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)?

C. Tujuan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui alasan penunjukan Oerip Soemoharjo untuk menyusun

Tentara Nasional Indonesia (TNI).

2. Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan Oerip Soemohardjo

dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

19
3. Untuk mengetahui hasil yang dicapai Oerip Soemohardjo dalam

pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

D. Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Dapat memperkaya khasanah mengenai ilmu sejarah terutama sejarah

militer khususnya sejarah berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2. Dapat menambah materi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada umumnya

dan sejarah Indonesia pada khususnya

3. Dapat dijadikan salah satu bahan perbandingan apabila ada penelitian yang

sama diwaktu-waktu mendatang.

E. Ruang Lingkup Kajian

Agar dalam pembahasan tidak terjadi kesimpangsiuran dan mudah

diuraikan secara jelas serta sistematis, maka perlu adanya pembatasan dalam

membahas suatu permasalahan. Oleh karena itu dalam penulisan ini perlu

dibatasi ruang lingkup kajiannya. Ruang lingkup ini meliputi :

1. Skup Tematikal

Skup ini merupakan pembatasan agar dalam penulisan tidak

keluar dari tema yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam penulisan

mengambil tema tentang Sejarah Militer dan yang dibahas dalam

penulisan ini mengenai peranan Oerip Soemohardjo dalam rangka

membentuk Tentara Nasional Indonesia yang mantap dan professional.

2. Skup Spatial

20
Skup spatial dalam penelitian ini yaitu mengadakan pembatasan

wilayah yang menjadi objek dan peristiwa yang terjadi. Dalam penulisan

ini untuk wilayahnya adalah tempat dimana Oerip Soemohardjo menyusun

TNI di Yogyakarta. Dan juga beberapa daerah seperti Purworejo,

Magelang, Jakarta, Kalimantan.

3. Skup Temporal

Skup temporal yaitu yang berhubungan dengan kurun waktu

atau kapan peristiwa itu terjadi. Dalam penulisan ini yang diambil adalah

kurun waktu tahun 1945 sampai dengan tahun 1948. Tahun 1945

merupakan awal dari Oerip Soemohardjo mulai menyusun dan membentuk

Tentara Nasional Indonesia. Dan tahun 1948 digunakan sebagai akhir dari

kegiatan Oerip Soemohardjo di dalam dunia kemiliteran yang disebabkan

meninggal dunia

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah. Metode

sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan

peninggalan sejarah masa lampau (Gottschalk, 1975: 32). Dengan adanya

penelitian berdasarkan metode tersebut diharapkan dapat menghasilkan

penulisan ilmiah dengan suatu kegiatan yang obyektif, sistimatis dan logis.

Dalam penulisan skripsi menggunakan pendekatan secara historis yang

21
uraiannya bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian ini membuat

rekonstruksi masa lampau secara sistimatis dan obyektif dengan cara

mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan bukti-

bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat

(Suryabrata,1998:6)

Adapun langkah-langkah dalam metode sejarah meliputi, heuristik,

kritik sumber, interprestasi, dan historiografi.

1. Heuristik

Heuristik yaitu menghimpun jejak-jejak masa lampau atau

kegiatan untuk mencari sumber. Jejak masa lampau dapat berupa sumber

tertulis dan benda-benda peninggalan masa lampau. Selain sumber-sumber

primer ada juga sumber yang bersifat sekunder. Hal ini tidak dapat

dipungkiri karena seringkali kita harus menggunakan atau bertumpu pada

karya-karya bukan dari tangan pertama yang digunakan sebagai sumber.

Dalam menghimpun data, penulis menggunakan metode

kepustakaan. Metode kepustakaan dilakukan untuk mencari koleksi yang

ada di perpustakaan dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang

relevan dengan topik penelitian. Sumber tersebut kemudian diseleksi dan

diambil yang mempunyai kesesuaian dengan topik penelitian. Untuk

mendapatkan sumber-sumber tersebut yang berupa buku-buku, dokumen,

dan arsip, peneliti mendatangi tempat-tempat sebagai berikut :

a. Perpustakaan Unnes

b. Perpustakaan Jurusan Sejarah Unnes

c. Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah

22
d. Museum Mandala Bhakti Semarang

e. Museum Pusat TNI Angkatan Darat Yogyakarta.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber adalah penilaian atau tahap pengujian terhadap

sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan dan dilihat dari sudut

pandang nilai kebenaran. Pada tahap ini yang dilakukan adalah dengan

melihat kembali apakah sumber itu sesuai atau tidak, sumber asli atau

turunan. Kritik sumber terbagi menjadi dua yaitu ;

a. Kritik ekstern

Kritik ekstern dilakukan terutama untuk menentukan apakah

sumber tersebut merupakan sumber asli yang dibutuhkan atau tidak,

apakah sumber tersebut sesuai dengan aslinya (bukan turunan),

apakah sumber tersebut utuh atau telah diubah-ubah (Widja, 1988:22).

Kritik ekstern meliputi penemuan kata, jika bahan sumber itu asli dan

memiliki integritas. Dalam hal ini untuk mengecek apakah dokumen

itu asli atau tidak benar-benar sesuai dengan yang ditulis. Untuk itu

perlu adanya pertanyaan-pertanyaan: kapan sumber itu dibuat, siapa

yang membuat dan bagaimana bentuk asli dari bentuk tersebut.

b. Kritik intern

Kritik intern yaitu kritik yang menilai apakah sumber, dilihat

dari isinya apakah relevan dengan permasalahan yang ada dan

dapatkah dipercaya kebenarannya. Terlebih untuk sumber sekunder,

karena sumber sekunder biasanya sudah mendapatkan unsur

interpretasi penulis yang tidak mustahil ada unsur-unsur subyektifitas

23
dari penulis meskipun dalam skala yang kecil. Kritik intern dilakukan

dengan membandingkan beberapa penafsiran dari beberapa buku pada

data yang diperoleh

3. Interprestasi

Pada tahap ini data atau fakta-fakta yang telah diperoleh perlu

dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan satu sama lain sehingga antara

fakta yang satu dengan yang lain kelihatan sebagai satu rangkaian yang

masuk akal dalam arti mewujudkan kesesuaian. Usaha untuk mewujudkan

rangkaian yang bermakna inilah yang menyebabkan sejarawan membuat

intepretasi terhadap fakta. Dalam proses ini tidak semua fakta sejarah

dapat dimasukkan, tetapi harus dipilih mana yang relevan dan mana yang

tidak relevan.

Setelah melakukan kritik sumber, kemudian dilakukan analisis

data yaitu proses penyusunan data akan dapat ditafsirkan. Menyusun data

berarti menggolongkannya dalam pola atau kategori. Untuk memberikan

makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori dan mencari

hubungan antara berbagai konsep.

4. Historiografi

Merupakan tahap penulisan sejarah, dalam hal ini akan disajikan

dalam bentuk tulisan yang disusun secara kronologis yaitu dari Oerip

Soemohardjo masih kecil, kemudian ketika Oerip Soemohardjo masuk

dinas militer KNIL, menjadi kepala staf TKR, upaya-upaya dalam

pembentukan TKR, hambatan dan dorongan dalam penataan TKR, hingga

Oerip Soemohardjo meninggal dunia.

24
G. Tinjauan Pustaka

Buku Oerip Soemohardjo karangan Drs. Amrin Imran, tahun terbit

1983. Buku ini sangat membantu dalam penulisan skripsi ini. Dalam buku ini

dibahas riwayat kehidupan Oerip Soemohardjo dari kecil sampai ia menjadi

Kepala Staf TKR hingga akhirnya meninggal dunia. Disini juga dibahas

bagaimana liku-liku kehidupan Oerip Soemohardjo semasa masih muda

hingga masuk pendidikan militer dan menjadi perwira KNIL. Beliau

kemudian mengundurkan diri karena dianggap melakukan tindakan

indisipliner oleh Departemen Perang Belanda terhadap bupati Purworejo.

Selain itu, pada bagian lain juga dibahas juga bagaimana Oerip Soemohardjo

yang sebelumnya sebagai Perwira KNIL. Padahal KNIL merupakan produk

tentara buatan Belanda. Setelah Indonesia merdeka ia dipanggil pemerintah

Indonesia untuk membentuk organisasi tentara Indonesia. Dalam bab lain juga

dijelaskan bagaimana rintangan-rintangan yang dialami Oerip Soemohardjo

selama ia membentuk dan menata TKR menjadi sebuah organisasi ketentaraan

yang profesional.

Kelebihan dari buku ini adalah cara penulisan yang kronologis

sehingga mudah dipelajari dengan baik. Peristiwa-peristiwa sejarah ini dapat

digunakan sebagai pembanding bagi Generasi muda dalam rangka

kemerdekaan. Kekurangan buku ini adalah kurang terperincinya kegiatan yang

dilakukan Oerip Soemohardjo pada saat menjadi perwira KNIL dan tidak

dijelaskan apa yang dilakukan Oerip Soemohardjo pada saat membentuk dan

menata Tentara Nasional Indonesia.

25
Buku selanjutnya adalah Sejarah Rumpun Diponegoro dan

Pengabdiannya, tahun terbit 1977, tebal 702 halaman, diterbitkan oleh

Yayasan Diponegoro. Buku ini membahas mengenai sejarah rumpun

Diponegoro dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara. Selain itu dalam

buku ini juga dibahas riwayat Kodam VII Diponegoro yang diawali sejak

kelahiran pada masa-masa BKR kemudian TKR, TKR, TRI, hingga TNI

sampai terbentuknya tentara Teritorum VII Diponegoro di tahun 1950. Pada

masa itu susunan organisasi ketentaraan mengalami berbagai perubahan sesuai

dengan masanya.

Dalam buku ini juga dijelaskan tentang masa-masa setelah proklamasi

kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. pada saat itu

bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan kemerdekaan Republik

Indonesia. Mengenai pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang dan

perjuangan rakyat Jawa Tengah menghadapi Sekutu, dilanjutkan peristiwa-

peristiwa sekitar perjuangan dalam menghadapi Agresi Belanda I dan II serta

Serangan Umum 1 Maret.

Keunggulan buku ini adalah buku ini memudahkan kita untuk

mengetahui dan memahami secara jelas tentang sejarah rumpun Diponegoro

dan pengabdiannya pada bangsa dan negara karena disusun secara kronologis.

Selain tu dalam buku ini faktor bahasa terutama segi penggunaan istilah dan

ejaan maupun huruf disesuaikan dengan waktu sekarang. Ini semua bukan

berati meninggalkan segi otentik dan keaslian sumber melainkan agar

Generasi sekarang dapat mengkaji dan mengikuti buku ini. Kekurangan buku

26
ini terletak pada sedikitnya sumber yang digunakan, baik itu dokumen, arsip

sehingga bisa memunculkan unsur subyektifitas pada buku tersebut.

Buku ketiga yang penulis gunakan berjudul Sudirman, Prajurit TNI

Teladan, tahun terbit 1985 dan diterbitkan oleh Dinas Sejarah TNI AD dengan

tebal buku 333 halaman.

Dalam buku ini dijelaskan tentang strategi yang dilakukan Jenderal

Sudirman, dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari

Agresi Belanda dan serangan dari Sekutu, selain itu juga disinggung tentang

pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada bab lain juga

diceritakan tentang perang Gerilya yang dilakukan Jenderal Sudirman.

Dibagian akhir buku ini dijelaskan masa kecilnya Sudirman hingga dewasa

menjadi Komandan divisi V/TKR Purwokerto.

Dari buku ini penulis sedikit terbantu untuk mendapatkan langkah-

langkah dan yang dilakukan Oerip Soemohardjo dalam rangka membentuk

ketentaraan Indonesia yang baik. Dari Oerip Soemohardjo dipanggil

pemerintah hingga penjelasan tentang bentuk dari Tentara Nasional Indonesia.

Keunggulan buku “Sudirman Prajurit TNI Teladan” ini data-data yang

ada diperoleh melalui penelitian dan wawancara dengan saksi sejarah sehingga

sedikit kemungkinan adanya unsur subyektifitasnya. Sedangkan kelemahan

dari buku ini antara lain sistem penyajian yang bersifat naratif mengakibatkan

buku ini seperti buku cerita, namun begitu tetap tidak meninggalakan sisi

historisnya dan keilmuannya. Selain itu sistem penulisan yang flashback bisa

menimbulkan pembaca merasa bingung.

H. Sistematika Skripsi

27
Dalam penulisan skripsi ini, sistematika yang akan coba kami

ketengahkan adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Berisi pengantar yang terdiri dari latar belakang, permasalahan,

tujuan penulisan, manfaat penulisan, ruang lingkup kajian, metode

penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II Kehidupan Kemiliteran Oerip Soemoharjo

membicarakan tentang kehidupan Oerip Soemoharjo masa sekolah,

masa ketika beliau menjadi seorang perwira KNIL, dan masa

menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Bab III Upaya Oerip Soemoharjo dalam Pembentukan Tentara Nasional

Indonesia (TNI).

Menjelaskan tentang proses terbentuknya TNI dan langkah-langkah

dalam penataan TNI serta pemantapannya.

Bab IV Proses Penataan Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Menjelaskan tentang faktor yang mendukung dan menghambat Oerip

Soemoharjo dalam menata TNI serta bagaimana hasil penataannya,

dan juga menjelaskan tentang kekecewaannya di masa akhir

hidupnya.

Bab V Penutup

Berisi tentang kesimpulan dan saran dari uraian bab-bab sebelumnya

yakni sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan.

28
BAB II

KEHIDUPAN KEMILITERAN OERIP SOEMOHARDJO

Pada tanggal 22 Februari 1893 di desa Sindurejan, Purworejo lahir

seorang anak laki-laki yang oleh kakeknya diberi nama Mohamad Sidik. Ayah

dari anak tersebut adalah R. Soemohardjo dan ibunya adalah putri R.T

Wijoyokusumo, seorang bupati Trenggalek. Ketika lahir tidak ada

keistimewaannya sama sekali, sama dengan anak anak yang lain. Namun kelak

anak inilah yang menjadi salah satu orang penting dalam dunia ketentaraan

Indonesia sebagai pendiri Tentara Nasional Indonesia (TNI). (Disbintal AD,

1986:1)

Sebagaimana layaknya orang tua, kelahiran anak itu disertai harapan

agar kelak setelah dewasa menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan

bangsanya. Sebagai anak pertama ia menjadi buah hati dan kebanggaan bagi

orang tuanya serta kedua kakeknya. Karena itu wajarlah bila ia dimanja.

Mohamad Sidik tumbuh menjadi anak yang sehat mempunyai sifat dinamis dan

pemberani.

Keluarga R. Soemohardjo kemudian dikaruniai dua orang anak lagi

yang kemudian diberi nama Iskandar dan Sukirno. Dalam pergaulan dengan

kawan-kawannya di kampung, Mohamad Sidik ikut serta bermain bersamanya.

Permainan yang dilakukan kadang-kadang dianggap berbahaya oleh orang tua,

namun sebaliknya bagi anak-anak merupakan suatu hal yang biasa. Pada suatu

hari dalam suatu permainan yang dilakukan, Mohamad Sidik terjatuh dari pohon

18
29
yang dipanjatnya dan pingsan. Kedua orang tuanya merawat dengan kasih sayang

dan Mohamad Sidik siuman kembali. Setelah mendengar berita kecelakaan yang

menimpa cucunya itu, maka R.T Wijoyokusumo mengganti nama cucunya

menjadi Oerip Soemohardjo. Pemberian nama tersebut dengan pengharapan agar

cucunya selamat. Oerip yang berarti hidup, sedang Soemohardjo diambil dari

nama ayahnya. (Disbintal AD, 1986: 1)

A. Masa Sekolah

R. Soemohardjo dan isteri serta seluruh keluarganya mengharapkan

agar kelak Oerip Soemohardjo bisa menggantikan kakeknya sebagai bupati di

Trenggalek. Selain itu mereka juga berharap agar kelak ia juga menjadi

seorang yang alim dan taat beragama. Untuk itulah maka Oerip Soemohardjo

dimasukkan di sekolah Jawa. Murid-murid duduk pada sehelai tikar dan

dengan meja-meja kecil yang rendah didepannya untuk menulis. Selama

setahun ia belajar bersama murid-murid wanita karena kelas laki-laki sudah

penuh. Selama ia sekolah bersama anak-anak wanita kenakalannya di sekolah

bisa dikatakan hilang, namun ketika sudah sampai dirumah ia kembali sebagai

Oerip Soemohardjo yang nakal. Setelah setahun ia sekelas dengan anak-anak

perempuan, ia dipindahkan ke kelas laki-laki. Selepas dari sekolah Jawa beliau

didaftarkan di Eropese Lagere Meisjesschool, dengan harapan ia bisa lancar

bahasa Belanda. Ia diharapkan menjadi bupati dan bahasa Belanda menjadi

syarat mutlak untuk itu.

Didalam kelas Oerip Soemohardjo tidak dapat memusatkan

perhatiannya kepada pelajaran. Badannya nyata berada dalam kelas namun

30
pikirannya melayang ketempat ia bermain. Karena itu ia tidak termasuk

kedalam golongan anak pandai. Melihat kemampuannya yang demikian orang

tua dan keluarganya bimbang dan cemas, mampukah Oerip Soemohardjo

untuk menjadi seorang bupati. Namun beruntung ia dapat naik kelas. Selepas

dari sekolah tersebut Oerip Soemohardjo mengikuti ujian pegawai rendah dan

dinyatakan lulus. Dan untuk menunjang kemampuannya dan kesiapannya

untuk menjadi seorang bupati, Oerip Soemohardjo di daftarkan di

Opleidingschool Voor Inlansche Ambtenaren (OSVIA).

OSVIA ini merupakan lembaga pendidikan khusus anak-anak

priyayi yang kelak akan dijadikan pegawai Pangreh Praja. Murid-murid

dididik dalam nuansa priyayi. Disiplin yang diterapkan di sekolah ini sangat

ketat. Mereka harus menempatkan dirinya sebagai calon pegawai.

Kelakuan mereka harus baik, sebab kelak akan menjadi contoh teladan

bagi masyarakatnya. (Amrin, 1984: 17)

Sekolah ini berada di Magelang, sehingga untuk hal ini untuk

pertama kalinya Oerip Soemohardjo berpisah dengan orang tua, keluarga,

kawan-kawan, dan segala permainannya. Di OSVIA yang terkenal dengan

peraturan yang ketat dan disiplin ini dirasakan oleh Oerip Soemohardjo sangat

membelenggu dirinya. Di sana ia harus mandiri, karena itu sebelum berangkat,

ia belajar bagaimana cara melipat pakaian dan ikat kepala, serta cara hidup

lainnya.

Di OSVIA Oerip Soemohardjo memperoleh sebuah kamar

berukuran tiga kali empat meter. Dan hidup dalam keadaan yang serba teratur

merupakan perjalanan yang pahit bagi kehidupannya. Ia masih menginginkan

31
sebuah kebebasan, karena itu ia sangat merindukan Sindurejan, kampung

halamannya.

Dalam pelajaran Oerip Soemohardjo pun masih saja sulit untuk bisa

memahami pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Namun demikian ia bisa

naik kelas. pada saat di kelas dua ini adiknya Iskandar dan Sukirno menyusul

masuk di OSVIA. Dengan masuknya dua adiknya di OSVIA tidak menjadikan

Oerip Soemohardjo berubah, ia tetap Oerip Soemohardjo yang sulit

menangkap pelajaran dan susah diatur. Oleh karena itu, ia pernah dihukum

karena mempelopori demonstrasi siswa OSVIA kepada pihak sekolah. Mereka

menuntut agar mereka diperkenankan memakai sepatu, karena mereka tidak

mau bertelanjang kaki saat mengikuti pelajaran. Mendengar berita tersebut,

ibu Oerip Soemohardjo sangat terkejut yang tak lama kemudian ia sakit dan

akhirnya meninggal

Sepeninggal ibunya, sifat Oerip Soemohardjo berubah. Ia tidak lagi

selincah dan senakal dahulu. Sering ia termenung memikirkan untuk apa ia

sekolah di OSVIA, sedangkan ia tidak ingin menjadi seorang pegawai. Hal itu

terus dipikirkan sampai ia lulus dari OSVIA meskipun dengan nilai yang

mengecewakan bapaknya.

Saat liburan Oerip Soemohardjo tidak pulang ke Purworejo, begitu

pula adiknya. Ia berkeinginan pergi ke Jakarta untuk mendaftarkan diri di

Sekolah Militer dan hal itu hanya diketahui oleh dua adiknya tersebut. Maka

berangkatlah Oerip Soemohardjo ke Jakarta untuk mendaftarkan diri di

Militaier School di Jatinegara.

32
B. Perwira KNIL

Jiwa seorang Oerip Soemohardjo memang sudah cocok untuk

menjadi seorang pemimpin. Hal itu sudah nampak sejak Oerip Soemohardjo

masih kecil, ia sudah memimpin anak-anak di kampungnya dalam setiap

permainannya. Keberaniannya pun melebihi dari teman-temannya. Maka tak

heran jika Oerip Soemohardjo dijadikan pemimpin bagi mereka. Berbekal dari

hal tersebut ia memberanikan diri untuk mendaftarkan diri menjadi tentara

(Koninklijk Nederlands Indische Leger) KNIL Hindia-Belanda.

Di Sekolah Militer ini terdapat beberapa anak pribumi. Sebagian

dari mereka adalah bekas murid-murid OSVIA yang sudah dikenalnya. Selain

itu ada pula anak-anak dari Minahasa dan selebihnya adalah anak-anak

Belanda.

Di sini Oerip Soemohardjo belajar menembak, main anggar,

berenang dan semua hal yang berkaitan dengan dunia militer. Bahkan ia

memperoleh nilai plus dalam ujian menembak. Kulitnya yang hitampun

semakin hitam karena ia selalu terpanggang matahari setiap kali latihan.

Sekali seminggu Oerip Soemohardjo berkirim surat kepada ayahnya.

Dalam suratnya ia memohon maaf karena tidak bisa memenuhi harapan

keluarga, dan ia berjanji bahwa ia tidak akan menjadi tentara rendahan, ia

akan menjadi seorang perwira tentara yang derajatnya sama dengan derajat

orang-orang Belanda. (Amrin, 1984: 27)

Tahun 1914, Oerip Soemohardjo lulus dari Militaier School, dan

setelah mengikuti ujian tambahan yang meliputi bahasa Perancis. Ia dilantik

sebagai perwira berpangkat Letnan Dua. Kebanggaan bapak Soemohardjo pun

33
muncul ketika Oerip Soemohardjo pulang dengan pakaian tentaranya. Apalagi

setelah mengetahui bahwa ia seorang Perwira KNIL yang sederajat dengan

orang Belanda.

1. Masa Bertugas

Tugas pertama Oerip Soemohardjo di Jatinegera sebagai

Komandan Peleton pada Batalyon 12 KNIL. Anak buahnya semua orang-

orang Belanda. Satu setengah tahun bertugas di Jatinegara, ia dipindahkan

di Banjarmasin, Kalimantan.

Ditempat yang baru ini beliau bertugas melakukan patroli ke

daerah pedalaman. Patroli dilakukan dengan perahu dan dilanjutkan

dengan jalan kaki. Hal tersebut karena medan daerah patrolinya adalah

daerah yang banyak bersungai dan rimba raya yang lebat.

Selama di Kalimantan Oerip Soemohardjo sering

dipindahtugaskan. Beberapa tempat beliau ditugaskan antara lain Tanah

Grogot, Balikpapan, Malinu, Tanah Tidung, Long Iram, Long Nawam,

dan terakhir bertugas di Samarinda.

Namun bencana datang menimpa Oerip Soemohardjo. Ketika

pulang dari bertugas ia mendapatkan rumahnya sudah rata dengan tanah

hangus terbakar. Bencana yang sangat memukul jiwanya sehingga harus

segera menjalani perawatan medis di Cimahi, Bandung.

Tahun 1923, di kota Purworejo terdapat posisi perwira yang

kosong, maka Oerip Soemohardjo ditugaskan di kampung halamannya.

Maka ramai kembali rumah bapak Soemohardjo. Dan pada tahun 1925 ia

34
kembali dipindahkan di Magelang. Dan di kota inilah ia menemukan

jodohnya, yakni Rohmah Subroto, putri dari guru Oerip Soemohardjo

semasa di OSVIA.

Dari Magelang, Oerip Soemohardjo dipindahkan lagi di

Ambarawa. Ketika pemindahan itu ia mendapat kenaikan pangkat menjadi

Kapten. Semasa tugas di Ambarawa, beliau mengambil cuti untuk liburan

bersama keluarga ke Eropa.

Sepulang dari Eropa Oerip Soemohardjo ditugaskan di

Jatinegara kembali. Saat bertugas di Jatinegara ini, bapak Soemohardjo

meninggal dunia. Dari Jatinegara ia dipindahkan ke Pandang Panjang,

Sumatera Barat. Pada tahun 1936, ia mendapat kenaikan pangkat menjadi

Mayor. Dari Padang Panjang Oerip Soemohardjo kembali ditugaskan di

Purworejo sebagai Komandan Batalyon merangkap komandan Militer.

Jabatan ini dipangkunya sampai tahun 1938.

Mayor Oerip Soemohardjo Soemohardjo mengakhiri masa

dinasnya pada tahun 1938 setelah ia menolak keputusan Markas Besar

Tentara Hindia-Belanda yang dianggapnya tidak adil dan dianggap

melakukan tindakan yang indisipliner.

Tindakan itu bermula pada saat dilangsungkannya perayaan

ulang tahun Ratu Wilhelmina pada tanggal 31 Agustus 1938. Sesuai

kesepakatan siapa yang terlambat dilarang masuk tempat upacara. Bupati

Purworejo datang lima belas menit setelah acara dimulai dan Oerip

Soemohardjo tetap kukuh pada rencana yang telah disepakati. Bupati

35
merasa tersinggung dan melaporkannya ke Markas Besar Angkatan Perang

Hindia-Belanda, dan pihak Markas Besar memutuskan Oerip Soemohardjo

dipindahkan ke Depo Batalyon Gombong dan mendapat kenaikan pangkat

menjadi Letnan Kolonel. (Amrin, 1984: 38)

Merasa bahwa ada ketidakadilan didalam keputusan itu, maka

Oerip Soemohardjo menolak keputusan itu dan meminta berhenti dari

dinas milter. Selepas berhenti dinas dari militer, ia bersama keluarga

pindah ke Gentan, sebuah desa disebelah utara kota Yogyakarta.

Namun pada tahun 1940, ketika Jerman sudah menduduki negeri

Belanda karena adanya Perang Dunia II, Oerip Soemohardjo meminta

kepada Departemen Perang Hindia-Belanda untuk kembali dinas aktif di

militer Belanda lagi. Hal tersebut karena ia merasa bahwa sebentar lagi

Indonesia pun akan segera diduduki oleh lawan Sekutu, dalam hal ini

Jepang yang sudah mulai masuk di kawasan Asia Tengggara. Oleh sebab

itu, beliau harus bisa ikut membantu agar Indonesia tidak diduduki oleh

Jepang.

Kembalinya Oerip Soemohardjo disambut baik oleh para

perwira Belanda yang sudah mengenal prestasinya ketika belum

mengundurkan diri. Oerip Soemohardjo langsung ditugaskan di Cimahi

dan mendapat perintah untuk segera membentuk Depo Batalyon baru di

Cimahi. Pembentukan Batalyon baru ini dilakukan dengan cepat karena ia

sudah berpengalaman dan sudah tahu bagaimana cara pembentukan

sebuah batalyon tentara. (Disbintalad, 1986: 7)

36
2. Perwira KNIL, Jiwa Inlander

Sekalipun keturunan bangsawan, Oerip Soemohardjo tidak

sepenuhnya mewarisi darah bangsawan. dalam dirinya telah terjadi seleksi

alamiah, sehingga yang tertinggal hanyalah segi-segi baik yang ada pada

dirinya. Dalam kehidupannya ia dikenal dekat kepada rakyat kecil. Hal ini

tampak ketika ia masih anak-anak, hampir semua temannya adalah anak-

anak dari golongan rakyat biasa.

Sifat yang sudah tertanam dari masa anak-anak itu tetap dibawa

ke masa dewasanya, bahkan ketika ia berdinas dalam dunia ketentaraan.

Sebagai perwira KNIL ia berhasil mengangkat dirinya menjadi seorang

militer yang baik, penuh disiplin dan bertanggung jawab. Sebagai seorang

anak Indonesia, anak jajahan, Oerip Soemohardjo berusaha membela

kepentingan bangsanya dalam batas-batas yang memungkinkan untuk

berbuat demikian. Apalagi dalam hal membela kebenaran, tidak ada kata

tawar-menawar bagi seorang Oerip Soemohardjo.

Melihat hal seperti itu, apakah Oerip Soemohardjo dapat

dikatakan memiliki rasa kebangsaan. Namun baginya hal itu tidaklah

menjadi soal, apakah ia memiliki rasa kebangsaan atau tidak, karena yang

terpenting adalah ia telah berbuat, apapun namanya, untuk kepentingan

rakyat kecil dan mereka menghargai apa yang ia lakukan.

Seperti saat ia bertugas di Balikpapan, seorang penduduk

pribumi atau rakyat biasa tidak diijinkan untuk menumpang kereta minyak

milik Belanda. Mendengar seperti itu, Oerip Soemohardjo merasa

37
tersinggung, bukan saja karena ia seorang pribumi tapi juga karena hal

tersebut telah menginjak-injak harga diri bangsanya. Maka Oerip

Soemohardjo sebagai kepala tentara di Balikpapan berhak melarang kereta

api untuk jalan, apapun alasannya. Karena tindakan tersebut, ia bisa saja

mendapat sanksi dari atasan, tapi ia rela dikeluarkan dari dinas ketentaraan

jika memang yang ia lakukan dianggap salah oleh atasannya. Namun hal

tersebut tidaklah terjadi karena pihak atasan membenarkan apa yang

dilakukannya, sehingga di Balikpapan siapapun boleh menumpang kerata

api minyak milik Belanda tersebut. (Amrin, 1984: 41-42)

38
Tidak itu saja rasa kebangsaan dan keperpihakannya pada rakyat

kecil. Setiap lebaran ia selalu memberi cuti kepada para pembantu untuk

pulang ke kampung halamannya. Walaupun ia dan keluarga harus bekerja

sendiri dalam mengurus rumah. Hal tersebut jarang dilakukan dilakukan

oleh orang-orang Belanda ataupun para pejabat maupun teman-teman

sejawatnya.

Seperti itulah Oerip Soemohardjo, seorang Perwira KNIL yang

selalu berpihak pada kebenaran dan rakyat kecil. Walaupun ia seorang

tentara Belanda, namun ia merasa aman saja berpergian sendiri tanpa

pengawal dan sejata. Karena ia tahu perasaan mereka, perasaan seorang

yang terjajah, sehingga ia bisa mengerti apa yang mereka inginkan.

Bahkan Oerip Soemohardjo mampu mengadakan kerja sama dengan

masyarakat pribumi dimana ia ditugaskan. Namun apa yang ia lakukan

sering mendapat tentangan baik dari atasannya maupun rekan sejawatnya.

Namun baginya itu bukan suatu masalah, yang terpenting ia bisa berbuat

demi bangsa dan rakyat kecil.

C. Menjelang Proklamasi

Tanggal 7 Desember 1941, Jepang menyerang pangkalan Angkatan

Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii. Atas kemenangan ini Jepang

mulai berani menyerang kawasan Asia Tenggara. Dalam waktu relatif singkat

Jepang berhasil menduduki sebagian kawasan di Pasifik seperti Filipina,

Malaysia, dan Singapura. (Amrin, 1984: 53)

39
Serangan di Indonesia diawali di daerah bagian timur, terutama

daerah-daerah pusat minyak seperti Balipapan dan Tarakan. Dengan

menguasai daerah minyak maka bisa menunjang penyerangan selanjutnya.

Minyaknya tidak saja sebagai bahan bakar kendaraan perangnya, tetapi hasil

penjualannya bisa dibelikan senjata.

Pada awal Maret 1942 Jepang mendaratkan pasukannya di pulau

Jawa di beberapa tempat. Dengan pendaratan tersebut, posisi Belanda semakin

terkurung sehingga Belanda melarikan diri ke pedalaman Jawa Barat dan

akhirnya menyerah pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan demikian berakhirlah

pendudukan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia. (Disbantalad, 1986: 7)

Semua perwira Belanda ditawan oleh pihak Jepang tidak terkecuali

Oerip Soemohardjo yang masa tersebut sudah dinas aktif kembali sebagai

perwira KNIL. Setelah ditawan selama tiga setengah bulan, ia dibebaskan dan

pedangnya dikembalikan oleh Jepang. Dalam tradisi Jepang, apabila pedang

seorang tawanan dikembalikan kepadanya, berarti tawanan tersebut dihormati

oleh pihak yang menawannya. (Amrin, 1984 : 55)

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tidak banyak yang

dilakukan Oerip Soemohardjo di desa Gentan itu. Ia tetap berkebun dibantu

beberapa pembantunya. Namun demikian Oerip Soemohardjo pernah ditawari

untuk bekerja sama dengan Jepang, namun ia tetap memilih hidup di desa

sebagai petani. Ia telah memutuskan untuk tidak memanggul senajata lagi dan

sebagai gantinya ia memilih untuk memanggul cangkul.

40
Di desa Gentan ini Oerip Soemohardjo menemukan kehidupan yang

tenang dan damai. Selain itu dunia yang dilandasi rasa kasih sayang dan saling

menghargai juga didapatkannya. Hal tersebut karena pergaulannya dengan

orang-orang sederhana dan dengan pemikiran yang sederhana pula

menjadikan kehidupannya semakin damai.

Namun demikian Oerip Soemohardjo tetap mengikuti

perkembangan keadaan yang dialami oleh bangsa Indonesia melalui media

masa dan juga dari para pemuda yang tergabung dalam PETA (Pembela Tanah

Air) seperti Sunarno dan Nasution.

Pemuda yang sering datang ke Gentan selalu menceritakan tentang

kekejaman yang dilakukan oleh Jepang dan juga kekalahan-kekalahan yang

dialami oleh Jepang. Dan ketika Jepang mengakui kekalahannya, Oerip

Soemohardjo sebagai seorang militer tidaklah terkejut karena ia telah

memperhitungkan kekalahan Jepang yang akan dialaminya. Kini tinggal ia

mengharap bangsanya agar segera memproklamasikan diri sebagai bangsa

yang merdeka terbebas dari segala bentuk penjajahan. Dan hingga akhirnya

pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia benar-benar telah

memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka.

41
BAB III

UPAYA OERIP SOEMOHARJO DALAM PEMBENTUKAN

TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)

Rezim tentara Jepang dengan resmi memulai kekuasaannya di Indonesia

ketika Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Jhr Alidius Tjarda van

Starkenborgh Stachouwer menandatangi naskah penyerahan pada minggu pertama

Maret 1942 di lapangan terbang Kalijati, dan berakhir pada 14 Agustus 1945

rezim tentara Jepang menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu di Pasifik.

Masa kekuasaan Jepang yang sangat singkat itu sangat mendalam dan sangat

berbekas bagi sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia pada umumnya

dan terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan ketentaraan rakyat Indonesia

tahun 1945-1949. (Disjarahad, 1972 : 31).

Bagi bangsa Indonesia penyerahan Jepang kepada Sekutu ini sama

sekali tidak melemahkan perjuangan untuk mencapai sebuah kemauan nasional

yakni kemerdekaan. Oleh karena itu sejak penyerahan Jepang kepada Sekutu, para

pemimpin pergerakan sudah sudah siap untuk segera melakukan Proklamasi

Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Melalui pertemuan antara golongan tua dan

golongan muda yang diadakan di Rengasdengklok diputuskan bahwa tanggal 17

Agustus 1945 Indonesia akan memproklamasikan diri sebagai bangsa yang

merdeka terbebas dari segala bentuk penjajahan, dan Ir. Sukarno dan Drs. Moh.

Hatta ditunjuk sebagai pembaca dari ikrar Proklamasi Kemerdekaan tersebut.

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia menjadi negara

Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, menjadikan bangsa Indonesia

31

42
menginjak zaman baru, tetapi sebelum bangsa Indonesia dapat menikmati

kemerdekaan, terlebih dahulu harus menghadapi ujian yang berat. Proklamasi

menimbulkan bermacam-macam persoalan, ditambah kemerdekaan didapat atas

kemauan bangsa Indonesia sendiri, maka tugas dan kewajiban serta persoalaan

yang timbul harus dihadapi oleh bangsa Indonesia sendiri.

Salah satu persoalan yang muncul adalah tentang pertahanan terhadap

serangan dari luar dan keamanan dalam negeri. Oleh karena itu bangsa Indonesia

membutuhkan tentara yang kuat, teratur dan disiplin. Negara yang merdeka harus

dapat membentuk dan mempunyai tentara yang terorganisir secara nasional yang

terpusat untuk menjamin kelanjutan negara.

A. Proses Terbentuknya TNI

Syarat bagi berdirinya suatu negara ialah pertama adanya wilayah

tertentu, kedua adanya penduduk bangsanya, dan ketiga adanya kekuasaan

yang berdaulat yang meliputi seluruh daerah dan rakyatnya. Sementara itu

syarat ketiga belum terpenuhi, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) menetapkan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai

presiden dan wakil presiden, mengesahkan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia. (Tjokoropanolo, 1993: 40-41)

Dalam sidangnya tanggal 22 Agustus 1945 PPKI memutuskan untuk

membentuk tiga badan sebagai wadah menyalurkan potensi perjuangan rakyat.

Badan-badan itu adalah: Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional

Indonesia (PNI) yang ternyata tidak jadi dibentuk, dan Badan Keamanan

Rakyat (BKR). BKR merupakan suatu Korps pejuang bersenjata yang

bertugas menjamin keselamatan ketentraman umum dan masih menjadi bagian

43
dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula

bernama Badan Pembantu Prajurit (BPP) (lihat lampiran 2). BPP sudah ada

pada jaman pemerintahan Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan

anggota-anggota Tentara PETA dan Heiho. Setelah PETA dan Heiho

dibubarkan oleh Jepang, pada tanggal 18 Agustus 1945 tugas untuk

menampung bekas anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP

(Nasution, 1963:106-110).

Presiden Sukarno tidak dapat segera membentuk tentara Indonesia

karena khawatir akan kemarahan Sekutu. Namun keterlambatan pemerintah

dalam pembentukan tentara ini telah mengakibatkan lahirnya inisiatif rakyat

khususnya para pemuda untuk membentuk kekuatan bersenjata sendiri di

daerahnya masing-masing sehingga di berbagai daerah terbentuk lascar-laskar

rakyat.

Secara diam-diam dan belum terorganisir BKR dan laskar-laskar

perjuangan rakyat mengambil dan merebut senjata senjata Jepang sehingga

beberapa anggota BKR sudah bersenjata. Hal ini menjadikan anggota BKR

sadar bahwa mereka perlu mempersenjatai diri selengkap mungkin. Perebutan

senjata oleh BKR-pun terjadi dimana-mana, namun tidak semua berjalan

dengan damai seperti yang dilakukan BKR Banyumas yang dipimpin

Daidancho Soedirman. Di daerah lain perebutan sering diwarnai dengan

kekuatan senjata dan pertumpahan darah seperti yang terjadi di Surabaya,

Semarang, Pekalongan dan beberapa daerah di luar Jawa.

BKR bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertibaban di

daerah-daerah. BKR tumbuh secara spontan dari bawah didorong oleh

44
panggilan jiwa para pemuda, banyak diantaranya berasal dari PETA, Heiho,

KNIL, Keibodan, dan laskar-laskar perjuangan. Mereka masuk didorong rasa

ingin berbakti dan mengabdi kepada bangsa dan negara yang kedaulatannya

menghadapi ancaman pihak penjajah. BKR mempersenjatai diri, melengkapi,

dan membekali diri sendiri, disusun secara kedaerahan (territorial

administratif) dan sedikit banyak dikendalikan oleh Komite Nasional

Indonesia. ( Notosusanto, 1984: 37).

Unsur anggota BKR tidak terdiri dari darat saja, akan tetapi terdapat

pula unsur dari udara dan laut. Para bekas Kyugun Heiho serta pemuda yang

bekerja pada obyek vital di pelabuhan-pelabuhan maupun jawatan-jawatan

pelayaran membentuk BKR penjaga pantai. Sementara itu pemuda bekas

anggota badan penerbangan Belanda dan pemuda bekas anggota kesatuan

penerbang Jepang seperti Rikigun Koku Butai, Koigun Koku Butai, dan Nampo

Koku Kabusyiki membentuk BKR Udara. (Notosusanto, 1984: 38)

BKR selanjutnya mengalami kesulitan dalam upaya mengkoordinasikan

perjuangan menegakkan kemerdekaan. Keadaan ini disebabkan dalam

menentukan arah perjuangan bangsa Indonesia memiliki dualisme kekuatan

senjata, yakni BKR dan badan perjuangan yang tidak tergabung dalam BKR

seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Buruh Indonesia (BBI),

Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), Pemuda Penyongsong Republik

Indonesia (PPRI), Hisbullah dan Sabilillah (Notosusanto, 1984:39). Konflik

dan tidak adanya kesepakatan pendapat sering terjadi diantara kedua belah

pihak yang mengkhawatirkan terjadinya pertikaian diantara para pejuang.

Melihat latar belakang kondisi keamanan dalam negari yang semakin gawat,

45
ditambah lagi dengan datangnya tentara Inggris serta didorong kurangnya

koordinasi antara BKR dan BN atau badan perjuangan yang lain tentang arah

perjuangan, maka pemerintah membentuk sebuah tentara kebangsaan.

Tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah

No:2/X/1945 yang berisi, “Untuk memperkuat peranan keamanan umum,

maka diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat (TKR)”. Bekas Mayor KNIL

Oerip Soemohardjo diserahi tugas untuk membentuk tentara, beliau diangkat

sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian

disusul maklumat yang mengangkat Supriyadi, bekas tentara PETA, sebagai

menteri Keamanan Rakyat. (Zen, 2004: 19)

Tanggal 9 Oktober 1945 Komite Nasional Indonesia Pusat

mengeluarkan keputusan tentang Mobilisasi Tentara Keamanan Rakyat, yang

isinya tentang himbauan agar bekas prajurit PETA, prajurit Hindia-Belanda,

Heiho, Kaigun-Heiho, Barisan Pemuda, Hisbullah, Pelopor, dan lainnya agar

segera mendaftarkan diripada kantor-kantor TKR di Ibukota kabupaten

masing-masing.

Oerip Soemohardjo setelah menerima panggilan dari pemerintah,

maka pada tanggal 14 Oktober berangkat ke Jakarta untuk mendapat perintah

langsung mengenai pembentukan tentara kebangsaan. Penyusunan TKR tidak

dilaksanakan di Jakarta tetapi di Yogyakarta karena di Jakarta pasukan Sekutu

dan Belanda berusaha menghalang-halangi pembentukan TKR. (Zen, 2004:

21). Sepulang dari Jakarta Oerip Soemohardjo segera mulai bekerja menyusun

TKR di Hotel Merdeka (Sekarang hotel Garuda) kamar 23 yang sekaligus

46
dijadikan sebagai Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (MTTKR).

Tidak lama MTTKR kemudian pindah ke gedung pemberian Sri Sultan

Hamengkubowono IX di Jalan Gondolayu (sekarang Musium Pusat TNI AD

Dharma Wiratama, jalan Jenderal Sudirman). Di markas baru ini Oerip

Soemohardjo segera melanjutkan pembentukan TKR. (Soemohardjo, 1973:

100)

Dalam pembentukan TKR Oerip Soemohardjo meniru susunan

organisasi Departemen Perang Hindia-Belanda. Sementara itu untuk

mengurangi kecurigaan pasukan PETA yang kurang mempercayai kesetiaan

bekas tentara KNIL, maka personil dalam tubuh organisasi terdiri atas

gabungan antara mantan perwira KNIL dengan mantan-mantan perwira

PETA..

Rencana MTTKR hanya akan membentuk empat divisi di Jawa dan

Sumatera. Akan tetapi karena masing-masing daerah atas inisiatif sendiri

sudah membentuk kesatuan-kesatuan, maka dibentuk sepuluh divisi yang

terdiri tujuh divisi di Jawa dan tiga di Sumatera. Tanggal 2 November 1945,

dibentuk empat komandemen yakni tiga komandemen di Jawa dan satu

komandemen di Sumatera. Satu komandemen membawahi beberapa divisi.

Dan dalam perkembangannya jumlah divisi yang ada bertambah sehingga di

Jawa terdapat sepuluh divisi dan di Sumatera terdapat enam divisi, sementara

di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat belum ada

pasukan. Namun dengan penyusupan yang dilakukan pasukan TKR dari Jawa

dan Sumatera sehingga di pulau-pulau tersebut mulai ada pasukan. (Amrin,

1984 : 70-71)

47
Penyusunan TKR berjalan, namun pertempuran juga terus

berlangsung. TKR tidak mempuyai waktu untuk mendidik dan melatih

pasukan yang baru terbentuk. Ketika pertempuran melawan Sekutu dan

Belanda, pasukan TKR dipimpin langsung oleh komandan lapangan tanpa

adanya kendali dari Markas besar TKR. Hal ini terjadi karena kurangnya alat

komunikasi. Karena itu Oerip Soemohardjo selaku Kepala staff TKR meminta

pemerintah untuk mengangkat panglima TKR sebagai ganti dari Supriyadi

yang tidak pernah muncul.

Berhubung permintaan untuk mengangkat panglima TKR yang baru

ditolak, maka pada tanggal 12 November 1945 diadakan konferensi para

Panglima Divisi di Jawa dan Sumatera. Konferensi ini dilaksanakan untuk

memilih Panglima TKR karena Supriyadi yang telah ditunjuk pemerintah

sebagai penglima TKR tidak pernah muncul, sementara pemerintah tidak

merespon permintaan MTTKR ungtuk mengangkat panglima baru. Dan

konferensi tersebut memilih Kolonel Sudirman, Panglima dari divisi V

Purwokerto sebagai Panglima Tertinggi TKR. (Amrin, 1984: 74-75)

Lahirnya TKR tidak berumur berlangsung lama karena melalui

ketetapan pemerintah No:2/S.D./1945 tanggal 7 Januari 1946 nama Tentara

Keamanan Rakyat (TKR) dirubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat

(TKR). Namun tanggal 25 Januari 1946 melalui ketetapan pemerintah

No:4/S.D./1946, Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) kembali dirubah

namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). (Nasution, 1963: 248)

Adanya kekuatan lain di TRI seperti laskar-laskar dan Barisan

Pemuda yang memiliki senjata yang dimasa datang bisa menyebabkan pemicu

48
masalah. Oleh karena itu pemerintah berusaha mempersatukan laskar-laskar

dengan TRI dalam satu wadah tentara yang dapat digunakan sebagai alat

perjuangan maupun sebagai alat pemerintah. Usaha ini direalisasikan melalui

ketetapan pemerintah tanggal 3 Juni 1947 dalam berita Negara Republik

Indonesia No.4 tahun 1947 yang salah satu isinya mengesahkan berdirinya

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan membubarkan bentuk laskar serta

angkatan perang lain yang bersenjata. (Sendam VII/ Diponegoro, 1968: 271).

Dalam rangka menyederhanakan operasional Angkatan Perang,

dilaksanakan reorganisasi yang dimulai dari pucuk pimpinan TNI. Dasar dari

reorganisasi ini adalah Keputusan Presiden No. 1 tahun 1948 tanggal 2 Januari

1948 yang menetapkan perubahan pucuk pimpinan TNI dipecah menjadi

Staff Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran yang dipimpin

oleh Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Dilihat dari segi kepentingan

nasional, rasionalisasi merupakan suatu keharusan. Rasionalisasi dalam

Angkatan Perang bertujuan untuk menyehatkan kembali organisasi dan

kekuatan Angkatan Perang dengan menyederhanakan organisasi agar lebih

efisien. Pada dasarnya susunan baik teritorial maupun satuan tempurnya tidak

ada perubahan. Susunan yang bersifat mobil bai teritorial maupun satuan

tempur inilah yang pada kenyataannya terus berlaku.

B. Langkah-langkah Oerip Soemohardjo dalam Penataan TNI

Dengan alasan apapun sistem kolonial tidak boleh kembali, dan andai

harus terjadi benturan antara Belanda dengan bekas jajahannya, maka ia akan

memilih tanah airnya, itu sudah pasti. (Soemohardjo, 1973: 89). Demikian

pemikiran seorang Oerip Soemohardjo ketika Indonesia baru saja

49
memproklamasikan diri. Karena itulah ia sudah bersiap siaga apabila tanah

airnya membutuhkan jiwa dan raganya.

Semenjak Indonesia memproklamasikan diri sebagai bangsa yang

merdeka, Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo sudah menunggu

kelahiran sebuah tentara kebangsaan. Ia merasa sangat naïf apabila sebuah

negara tidak mempunyai tentara. Ia sudah siap memberikan apa yang dimiliki,

terutama kemampaunnya dalam bidang militer jika sewaktu-waktu diperlukan.

Harapan Oerip Soemohardjo terwujud, tanggal 5 Oktober 1945,

presiden Soekarno mengeluarkan maklumat tentang pembentukan Tentara

Keamanan Rakyat (TKR). Pada hari berikutnya, yaitu 6 Oktober 1945,

pemerintah mengangkat Supriyadi sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Oerip

Soemohardjo tentu saja mengetahui maklumat pembentukan tentara itu. Ia

menunggu berita selanjutnya, apakah ia akan diminta pemerintah untuk

membantu pembentukan tentara seperti yang didengarnya dari media masa.

Tanggal 14 Oktober 1945, Oerip Soemohardjo mendapat telegram

dari wakil Presiden Drs. Moh. Hatta yang meminta agar ia berangkat ke

Jakarta untuk mendapat perintah langsung dari Presiden tentang pembentukan

tentara. Keesok harinya tanggal 15 Oktober 1945 dilakukan sidang kabinet

diselenggerakan di gedung Proklamasi, jalan Penggangsaan Timur 56 Jakarta,

dibawah pimpinan wakil presiden Drs. Moh. Hatta. Pada sidang ini diputuskan

untuk segera membentuk Angkatan Perang Republik Indonesia, dan tugas itu

dipercayakan kepada Oerip Soemohardjo. Pemerintah memberi mandat

kepadanya untuk membentuk Tentara Indonesia karena pemerintah sudah

50
mengetahui betul dedikasi Oerip Soemohardjo terhadap bangsa dan negara

dari teman-temannya. (Soemohardjo, 1973: 99)

Selepas menerima mandat tersebut esok harinya tanggal 16 Oktober

1945, Oerip Soemohardjo langsung ke Yogyakarta untuk menyusun TKR

bertempat di Hotel Merdeka dan kemudian pindah ke sebuah gedung di jalan

Gondokusoman. Di gedung pemberian Sri Sultan Hamengkubowono IX inilah

ia terus bekerja menyusun dan membentuk Tentara Kebangsaan yang

profesional. (Soemohardjo, 1973: 100)

1. Langkah Penyusunan Organisasi

Tugas yang harus dimulai dari nol membuat Oerip Soemohardjo

harus bekerja keras. Karena selama terjun dalam dunia militer yang

dikenalnya adalah susunan organisasi Departemen Perang Hindia-Belanda,

maka susunan TKR yang dibentuknya pun meniru susunan tersebut. Para

personilnya diambilnya dari beberapa kalangan militer yang ada di

Indonesia, seperti dari eks-KNIL, PETA, dan dari laskar-laskar

perjuangan.

Tugas penyusunan Tentara Keamanan Rakyat yang diembankan

kepadanya terasa sangat berat, Oerip Soemohardjo harus mulai

menyusunnya dari awal. Beliau memanggil Suryadi, Suryadarma, TB.

Simatupang untuk membantunya dalam penyusunan TKR. Langkah

pertama yang dilakukannya adalah menetapkan bentuk dan struktur dari

organisasi ketentaraan tersebut. Struktur Markas Tertinggi TKR (MTTKR)

terdiri dari dua bagian yakni Markas Besar Umum yang dikepalai oleh

51
dirinya langsung dan sepuluh jawatan lainnya yang dikepalai seorang

kepala. Sepuluh jawatan tersebut antara lain :

a. Bagian Administrasi

b. Bagian Keuangan

c. Bagian Persenjataan

d. Bagian Perhubungan

e. Bagian Kesehatan

f. Bagian Urusan Kereta Api

g. Bagian Zeni

h. Bagian Pendidikan

i. Bagian Perlengkapan

j. Bagian Penyelidikan.

(Yudha No 48, 1985: 20)

Pada awal pembentukan TKR, Oerip Soemohardjo dengan

memperhitungkan jumlah persenjataan dan jumlah divisi yang sudah

dibentuk secara inisiatif masing-masing daerah, maka ia hanya membentuk

tiga komandemen di Jawa dan satu komandemen di Sumatera.

Komandemen-komandemen diatas membawahi beberapa divisi.

Komandemen itu antara lain :

a. Komandemen I Jawa Barat, dipimpin oleh Mayor Jenderal Didi

Kartasasmita yang membawahi :

1) Divisi I, meliputi daerah Banten berkedudukan di Serang.

2) Divisi II, meliputi daerah Jakarta, Bogor, dan Cirebon yang

berkedudukan di Linggajati

52
3) Divisi III, meliputi daerah Priangan dan berkedudukan di Bandung.

b. Komandemen II Jawa Tengah, dipimpin oleh Mayor Jenderal

Suratman yang membawahi :

1) Divisi IV, meliputi daerah Pekalongan, Semarang, Pati dan

berkedudukan di Salatiga.

2) Divisi V, meliputi daerah Kedu, Banyumas dan berkedudukan di

Purwokerto.

3) Divisi IX, meliputi daerah Istimewa Yogyakarta, dan

berkedudukan di Yogyakarta.

4) Divisi X, meliputi daerah Istimewa Surakarta dan berkedudukan di

Solo.

c. Komandemen III Jawa Timur, dipimpin oleh Mayor Jenderal

Muhammad yang membawahi :

1) Divisi VI, meliputi daerah Madiun, Kediri dan berkedudukan di

Kediri.

2) Divisi VII, meliputi daerah Bojonegoro, Surabaya, dan Madura

yang berkedudukan di Mojokerto.

3) Divisi VIII, meliputi daerah Malang, Besuki dan berkedudukan di

Malang.

d. Komandemen IV, dipimpin oleh Mayor Jenderal Suharjo

Harjowardoyo yang membawahi :

1) Divisi I, meliputi daerah Sumatera Selatan bagian selatan dan

berkedudukan di Lahat.

53
2) Divisi II, meliputi daerah Sumatera Selatan bagian utara dan timur,

Bangka, Belitung dan berkedudukan di Palembang.

3) Divisi III, meliputi daerah Sumatera Barat dan Riau yang

berkedudukan di Bukittinggi

4) Divisi IV, meliputi daerah Sumatera Timur dan berkedudukan di

Medan.

5) Divisi V, meliputi daerah Aceh dan berkedudukan di Bireuen

6) Divisi VI, meliputi daerah Tapanuli dan Nias yang berkedudukan

di Sibolga.

(Yudha No 48, 1985: 23-24)

(lihat lampiran 3)

Dibawah divisi masih terdapat sebuah kesatuan yang disebut

resimen. Secara umum resimen masih merupakan kekuatan satuan

infanteri dengan sedikit satuan bantuan tempur berupa satuan artileri dan

zeni. Dimana komandemen I Jawa Barat mempunyai tujuh bela resimen,

komandemen II Jawa Tengah mempunyai lima belas resimen, dan

Komandemen III Jawa Timur mempunyai sembilan resimen

Untuk komandemen Sumatera, selain susunan divisi sebagai

satuan tempur, maka ditingkat markas komandemen terdapat unsur yang

berlainan dengan komandemen yang ada di Jawa. Hal tersebut disebabkan

keadaan pertahanan wilayah di Sumatera masa itu. Pada tingkat markas

komandemen terdapat beberapa seksi yakni :

a. Seksi Personalia dan Sekretariat.

b. Seksi Supply dan Keuangan.

54
c. Seksi Operasi dan Organisasi

d. Seksi Intelejen.

e. Seksi Perhubungan dan Penerangan

f. Seksi Provost

g. Seksi Koordinasi

h. Kesehatan Tentara

i. Accounting dan Comptables

j. Koordinai Pemerintah

k. Politik.

(Yudha No 48, 1985: 24-25)

Dalam rangka penyempurnaan organisasi TKR, pada tanggal 12

November 1945, Oerip Soemohardjo mengundang seluruh Komandan

divisi dan resimen untuk membahas tentang perjuangan tentara untuk

menghadapi musuh dan membicarakan tentang struktur organisasi TKR.

Selain itu dalam pertemuan yang diadakan di Markas Tertinggi TKR

tersebut juga memilih Kolonel Sudirman dari Divisi V Purwokerto sebagai

Panglima besar TKR yang dilakukan dengan cara pemungutan suara.

Pemilihan Panglima TKR dilakukan karena Supriyadi yang ditunjuk

pemerintah menjadi Pimpinan Tertinggi TKR tidak pernah muncul.

(Disjarahad, 1972: 41)

Setelah mempunyai Panglima Tertinggi TKR, susunan organisasi

ini pun tidak berubah. Karena disini Sudirman yang mendapat pangkat

Jenderal masih menghormati Oerip Soemohardjo, sebagai tetua sekaligus

sebagai Kepala Staff TKR. Ketika TKR (Tentara Keamanan Rakyat)

55
berubah nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) susunan

organisasi TKR pun tidak berubah.

Tanggal 25 Januari 1946, Tentara Keselamatan Rakyat (TKR)

kembali diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Nama TRI

dianggap lebih cocok untuk nama tentara dari sebuah negara yang

merdeka. Namun karena masih adanya konflik antara tentara dan laskar

yang tidak mau meleburkan diri dalam TRI, maka presiden Soekarno pada

tanggal 23 Februari 1946 menetapkan pembentukan Panitia Reorganisasi

Tentara. (Disbintal AD, 1986: 11).

Banyak kesulitan yang dihadapi panitia, menyatukan pendapat

dari sekian banyak orang dari lingkungan sosial dan pendidikan yang

berbeda-beda tidak mudah. Ditambah lagi pendapat-pendapat dari

pemerintah. Tanggal 17 Mei 1946 Panitia Besar Reorganisasi Tentara

menyerahkan hasil kerjanya kepada Presiden. Secara umum hasil tersebut

berupa :

a. Markas Besar Umum Tentara

Markas Besar Umum terdiri dari :

1) Kepala Markas Besar Umum (MBU) dipimpin langsung oleh

Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo

2) Bagian Personalia

3) Bagian Penyelidik

4) Bagian Operasi

5) Bagian Siasat dan Perintah

6) Bagian Pengangkutan

56
7) Sekretariat dan Tata Usaha

b. Bentuk kementerian Pertahanan

Bentuk kementerian Pertahanan yang ditetapkan oleh panitia

meliputi :

1) Direktur Jenderal

2) Kepala Staff

3) Urusan Personalia

4) Urusan Kehakiman

5) Bagian Pendidikan Wajib Militer.

6) Bagian Artileri

7) Bagian Infateri

8) Bagian Topografi

9) Bagian Zeni

10) Bagian Perlengkapan

11) Bagian Pengumpulan Perlengkapan

12) Bagian Kesehatan

13) Polisi Militer

14) Tata Usaha

c. Divisi TRI

Dalam susunan TRI tidak ada komandemen seperti pada masa

TKR. Selain itu jumlah divisi juga dikurangi. Di Jawa sebelumnya

sepuluh divisi dikurangi menjadi tujuh divisi, sedang di Sumatera

masih tetap enam divisi. Tiap divisi di Jawa menggunakan nama tokoh

pahlawan bangsa sesuai dengan wilayah divisi itu, ataupun

57
pengabadian nama pahlawan yang dipandang erat dengan satuan

dimana divisi itu berlokasi sebagai nama atau lambang divisinya. Bagi

divisi di Sumatera dipergunakan nama binatang sebagai lambang

komando divisi. Urutan dari divisi-divisi TRI sebagai berikut :

1) Di Jawa

a) Divisi I/Siliwangi, meliputi daerah Jawa Barat dikurangi

Cirebon.

b) Divisi II/Sunan Gunung Jati, meliputi daerah Cirebon dan

Banyumas

c) Divisi III/Diponegoro, meliputi daerah Pekalongan, Kedu, dan

Yogyakarta.

d) Divisi IV/Panembahan Senopati, meliputi daerah Surakarta,

Semarang, dan sebagian Madiun.

e) Divisi V/Ronggolawe, meliputi daerah Pati, Bojonegoro, dan

Madiun.

f) Divisi VI/Narotama, meliputi daerah Kediri, Surabaya,

Madura.

g) Divisi VII/Suropati, meliputi daerah Malang, dan Besuki.

2) Di Sumatera

a) Divisi Gajah I berkedudukan di Bireuen

b) Divisi Gajah II berkedudukan di Medan-Pematang Siantar

c) Divisi Banteng I berkedudukan di Sibolga

d) Divisi Banteng II berkedudukan di Bukittinggi

e) Divisi Garuda I berkedudukan di Lahat

f) Divisi Garuda II berkedudukan di Palembang.

(Yudha No 48, 1985: 27-28)

58
(lihat lampiran 4)

Dalam susunan yang baru itu, Jenderal Sudirman tetap dalam

jabatannya sebagai Panglima Besar, begitu pula halnya dengan Oerip

Soemohardjo masih sebagai Kepala Staff dengan pangkat yang sama

seperti sebelumnya yakni Letnan Jenderal. Pelantikan kedua pejabat

terebut dan para pejabat lainnya dilakukan di Yogyakarta pada tanggal 25

Mei 1946. Dalam upacara pelantikan ini Sudirman, atas nama anggota

tentara mengucapkan sumpah yang intinya adalah berisi kesetiaan

terhadap negara dan Undang-Undang Dasar.

Dalam usaha MBU untuk menyempurnakan tentara kebangsaan

terus berjalan seraya berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tetapi di

Indonesia terdapat dua kekuatan bersenjata yakni TRI sebagai tentara

reguler dan kekuatan bersenjata dari rakyat di luar TRI. Karena itu untuk

menjalin persatuan diantara dua kekuatan senjata tersebut pada tanggal 5

Mei 1947, Presiden RI menetapkan dibentuknya sebuah Panitia yang

bertugas mempersatukan tentara RI dan lakar-laskar menjadi satu

organisasi tentara.

Panitia yang diketuai langsung oleh Presiden dan beranggotakan

para pejabat MBU dan Panglima Besar ini pada tanggal 3 Juni 1947

mengeluarkan ketetapan sebagai hasil akhir dari tugas tersebut. Dan salah

satu ketetapannya adalah berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI)

sebagai wadah dari seluruh pasukan bersenjata baik TRI maupun Pasukan

Rakyat Bersenjata. Dengan diresmikannya TNI, langkah mendasar dan

jela keuntungannya adalah bahwa seluruh potensi pejuang bersenjata

59
menjadi satu, hanya mengenal satu wadah ketentaraan di seluruh wilayah

Republik Indonesia.

Sesudah diresmikan berdirinya TNI, maka dalam awal

pembentukan TNI susunan organisasinya masih seperti dulu masa TRI,

khususnya susunan divisi-divisi TNI. Dan baru diadakan perubahan

susunan TNI sesudah terjadinya Agresi Militer Belanda pertama tanggal

21 Juli 1947. Setelah itu, susunan TNI diatur dengan Penetapan Presiden

nomor 9 tanggal 27 Februari 1948, tentang reorganisasi dan rasionalisasi.

Selanjutnya dalam reorganisasi tubuh TNI diadakan peleburan

berbagai instansi dan pembentukan instansi baru. Pada tanggal 8 Maret

1948 Panglima Besar Jenderal Soedirman sesudah mendapat restu dari

Presiden membentuk panitia khusus untuk menyelesaikan kesulitan-

kesulitan psikologis menyangkut personalia.

Akhirnya beberapa kesulitan dapat diatasi pada tanggal 4 Mei

1948 dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 14 Tahun 1948,

yang isinya:

a. Kesulitan mobil dan teritorial tersusun dalam Komando Jawa dan

Komando Sumatera terdiri atas Divisi dan Teritorium. Semua staf dan

kesatuan diluar itu dihapuskan.

b. Kepala Staf di Kementrian Pertahanan dan para Panglima Kesatuan

Mobil dan Teritorial segera menyelesaikan rekonstruksi dan

rasionalisasi atas kesatuannya sesuai dengan formasi dan organisasi

baru beserta susunan personalianya, paling lambat 1 Juni 1948.

60
c. Dalam keadaan bahaya, Staf Umum Angkatan Darat masuk Staf

Panglima Besar Angkatan Perang.

Berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan tanggal 28 Oktober

1948 sebagai pelaksanaan dari Penetapan Presiden No. 14 Tahun 1948,

dibentuk dua Komando yaitu Komando Jawa dan Komando Sumatera.

Dengan selesainya reorganisasi dan rekonstruksi, maka

terdapatlah kesatuan Komando dalam Angkatan Perang. Kesatuan

Komando itu dalam waktu dekat berguna sekali, yakni ketika Belanda

melancarkan Agresi Militer yang kedua.

2. Langkah pemajuan personil

Pada awal berdirinya tentara kebangsaan di Indonesia, sebagian

besar dari personilnya adalah orang-orang dari pasukan Pembela Tanah

Air (PETA). Sedangkan pasukan PETA sendiri hanya memperoleh

pendidikan militer secara cuma-cuma dari Jepang. Pasukan PETA hanya

diberi latihan dasar pertempuran, siasat perang, ilmu senjata yang

kesemuanya diberikan secara singkat. Setelah selesai pendidikan yang

singkat, maka mereka siap diterjunkan di medan pertempuran. (Disjarahad,

1972:13-14). Setelah Inonesia merdeka, maka dibutuhkan suatu tentara

yang ahli serta profesional dan harus mampu menguasai dalam segala hal

termasuk didalamnya organisasi ketentaraan.

Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo selaku Kepala Staff merasa

harus menciptakan tentara yang bermutu. Oleh karena itu ia berkeinginan

adanya akademi militer untuk mendidik dan melatih pasukan tentara yang

dirasa maih kurang dalam hal kemiliteraannya. Pada tanggal 18 November

61
1945, berdirilah sebuah akademi militer di Tanggerang yang dipimpin oleh

Mayor Daan Mogot dan akademi tersebut merupakan akademi militer

yang pertama sejak Indonesia merdeka.

Namun dengan berdirinya akademi militer tersebut justru

membuat Oerip Soemohardjo mendapat kritik yang mendalam bahwa ia

terlalu dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau internasional dan segala yang

berbau internasional diidentikan dengan kolonialisme. Akhirnya dapat

diketahui kritik tersebut berasal dari orang yang tidak mau menempuh

pendidikan militer yang teratur yang memerlukan otak dan pikiraan.

Karena keinginannya untuk membentuk tentara yang bermutu, Oerip

Soemohardjo tetap saja dan menerus mendidik para taruna agar mereka

bisa selangkah lebih maju dari pada sebelum mereka masuk akademi.

Dalam usaha untuk terus memajukan tentara, Oerip Soemohardjo

kembali mendirikan akademi militer di Yogyakarta. Sebagai pimpinan

akademi ditunjuk Mayor Jenderal RMA Suwardi. Dan akademi militer

inilah yang kemudian berkembang menjadi Akademi Militer Nasional

(AMN) dan seterusnya menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (AKABRI). (Imran, 1984:84-85)

Pada tanggal 8 Desember 1945, Letnan Jenderal Oerip

Soemohardjo memerintahkan agar tiap-tiap divisi membentuk polisi

tentara untuk tiap-tiap karesidenan. Polisi tentara berpusat pada markas

divisi dan bercabang paada tiap-tiap kabupaten. Tugas dari polisi tentara

adaalah menyelidiki, mengurus dan menuntut di depan pengadilan tentara

perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bukan

62
anggota TKR. Ditekankan pula bahwa polisi tentara tidak boleh

bertindak diluar daerah kekuasaannya kecuali mendapat ijin dari

komandannya.

Tentara yang baru dibentuk jauh dari sempurna. Bukan saja di

bidang persenjataan dan disiplinnya, tetapi juga di bidang pakaian. Pakaian

anggota TKR pada saat itu sangat beraneka ragam, dan hanya satu

persamaannya, yakni ban putih bertuliskan TKR berwarna merah yang

dipakai pada lengan sebelah kiri

Sebagai Kepala Staff, Oerip Soemohardjo harus memikirkan

segalanya. Tetapi tidak mungkin untuk menentukan pakaian seragam bagi

seluruh anggota tentara karena bahan pakaian masih sulit didapat. Maka

untuk menghilangkan ketidakseragaman yang mencolok, ia mengeluarkan

maklumat agar setiap komandan sedapat-dapatnya mengusahakan pakaian

bagi para anggotanya. Warna seragam tidak perlu sama, tetapi harus

diusahakan agar pasukan dalam satu karesidenan mempunyai warna dan

bentuk yang sama. Begitu juga tanda-tanda kepangkatan dalam militer.

(Imran, 1984: 76)

Begitu pula Oerip Soemohardjo harus memperhatikan hal-hal

yang kecil-kecil. Beberapa maklumat lain segera dikeluarkan. Dalam satu

maklumatnya, ia menegaskan agar TKR tidak menerima perintah dan tidak

menjalankan perintah dari orang lain atau instasi lain dan hanya menerima

dan menjalankan perintah dari MBU. Hal itu diangap perlu karena masa

itu semua anggota diliputi oleh semangat untuk mempertahankan tanah air

63
dan bangsa, dan dalam masa seperti itu bisa saja terjadi hal-hal yang dapat

merugikan nama TKR.

Dalam maklumat yang lain, ia meminta agar TKR menghindari

perbuatan yang merusak nama baik TKR seperti merampok atau yang

merugikan rakyat. Hal itu karena TKR dibentuk untuk menjaga keamanan

dan ketertiban, tidak utuk menindas rakyat tetapi melindungi rakyat.

(Imran, 1984: 86-77)

C. Konsolidasi dan Pemantapan TNI

Tugas yang dihadapi Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo cukup

berat. Tentara yang ia bangun dan belum mendekati kesempurnaan harus

menghadapi ancaman dari pihak luar. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan

pihak Sekutu dan Belanda terjadi di beberapa kota. Persenjataan kurang dan

latihan dan pendidikan dalam arti sebenarnya bagi tentara belum dapat

dilaksanakan. Namun yang paling mendesak adalah penyempurnaan

organisasi tentara. Tanpa organisasi yang baik, fungsi tentara tidak akan dapat

berjalan dengan baik pula. Pemikiran ke arah pembentukan organisasi yang

sempurna ini menyita sebagian besar waktu dan tenaganya. (Imran, 1984: 80)

Melalui konferensi TKR di Yogyakarta tanggal 12 November 1945,

selain memilih seorang Panglima Besar, juga dibicarakan tentang struktur

organisasi, posedur kerja, dan landasan perjuangan TKR. Sehingga pada

konferensi tersebut dicapai kesepakatan adanya perubahan nama Tentara

Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), dan

perubahan itu baru dapat dilakanakan pada tanggal 7 Januari 1946 melalui

Dekrit Presiden yang isinya sebagai berikut :

64
1. Nama Tentara Keselamatan Rakyat, dahulu Tentara Keamanan Rakyat

dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia.

2. Tentara Republik Indonesia adalah satu-satunya organisasi militer negara

Republik Indonesia.

3. Tentara Republik Indonesia akan disusun atas dasar militer internasional.

4. Tentara Keselamatan Rakyat yang sekarang, yang mulai hari pengumuman

ini disebut Tentara Republik Indonesia akan diperbaiki susunannya atas

dan bentuk ketentuan yang sempurna.

5. untuk melaksanakan pekerjaan yang disebut di pasal 4, maka oleh

pemerintah akan diangkat sebuah panitia, yang terdiri dari ahli militer dan

ahli lain yang dianggap perlu.

(Tjokropanolo, 1993: 69)

Melalui Dekrit Presiden tersebut tersirat suatu kemenangan, terutama

yang ada kaitannya dengan perselisihan antara tentara dan badan-badan

kelaskaran. Karena bagaimanapun, setelah dekrit diumumkan berarti badan-

badan kelaskaran tersebut harus meleburkan diri ke dalam tubuh TRI dan

kekuasaan penuh atas militer di seluruh wilayah Indonesia ada pada pundak

TRI. Namun banyak juga yang tidak mau dilebur ke dalam tubuh TRI,

terutama laskar-lakar pendukung partai-partai politik.

65
Karena masih adanya konflik antara tentara dan laskar yang tidak

meleburkan diri, presiden Soekarno memerintahkan Letnan Jenderal Oerip

Soemohardjo membentuk Panitia Besar Reorganisasi Tentara yang

beranggotakan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Jenderal Mayor TB.

Imatupang, Jenderal Mayor Kaprawi, Suryadarma, Kolonel Sutirto, Dr.

Mustopo, Prof. Rooseno, dan Prof, Mr. Dr. Supomo. ( Disbintalad, 1986:

11).

Dan pada tanggal 17 Mei 1946, Panitia Besar Reorganisasi Tentara

yang dipimpin oleh Oerip Soemohardjo dapat mengumumkan hasil kerjanya

dan menyerahkan kepada Presiden. Namun baru tanggal 3 Juni 1946, presiden

Soekarno mengeluarkan ketetapan hasil dari kerja panitia. Ketapan Presiden

tersebut berbunyi :

1. Mulai tanggal 3 Juni 1946 kami sahkan dengan resmi berdirinya Tentara

Nasional Indonesia.

2. Segenap anggota Angkatan Perang yang ada sekarang dan segenap

anggota laskar yang bersenjata, baik yang sudah atau yang tidak tergabung

di dalam Biro Perjuangan, mulai saat ini dimasukan serentak kedalam

Tentara Nasional Indonesia.

3. Pimpinan Tertinggi dari Tentara Nasional Indonesia dipegang oleh :

Pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia yang terdiri dari :

a. Kepala : Panglima Besar Angkatan Perang.

b. Anggota : Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo

c. Anggota : Laksamana Muda Nazir

66
d. Anggota : Komodor S. Suryadarma

e. Anggota : Sutomo

f. Anggota : Ir. Sakirman

g. Anggota : Djoko Sujono

4. Pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia menjalankan tugas kewajiban

yang mengenai siasat dan organisasi Tentara Nasional Indonesia, selama

proses penyempurnaan Tentara Nasional Indonesia sedang berjalan.

5. Semua satuan-satuan Angkatan Perang dan satuan-satuan laskar yang

mulai hari tanggal penetapan ini menjelma menjadi satuan Tentara

Nasional Indonesia diwajibkan taat dan tunduk pada segala perintah dan

intruksi yang dikeluarkan oleh pucuk pimpinan Tentara Nasional

Indonesia.

(Disjarahad, 1972: 49-50)

Dari awal berdirinya Tentara Nasional Indonesia, terus berusaha

mengadakan konsolidasi dan pemantapan struktur organisasi agar berbentuk

mendekati dasar militer internasional. Berbagai jalan yang ditempuh Letnan

Jenderal Oerip Soemohardjo dalam menyempurnakan organisasi Tentara yang

akhirnya terbentuk Tentara Nasional Indonesia sebagai wadah dari laskar-

laskar perjuangan yang ada di Indonesia.

67
BAB IV

PROSES PENATAAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)

A. Faktor Pendorong dan Penghambat dalam Pembentukan Tentara

Nasional Indonesia (TNI)

1. Pendorong Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaannya belumlah stabil

keadaan dan situasinya. Ancaman dari Inggris sebagai utusan dari Sekutu

sudah bersiap mengambil alih Indonesia dari pendudukan Jepang. Belum

lagi Belanda yang membonceng Inggris juga masih berkeinginan untuk

menduduki Indonesia. Untuk itu keamanan bangsa yang baru saja merdeka

harus tetap dijaga. Maka perlawanan didaerah-daerah untuk mengusir

Sekutu dan Belanda terjadi. Rasa nasionalisme rakyat Indonesia sudah

mencapai puncaknya. Dan rasa nasionalisme inilah yang mendorong

rakyat untuk tetap berjuang melawan Sekutu.

Pemuda-pemuda yang tergabung dalam Barisan Pelopor

menyebar ke seluruh pelosok tanah air untuk membakar semangat rakyat

yang memang telah berkobar mengorganisasikan tenaga rakyat di dalam

satu kesatuan, sehingga di tiap daerah terdapat laskar rakyat. Di dalam

laskar-laskar rakyat ini tergabung tenaga-tenaga yang terdiri kaum pria dan

wanita, tua ataupun muda. Dan dari golongan pemuda inilah tampak

kegiatan yang luar biasa.

58

68
Organisasi-organisasi pemuda dan kesatuan-kesatuan rakayat itu

semua memakai nama daerah masing-masing. Mereka hanya bermodalkan

senjata tadisional yang biasa digunakan oleh rakyat di daerah masing-

masing, seperti pedang, parang, golok, keris, rencong, badik, sumpit,

bambu runcing, dan lainnya. Dengan modal senjata yang sangat sederhana

itu barisan-barisan rakyat menyerbu tangsi-tangsi dan pos-pos tentara

Jepang untuk merebut senjata. (Disjarahad, 1972: 37)

Hampir di setiap daerah terjadi pertempuran antara laskar-laskar

dengan tentara Jepang. Dengan direbutnya senjata-senjata Jepang itu

barisan-barisan rakyat makin kuat dalam hal persenjataan dan semakin

sempurna. Di dalam pengerahan tenaga rakyat yang membuat mereka

bangkit semangat dan keberaniannya ini, tidaklah kecil peranan putera-

putera Indonesia yang militan, seperti bekas-bekas PETA, Heiho, KNIL,

dan lainnya.

Pemerintah yang merasa perlunya menyatukan laskar-laskar

tersebut supaya tidak berjuang untuk masing-masing daerahnya, maka

dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR ini merupakan korps

perjuangan yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan rakyat.

Jadi BKR belum bisa dikatakan sebagai tentara.

Oerip Soemohardjo sebagai orang militer merasa prihatin pada

keadaan Indonesia. Meskipun ia merupakan bekas tentara KNIL Hindia

Belanda, namun ia masih mempunyai rasa nasionalisme terhadap tanah

69
airnya. Suatu negara merdeka tetapi tidak mempunyai tentara. Suatu

negara zonder tentara. (Sinar Harapan, 8 Oktober 1965)

Tidak adanya tentara di Indonesia pada awal kemerdekaan bisa

dimaklumi. Hal tersebut karena keraguan Ir. Soekarno yang ditunjuk PPKI

sebagai presiden dalam membentuk kekuatan bersenjata. Keraguan

Soekarno memang beralasan, yakni agar bangsa Indonesia tidak terjadi

bentrok dengan Jepang ataupun Sekutu dalam hal ini Inggris yang

mewakili Sekutu. Hal tersebut karena Sekutu merasa berhak atas wilayah

Indonesia setelah behasil mengalahkan Jepang dalam perang Pasifik. Dan

Jepang ditugasi Sekutu untuk menjaga ketertiban Indonesia sampai Sekutu

datang di Indonesia.

Namun atas desakan banyak pihak, diantaranya dari golongan

pemuda dan militer, pada tanggal 5 Oktober 1945 Presiden Soekarno

melalui maklumatnya menyatakan berdirinya tentara kebangsaan yang

diberi nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dan Oerip Soemohardjo

yang ditunjuk Pemerintah untuk membentuk dan menyusun dari tentara

kebangsaan tersebut. (Disjarahad, 1972: 38)

2. Penghambat Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Ketika Indonesia baru saja merdeka, sangat diperlukan sekali

dibentuk tentara kebangsaan dan TKR berdiri sebagai tentara reguler

Republik karena sebagai pemerintah yang berdaulat layak memiliki

tentara. Disamping itu terdapat juga puluhan laskar-laskar perjuangan

bersenjata yang bertempur bahu-membahu bersama TKR.

70
Pada awal berdirinya TKR, laskar-laskar perjuangan rakyat sangat

membantu terhadap berdirinya tentara. Namun seiring berjalannya waktu,

laskar-laskar perjuangan tersebut menjadikan diri sebagai bumerang

terhadap TKR. Ditambah pada tanggal 1 November 1945 pemerintah

mengeluarkan maklumat yang isinya menegaskan bahwa hak dan

kewajiban untuk mempertahankan keamanan negara bukanlah monopoli

tentara.

Berdasar maklumat tersebut semakin tumbuh subur laskar-laskar

bersenjata sehingga banyak partai politik dalam memperkuat

kedudukannya mempunyai organisasi kesatuan bersenjata sebagai

onderbow-nya. Laskar-laskar tersebut sulit bahkan tidak mau untuk

bergabung dengan TKR. Dengan begitu di Indonesia terdapat dua

kekuatan bersenjata yakni TKR dan laskar-laskar, dan hal itu sering

menjadikan terjadi bentrokan bersenjata diantara keduanya. Dari kalangan

tokoh partai politik juga berpendapat bahwa perlu adanya suatu bentuk

kekuatan rakyat yang berhak mempunyai tentara sendiri diluar tentara

resmi negara. Kekeliruan atas penafsiran pada maklumat tanggal 1

November 1945 tersebut menjadi sumber kesulitan yang membawa

berbagai perpecahan. (Tjokropanolo, 1993: 62)

Untuk itu Markas Tertingi TKR membuat maklumat yang

dikeluarkan tanggal 6 Desember 1945 yang ditandatangani oleh Kepala

Staff Umum Oerip Soemohardjo yang berisi tentang pendirian TKR dan

ketetapan mengenai laskar-laskar, yang intinya agar laskar yang mepunyai

71
pemimpin supaya disusun secara teratur serta ikut dalam menjaga

keamanan dan ketertiban rakyat, selain itu juga segera melaporkan diri ke

MTTKR.

Selain faktor diatas, faktor dari dalam tubuh juga ikut

menghambat proses terbentuknya tentara yang sempurna. Menteri

pertahanan Amir Syarifuddin yang juga merupakan pimpinan dari TKR

ikut menyalahgunakan jabatannya dalam memperkuat partai politiknya.

Badan Pendidikan Militer yang mulanya dibawah naungan MTTKR, oleh

Amir Syarifuddin pada akhir Mei 1946 dipindahkan ke Kementrian

Pertahanan dan namanmya diganti menjadi Pendidikan Politik Tentara

(Pepolit). Disini para taruna mendapat indoktrinasi dan diajarkan faham

komunis yang merupakan bagian dari partai yang diikutinya. Dari sini

sudah jelas tujuan dari menteri pertahanan Amir Syarifuddin untuk

memperkuat golongannya sendiri. Dan bahkan tidak mungkin usaha

tersebut merupakan salah satu usaha untuk merebut kekuasaan negara.

(Amrin, 1983: 83)

Dari pemerintah sendiri juga terjadi hambatan dalam

pembentukan tentara, yakni kurang mendukungnya pemerintah terhadap

tentara. Yang diinginkan tentara adalah penyelesaian masalah dengan

Belanda lebih baik tidak melalui jalan diplomasi, tetapi dengan kekuatan

militer. Walaupun TKR belumlah mempunyai jumlah senjata yang

memadai namun dengan taktik gerilya tentara sudah siap tempur.

TKR merasa melalui jalur diplomasi, Indonesia selalu yang

dirugikan. Selain wilayah yang semakin sempit juga wilayah Indonesia

72
hasil dari diplomasi seperti terkepung sehingga sangat mudah nantinya

untuk dihancurkan. Bahkan dari pihak Belanda-lah yang selalu

mengingkari dari perjanjian yang telah disepakati, seperti terjadi Agresi

Militer yang dilakukan Belanda.

Oerip Soemohardjo merasa sangat kecewa atas keputusan

pemerintah yang lebih mengandalkan diplomasi dan tidak mempercayai

kepada angkatan perangnya sendiri. Karena itu ia sempat meminta

mengundurkan diri dari dinas militer tentara Indonesia.

B. Hasil Penataan Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Oerip Soemohardjo yang mendapat tugas khusus untuk membentuk

dan menyusun tentara kebangsaan. Usaha kerasnya dalam menyusun dan

membentuk tentara kebangsaan tidak sia-sia. Dari mulai Tentara Keamanan

Rakyat sampai Tentara Nasional Indonesia berbagai rintangan dialaminya.

Namun mengingat tugas yang diembannya ia rela demi tanah airnya. Bahkan

tugas tersebut hingga akhir hidupnya.

Usaha Oerip Soemohardjo bersama pemerintah untuk

menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan sambil terus berjuang

mempertahankan kemerdekaan. Hal itu mengingat bahwa dalam

mempertahankan keamanan dan kedaulatan Republik Indonesia terdapat dua

pasukan bersenjata yakni Tentara Republik Indonesia dan laskar atau barisan

bersenjata. Untuk menyatukan kedua pasukan bersenjata, maka pada tanggal 3

Juni 1947 presiden Soekarno menetapkan berdirinya Tentara Nasional

73
Indonesia (TNI). TNI ini merupakan penggabungan dari TRI dan laskar atau

barisan bersenjata. Dan sejak saat itu di Indonesia hanya terdapat satu

kekuatan bersenjata, yakni TNI.

Pada awal berdirinya TNI, susunan organisasinya tidak mengalami

perubahan. Baru kemudian setelah terjadi Agresi Militer Belanda I tanggal 21

Juli 1947, susunan organisasi TNI mengalami perubahan. Susunan organisasi

TNI diatur dengan Penetapan Presiden No 9 tanggal 27 Februari 1948, tentang

Reorganisasi dan Rasionalisasi. Dengan peraturan itu susunan TNI diatu

menjadi :

1. Staff Umum Angkatan Perang dalam Kementrian Pertahanan

2. Markas Besar Angkatan Perang Mobil.

Penetapan Presiden No 9 ini kemudian dikukuhkan dengan keluarnya

Undang-Undang Nomor 3/1948 tanggal 6 Maret 1948, tentang organisasi

Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang. Dan berkaitan dengan Undang-

Undang Nomor 3/ 1948 tersebut, terdapat aturan khusus bagi TNI Angkatan

Darat yang diatur sebagai berikut :

1. Angkatan Darat dipimpin oleh Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD)

2. Kepala Staff Angkatan Darat dibantu oleh :

a. Sekretariat Angkatan Darat

b. Staff Umum Angkatan Darat

c. Staff Khusus Angkatan Darat

3. Staff Umum Angkatan Darat terdiri dari

a. Bagian Siasat Perang

74
b. Bagian Staff Umum I (Bagian Penyelidikan Militer)

c. Bagian Staff Umum II (Bagian Operasi dan Latihan)

d. Bagian Staff Umum III (Pers Militer dan Organisasi)

e. Bagian Staff Umum IV (Perbekalan dan Pengangkutan)

4. Staff Khusus terdiri dari :

a. Bagian Topografi

b. Bagian Intendans

c. Bagian Perhubungan dan Pengangkutan

d. Bagian Inspektorat Senjata

5. Satuan Angkatan Darat terdiri dari :

a. Barisan Infanteri

b. Barisan Arteleri

c. Barisan Kavaleri

d. Barisan Genie

6. Angkatan Darat terdiri atas Komando-komando Teritorial

7. Seorang Komandan Teritorial yang memimpin semua kesatuan Angkatan

Darat dalam tiap Teritorium.

(Yudha No 28, 1985 : 29)

Undang-undang tersebut dimantapkan kembali dengan penetapan

Presiden No 14 tahun 1948 tanggal 4 Mei 1948. Sesuai dengan penetapan

tersebut dibentuklah satuan Komando Mobil dan Teritorial untuk Jawa dan

Sumatera. Komando di Jawa dikenal dengan istilah Markas Besar Komando

75
Jawa (MBKD) dan Markas Besar Komando Sumatera (MBKS) untuk

Sumatera.

Didalam MBKD terdapat empat satuan tempur dan teritorial yang

tersusun dalam empat divisi, yakni :

1. Divisi I, meliputi daerah Jawa Timur dan terdiri dari enam Brigade

2. Divisi II, meliputi daerah Jawa Tengah bagian utara dan terdiri dari dua

Brigade dengan empat Sub Teritorium.

3. Divisi III, meliputi daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan terdiri dari tiga

Brigade dengan empat Sub Teritorium.

4. Divisi IV, meliputi daerah Jawa Barat dan terdiri dari empat Brigade

(Yudha No 28, 1985: 32)

Sedang untuk MBKS terdiri dari tiga Divisi yakni Divisi VIII, IX,

dan X. Sedang satuan teritorial tersusun menjadi lima Gubernur Militer yang

masing-masing :

1. Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo

2. Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli

3. Gubernur Militer Sumatera Barat

4. Gubernur Militer Riau

5. Gubernur Militer Sumatera Selatan dan Jambi.

(Yudha No 28, 1985, 32)

Sedangkan struktur organisasi Angkatan Laut didasarkan pada Surat

Keputusan Menteri Pertahanan Tanggal 4 Pebruari 1950. Kepala Staf

76
Angkatan Laut membawahi tiga orang Kepala Staf yaitu Kepala Staf Operasi,

Kepala Staf Khusus, dan Kepala Staf Materiil.

Pada masa awal itu masalah reorganisasi penempatan-penempatan

personalia dan masalah-masalah psikologis merupakan masalah-masalah

utama yang harus dihadapi. Markas Besar AL, selama Aksi Militer II Belanda

terletak di Kutaraja Aceh.

Sedangkan penyusunan organisasi AURI dimulai setelah

berlangsungnya serah terima Hoofdkwartier Militaire Luchtvaart pada tanggal

27 Juni 1950. Pada saat itu dengan resmi berdiri Markas Besar AU yang

merupakan pusat dari perencanaan, koordinasi, dan pengawasan instansi-

instansi pelaksana atau komando. Untuk menertibkan pesawat-pesawat udara

dan fasilitas-fasilitas penerbangan yang diterima dari ML, dibentuk dua

skuadron yaitu Skuadron I berpusat di Cililitan dan Skuadron II di Andir.

77
C. Kekecewaan-Kekecewaan di Masa Akhir

Bagi seseorang yang yang biasa bekerja dalam keadaan yang serba

teratur, tugas-tugas yang dihadapi dalam suasana revolusi akan menyebabkan

ia mengalami pertentangan-pertentangan. Begitu pula dengan Oerip

Soemoharjo. Banyak perasaan yang harus ia korbankan dan banyak

kekecewaan yang harus diterimanya.

Rencana awal Oerip Soemohardjo dalam membentuk tentara, ia

berkeinginan membentuk tentara rakyat. Karena itu ia setuju dengan adanya

laskar-laskar. Hal tersebut dirasa Oerip Soemohardjo sebagai suatu hal yang

wajar bagi negara yang baru tumbuh dan sedang berjuang mempertahankan

kemerdekaannya. Maklumat yang dikeluarkan oleh Markas Tertinggi TKR

(MTTKR) tanggal 6 Desember 1945 dan ditandatangani langsung olehnya

sudah jelas menunjukan bahwa TKR mengakui adanya laskar-laskar. Dan

sebagaimana Tentara Keamanan Rakyat (TKR), laskar-laskar juga berjuang

untuk mempertahankan kemerdekaan dan adalah kewajiban setiap warga

negara untuk mempertahankan negara.namun dalam maklumat tersebut juga

dijelaskan pula agar laskar-laskar itu mempunyai disiplin dan pimpinan yang

teratur, dilatih secara baik, dan memiliki senjata yang baik.

Laskar-laskar lahir sebagai reaksi spontan dari golongan untuk

mempertahankan kemerdekaan. Ketika pemerintah membentuk TKR, maka

BKR secara otomatis menggabungkan diri dalam TKR. Tetapi laskar-laskar

tidak mau bergabung, mereka tetap berdiri sendiri. Jumlah laskar pun semakin

banyak ketika pemerintah menganjurkan berdirinya partai politik. Hal tersebut

78
karena setiap partai yang ada membentuk laskar masing-masing. Dengan hal

itu, maka tujuan laskar sudah berubah, mereka tidak lagi berjuang

mempertahankan kemerdekaan tetapi sudah berjuang untuk partai tempat

mereka bernaung. (Amrin, 1984: 82).

Keadaan yang demikian menjadikan semakin melemahnya

perjuangan. Untuk menanggulangi hal tersebut, maka Oerip Soemohardjo

bersama Panglima Tertinggi, Jenderal Soedirman, berusaha menertibkan

laskar-laskar yang semakin menjamur. Selain itu dengan mengajak pimpinan-

pimpinan laskar berunding bersama dan mengajak supaya mereka bergabung

dengan Tentara Republik Indonesia (TRI). Tetapi hal tersebut selalu ditolak

oleh laskar-laskar dan terutama laskar yang selalu membawakan suara partai

yang mereka wakili.

Keadaan tersebut semakin menjadi buruk ketika di Kementrian

Pertahanan dibentuk beberapa badan yang mempekuat posisi laskar. Dengan

pembentukan tersebut, Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin, yang berasal

dari golongan kiri berusaha mempekuat posisi golongan kiri dalam petahanan.

Badan yang pertama dibentuk Amir Syarifuddin adalah Staf

Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Pada awal berdirinya TKR, dilingkungan

MTTKR terdapat sebuah badan yang disebut Badan Pendidikan, sesuai

dengan saran yang diajukan ketika rapat TKR bulan November 1945. badan

ini bertugas memberikan pendidikan politik, agama, kejiwaan, sosial dan

pengetahuan umum kepada anggota tentara. Pada akhir Mei 1946 kedudukan

Badan Pendidikan dipindahkan ke Kementrian Pertahanan dan diberi nama

79
Pepolit, dan sebagai pimpinannya adalah Sukono Joyopratiko yang sealiran

dengan menteri. (Amrin, 1984: 83)

Sejak saat itu pendidikan tentara menyimpang dari tujuan awal.

Menteri Pertahanan mengeksploitasi badan tersebut untuk kepentingan

poliyiknya. Pepolit tumbuh menjadi tempat indoktrinasi dan tempat

menyebarkan faham komunis kepada anggota tentara dan laskar-laskar.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Menteri Pertahanan membentuk

pula badan lain yang disebut Biro Perjuangan yang merupakan biro khusus

dalam kementrian pertahanan. Biro Perjuangan menjadi wadah bagi laskar-

laskar yang awalnya didirikan oleh partai-partai politik. Dengan masuknya

laskar kedalam Biro Perjuangan, maka laskar-laskar tersebut diakui sebagai

organisasi militer diluar tentara resmi, mendapat biaya dari pemerintah dan

hak-haknya sama dengan tentara. Biro Perjuangan diberi pula kekuasaan

untuk membentuk Inspektorat- inspektorat Perjuangan di daerah-daerah.

Karena berbeda dibawah Kementrian Pertahanan dan pengangkatan

personalianya menjadi wewenang Menteri Pertahanan, maka Biro perjuangan

pun tumbuh menjadi alat Menteri Pertahanan. Sebagai Kepala Biro

Perjuangan diangkat Jokosuwono dan Ir. Sakirman yang masing-masing diberi

pangkat Mayor Jenderal. Keduanya merupakan tokoh komunis, sealiran

dengan Menteri Pertahanan, Amir Syarifuddin.

Sejak adanya badan-badan yang dibentuk di Kementrian Pertahanan,

Oerip Soemohardjo mulai tidak dapat lagi mempercayai terhadap

kebijaksanaan Amir Syaifuddin. Ia merasa kecewa tehadap politik yang

80
dijalankan oleh Amir Syarifuddin selaku Menteri Pertahanan, dan menilai

usaha pembentukan badan-badan tersebut sebagai persiapan untuk merebut

kekuasaan negara.

Karena itu, Oerip Soemohardjo bersama Soedirman berusaha keras

untuk menyatukan laskar dengan Tentara Republik Indonesia (TRI). Dengan

usaha keras pengabungan laskar dan TRI dapat terealisasi melalui Penetapan

Presiden tentang pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mulai

berlaku tanggal 3 Juni 1947.

Sebagai seorang militer, Oerip Soemohardjo ingin menghadapi

Belanda secara militer, dan jangan menunggu sampai kekuatan Belanda

betambah besar, tetapi menyerang Belanda selagi mereka lemah. Hal tersebut

juga dibenarkan oleh Panglima Besar Jenderal Soediman. Tetapi pemerintah

menempuh cara lain, karena pemerintah lebih mengutamakan pejuangan

dibidang diplomasi sedangkan bidang militer hanya dipakai sebagai bantuan

untuk diplomasi.

Oerip Soemohardjo terpaksa tunduk kepada kehendak pemerintah. Ia

pergi ke daerah-daerah untuk melakukan perundingan genjatan senjata yang

selalu saja dilanggar oleh pihak Belanda. Sebagai Kepala Staff, ia cukup

mengetahui bagaimana TNI dirugikan dalam perudingan-perundingan yang

dilakukan pemerintah dengan Belanda. Seperti ketika pemerintah

menandatangani Persetujuan Linggarjati tanggal 15 November 1946,

hubungan antara pemerintah dengan Belanda tidak menjadi baik. Tanggal 21

Juli 1947, Belanda melancarkan agresi militer. Pada awal agresi tersebut

81
posisi TNI tedesak tetapi TNI berhasil mengadakan konsolidasi dan mulai

melancarkan serangan gerilya. Namun kekecewaan kembali datang, ketika

TNI mulai menguasai, pemerintah kembali membuka perundingan dengan

Belanda. (Amrin, 1985:86)

Sebagai seorang militer, Oerip Soemohardjo tidak terlalu terikat

kepada hal-hal yang bersifat konvensional. Dalam situasi yang dihadapi

negara pada saat itu dan sesuai pula dengan kekuatan Angkatan Perang, ia

lebih menyukai taktik gerilya. Karena itu, ia sangat merasa kecewa ketika

pemeintah membuka kembali perundingan dengan Belanda, justru pada saat

TNI mulai mampu melancarkan serangan gerilya. Perundingan itu kemudian

melahirkan Perjanjian Renville, yang tambah melemahkan posisi Indonesia.

Salah satu efek dari Perjanjian Renville adalah penarikan pasukan TNI ke

belakang garis demarkasi dan penghijrahan sebagian besar pasukan dari

daerah-daerah kantong ke wilayah Indonesia yang sudah bertambah sempit

dan terkepun oleh kedudukan Belanda. Oerip Soemohardjo sudah tidak dapat

lagi menahan kecewanya terhadap pemerintah. Ia sudah berpikir untuk

berhenti dari dinas militernya sebagai Kepala Staff karena pemerintah sudah

tidak percaya lagi kepada angkatan perangnya sendiri.

Dalam Reorganisasi Angkatan Perang, Menteri Pertahanan Amir

Syarifuddin, mempunyai wewenang yang besar dalam Angkatan Perang. Awal

Januari 1948, Presiden mengeluarkan keputusan dari Panitia Reorganisasi.

Dari keputusan tersebut posisi Jenderal Soedirman merosot, ia hanya menjadi

Panglima Angkatan Perang Mobil dan harus tunduk kepada Kepala Staff

82
Angkatan Perang yang dijabat oleh Perwira yang lebih junior, dan Oerip

Soemohardjo sudah tidak lagi menduduki jabatan Kepala Staff karena ia

diangkat.

Peristiwa-peristiwa pertentangan politik terus terjadi di Indonesia.

Kabinet Amir jatuh dan digantikan oleh kabinet Hatta. Dalam kabinet Hatta

ini Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang terus dilanjutkan tetapi

dengan tekanan yang berbeda. Jika pada masa kabinet Amir, Reorganisasi dan

Rasionalisasi digunakan untuk memperkuat posisi golongan kiri dalam

angkatan perang, maka dalam kabinet Hatta justru untuk melemahkannya.

Kekalahan Amir membuat Amir bersama golongan kiri lainnya membentuk

Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang tujuannya untuk menentang kabinet

Hatta. Ketegangan politik semakin meningkat dan hubungan dengan Belanda

pun semakin memuncak. Perjanjian Renville tidak berhasil menumbuhkan

hubungan yang harmonis antara Indonesia dengan Belanda.

83
BAB V

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan dari paparan pada bab-bab dimuka dapat diambil simpulan

dan saran sebagai berikut:

1. Terbentuknya militer di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah

perjuangan nasional rakyat dalam mengusir penjajahan asing yang akan

kembali menanamkan pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia. Militer

Indonesia terbentuk berawal dari lahirnya sebuah Badan Keamanan Rakyat

(BKR) pada tanggal 22 Agustus 1945. Kemudian ditingkatkan menjadi

Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Melalui

sebuah PP No. 2/S.D Tahun 1946 TKR yang semula bernama Tentara

Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, tidak lama

kemudian pada tanggal 26 Januari 1946 melalui PP No. 4/S.D Tahun 1946

TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). hingga akhirnya pada

tanggal 7 Juni 1947 diganti lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

2. Terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa dilepaskan

terhadap peran aktifnya Purnawirawan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo. Ia

mendapat mandat dari Presiden untuk membentuk Tentara Kebangsaan. Ia

dipercaya untuk menyusun Tentara Indonesia karena merupakan salah seorang

bangsa Indonesia yang mengetahui teknis kemiliteran dari KNIL, didukung

74
84
oleh pengalaman di bidang kemiliteran yang dimilikinya selama tugas di

KNIL serta sikap patriotisme dan rasa nasionalisme yang ada pada dirinya.

3. Susunan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang pertama terinspirasi dari

susunan Departemen Perang Hindia-Belanda (DVO (Department Van

Oorlog)). Hal itu dilakukan karena dirinya sangat berpengalaman dalam

kemiliteran di Departemen Perang Hindia-Belanda tersebut.

4. Susunan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada awalnya berupa

Komandemen yang membawahi beberapa divisi. Di Jawa terbentuk tiga

Komandemen dengan sepuluh divisi dan di Sumatera satu Komandemen

dengan enam divisi. Setelah berganti nama menjadi Tentara Republik

Indonesia (TRI) tidak ada lagi komandemen seperti pada masa TKR, selain itu

jumlah divisi juga dikurangi. Di Jawa sebelumnya sepuluh divisi dikurangi

menjadi tujuh divisi, sedang di Sumatera masih tetap enam divisi

5. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo merupakan orang yang pertama kali

menyusun dan membentuk susunan organisasi Tentara Nasional Indonesia

(TNI), dan beliau juga yang berhasil menyatukan antara laskar-laskar

perjuangan rakyat dengan tentara nasional Indonesia sehingga di Indonesia

tidak ada lagi dualisme kekuatan bersenjata.

6. Hambatan yang ada selama pembentukan dan penyusunan Tentara Nasional

Indonesia (TNI) berasal dari laskar-laskar perjuangan rakyat yang tidak mau

meleburkan diri dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau pun

laskar yang memperkuat partai politik. Selain itu hambatan dari dalam berasal

85
dari Kementrian Pertahanan yang merupakan golongan kiri, dan menggunakan

tentara sebagai alat untuk memperkuat golongannya itu.

7. Oerip Soemohardjo dapat dianggap sebagai peletak dasar dari Tentara

Nasional Indonesia (TNI). Ia juga sebagai pemikir dalam teknis dan strategi

organisasi kemiliteran di Indonesia.

86
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Atmodjo, Sulistyo, 1985. Mengenang Almarhum Panglima Besar Jenderal


Sudirman,(Versi ABRI). Jakarta. Yayasan Panglima Besar Jenderal
Sudirman

Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Disbintalad. 1986. Biografi Jenderal Urip Sumoharjo. Jakarta.

Disjarahad. 1972. Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI AD. Bandung : Fa. Mulyana

-------------. 1982. Sejarah TNI Angkatan Darat (1945-1973), Pertumbuhan TNI


Angkatan Darat dan Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI.
Jakarta : Balai Pustaka

-------------. 1985. Sudirman Prajurit TNI Teladan . Pusjarah TNI AD

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Terjemahan: Nugroho Notosusanto.


Jakarta : Penerbit UI

Hatta, Muhamad. 1972 . Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jarkarta : Tinta


Mas

Imran, Amrin Drs. 1983. Oerip Soemoharjo. Jakarta : Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan.

Nasution, AH. 1963. Tentara Nasional Indonesia. Yogyakarta : Seruling Mas.

---------------. 1970. Tentara Nasional Indonesia. Yogyakarta : Seruling Mas

Notosusanto, Nugroho. 1984. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Pustaka Sinar


Harapan

Pusat Sejarah Militer.----. Mengenang Djenderal Anumerta TNI Oerip


Soemohardjo. Manuskrip

Sendam VII Diponegoro. 1968. Sejarah TNI Angkatan Darat Kodam VII
Diponegoro. Semarang : Yayasan Diponegoro

------------- . 1968. Sirnaning Yakso Katon Gapuraning Ratu. Semarang

77
87
------------- . 1977. Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya . Semarang :
Yayasan Diponegoro

Soebroto, Rohmah Soemohardjo. 1973. Oerip Soemohardjo, Letnan Jenderal TNI


(22 Februari 1893-17 November 1948). Jakarta : Gunung Agung

Sumarmo, AJ Drs. 1991: Pendudukan Jepang dan Proklamasi. Semarang. IKIP


Press

Tirtoprojo, Susanto . 1966 . Revolusi Nasional Indonesia . Jakarta : Pembangunan

Tjokropanolo . 1992 . Panglima Besar Jenderal Sudirman, Pemimpin Pendobrak


Terakhir Penjajahan di Indonesia . Jakarta : CV. Haji Masagung

Widja, I Gde. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah, Sejarah Dalam Perspektif


Pendidikan. Semarang : Satya Wacana

Zen, Kivlan. 2004. Konflik dan Integrasi TNI AD. Jakarta. Institute for Policy
Studies

2. Koran dan Majalah

Nasional, tanggal 11 November ----


Sinar Harapan, tanggal 8 Oktoner 1965
Vidya Yudha No 48 tahun 1985.

88
Lampiran 1
BOIGRAFI SINGKAT
JENDERAL ANUMERTA TNI OERIP SOEMOHARDJO

Nama : Oerip Soemohardjo


Lahir : Purworejo, 22 Februari 1893
Jabatan : - Kepala Staff Umum TKR
- Penasehat Presiden dan Menteri Pertahanan RI serta Dewan
Pertimbangan Agung
Wafat : Yogyakarta, 17 November 1948
Pangkat terakhir : Jenderal Anumerta Tentara Nasional Indonesia.
Pendidikan
1. Eerste School dan Europese Lagere School di Purworejo selesai tahun 1907
2. Opleidingschool Voor Inlansche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang selesai
tahun 1910
3. Militaire School di Jatinegara lulus tahun 1914 dan dilantik sebagai Letnan
Dua.
Pekerjaan
1. Jaman Belanda
a. Tahun 1914-1917 berpangkat Letnan Dua, bertugas di Jatinegara dan
Banjarmasin
b. Tahun 1917-1928 berpangkat Letnan Satu, bertugas di Long Iram, Tanah
Tidung, Cimahi, Purworejo, Magelang, Ambarawa.
c. Tahun 1928-1935 berpangkat Kapten, bertugas di Jatinegara dan
Padangpanjang
d. Tahun 1936-1938 berpangkat Mayor, bertugas di Purworejo sebagai
Komandan Depo Batalyon merangkap Komandan Militer
e. Tahun 1938-1941, tidak aktif dalam kemiliteran
f. Tahun 1941-1942, diaktifkan kembali dan menjabat sebagai pimpinan
Inheemse Militie (Wajib Militer bagi bumi putera) dan mendapat kenaikan
pangkat Letnan Kolonel
2. Jaman Jepang

89
Tidak memegang jabatan resmi apapun dan bertempat tinggal di desa Gentan,
Yogyakarta.
3. Jaman Indonesia Merdeka
a. Aktif sebagai pelopor dari TKR, TRI, yang akhirnya menjadi TNI
b. Tahun 14 Oktober 1945, mengeluarkan sumpah setia kepada Indonesia
dan melepaskan diri selaku Opsir KNIL
c. 15 Oktober 1945 menghadiri sidang kabinet tentang penyusunan
organisasi TKR.
d. 20 Oktober 1945 diangkat secara resmi sebagai Kepala Staff Umum dan
Kementrian Keamanan Rakyat.
e. 2 November 1945 membuka Markas TKR di Yogyakarta
1) Awalnya Markas TKR berada di Hoel Merdeka kamar 23, kemudian
pindah di jalan Gondokusuman.
2) Susunan organisasi TKR berpola pada Departemen Perang Hindia-
Belanda, yang membagi pasukan atas Divisi dan Komandemen. Di
Jawa terdapat 3 Komandemen dengan 10 Divisi, sedangkan Sumatera
1 Komandemen dengan 6 Divisi.
f. 12 November 1945, memimpin Konferensi TKR yang pertama. Salah satu
hasil konferensi adalah terpilihnya Jendral Sudirman sebagai Panglima
TKR.
g. 18 November 1945 meresmikan Akademi Militer yang pertama di
Tangerang.
h. 17 Mei 1946,
1) Menjadi Ketua Panitia Besar Organisasi TKR
2) Melapor kepada Presiden mengenai :
a) Bentuk Kementrian Pertahanan
b) Bentuk Ketentaraan
c) Kekuatan Tentara
d) Organisasi Tentara
e) Kedudukan laskar
i. 21 Mei 1946 diangkat dengan besluit Presiden :
1) Pangkat : Letnan Jenderal

90
2) Jabatan : Kepala Staff Markas Besar Umum TKR.
j. 25 Mei 1946 dilantik di Istana Negara di Yogyakarta sebagai Kepala Staff
bersama jenderal Sudirman sebagai Panglima
k. 14 November 1946 menjadi ketua delegasi perundingan Cease Fire di
Jakarta.
l. 5 Mei 1947 menjadi anggota Panitia Pembentukan Organisasi Tentara
Nasional Indonesia dengan tugas untuk mempersatukan TRI dengan badan
kelaskaran menjadi TNI.
m. 7 Juni 1947 sesuai dengan penetapan Presiden RI, mulai tanggal 3 Juni
1947 disahkan berdirinya TNI. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo
sebagai Kepala Staff Umum.
n. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo kemudian diangkat sebagai Penasehat
Presiden dan Menteri Pertahanan RI serta merangkap sebagai anggota
Dewan Pertimbangan Agung.
o. 17 November 1948 meninggal dunia dan di makamkan di Taman Makam
Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

91
Lampiran 2

Struktur Organisasi BKR Sesuai Penetapan PPKI

Tanggal 22 Agustus 1945

BPKKP

Pucuk
Pimpinan BKR

BKR SYUU BKR SYUU BKR SYUU

BKR KEN BKR KEN BKR KEN

BKR SON BKR SON BKR SON

BKR KU BKR KU BKR KU

TONARI GUMI

RAKYAT INDONESIA

Sumber : VIDYA YUDHA No : 48 Tahun 1985

92
Lampiran 3

Struktur Organisasi TKR

Tahun 1945

Markas Tertinggi
TKR

Markas Besar Umum


TKR

Bag. Bag. Bag. Bag. Bag. Bag.


Administrasi Perlengkapan Perhubngan Kesehatan Penyelidik Pendidikan

Bag. Bag. Bag. Bag.


Keuangan Persenjataan Ur. Ka Geni

Komandemen Komandemen Komandemen Komandemen


Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sumatera

Div I Div II Div III Div VI Div VII Div VIII

Div IV Div V Div IX Div X

Div I Div II Div III Div IV Div V Div VI

Sumber : VIDYA YUDHA No : 48 Tahun 1985

93
Lampiran 4

BAGAN ORGANISASI TRI


TAHUN 1946

Panglima Besar

Markas Besar Umum

Div I Div II Div III Div IV Div V Div VI Div VII


Siliwangi Sunan G.Jati Diponegoro Pn. Senopati Ronggolawe Narotama Suropati

Div Div Div Div Div Div


Garuda I Garuda II Banteng I Banteng II Gajah I Gajah II

Sumber : VIDYA YUDHA No : 48 Tahun 1985

94
Lampiran 5

BAGAN ORGANISASI TRI


TAHUN 1947

Panglima Besar

Markas Besar Umum

Div I Div II Div III Div IV Div V Div VI DivVII Div VIII Div IX Div X
Siliwangi S. G.Jati Diponegoro Pn. Senopati Ronggolawe Narotama Suropati Garuda Banteng Gajah

Sumber : VIDYA YUDHA No : 48 Tahun 1985

95

Anda mungkin juga menyukai